HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DAN TINGKAT
STRES PADA REMAJA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh: Meliana NIM : 029114044
F A K U L T A S P S I K O L O G I
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan kepada: 1. Bapa di Surga
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul: Hubungan Antara Perilaku Asertif Dan Tingkat Stres Pada Remaja
Yang saya kerjakan untuk melengkapi persyaratan menjadi Sarjana Psikologi pada pendidikan sarjana Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi Sanata Dharma, bukan merupakan tiruan atau duplikasi dari skripsi kesarjanaan di lingkungan Universitas Sanata Dharma maupun di Perguruan Tinggi atau instansi manapun, kecuali bagian yang sumber informasinya dicantumkan sebagaimana mestinya.
Yogyakarta, Maret 2007
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan kasih Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Hubungan Antara Perilaku Asertif Dan Tingkat Stres Pada Remaja dengan baik dan tepat waktu.
Dalam menyelesaikan pembuatan skripsi ini, penulis telah banyak menerima bimbingan, saran, dan masukan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu dengan penuh kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu A. Tanti Arini S.Psi.,M.Si. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar mendorong serta membimbing sampai penulisan skripsi ini selesai.
2. Ibu Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. Dan Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang berharga bagi skripsi ini.
3. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
4. Papa, Mama, serta Adik tercinta yang telah mendukung dalam doa dan memberi perhatian yang besar.
5. Kekasihku tersayang, Z. Arifin T. S. yang setia memberi semangat dan dukungan baik secara moral maupun spiritual selama pengerjaan skripsi ini. 6. Saudara-saudaraku di KTB The Coolest Girls of God selalu bersedia
7. Teman-teman di PMK Teknik UKDW dan anak-anak di KTB Carlene yang senantiasa memberi keceriaan, penghiburan, serta doa.
8. Teman-teman di kontrakan Eagles yang bersedia memberikan tempat, waktu, dan komputernya selama pengerjaan skripsi ini dari awal hingga akhir.
9. Teman-teman di Kost Putri Biroe, terkhusus Yuni, yang terus memberikan dorongan semangat dan bantuannya dalam mengerjakan skripsi.
10. Teman-teman angkatan 2002 fakultas Psikologi Sanata Dharma Yogyakarta, terkhusus teman-teman satu bimbingan, yang telah saling mendukung dan bertukar ilmu serta informasi selama pengerjaan skripsi.
Akhir kata penulis dengan kerendahan hati mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, Tuhan memberkati. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Yogyakarta, Maret 2007
DAFTAR ISI
Halaman Judul ……… i
Halaman Persetujuan ………... ii
Halaman Pengesahan ………. iii
Halaman Persembahan ………... iv
Pernyataan Keaslian Karya ……… v
Kata Pengantar ………... vi
BAB III METODE PENELITIAN ……… 36
A. Jenis Penelitian ………... 36
B. Identifikasi Variabel Penelitian ……….. 36
C. Definisi Operasional ………... 36
E. Alat Pengumpul Data ………. 40
F. Validitas dan Reliabilitas ……….………... 45
G. Prosedur Penelitian ………...…. 46
H. Persiapan Penelitian ……… 47
I. Metode Analisis Data ……….. 51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………... 52
A. Deskripsi Subjek Penelitian ………….………... 52
B. Deskripsi Data Statistik Penelitian ……….. 52
C. Uji Asumsi ………... 53
D. Uji Hipotesis ……… 55
E. Kategorisasi ……….. 56
F. Pembahasan ……… 58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 65
A. Kesimpulan ……… 65
B. Saran ………... 65
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Kisi-Kisi Skala Tingkat Stres ……….………... 40
Tabel 2: Nilai Alternatif Jawaban Skala Tingkat Stres .….……… 41
Tabel 3: Kisi-Kisi Skala Perilaku Asertif ……….………... 43
Tabel 4: Nilai Alternatif Jawaban Skala Perilaku Asertif ....………... 44
Tabel 5: Kisi-Kisi Skala Tingkat Stres Setelah Uji Coba ………. 49
Tabel 6: Kisi-Kisi Skala Perilaku Asertif Setalah Uji Coba ………. 50
Tabel 7: Data Usia Subjek ..……….…….…………. 52
Tabel 8: Rangkuman Hasil Statistik Deskriptif …………....………... 53
Tabel 9: Rangkuman Hasil Uji Normalitas ……… 54
Tabel 10: Interpreatsi Terhadap Nilai r Hasil Analisis Korelasi ..……… 55
Tabel 11: Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Product Moment Pearson …...….. 56
Tabel 12: Kategori Skor Kumulatif Skala Perilaku Asertif ………. 57
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja adalah salah satu tahap perkembangan yang dilalui oleh seorang individu. Pada masa ini terjadi peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dalam proses ini remaja akan mempersiapkan diri memasuki masa dewasa dan meninggalkan masa kanak-kanak. Oleh karena itu terjadi perubahan-perubahan dalam diri remaja baik perubahan fisiologis, sosial, maupun psikologis.
Remaja mengalami pematangan fisik dan tidak jarang perubahan fisik tersebut menimbulkan kecanggungan pada diri remaja. Oleh karena itu, remaja harus menyesuaikan diri dengan segala perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Pada saat yang hampir bersamaan remaja juga mendapat tuntutan-tuntutan peranan sosial yang baru dari lingkungannya. Remaja harus belajar menyelaraskan dirinya kepada kehidupan orang dewasa sehingga pada masa ini minat dan perilaku remaja mengalami perubahan.
merasa memerlukan pendamping yang dapat membimbingnya untuk menghadapi kenyataan sebenarnya (Soekanto, 1989).
Semua masalah dan konflik yang dialami oleh remaja bila tidak dapat diatasi dengan baik dapat menimbulkan stres. Hal tersebut terjadi karena remaja yang merasa gagal dalam mengatasi permasalahannya memiliki kecenderungan untuk menilai bahwa kemampuan yang dimilikinya tidak dapat memenuhi tuntutan dari lingkungan. Penilaian tersebut dapat membuat remaja merasa tertekan. Chaplin (2001) mendefinisikan keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikis tersebut sebagai stres.
Stres pada remaja dapat mendorong mereka pada perilaku-perilaku negatif yang cenderung merusak dan merugikan dirinya sendiri. Salah satu contohnya adalah tindakan atau percobaan untuk bunuh diri yang jumlahnya cukup besar pada masa remaja. Diperkirakan 12% dari kematian pada kelompok anak dan remaja disebabkan karena bunuh diri. Bunuh diri pada remaja itu menunjukkan adanya suatu ketidakmampuan anak dan remaja dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi dan kurangnya mekanisme coping yang dimiliki dalam mengatasi stres (Pikiran Rakyat, 2004). Oleh karena itu, perlu diupayakan usaha untuk mencegah atau mengurangi stres pada remaja.
diharapkan mampu mengemukakan ide dan perasaannya secara jujur tanpa menyakiti orang lain. Hal ini dapat sangat menolong remaja karena pada masa ini pola berpikir abstrak mereka berkembang pesat sehingga remaja sering memiliki banyak ide dan pendapat yang terkadang masih sangat kaku. Terkadang remaja mempertahankan ide tersebut secara agresif, sedangkan sebagian lainnya memilih untuk bersikap pasif dan menutup diri sehingga pada akhirnya mereka mengalami konflik baik dengan orang lain maupun diri sendiri.
Dengan berperilaku asertif, tekanan yang dirasakan remaja dapat berkurang karena mereka mampu mengungkapkan ide dan perasaannya dengan baik kepada orang lain sehingga biasanya mereka juga mendapatkan respon yang baik dari orang lain. Berkurangnya rasa tertekan pada remaja dapat mengurangi atau memperkecil kesempatan remaja untuk mengalami stres.
Meskipun perilaku asertif tampaknya dapat menjadi salah satu alternatif cara untuk mengatasi stres, namun Er (1989) menyatakan bahwa keberhasilan perilaku asertif sebagai sebuah strategi coping tidak terlalu besar. Keberhasilan perilaku asertif ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah latar belakang budaya. Hal ini disebabkan karena latar belakang budaya dapat menyebabkan reaksi yang berbeda-beda terhadap perilaku asertif.
putih non–hispanic menunjukkan bahwa strategi coping ketiga kelompok subjeknya bervariasi. Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa subjek dari sebuah kelompok budaya tertentu dapat memiliki strategi coping stres yang berbeda dengan kelompok budaya lainnya. Dengan demikian efektivitas suatu strategi coping tidaklah sama untuk setiap budaya.
Penggunaan perilaku asertif sebagai strategi coping yang dikemukakan Santrock memiliki latar belakang kebudayaan Barat sehingga belum tentu pendapat tersebut sesuai untuk diterapkan di Indonesia yang berlatar belakang kebudayaan Timur. Teoh, dkk (1999) melakukan penelitian tentang persepsi mengenai etika pada budaya individualisme dan kolektivisme dengan menggunakan subjek penelitian dari dua negara yang berbeda, yaitu mahasiswa Australia dan mahasiswa Indonesia. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa mahasiswa Australia lebih cenderung menjadi lebih individualistis dan mahasiswa Indonesia lebih bersifat kolektif. Dari penemuan ini, dapat diketahui bahwa kebudayaan Indonesia yang cenderung kolektif berbeda dengan kebudayaan Barat yang cenderung lebih individualistis.
hak individu lainnya. Kesadaran ini mempermudah mereka untuk menerima perilaku asertif dalam kebudayaannya.
Berbeda dengan kebudayaan Barat, masyarakat Indonesia yang cenderung memiliki kebudayaan kolektif akan menomorsatukan masyarakat dan mengesampingkan individu. Suseno & Reksosusilo (1983) menyatakan bahwa pada taraf yang ekstreem kolektivisme berpendapat bahwa individu sama sekali tidak bernilai dan yang bernilai hanyalah masyarakat. Kecenderungan masyarakat Indonesia untuk mengutamakan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan pribadinya dapat mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap perilaku asertif sebagai strategi coping. Perbedaan kebudayaan ini dapat mempengaruhi keefektifan perilaku asertif sebagai strategi coping pada remaja di Indonesia.
remaja cenderung bertindak tidak berdasarkan keinginannya sendiri tetapi lebih pada keinginan kelompoknya.
Perilaku konformitas dapat menghambat perilaku asertif karena tidak jarang remaja mengorbankan nilai individualitasnya sendiri demi menyesuaikan diri dengan standar/ norma kelompoknya. Namun usaha remaja untuk mencari peranan sosial melalui kelompok-kelompok pergaulannya ini dipandang umum terjadi dan konformitas di kalangan remaja tersebut juga sering dinilai sebagai sesuatu yang wajar dialami pada masa ini. Oleh karena itu kemampuan untuk berperilaku asertif pada masa remaja terkadang justru dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan bagi remaja karena dapat mengganggu hubungan dengan kelompok pergaulannya. Ketakutan akan ketertolakan dan dikucilkan dari pergaulan ini pada akhirnya dapat menimbulkan stres pada remaja.
Berdasarkan asumsi mengenai perbedaan kebudayaan serta kecenderungan remaja untuk berperilaku konform, maka peneliti ingin mengetahui apakah pada remaja di Indonesia perilaku asertif menurunkan tingkat stres seperti pendapat Santrock, atau justru sebaliknya. Inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian terhadap hubungan antara perilaku asertif dan tingkat stres pada remaja.
B. Rumusan Masalah
“Apakah ada hubungan positif atau negatif antara perilaku asertif dan tingkat stres pada remaja?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menguji secara ilmiah apakah ada hubungan yang positif atau negatif antara perilaku asertif dan tingkat stres pada remaja.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan referensi atau sumber informasi bagi penelitian yang relevan di masa yang datang.
2. Manfaat praktis
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Remaja
1. Definisi dan Batasan Remaja
Masa remaja merupakan masa pancaroba atau masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke arah kedewasaan (Rifai, 1984). Pada masa peralihan ini remaja mengalami proses pendewasaan, yaitu proses untuk belajar dan menyelaraskan diri kepada kehidupan orang dewasa. Santrock (2003) juga mendefinisikan remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional.
Kemampuan kognitif dan pemahaman moral remaja juga mengalami perubahan. Pada masa ini remaja mampu berpikir secara abstrak dan memiliki kemampuan penalaran serta logika sebab-akibat. Oleh karena itu remaja mampu menciptakan pemecahan masalah untuk mengatasi masalah-masalah yang rumit. Selain itu remaja juga mampu menilai masalah moral dan etika dengan lebih kritis. Akan tetapi remaja masih memiliki dorongan egosentris, yaitu kecenderungan remaja untuk berfokus pada pendapat pribadi dibandingkan pendapat orang lain. Kecenderungan remaja untuk menempatkan diri sebagai pusat dari segala pertanyaan dan masalah hidup inilah yang sering menimbulkan kesalahpahaman dalam diri remaja.
Remaja menghadapi tugas yang penting dalam kehidupan sosial dan perkembangan pribadinya. Remaja perlu membangun kesadaran diri yang kuat untuk mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja. Dalam istilah psikologis, hal ini disebut sebagai membentuk sebuah identitas. Namun selain membentuk identitasnya, remaja juga harus menjalin hubungan dengan orang tua/ keluarga dan teman sebayanya (Crider, 1983). Pada masa ini remaja belajar untuk lebih mandiri dan mulai melepaskan ketergantungannya pada orang tua dan mulai memperluas hubungan antar pribadi serta berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik pria maupun wanita.
(2005) menetapkan usia sebelas sampai dua puluh empat tahun dan belum menikah sebagai batasan usia untuk remja di Indonesia. Batasan usia ini diambil dengan pertimbangan bahwa pada usia sebelas tahun pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak. Usia dua puluh empat tahun dipilih sebagai batas maksimal untuk remaja di Indonesia untuk memberikan peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua, belum memiliki hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara adat dan tradisi), belum dapat memberikan pendapatan sendiri, dan sebagainya. Selain itu status pernikahan masih sangat penting di masyarakat Indonesia. Individu yang sudah menikah pada usia berapapun akan dianggap dan di perlakukan sebagai orang dewasa, baik secara hukum maupun kehidupan masyarakat sehingga definisi remaja dibatasi untuk yang belum menikah.
Dari definisi dan batasan usia remaja yang telah dinyatakan oleh beberapa ahli perkembangan, maka dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak menuju masa dewasa dan pada masa tersebut terjadi perubahan fisiologis, kognitif, dan sosial. Rentang usia remaja pada penelitian ini akan dimulai dari usia dua belas dan berakhir pada usia dua puluh satu tahun. Batasan usia ini diambil dengan mempertimbangkan bahwa pada usia dua belas tahun mulai terjadi perkembangan fisik yang cepat dan kemunculan tanda-tanda seksual sekunder.
Usia dua puluh satu tahun ditetapkan menjadi batas maksimal masa remaja karena pada umumnya individu telah mampu membentuk identitas dirinya dan mulai melakukan peran dan tugas perkembangan selanjutnya.oleh karena itu individu yang berusia di atas dua puluh satu tahun tidak lagi dapat dimasukkan dalam kategori masa remaja melainkan telah memasuki masa dewasa awal. Masa remaja ini dibagi menjadi tiga, yaitu masa remaja awal yang berlangsung dari usia dua belas tahun hingga usia lima belas tahun, masa remaja pertengahan yang terjadi pada usia lima belas sampai delapan belas tahun, dan remaja akhir yang berlangsung antara usia delapan belas sampai dua puluh satu tahun. Selain itu pada penelitian ini remaja juga dibatasi oleh status pernikahan.
diperlakukan sebagai orang dewasa. Oleh karena itu pada penelitian ini remaja dibatasi untuk individu yang belum menikah.
2. Tugas Perkembangan Remaja
Setiap individu akan melewati berbagai tahap perkembangan dalam hidup mereka. Dalam tiap tahap perkembangan hidup tersebut individu akan berhadapan dengan tugas perkembangan yang berbeda-beda. Sama seperti tahap perkembangan yang lain, masa remaja juga memiliki tugas – tugas perkembangan yang harus dihadapi oleh individu.
Erik Erikson (Santrock, 2003) dalam teori psikososialnya mengenai tahap perkembangan manusia menyatakan bahwa tugas perkembangan pada masa remaja adalah pembentukan identitas. Pada masa ini remaja berusaha untuk menemukan siapakah mereka sebenarnya, apa saja yang ada pada dirinya, dan arah mereka dalam menjalani hidup.
Remaja yang tidak berhasil membentuk identitasnya akan mengalami kebimbangan akan identitasnya (identity confusion). Kebimbangan tersebut bisa menyebabkan dua hal, yaitu penarikan diri individu atau meleburkan diri dengan dunia teman sebayanya dan kehilangan identitas dirinya.
pembentukan identitas. Remaja perlu untuk mencapai peranan sosialnya serta membentuk sistem nilai – nilai moral dan falsafah hidup. Selain itu Havighurst juga mengumpulkan beberapa tugas perkembangan pada masa remaja yang lain, yaitu memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik pria maupun wanita, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif, mencapai kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mempersiapkan karier ekonomi, serta mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
Dari beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tugas perkembangan pada masa remaja adalah pembentukan identitas yang meliputi pencapaian peranan sosial dan pembentukan sistem moral serta falsafah hidup, memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, mampu menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif, mencapai kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mempersiapkan karier ekonomi, serta mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
dapat menimbulkan dampak yang negatif pada perkembangan hidup selanjutnya.
B. Stres
1. Definisi Stres
Menurut Crider, Dkk (1983), stres adalah suatu pola khusus dari reaksi psikologis dan fisiologis yang muncul saat suatu peristiwa mengancam tujuan yang penting bagi individu yang bersangkutan dan menuntut kemampuan individu tersebut untuk mengatasinya. Sedangkan Gerrig (2002) mendefinisikan stres sebagai pola respon yang dibuat oleh organisme terhadap peristiwa-peristiwa yang mengganggu keseimbangannya serta mengganggu atau melampaui kemampuan organisme tersebut untuk mengatasinya. Serupa dengan pendapat Gerrig, Santrock (2003) menyatakan bahwa stres merupakan respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stresor) yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya (Coping).
2. Reaksi Terhadap Stres
Stres akan mempengaruhi individu dan memunculkan berbagai reaksi. Tanner (1976) menyatakan bahwa ada tiga tipe respon terhadap stres, yaitu respon emosional, respon perilaku, dan respon fisiologis. Hampir serupa dengan pendapat Tanner, Taylor (!999) juga menyebutkan bahwa stres menimbulkan beberapa reaksi, antara lain:
a. Reaksi kognitif, meliputi ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan mengalami gangguan perhatian, gangguan kinerja dalam tugas kognitf, pemikiran yang ceroboh, berulang-ulang, atau tidak sehat. b. Reaksi emosional, meliputi kecemasan, depresi, rasa takut, marah,
kebingungan, dan sebagainya.
c. Reaksi Perilaku, yaitu meningkatnya perilaku konfrontatif atau sebaliknya, perilaku menarik diri dari sumber stres.
d. Reaksi fisiologis, seperti meningkatnya tekanan darah, meningkatnya detak jantung, berkeringat, dan menyempitnya pembuluh darah periperal.
Menurut Crider, Dkk (1983) stres menimbulkan tiga macam reaksi. Ketiga reaksi terhadap stres tersebut antara lain:
a. Reaksi Emosional.
Reaksi emosional yaitu meliputi perasaan cemas, mudah marah, tertekan/ depresi, dan rasa bersalah. Reaksi emosional yang paling sering muncul adalah kecemasan dan depresi. Individu yang mengalami kecemasan akan cenderung merasa khawatir, tegang, gugup, merasa ketakutan tanpa alasan yang jelas, menyalahkan diri sendiri, gemetar, dan sebagainya. Sedangkan individu yang depersi akan merasa sangat sedih dan mudah menangis, merasa tidak berharga, letih/ merasa tidak bertenaga, dan pesimis.
b. Reaksi Kognitif.
c. Reaksi Fisiologis.
Reaksi fisiologis akibat stres antara lain detak jantung meningkat, sakit kepala, sembelit/ sulit buang air besar, pening/ pusing, mulut kering, rahang mengencang/ tegang, nyeri otot, gemetar, nyeri pada dada, lemas/ merasa tidak bertenaga pada bagian tubuh tertentu, letih, mual dan gangguan pencernaan, telapak tangan berkeringat, tangan dan kaki menjadi dingin, sering buang air kecil, sulit bernapas.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa stres memunculkan beberapa macam reaksi, yaitu:
a. Reaksi Emosional.
Reaksi emosional antara lain meliputi kecemasan, mudah khawatir, merasa tegang dan gugup, merasa ketakutan tanpa alasan yang jelas, mudah marah, tertekan/ depresi, merasa sangat sedih dan mudah menangis, menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berharga, dan pesimis.
b. Reaksi Fisiologis.
telapak tangan berkeringat, tangan dan kaki menjadi dingin, sering buang air kecil, sulit bernapas.
c. Reaksi Kognitif.
Reaksi kognitif meliputi ketidakmampuan atau kesulitan untuk berkonsentrasi dan mengalami gangguan perhatian, daya ingat menurun, pikiran menjadi kacau dan mudah bingung, munculnya pemikiran obsesif (pemikiran yang berulang – ulang), mimpi buruk, dan munculnya pemikiran yang negatif.
d. Reaksi Perilaku.
Reaksi perilaku antara lain berupa tidur tidak teratur atau insomnia (susah tidur), nafsu makan berubah, serta meningkatnya perilaku konfrontatif atau sebaliknya, perilaku menarik diri dari sumber stres.
3. Penyebab Stres
Banyak faktor yang dapat menyebabkan seorang individu mengalami stres. Davis (1995) menyebutkan ada tiga sumber stres, yaitu:
a. Lingkungan, meliputi kondisi alam sekitar seperti cuaca, kepadatan, dan sebagainya maupun hubungan sosial seperti tuntutan interpersonal, standar penampilan serta berbagai macam ancaman rasa aman dan harga diri.
tersebut misalnya pertumbuhan yang cepat pada remaja, manepause pada wanita, proses menua, penyakit, kecelakaan, kurangnya latihan (gerak badan), nutrisi yang buruk, dan gangguan tidur. Reaksi kita pada ancaman dan perubahan lingkungan juga menyebabkan perubahan dalam tubuh yang menyebabkan keadaan stres.
c. Pikiran. Stres dimulai dari penilaian individu yang bersangkutan terhadap situasi. Dengan kata lain, cara seorang individu menafsirkan, mempersepsikan, dan memberi label pada pengalamannya serta prediksi mengenai masa depan akan menentukan stres individu yang bersangkutan tersebut.
Morris (1990) menyatakan bahwa stres dapat berasal dari beberapa sumber, antara lain:
a. Perubahan. Setiap orang secara umum menginginkan kontinuitas, keteraturan, dan kehidupan yang dapat diprediksi/ diperkirakan. Oleh karena itu, setiap perubahan dan diskontinuitas dalam kehidupan seseorang akan menimbulkan stres.
b. Gangguan Sehari-hari. Stres juga dapat muncul karena kekacauan-kekacauan kecil serta gangguan sehari-hari seperti terjebak kemacetan lalu lintas, lupa meletakkan kunci, terlibat dalam pertengkaran sepele, dan sebagainya.
perilakunya. Tekanan juga muncul saat individu menghadapi standar kinerja yang lebih tinggi. Ada dua macam tekanan, antara lain:
1) Tekanan Internal, yaitu tekanan yang muncul dari dalam diri individu sendiri, dari idealsime dan tujuan-tujuan pribadi individu sendiri.
2) Tekanan Eksternal, yaitu tekanan yang muncul karena tuntutan dari lingkungan atau dari orang lain. Tekanan eksternal juga muncul saat seseorang berusaha menyenangkan atau memuaskan harapan orang-orang yang penting dalam hidupnya.
d. Frustrasi. Stres muncul saat seorang individu terhalang dalam usahanya untuk meraih tujuannya. Ada beberapa sumber frustrasi, antara lain:
1) Penundaan dan Keterlambatan, misalnya saat mengantri, saat menunggu orang lain yang terlambat datang, dan sebagainya. 2) Kekurangan. Seseorang dapat menjadi frustasi saat tidak
memiliki cukup uang untuk memenuhi keinginannya, saat kemampuan yang dimilikinya tidak cukup untuk menghadapi tugas atau tantangan yang ada, dan sebagainya.
dengan orang lain, perpisahan atau kematian orang terdekat, dan sebagainya.
4) Kesalahan. Seseorang akan merasa frustasi saat mengalami kesalahan, karena kesalahan dapat menimbulkan perasaan bersalah.
5) Diskriminasi. Saat seseorang tidak mampu menyelesaikan tujuannya karena faktor jenis kelamin, ras, agama, atau usia; maka mereka akan mengalami frustasi.
e. Konflik. Konflik muncul saat seseorang mengalami tuntutan atau keinginan yang tidak sesuai dalam banyak hal. Ada tiga jenis konflik, yaitu:
1) Approach – Approach Conflict, yaitu konflik yang muncul saat individu harus memilih diantara dua atau lebih pilihan yang diinginkan.
2) Avoidance – Avoidance Conflict, yaitu konflik yang muncul saat individu harus memilih diantara dua atau lebih kemungkinan/ pilihan yang tidak diinginkan.
Dari pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa sumber stres, yaitu antara lain:
a. Perubahan, baik perubahan yang disebabkan oleh faktor diluar diri individu seperti kondisi lingkungan dan hubungan interpersonal dengan orang lain maupun perubahan yang terjadi pada fisik individu yang bersangkutan.
b. Gangguan Sehari-hari, yaitu kekacauan-kekacauan kecil serta gangguan yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari, seperti terjebak kemacetan lalu lintas, lupa meletakkan kunci, terlibat dalam pertengkaran sepele, dan sebagainya.
c. Frustrasi, yaitu perasaan yang muncul saat seorang individu terhalang dalam usahanya untuk meraih tujuannya. Ada beberapa sumber frustrasi, antara lain penundaan dan keterlambatan, kekurangan, kehilangan, kesalahan, dan diskriminasi.
d. Konflik, yaitu kondisi yang muncul saat seseorang mengalami tuntutan atau keinginan yang tidak sesuai dalam banyak hal. Ada tiga jenis konflik, yaitu:
1) Approach – Approach Conflict, yaitu konflik yang muncul saat individu harus memilih diantara dua atau lebih pilihan yang diinginkan.
3) Approach – Avoidance Conflict, yaitu konflik yang muncul karena secara serentak individu tertarik pada sesuatu tetapi disaat yang sesuatu yang disukai individu tersebut memiliki aspek yang tidak disukai atau tidak diinginkan oleh individu tersebut.
e. Pikiran, yaitu cara seorang individu menafsirkan, mempersepsikan, dan memberi label pada pengalamannya serta prediksi mengenai masa depan. Selain itu pikiran juga mencakup tekanan yang berasal dari idealsime dan tujuan-tujuan pribadi individu yang bersangkutan.
C.
Perilaku Asertif1. Definisi Perilaku Asertif
Perilaku asertif berarti mampu menyatakan ide dan perasaan secara terbuka dalam hubungan interpersonal yang efektif (Verderberg, 1984). Perilaku asertif ini meliputi kemampuan untuk menyatakan pendapat serta keberanian untuk bertanggung jawab atas tindakan dan perasaan yang dimiliki, namun tidak dengan menyerang orang lain secara pribadi.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif adalah kemampuan untuk menyatakan ide, pemikiran, perasaan, dan kebutuhan diri sendiri secara jujur dan terbuka serta kemampuan untuk mengambil inisiatif dalam memenuhi kebutuhannya, tetapi dengan tetap menunjukkan rasa hormat terhadap orang lain sehingga tidak menyerang atau melukai perasaan lawan bicaranya.
2. Ciri-ciri Perilaku Asertif
Perilaku asertif memiliki beberapa ciri khusus, Zeuschner (1992) menyebutkan ciri-ciri perilaku asertif sebagai berikut:
a. Memiliki kemauan untuk berkomunikasi. Artinya berkemauan untuk menyatakan ide, pemikiran, dan perasaan yang dimiliki. b. Bertanggung jawab. Artinya bersikap mandiri dengan bertanggung
jawab terhadap segala ide dan perasaan yang muncul serta mau mengakui secara jujur ide dan perasaan yang dimilikinya tersebut. c. Kemampuan untuk berkomunikasi sesuai dengan norma dan
budaya. Artinya cara menyampaikan ide dan perasaannya tidak bertentangan dengan aturan dan budaya sekitarnya.
d. Terkendali dan terkontrol. Artinya mampu menyampaikan ide, pemikiran, dan perasaan tanpa menyerang atau melukai perasaan lawan bicaranya.
a. Adanya kemampuan untuk bergaul dengan jujur dan langsung. Individu yang berperilaku asertif menyatakan perasaan, kebutuhan-kebutuhan, ide, dan mempertahankan hak mereka tetapi dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak melanggar hak dan kebutuhan orang lain.
b. Adanya perilaku yang otentik, apa adanya, terbuka dan langsung. c. Kemampuan untuk bertindak demi kepentingan sendiri. Individu
yang berperilaku asertif mampu mengambil inisiatif demi memenuhi kebutuhannya.
d. Kemampuan untuk meminta informasi dan bantuan dari orang lain apabila membutuhkannya.
e. Bila berkonflik dengan orang lain, individu yang berperilaku asertif bersedia mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak.
Alberti & Emmons (1987) mengemukakan unsur-unsur yang terdapat dalam perilaku asertif, yaitu:
b. Bertindak sesuai dengan minat. Individu-individu yang asertif selalu bertindak sesuai dengan yang paling diminati dan berdasarkan motivasi yang muncul dari dalam dirinya. Mereka bertindak tanpa banyak dipengaruhi oleh individu lain. Mereka bertindak sesuai dengan suara hati, dengan apa yang dibutuhkan, diinginkan, dan dirasakan. Mereka dapat menentukan sendiri arah hidupnya tanpa dipengaruhi oleh lingkungannya.
c. Mempertahankan hak-hak pribadi. Individu yang asertif mampu mempertahankan hak-hak pribadinya tanpa merasa cemas. Mereka mampu untuk berkata ‘tidak’, menetapkan batasan-batasan waktu dan tenaga, menyatakan kekecewaan atau kekesalan, mengekspresikan dukungan atau bantahan terhadap suatu pendapat. Mereka menggunakan hak-hak pribadinya tanpa memungkiri bahwa individu lain juga memiliki hak-hak yang sama. Jadi mereka menyadari akan hak-hak pribadinya dan mempertahankan hak-hak mereka tersebut tanpa melanggar hak-hak individu lain.
kebutuhannya kepada individu lain tanpa ia sendiri merasa cemas, ragu-ragu, atau takut.
e. Menghormati individu lain, tidak melanggar hak-hak individu lain. Individu-individu asertif beranggapan bahwa individu lain adalah pribadi yang memiliki hak-hak yang sama dengan dirinya. Untuk itu individu asertif selalu berusaha menghargai hak individu lain dalam interaksinya dengan individu lain. Individu asertif terbiasa mengembangkan perilaku yang tidak menyerang individu lain, tidak melukai, mengancam, dan tidak menguasai individu lain. Individu-individu asertif dapat menghargai pribadi individu lain dengan segala haknya.
Berdasarkan penjelasan beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif memiliki beberapa ciri sebagai berikut:
a. Memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan pemikiran dan perasaan yang dimiliki seefektif mungkin. Kemampuan berkomunikasi ini meliputi:
1) Bergaul dengan jujur dan langsung. Bersikap otentik, terbuka, dan apa adanya.
2) Berani mengutarakan pendapat, ide atau pemikirannya.
4) Mampu meminta informasi dan bantuan kepada orang lain ketika membutuhkannya.
b. Mampu berkata “tidak” tanpa merasa takut atau cemas.
c. Dapat berinisiatif dan mandiri. Mampu menentukan sendiri arah hidupnya tanpa dipengaruhi oleh lingkungan atau individu lain. Mampu bertindak sesuai dengan suara hati, dengan apa yang dibutuhkan, diinginkan, dan dirasakan.
d. Menghormati hak orang lain. Termasuk didalamnya:
1) Mempertahankan hak-hak pribadi tanpa melanggar melanggar hak-hak individu lain.
2) Mampu berkomunikasi secara sopan sesuai dengan norma yang ada sehingga tidak melukai atau menyerang lawan bicara. 3) Menjunjung persamaan derajat manusia sehingga tidak merasa
rendah diri atau sebaliknya, bersikap meremehkan, saat berinteraksi dengan orang lain.
4) Bersedia mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak ketika mengalami konflik dengan orang lain.
D. Hubungan Antara Perilaku Asertif Dan Tingkat Stres
fungsi kognitif berupa kemampuan untuk berpikir abstrak sampai pada perubahan peran sosial serta kemandirian.
Salah satu sumber stres adalah adanya perubahan yang mengganggu kontinuitas dan kestabilan hidup individu yang bersangkutan. Oleh karena itu, perubahan yang muncul pada masa remaja dapat menimbulkan stres apabila remaja yang bersangkutan tidak mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan tersebut.
Stres dapat menimbulkan dampak yang negatif karena stres yang tidak dikelola dengan baik dapat mengganggu kondisi fisik, psikologis, kognitif, serta perilaku individu yang bersangkutan. Dampak negatif stres pada remaja dapat dilihat dari berbagai bentuk perilaku merusak serta kenakalan remaja. Contoh perilaku tersebut antara lain bunuh diri serta percobaan bunuh diri yang jumlahnya cukup tinggi pada usia remaja, pemakaian obat-obatan terlarang, atau pengkonsumsian rokok dan minuman keras. Karena itulah, stres perlu dikelola dan di atasi sesegera mungkin.
Ada berbagai macam bentuk coping yang dapat digunakan untuk menanggulangi dan mengelola stres, salah satunya adalah perilaku asertif. Namun latar belakang budaya dapat mempengaruhi reaksi masyarakat yang bersangkutan terhadap perilaku asertif sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi terbentuknya perilaku asertif pada seorang individu (Santoso, 1999).
menghambat terbentuknya perilaku asertif, akan tetapi perkembangan komunikasi dan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini mempermudah suatu negara dengan kebudayaan tertentu untuk mempelajari nilai-nilai dan kebudayaan negara lain yang berbeda serta mengadopsi unsur-unsur kebudayaan lain tersebut. Sarwono (2005) menyatakan bahwa kemajuan teknologi komunikasi telah menyebarluaskan dan memasyarakatkan gaya hidup, nilai, dan perilaku. Oleh karena itu kemajuan teknologi komunikasi juga memungkinkan perilaku asertif yang lebih dulu berkembang di kebudayaan Barat dipelajari dan diadopsi oleh remaja di Indonesia yang berlatar belakang kebudayaan Timur.
Perilaku asertif dapat menjadi pilihan yang tepat untuk mengatasi stres pada masa remaja karena perilaku asertif akan memampukan remaja untuk mengkomunikasikan ide, pendapat, atau perasaan yang dimilikinya secara jujur sehingga tekanan yang dirasakan remaja karena perkembangan fungsi kognitifnya dapat di atasi. Remaja yang tidak mau terbuka dan mengkomunikasikan pemikirannya akan lebih berpeluang untuk merasa tertekan. Hal ini terjadi karena biasanya pemikiran remaja yang unik dan segar membutuhkan suatu penjelasan yang baik agar orang lain dapat memahaminya. Oleh karena itu, perasaan tidak di pahami oleh orang lain akan lebih mudah dialami remaja yang tidak berperilaku asertif dibandingkan dengan remaja yang berperilaku asertif.
sehingga pada akhirnya akan menimbulkan stres. Oleh karena itu remaja yang tidak berperilaku asertif akan memiliki resiko lebih besar untuk mengalami stres daripada remaja yang berperilaku asertif.
Perilaku asertif pada masa remaja juga dapat menolong remaja untuk memperoleh bantuan saat mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan fisiknya maupun saat menghadapi tantangan tugas perkembangannya karena perilaku asertif memungkinkan remaja untuk meminta pertolongan kepada orang lain. Hardjana (1994) mengemukakan bahwa terkadang stres yang dihadapi oleh seorang individu terlalu sulit untuk dapat di atasi seorang diri sehingga diperlukan bantuan dari orang lain. Oleh karena itu, meminta bantuan kepada orang lain merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi stres. Remaja yang tidak mampu secara jujur meminta bantuan kepada orang lain akan lebih berpeluang untuk menyerah dalam menghadapi masalah dan tuntutan perkembangan pada masa remaja. Kegagalan dalam mengatasi dan menyelesaikan tugas perkembangan ini akan menimbulkan tekanan dan berdampak buruk pada tahap perkembangan hidup selanjutnya.
ketakutan dan kecemasan akan penolakan dari kelompok teman sebayanya sehingga justru dapat menimbulkan tekanan dalam diri remaja. Akan tetapi, perilaku asertif sesungguhnya justru dapat membantu remaja dalam menghadapi perubahan sosialnya dengan keluarga dan teman sebayanya.
Perilaku asertif dapat membantu remaja terhindar dari konflik dengan orang lain akibat kesalahpahaman. Hal ini terjadi karena pada saat berperilaku asertif remaja akan mengkomunikasikan perasaan dan pemikirannya secara terkendali dan terkontrol sehingga tidak melukai lawan bicaranya. Dengan demikian perilaku asertif juga akan membantu remaja untuk menjalin hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain. Sebaliknya, tanpa perilaku asertif hubungan remaja dengan orang lain dapat mengalami banyak ketegangan dan kesalahpahaman. Ketegangan dapat tercipta ketika remaja memutuskan untuk tidak mendiskusikan secara terbuka mengenai sesuatu pengalaman atau situasi yang tidak menyenangkan dengan orang lain. Kesalahpahaman juga dapat terbentuk jika remaja memutuskan untuk mengutarakan isi hatinya tanpa kontrol yang baik sehingga pada akhirnya dapat melukai lawan bicaranya dan merusak hubungan interpersonal remaja.
sikap atau tindakan negatif dari kelompok sosialnya seperti misalnya merokok, perusakan fasilitas umum, dan sebagainya.
Perilaku asertif tetap memberi kesempatan remaja untuk bersikap konform dengan kelompok teman sebayanya mengenai hal-hal yang tidak bertentangan dengan prinsip atau norma yang diyakini oleh remaja yang bersangkutan, namun di sisi lain akan memampukan remaja untuk bersikap tegas dalam menolak pengaruh negatif dari kelompok teman sebayanya. Remaja yang tidak memiliki kemampuan berperilaku asertif akan lebih sulit menolak tekanan kelompoknya sehingga hal ini akan membuatnya menjadi mudah mengalami tekanan akibat seringnya mengorbankan keyakinan dan prinsip hidupnya demi mengikuti keinginan kelompoknya.
F.
HipotesisBerdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasional, yaitu penelitian yang bertujuan menyelidiki ada tidaknya hubungan antara satu variabel dengan satu atau lebih variabel lain (Leedy & Ormrod, 2005). Dalam penelitian ini akan dicari apakah ada hubungan antara perilaku asertif dengan stres pada remaja.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Penelitian ini mengandung dua variabel sebagai objek penelitian, yaitu: 1. Variabel Bebas : Perilaku Asertif
2. Variabel Tergantung : Tingkat stres
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional variabel-variabel penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Reaksi Emosional, antara lain meliputi kecemasan dan mudah khawatir, merasa tegang dan gugup, merasa ketakutan tanpa alasan yang jelas, mudah marah, tertekan/ depresi, merasa sangat sedih dan mudah menangis, menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berharga, dan pesimis.
b. Reaksi Fisiologis, yaitu detak jantung meningkat, sakit kepala, sembelit/ sulit buang air besar, pening/ pusing, mulut terasa kering, rahang mengencang/ tegang, nyeri otot, gemetar, nyeri pada dada, lemas/ merasa tidak bertenaga pada bagian tubuh tertentu, letih, mual dan gangguan pencernaan, telapak tangan berkeringat, tangan dan kaki menjadi dingin, sering buang air kecil, sulit bernapas.
c. Reaksi Kognitif, yaitu meliputi ketidakmampuan atau kesulitan untuk berkonsentrasi dan mengalami gangguan perhatian, daya ingat menurun, pikiran menjadi kacau dan mudah bingung, munculnya pemikiran obsesif (pemikiran yang berulang – ulang), mimpi buruk, dan munculnya pemikiran yang negatif.
semakin rendah skor total yang diperoleh individu pada skala tingkat stres, semakin rendah tingkat stresnya.
2. Perilaku asertif adalah kemampuan untuk menyatakan ide, pemikiran, dan perasaan secara jujur dan terbuka tanpa menyerang atau melukai lawan bicaranya. Aspek-aspek yang terdapat dalam perilaku asertif adalah:
a. Mampu untuk mengkomunikasikan pemikiran dan perasaan yang dimiliki seefektif mungkin. Kemampuan ini meliputi kemampuan untuk bergaul dengan jujur dan langsung dengan bersikap otentik dan apa adanya, berani mengutarakan pendapat atau pemikirannya, mampu mengekspresikan perasaan secara terbuka dan nyaman tanpa merasa cemas, ragu-ragu, atau takut, seta kemampuan untuk meminta informasi dan bantuan kepada orang lain ketika membutuhkannya. b. Mampu berkata “tidak” tanpa merasa takut atau cemas.
c. Dapat berinisiatif dan mandiri. Mampu menentukan sendiri arah hidupnya tanpa dipengaruhi oleh lingkungan atau individu lain. Bertindak sesuai dengan suara hati, dengan apa yang dibutuhkan, diinginkan, dan dirasakan.
berinteraksi dengan orang lain, serta bersedia mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak ketika mengalami konflik dengan orang lain.
Tinggi rendahnya perilaku asertif dilihat dari skor total skala perilaku asertif yang diukur berdasarkan aspek-aspek yang terdapat dalam perilaku asertif. Semakin tinggi nilai skor total yang diperolah seorang individu pada skala perilaku asertif yang disusun peneliti, semakin tinggi perilaku asertif individu yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin rendah skor total yang diperolah individu pada skala perilaku asertif, semakin rendah perilaku asertifnya.
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah remaja yang berusia antara usia dua belas tahun sampai 21 tahun dan belum menikah, dengan alasan bahwa status pernikahan di Indonesia akan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang akan dipandang dan diperlakukan. Seorang individu yang sudah menikah pada usia berapa pun akan dituntut berperan sebagai orang dewasa. Oleh karena itu pada penelitian ini remaja dibatasi untuk individu yang belum menikah.
E. Alat Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk pengambilan data dalam penelitian ini adalah penyebaran skala untuk diisi oleh subjek. Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala, yaitu:
1. Skala Tingkat Stres
Skala tingkat stres ini disusun sendiri oleh peneliti. Pembuatan aitem-aitem dalam skala tingkat stres ini mengacu pada indikator stres yang meliputi reaksi emosional, reaksi fisiologis, reaksi kognitif, dan reaksi perilaku. Aitem-aitem skala tingkat stres ini akan dibuat dalam dua tipe pernyataan, yaitu mendukung (Favourable) dan tidak mendukung (Unfavourable). Aitem pernyataan mendukung adalah aitem-aitem yang bersifat positif atau mendukung indikator-indikator dari variabel yang diukur, sedangkan aitem pernyataan tidak mendukung adalah aitem-aitem yang bersifat negatif atau tidak mendukung indikator-indikator dari variabel yang diukur. Kisi-kisi aitem skala tingkat stres dapat dilihat pada tabel 1:
Tabel 1
Kisi – Kisi Skala Tingkat Stres Nomor aitem No Indikator
Dalam penelitian ini skala pengukuran yang dibuat hanya menggunakan empat alternatif jawaban yang merupakan modifikasi dari skala Likert. Keempat alternatif jawaban itu antara lain Hampir Selalu (HS), Sering (S), Jarang (J), dan Tidak Pernah (TP).
Dasar yang digunakan dalam menentukan nilai skala pengukuran pada penelitian ini ditentukan secara arbiter, yaitu penentuan nilai skala yang dilakukan secara sewenang-wenang untuk kepentingan penelitian. Alternatif jawaban dan nilai yang dipakai pada skala tingkat stres dapat dilihat dalam tabel 2:
Tabel 2
Nilai Alternatif Jawaban
Alternatif Jawaban Mendukung Tidak Mendukung
Hampir Selalu (HS) 4 1
Sering (S) 3 2
Jarang (J) 2 3
Tidak Pernah (TP) 1 4
Berdasarkan tabel 2, setiap jawaban dari subjek pada masing – masing butir pernyataan akan diberi skor sesuai dengan yang telah ditetapkan pada tabel tersebut.
2. Skala Perilaku Asertif
dan langsung, berani mengutarakan pendapat atau pemikirannya, mampu mengekspresikan perasaan secara terbuka dan nyaman tanpa merasa cemas, ragu-ragu, atau takut, seta kemampuan untuk meminta informasi dan bantuan kepada orang lain ketika membutuhkannya, mampu berkata “tidak” tanpa merasa takut atau cemas, dapat berinisiatif dan mandiri, tidak melanggar hak-hak individu lain, kemampuan berkomunikasi secara sopan sesuai dengan norma yang ada sehingga tidak melukai lawan bicara, menjunjung persamaan derajat manusia, serta bersedia mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak ketika mengalami konflik dengan orang lain.
Tabel 3
Kisi – Kisi Skala Perilaku Asertif
Nomor aitem
1. Dapat bergaul dengan jujur dan langsung.
5, 21, 41 9, 29, 49 6 10%
2. Berani mengutarakan pendapat, ide atau pemikirannya
10, 30, 50 18, 38, 58 6 10%
3. Mengekspresikan
perasaan secara terbuka dan nyaman tanpa ragu – ragu, cemas, atau takut.
1, 25, 42 16, 36, 56 6 10%
4. Meminta informasi dan bantuan kepada orang lain ketika membutuhkannya
11, 31, 51 6, 26, 46 6 10%
5. Mampu berkata “tidak” tanpa merasa takut atau cemas
4, 22, 45 14, 34, 54 6 10%
6. Dapat berinisiatif dan mandiri
3, 23, 44 15, 35, 55 6 10%
7. Tidak melanggar hak – hak individu lain.
17, 37, 57 7, 27, 47 6 10%
8. Berkomunikasi secara sopan.
12, 32, 52 19, 39, 59 6 10%
9. Menjunjung persamaan derajat manusia. konflik dengan orang lain.
13, 33, 53 8, 28, 48 6 10%
Jumlah 60 100%
Tabel 4
Nilai Alternatif Jawaban
Alternatif Jawaban Mendukung Tidak Mendukung
Sangat Sesuai (SS) 4 1
Sesuai (S) 3 2
Tidak sesuai (TS) 2 3
Sangat Tidak Sesuai (STS) 1 4
Berdasarkan tabel 4, setiap jawaban dari subjek pada masing – masing butir pernyataan akan diberi skor sesuai dengan yang telah ditetapkan pada tabel tersebut.
Alternatif jawaban tengah atau netral tidak disediakan pada skala yang akan digunakan pada penelitian ini. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan kelemahan yang dikandung oleh skala lima tingkat, yaitu:
1. Kategori jawaban netral memiliki arti ganda, bisa diartikan bahwa subjek benar-benar memilih jawaban netral, bisa juga subjek merasa ragu-ragu atau belum dapat memberikan jawaban sehingga subjek memilih jawaban netral.
2. Tersedianya jawaban di tengah juga menimbulkan kecenderungan subjek untuk menjawab di tengah (central tendency effect), terutama bagi subjek yang ragu-ragu atas kecenderungan arah jawabannya.
data penelitian yang dapat diperoleh dari para subjek penelitian. (Hadi, 1991)
F. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas Alat Ukur
Untuk mengetahui apakah skala perilaku asertif dan skala tingkat stres mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu pengujian validitas.
Pada penelitian ini, tipe validitas yang digunakan untuk menguji validitas alat ukur penelitian adalah validitas isi. Sebelum digunakan, aitem-aitem skala perilaku asertif dan skala tingkat stres yang telah dibuat terlebih dahulu dikonsultasikan kepada pihak yang berkompeten. Proses pengujian terhadap isi tes ini disebut juga Professional Judgment. Dalam hal ini, peneliti mengkonsultasikan aitem-aitem yang dibuat pada setiap skala kepada Dosen Pembimbing.
2. Reliabilitas
Reliabilitas skala perilaku asertif dan skala tingkat stres dihitung dengan menggunakan pendekatan koefisien reliabilitas alpha. Penghitungan reliabilitas alpha ini menggunakan program SPSS 11.0 for windows.
G. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap penelitian sesuai dengan prosedur penelitian dibawah ini:
1. Pengurusan perijinan penelitian di SMA 1 Purworejo. Peneliti membawa surat keterangan penelitian dari Fakultas Psikologi Sanata Dharma Yogyakarta dengan nomor 104.a/ D/ KP/ Psi/ USD/ X/ 06 yang di tujukan kepada kepala Sekolah SMA 1 Purworejo.
2. Pelaksanaan uji coba alat tes dilakukan pada tanggal 13 November 2006 kepada 75 subjek penelitian, yaitu siswa SMA 1 Purworejo kelas X-7 dan XI IPS 1. Pada tahap uji coba ini, disebarkan 75 eksemplar yang tiap eksemplarnya terdiri dari dua macam skala, yaitu skala tingkat stres dan skala perilaku asertif dengan urutan penyajian skala tingkat stres dikerjakan sebelum skala perilaku asertif.
4. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada tanggal tanggal 22 November 2006 dengan subjek penelitian sebanyak 70 orang. Pada penelitian ini, disebarkan 70 eksemplar yang tiap eksemplarnya terdiri dari dua macam skala, yaitu skala tingkat stres dan skala perilaku asertif dengan urutan penyajian skala tingkat stres dikerjakan sebelum skala perilaku asertif . 5. Pengolahan data penelitian menggunakan program komputer SPSS 11.0
for windows. Pengolahan data ini terdiri dari analisa data statistik deskriptif, uji asumsi, dan uji hipotesis.
H. Persiapan Penelitian 1. Uji Coba Skala
Uji coba skala dilaksanakan pada tanggal 13 November 2006 dengan subjek siswa SMA 1 Purworejo kelas X-7 dan XI IPS 1. Pada tahap uji coba ini, disebarkan 75 eksemplar yang tiap eksemplarnya terdiri dari dua macam skala, yaitu skala perilaku asertif dan skala tingkat stres. Dari 75 eksemplar, satu eksemplar kurang memenuhi syarat untuk dapat dianalisis secara statistik karena jawaban tidak lengkap sehingga total jawaban subjek yang dianalisis secara statistik adalah sebanyak 74 eksemplar.
2. Hasil Uji Coba Skala
aitem yang dihasilkan. Daya beda aitem adalah indikator keselarasan antara fungsi aitem dengan fungsi skala secara keseluruhan (Azwar, 2000). Pengujian daya beda aitem menghendaki dilakukan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor aitem dengan distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem-total. Semakin rendah korelasi aitem-totalnya maka fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur skala dan daya bedanya tidak baik (Azwar, 2000). Sebaliknya, semakin tinggi koefisien korelasi aitem-totalnya berarti semakin baik daya bedanya. Setelah memperoleh koefisien korelasi aitem-total dari tiap butirnya, langkah selanjutnya yaitu memilih aitem berdasarkan koefisien aitem-total. Seleksi aitem menggunakan bantuan komputer dengan program SPSS 11.0 for windows dan dilakukan pada kedua skala penelitian, yaitu:
a. Skala tingkat stres
Tabel 5
Kisi – Kisi Skala Tingkat Stres Setelah Uji Coba Nomor aitem
b. Skala Perilaku Asertif
Pada seleksi aitem perilaku asertif, meskipun batasan 0,30 dipakai namun aitem nomor 36 yang memiliki koefisien korelasi aitem-total sebesar 0,2771 tidak digugurkan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa aitem tersebut diperlukan untuk mewakili salah satu perilaku asertif, yaitu aspek berani mengutarakan pendapat, ide atau pemikirannya.
0,9216. Setelah penyeleksian aitem, maka kisi-kisi aitem skala perilaku asertif yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada tabel 6:
Tabel 6
Kisi – Kisi Skala Perilaku Asertif Setelah Uji Coba
Nomor aitem
1. Dapat bergaul dengan jujur dan langsung.
5, 21, 41 9, 29, 49 6 14,63%
2. Berani mengutarakan pendapat, ide atau pemikirannya
10, 30, 50 18, 38, 58 6 14,63%
3. Mengekspresikan perasaan secara terbuka dan nyaman tanpa ragu – ragu, cemas, atau takut.
25 36 2 4,88%
5. Mampu berkata “tidak” tanpa merasa takut atau cemas
45 14, 34 3 7,32%
6. Dapat berinisiatif dan mandiri
23, 44 55 3 7,32%
7. Tidak melanggar hak – hak individu lain.
37 27 2 4,88%
I. Metode Analisis Data
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Subjek Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 22 November 2006 dengan subjek penelitian sebanyak 70 orang. Subjek penelitian adalah siswa SMA 1 Purworejo yang terdiri dari 30 siswa laki-laki dan 40 siswa perempuan. Rentang usia subjek berkisar antara empat belas tahun sampai dengan tujuh belas tahun. Empat orang subjek berusia empat belas tahun, 34 subjek berusia lima belas tahun, 29 subjek berusia enam belas tahun, dan tiga subjek berusia tujuh belas tahun. Data usia subjek penelitian di rangkum dalam tabel 7:
Tabel 7
Data Usia Subjek Penelitian
Usia (tahun)
14 15 16 17
4 orang 34 orang 29 orang 3 orang Jumlah 70 orang
B. Deskripsi Data Statistik
variabel yang diteliti (Azwar, 2000). Oleh karena itu, dilakukan analisis statistik data penelitian untuk statistik deskriptif seperti rangkuman pada tabel 8:
Tabel 8
Rangkuman Hasil Statistik Deskriptif
V N Min.E Mak.E Min.H Mak.H R.E R.H SD
N : Jumlah subjek penelitian Min.E : Skor Minimal Empirik Mak.E : Skor Maksimal Empirik Min.H : Skor Minimal Hipotetik Mak.H : Skor Maksimal Hipotetik R.E : Rerata Empirik
R.H : Rerata Hipotetik SD : Standar Deviasi
C. Uji Asumsi
hubungan antar variabel X (variabel perilaku asertif) dan variabel Y (variabel tingkat stres) adalah hubungan yang linear. Untuk mengetahui apakah kedua variabel tersebut masing – masing datanya telah terdistribusi dengan normal maka dilakukan uji normalitas dan untuk mengetahui apakah kedua variabel tersebut merupakan hubungan yang linear maka dilakukan uji linearitas.
a. Uji Normalitas
Perhitungan uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov (Uji K-S) dalam program SPSS 11.0 for windows. Uji K-S ini membandingkan fungsi distribusi teoritis yang telah ditentukan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel perilaku asertif memiliki nilai p = 0,901 (p > 0,05) dan variabel tingkat stres memiliki nilai p = 0,968 (p > 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua variabel telah mengikuti distribusi normal. Rangkuman hasil uji normalitas tercantum pada tabel 9, sementara hasil perhitungan lengkapnya dapat dilihat pada lampiran.
Tabel 9
Rangkuman Hasil Uji Normalitas
Variabel K-S Taraf Signifikansi
X : Perilaku Asertif 0,571 0,901
Y : Stres 0,494 0,968
b. Uji Linearitas
perilaku asertif dan variabel tingkat stres, adalah linear karena memiliki probabilitas sebesar 0,000 (p< 0,05).
Uji linearitas juga dilakukan dengan melihat apakah batas garis antara X dan Y adalah linear. Gambar yang menunjukkan bahwa garis antara X dan Y adalah linear dapat dilihat pada lampiran.
D. Uji Hipotesis
Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment dengan uji satu arah. Uji hipotesis ini menghasilkan nilai r sebesar –0,616. Besar nilai r ini dapat diinterpretasikan untuk memperkirakan kekuatan hubungan korelasi, seperti ditampilkan pada tabel 10 (Budi, 2006):
Tabel 10
Interpretasi Terhadap Nilai r Hasil analisis Korelasi
Interval Nilai r *) Interpretasi 0,001 – 0,200 Korelasi sangat lemah 0,201 – 0,400 Korelasi lemah 0,401 – 0,600 Korelasi cukup kuat 0,601 – 0,800 Korelasi kuat 0,801 – 1,000 Korelasi sangat kuat *) Interpretasi berlaku untuk nilai r positif maupun negatif
diinterpretasikan bahwa semakin tinggi perilaku asertif, maka semakin rendah tingkat stres.
Angka probabilitas yang di hasilkan pada uji hipotesis dalam penelitian ini adalah 0,000 (p < 0,01), oleh sebab itu dapat diambil keputusan bahwa Ho, hipotesis yang menyatakan tidak ada hubungan antara variabel perilaku asertif dan variabel tingkat stres, ditolak. Rangkuman hasil uji hipotesis dapat dilihat pada tabel 11:
Tabel 11
Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Product Moment Pearson
Variabel N r p
X : Perilaku Asertif 70
Y : Stres 70
-0,616 ** 0,000 (< 0,01) **) Korelasi signifikan pada taraf signifikansi 0,01
E. Kategorisasi
Kategorisasi yang digunakan adalah kategorisasi berdasarkan signifikansi perbedaan. Kategorisasi ini dilakukan dengan menguji signifikansi perbedaan antara mean skor empiris dengan mean skor teoritis, dan rumus yang digunakan untuk kategorisasi ini adalah (Azwar, 2000):
Pada penelitian ini jumlah subjek adalah sebanyak 70 subjek dan t(α/ 2, n-1) dicari pada taraf kepercayaan 95% sehingga diketahui α adalah sebesar 5%. Besarnya t(α/ 2, n-1) ini kemudian dicari pada daftar tabel t (Budi, 2006) sehingga dihasilkan nilai t(α/ 2, n-1) sebesar 2,000. Kategorisasi ini akan dilakukan pada kedua variabel penelitian:
1. Kategorisasi Perilaku Asertif
Pada penelitian ini, skala perilaku asertif menghasilkan mean hipotetik sebesar 102,5 dan standar deviasi sebesar 13,191. Maka interval pada kategorisasi perilaku asertif adalah:
99, 347 ≤ X ≤ 105, 65
Inteval ini merupakan interval skor yang digolongkan sebagai kategori sedang pada taraf signifikansi sebesar α sedangkan skor yang lebih besar daripada batas-batas interval akan diinterpretasikan sebagai tinggi dan skor yang lebih kecil dari batas-batas interval dikategorikan sebagai rendah (Azwar, 2000). Berdasarkan interval tersebut maka kategorisasi skor perilaku asertif dapat dilihat pada tabel 12:
Tabel 12
Kategorisasi Skor Kumulatif Perilaku Asertif
Kategori Jumlah Subjek Prosentase
Tinggi 61 87,14%
Sedang 3 4,29%
Rendah 6 8,57%
2. Kategorisasi Tingkat Stres
Pada penelitian ini, skala tingkat stres menghasilkan mean hipotetik sebesar 97.5 dan standar deviasi sebesar 14.242. Maka interval pada kategorisasi tingkat stres adalah:
94, 1 ≤ X ≤100, 9
Berdasarkan interval tersebut maka kategorisasi skor perilaku asertif dapat dilihat pada tabel 13:
Tabel 13
Kategorisasi Skor Kumulatif Perilaku Asertif
Kategori Jumlah Subjek Prosentase
Tinggi 12 17,14%
Sedang 9 12,86%
Rendah 49 70%
Jumlah 70 100%
F. Pembahasan
Hasil uji hipotesis membuktikan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara perilaku asertif dengan tingkat stres pada remaja. Artinya semakin tinggi perilaku asertif, maka tingkat stres akan semakin rendah. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah perilaku asertif, maka tingkat stres akan semakin tinggi.
bentuk coping terhadap stres akan membuat pola korelasi yang terjadi di antara keduanya bersifat negatif. Selain itu, Hasil penelitian Kiselica, dkk (1994) mengenai kecemasan, stres dan pencapaian akademik pada remaja juga memperkuat hasil uji hipotesis penelitian ini. Kiselica, dkk membuat program yang terdiri dari pelatihan asertivitas dan beberapa bentuk coping stres lainnya untuk melihat pengaruhnya pada kecemasan, stres dan pencapaian akademik remaja. Hasilnya menunjukkan adanya penurunan simptom stres yang signifikan pada saat post test setelah subjek penelitian mengikuti program eksperimen mereka.
Hubungan negatif antara perilaku asertif dengan stres pada remaja dapat terjadi karena unsur-unsur yang ada dalam perilaku asertif memungkinkan remaja untuk mengatasi permasalahan dan tekanan yang mereka alami sehingga pada akhirnya hal ini akan menurunkan tingkat stres mereka. Perubahan pada masa remaja sedikit banyak akan mempengaruhi pikiran dan perasaan remaja. Ketidaknyamanan yang mungkin dirasakan remaja akibat perubahan fisiknya, kebingungan akibat tuntutan peran sosial yang baru, ide-ide yang muncul sebagai akibat perkembangan kemampuan kognitifnya, serta kelabilan emosi yang dapat muncul akibat perubahan hormon dapat menimbulkan stres. Akan tetapi dengan berperilaku asertif maka stres akibat perubahan pada masa remaja ini dapat dikurangi atau di atasi.
dimilikinya, meminta informasi dan bantuan kepada orang lain saat membutuhkan, maupun untuk menolak atau berkata “tidak”. Remaja yang berperilaku asertif akan lebih mampu mengkomunikasikan ide-ide yang muncul dalam pemikirannya dan perasaan yang muncul dalam dirinya dengan lebih terbuka. Kemampuan untuk mengemukakan pendapat dan pemikirannya akan membantu menyalurkan berbagai ide yang muncul karena berkembangnya kemampuan abstrak pada masa remaja sehingga memungkinkan remaja untuk dimengerti oleh orang lain. Penyaluran ini dapat mengurangi tekanan yang dirasakan remaja selama masa transisinya dibandingkan remaja yang tidak mampu mengutarakan pikiran dan perasaannya. Remaja yang tertekan akan lebih mudah mengalami stres, karena itu remaja yang berperilaku asertif lebih mungkin terhindar dari stres dibandingkan remaja yang tidak berperilaku asertif.
Remaja yang berperilaku asertif juga mampu meminta informasi dan bantuan kepada orang lain saat membutuhkan sehingga peluang mereka untuk dapat menyelesaikan masalah yang dialaminya pada masa ini lebih besar dari pada remaja yang sulit untuk meminta pertolongan orang lain ketika memerlukannya. Masalah yang tidak terselesaikan dapat memicu stres, oleh karena itu remaja tidak berperilaku asertif akan lebih berpeluang untuk memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan remaja yang berperilaku asertif.
mempertahankan hak-hak pribadi dilakukan dengan tetap menghargai dan tidak melanggar hak-hak orang lain sehingga perilaku ini dapat mencegah terjadinya konflik dengan orang lain. Berkurangnya konflik dengan orang lain akan mempengaruhi tinggi atau rendahnya stres.
Kategorisasi skor kumulatif skala tingkat stres subjek penelitian menunjukkan bahwa ada 70% subjek penelitian yang memiliki tingkat stres rendah dan 12,86% subjek penelitian memiliki tingkat stres yang berada pada kategori sedang. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa ada hubungan negatif antara perilaku asertif dan tingkat stres. Oleh karena itu, kemungkinan subjek penelitian memiliki perilaku asertif yang tinggi sehingga tingkat stres mereka menjadi rendah. Namun demikian masih terdapat 17,14% subjek penelitian yang tingkat stresnya berada pada kategori tinggi.
Tingkat stres yang tinggi kemungkinan disebabkan karena tantangan hidup yang semakin besar dapat menimbulkan tekanan yang besar sehingga meningkatkan stres. Siswa SMA 1 Purworejo sebagai remaja sedikit banyak akan mulai memperdulikan permasalahan dan tantangan yang berada disekitarnya. Hal ini dapat meningkatkan tingkat stres Hal ini dapat meningkatkan stres siswa apabila mereka merasa tidak mampu menghadapi tantangan tersebut.
berkomunikasi. Komunikasi yang hangat ini tampak pada dari interaksi dan komunikasi yang santai tetapi sopan antara guru dan murid ketika para guru memperkenalkan peneliti kepada subjek penelitian di awal penyebaran skala penelitian.
Peneliti juga melihat bahwa para siswa SMA 1 Purworejo berani menyapa guru atau karyawan SMA 1 Purworejo apabila berpapasan di luar kegiatan belajar mengajar dan guru atau karyawan SMA 1 Purworejo yang disapa pun menanggapi dengan ramah. Dari hasil pengamatan tersebut dapat dilihat bahwa upaya para guru dan karyawan di SMA 1 Purworejo untuk mengembangkan komunikasi yang baik mungkin telah menciptakan keterbukaan komunikasi antara para siswa dengan para guru dan karyawan di SMA 1 Purworejo. Keterbukaan komunikasi ini pada akhirnya dapat membantu siswa SMA 1 Purworejo untuk berani mengutarakan kesulitan yang mungkin dihadapinya di sekolah sehingga tekanan yang dirasakan siswa di sekolah dapat diatasi. Berkurangnya tekanan yang dirasakan siswa akan mempengaruhi tingkat stresnya.
sedang. Bahkan kemungkinan sebagian besar siswa telah mampu mengembangkan kemampuan berkomunikasinya menjadi perilaku asertif yang pada akhirnya dapat membantu mereka untuk mengatasi stres dan membuat tingkat stresnya menjadi rendah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya subjek penelitian yang memiliki tingkat stres yang rendah, yaitu sebesar 70%.
Analisis tambahan pada penelitian ini juga menemukan bahwa 87,14% subjek penelitian yang berlatar belakang kebudayaan Timur memiliki perilaku asertif yang tinggi. Hal ini kemungkinan terjadi karena adanya kemajuan teknologi yang memungkinkan terjadinya pembelajaran dan pengadopsian nilai-nilai kebudayaan lain. Sarwono (2005) menyatakan bahwa kemajuan teknologi komunikasi telah menyebarluaskan dan memasyarakatkan gaya hidup, nilai, dan perilaku.
Kemajuan teknologi komunikasi juga terjadi di SMA 1 Purworejo. Hal ini terbukti dengan tersedianya fasilitas internet bagi para siswa di SMA 1 Purworejo. Fasilitas ini mempermudah subjek penelitian untuk melihat dan mempelajari gaya hidup, nilai, dan perilaku kebudayaan lain, termasuk perilaku asertif sehingga pada akhirnya dapat membuat tingkat perilaku asertif mereka menjadi tinggi.
nilai-nilai budaya Timur, khususnya kebudayaan Jawa yang menekankan prinsip kerukunan untuk mempertahankan keadaan masyarakat yang harmonis (Suseno & Reksosusilo, 1983) sehingga pengadopsian perilaku asertif terhambat oleh kekhawatiran akan rusaknya harmonisasi dalam masyarakat, adanya ketakutan akan ketertolakan dari kelompok pergaulan teman sebayanya, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya yang tidak diungkap dalam penelitian ini.
Peneliti menyadari bahwa penelitian ini memiliki kelemahan. Adanya perbedaan jumlah aitem pada indikator skala penelitian yang diabaikan oleh peneliti dapat menyebabkan kemungkinan beberapa indikator dari variabel yang diteliti menjadi lebih menonjol dibandingkan indikator yang lain. Kelemahan penelitian juga terletak pada terbatasnya subjek penelitian. Subjek penelitian hanya diambil dari satu sekolah, sehingga hal ini menyebabkan hasil penelitian mungkin tidak dapat diterapkan kepada remaja di sekolah lain yang memiliki latar belakang budaya dan sistem yang berbeda dengan SMA 1 Purworejo. Selain itu, kurangnya perhatian perbedaan individual juga menjadi kelemahan pada penelitian ini.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penelitian ini membuktikan ada hubungan negatif antara perilaku asertif dan tingkat stres pada remaja. Artinya semakin tinggi perilaku asertif, maka tingkat stres akan semakin rendah. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah perilaku asertif, maka tingkat stres akan semakin tinggi. Berdasarkan pembahasan tentang kebudayaan Barat dan Timur, temuan ini memberikan bukti bahwa perilaku asertif dapat menurunkan tingkat stres pada subjek penelitian di kebudayaan Timur.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai berikut:
1. Bagi Remaja
2. Bagi Orang Tua
Orang tua diharapkan menyadari manfaat perilaku asertif untuk mengatasi stres, sehingga keluarga sebagai lingkungan yang paling dekat dengan remaja dapat membantu mereka untuk menumbuhkan perilaku asertif. Orang tua sebaiknya mendukung pertumbuhan perilaku asertif dalam diri anak – anak mereka dengan cara memberikan bimbingan dan teladan untuk berperilaku asertif bagi anak – anak sedini mungkin.
3. Bagi Pihak Sekolah
Pihak sekolah hendaknya menyadari pentingnya peranan yang dimiliki dalam menumbuhkan perilaku asertif pada remaja karena sekolah merupakan tempat dimana remaja cukup banyak menghabiskan waktunya. Pihak sekolah dapat mendukung terbentuknya perilaku asertif pada remaja dengan berbagai macam cara seperti mengadakan berbagai macam kegiatan yang dapat mengembangkan perilaku asertif remaja. Selain itu sekolah diharapkan memelihara komunikasi hangat dan terbuka yang telah terjalin antara para guru dan staf karyawan sekolah dengan para muridnya sehingga mendorong para murid untuk lebih aktif dalam berkomunikasi.
4. Bagi Penelitian Lain