• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. 2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

24 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

Pengertian perlindungan konsumen menurut Pasal 1 UUPK adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPK tersebut cukup memadai. “Di dalam kalimat yang menyatakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen”. 19

“Pengertian Perlindungan Konsumen menurut Az. Nasution adalah keseluruhan azaz-azaz dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan jasa konsumen”.

20 Karena posisi konsumen yang lebih lemah di bandingkan dengan pelaku usaha maka konsumen perlu untuk dilindungi. Konsumen dan perlindungan konsumen adalah dua bidang titik yang susah untuk di pisahkan.

Menurut Pasal 2 UUPK mengenai konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

19

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit. hlm.1

20

Aliesaja, 2010, “Hukum Perlindungan Konsumen”, URL http://aliesaja.wordpress.

com/2010/06/03/perlindungan-konsumen/ diakses pada 28 oktober 2015

(2)

25

Di dalam hal ini Az. Nasution menegaskan beberapa batasan konsumen yakni :

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang atau jasa lain untuk diperdagangkan.

c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali. 21

Secara harfiah konsumen mempunyai pengertian sebagai pemakai barang dan jasa yang dihasilkan produsen, sedangkan produsen diartikan sebagai setiap penghasil barang dan jasa yang dikonsumsi oleh pihak lain atau orang lain .Kata konsumen berasal dari Belanda, yaitu consument/ konsument yang oleh para ahli hukum disepakati berarti sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa yang diserahkan oleh mereka kepada pengusaha (ondernemer). 22

“Jadi mereka yang mengkonsumsi untuk dijual kembali (pemakai perantara) tidak termasuk kelompok yang dikategorikan dalam pengertian konsumen”. 23

Pada umumnya konsumen tidak mengetahui dari bahan apa suatu produk itu dibuat dan bagaimana proses pembuatannya serta strategi pasar apa yang dijalankan untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaidah hukum yang dapat melindungi.

“Perlindungan itu sesungguhnya berfungsi untuk menyeimbangkankedudukan konsumen dan pengusaha dengan siapa mereka saling berhubungan dan saling membutuhkan”. 24

21

Az Nasution I, hlm. 3

22

Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, hlm. 22

23

Mariam Darus Badruszaman, 1986, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku, Bina Cipta, Jakarta, hlm. 17

24

Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit hlm. 26.

(3)

26

Sebelum diundangkannya UUPK di Indonesia, ada beberapa peraturan yang dapat dijadikan dasar bagi penegakan hukum perlindungan konsumen Peraturan- peraturan tersebut adalah :

a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene

b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Metrologi Legal.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.

d. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang ketenagalistrikan.

e. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri.

f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1922 tentang Kesehatan.

g. Undang-Undng Nomor 7 Tahun 1984 tentang Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

h. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

i. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1966 tentang Pangan.

j. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

k. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Hak Paten.

l. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran.

m. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

n. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1988 tentang perbankan.

o. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.

p. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1977 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

q. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.

2.2 Hak dan Kewajiban serta Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Dalam Pasal 1 angka 3 UUPK menyebutkan bahwa setiap orang perorangan

atau badan usaha, yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan

kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

(4)

27

Seperti halnya konsumen pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 UUPK :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan.

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan.

e. Hak-Hak yang diatur di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai tukar barang dan jasa yang diperdagangkan, menunjukan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan jasa yang sama.

Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut pada huruf b, c, dan d, sesungguhnya dengan pihak aparat pemerintah dan atau BPSK/ pengadilan dalam tugasnya melakukan penyeleseain sengketa. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan pelaku usaha dapat dihindari. Satu-satunya yang berhubungan dengan kewajiban atas hak-hak pelaku usaha yang disebutkan pada huruf b, c, dan d tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan sebelumnya. 25

Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut Pasal 7 UUPK adalah : a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan /atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

25

Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, op.cit, hlm. 50.

(5)

28

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/jasa yang berlaku.

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang dan /atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi yang dibuat dan/atau diperdagangkan.

f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian bila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

Jika diperhatikan dengan seksama hubungan hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha dan kewajiban konsumen adalah merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha hakekatnya hukum perlindungan konsumen dibentuk untuk memenuhi atau memberikan kepastian hukum di dalam meningkatkan dan menciptakan sistem perlindungan konsumen terhindar dari perilaku pelaku usaha yang berbuat curang, kenyataannya terdapat banyak masalah yang kompleks dalam hal perlindungan hukum terhadap konsumen.

Mengenai tanggung jawab pelaku usaha dikenal dengan 2 prinsip yang diakomodasikan yaitu tanggung jawab produk (Product Libiality) dan tanggung jawab professional(Profesional Libiality).

Tanggung jawab produk atau Product Libiality adalah suatu tanggung jawab

secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk

(producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu

proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang

atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller,distributor) produk

tersebut. Bahkan dilihat dari konvensi tentang product libiality diperluas

terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang

(6)

29

persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha bengkel dan pergudangan. 26

“Tanggung jawab produk ini berkaitan dengan produk barang sedangkan tanggung jawab professional berhubungan dengan suatu tindakan menyalahi tanggung jawab professional maka perlu adanya ukuran yang jelas. Indikator tidak ditetapkan oleh Undang-undang namun oleh asosiasi profesi yang berupa norma- norma berupa kode etik profesi”. 27

Mengenai tanggung jawab pelaku usaha diatur di dalam bab VI yaitu Pasal19 hingga Pasal 28 UUPK. Ketentuan tentang tanggung jawab produk menganut asas product libiality yang intinya pelaku usaha bertanggung jawab atas kerusakan,

kecacatan, penjelasan, ketidaknyamanan dan penderitaan yang dialami oleh konsumen karena pemakaian atau mengkonsumsi barang dan/jasa yang dihasilkannya.

Tanggung jawab produk (product libiality) menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict libiality) adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Kecuali memungkinkan untuk dibebaskan karena adanya force majeur. Product Libiality mengandung prinsip Strict Libiality karena :

26

Celina Tri Siwi, op.cit, hlm.101

27

kuliahade, 2009, “Hukum Perlindungan Konsumen”, URL:

https://kuliahade.wordpress.com/category/hukum-perlindungan-konsumen/diakses pada tanggal 22

Febuari 2016.

(7)

30

1. Diantara korban atau konsumen disatu pihak dan produsen di lain pihak beban kerugain (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi atau mengeluarkan produk di pasaran.

2. Dengan menerapkan atau mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang – barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian maka produsen harus bertanggung jawab.

3. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak produsen yang melakukan kesalahan dapat dituntut melalui proses tuntutan beruntun yaitu, konsumen kepada pedagang eceran, pedagang eceran kepada pedagang grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen.

Penerapan Strict Libiality dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang cukup panjang ini. 28

2.3 Hak dan Kewajiban Konsumen

Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum, oleh karena itu perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih hak-haknya yang bersifat abstrak. “Secara umum dikenal ada 4 hak dasar konsumen yaitu, Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety), Hak untuk mendapatkan informasi ( the right to be informed), Hak untuk memilih ( the right to choose), Hak untuk di dengar (the right to be heard)”. 29

Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Perkembangannya, organisasi- organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan

pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

28

M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 22.

29

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen , Grasindo, Jakarta, hlm. 16.

(8)

31

Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus diawali dengan upaya untuk memahami hak-hak konsumen yang dapat dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut.

Hak-hak konsumen sebagaimana tertuang dalam pasal 4 UUPK adalah :

a. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa.

b. Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan atau jasa.

d. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi atau penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak – hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban konsumen menurut Pasal 5 UUPK yaitu :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan.

b. Bertikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan jasa.

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

2.4 Pengertian dan Unsur–unsur Cacat Tersembunyi

“Pengertian cacat adalah kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya

kurang baik atau kurang sempurna yang terdapat pada benda, batin atau akhlak, lecet

(9)

32

(kerusakan noda) yang menyebabkan keadannya menjadi kurang sempurna (kurang baik), cela atau aib, tidak (kurang) sempurna”. 30

“Menurut Az Nasution produk cacat yaitu apabila produk itu tidak aman dalam penggunaanya, tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana diharapkan orang dengan mempertimbangkan berbagai keadaan, seperti penampilan produk, kegunaan yang sepatutnya diharapkan dari produk dan saat produk itu di edarkan”. 31

Dalam UUPK Pasal 8 ayat 2 dijelaskan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud, selain itu di dalam Pasal 9 ayat 1 huruf F UUPK menjelaskan mengenai pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/ atau jasa secara tidak benar, dan atau seolah-olah

“barang tersebut mengandung cacat tersembunyi.”Pasal 11 huruf b UUPK menjelaskan mengenai pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan

“menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi.

Seperti unsur-unsur yang dijelaskan tersebut adanya cacat tersembunyi di dalam sebuah penjualan barang menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindarkan cacat yang ada di dalam sebuah barang merupakan tersembunyi yang artinya konsumen tidak mengetahui adanya cacat atau tidak sempurnanya suatu barang pada barang

30

Departemen dan Pendidikan dan Kebudayaan, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 126

31

Az Nasution I , hlm. 174

(10)

33

tersebut, jika saja konsumen mengetahui adanya cacat tersembunyi maka konsumen tidak akan membeli barang tersebut. Cacat tersembunyi adalah suatu cacat atau kerusakan pada suatu benda yang tidak terlihat secara jelas atau seketika ditemukan, cacat yang tidak tampak oleh pembeli melalui pemeriksaan yang wajar. Pengaturan cacat tersembunyi dijelaskan di dalam Pasal 1504 KUHPerdata “Penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang-barang itu tidak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud sehingga seandainya pembeli mengetahui cacat itu, ia tidak akan membeli barang itu.”

2.5 Pengertian, Unsur-unsur dan Dasar Hukum BPSK

UUPK membentuk suatu lembaga dalam hukum perlindungan konsumen, yaitu BPSK. Pengertian BPSK terdapat pada Pasal 1 butir 11 UUPK adalah Badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK sebenarnya dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana.

Yusuf Shofie memberikan definisi mengenai BPSK yaitu sebagai suatu lembaga khusus yang dibentuk diatur dalam UUPK, yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha. 32

BPSK merupakan badan yang memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan.

Badan ini dibentuk sebagai alternatif bagi konsumen yang membutuhkan media di dalam penyelesaian sengketa secara cepat, mudah, dan murah.

32

Yusuf Shofie, 2002, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang

Perlindungan Konsumen (UUPK), Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT.Citra Aditya Bakti,

Bandung, hlm. 39

(11)

34

dikatakan cepat karena penyelesain sengketa melalui BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari kerja, dan tidak dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses penyelesaian perkara. Mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang dibebankan sangat ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen. 33

Jika diputuskan BPSK dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka putusan BPSK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan.

Keberadaan BPSK juga diharapkan akan mengurangi beban tumpukan perkara di pengadilan.

Unsur-unsur anggota BPSK minimal 3 orang dan maksimal 5 orang dianggap tepat, yang terdiri dari unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha.

Mengingat persoalan penyelesaian sengketa konsumen dan pelaku usaha berhubungan dengan persoalan keadilan. Dapat diketahui jumlah keanggotaan BPSK yang meliputi semua unsur, berjumlah paling sedikit 9 orang dan paling banyak 15 orang. Jumlah ini sudah termasuk ketua dan wakil ketua BPSK sebagaimana dapat diketahui di dalam UUPK Pasal 50:

a. Ketua merangkap anggota b. Wakil ketua merangkap anggota c. Anggota

Dasar hukum pembentukan BPSK adalah UUPK Pasal 49 ayat 1, Pasal 2 Keputusan menteri perindustrian dan perdagangan Nomer 350/MPP/Kep/12/2001

33

Yusuf Shofie dan Somi Awan, 2004, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai

Persoalan Mendasar BPSK,Piramedia, Jakarta, hlm. 17

(12)

35

mengatur bahwa di setiap kota atau kabupaten harus dibentuk BPSK. Kehadiran BPSK diresmikan pada tahun 2001, yaitu dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang pembentukan BPSK pada pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang.

Selanjutnya dalam Keputusan Presiden Nomer 108 tahun 2004 dibentuk lagi BPSK di tujuh kota dan tujuh kabupaten berikutnya yaitu, di kota Kupang, kota Samarinda, kota Sukabumi, kota Bogor, kota Kediri, kota Mataram, kota Palangkaraya, dan pada kabupaten Kupang, kabupaten Belitung, kabupaten Sukabumi, kabupaten Bulungan, kabupaten Serang, kabupaten Ogan Komering Ulu, dan Kabupaten Jeneponto.

Terakhir pada 12 Juli 2005 dengan Keputusan Presiden Nomer 18 Tahun 2005 yang membentuk BPSK di Kota Padang, kabupaten Indramayu, kabupaten Bandung, dan kabupaten Tangerang.

Masalah yang berkaitan dengan pembentukan BPSK adalah berlakunya Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999 mengenai kewenangan pemerintah pusat terhadap lemabaga tersebut. UUPK mengatur bahwa pembentukan BPSK merupakan inisiatif dari pemerintah pusat. Kewenangan tersebut tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah, sehingga dalam praktiknya bukan lagi pemerintah pusat yang berinisiatif tetapi pemerintah kabupaten dan kota. 34

“Ketentuan Pasal 90 Keputusan presiden Nomer 90 tahun 2001 biaya pelaksanaan tugas BPSK dibebankan pada anggaran pendapatan belanja negara

34

Susanti Adi Nugroho, 2008,Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum

Acara Serta Kendala Implementasinya, Predana Media Group,Jakarta, hlm. 77

(13)

36

(APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), selain itu BPSK juga diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Perindustian dan Perdagangan, Pemberhentian anggota, dan sekretariat BPSK”. 35

2.6 Tugas dan Wewenang BPSK

Mengenai tugas dan wewenang BPSK dijleskan didalam UUPK Pasal 52 jo.

Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 meliputi :

a. melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.

b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen.

c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.

d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini.

e. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen.

f. menerima pengaduan baik tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhap perlindungan konsumen.

h. memanggil, menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran undang-undang ini.

i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK.

j. mendapatkan, menekiti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau/ pemeriksaan.

k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak konsumen.

l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan ini. 36

Berdasarkan tugas dan wewenang tersebut, maka dengan demikian tersebut 2 fungsi strategis dari BPSK:

35

Ibid, hlm. 78

36

Ibid, hlm.83

(14)

37

a. BPSK berfungsi sebagai instrument hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan ADR , yaitu melalui konsiliasi, mediasi, dan arbitrase.

b. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku (one-sided standard form contract) oleh pelaku usaha Pasal 52 butir c UUPK.

Termasuk disini klausula baku yang dikeluarkan PT PLN(persero) dibidang kelistrikan, PT Telkom (persero) di bidang telekomunikasi, bank-bank milik pemerintah maupun swasta, perusahaan leasing/ pembiayaan dan lain-lain. 37

Salah satu fungsi strategis ini adalah untuk menciptakan keseimbangan kepentingan- kepentingan pelaku usaha dan konsumen, jadi tidak hanya klausula baku yang dikeluarkan oleh pelaku usaha atau badan perusahaan-perusuhaan swasta saja, tetapi juga pelaku usaha atau perusahaan-perusahaan. Dilihat dari ketentuan pasal 52 b, c,dan e UUPK dapat diketahui BPSK tidak hanya bertugas menyelesaikan sengketa di luar pengadilan sebagaimana diatur didalam Pasal 49 UUPK ayat (1) tetapi meliputi kegiatan berupa pemberian konsultasi, pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen tentang adanya pelangaran ketentuan perlindungan konsumen serta berbagai tugas dan kewenangan lainnya yang terkait dengan pemeriksaan pelaku usaha yang diduga melanggar UUPK.

37

Ibid, hlm.84

Referensi

Dokumen terkait

Pace dan Faules (2000, p. 168) yang mengatakan bahwa Iklim komunikasi organisasi merupakan gabungan dari persepsi-persepsi suatu evaluasi makro mengenai peristiwa

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh belum maksimalnya implementasi kebijakan tentang pengelolaan perpustakaan oleh pegawai perpustakaan dalam upaya meningkatkan minat

Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh pemberian arang kayu dan pupuk kandang kambing terhadap pertumbuhan semai gmelina pada media bekas tambang silika serta

Benda yang dijadikan sebagai jaminan dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia dapat berupa benda bergerak dan tidak bergerak antara lain kendaraan bermotor,

Jembatan yang harus dapat dilalui oleh kendaraan darurat dan untuk kepentingan keamanan/pertahanan beberapa hari setelah mengalami gempa rencana dengan periode ulang 1000 tahun).

Pelaksanaan Triase di mulai sejak pasien masuk ke puskesmas pekauman dan pasien dengan atau tanpa gangguan kesadaran yang disertai penyulit akan di arahkan ke

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bupati Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Organisasi Dan Tata Laksana Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kabupaten Banyumas

Perubahan status Bank BTPN tersebut telah mendapat persetujuaan dari Bank Indonesia sebagaimana ditetepkan dalam surat Bank Indonesia No.26/5/UPBN/PBD2/Bd tanggal 22april