• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN OBYEK WISATA BERBASIS COMMUNITY BASED TOURISM (CBT) DI HUTAN PAYAU, CILACAP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN OBYEK WISATA BERBASIS COMMUNITY BASED TOURISM (CBT) DI HUTAN PAYAU, CILACAP"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

45

CILACAP

Dwiyono Rudi Susanto, M. Syaifulloh

Jurusan Hospitality S1

Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarukmo (STIPRAM) Yogyakarta Jl.Ahmad Yani No. 52 Ring Road Timur Yogyakarta

Telp.(0274) 485650 , Fax.(0274) 485214 Email: [email protected]

ABSTRACT

Payau Forest is one of the potential areas of tourism in Cilacap Regency. This is because the natural beauty of the Payau Forest and supported by trend of tourism that leads to nature tourism with attention to the sustainability. The management of the Payau Forest is done by the local community who are members of the community, namely Pokdarwis Maspayau and LMDH (Lembaga Desa Desa Hutan). The purpose of this research is to know (1) the development of Community-Based Tourism object (CBT) in Payau Forest Cilacap and (2) how the local community role in the management and development of tourism Payau Forest of Cilacap. The research method used is qualitative method. Primary data collection is done by interview, observation and literature study.

The results of the research shows that the management of Payau Forest tourism in Cilacap implemented through the management of tourism resources, management of tourism marketing, human resource management, and crisis management. By implementing Community Based Tourism (CBT) in the management of Payau Forest can be seen from the active participation of the community in every tourism activity and the nature and cultural preservation. In addition, it is concluded that the level of community participation in the environment of Payau Forest is at the level of citizen control, meaning that people become controllers in the planning, implementation, monitoring and evaluation process in tourism management

Keywords: Community Based Tourism, CBT, Payau Forest, nature tourism, citizen control. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Kabupaten Cilacap merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten ini memiliki beberapa potensi daya tarik wisata, baik wisata alam maupun budaya. Wisata alam yang di Kabupaten Cilacap, antara lain Hutan Payau, Pulau Nusakambangan, Pantai Teluk Penyu dan Pantai Widara Payung.

Selain obyek wisata, Cilacap juga memiliki beberapa tradisi, kesenian dan kuliner yang bisa menarik wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara, seperti upacara sedekah laut, kesenian ebeg dan calung banyumasan. Sebagai salah satu daerah tujuan wisata, Cilacap selalu berupaya untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi wisata, salah satunya adalah mengembangkan obyek Hutan Payau.

(2)

Hutan Payau merupakan sebuah lahan rawa yang berisi tanaman mangrove seluas 10 Ha yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Banyumas Barat dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Awalnya, hutan ini difungsikan sebagai hutan pelindung ekosistem di kawasan segara anakan. Hutan Payau mulai dirintis pada tahun 1978 dan dirubah statusnya menjadi hutan kota berdasarkan keputusan Bupati Cilacap pada tanggal 2 Maret 2009 yang akhirnya statusnya pun berubah menjadi obyek wisata berbasis lingkungan atau ekowisata.

Hutan Payau terletak di Kelurahan Tritih Kulon, Kecamatan Cilacap Utara, Kabupaten Cilacap. Hutan ini memiliki 15000 pohon, yang terdiri bakau bandul, bakau kacangan, tancang dan api-api. Selain tanaman tersebut, Hutan Payau juga memiliki mangrove asosiasi, seperti waru, ketapang dan jeruju. Sebagian besar tanaman tersebut ditanam sejak tahun 1978, sehingga tanaman mangrove ini terlihat lebat di sepanjang jalur walking track. Tanaman yang berada di hutan ini mendapatkan pasokan air yang cukup dari sungai lester, dimana sungai ini terhubung secara langsung dengan laut.

Dilihat dari keberadaan hutan tersebut, membawa dampak pisitif bagi kelestarian lingkungan, terutama bagi biota yang hidup di sekitar tanaman bakau, seperti kepiting uca, ikan tanggal, udang pistol dan ikan gelodok serta beberapa jenis burung yang hidup di ranting-ranting tanaman bakau. 2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana mengembangkan obyek

wisata berbasis masyarakat (CBT) di Hutan Payau Cilacap?

2. Bagaimana peran masyarakat setempat dalam pengembangan objek wisata Hutan

Payau Cilacap?

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pariwisata

Pengertian Pariwisata secara etimologis berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua kata, yaitu “pari” dan “wisata”. Pari memiliki arti sebagai berulang– ulang atau berkali – kali, sedangkan wisata memiliki arti sebagai perjalanan atau bepergian. Pengertian pariwisata menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2009 Pasal 1 (3), pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Sedangkan menurut Yoeti (2016:8), kriteria atau syarat suatu perjalanan bisa dikatakan sebagai perjalanan wisata apabila memenuhi kriteria-kriteria berikut:

a. Perjalanan dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain. Perjalanan dilakukan di luar tempat kediaman orang tersebut biasanya tinggal.

b. Perjalanan dilakukan minimal 24 jam atau lebih kecuali pelancong

c. Tujuan perjalanan semata-mata untuk brsenang-senang tanpa mencari nafkah di negara, kota atau DTW yang dikunjungi. d. Uang yang dibelanjakan wisatawan

tersebut dibawa dari negara asalnya dimana ia biasanya tinggal atau berdiam dan bukan diperoleh karena hasil usaha selama perjalanan wisata yang dilakukan. 2. Daya Tarik Wisata

Menurut UU Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Menurut Sunaryo (2013, 25-27), daya tarik wisata dikelompokkan menjadi tiga jenis,

(3)

yaitu:

a. Daya tarik wisata alam, daya tarik wisata yang dikembangkan dengan berbasis pada keindahan dan keunikan yang ada di alam, seperti pantai dengan keindahan pasir putihnya, laut dengan aneka kekayaan terumbu karang maupun ikannya, danau dengan keindahan panoramanya, gunung dengan daya tarik

vulcano-nya, hutan dan sabana dengan keaslian flora dan faunanya, dan lain sebagainya.

b. Daya tarik wisata budaya, daya tarik wisata yang dikembangkan dengan berdasarkan pada hasil karya dan cipta manusia, baik yang berupa peninggalan budaya maupun nilai budaya yang masih hidup dalam kehidupan di suatu masyarakat, dapat berupa upacara /ritual, adat-itiadat, seni pertunjukan, seni kriya, seni sastra maupun seni rupa maupun keunikan kehidupan sehari hari yang dimiliki oleh suatu masyarakat.

c. Daya tarik wisata minat khusus, daya tarik wisata yang dikembangkan berdasarkan pada aktivitas untuk pemenuhan keinginan wisatawan wisatawan secara spesifik, seperti pengamatan satwa tertentu, memancing, berbelanja, kesehatan dan penyegaran badan, arung jeram, wisata agro, menghadiri pertemuan, rapat, perjalanan

incentive dan pameran atau yang

dikenal sebagai wisata MICE (Meeting,

Incentive, Conference and Exhibition) dan aktivitas-aktivitas wisata minat khusus lainnya yang biasanya terkait dengan hobi atau kegemaran seorang wisatawan.

3. Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community based Tourism)

Anstrand dalam Janianton Damanik (2006:84) mendefinisikan Community Based Tourism (CBT) sebagai pariwisata

yang memperhitungkan dan menempatkan keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya, diatur dan dimiliki oleh komunitas, untuk komunitas. Anstrand menilai

Community Based Tourism (CBT) bukan

dari aspek ekonomi terlebih dahulu, tetapi dari aspek pengembangan kapasitas komunitas dan lingkungan, sementara aspek ekonomi menjadi ‘induced impact’ dari aspek sosial, budaya dan lingkungan. Sedangkan menurut Suansri (2003:14), mengemukakan definisi Community Based

Tourism (CBT) sebagai pariwisata yang

memperhitungkan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya dalam komunitas. Community Based Tourism

(CBT) merupakan alat bagi pembangunan komunitas dan konservasi lingkungan.

Pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism) dikembangkan berdasarkan prinsip keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan berbagai steakholders pembangunan pariwisata termasuk pemerintah, swasta dan masyarakat. Bisa dikatakan, konsep ini memegang prinsip pembangunan pariwisata “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat“. Dalam setiap tahapan pembangunan pariwisata, mulai dari perencanaan, pembangunan, pengelolaan dan pengembangan sampai dengan pemantauan (monitoring) dan evaluasi, masyarakat dilibatkan secara aktif dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi karena tujuan akhir adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.

Masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat berperan di semua lini pembangunan, baik sebagai perencana, investor, pelaksana , pengelola, pemantau maupun elevator. Namun demikian meskipun pembangunan pariwisata berbasis masyarakat menekankan pada faktor

(4)

masyarakat sebagai komponen utama, keterlibatan lainnya seperti pemerintah dan swasta sangat diperlukan. Peran masyarakat di dalam memelihara sumber daya alam dan budaya yang berpotensi menjadi daya tarik wisata sangat penting. Dalam hal ini yang terpenting adalah upaya memberdayakan masyarakat setempat dengan mengikutsertakan mereka dalam berbagai kegiatan pembangunan pariwisata. Untuk itu, pemerintah sebagai fasilitator dan stakeholder harus dapat menghimbau dan memberikan motivasi kepada masyarakat agar bersedia berpartisipasi aktif di dalam pembangunan pariwisata.

Dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat diperlukan koordinasi dan kerja sama serta peran yang berimbang antara berbagai unsur stakeholder, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Oleh karena itu, salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat adalah pendekatan partisipatif. Pendekatan ini digunakan untuk mendorong terbentuknya kemitraan. Disamping itu, pengembangan pariwisata berbasis masyarakat bertujuan untuk mengurangi eksploitasi terhadap obyek dan daya tarik wisata dengan meperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan. Dalam hal ini, masyarakat harus diberi pemahaman dan kesadaran tentang keberadaan potensi daya terik wisata yang ada di daerah setempat, sehinggga mereka mempunyai rasa ikut memiliki (sense of

belonging) terhadap sumber daya alam

dan budaya sebagai asset pembangunan pariwisata.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara interview, observasi dan studi kepustakaan.

1. Interview

Pengumpulan data melalui wawancara didasarkan oleh 2 alasan. Pertama, dapat digali informasi selengkap mungkin, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Kedua informasi yang digali mencakup hal-hal yang bersifat lintas waktu yang berkaitan dengan masa lalu, masa sekarang dan masa depan.

2. Observasi

Observasi dilakukan dimasing-masing fokus aspek yaitu aspek fisik dan non fisik. Observasi ini dilakukan sebagai

cross check antara hasil interview dengan kondisi dilapangan,untuk memperoleh ketepatan (accuracy) dan ketelitian data yang akan dikumpulkan.

1) Observasi fisik

Meliputi observasi tentang (kondisi lingkungan, keadaan atraksi, amenitas, aksesibilitas dan auxiliary service). 2) Observasi non fisik

Meliputi observasi tentang pemberdayaan masyarakat dan manajemen pemasaran pariwisata. Serta observasi kendala umum yang dihadapi.

3. Studi Kepustakaan

Yaitu membaca buku-buku yang berhubungan dengan community based tourism dan manajemen pemasaran pariwisata serta mencari data sekunder di media cetak serta elektronik mengenai studi kearifan local.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Gambaran Umum Kabupaten Cilacap Kabupaten Cilacap merupakan salah satu dari 29 Kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah yang terletak di Pulau Jawa. Luas wilayah Kabupaten Cilacap adalah 225.360,840 Ha.Kabupaten Cilacap terdiri dari 24 kecamatan, 262 Desa dan 15 kelurahan. Luas Hutan Negara di Cilacap adalah 54.669,80 Ha (terdiri dari Hutan

(5)

Produksi 36.349,10 Ha, Hutan Produksi Terbatas 10.601,70 Ha, Hutan Lindung 6.386,20 Ha dan Suaka Alam 1.332,80 Ha). Luas Hutan Rakyat 22.743,08 Ha. Jadi total luas hutan di Kabupaten Cilacap (Hutan Negara + Hutan Rakyat) adalah 77.412,88 Ha.

Kabupaten Cilacap merupakan daerah terluas di Jawa Tengah dan wilayah tersebut dibagi menjadi dataran rendah dan perbukitan dengan ketinggian ± 6 meter diatas permukaan laut sampai yang tertinggi 198 meter diatas permukaan laut. Dengan kondisi alam yang demikian, Kabupaten Cilacap memiliki banyak potensi pariwisata alam dan budaya yang tersebar di semua wilayah. Adapun pariwisatanya adalah pariwisata alam pantai yang memanjang dari Pantai Teluk Penyu yang membujur ke utara dan memanjang ke timur hingga Pantai Jetis kecamatan Nusakambangan yang berbatasan langsung dengan Pantai Ayah yang ada di wilayah Kabupaten Kebumen.

Kabupaten Cilacap juga memiliki aneka wisata dan budaya peninggalan sejarah yang berupa bangunan benteng, museum dan upacara tradisional Sedekah Laut bagi masyarakat pesisir pantai atau nelayan. Secara umum, kondisi topografi di Kabupaten Cilacap jika dilihat dari arah barat laut merupakan kawasan pegunungan dengan ketinggian lebih dari 100 meter diatas permukaan laut dengan puncak tertinggi berada di Gunung Subang dengan ketinggian mencapai ±1210 mdpl yang berada di Kecamatan Dayeuluhur. Kemudian, ke arah tenggara terbagi menjadi dua kawasan bentang alam, di bagian utara berupa pegunungan dan di bagian selatan berupa dataran miring landai ke arah barat daya – selatan, berelevasi kurang dari 100 mdpl dan berbatasan dengan Pantai Segara Anakan. Bagian paling timur berupa dataran dan di bagian selatan berbatasan lansung dengan Samudera Hindia. Bentuk

Pulau Nusakambangan memanjang dengan jarak kurang lebih 30 km dari barat ke timur, membatasi Segara Anakan dan Samudra Hindia. Pulau tersebut memiliki bentang alam pegunungan namun tidak terlalu tinggi atau kurang dari 100 mdpl. Kabupaten Cilacap memiliki topografi yang beragam, namun kondisi topografi rata-rata merupakan dataran rendah. Kondisi ini juga didukung oleh letak Kabupaten Cilacap yang berada pada daerah pesisir yang merupakan daerah pantai.

2. Gambaran Umum Objek Wisata Hutan Payau

Objek wisata Hutan Payau sudah terkenal di Cilacap sejak tahun 90-an. Dahulu objek wisata ini masih sangat terjaga dan keadaan alam masih sangat asri, air lautnya melimpah serta banyak sekali pohon-pohon bakau yang tumbuh subur disana. Pohon bakau di Hutan Payau dulu memang sangata banyak dan rimbun, saat berjalan diatas jembatan kayu yang tertata rapi, kita akan disuguhi pemandangan yang indah. Di bawah jembatan mengalir air payau yang jernih. Ada pula hewan monyet/kera yang bergelantungan mencari makanan diantara pohon bakau.

Jembatan kayu dahulu panjangnya kurang lebih 200 sampai 300 meter dengan lebar sekitar 2,5 meter. Namun sekarang jembatan tersebut diganti menjadi jalan beton. Hutan payau kini dilengkapi dengan beberapa gazebo sebagai tempat istirahat wisatawan, warung-warung, mushola serta toilet. Wahana yang tersedia di objek wisata ini antara lain jaring mesra, dermaga, jembatan gantar, among rogo dan masih ada yang belum selesai dibangun.

Objek wisata Hutan Payau terletak disisi utara kota Cilacap dan kurang lebih sekitar 4 km dari pusat kota Cilacap. Objek wisata ini tepatnya berada di Jalan Wisata Hutan Payau, Tritih Kulon, Kecamatan Cilacap Utara, Kabupaten Cilacap. Objek

(6)

wisata Hutan Payau merupakan penyangga Kawasan Segara Anakan yang dilindungi. Lokasi objek wisata tersebut dapat dilalui menggunakan transportasi darat seperti sepeda motor, mobil dan bus, serta dapat pula melalui jalan laut menggunakan perahu. Keunikan kawasan utan Payau yakni memiliki beberapa anak sungai yang terpisah yang bermuara ke Pantai Teluk Penyu dan Kampung Laut. Pada awalnya objek wisata Hutan Payau merupakan kawasan tambak yang terbengkalai seluas 3 hektar. Kemudian pada tahun 1975 ditanami pohon bakau dan pada tahun 1984 dijadikan sebagai kawasan wisata dengan luas 10 hektar.

Hutan Payau memiliki potensi wisata bahari berupa penyewaan perahu untuk mengelilingi area wisata Hutan Payau. Kemudian ada pohon bakau, di objek wisata Hutan Payau memiliki 6 jenis tumbuhan bakau yang dominan adalah bakau jenis Bandul, Bakau Kacang dan Tancam. Disini juga terdapat biota mangrove seperti kepiting Uca, ikan gelodok, totok dan lain-lain. Penambahan wahana permainan juga termasuk potensi disini.

Sumber Daya Manusia merupakan aspek yang penting dalam pengelolaan sebuah objek wisata. Jika Sumber Daya Manusianya tinggi dan berkualitas maka pengelolaan yang dihasilkan akan sangat bagus dan tertata. Namun sebaliknya jika Sumber Daya Manusia rendah, maka akan berpengaruh terhadap pengelolaan yang dihasilkan. Dan hasilnya pun tidak akan bagus dan objek wisata tersebut menjadi tidak menarik dan terbengkalai. Pengelolaan yang bagus tidak selalu bergantung pada seberapa tinggi pendidikan yang didapat. Jika sudah mengerti cara pengelolaan yang baik dan bagus dalam mengelola objek wisata itu sudah dapat dikatakan berhasil.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh penulis. Pengelolaan di

objek wisata Hutan Payau sudah cukup bagus. Terbukti dengan adanya struktur organisasi dan pembagian tugas masing-masing dalam mengelola. Untuk masalah kebersihan dari pengelola sendiri sudah ada yang mengelola. Untuk warung-warung yang berjualan di dalam objek wisata pun memiliki kesadaran dalam menjaga kebersihan lingkungannya. Dan hasilnya memang bersih, namun dengan datangnya pengunjung yang beberapa dari mereka masih kurang kesadaran dalam menjaga lingkungan dan membuang sampah di sembarang tempat padahal sudah disediakan tempat sampah, tempat yang tadinya bersih menjadi kotor. Dalam segi pelayanan, petugas dan warga sekitar ramah terhadap pengunjung. Dari segi keamanan sudah ada pembagian tugasnya, jadi dipastikan bahwa tempat tersebut aman. Akan tetapi dalam penjagaan wahana beberapa pengunjung mengeluh terhadap tidak adanya penjaga yang menjaga wahana tersebut.

Mudahnya akses jalan menuju suatu tempat objek wisata merupakan nilai lebih dari objek wisata tersebut. Aksesibilitas dari jalan raya hingga jalan masuk ke tempat objek wisata tersebut sudah diaspal. Untuk jalan raya tentunya sudah sangat bagus dan lebar. Namun jalan masuk ke dalam objek wisata Hutan Payau memang sudah diaspal tetapi tidak begitu lebar dan aspalnya pun tidak terlalu bagus. Jalan dari arah kiri objek wisata pun kalau dilewati bus besar akan susah karna sisi kanan kirinya banyak pohon.

Objek wisata Hutan Payau mendapatkan dana bantuan pembangunan dari pemerintah, dana tersebut digunakan untuk membuat jalan di dalam area objek wisata. Walaupun belum sepenuhnya jadi, karena pembangunan jalan terhenti di tengah-tengah. Sehingga jalan menuju ke dermaga masih berupa tanah dan kayu. Untuk wahana, pendanaan datang dari LMDH

(7)

(Lembaga Masyarakat Desa Hutan) dan juga Pokdarwis. Sedangkan untuk warung pembangunan berasal dari masyarakat sekitar. Selain itu, pendanaan juga datang dari wisatawan yaitu tiket retribusi masuk dan biaya untuk fasilitas wahana permainan. Jadi untuk masuk ke objek wisata Hutan Payau dikenakan biaya sebesar Rp 10.000. uang Rp 10.000 itu dibagi menjadi 2. Satu untuk masuk ke dalam objek wisata sebesar Rp 4000 dan satunya lagi untuk membayar fasilitas wahana sebesar Rp 6000. Jadi satu pengunjung mendapatkan 2 lembar tiket. 3. Pengelolaan Wisata Hutan Payau a. Pengelolaan Sumber Daya Pariwisata

Masyarakat Desa Tritih Kulon menyadari bahwa kekayaan alam, terutama keberadaan Hutan Payau merupakan aset kekayaan utama dari Desa Tritih Kulon. Kekayaan alam ini harus dijaga dan dirawat, karena keberadaan hutan ini bisa dijadikan sebagai aktivitas pariwisata yang mampu meningkatkan ekonomi bagi masyarakat desa tersebut. Oleh karena itu, masyarakat melakukan beberapa upaya untuk menjaga dan melindungi alam. Berdasarkan hasil penelitian upaya tersebut antara lain konservasi, pemanfaata untuk berbagai kepentingan, zonasi dan kemitraan.

Menurut Liu (1994:45), ada 4 karakteristik pengelolaan sumber daya alam di suatu destinasi wisata, karakteristik tersebut antara lain menggunakan sumberdaya terbarukan, pemanfaatan untuk berbagai kepentingan, daerah zona, dan konservasi sumber daya. Pengelolaan sumber daya alam di Hutan Payau sudah sesuai dengan konsep tersebut. Salah satunya dibuktikan dengan pengembangan yang selalu memperhatikan alam dan keberlanjutan Hutan Payau, sehingga pengelolaan yang

dilakukan tidak merusak alam yang ada. Sedangkan untuk pengelola kawasan wisata ini diserahkan kepada Pokdarwis Maspayau dan LMDH (Lembaga Masyarahat Hutan Desa). Organisasi tersebut mengelola Hutan Payau menjadi sebuah wisata yang menarik untuk dikunjungi wisatawan, dengan membuat aneka wahana permainan, seperti jembatan tali yang disebut “Jaring Mesra”, “Jembatan Gantar Sewu” yang terletak di dekat loket masuk serta, adanya perahu sewa yang disertai dermaga, among rogo, wahana mandi bola untuk anak-anak serta warung-warung yang ada di dalam obyek wisata.

Untuk fasilitas di objek wisata Hutan Payau dilengkapi dengan tempat ibadah seperti mushola, tempat untuk beristirahat seperti gazebo dan tempat duduk yang ada di beberapa titik, serta fasilitas air bersih dan kamar mandi. Beberapa fasilitas tersebut, dibangun secara sederhana (semi permanen) dengan menggunakan material terbuat dari kayu dan bedeg (anyaman bambu). b. Pengelolaan Pemasaran Pariwisata

Menurut Inskeep (1991), pendekatan perencanaan pemasaran merefleksikan hubungan antara produk pariwisata dan pasar wisata. Sedangkan untuk melakukan strategi pemasaran pariwisata, ada tiga elemen yang harus diperhatikan, yaitu diversifikasi pasar, peningkatan mutu dan perpanjangan musim (kedatangan wisatawan). Peneliti menemukan fakta bahwa pihak pengelola wisata Hutan Payau sudah melaksanakan kemitraan dengan pihak pemerintah setempat dan agen travel atau biro wisata untuk memasarkan wisata Hutan Payau. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan wisatawan, sebagian besar wisatawan mendapatkan informasi

(8)

tentang obyek wisata Hutan Payau melalui internet, keluarga dan teman. Sedangkan, dari pihak pengelola sudah mempromosikan melalui koran, radio dan kunjungan wisata, namun pihak pengelola belum membuatkan sebuah website sebagai salah satu media promosi elektronik.

c. Pengembangan Sumber Daya Manusia Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan aspek yang penting dalam pengelolaan sebuah obyek wisata, karena kualitas SDM yang ada sangat berpengaruh terhadap hasil dari pengelolaan potensi wisata tersebut. Kualitas SDM tidak selalu diukur dari tingkat pendidikan , tetapi juga pengalaman dan kemampuan manajemen yang bagus, sehingga obyek wisata dapat dikelola dengan baik. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti, pengembangan sumber daya manusia yang telah dilakukan di Desa Tritih sudah cukup bagus. Berikut ini beberapa beberapa upaya pengembangan yang dilakukan, yaitu:

1) Pelatihan Sadar Wisata, yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata pemerintah setempat bagi pengelola wisata, terutama POKDARWIS.

2) Pelatihan bahasa inggris yang dilakukan oleh masyarakat setempat yang memiliki kemampuan dalam bahasa Inggris, seperti guru bahasa Inggris.

3) Pelatihan pelayanan keramah-tamahan atau hospitality terhadap wisatawan domestik maupun mancanegara.

4) Pelatihan pembukuan, seperti akuntansi dasar untuk mengelola keuangan, baik pemasukan maupun pengeluaran

5) Pelatihan kebersihan dan keamanan di tempat wisata. Pelatihan ini bertujuan untuk menjaga kebersihan

di lingkungan wisata Hutan Payau dan keamanan wisatawan selama berkunjung ke Hutan Payau.

4. Penerapan Community Based Tourism

a. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat dapat dilihat dari keaktivan selama kegiatan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Perencanaan dilakukan dengan membuat struktur organisasi POKDARWIS yang meliputi pemilihan jabatan serta job desk atau tugas sesuai jabatan masing-masing. Selain itu, kegiatan perencanaan juga menjadi tempat untuk berbagi dan mengusulkan ide atau konsep yang diharapkan menjadi sebuah masukan dan mendapatkan dukungan untuk dilaksanakan dalam kegiatan pariwisata. Perencanaan pengelolaan pariwisata Hutan Payau dibagi menjadi dua, yaitu perencanaan rutin dan momentum. Perencanaan rutin dilakukan setiap bulan, sedangkan perencanaan momentum dilakukan jika akan ada event.

Selanjutnya, dalam tahap pelaksanaan, setiap orang melakukan tugas dan peranannya masing-masing sesuai dengan job desk-nya. Keaktivan ini dapat dinilai dari kehadiran masing-masing anggota, selain itu dalam pengelolaan pariwisata juga dilakukan dengan cara

rolling atau pergantian job desk masing-masing anggota dalam periode tertentu (1 bulan). Hal ini bertujuan untuk menghindari kecemburuan sosial diantara anggota dan meningkatkan pengetahuan serta pengalaman setiap anggota, sehingga masing-masing anggota bisa memiliki beberapa keahlian.

Tahap selanjutnya, dilakukan monitoring dan evaluasi. Monitoring atau pemantauan ditujukan untuk melihat apakah perencanaan dan pelaksaan pengelolaan obyek wisata Hutan Payau

(9)

sudah sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Jika sudah sesuai, maka perlu ditingkatkan agar lebih baik lagi. Namun, apabila belum sesuai dengan yang diharapkan, maka perlu dilakukan evaluasi. Evaluasi ini diharapkan menjadi sebuah solusi dengan memberikan rekomendasi dan menyarankan perbaikan yang harus dilakukan. Oleh karena itu, untuk mengetahui seberapa efektif dan efisien dari perencanaan dan pelaksanaan, maka perlu dilakukan monitoring dan evaluasi.

b. Pelestarian Lingkungan Hidup

Usaha pelestarian lingkungan hidup sudah dilakukan masyarakat dan pengelola wisata Hutan Payau dengan menjaga kebersihan lingkungan, serta menjaga keberlangsungan hidup bagi tanaman maupun habitat yang hidup di lingkungan tersebut. Untuk menjaga kebersihan, masyarakat yang berjualan di area wisata mengumpulkan sampah menjadi satu dan dibuang ke tempat sampah. Sedangkan pengelola wisata, menjaga kebersihan di area wisata dengan membersihkan dan menyediakan tempat sampah di beberapa titik yang bertujuan untuk menampung sampah yang dibawa oleh pengunjung atau wisatawan. Selain itu, untuk menjaga lingkungan hidup di kawasan Hutan Payau dilakukan dengan kegiatan penanaman dan pengaturan lingkungan, seperti merapikan tanaman, menebang pohon yang membahayakan pengunjung dan lain sebagainya.

c. Pemerataan Pendapatan Masyarakat

Usaha untuk menyetarakan atau pemerataan pendapatan masyarakat di kawasan wisata Hutan Payau dilakukan dengan cara membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat yang ingin ikut bergabung ke dalam POKDARWIS Maspayau sebagai

pengelola obyek wisata Hutan Payau. Selain itu, masyarakat juga bisa ikut bergabung dengan cara berjualan di area obyek wisata. Dengan bergabung menjadi anggota POKDARWIS Maspayau, masyarakat bisa ikut serta untuk berperan lebih aktif dan terlibat di dalam setiap pengelolaan kegiatan wisata. Sebagai timbal baliknya, masyarakat akan menerima pembagian hasil dari pendapatan obyek wisata Hutan Payau.

Masyarakat dapat berperan dalam berbagai bidang, bisa terlibat di dalam pengelolaan pariwisata, bisa menjadi pedagang makana, minuman ataupun cendera mata. Dalam mengelola pariwisata di Hutan Payau, diterapkan sistem rolling atau pergantian job desk. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya kecemburuan sosial diantara anggota pengelola. Selain itu, juga diharapkan dengan pergantian, setiap orang akan memiliki kemampuan di semua bidang. Untuk menghindari adanya kecemburuan sosial, selain diterapkan sistem kerja bergantian, juga diterapkan transparansi penerimaan pendapatan dari wisatawan dan transparansi alokasi dana.

Tidak hanya itu, dana yang diterima pengelola, sebagian digunakan untuk bantuan sosial bagi pembangunan masjid dan diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Berdasarkan hasil penelitian pelaksanaan CBT di Hutan Payau telah memenuhi beberapa indikator yang dipaparkan oleh Suansri (2003:12). Dalam indikator mengakui dan mendukung serta mengembangkan kepemilikan komunitas dalam industri pariwisata, masyarakat sudah menyadari dan merasa memiliki obyek wisata Hutan Payau, sehingga mereka akan berpartisipasi dalam setiap kegiatan

(10)

pariwisata sesuai dengan porsi masing-masing.

d. Tingkat Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat menunjukkan keterkaitan antara pembagian kekuasaan dengan tugas dan tanggung jawab yang dilakukan. Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi, derajat wewenang dan tanggung jawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan (Arnstein 1969:217). Analisis tingkat pasrtisipasi masyarakat dapat digunakan untuk menggambarkan sejauh mana masyarakat di sekitar Hutan Payau atau Pokdarwis Maspayau ikut serta dalam pengelolaan wisata, hal tersebut dapat digambarkan dengan melihat tugas dan tanggung jawab.

Untuk melihat tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Hutan Payau dapat dilihat dari ciri-ciri partisipasi masyarakat itu sendiri. Ciri-ciri tersebut antara lain:

1) Adanya kesempatan seluas-luasnya yang diberikan oleh Pokdarwis Maspayau kepada masyarakat sekitar untuk berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan Hutan Payau.

2) Komitmen tersebut mengindikasikan bahwa Pokdarwis Maspayau telah sadar akan pentingnya peranana masyarakat dalam pengelolaan wisata Hutan Payau. Dengan adanya komitmen tersebut, secara tidak langsung menyatakan bahwa masyarakat merupakan unsur utama sebagai pemegang kendali dalam pengelolaan wisata Hutan Payau, sedangkan Pokdarwis Maspayau merupakan perantara atau fasilitator untuk memaksimalkan peranan masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan wisata Hutan Payau.

3) Dalam perencanaan pengelolaan

wisata Hutan Payau, masyarakat dilibatkan secara aktif dengan menyelenggarakan sebuah rapat atau diskusi secara rutin dan incidental. 4) Dalam pelaksanaannya, masyarakat

diberikan kesempatan yang sama untuk memilih beberapa jenis pekerjaan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan wisata Hutan Payau, seperti jaga tiket/pintu masuk, parkir, kebersihan, keamanan, maupun sebagai pedagang yang berjualan di dalam kawasan wisata Hutan Payau. 5) Sedanglan dalam monitoring dan

evaluasi, masyarakat diberikan kesempatan untuk memberikan penilaian, maupun kritik dan saran untuk kebaikan dan kemajuan pengelolaan wisata Hutan Payau di masa depan.

6) Dengan adanya pembagian tugas dan kewajiban yang jelas bagi setiap anggota Pokdarwis Maspayau, dimana hak dan kewajiban tersebut tertuang di dalam sebuah aturan yang tertulis (hitam di atas putih) atau sebuah kontrak pernyataan yang disetujui kedua belah pihak. Kewajiban anggota Pokdarwis Maspayau merupakan serangkaian kegiatan yang harus dilaksanakan oleh masing-masing anggota atau pemegang jabatan. Sedangkan hak anggota adalah apa yang diterima oleh anggota setelah melaksanakan kewajiban.

Dengan melihat ciri-ciri tersebut, peneliti menggolongkan partisipaasi masyarakat dalam pengelolaan Wisata Hutan Payau termasuk dalam kategori partisipasi dalam tangga kontrol masyarakat. Ciri dari partisipasi dalam tangga kontrol masyarakat, yaitu adanya pembagian hak dan kewajiban, adanya partisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluas di

(11)

dalam pengelolaan wisata

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Wisata Hutan Payau di Cilacap dikelola oleh komunitas masyarakat, yaitu Pokdarwis Maspayau dan LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan).

2. Pengelolaan wisata Hutan Payau di Cilacap telah dilaksanakan melalui pengelolaan sumber daya pariwisata, pengelolaan pemasaran pariwisata, pengelolaan sumber daya manusia, dan manajemen krisis.

3. Penerapan Community Based Tourism (CBT) dalam pengelolaan wisata Hutan Payau di Cilacap dapat dilihat dari keaktifan masyarakat atau anggota melalui beberapa hal, seperti memastikan keikutsertaan anggota dalam setiap kegiatan pariwisata, pelestarian alam dan budaya serta menjamin adanya pemerataan pendapatan masyarakat.

4. Tingkat partisipasi masyarakat berada pada tingkatan citizen control

(masyarakat menjadi pemagang kendali). Ciri dari citizen control, yaitu adanya pembagian hak dan kewajiban, adanya partisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluas di dalam pengelolaan wisata.

B. Saran

Dari hasil analisis yang sudah dilakukan, penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Peningkatan partisipasi masyarakat, terutama dalam tahap perncanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan pariwisata. Pada dasarnya masyarakat sudah berperan secara aktif pada tahap pelaksanaan, namun masih kurang aktif pada proses perencanaan, monitoring dan evaluasi.

2. Dalam pelaksanaan CBT, setiap poin dalam indikator CBT telah berhasil direalisasikan dengan baik. Untuk memaksimalkan CBT dapat dilakukan dengan regenerasi anggota pengelola wisata Hutan Payau di Cilacap, sehingga masyarakat memiliki kesadaran dalam menjaga kelestarian alam agar terwujud pariwisata yang berkelanjutan (sustainable).

3. Bantuan dan peran dari pemerintah sekitar, seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cilacap, diharapkan mampu membantu akses permodalan dan akses pengembangan kapasitas masyarakat wisata Hutan Payau.

4. Untuk memperluas pemasaran atau promosi, pihak pengelola dapat melakukan promosi melalui internet, seperti pembuatan website yang berisi informasi tentang wisata Hutan Payau.

DAFTAR PUSTAKA

Arnstein, Sherry R. "A Ladder of Citizen Participation," JAIP, Vol. 35, No. 4, July 1969, pp. 216-224.

Baskoro dan cecep Rukendi. 2008. Membangun Kota Pariwisata Berbasis Komunitas: Suatu Kajian Teoritis.

Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Vol III (1):37-50

Berg, Bruce L. 2007. Qualitative Research

Methods For the Social Sciences.

Boston : Pearson Education, Inc.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Prenada Putra Grafika.

David, Fred R. 2005. Manajemen Strategis: Konsep. Jakarta : Salemba Empat. Inskeep, E.1991. Toursim Planning. New

York:Van Nostrand Reinhold

Liu Juanita C. 1994. Pacific Islands

Ecotourism: A Public Policy and

(12)

Business Center Program

Miles, Mattew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta : UI Press.

Narimawati, Umi. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Teori dan Aplikasi. Bandung : Agung Media.

Nasution. 2003. Metode Penelitian

Naturalistik Kualitatif. Bandung :

Tarsito.

Pitana,I Gede dan I Ketut Surya Diarta. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta:Andhi.

Satori, Djam’an.. 2009. Metodologi

Penelitian Kualitatif. Bandung :

Alfabeta

Suansri, Potjana. 2003. Community Based

Tourism Handbook. Thailand: Rest

Project.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Sunaryo, Bambang. 2013. Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata : Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta : Gava Media.

Yoeti. 2016. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta : Balai Pustaka.

---Data penelitian di objek wisata Hutan Payau Cilacap pada bulan Januari 2018 ---Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.

Referensi

Dokumen terkait

Pengelompokkan obyek wisata dibagi menjadi 6 satuan kawasan wisata berdasarkan daya tarik yang terdiri dari obyek-obyek wisata yang mempunyai potensi sedang,

Pengembangan dan pengelolaan di wisata makam kapal bosok dilakukan oleh komunitas pesantren dengan menggunakan konsep CBT (Community Based Tourism) yang dimana

Setelah proyek pengelolaan potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) di desa rawan bencana menjadi desa wisata yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat

Aspek penelitian Analisis Potensi Obyek Wisata Tugu Khatulistiwa Sebagai Pendukung Daya Tarik Wisata Waterfront City Kota Pontianak ini akan dibatasi pada kajian daya

Strategi yang akan dilakukan adalah Melibatkan masyarakat dalam pengembangan obyek wisata dengan membangun komunikasi yang baik dan memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam setiap

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pokdarwis dan masyarakat melakukan beberapa bentuk startegi pengembangan Desa Wisata Kemiri yang bisa disebut dengan pendekatan Community Based

Potensi lain yang ada pada pengembangan Obyek Wisata Pantai Tapandullu di Kabupaten Mamuju adalah adanya daya tarik wisata pantai yang potensial untuk dikembangkan, termasuk pula daya

Strategi alternatif Pengembangan Obyek Wisata Alam Bumi Perkemahan Pasir Batang adalah meningkatkan promosi pada pengunjung, Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM, Penambahan