• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Kualitas ini akan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Kualitas ini akan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah

Kemampuan suatu bangsa untuk mampu bersaing di era globalisasi, sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Kualitas ini akan tercapai dengan adanya sistem pendidikan yang memadai dan merata terhadap seluruh lapisan masyarakat.

Sila ke-lima Pancasila yang mendasari kesejahteraan sosial yang berkeadilan, dan pasal 31 UUD 1945 menyiratkan adanya komitmen yang mewajibkan pemerintah untuk menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang baik dan merata. Fungsi Pendidikan Nasional seperti dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Menyadari tugas berat untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang tertuang dalam Pancasila, UUD 1945, dan UU SISDIKNAS tersebut, pemerintah mencanangkan program pendidikan dasar wajib belajar untuk semua anak Indonesia. Pertama dengan wajib belajar 6 tahun (Mei 1984),

(2)

lalu ditingkatkan menjadi 9 tahun (Mei 1994). Dalam perencanaannya, wajib belajar sembilan tahun akan terpenuhi pada tahun 2004, yaitu sepuluh tahun sejak pencanangannya. Untuk mensukseskan program ini, pemerintah berusaha membangun sarana dan prasarana yang dibangun untuk mengakomodasi seluruh anak usia sekolah yang dikenakan wajib sekolah.

Pendidikan dasar di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1994 tentang penyelenggaraan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) sembilan Tahun, menerangkan bahwa pendidikan dasar yaitu program yang meliputi pendidikan selama sembilan tahun yang dilaksanakan enam tahun di SD dan atau sederajat, dan tiga tahun di SLTP dan atau sederajat hingga tamat. Secara makro indikator keberhasilannya adalah Angka Partispasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM).

Angka Partisipasi Kasar adalah angka yang menunjukkan persentase jumlah siswa SD atau SMP (Sederajat), dibandingkan dengan penduduk usia sekolah untuk jenjang tersebut, dicari dengan rumus berikut

APKSD = Jumlah Siswa Sekolah Dasar

Jumlah Penduduk Usia 7-12 Tahun APKSMP = Jumlah Siswa SMP / MTs

Jumlah Penduduk Usia 7-12 Tahun

Sedangkan Angka Pertisipasi Murni adalah angka yang menunjukkan persentase jumlah siswa SD atau SMP berusia 7-12 tahun dan 13-15 tahun yang sedang bersekolah, dibandingkan jumlah penduduk usia 7-12 dan 13-15 tahun. APM dapat dicari dengan rumus berikut

(3)

APMSD = Jumlah Siswa Sekolah Dasar Usia 7-12 Tahun

Jumlah Penduduk Usia 7-12 Tahun APMSMP = Jumlah Siswa SMP/MTs usia 13-15 Tahun

Jumlah Penduduk Usia 13-15 Tahun

Wajib belajar merupakan pendidikan masa yang wajib diikuti oleh setiap warga negara dalam kelompok usia tertentu, yang merupakan cerminan kemampuan politis suatu bangsa. Kamars (1989: 28) mengungkapkan wajib belajar sebagai “Compulsory Education” ialah wajib bagi anak-anak yang berusia enam tahun untuk memasuki pendidikan dasar selama beberapa tahun sesuai dengan ketentuan negara yang bersangkutan.

Dengan kata wajib, berarti pemerintah harus menyediakan semua fasilitas belajar bagi anak-anak usia sekolah, baik ruang belajar, peralatan, transportasi, sarana bermain, hingga guru yang kompeten di bidangnya. Bahkan bagi anak-anak yang kurang beruntung, mendapatkan pembebasan seluruh biaya sekolah, jika perlu diberikan uang saku agar orang tuanya tidak sampai berfikir menyekolahkan anaknya sebagai beban.

Pada kenyataannya, tiga tahun setelah batas waktu dari rencana tersebut, Angka Partisipasi Murni penduduk Indonesia masih jauh dari target, berdasarkan berita yang dirilis situs resmi Depdiknas, APM tingkat SMP di Indonesia masih berada pada kisaran 75%, padahal seharusnya sudah diatas 85% sebagai indikator keberhasilan program ini. Bahkan McRay (Suyanto:2001:189) mengatakan pembangunan pendidikan di negara-negara berkembang belum mendapat skala prioritas yang tinggi, seakan-akan para elit politik belum menyadari bahwa melalui pendidikanlah

(4)

tantangan dan ancaman masa depan kehidupan akan dijawab. McRay juga menulis bahwa mutu pendidikan yang baik adalah satu rujukan kemajuan ekonomi bangsa-bangsa Asia Timur disamping empat faktor lainnya, yaitu (1) keluwesan untuk melakukan diversifikasi produk sesuai tuntutan pasar, (2) kemampuan penguasan teknologi dengan cepat, (3) besarnya tabungan masyarakat, dan (4) etos kerja yang tinggi.

Belum tuntasnya program wajib belajar di Indonesia bisa dilihat dari APK dan APM di suatu daerah. APK SD tahun 2005 mencapai 109 % dengan Angka Partisipasi Murni mencapai 88 %. Artinya, sejak dicanangkan Wajib Belajar Enam Tahun tahun 1984, setelah 21 tahun, masih ada anak usia 7-12 tahun yang tidak mendapat pendidikan SD. Hal yang lebih parah terjadi di jenjang SLTP. Dimana APK tahun 2005 mencapai 79 % sedangkan APM nya hanya 68%. Hal ini menunjukan bahwa masih banyak anak usia 13-15 tahun yang tidak memperoleh akses hingga tingkat SMP/sederajat dengan berbagai penyebab.

Masalah yang sama terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia, salah satunya yang terjadi di Jawa Barat. Seperti terlihat dalam tabel di bawah ini

(5)

Tabel 1.1

Angka Partisipasi Sekolah, Angka Partisipasi Kasar, dan Angka Partisipasi Murni

Menurut Wilayah dan Kelompok Usia,

Tahun 2005

Angka Partisipasi Sekolah (APS) *)

Angka Partisipasi Kasar (APK)

Angka Partisipasi Murni (APM) Usia 7-12 13-15 SD SLTP SD SLTP KABUPATEN 1 BOGOR 94.51 69.86 104.22 65.08 92.23 53.65 2 SUKABUMI 94.83 71.02 101.71 73.32 93.60 52.67 3 CIANJUR 98.27 66.30 103.04 64.25 95.55 50.79 4 BANDUNG 97.09 80.34 102.87 79.00 95.12 70.18 5 GARUT 96.02 74.38 99.92 76.06 93.59 61.12 6 TASIKMALAYA 96.58 74.26 104.63 74.70 95.56 50.90 7 CIAMIS 96.60 84.11 100.58 84.41 95.82 56.33 8 KUNINGAN 97.30 79.72 104.30 80.99 94.42 61.15 9 CIREBON 97.22 73.17 107.19 75.72 96.98 52.89 10 MAJALENGKA 98.52 81.10 103.51 78.83 95.67 60.61 11 SUMEDANG 98.90 91.84 105.58 91.69 95.21 80.93 12 INDRAMAYU 95.85 74.07 104.07 74.50 94.94 63.16 13 SUBANG 98.05 87.06 109.31 91.74 96.11 69.24 14 PURWAKARTA 95.33 78.25 96.04 82.48 94.81 63.54 15 KARAWANG 97.06 79.53 102.03 80.36 96.32 65.01 16 BEKASI 98.32 91.56 106.18 82.30 94.66 65.37 KOTA 17 BOGOR 98.55 88.73 113.08 89.85 94.13 74.09 18 SUKABUMI 99.26 95.10 101.90 101.93 94.40 82.44 19 BANDUNG 97.66 92.98 102.62 103.36 92.66 88.51 20 CIREBON 96.32 90.58 101.83 98.80 90.98 78.06 21 BEKASI 99.10 96.62 108.44 98.39 97.00 86.53 22 DEPOK 96.26 92.91 108.56 107.78 90.85 86.14 23 CIMAHI 98.79 98.75 106.05 111.59 92.11 83.66 24 TASIKMALAYA 97.35 89.16 103.60 96.69 96.24 80.96 25 BANJAR 95.13 89.15 110.02 89.13 94.01 72.80 Propinsi 96.68 78.75 103.96 77.34 93.87 61.97 *) APS = Persentase usia siswa yang sedang bersekolah yang sesuai dengan jenjangnya Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Barat

(6)

Dari tabel tersebut kita dapat melihat, rata-rata APK SD sudah mencapai 103%, sedangkan APM mencapai 93,87%, artinya masih ada anak usia sekolah SD yang tidak mengikuti pendidikan SD. Untuk tingkat SLTP, APK Jawa Barat berada di angka 77,34 % sedangkan APM sebesar 61,97 %. Bila dibandingkan antara APK SD yang sebesar 103% dan SLTP 77,34%, ada 25,66% lulusan SD tidak melanjutkan atau tidak menyelesaikan pendidikan dasarnya di SLTP.

Salah satu Kabupaten yang menjadi fokus penelitian ini adalah Kabupaten Bekasi, dimana tingkat keberhasilan penuntasan wajib belajar terlihat dalam tabel berikut ini

Tabel 1.2

Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi Kasar Menurut Tingkat Sekolah di Kabupaten Bekasi

No Tingkat Sekolah (APM/APK) 2001/2002 2005/2006

Jumlah Siswa 2005/2006

(1) (2) (3) (4) (5)

1 Sekolah Dasar

- Angka Partisipasi Murni (APM) 94,22 97,05

- Angka Partisipasi Kasar (APK) 101,02 113,03

Bersekolah 266.566 Tidak bersekolah 8.090

2 SLTP

- Angka Partisipasi Murni (APM) 73,81 78,48

- Angka Partisipasi Kasar (APK) 90,69 106,82

Bersekolah 115. 892 Tidak Bersekolah 31.780

Sumber: Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Bekasi

Kondisi Kabupaten Bekasi yang menjadi lokasi penelitian, secara geografis hanya berjarak 45 Km dari Ibukota negara pun tidak terlepas dari

(7)

masalah buruknya angka partisipasi belajar ini. Situs Resmi Pemerintah Privinsi DKI Jakarta merilis berita, APM untuk SD pada akhir 2006 sudah mencapai 94,23% dan 88,68 untuk APM SLTP. Bila dilihat dari tabel di atas, perkembangan dari tahun 2002 hingga 2006 tidak terlalu baik. APM SLTP meningkat kurang dari 5% sejak tahun 2002, yaitu dari 73,81 menjadi 78,48 hal ini mengindikasikan masih banyaknya anak usia sekolah SLTP yang tidak bersekolah sehingga pencapaian wajib belajar masih jauh dari sasaran. Begitu pula yang terjadi khususnya di kecamatan Cibarusah dimana dari hasil perhitungan berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Depdiknas Kabupaten Bekasi, APM SLTP di Cibarusah berada pada tingkat 75,95%, padahal target secara Nasional harus mencapai angka ideal 85%.

Masih rendahnya angka partisipasi murni mengindikasikan masih banyaknya anak usia sekolah yang tidak mendapatkan pendidikan baik di tingkat sekolah dasar maupun sekolah lanjutan tingkat pertama. Partisipasi murni di tingkat sekolah dasar sudah cukup baik, akan tetapi angka partisipasi di tingkat SLTP masih rendah, berarti banyak anak lulusan SD yang tidak melanjutkan atau putus sekolah di SLTP.

Abin Syamsuddin (Manap. 1993: 64) mengklasifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi kelanjutan pendidikan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Eksternal meliputi: (1) faktor sosial ekonomi, yakni masih lemahnya kemampuan ekonomi masyarakat, (2) faktor sosial budaya, dimana masih terkendala oleh aspirasi dan tradisi masyarakat yang kurang menunjang pendidikan yang tinggi. (3) faktor sosial demografis yaitu terkait masalah komposisi penduduk, diperkotaan yang padat, sedangkan di

(8)

pedesaan penduduknya sangat terpencil, dan (4) faktor iklim geografis yang kurang menguntungkan.

Faktor Internal yang mempengaruhi kelanjutan pendidikan menurut

Abin Syamsuddin adalah: (1) faktor output pendidikan yang tidak sesuai dengan harapan dunia kerja, (2) faktor masukan dasar dimana latar belakang siswa yang belum mampu menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan, (3) faktor masukan, yaitu masih terbatasnya sumber-sumber belajar, (4) faktor lingkungan tempat tinggal siswa, dan (5) faktor proses pendidikan, yaitu kemampuan manajerial seluruh aparat sekolah.

Begitu pula di Kabupaten Bekasi. Tingginya anak yang putus sekolah sebagian besar diduga karena keadaan lingkungan ekonomi masyarakat yang mayoritas berpenghasilan rendah sehingga tidak mampu menyekolahkan anaknya. Negara pun dinilai tidak berpihak kepada kebutuhan pendidikan ini, komposisi anggaran untuk pembiayaan pendidikan masih lebih kecil dari anggaran untuk membiayai perekonomian. Padahal para ahli telah banyak berpendapat tentang pentingnya peran pemerintah dalam pendidikan salah satunya Schultz (Dachnel Kamars, 1989:7) berpendapat bahwa investasi dalam pendidikan bagi seseorang nantinya akan meningkatkan daya beli atau konsumsi dan juga memperbesar pendapatan. Itu artinya semakin besar investasi yang ditanamkan untuk membuat penduduk pintar, dengan sendirinya akan meningkatkan penghasilan dan daya beli penduduk yang akan berpengaruh positif terhadap perekonomian.

(9)

Lalu masalah lokasi sekolah yang masih terkonsentrasi di dekat pusat pemerintahan kecamatan menyebabkan banyak anak kesulitan mencapai lokasi sekolah, sehingga transportasi dan waktu tempuh menjadi kendala. Selain itu, Anggapan masyarakat bahwa menyekolahkan anak lebih tinggi hanya akan merugikan keluarga, dengan sekolah anak-anak akan malas dan tidak memiliki waktu untuk bekerja membantu orang tua, makin pandai, dan melawan kehendak orang tua.

Kemudian budaya masyarakat yang menganggap pendidikan tidak terlalu dibutuhkan terutama bagi anak perempuan, diduga memberi kontribusi yang cukup besar terhadap masih banyaknya anak yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar.

Harapan masyarakat agar pendidikan bisa menunjang dalam mendapatkan pekerjaan juga diduga menyebabkan masyarakat enggan meneruskan sekolah, karena ada anggapan “sarjana saja sulit mendapat pekerjaan” melekat sejak dulu.

Penulis merasa tertarik untuk meneliti faktor apa saja yang menyebabkan masih tingginya angka putus sekolah yang diindikasikan dengan masih banyaknya anak yang belum menuntaskan pendidikan dasarnya sehingga menjadi kendala dalam program Wajar Dikdas sembilan tahun di Kabupaten Bekasi. Sehingga penulis memutuskan memilih judul:

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN

ANAK DALAM MENYELESAIKAN PENDIDIKAN DASAR

SEMBILAN TAHUN DI KECAMATAN CIBARUSAH KABUPATEN BEKASI

(10)

1. 2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun adalah terdiri dari faktor internal dan eksternal, yaitu keadaan sosial ekonomi keluarga, sosial budaya masyarakat, sosial demografis, iklim geografis yang kurang menguntungkan, kehidupan dalam keluarga, administrasi sekolah, keadaan psikologi anak, dan kelelahan jasmani.

Dari faktor-faktor tersebut, hasil-hasil penelitian terdahulu dan pengamatan penulis, maka permasalahannya akan dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh pendapatan keluarga terhadap keberhasilan anak dalam menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun di kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi?

2. Bagaimana pengaruh lokasi sekolah terhadap keberhasilan anak dalam menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun di kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi?

3. Bagaimana pengaruh budaya terhadap keberhasilan anak dalam menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun di kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi?

4. Bagaimana pengaruh harapan pekerjaan lulusan terhadap keberhasilan anak dalam menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun di kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi?

5. Bagaimana pengaruh pendapatan keluarga, lokasi, budaya, dan harapan pekerjaan secara simultan terhadap keberhasilan anak dalam

(11)

menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun di kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pendapatan keluarga terhadap keberhasilan anak dalam menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun di kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh lokasi sekolah terhadap keberhasilan anak dalam menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun di kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi

3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh budaya terhadap keberhasilan anak dalam menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun di kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi

4. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh harapan pekerjaan lulusan terhadap keberhasilan anak dalam menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun di kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi

5. Untuk mengetahui bagaimana pendapatan keluarga, lokasi, budaya, dan harapan pekerjaan secara simultan terhadap keberhasilan anak dalam menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun di kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi

(12)

1.3.2 Manfaat penelitian

a. manfaat ilmiah

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya untuk dunia pendidikan

b. manfaat praktis

Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah khususnya Tim Penuntasan Wajib Belajar Sembilan Tahun Kabupaten Bekasi.

1.4 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan perumusan masalah di atas, tulisan ini akan mengkaji mengenai pendapatan keluarga, lokasi sekolah, budaya, dan harapan memperoleh pekerjaan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi penyelesaian pendidikan dasar yang diindikasikan dengan tingkat putus sekolah yang masih tinggi sehingga berpengaruh terhadap keberhasilan program pendidikan dasar 9 tahun di Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi.

Wajib belajar yang dalam bahasa inggris disebut Compulsory Education adalah kewajiban bagi anak yang telah berusia 6 tahun untuk memasuki pendidikan dasar sesuai dengan ketentuan negara yang bersangkutan. Sehingga negara harus memastikan semua anak berada di bangku sekolah tanpa terkecuali. Dengan kata wajib berarti segala penghambat anak untuk mendapat pendidikan harus dikenai sanksi yang

(13)

memberatkan bagi pelakunya, dan atau memberi penghargaan bagi semua pihak yang melaksanakan kewajiban ini. (Kamars, 1989: 29)

Wajib Belajar 9 tahun di Indonesia mengandung arti sebagai Universal basic education yaitu terbukanya kesempatan secara luas bagi semua peserta didik untuk memasuki pendidikan dasar. Sifatnya hanya hanya preventif, sasaran utamanya adalah menumbuhkan aspirasi orang tua terhadap pendidikan dan peserta didik untuk memasuki pendidikan dasar tanpa memberikan sanksi apapun kepada mereka yang enggan menyekolahkan anak-anaknya.

Keberhasilan suatu program pelajar bisa dilihat dari sejauh mana kenyataan di lapangan menyimpang dari perangkat tujuan-tujuan pendidikan yang telah direncanakan. Bloom (Abin Syamsudin, 2002:26-27) merinci keberhasilan belajar dilihat dari taksonomi perilaku manusia yang sismatikanya disusun secara meningkat yang berorientasi pada perilaku (behavioral objectives) yang dapat diamati (observable) dan dapat diukur (measurable) secara ilmiah (scientific). Yaitu kawasan kognitif, kawasan afektif, dan kawasan konatif / psikomotor.

Berbicara mengenai perilaku manusia, pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang lebih beradab, dan maju dari asalnya sebagai manusia primitif atau tradisional, menjadi masyarakat yang modern. Pendidikan mengharapkan terbentuknya manusia yang modern (Pudjiwati. 1985: 113-115). Pudjiwati secara panjang lebar menjelaskan tentang manusia modern, yang pada intinya manusia modern adalah yang menaruh

(14)

perhatian dan menilai tinggi hal yang bersifat material, bersikap terbuka terhadap perubahan, penuh perencanaan hidup, dan menghargai waktu.

Seorang yang modern juga sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta percaya bahwa hidup tidak selalu pasrah kepada nasib. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari akan berorientasi ke masa depan, berani mengambil risiko untuk mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya, memiliki jiwa yang sabar dan tabah, dan mampu hidup bekerjasama secara disiplin dan penuh tanggung jawab.

Untuk membentuk masyarakat modern dibutuhkan proses dan waktu yang sangat panjang. Di sinilah fungsi pendidikan sangat berperan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih maju. Pendidikan harus bisa membentuk watak manusia yang lebih berkembang dalam segala kondisi. Oleh karenanya perlu diciptakan suatu kondisi khusus yang mendukung keberhasilan proses modernisasi manusia di dunia ini.

Dalam pandangan behaviorisme, praktik pendidikan itu pada hakikatnya merupakan usaha conditioning (penciptaan seperangkat stimulus) yang diharapkan menghasilkan pola-pola perilaku tertentu, yaitu prestasi belajar, sikap, dan keterampilan. Sehingga dapat dinilai arah perubahan dan perkembangan (positif, negatif, atau meragukan) serta dapat ditentukan kualifikasinya (tinggi, sedang, rendah, gagal/berhasil, memadai/tidak memadai, lulus/tidak lulus, memuaskan/tidak memuaskan, dapat diterima/tidak diterima) berdasarkan perangkat kriteria yang telah ditetapkan. Semuanya akan tergantung pada faktor S (conditioning, pendidikan) di samping faktor O (siswanya, pelajar) itu sendiri.

(15)

Abin Syamsuddin (Manap. 1993: 64) mengklasifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi kelanjutan pendidikan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Eksternal meliputi: (1) faktor sosial ekonomi, yakni masih lemahnya kemampuan ekonomi masyarakat, (2) faktor sosial budaya, dimana masih terkendala oleh aspirasi dan tradisi masyarakat yang kurang menunjang pendidikan yang tinggi. (3) faktor sosial demografis yaitu terkait masalah komposisi penduduk, diperkotaan yang padat, sedangkan di pedesaan penduduknya sangat terpencil, dan (4) faktor iklim geografis yang kurang menguntungkan.

Faktor Internal yang mempengaruhi kelanjutan pendidikan menurut

Abin Syamsuddin adalah: (1) faktor output pendidikan yang tidak sesuai dengan harapan dunia kerja, (2) faktor masukan dasar dimana latar belakang siswa yang belum mampu menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan, (3) faktor masukan, yaitu masih terbatasnya sumber-sumber belajar, (4) faktor lingkungan tempat tinggal siswa, dan (5) faktor proses pendidikan, yaitu kemampuan manajerial seluruh aparat sekolah.

C. E. Beeby seperti yang dikutip Manap Somantri (1993: 66) dalam tesisnya mengatakan Metode apapun yang dipakai dan di tingkat sekolah yang mana saja yang diteliti. Semua peneliti berkesimpulan bahwa putus sekolah lebih merupakan masalah sosial-ekonomi daripada masalah pendidikan. Beeby juga mengemukakan faktor geografis menjadi kendala dalam mencapai ketuntasan belajar. Banyak daerah-daerah yang sanga jauh dari lokasi sekolah, dengan sarana transportasi yang belum memadai atau belum ada sama sekali.

(16)

Edward dan Bruner (Manap. 1993: 16) menjelaskan hasil temuannya bahwa rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat mengurangi hasrat orang tua dan juga semangat anak untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan mayoritas orang tua lebih merasa tertolong jika anaknya dapat membantu pekerjaannya atau bekerja untuk menunjang pendapatan keluarga.

Engkoswara (Manap. 1993: 16) lebih melihat pada nilai ekonomik dari hasil pendidikan yakni nilai jualnya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik masih belum seimbang bila dibandingkan dengan biaya yang sudah dikeluarkan untuk mencapai tingkat pendidikan tertentu.

Pendidikan yang berhasil harus mendapatkan dukungan dari semua pihak. Selain pemerintah yang menyediakan sistem pendidikan, biaya, sarana dan prasarana, setiap kebijakan pendidikan secara umum harus mendapatkan respon dan dukungan dari masyarakat, sepeti tertuang dalam pasal 8 dan 9 UU NO. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menghendaki masyarakat untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan, juga berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Masalah besar akan timbul bila masyarakat tidak peduli dalam melaksanakan perannya dalam pendidikan, maka untuk menekan rendahnya dukungan masyarakat, Idrus Sugandi (Manap. 1993: 25) menawarkan sejumlah upaya yaitu

1. menetapkan sanksi bagi yang tidak mendukung progam ini 2. menawarkan hadiah bagi masyarakat yang aktif berpartisipasi 3. melakukan pendekatan secara pribadi

(17)

4. memberikan himbauan moral

5. memanfaatkan tokoh-tokoh yang berpengaruh di masyarakat untuk ikut berkampanye

6. mengkaitkan masyarakat dalam implementasi kebijakan dengan kepentingan mereka

Berdasarkan teori-teori di atas, penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa putus sekolah yang banyak terjadi, dipengaruhi oleh:

1. Penghasilan orang tua, semakin tinggi penghasilan orang tua, kemungkinan anak untuk putus sekolah akan semakin rendah, sehingga berpengaruh positif terhadap keberhasilan anak menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun

2. Lokasi sekolah. Semakin sulit mencapai lokasi sekolah baik karena jarak maupun sulitnya transportasi akan menyebabkan anak untuk putus sekolah, sehingga berpengaruh negatif terhadap keberhasilan anak menyelesaikan pendidikan dasar

3. Budaya masyarakat. Masyarakat masih belum menghargai nilai-nilai pendidikan menyebabkan anak semakin mudah untuk putus sekolah, maka pengaruhnya terhadap keberhasilan anak menyelesaikan pendidikan dasar adalah positif. Artinya semakin masyarakat menghargai nilai-nilai pendidikan, keberhasilan anak menyelesaikan pendidikan dasar akan semakin baik

4. Harapan lulusan SLTP untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik masih rendah, sehingga menyebabkan anak untuk putus sekolah, akibatnya pengaruh terhadap keberhasilan anak menyelesaikan pendidikan dasar akan positif, artinya semakin tinggi harapan mendapat

(18)

pekerjaan yang lebih baik, maka keberhasilan anak menyelesaikan pendidikan dasar akan semakin baik.

5. Pendapatan keluarga, lokasi, budaya, dan harapan pekerjaan secara simultan berpengaruh terhadap keberhasilan anak dalam menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun

Dari penjelasan di atas, maka dapat dirumuskan dalam kerangka pemikiran sebagai berikut:

Keterangan:

X1 = Pendapatan Keluarga X2 = Lokasi Sekolah X3 = Budaya

X4 = Harapan Pekerjaan Lulusan

Y = Persentase Ketuntasan Pendidikan Dasar 9 Tahun

Harapan Pekerjaan (X4) Budaya (X3) Lokasi Sekolah (X2) Pendapatan Keluarga (X1) Keberhasilan Anak dalam Menyelesaikan Pendidikan Dasar 9 Tahun (Y)

(19)

1.5 Hipotesis

Menurut Moh Nazir Ph.D., menjelaskan definisi hipotesis sebagai berikut:

“Hipotesa tidak lain dari jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Hipotesa menyatakan hubungan apa yang kita cari atau yang ingin kita pelajari. Hipotesa adalah pernyataan yang diterima secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya, pada saat fenomena dikenal dan merupakan dasar kerja serta panduan dalam verifikasi”

1.5.1 Hipotesis Mayor

Pendapatan keluarga, lokasi, budaya, dan harapan pekerjaan secara simultan berpengaruh terhadap keberhasilan anak dalam menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun

1.5.2 Hipotesis Minor

1. Pendapatan keluarga berpengaruh terhadap tingkat ketuntasan dalam penyelesaian Wajar Dikdas sembilan tahun di kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi

2. Lokasi sekolah berpengaruh terhadap tingkat ketuntasan dalam penyelesaian Wajar Dikdas sembilan tahun di kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi

3. Budaya berpengaruh terhadap tingkat ketuntasan dalam penyelesaian Wajar Dikdas sembilan tahun di kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi 4. Harapan pekerjaan lulusan berpengaruh terhadap tingkat ketuntasan dalam penyelesaian Wajar Dikdas sembilan tahun di kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi

(20)

1.6 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

Bab ini akan membahas mengenai latar belakang masalah, identifikasi dan perumusan masalah, tinjauan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis, dan sistematika penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan konsep mengenai keberhasilan belajar dan investasi dalam pendidikan, konsep dari pendapatan, lokasi sekolah, budaya, dan harapan mendapat pekerjaan

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan objek penelitian, metode penelitian, populasi dan sampel, operasionalisasi variabel, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, teknik analisa data dan pengujian hipotesis.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian serta implementasinya terhadap pendidikan.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisikan tentang kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran yang diberikan penulis dengan tetap mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan .

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan sirup glukosa dengan cara hidrolisis asam dari tepung kulit ketela pohon, serta mencari pengaruh suhu, waktu

 Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi

dalam jabatan struktural di lingkungan Pemerintah Daerah Kota berdasarkan Keputusan Wali Kota dapat diberikan TPP dibayarkan sesuai dengan jabatan yang tercantum

Cell Group adalah kelompok yang terdiri dari beberapa orang yang mempunyai waktu khusus untuk berkumpul bersama tiap minggu dan ada ikatan kuat di antara para

Apabila pendidikan perempuan cukup tinggi, maka perempuan dapat meningkatkan rasa percaya diri, wawasan dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang baik bagi diri dan

Dengan pesatnya perkembangan dalam hal kreatifitas saat ini, mendorong para pengusaha harus memiliki ide-ide yang kreatif dalam menjalankan usahanya agar dapat

Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa dengan penggunaan metode PERT dan CPM dalam melakukan penjadwalan proyek dapat membantu