• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN. A. Sejarah dan Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN. A. Sejarah dan Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Sejarah dan Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

1. Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (selanjutnya disingkat YLKI) pada bulan Mei 1973. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen seperti yang dilakukan YLKI dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atas konsumen.20

Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk membantu konsumen agar hak-hak nya bisa terlindungi. Di samping itu, tujuan YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga bisa melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya.21 Setelah YLKI, muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat LP2K) di Semarang yang berdiri sejak Februari 1988 dan pada tahun 1990 bergabung sebagai anggota Consumers International (CI), Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia

20 Happy Susanto, Op.Cit., hal. 9. 21

(2)

(selanjutnya disingkat YLBKI) dan perwakilan YLK di berbagai provinsi di Tanah Air.22

Gerakan konsumen Indonesia terus mengalami perkembangan, termasuk yang diprakarsai oleh YLKI mencatat prestasi besar setelah naskah akademik UU No. 8 Tahun 1999 berhasil dibawa ke DPR.23

Gerakan dan perjuangan untuk mewujudkan sebuah undang-undang tentang perlindungan kosumen dilakukan selama bertahun-tahun. Baru pada era reformasi, keinginan terwujudnya UU No. 8 Tahun 1999 bisa terpenuhi. Pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie, tepatnya pada tanggal 20 April 1999, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat RUUPK) secara resmi disahkan sebagai UU No. 8 Tahun 1999 . Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan ke dalam koridor suatu sistem hukum perlindungan konsumen yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional.24

Kuatnya tekanan dari dunia Internasional menjadi salah satu andil yang mendorong bagi YLKI dalam kehadiran UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, dan tanpa mengurangi terhadap upaya yang terus-menerus dilakukan oleh YLKI. Setelah pemerintah RI mengesahkan UU No. 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreemeent Estabilizing the world Trade Organization), maka ada kewajiban bagi Indonesia untuk mengikuti standar-standar hukum yang

22 Celina Tri Siwi Kristyanti, Op.Cit., hal. 15. 23Ibid., hal.17

24

(3)

berlaku dan diterima luas oleh negara-negara anggota WTO. Salah satu di antaranya adalah perlunya eksistensi UU No. 8 Tahun 1999.25

2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen merupakan istilah yang seringkali disama artikan. Ada yang beranggapan bahwa hukum konsumen adalah juga hukum perlindungan konsumen. Namun ada pula yang membedakannya, dengan berpendapat bahwa baik mengenai substansi maupun mengenai luas lingkupnya adalah berbeda satu sama lain.

M. J. Leder menyatakan bahwa “In a sense there is no such creature as consumer law”.26 Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe, yakni “…rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploited”.27

Konsumen berada pada posisi yang lemah, maka konsumen harus dilindungi oleh hukum yang sifat dan tujuannya adalah memberikan perlindungan atau pengayoman terhadap masyarakat. Jadi, bisa dikatakan bahwa sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit untuk dipisahkan dan ditarik batasannya. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas.

Az. Nasution berpendapat bahwa “hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.” Adapun, menurut Az. Nasution

25 Celina Tri Kristiyanti, Op.Cit., hal.18.

26 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), hal. 9. 27

(4)

yang dimaksud dengan hukum konsumen adalah “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk barang dan/atau jasa, antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.”28 Sedangkan mengenai hukum perlindungan konsumen didefinisikannya sebagai “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.”29

Adapun yang masih belum jelas dari pernyataan Az. Nasution berkaitan dengan kaidah-kaidah hukum perlindungan konsumen yang senantiasa bersifat mengatur. Apakah kaidah yang bersifat memaksa, tetapi memberikan perlindungan kepada konsumen tidak termasuk dalam hukum perlindungan konsumen?30 Untuk jelasnya, dapat dilihat dari ketentuan Pasal 383 KUHP berikut ini:

Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli:

a. karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli;

b. mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan dengan menggunakan tipu muslihat.

Seharusnya ketentuan memaksa dalam Pasal 383 KUHP juga memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam wilayah hukum perlindungan konsumen. Artinya, inti persoalannya bukan terletak pada kaidah yang harus “mengatur” atau “memaksa”. Dengan demikian, seharusnya dikatakan, hukum konsumen berskala lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen didalamnya. Salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungan, misalnya bagaimana cara

28 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Daya

Widya, 1999), hal. 23.

29Ibid. 30

(5)

konsumen untuk mempertahankan hak-hak yang dimilikinya terhadap gangguan dari pihak lain.

B. Peraturan Tentang Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum Perlindungan Konsumen yang berlaku di Indonesia telah memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti tersebut, barulah perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh keyakinan. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa di Indonesia telah banyak dikeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan konsumen mulai dari tingkat undang-undang sampai pada peraturan-peraturan tingkat menteri dan peraturan-peraturan instansi di bawahnya. Di antara peraturan-peraturan perundang-undangan itu, ada yang dibuat sejak sebelum masa kemerdekaan dan kini masih berlaku setelah mengalami penyesuaian, perubahan, atau penambahan sesuai dengan kebutuhan.31

Berdasarkan hasil di dalam Country Report delegasi Indonesia pada ASEAN Consumer Protection Seminar, yang diselenggarakan di Manila pada 30 September sampai 4 Oktober 1980 antara lain, dimuat lampiran perundang-undangan yang ada hubungannya dengan pelindungan konsumen, yaitu yang berhubungan dengan barang dan jasa sebanyak 18 buah, pengawasan mutu dan keamananan barang sebanyak 41 buah, perdagangan sebanyak 8 buah, dan masalah lingkungan hidup sebanyak 10 buah. Sedangkan dalam Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen pada tanggal 16 sampai

31

(6)

18 Oktober 1980 di Jakarta, R. Sianturi menyebutkan sebanyak 199 buah peraturan dibidang kesehatan terdiri atas obat-obatan sebanyak 56 buah, makanan dan minuman sebanyak 15 buah, bidang kosmetika dan alat kesehatan sebanyak delapan (8) buah dan jasa pelayanan kesehatan sebanyak empat puluh (40) buah.

Setelah tahun 1980 tentu masih banyak lagi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen yang telah di keluarkan oleh pemerintah, terutama peraturan yang lebih rendah dari undang-undang berkaitan dengan program deregulasi disegala bidang yang digalakkan sejak tahun 1988. Namun membuat peraturan perlindungan konsumen dalam satu undang-undang tersendiri barulah terelisasi melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang diundangkan pada tanggal 20 April tahun 1999 dalam Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, dan berlaku efektif satu tahun setelah diundangkan yaitu sejak tanggal 20 April 2000.

Sebelum undang-undang ini lahir, sekurang-kurangnya telah ada dua Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Konsumen; pertama yang dipersiapkan oleh YLKI dan yang kedua dipersiapkan oleh Tim Kerja Sama Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Selain itu telah dilangsungkan pula berbagai pertemuan ilmiah yang membahas dan mengkaji perlindungan hukum terhadap konsumen ini. Tetapi peraturan perundang-undangan umum yang berlaku memuat juga berbagai kaidah menyangkut hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen setidak-tidaknya ia merupakan sumber agar juga dari

(7)

hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Alasan yang dapat dikemukakan untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur dan melindungi kepentingan konsumen dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Konsumen memerlukan pengaturan tersendiri, karena dalam suatu hubungan hukum dengan penjual, konsumen merupakan pengguna barang dan jasa untuk kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diproduksi ataupun diperdagangkan.

2. Konsumen memerlukan sarana atau acara hukum tersendiri sebagai upaya guna melindungi atau memperoleh haknya.32

Selain UUPK ada beberapa peraturan perundang-undangan yang baik secara khusus ataupun tidak secara khusus mengatur dan berkaitan dengan perlindungan konsumen, yaitu:33

a. Peraturan Umum

yaitu peraturan perundang-undangan yang tidak secara khusus mengatur tentang perlindungan konsumen, yaitu:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23, Bagian Hukum Perikatan (Buku III), khususnya mengenai wanprestasi (Pasal 1236 dan seterusnya) dan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 dan seterusnya).

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang.

32 Celina Tri Kristiyanti, Op.Cit., hal.49. 33

(8)

4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene.

5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Pendaftaran Gedung. 6) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan di Daerah.

7) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal. 8) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar

Perusahaan.

9) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene untuk Usaha-Usaha Umum.

10) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. 11) Ordonasi tentang Barang Berbahaya, Stbl. 1949-337.

12) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.

13) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

14) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistikan. 15) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan

Industri.

16) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Argreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

(9)

17) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas.

18) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

19) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang sudah diganti dnegan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

20) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta.

21) Undang-Undang Nomor 13 tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten.

22) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek.

23) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

24) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran.

25) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentng Penyelesaian Perselisihan Hubungan

(10)

Industrial serta Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

26) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1989 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

27) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

28) Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2015 tentang Kementerian Perdagangan.

29) Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok.

30) Peraturan Walikota Medan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok.

b. Peraturan Khusus

Peraturan khusus yaitu peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan konsumen, diantaranya yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

(11)

4) Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

5) Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, Dan Kota Makassar.

6) Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2004 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Kupang, Kota Samarinda, Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kota Kediri, Kota Mataram, Kota Palangkaraya, Dan Pada Kabupaten Kupang, Kabupaten Belitung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Serang, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Dan Kabupaten Jeneponto.

7) Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Padang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Indramayu Dan Kabupaten Bandung.

8) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2006 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Pekalongan, Kota Parepare, Kota Pekanbaru, Kota Denpasar, Kota Batam, Kabupaten Aceh Utara Dan Kabupaten Serdang Bedagai.

(12)

9) Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Kota Banjarmasin, Kota Cirebon, Kota Surakarta, Kota Magelang, Dan Kota Tanjung Pinang, Serta Pada Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Aceh Tengah Dan Kabupaten Bener Meriah.

10) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Kota Tebing Tinggi, Kota Binjai, Dan Kabupaten Bogor.

11) Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Kota Serang, Kota Kendari, Kota Bukittinggi, Kota Singkawang, Kota Pontianak, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Karawang, Dan Kabupaten Batu Bara.

12) Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Paser, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Barru, dan Kabupaten Cirebon, serta Kota Bandar Lampung, dan Kota Tanjung Balai.

13) Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2012 tentang Penetapan Keanggotaan Indonesia pada Consumers International (Konsumen Internasional).

14) Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2012 tentang Hari Konsumen Nasional.

(13)

15) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 13/M-DAG/PER/3/2010 tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

16) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 38/M-DAG/PER/12/2011 tentang Pengalihan Pelaksanaan Kewenangan Di Bidang Standardisasi Perlindungan Konsumen, Metrologi Legal dan Pengawasan Barang Beredar Dan Jasa.

17) Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota.

18) Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.

Peraturan perundang-undangan yang mengandung aspek perlindungan konsumen itu dapat dikelompokkan ke dalam empat bagian besar, yaitu bidang perindustrian, perdagangan, kesehatan, dan lingkungan hidup. Dengan berlakunya UUPK tersebut, maka ketentuan dalam perundang-undangan sebelumnya masih dapat berlaku sejauh belum diatur yang baru menurut undang-undang tersebut atau jika tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut. Pasal 64 menyebutkan:

“Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara

(14)

khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini”.

Dengan demikian, UUPK ini dapat dijadikan sebagai payung (umbrella act) bagi perundang-undangan lain yang bertujuan untuk melindungi konsumen, baik yang sudah ada maupun yang masih akan dibuat nanti.34

C. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

Sudikno Mertokusumo memberikan ulasan asas hukum sebagai berikut: “ …bahwa asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau cirri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut”.35

Asas hukum ini ibarat jantung peraturan hukum atas dasar dua alasan yaitu, pertama asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan peraturan-peraturan hukum itu dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum. Kedua, karena asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.36

1. Asas Hukum Perlindungan Konsumen

Perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen terdapat beberapa asas yang terkandung di dalamnya. Perlindungan konsumen dilakukan sebagai

34Ibid., hal. 43.

35 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Suatu Pengantar, (Jakarta: Liberty, 1996),

hal. 5-6.

36

(15)

bentuk usaha bersama antara masyarakat (konsumen), pelaku usaha dan pemerintah sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, hal ini terkandung dalam ketentuan Pasal 2 UUPK. Kelima asas tersebut adalah:

a) Asas Manfaat

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak diatas pihak yang lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing-masing pihak, pelaku usaha (produsen) dan konsumen, apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.

b) Asas Keadilan

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa dalam pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini,

(16)

konsumen dan pelaku usaha (produsen) dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Karena itu, UUPK mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

c) Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil ataupun spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha (produsen), dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha (produsen) dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak pun yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan negara.

d) Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi atau dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman

(17)

dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu Undang-undang ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh produsen dalam memperoduksi dan mengedarkan produknya.

e) Asas Kepastian Hukum

Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang-undang ini sesuai dengan bunyinya.37 Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :

1) Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;

2) Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan; dan

37

(18)

3) Asas kepastian hukum.38

Asas hukum yang berkaitan dengan perlindungan konsumen tidak hanya terdapat dalam UUPK, tetapi juga terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yakni di dalam Pasal 2 yang berbunyi:

“Pelaku Usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”.

2. Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

Tujuan yang ingin dicapai melalui UUPK ini sebagaimana disebut dalam Pasal 3 adalah:

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung undur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Ketentuan Pasal 3 UUPK mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen sekaligus membedakan tujuan umum yang dikemukakan dengan ketentuan Pasal 2 UUPK. Keenam tujuan khusus tersebut dikelompokkan ke dalam tiga

38 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali

(19)

tujuan hukum secara hukum untuk mendapatkan keadilan. Tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f. Terakhir tujuan kepastian hukum terlihat dalam huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda.

Tujuan perlindungan konsumen tersebut merupakan isi pembangunan nasional yang menjadi sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Keenam tujuan tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam UUPK tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat.39

Mengamati tujuan dan asas yang terkandung di dalam UUPK, jelaslah bahwa undang-undang ini membawa misi yang besar dan mulia dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

D. Pihak-Pihak Terkait dalam Hukum Perlindungan Konsumen 1. Konsumen

Kata konsumen berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer. Dalam bahasa Belanda, istilah konsumen disebut dengan consument. Konsumen secara harfiah adalah “orang yang memerlukan, membelanjakan atau menggunakan;

39

(20)

pemakai atau pembutuh.”40 Pengertian konsumen secara yuridis telah diletakkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Konsumen di dalam pengertian sehari-hari sering dianggap bahwa yang disebut konsumen adalah pembeli (Inggris: buyer, Belanda: koper). Pengertian konsumen secara hukum tidak hanya terbatas kepada pembeli. Bahkan kalau disimak secara cermat pengertian konsumen sebagaimana di dalam Pasal 1 angka 2 UUPK, di dalamnya tidak ada disebut kata pembeli.41

Konsumen atau pemakai/pengguna barang dan/atau jasa terdiri atas 2 (dua) kelompok, yakni:

1) pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa (konsumen) dengan tujuan memproduksi (membuat) barang dan/atau jasa lain. atau mendapatkan barang dan/atau jasa untuk dijual kembali (tujuan komersial), yang disebut sebagai konsumen antara, dan;

2) pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa (konsumen) untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga, atau rumah tangganya (untuk tujuan non komersial), yang disebut sebagai konsumen akhir.42 Kategori kedua diatas telah diadopsi menjadi pengertian konsumen secara yuridis formal yang dituangkan pada Pasal 1 angka 2 UUPK, yaitu:

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Selanjutnya pada Bab Penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK dinyatakan bahwa:

40 N.H.T. Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Cet.

ke-1, (Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2005), hal. 23.

41Ibid., hal. 24. 42

(21)

“Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-Undang ini adalah konsumen akhir.” Dari uraian pengertian konsumen diatas, maka selanjutnya dapat ditarik dua pembagian pengertian konsumen, yaitu dalam arti luas yang mencakup dua kriteria konsumen (konsumen antara dan konsumen akhir), dan pengertian konsumen dalam arti sempit, yaitu hanya mengacu pada konsumen akhir (end consumer). Di antara dua jenis atau kategori tersebut, yang dilindungi di dalam UUPK hanyalah konsumen akhir (end consumer). UUPK mengatur mengenai perlindungan bagi konsumen akhir. Konsumen akhir dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:

a) Pemakai adalah setiap konsumen yang memakai barang yang tidak mengandung listrik atau elektronika, seperti pemakaian pangan, sandang, pangan, alat transportasi, dan sebagainya.

b) Pengguna adalah setiap konsumen yang menggunakan barang yang mengandung listrik atau elektronika seperti penggunaan lampu listrik, radio tape, TV, ATM, dan sebagainya.

c) Pemanfaat adalah setiap konsumen yang memanfaatkan jasa-jasa konsumen, seperti: jasa kesehatan, jasa angkutan, jasa pengacara, jasa pendidikan, jasa perbankan, jasa transportasi, jasa rekreasi dan sebagainya.

2. Pelaku Usaha

(22)

“Pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”43 Selanjutnya pada Bab Penjelasan tentang Pasal 1 angka 3 UUPK dinyatakan bahwa:

“Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), koperasi, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain.” Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UUPK cukup luas karena meliputi grosir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat Eropa, terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah pembuat produk jadi (finished product); penghasil bahan baku, pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan cara mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakannya dengan produk asli, pada produk tertentu; importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan; pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importer tidak dapat ditentukan.44

Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk atau jenis usaha sebagaimana yang dimaksud dalam UUPK, sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang

43 Lihat lebih lanjut pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

44

(23)

seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan-urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut:

a) Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat barang tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan.

b) Apabila barang yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri.

c) Apabila produsen maupun importir dari suatu barang tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.45

Urutan-urutan pihak di atas tentu saja hanya diberlakukan jika suatu barang mengalami cacat pada saat produksi, karena kemungkinan barang mengalami kecacatan pada saat sudah berada di luar kontrol atau di luar kesalahan pelaku usaha yang memproduksi produk tersebut. Urutan-urutan tersebut juga mempertimbangkan tentang kompetensi pengadilan maupun Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK), karena siapapun yang digugat oleh konsumen, Pengadilan atau BPSK yang kompeten adalah yang mewilayahi tempat tinggal konsumen, sehingga tidak memberatkan konsumen.46 3. Pemerintah 45Ibid., hal. 10. 46 Ibid., hal. 11.

(24)

Pemerintah merupakan pihak terkait yang memiliki peran sebagai pihak yang mengayomi dan menengahi di antara dua kepentingan yaitu pelaku usaha dan konsumen. Tujuannya agar masing-masing pihak tersebut dapat berjalan seiringan tanpa saling merugikan satu sama lainnya. Dalam hal ini, pemerintah harus bersikap adil dan tidak memihak kepada sebelah pihak saja.

Adanya keterlibatan pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen berdasarkan ketentuan UUPK, di dasarkan pada kepentingan yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 bahwa kehadiran negara antara lain, untuk mensejahterakan rakyatnya. Amanat ini dijabarkan dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (selanjutnya disingkat GBHN), serta peraturan perundang-undangan lainnya. Sejak GBHN 1983 istilah “konsumen” sudah dikenal di dalamnya.

Peranaan pemerintah sebagaimana disebutkan di atas dapat dikategorikan sebagai peranan yang berdampak jangka panjang sehingga perlu dilakukan secara berkelanjutan dengan memberikan penerangan, penyuluhan, dan pendidikan bagi semua pihak. Dengan demikian, tercipta lingkungan berusaha yang sehat dan berkembangnya pengusaha yang bertanggung jawab. Termasuk di sini menciptakan pasar yang kompetitif dengan berangsur-angsur menghilangkan monopoli dan proteksi. Dalam jangka pendek, pemerintah

(25)

dapat menyelesaikan secara langsung dan cepat masalah-masalah yang timbul.47

Dalam menjalankan perannya sebagai pengayom dan penengah, pemerintah pada hal ini terdiri atas berbagai instansi yang berwenang, diantaranya:

a) Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)

Badan Perlindungan Konsumen Nasional bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.

b) Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

Badan Pengawasan Obat dan Makanan yang bertugas melakukan regulasi, standarisasi dan sertifikasi terhadap produk obat dan bahan makanan yang akan dikonsumsi konsumen.

c) Departemen Perindustrian

Departemen Perindustrian bertugas untuk memberikan izin kepada sebuah perusahaan apakah sudah layak atau belum untuk memproduksikan barang dan/atau jasanya.

d) Departemen Perdagangan

Departemen Perdagangan bertugas untuk memberikan izin bagi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa yang diproduksi di dalam negeri maupun barang yang di impor.

47

Ading Suryana, Upaya Pemerintah dalam Meningkatkan Perhatian Terhadap Kepentingan Konsumen Produk Pangan, Makalah pada Seminar Nasional Upaya Peningkatan Perlindungan Konsumen Produk Pangan, UGM, 10 Januari 1989, Yogyakarta. hal. 5-7. (Dalam Buku: Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Cet. Ke-3, (Bandung: PT CITRA ADITYA BAKTI, 2014), hal. 20) .

(26)

e) Departemen Dalam Negeri

Departemen Dalam Negeri bertugas untuk mengantisipasi dan menginstruksikan aparat bawahannya yang ada di daerah-daerah untuk segera mengadakan penarikan terhadap barang dan/atau jasa yang dianggap tidak layak untuk beredar.

f) Polisi Republik Indonesia (POLRI)

Polisi bertugas untuk melibatkan diri pada setiap penyimpangan yang dilakukan oleh pengusaha yang mengganggu terhadap ketertiban masyarakat.48

Posisi ketiga pihak terkait, yaitu produsen-pelaku usaha, konsumen dan pemerintah, masing-masing adalah mendiri sehingga perlu diatur dengan baik untuk mencapai keserasian dan keharmonisan dalam kegiatan ekonomi. Pemerintah yang ditugaskan untuk mengatur hal tersebut berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945), dapat melaksanakannya melalui pembuatan peraturan dan pengawasan pelaksanaan peraturan-peraturan itu. Peraturan-peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang juga mengikat pemerintah sehingga tidak muncul kolusi antara pengusaha dan pemerintah yang dapat merugikan konsumen.49

48 Dikutip dari

https://mkiradewi.wordpress.com/hukum-perlindungan-konsumen/peran-pemerintah/, Pihak dalam Perlindungan Konsumen, [Diakses Pada 29 Juli 2016 Pukul 19.00 WIB].

49

(27)

E. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha

Hak merupakan sesuatu yang patut diterima setelah melakukan suatu hal atau kewajiban tertentu, dimana apabila setelah melakukan kewajiban namun hak tidak diberikan, maka boleh dituntut secara paksa agar hak tersebut diberikan. Sebelum memperoleh hak, ada suatu perbuatan yang harus dilakukan terlebih dahulu, yang dinamakan dengan kewajiban. Kewajiban merupakan sesuatu yang harus atau wajib dilaksanakan dengan tujuan untuk memperoleh hak.

Hubungan timbal balik antara konsumen dan pelaku usaha juga terdapat hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing pihak, seperti contohnya, konsumen berhak memperoleh barang dan/atau jasa yang ingin ia dapatkan setelah memenuhi kewajibannya untuk membayar kepada pelaku usaha atas barang dan/atau jasa tersebut. Sebaliknya, pelaku usaha juga memiliki hak untuk menerima pembayaran dari konsumen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkannya setelah memenuhi kewajibannya untuk memberikan barang dan/atau jasa yang diingikan konsumen. Berikut ini pembahasan selengkapnya mengenai hak dan kewajiban dari kosumen serta pelaku usaha.

1. Hak dan Kewajiban dari Konsumen

Sebagai pemakai barang dan/atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar masyarakat bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya apabila terjadi suatu tindakan yang tidak adil terhadapnya, maka secara spontan ia akan dapat menyadari hal tersebut lalu segera mengambil tindakan untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak

(28)

hanya akan berdiam diri ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.

Berdasarkan Pasal 4 UUPK, hak-hak yang dimiliki oleh konsumen adalah sebagai berikut:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

Hak-hak dasar konsumen dalam UUPK di atas merupakan penjabaran dari pasal-pasal yang bercirikan negara kesejahteraan, yaitu Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 50

Sebelumnya pada tahun 1962, hak-hak konsumen pertama kalinya dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy pada tanggal 15 Maret 1962, melalui pidato kenegaraan di hadapan Kongres Amerika Serikat yang berjudul “Special Message for the Protection of the Consumer Interest” atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak Konsumen” (Declaration of

50

(29)

Consumer Right). Kemudian menurut Bob Widyahartono menyebutkan bahwa deklarasi tersebut menghasilkan empat dasar hak konsumen (the four consumer basic rights) yaitu terdiri atas:

1) Hak untuk memperoleh keamanan atau The Right To Be Secured; 2) Hak untuk memperoleh informasi atau The Right To Be Informed; 3) Hak untuk memilih atau The Right To Choose; dan

4) Hak untuk didengarkan atau The Right To Be Heard.51

Berdasarkan beberapa uraian mengenai hak-hak yang dimiliki oleh konsumen, terdapat hak yang sering disebutkan dan merupakan hak yang penting bagi konsumen, yaitu hak untuk memperoleh jaminan atas keamanan dan kesehatan dari penggunaan barang atau produk yang dijual oleh pelaku usaha, dimana hal ini berkaitan dengan hak konsumen yang lain, yaitu hak untuk memperoleh informasi yang jelas dan memadai mengenai tata cara penggunaan barang atau produk tersebut. Selain informasi yang jelas dan memadai konsumen juga perlu diberikan pembinaan atau pendidikan agar tidak terjadi kesalahan dalam penggunaan barang atau produk tersebut.

Hak selanjutnya yang paling dibutuhkan oleh konsumen adalah hak untuk didengarkan keluhan atau klaimnya tersebut, dimana pihak pelaku usaha harus memberikan kompensasi, ganti rugi, ataupun penggantian terhadap produk atau barang tersebut apabila produk atau barang tersebut tidak sesuai dengan yang telah dijanjikan oleh pelaku usaha kepada konsumen, karena hal tersebut dapat menyebabkan kerugian pada konsumen. Untuk itu, sangatlah penting dan perlu bagi konsumen untuk memperhatikan

51 Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen.,(Bandung: Nusa Media,

(30)

hal-hal yang harus diperjuangkan apabila hak-haknya dilanggar. Seorang konsumen harusnya tidak hanya tinggal diam dan tidak berbuat apa-apa ketika hak-hak yang ia miliki jelas-jelas dilanggar oleh pelaku usaha.

Selain hak-hak diatas, sebagai balance, konsumen juga mempunyai beberapa kewajiban. Sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 5 UUPK yaitu:

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Kewajiban-kewajiban tersebut haruslah dilakukan oleh konsumen, sebab hal-hal tersebut sangatlah berguna bagi konsumen agar konsumen dapat selalu berhati-hati ketika melakukan transaksi ekonomi dan hubungan perdagangan. Dengan cara seperti itu, setidaknya konsumen dapat terlindungi dari kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan menghampirinya. Untuk itu, memperhatikan kewajiban-kewajiban konsumen sama pentingnya dengan memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen.

2. Hak dan Kewajiban dari Pelaku Usaha

Pelaku usaha juga diberi hak sebagai bentuk usaha untuk menciptakan kenyamanan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, maka pelaku usaha juga memiliki hak-hak.52 Sebagiamana diatur dalam Pasal 6 UUPK, hak pelaku usaha yaitu :

52

(31)

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktek yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.53 Mengenai hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, yang dimaksud adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Perbankan, dan peraturan perundang-undangan yang terkait.

Selain memiliki hak, pelaku usaha juga memiliki kewajiban yang harus dilaksanakannya. Adapun kewajiban pelaku usaha diatur di dalam Pasal 7 UUPK, yaitu sebagai berikut:

53

(32)

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Pelaku usaha di dalam UUPK diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik untuk melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Dalam UUPK tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi sampai pada tahap penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan melakukan itikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi oleh produsen atau pelaku usaha, sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat

(33)

dirugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dnegan produsen.54

Mengenai kewajiban kedua pelaku usaha, yaitu memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, karena informasi merupakan hak dari konsumen. Apabila pelaku usaha memberikan informasi atau penjelasan yang kurang memadai kepada konsumen, maka hak tersebut merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi) yang dapat merugikan konsumen.

Pencantuman informasi bagi konsumen yang berupa instruksi atau petunjuk prosedur pemakaian suatu produk merupakan hal yang wajib dilakukan oleh pelaku usaha agar produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha tersebut tidak dianggap cacat karena ketiadaan informasi maupun informasi yang kurang. Sebaliknya, konsumen juga memiliki kewajiban untuk membaca lalu mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian dari suatu produk agar konsumen dapat memakai atau memanfaatkannya secara baik dan benar demi keamanan konsumen.55

F. Bentuk Pelanggaran Hak Konsumen dan Tata Cara Pengaduan Konsumen

1. Bentuk Pelanggaran Hak Konsumen

54Ibid.,hal. 54. 55

(34)

Sebagaimana telah dibahas, tujuan perlindungan konsumen adalah untuk mengangkat harkat hidup dan martabat konsumen, yaitu dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang/jasa. Oleh karena itu, segala perbuatan yang melanggar hak konsumen harus dihindari. Pelaku usaha perlu memerhatikan apa saja perbuatan-perbuatan usaha yang dilarang menurut UUPK. Upaya untuk melindungi kepentingan konsumen yang dilakukan melalui perangkat hukum (UUPK) diharapkan mampu menciptakan norma hukum perlindungan konsumen dan memberikan rasa tanggung jawab kepada dunia usaha, terutama pelaku usahanya.56

a. Produk atau Jasa yang Dilarang

Menurut Pasal 8 ayat (1) UUPK, barang/jasa yang dilarang sebagai berikut:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah

dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinayatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang/jasa tersebut; g. tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;

56

(35)

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto. komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat; j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan

barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

Di samping itu, pelaku usaha juga dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud (Pasal 8 ayat (2)). Pelaku usaha juga dilarang memperdagangkan persediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar (Pasal 8 ayat (3)). Jika pelaku usaha melanggar ketentuan tersebut, barang/jasa tersebut wajib ditarik dari peredaran. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang bisa menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen (Pasal 15).

b. Manipulasi Produk dan Jasa

Berdasarkan Pasal 9 UUPK, menjelaskan bahwa produk barang/jasa yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan secara tidak benar (manipulasi) oleh pelaku usaha dilarang, seolah barang/jasa itu:

a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

(36)

c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja, atau aksesori tertentu; d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang

mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi; e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang/jasa lain;

j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak berbahaya, serta tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;

k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. Barang dan/atau jasa tersebut sangat dilarang untuk diperdagangkan pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut dilarang untuk melanjutkan kegiatan penawaran, promosi, dan pengiklanan (Pasal 9 ayat (3)).

c. Informasi yang Menyesatkan

Berdasarkan Pasal 10 UUPK , pelaku usaha yang menawarkan barang/jasa untuk diperdagangkan, dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, atau membuat pernyataan yang tidak benar dan menyesatkan mengenai:

a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

(37)

Pasal 11 UUPK menjelaskan, pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan dengan cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:

a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;

b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;

c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;

d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain; e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam

jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;

f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.

e. Pemberian Hadiah

Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang/jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya (Pasal 13 ayat (1) UUPK).

Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang/jasa lain (Pasal 13 ayat (2) UUPK).

Berdasarkan Pasal 14 UUPK, pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian dilarang untuk:

(38)

a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;

b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa; c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan niai hadiah yang

dijanjikan. f. Pesanan

Pasal 16 UUPK, mengatur ketentuan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa melalui pesanan dilarang untuk:

a. tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;

b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan atau prestasi. g. Usaha Periklanan

Pasal 17 UUPK, mengatur secara khusus tentang ketentuan periklanan. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:

a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;

b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai

barang dan/atau jasa;

d. tidak memuat informasi risiko pemakaian barang dan/atau jasa; e. mengekspoitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizing yang

bewenang atau persetujuan yang bersangkutan;

f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

Pelaku usaha periklanan yang melanggar ketentuan tersebut dilarang melanjutkan peredaran iklan (Pasal 17 ayat (2)). Tentang usaha periklanan ini, selain diatur dalam UUPK, ada beberapa kode etik yang berlaku dalam media promosi dan periklanan,yaitu:

(39)

1) IPRA (International Public Relation Assocation) Code of Conduct Dalam IPRA Code of Conduct butir c disebutkan bahwa lembaga kehumasan tidak diperkenankan untuk menyebarkan secara sengaja informasi yang palsu dan menyesatkan.

2) Kode Etik Kehumasan Indonesia (KEKI)

Dalam salah satu butir ketentuan KEKI Pasal III disebutkan bahwa anggota perhumasan tidak boleh menyebarluaskan informasi yang tidak benar atau yang menyesatkan sehingga dapat menodai profesi kehumasan.

3) Kode Etik Penerangan

Dalam kode etik penerangan, humas berusaha menciptakan pola komunikasi dan saluran-saluran komunikasi yang lebih mengukuhkan arus bebas informasi yang penting sehingga setiap anggota masyarakat akan merasakan bahwa mereka selalu mendapatkan informasi, adanya keterlibatan, dan adanya tanggung jawab dengan anggota masyarakat lainnya. Di samping itu, humas diharapkan menghindari upaya menutupi kebenaran atas dasar apapun juga. Humas juga dilarang menyiarkan informasi yang tidak didasarkan pada fakta yang nyata dan benar. 4) Kode Etik Profesi Asosiasi Perusahaan Public Relations

Indonesia (APPRI)

Dalam Pasal 2 Kode Etik APPRI, disebutkan bahwa:

“Seseorang anggota tidak akan menyebarluaskan, secara sengaja dan tidak bertanggung jawab, infomasi yang palsu dan

(40)

menyesatkan, dan sebaliknya justru akan berusaha sekeras mungkin untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Ia berkewajiban untuk menjaga integritas dan ketepatan informasi”.57

h. Ketentuan Klausula Baku

Selain memaparkan bentuk-bentuk pelanggaran hak konsumen, maka sub bab ini juga membahas tentang ketentuan klausula baku yang terkait erat dengan produk barang/jasa. Berbicara tentang klausula baku tidak dilepaskan dari pembicaraan tentang apa sisi “perjanjian” dan bagaimana kaitannya dengan hak-hak konsumen. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, konsumen perlu mendapatkan informasi yang menyeluruh tentang kondisi suatu barang/jasa. Konsumen juga memiliki hak untuk menentukan sendiri pilihannya terhadap barang/jasa yang dipilih untuk digunakan atau dimanfaatkan. Untuk itu, konsumen perlu mengetahui seluruh larangan tentang kelayakan barang/jasa yang ditawarkan.58

Ketika keputusan telah dijatuhkan untuk memilih mana barang/jasa yang ditawarkan, maka berarti telah terjadi transaksi perdagangan antara produsen dan pelaku usaha. Dengan demikian, transaksi tersebut merupakan hubungan hukum jual-beli dan di dalamnya telah terkait adanya perjanjian.59

Berdasarkan aturan, perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bersama antara produsen dan konsumen. Menurut Kitab Undang-Undang

57 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Cet.

Ke-2, (Jakarta: Gramedia, 2003), hal. 46-49.

58 Happy Susanto, loc.cit. 59

(41)

Hukum Perdata (KUHPer) Bab IV Buku III Pasal 1320, perjanjian diikat melalui rumusan-rumusan sebagai berikut:

a. Kesepakatan yang bebas.

b. Dilakukan oleh pihak yang demi hukum dianggap cakap untuk bertindak.

c. Untuk melakukan suatu prestasi tertentu.

d. Prestasi tersebut haruslah suatu prestasi yang diperkenankan oleh hukum, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat (suatu klausula yang halal).

Dalam praktiknya, perjanjian sering dibuat dalam kondisi yang tidak berimbang. Pelaku usaha memanipulasi perjanjian yang dibuat dalam ketentuan klausula baku. Biasanya, perjanjian tersebut lebih menguntungkan salah satu pihak, yaitu pelaku usaha itu sendiri, karena ketentuan klausula baku biasanya dibuat oleh pihak yang lebih dominan (pelaku usaha). Klausula tersebut tidak dapat dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Akibatnya, konsumen sebagai pihak yang tidak dominan menerima begitu saja, tanpa bisa bernegosiasi sedikit pun.

Berdasarkan kondisi yang tidak seimbang ini, maka UUPK mengatur ketentuan perjanjian baku dan pencantuman klausula baku dalam perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha. UUPK merumuskan klausula baku bahwa:

“Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu

(42)

secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) mengatur bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian jika:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Dalam UUPK juga diatur bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak bisa dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha

(43)

pada dokumen atau perjajian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

Pasal 18 ayat 1 ayat (1) UUPK yang menjelaskan bahwa larangan membuat dan/atau mencantumkan klausula baku disetiap dokumen dan/atau perjanjian yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, perlu dicermati lebih lanjut. Larangan tersebut perlu disesuaikan dengan ketentuan UUPK Pasal 27 huruf e, yaitu bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, jika lewatnya jangka waktu penuntutan empat tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, ketentuan ini berlebihan karena menutup kemungkinan bagi pelaku usaha untuk lepas dari tanggung jawabnya dengan cara mencantumkannya dalam klausula baku seperti itu.60

i. Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Berdasarkan ketentuan di dalam etika bisnis, praktik-praktik usaha yang tidak sehat sangat dilarang. Kegiatan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat hanya akan menimbulkan efek-efek yang negatif sehingga tidak dibenarkan secara hukum. Menurut pandangan N.H.T. Siahaan, praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat berkorelasi secara multiaspek. Dalam pengertian bahwa banyak faktor yang ditimbulkan secara negatif oleh praktik monopoli dan persaingan ekonomi yang tidak

60

(44)

sehat. Multiaspek di sini bisa saja merugikan pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya; dengan konsumen; dengan kepentingan publik, dengan pemerintah; dan dengan negara.61

Praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dapat mematikan usaha pihak lain. Dengan pasar yang dimonopoli, maka hanya pelaku usaha yang dominan saja yang mampu mengendalikan orientasi konsumen. Dengan kondisi seperti ini, konsumen akan dirugikan karena pelaku usaha yang dominan tersebut dengan seenaknya bisa menerapkan harga yang sangat tinggi.

Praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat secara umum mencakup 3 (tiga) objek pokok, yaitu:

1) Mengenai perjanjian yang dilarang (prohibited agreements), yang meliputi oligopoli, perjanjian penetapan harga (price fixing agreement), diskriminasi harga (price discrimination), bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah dengan tujuan utamanya untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama disebut dengan predatory pricing, penetapan harga jual kembali (resale price maintenance), pembagian pasar (market division), boikot, kartel,

61

(45)

oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri.

2) Aktivitas bisnis yang dilarang (prohibited agreements), misalnya monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, kecurangan menetapkan biaya produksi, dan konspirasi.

3) Posisi dominan (dominant position), yaitu bahwa pelaku usaha tidak memiliki pesaing yang sepadan di pasar atau pelaku usaha memiliki pesaing yang sepadan dipasar atau pelaku usaha memiliki posisi yang dominan dibandingkan dengan para pesaingnya yang lain.62

Praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat memberikan dampak yang tidak baik dalam masalah perlindungan konsumen. Kegiatan-kegiatan semacam itu justru kian melemahkan posisi konsumen dibandingkan dengan pelaku usaha. Konsumen hanya menjadi objek yang sering dieksploitasi hak-haknya. Untuk itulah, penciptaaan praktik bisnis dan persaingan usaha yang sehat membantu penegakan perlindungan konsumen bagi masyarakat pada umumnya.

2. Tata Cara Pengaduan Konsumen

Konsumen yang merasa hak-haknya telah dilanggar perlu mengadukannya kepada lembaga yang berwenang. Konsumen bisa meminta bantuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (selanjutnya disingkat LPKSM) terlebih dahulu untuk meminta bantuan hukum atau bisa

62

Referensi

Dokumen terkait

dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh,. mutu,

99 Budaya (kultur) hukum adalah sikap dan perilaku masyarakat baik pelaku usaha dan konsumen terhadap upaya perlindungan konsumen, serta hubungan para pihak dalam

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru. Oleh sebab itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum melayani hak-haknya. Kesadaran akan hak tidak

dengan cara melalui mediasi, arbitrase dan konsoliasi. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen. Pengawasan klawsul baku. Melapor kepada penyidik umum apabila terjadi

Kemudian dalam Pasal 9 Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan pemahaman kepada Konsumen mengenai hak dan kewajiban Konsumen. Sudah otomatis jika pihak

Salah satu yang menyebabkan kedudukan konsumen lebih lemah bila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha adalah konsumen pada umumnya kurang mendapatkan akses informasi

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur pula hak dan kewajiban pelaku usaha serta larangan-larangan yang bertujuan untuk memberi perlindungan

Bab IV Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 memuat ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi para pelaku usaha. Intinya pelaku usaha