• Tidak ada hasil yang ditemukan

“HUBUNGAN ANTARA BODY DISSATISFACTION DENGAN PERILAKU MAKAN PADA PENARI” SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "“HUBUNGAN ANTARA BODY DISSATISFACTION DENGAN PERILAKU MAKAN PADA PENARI” SKRIPSI"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

Disusun Guna Memenuhi Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Psikologi (S1)

Disusun Oleh:

ALYA AQIBTA HAFSHAH

11860125116

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2022

(2)
(3)
(4)
(5)

iii

- Tyrese Gibson

(6)

iv

(7)

v

dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Body Dissatisfaction dengan Perilaku Makan pada Penari”. Shalawat dan salam

semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan sepanjang masa.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, peneliti mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini izinkan peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Hairunnas, M. Ag, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau beserta jajarannya.

2. Bapak Dr. Kusnadi, M. Pd., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

3. Bapak Dr. H. Zuriatul Khairi, M. Ag., M. Si., selaku Wakil Dekan I, Ibu Vivik Shofiah, S. Psi., M. Si., selaku Wakil Dekan II, dan Ibu Yuslenita Muda, S.Si., M. Sc., selaku Wakil Dekan III Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

4. Dr. Sri Wahyuni, M.A., M. Psi., Psikologi, selaku Ketua Program Studi S1 Psikologi.

5. Ibu Anggia Kargenti E. M, S. Psi, M. Si, selaku penasehat akademik (PA) mulai dari awal perkuliahan hingga peneliti menyelesaikan perkuliahan ini.

(8)

vi

meluangkan waktu dan tenaga memberikan saran serta masukan kepada peneliti demi kesempurnaan skripsi ini.

8. Bapak Drs. Mukhlis, M. Si, selaku Narasumber II yang telah meluangkan waktu serta tenaganya dalam memberikan saran dan masukan kepada peneliti dalam memperbaiki skripsi ini agar menjadi lebih baik lagi.

9. Segenap Bapak dan Ibu Dosen yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas ilmu dan bimbingan yang telah diberikan kepada peneliti hingga bisa sampai di tahap ini.

10. Kepada kedua orang tua peneliti, Zurina Wilda dan Novrizon Burman, serta Nenek yang tidak pernah berhenti mendukung dan melafalkan do’a agar dipermudahkan segala urusan peneliti ketika menyusun skripsi ini.

11. Kepada sepupu-sepupu peneliti (Muhammad Abyansyah, Nazira Julaikha, Farhan Kurniawansyah, Fazza Yassifa, dan Jihan Ayumna Zalfa) yang telah membantu peneliti mencari responden selama penyusunan skripsi.

12. Kepada teman-teman peneliti sejak masa SMAN 2 Pekanbaru (Nabila Febri Zetha, Aprilia Larasati, Tasyalia Fitra, Muliani Febisyafri, Debora Sari, Jahwa Wulandari, dan Tulus Na Duma) yang selalu memberikan semangat kepada saya dan menghibur ketika saya lelah.

13. Seluruh teman-teman di Psikologi Angkatan 2018 (khususnya teman- teman di kelas E) yang sama-sama berjuang demi mendapatkan gelar S.

(9)

vii

14. Seluruh teman-teman DEMA Fakultas Psikologi Kabinet KolaborAksi yang turut memberi dukungan kepada peneliti.

15. Serta kepada pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi.

Peneliti menyadari bahwa tidak ada yang sempurna, termasuk skripsi ini dikarenakan pengalaman dan pengetahuan peneliti yang masih sangat terbatas. Oleh karena itu, peneliti menerima segala saran dan masukan yang pembaca berikan. Terakhir, peneliti ucapkan terimakasih sebesar-besarnya untuk semua pihak yang membantu. Semoga hasil skripsi ini dapat menjadi sumbangan ilmu yang bermanfaat.

Pekanbaru, 27 November 2022 Peneliti

(10)

viii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

ABSTRAK ... xi

BAB I ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Keaslian Penelitian ... 8

E. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II ... 12

A. Perilaku Makan ... 12

B. Body Dissatisfaction ... 21

C. Penari ... 27

D. Kerangka Berpikir ... 29

E. Hipotesis ... 33

BAB III ... 34

A. Desain Penelitian ... 34

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 34

C. Definisi Operasional ... 34

D. Partisipan Penelitian ... 37

E. Metode Pengambilan Data ... 38

F. Validitas dan Reliabilitas ... 40

G. Analisis Data ... 46

H. Jadwal Penelitian ... 47

BAB IV ... 48

A. Pelaksanaan Penelitian ... 48

B. Hasil Penelitian ... 51

C. Analisis Tambahan ... 55

D. Pembahasan ... 61

BAB V ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

LAMPIRAN ... 73

(11)

ix

Tabel 3.5 Blueprint Skala BSQ 34 (Setelah Try Out) ... 44

Tabel 3.6 Blueprint Skala BSQ 34 (Untuk Penelitian) ... 45

Tabel 3.7 Hasil Analisis Reliabilitas Uji Coba Alat Ukur ... 46

Tabel 3.8 Jadwal Penelitian ... 47

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 49

Tabel 4.2 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lokasi Sanggar ... 50

Tabel 4.3 Gambaran Perilaku Makan dan Body Dissatisfaction Subjek .. 51

Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas... 52

Tabel 4.5 Hasil Uji Linearitas ... 53

Tabel 4.6 Hasil Uji Hipotesis ... 54

Tabel 4.7 Gambaran Data Teoritik Skala Perilaku Makan ... 55

Tabel 4.8 Kategorisasi Data Skala Body Dissatisfaction ... 57

Tabel 4.9 Gambaran Data Teoritik Skala Body Dissatisfaction ... 57

Tabel 4.10 Gambaran Berat Badan Subjek ... 58

Tabel 4.11 Hubungan Perilaku Makan dengan Body Dissatisfaction ... 59

Tabel 4.12 Hubungan Indeks Massa Tubuh dan Body Dissatisfaction .... 60

(12)

x

Lampiran E Hasil Uji Reliabilitas dan Daya Beda Aitem ... 101

Lampiran F Alat Ukur Penelitian ... 105

Lampiran G Data Demografi Subjek Penelitian ... 116

Lampiran H Tabulasi Data Penelitian ... 122

Lampiran I Hasil Uji Asumsi ... 133

Lampiran J Verbatim Wawancara ... 135

Lampiran K Surat Penelitian ... 150

Lampiran L Biodata Peneliti ... 151

(13)

xi

alyaaqibtahfs@gmail.com Fakultas Psikologi

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Abstrak

Penari merupakan salah satu profesi yang sangat mementingkan tubuh karena seorang penari menggunakan tubuhnya untuk menampilkan gerakan-gerakan tarian untuk ditampilkan kepada khalayak ramai. Perilaku makan tidak normal banyak ditemukan di kalangan penari (Thomas dkk, 2011). Perasaan dan kebiasaan di lingkungan profesi tersebut menumbuhkan rasa tidak puas terhadap tubuh atau yang biasa disebut dengan body dissatisfaction. Penelitian ini melibatkan 101 penari di Kota Pekanbaru yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Alat ukur yang digunakan adalah Body Shape Questionnaire 34 (BSQ 34) dengan reliabilitas sebesar 0,950 dan Eating Attitude Test 26 (EAT 26) dengan reliabilitas sebesar 0,915. Berdasarkan analisis korelasi Pearson, diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,02 dengan nilai signifikansi sebesar 0,987. Nilai tersebut menunjukkan bahwa hipotesis ditolak. Mayoritas penari memiliki perilaku makan yang normal sebanyak 81%

dan body dissatisfaction berada pada kategori memiliki kekhawatiran ringan sebanyak 42%. Hubungan korelasi antar kedua variabel adalah 0,02 (2%).

Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa body dissatisfaction tidak selalu menjadi faktor penentu munculnya perilaku makan tidak normal pada penari.

Kata kunci: body dissatisfaction, perilaku makan, penari

(14)

xii

alyaaqibtahfs@gmail.com Fakultas Psikologi

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Abstrak

Dancer is a profession that is very concerned with the body because a dancer uses his body to display dance movements to be displayed to the public.

Abnormal eating behavior is commonly found among dancers (Thomas etc, 2011). Such feelings and habits foster a sense of dissatisfaction with the body or what is commonly referred to as body dissatisfaction. This study involved 101 dancers in Pekanbaru City who were selected using purposive sampling technique. The measuring instrument used is the Body Shape Questionnaire 34 (BSQ 34) with reliability of 0.950 and the Eating Attitude Test 26 (EAT 26) with reliability of 0.915. Based on Pearson correlation analysis, obtained a correlation coefficient of 0.02 with a significance value of 0.987. Based on the analysis, hypothesis in this study is denied. The majority of dancers are having normal eating attitudes as much as 81% and body dissatisfaction is in the category of having mild worries with 42% percentage. Correlation score between the two variables is 0,02 (2%). Based on the results, it can be concluded that body dissatisfaction is not always a determining factor for the emergence of abnormal eating behavior in dancers.

Keywords: body dissatisfaction, eating attitude, dancers

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Makan adalah perilaku yang menyenangkan bagi semua orang dan makan merupakan suatu hal yang melangsungkan kehidupan, namun terdapat sebagian orang yang menganggap makan sebagai sumber dari masalah pribadi dan kesehatan yang serius (Pinel, 2009). Menurut Gibney (dalam Fitriana, 2018), tubuh akan bekerja dengan baik apabila asupan makanan yang masuk cukup dan sehat. Amperawan (2018) menyatakan bahwa makanan sehat merupakan makanan yang seimbang gizinya, yaitu mencakup macronutrient (protein, karbohidrat, vitamin, dan lemak) dan micronutrient (air dan mineral).

Aktivitas dari kegiatan makan ini disebut dengan perilaku makan.

Perilaku makan merupakan keadaan yang menunjukkan perilaku seseorang selama makan, mulai dari tata krama, frekuensi, pola, kesukaan, serta pemilihan dalam makanan. Perilaku makan adalah tindakan seseorang terhadap makanan yang dipengaruhi oleh persepsi dan pengetahuan terhadap makanan (Gibney dalam Fitriana, 2018).

Perilaku makan terbagi menjadi dua yaitu perilaku makan normal dan tidak normal. Perilaku makan normal adalah ketika mengonsumsi makanan sehari-hari sesuai dengan kebutuhan gizi individu untuk hidup secara sehat dan produktif. Gizi seimbang akan tercapai jika perilaku makan seseorang normal. Namun, saat individu mengonsumsi makanan yang tidak memenuhi

(16)

semua zat-zat dalam gizi seperti protein, lemak, dan karbohidrat, ini merupakan perilaku makan tidak normal (Pujiati, 2015). Perilaku makan tidak normal terjadi ketika waktu serta frekuensi makan tidak teratur, jenis makanan tidak diperhatikan dengan baik, penurunan berat badan yang ekstrim, bahkan perilaku lain yang mengarah ke masalah gangguan makan seperti simptom pada anorexia, bulimia, binge eating, dan kebiasaan makan dimalam hari (Laksmi, 2018).

Gangguan makan mempengaruhi sekitar 9% dari populasi dunia (Arcelus dkk, 2011). Berdasarkan data dari Galmiche dkk (2019), prevalensi gangguan makan secara global meningkat dari 3.4% hingga 7.8%

pada tahun 2000 dan 2018. Gangguan makan memiliki persentase mortalitas paling tinggi dari semua gangguan mental yang lain (Sempaga, 2021).

Seseorang dengan perilaku makan tidak normal tidak selalu termasuk ke dalam gangguan makan. Kasus seperti ini disebut sebagai eating disorder not otherwise specified (EDNOS) atau gangguan makan yang tidak memenuhi kriteria. Namun, walaupun tidak terkategori khusus, perilaku makan tidak normal tetaplah mengkhawatirkan dan dapat memperburuk kesehatan.

Arcelus dkk (2011) menyebutkan bahwa rasio dari kematian standar untuk gangguan makan yang tidak disebutkan secara spesifik (EDNOS) itu sendiri diperkirakan sebesar 1,92%. Baik gangguan makan yang spesifik maupun tidak spesifik, bermula dari perilaku makan tidak normal. Perilaku makan tidak normal ini banyak terlihat di kalangan penari. Penari cenderung

(17)

membatasi asupan makan agar dapat mencapai bentuk tubuh yang ideal.

Ketika tampil dan bergerak, dibutuhkan tubuh yang proporsional untuk mendapatkan performa maksimal. Bentuk tubuh ramping dianggap memberikan kemudahan dalam bergerak (Gibbs, 2011).

Risiko yang ditanggung para penari ketika berat badan berlebih ialah mereka akan sulit mengikuti tempo lagu ketika menari. Proporsi yang ideal untuk tubuh penari sangat penting demi kebutuhan fisiologis yang sehat dan estetika bentuk tubuh untuk menampilkan pola gerak yang optimal dalam performa. Penari rata-rata memiliki tubuh ramping, persentase lemak tubuh mereka termsasuk rendah yaitu sekitar 13,8-22,1% (Utami & Widyastuti, 2015). Tuntutan untuk mempunyai bentuk tubuh tertentu sangat memungkinkan bagi individu yang berada di lingkungan penari. Oleh karena itu, banyak penari berusaha menurunkan berat badannya.

Usaha menurunkan berat badan tidak selalu sehat dan memenuhi protein tubuh. Jika usaha yang dilakukan untuk mempertahankan bentuk tubuh ideal seperti berolahraga secara teratur, tetap makan untuk memenuhi protein, dan mengontrol asupan makanan, itu merupakan hal yang tidak masalah untuk dilakukan. Namun, jika yang terjadi sudah ekstrim seperti penggunaan obat-obatan dan memuntahkan makanan untuk mendapatkan hasil instan, itu sudah menjadi masalah. Perilaku makan tidak normal seperti mengurangi kalori, bahkan hingga penggunaan pil diet, diuretik (obat pembuang garam dan air melalui urin), hingga obat pencahar, banyak terjadi di kalangan penari (Gearhart dkk, 2018). Selain penggunaan obat-obatan,

(18)

perilaku buruk lainnya yang juga dilakukan oleh penari untuk menurunkan berat badannya adalah dengan memuntahkan makanan.

Prevalensi gangguan makan pada penari adalah 12%, 2% untuk anorexia, 4.4% untuk bulimia, dan 9.5% untuk gangguan makan yang tidak spesifik (Arcelus dkk, 2013). Studi Arcelus dkk (2013) tersebut menyimpulkan bahwa para penari memiliki risiko tiga kali lebih tinggi untuk menderita dari gangguan makan. Penelitian lain menemukan gangguan makan berkisar antara 13.3% pada penari remaja hingga 82.5%

pada penari dewasa yang lebih profesional (Thomas dkk, 2011). Gangguan makan tersebut merupakan penggunaan obat laksatif atau obat pencahar sebanyak 4.2%, muntah secara sengaja sebanyak 9.6% dan yang terbanyak adalah berpuasa untuk menurunkan berat badan sebanyak 29.3%.

Menurut American Psychiatric Association (2015), seseorang yang menderita gangguan makan berawal dari mengonsumsi makanan dengan porsi lebih sedikit daripada biasanya. Namun pada tahap tertentu, kebiasaan tersebut akan berkelanjutan hingga terjadi diluar kontrol. Perilaku mengurangi makanan seperti itu sudah termasuk ke dalam bentuk perilaku makan yang tidak normal.

Perilaku makan tidak normal jika dibiarkan akan menjadi gangguan makan yang serius dan pastinya akan berdampak pada kesehatan tubuh.

Sebanyak 63,6% responden yang merupakan penari memiliki asupan energi yang kurang, 72.7% kekurangan protein, 100% kurang asupan vitamin c dan

(19)

zat besi (Nurlinah, 2019). Defisiensi cairan-cairan tersebut adalah bentuk dari perilaku makan tidak baik.

Perilaku makan yang sudah cenderung menjadi tidak normal ini juga peneliti temukan pada penari yang berprofesi di Pekanbaru. Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan pada tanggal 7 dan 14 November 2021 kepada tiga penari berinisial D, DV, dan N, ditemukan beberapa fakta, diantaranya penari sering menahan diri untuk tidak makan. Penari tersebut sangat berusaha untuk menghindari makanan-makanan yang memiliki kalori tinggi (DV dan N). Peneliti juga menemukan bahwa jika penari terpaksa mengonsumsi, penari akan menahan dirinya untuk hanya makan sekali dalam sehari selama beberapa hari ke depan. Selain itu, juga merasa ketakutan terhadap makanan karena takut berat badanya akan naik dan menjadi tidak ideal (N).

Peneliti juga menemukan bahwa perilaku makan yang dialami penari dikarenakan tuntutan dari lingkungan pekerjaan mereka seperti yang dikemukakan D dan N yaitu penari dituntut untuk memiliki bentuk tubuh yang ideal, tidak terlalu kurus maupun gemuk. Penari selalu menjaga pola makan mereka untuk mendapatkan tubuh yang tegap dan ringan ketika bergerak. Hal tersebut dikarenakan penari merupakan seorang entertainer dan diharapkan untuk terlihat sempurna di mata penonton (D). Selain itu, subjek juga mengatakan fakta lain seperti dirinya pernah melakukan diet ekstrim untuk menurunkan berat badan. Hal tersebut termotivasi karena

(20)

melihat tubuh penari lain yang ramping dan langsing. Akibat dari diet ketat itu, timbul masalah pencernaan pada penari tersebut (N).

Perilaku makan tidak sehat pada penari untuk menurunkan berat badan ini salah satunya dipengaruhi oleh body dissatisfaction (Gearhart, dkk, 2018). Hasil penelitian Amissah, dkk (2015) menemukan bahwa body dissatisfaction memiliki hubungan positif terhadap perilaku makan.

Laksmi, dkk (2018) menjabarkan seseorang dengan body dissatisfaction cenderung memiliki perilaku makan abnormal dibandingkan dengan body image puas. Menurut Ogden (2014), body dissatisfaction menyebabkan seseorang memiliki perilaku makan tidak normal seperti melakukan diet dan cemas akan berat badannya. Diet tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap perilaku makan.

Body dissatisfaction atau ketidakpuasan tubuh menurut Grogan (2017) adalah evaluasi subjektif individu yang negatif terhadap tubuh mereka baik terhadap ukuran, bentuk, serta komposisi otot, dan biasanya dikarenakan kesenjangan antara persepsi individu dengan bentuk tubuh mereka yang sebenarnya. Pernyataan serupa juga disebutkan oleh Cooper dkk (dalam Heider, 2018), body dissatisfaction adalah perilaku negatif seseorang terhadap citra tubuh dan bentuk yang diidealkan.

Body image negatif atau body dissatisfaction merupakan prediktor terkuat yang mempengaruhi perilaku makan seseorang teratur atau tidak dan factor terjadinya gangguan makan (Vohs, Heatherton, & Herrin dalam Hasmalawati, 2017). Disisi lain, beberapa penelitian menyimpulkan body

(21)

dissatisfaction bukanlah faktor terkuat yang menyebabkan seseorang mempraktikkan perilaku makan tidak normal. Safitri dkk (2019) menyebutkan bahwa rasa tidak puas terhadap bentuk tubuh tidak selalu menimbulkan perilaku diet, dimana perilaku diet merupakan salah satu aspek dari perilaku makan. Individu yang memiliki rasa puas terhadap tubuhnya lebih cenderung untuk mengontrol makannya demi mempertahankan bentuk tubuhnya tersebut. Pernyataan tersebut bersebarangan dengan penelitian dari Laksmi dkk (2018) yang menyatakan bahwa seseorang akan mengontrol makannya apabila merasa tidak puas terhadap bentuk tubuhnya. Bukan lagi mengonsumsi makanan secara alamiah ketika lapar atau pada waktu makan. Studi yang dilakukan oleh Sapitri dkk (2022) juga mengatakan hal yang serupa yaitu tidak terdapat hubungan antara citra tubuh dengan perilaku makan. Citra tubuh yang terbagi menjadi dua yaitu rasa puas terhadap tubuh dan ketidakpuasan terhadap tubuh bukan menjadi faktor terkuat untuk menilai perilaku makan seseorang normal atau tidaknya.

Berdasarkan uraian di atas, terdapat dua pendapat yang berseberangan mengenai hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku makan.

Sebagian menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan, sedangkan sebagian lain mengatakan bahwa body dissatisfaction tidak selalu menjadi faktor signifikan terhadap perilaku makan. Berdasarkan gagasan yang telah dipaparkan, peneliti tertarik meneliti kembali untuk

(22)

mengetahui hubungan body dissatisfaction dengan perilaku makan pada penari di Pekanbaru.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di latar belakang masalah yang telah dipaparkan, dapat ditarik rumusan masalah untuk penelitian ini yaitu “Adakah hubungan antara body dissatisfaction dengan perilaku makan pada penari di Pekanbaru?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara body dissatisfaction dengan perilaku makan pada penari di Pekanbaru.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian ini memiliki kesamaan dengan beberapa penelitian terdahulu yang membahas tema serupa. Kemiripan itu dapat berupa kesamaan tema yang dikaji, subjek, variabel, atau metode yang digunakan.

Penelitian pertama yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini adalah penelitian dari Selvi (2020) dengan judul “Hubungan Terpaan Informasi Makanan pada Media Sosial Instagram dengan Perilaku Makan pada Mahasiswa di Universitas Sumatera Utara Tahun 2019”. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara durasi dan frekuensi penggunaan media sosial Instagram dengan perilaku makan pada mahasiswa. Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Selvi, yaitu sama-sama meneliti tentang perilaku makan. Perbedaan kedua penelitian ini terletak pada variabel bebas yang dikaitkan dengan perilaku

(23)

makan. Pada penelitian Selvi (2020) menjadikan terpaan informasi makanan sebagai variabel bebasnya, sedangkan pada penelitian ini variabel bebasnya adalah body dissatisfaction.

Penelitian selanjutnya yang memiliki kesamaan dengan penelitian ini adalah penelitian dari Tamrin (2021) dengan judul “Pengaruh Stres Akademik terhadap Perilaku Makan pada Mahasiswa yang Sedang Mengerjakan Skripsi di Kota Makassar”. Kesimpulan dari penelitian Tamrin adalah stres akademik memiliki hubungan yang positif dengan perilaku makan pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi.

Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Tamrin adalah sama-sama meneliti perilaku makan. Sedangkan perbedaannya terletak variabel bebasnya, dimana pada penelitian Tamrin menjadikan stres akademik sebagai variabel bebas yang memengaruhi perilaku makan, sedangkan pada penelitian ini menjadikan body dissatisfaction sebagai variabel bebasnya.

Penelitian lain yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini adalah penelitian dari Rageliene & Gronhoj di tahun 2020 dengan judul “The Influence of Peers’ and Siblings’ on Children’s and Adolescents’ Healthy Eating Behavior. A Systematic Literature Review”. Kesimpulan dari penelitian ini adalah teman sebaya dan saudara kandung memiliki hubungan dengan perilaku makan anak-anak dan remaja. Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Rageliene & Gronhoi (2020) adalah sama-sama meneliti perilaku makan. Perbedaan antara penelitian Rageliene

(24)

dan Grondhoi dengan penelitian ini terletak pada variabel bebasnya. Pada penelitian Rageliene & Gronhoi menjadikan teman sebaya dan saudara kandung sebagai variabel bebasnya, sedangkan pada penelitian ini menjadikan body dissatisfaction sebagai variabel bebas.

Berdasarkan pemaparan yang telah disebutkan, walaupun sudah ada penelitian terdahulu yang membahas body dissatisfaction dan perilaku makan, tetap ada perbedaan dengan penelitian yang peneliti lakukan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini orisinal.

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberi sumbangan ilmiah untuk perkembangan di bidang ilmu psikologi, khususnya pada psikologi kesehatan yang berkaitan dengan body dissatisfaction dan perilaku makan.

2. Manfaat Praktis a. Bagi penari.

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kesadaran kepada para penari dalam hal ketidakpuasan kepada tubuh akan berdampak buruk kepada kesehatan mereka akibat dari perilaku makan yang tidak baik. Memerhatikan bentuk tubuh demi mengoptimalkan performa tidaklah salah, namun sesuatu yang berlebihan dapat merugikan diri sendiri, dalam kasus ini adalah kesehatan para penari perempuan.

(25)

b. Peneliti lain

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi tambahan referensi atau sumber informasi bagi peneliti yang tertarik pada psikologi kesehatan, khususnya pada variabel body dissatisfaction dan perilaku makan.

(26)

12 BAB II

TINJAUAN TEORITIS A. Perilaku Makan 1. Pengertian Perilaku Makan

Perilaku makan merupakan keadaan yang menggambarkan perilaku individu terhadap kegiatan makan seperti tata krama, seberapa sering, makanan kesukaan, serta pemilihan makanan (Rahman, Dewi, &

Fitra; 2016). Pengertian serupa juga disebutkan oleh Suhardjo (dalam Hasmalawati, 2017) bahwa perilaku makan adalah cara bagi individu dalam memilih makanan dan mengonsumsinya yang menjadi reaksi dari pengaruh fisiologis, psikologis, sosial dan budaya. Berdasarkan dua pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa perilaku makan adalah perilaku yang berhubungan dengan kegiatan makan, mulai dari pemilihan makanan, frekuensi, hingga intensi dan reaksi seseorang terhadap kegiatan makan.

Fadhilah, Widjanarko, & Shaluhiyah (2018) mengawakan bahwa perilaku makan adalah cara berfikir, pengetahuan yang dimiliki, dan cara pandang seseorang terhadap makanan yang dimanifestasi dalam tindakan seperti memilih makanan dan akan menjadi kebiasaan dikemudian hari. Menurut Candramila, dkk (2018), perilaku makan merupakan interaksi kompleks seseorang yang merupakan respon dari suatu situasi atau stimulus. Pada kasus ini, stimulus tersebut tidak hanya karena faktor fisik atau genetik tetapi termasuk juga faktor psikologis

(27)

dan sosial yang memengaruhi waktu makan, kuantitas, dan preferensi makanan seseorang. Sedangkan menurut Garner dkk (dalam Wang, 2022) perilaku makan adalah tingkah laku yang berhubungan dengan aktivitas makan, refleksi pemikiran terhadap makanan yang dikonsumsi, dan tindakan terhadap makanan yang dipengaruhi lingkungan sekitar.

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahwa perilaku makan tidak normal adalah sikap terhadap makanan yang termasuk kegiatan makan secara keseluruhan, pemilihan makanan, frekuensi makan, intensi dari kegiatan makan, dan reaksi seseorang terhadap kegiatan makan dan pada makanan.

Perilaku makan tidak normal terjadi ketika gizi yang didapatkan dari makanan individu terpenuhi dan kegiatan makan teratur. Perilaku makan tidak normal menurut Laksmi (2018) adalah kegiatan makan yang terjadi ketika waktu serta frekuensi makan tidak teratur, tidak memerhatikan jenis makanan yang dikonsumsi, berat badan yang turun secara ekstrim, dan perilaku lain yang mengarah ke masalah gangguan makan seperti simptom pada anorexia, bulimia, binge eating, dan kebiasaan makan di malam hari.

Perilaku makan tidak normal mencakup perilaku seperti mengonsumsi pil diet atau pil diuretik (obat pembuang garam dan air melalui urin), mengurangi kalori tubuh, bahkan penggunaan obat pencahar (Gearhart, 2018).

(28)

Berdasarkan definisi yang disebutkan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa perilaku makan adalah sikap terhadap makanan yang termasuk kegiatan makan secara keseluruhan, pemilihan makanan, frekuensi makan, intensi dari kegiatan makan, dan reaksi seseorang terhadap kegiatan makan dan pada makanan.

2. Jenis-Jenis Perilaku Makan a. Perilaku Makan Normal

Perilaku makan normal merupakan perilaku dimana seseorang mengonsumsi makanan sehari-harinya dengan nutrisi yang terpenuhi sehingga kebutuhan gizi dan keseimbangannya tercapai (Laksmi, 2018). Individu yang memiliki perilaku makan normal dapat beraktivitas baik dalam setiap kegiatannya. Perilaku makan normal memenuhi gizi dan protein dalam tubuh individu. Pola makan terjaga dengan baik. Masalah pencernaan maupun fisik lainnya yang cenderung timbul akibat konsumsi makanan sangat kecil risikonya untuk muncul ketika seseorang memiliki perilaku makan yang normal.

b. Perilaku Makan Tidak Normal

Perilaku makan tidak normal adalah perilaku mengonsumsi makanan yang tidak memenuhi gizi penting untuk tubuh seperti protein, lemak, dan karbohidrat. Perilaku makan tidak normal menurut Laksmi (2018) adalah kegiatan makan yang terjadi ketika waktu serta frekuensi makan tidak teratur, tidak memerhatikan jenis

(29)

makanan yang dikonsumsi, berat badan yang turun secara ekstrim, dan perilaku lain yang mengarah ke masalah gangguan makan, seperti simptom pada anorexia, bulimia, binge eating, dan kebiasaan makan dimalam hari. Perilaku makan tidak normal mencakup perilaku seperti mengonsumsi pil diet atau pil diuretik (obat pembuang garam dan air melalui urin), mengurangi kalori tubuh, bahkan penggunaan obat pencahar (Gearhart, 2018).

Perilaku makan tidak normal erat hubungannya dengan perilaku diet. Perilaku diet yang terlalu keras atau ekstrim karena ketidakpuasan tubuh mendorong seseorang untuk menerapkan perilaku makan tidak normal yang membahayakan kesehatannya (Andres & Saldana, 2014). Perilaku diet merupakan usaha seseorang secara sadar dalam mengontrol asupan makanannya demi mengurangi berat badan (Putri & Indryawati, 2019). Perilaku diet terbagi menjadi dua, yaitu sehat dan tidak sehat. Diet yang sehat tidak membahayakan tubuh.

Berbeda dengan diet tidak sehat, perilaku ini dilakukan hanya untuk mengubah penampilan melalui cara cepat yang tidak baik seperti berpuasa terus menerus atau menahan makan, mengonsumsi obat pencahar, berolahraga setelah makan. Perilaku seperti itu akan mengganggu metabolisme serta menyebabkan kekurangan zat gizi pada tubuh (Santi, 2013). Perilaku makan tidak normal jika dibiarkan akan menimbulkan gangguan makan yang lebih serius.

(30)

Gangguan makan adalah suatu kondisi psikiatrik dengan dampak psikis dan medis yang serius (Krisnani, 2017). Bentuk dari gangguan makan tersebut adalah sebagai berikut.

1) Anorexia Nervosa

Anorexia nervosa (AN) merupakan gangguan pada pola makan yang membuat penderitanya merasa lapar secara berkelanjutan (Krisnani, 2017). Anorexia nervosa ditandai dengan penolakan individu untuk tetap memiliki berat badan yang sehat. Penderitanya merasa takut berlebihan terhadap peningkatan berat badan. Perasaan tersebut dikarekana adalah bias kognitif pada penderita, yaitu penyimpangan dalam mengevaluasi dan menilai tubuh serta makanan yang dikonsumsi.

2) Bulimia Nervosa

Bulimia nervosa merupakan kelainan makan yang ditandai dengan kebiasaan makan berlebihan secara terus menerus (Krisnani, 2017). Penderitanya berusaha untuk mengeluarkan makanan yang telah dikonsumsi dengan memuntahkannya secara sengaja. Perilaku tersebut menyiksa diri individu yang menderita bulimia. Selain muntah yang disengaja, cara lain untuk mengosongkan pencernaan oleh penderitanya adalah dengan berpuasa, menggunakan obat pencahar, enema, dan diuretik. Kemudian dengan olahraga berlebihan.

(31)

3) Eating disorder not otherwise specified (EDNOS)

Gangguan makan di kategori ini tidak memiliki karakter khusus. Sebutan ini juga mendeskripsikan kondisi dimana seseorang tidak memiliki simptom yang spesifik pada satu tipe gangguan makan, tetapi perilaku makan individu beresiko menjadi ganggua makan serius (Boston Children’s Hospital, 2019).

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, dapat diketahui bahwa perilaku makan dibagi menjadi dua kategori, yaitu perilaku makan normal dan perilaku makan tidak normal. Perilaku makan normal menjadikan tubuh kuat dalam beraktivitas, sedangkan perilaku makan tidak normal membahayakan kesehatan tubuh.

3. Aspek-Aspek Perilaku Makan

Menurut Garner dkk, untuk dapat memperhatikan perilaku makan dapat dilihat dari tiga aspeknya, yaitu sebagai berikut (Stoeber &

Madigan, 2016).

a. Dieting (perilaku diet)

Aspek perilaku diet berhubungan dengan penghindaran terhadap makanan yang dapat menggemukkan badan dan preokupasi untuk menjadi lebih kurus. Diet merefleksikan perilaku seperti memakan makanan untuk diet dan menghindari makanan dengan gula atau karbohidrat yang tinggi.

(32)

b. Bulimia and food preoccupation (bulimia dan preokupasi makanan) Pada aspek ini melihat bagaimana individu merefleksikan pemikirannya terhadap makanan dan termasuk yang mengindikasikan bulimia seperti simptom-simptomnya. Perilaku yang termasuk di aspek ini adalah seperti terlibat dalam episode binge eating (makan berlebihan) yang sulit untuk dihentikan atau memuntahkan makanan setelah makan.

c. Oral control (kontrol oral)

Aspek kontrol oral berkaitan dengan kontrol diri individu ketika makan dan bagaimana seseorang mempersepsikan tekanan yang dirasakan dari orang di sekitar untuk menaikkan berat badan.

Perilakunya seperti memotong-motong makanan menjadi kecil atau menyelesaikan makan lebih lama dibandingkan orang lain.

Aspek-aspek tersebut menjadi tolak ukur untuk mengetahui apakah perilaku makan individu masih berada ditahap normal atau sudah tidak normal.

4. Faktor-Faktor Perilaku Makan

Perilaku makan berbeda-beda pada setiap individu berdasarkan faktor yang tidak sama. Beberapa faktor yang berpengaruh kepada perilaku makan seseorang adalah sebagai berikut.

a. Body Dissatisfaction

Body dissatisfaction menyebabkan perilaku makan yang timbul menjadi abnormal (Laksmi, 2018). Seseorang dengan body image

(33)

negatif atau biasa disebut dengan body dissatisfaction lebih sering melakukan penurunan berat badan. Tindakan ini akan berdampak kepada perilaku makan seperti membatasi jumlah kalori setiap harinya, menghindari jenis makanan tertentu, menahan diri untuk makan, dan sebagainya (Husna, 2013).

Body dissatisfaction mendorong individu untuk melakukan kontrol berat badan berlebihan yang berakhir tidak sehat dan beresiko mengembangkan gangguan makan (Setyawati &

Setyowati, 2015). Body dissatisfaction akan berdampak kepada hasil yang negatif, yaitu gangguan makan dan sikap tidak sehat terhadap makanan atau aktivitas makan itu sendiri (Rosewall, 2018).

b. Stres

Stres mempengaruhi perilaku makan dalam berbagai cara.

Seringnya, stres berdampak kepada perilaku makan secara tidak baik. Individu yang ‘lari’ ke makanan ketika sedang stres, berkaitan dengan kontrol glisemik yang buruk dan meningkatkan diabetes.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa makan di bawah pengaruh stres berdampak buruk kepada kesehatan jasmani dan akan meningkatkan berat badan secara tidak sehat (Araiza & Lobel, 2018).

c. Lingkungan sosial

Lingkungan di mana individu berada sangat berpengaruh kepada bagaimana individu tersebut mengonsumsi makanan. Seperti

(34)

halnya pengaruh dari teman sebaya di mana jika berkumpul bersama ketika makan atau melihat makanan teman, seseorang akan tergoda untuk memakannya juga. Pola makan di dalam satu kelompok yang sering berinteraksi pun berdampak kepada pola makan individu.

Selain pengaruh dari orang di sekitar, perbedaan akses mendapatkan bahan baku juga menjadi pertimbangan ketika memilih makanan (Kabir, Miah, Islam; 2018).

Pengaruh lingkungan terhadap asupan makanan seseorang dapat berbentuk positif maupun negatif. Individu yang berteman dengan orang-orang yang gemar memakan junk food akan memiliki perbedaan gizi dengan individu yang dikelilingi oleh teman yang gemar memasak makanan sehat seperti salad, ikan segar, dan lainnya. Oleh sebab itu, pemilihan makanan juga sangat besar dipengaruhi oleh orang di sekitar tempat individu tersebut banyak menghabiskan waktunya.

d. Keadaan finansial

Keadaan ekonomi berdampak terhadap pemilihan makanan yang dikonsumsi seseorang (Rahman, Dewi, & Fitra; 2016).

Individu yang berasal dari level ekonomi tinggi lebih mampu membeli bahan pangan makanan yang bergizi seperti daging, sayur, buah, dan sebagainya dibandingkan keluarga di kalangan ekonomi lebih rendah. Selain kemampuan membeli, keluarga dari ekonomi

(35)

lebih tinggi cenderung memiliki pengetahuan gizi yang baik, sehingga pemilihan makanan juga lebih sehat.

Berdasarkan penjelasan yang disampaikan, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi perilaku makan pada seseorang yaitu body dissatisfaction, tingkat stres, dan lingkungan sosial tempat individu berada. Ketiga hal tersebut dapat menjadi penyebab timbulnya perilaku makan yang tidak normal pada individu.

B. Body Dissatisfaction 1. Pengertian Body Dissatisfaction

Body dissatisfaction menurut Ogden dapat dikonseptualisasikan sebagai perbedaan antara persepsi individu tentang ukuran tubuh mereka dan ukuran tubuh yang sebenarnya, perbedaan antara persepsi tentang ukuran sebenarnya dibandingkan dengan ukuran yang diidealkan, atau hanya perasaan tidak puas dengan ukuran dan bentuk tubuh (Amalia dkk, 2018). Body dissatisfaction berkaitan dengan evaluasi subjektif yang negatif terhadap ukuran tubuh, bentuk tubuh, serta komposisi otot, dan biasanya terjadi kesenjangan antara persepsi individu tersebut dengan kenyataannya (Grogan, 2017).

Body dissatisfaction merupakan penilaian negatif individu terhadap penampilan tubuhnya yang berdampak kepada rasa tidak puas (Putri &

Indryawati, 2019). Seseorang menilai tubuh dan fisik mereka berdasarkan standar tertentu dan mengharapkan bentuk yang ideal.

Ketika standar tersebut tidak terpenuhi, sangat mudah bagi seseorang

(36)

untuk memunculkan rasa negatif dan tidak suka terhadap tubuh sendiri.

Perbedaan gambar ideal yang diharapkan dengan kenyataan yang ada juga berpengaruh menimbulkan body dissatisfaction.

Penilaian invidiu terhadap tubuhnya termasuk ke dalam beberapa hal yaitu pada bagian tubuh secara spesifik (perut, pinggang, betis, pantat, payudara, atau paha), berat badan, maupun tinggi badan (Meiliana dkk, 2018). Body dissatisfaction dapat didefinisikan sebagai perilaku negatif seseorang terhadap tubuhnya sendiri yang didasari oleh perbedaan persepsi terhadap citra tubuh dan bentuk tubuh yang diidealkan (Cooper dkk dalam Heider, 2018).

Seseorang yang mengalami body dissatisfaction memiliki kebiasaan untuk memeriksa fisik mereka, seperti melihat pantulan di cermin, memeriksa timbangan, bahkan menyamarkan bentuk tubuh dengan menghindari aktivitas bersama orang lain (Putri & Indryawati, 2019). Body dissatisfaction lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Hal itu dikarenakan perempuan lebih terlihat perubahan pada tubuhnya daripada laki-laki (Putri & Indryawati, 2019).

Berdasarkan paparan yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa body dissatisfaction adalah perilaku negatif terhadap tubuh yang berasal dari perbedaan antara persepsi terhadap citra tubuhnya dengan bentuk tubuh yang diinginkan, baik pada beberapa bagian tubuh, ataupun pada keseluruhan tubuh.

(37)

2. Aspek-Aspek Body Dissatisfaction

Cooper, dkk (Amalia dkk, 2018) menyebutkan beberapa aspek pada body dissatisfaction, antara lain adalah sebagai berikut.

a. Self perception of body shape

Self-perception of body shape adalah persepsi individu terhadap bentuk tubuhnya, baik pikiran ataupun keyakinan. Pemikiran yang negatif terhadap keseluruhan bentuk tubuh atau sebagian bentuk tubuh, menyamarkan bentuk tubuh dari yang sebenarnya, perasaan malu, sedih, kecewa yang individu rasakan di lingkungan sosialnya.

b. Comparative perception of body image

Comparative perception body image ialah aspek di mana individu membandingkan persepsi citra tubuh dengan orang lain di sekitar mereka. Bisa orang yang ditemui secara langsung atau yang dilihat melalui internet. Membandingkan tubuh idnvidu terhadap individu lain yang dianggap lebih menarik merupakan hal yang biasa terjadi pada perempuan dan bertanggung jawab sebagai sumber ketidakpuasan akan tubuh (body dissatisfaction) serta gangguan makan (Pinksavage dkk 2015).

c. Attitude concerning body image alternation

Attitude concerning body image alternation merupakan sikap individu yang terfokus kepada perubahan citra tubuh. Sikap ini dapat berbentuk aktivitas fisik seperti berolahraga atau perilaku simptom gangguan makan, seperti memuntahkan makanan, atau diet.

(38)

d. Severe alternation in body perception

Severe alternation in body perception adalah perubahan drastis yang berasal dari persepsi terhadap tubuh. Sikap ini sudah memengaruhi kegiatan sehari-hari, seperti menghindari berlari di kerumunan atau menyembunyikan diri.

Keempat aspek yang telah dijabarkan tersebut merupakan indikator untuk melihat tingkat body dissatisfaction yang terdapat pada individu. Adapun indikator tersebut adalah self perception of body shape, comparative perception of body shape, attitude concerning body image alternation, dan severe alternation in body perception.

3. Faktor-Faktor Body Dissatisfaction

Terdapat dua kategori utama yang menjadi faktor timbulnya body dissatisfaction yaitu faktor psikologis dan faktor sosial.

a. Faktor Psikologis

Menurut Grogan (2017), faktor psikologis dari body dissatisfaction adalah sebagai berikut.

1) Self-esteem

Individu dengan self-esteem atau harga diri yang rendah cenderung untuk merasa lebih puas terhadap tubuh mereka. Ini terjadi pada wanita dan pria. Body dissatisfaction berkaitan dengan perasaan negatif pada diri, juga kurangnya kepercayaan diri serta kekuasaan yang dimiliki di situasi sosial. Munculnya

(39)

perasaan dan pemikiran bahwa diri terlihat kurang menarik dari orang di sekitar, menurun atau hilangnya kepercayaan diri, serta merasa bukan orang yang penting karena bentuk badan atau beberapa bagian dari badan akan menimbulkan perasaan tidak puas kepada tubuh.

2) Gambaran ideal kurus / muskular yang terinternalisasi

Eksposur terhadap bentuk tubuh ‘ideal’ dari model, selebriti, dan figur publik lainnya tanpa sadar akan menumbuhkan gambaran kepada masyarakat tentang bagaimana penampilan seharusnya. Sehingga, jika seseorang tidak memiliki karakteristik tubuh yang terinternalisasi di pemikirannya akan menimbulkan body dissatisfaction.

3) Komparasi sosial

Individu yang sering melakukan upward comparison dengan orang-orang yang memiliki gambaran ideal kurus / muskular akan lebih rentan merasa tidak puas pada tubuhnya.

Upward comparison sendiri adalah perbandingan yang dilakukan individu kepada orang yang dianggapnya memiliki karakteristik lebih darinya di suatu aspek tertentu.

4) Objektifikasi diri

Objektifikasi diri adalah di mana perempuan menumbuhkan pandangan kepada tubuhnya sebagai suatu objek (Grippo & Hill dalam Grogan (2017). Terus-terusan

(40)

menemukan kesalahan yang harus diubah dari tubuh, mengkritisi badan, dan perilaku yang memperlakukan tubuh seperti objek akan berdampak kepada munculnya body dissatisfaction. Objektifikasi diri sering terjadi di kalangan perempuan dibandingkan pria.

b. Faktor Sosial

Barbierik (2017) menyebutkan bahwa body dissatisfaction dapat disebabkan oleh faktor budaya sosial. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut.

1) Peran media

Media yang kita lihat sehari-hari baik melalui televisi, majalah, iklan, film, dan sebagainya hampir selalu menampilkan figur yang memiliki tubuh kurus atau muskular.

Representasi seperti itu tanpa sadar menjadikan itu adalah sebuah norma yang seharusnya. Masyarakat yang tidak mempunya tubuh ideal sebagaimana yang ditampilkan media merasa tidak puas akan tubuhnya dan ingin mengubah diri mereka Barbierik (2017).

2) Keluarga, teman, dan pasangan

Keluarga juga merupakan faktor yang relevan terhadap body dissatisfaction. Kritikan dan komentar dari orangtua tentang cara berpakaian, penampilan, bentuk tubuh, atau berat tubuh akan berdampak negatif pada citra tubuh individu.

(41)

Bukan hanya orangtua, namun anggota keluarga yang, teman, bahkan komentar dari pasangan memiliki pengaruh signifikan terhadap kepuasan penampilan pada individu Barbierik (2017).

3) Level ekonomi

Beberapa studi menyebutkan bahwa orang-orang yang berada di kalangan kelas atas secara ekonomi cenderung memiliki body dissatisfaction lebih tinggi dibandingkan yang tidak. Tingkat ekonomi secara langsung mempunyai hubungan dengan internalisasi tubuh atletis/muskular dan tipe bentuk tubuh yang kurus, di mana menunjukkan perempuan yang hidup di tingkat ekonomi tinggi memiliki internalisasi standar tubuh yang lebih ideal dibandingkan yang berada di tingkat ekonomi lebih rendah (Silva dkk, 2020).

Berdasarkan yang telah dipaparkan sebelumnya, terdapat dua faktor yang memengaruhi body dissatisfaction yaitu faktor psikologis dan faktor sosial. Faktor psikologis mencakup self-esteem atau harga diri, internalisasi gambaran ideal tubuh, membandingkan tubuh dengan orang lain, dan objektifikasi diri. Sedangkan faktor sosial merupakan peran media, komentar keluarga, teman, dan pasangan, serta level ekonomi.

C. Penari

Penari adalah seseorang yang menampilkan sebuah tarian di atas panggung atau di tempat lain dihadapan orang lain atau penonton untuk

(42)

disaksikan. Penari adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam memadukan tiga unsur pokok pada tarian yaitu wiraga (gerak), wirama (irama), dan wirasa (isi/gerak) (Haryono, 2012). Jika mampu menghubungkan ketiga unsur tersebut menjadi kesatuan dan sesuai dengan karakter dari tari yang disajikan, penari tersebut dapat dikatakan berhasil.

Tugas seorang penari adalah melaksanakan irama dalam tari dan memberikan jiwa kepada isi tari tersebut agar bermakna. Menari itu sendiri merupakan medium kreatif, metode, dan proses untuk individu dan komunitas secara aktif mencari pengetahuan terhadap kehidupan yang dijalani.

Penari melibatkan perasaan diri dan koneksi kepada orang lain, lingkungan, masyarakat, bahkan melampauinya. Berdasarkan penjelasan yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa seorang penari adalah individu ataupun komunitas yang menampilkan sebuah tarian dengan tiga unsur pokok untuk tujuan tertentu. Penari merupakan profesi yang rentan untuk mengalami gangguan makan atau mempraktikkan perilaku makan abnormal. Fenomena ini sangat mungkin ditimbulkan dari pembentukan standar diri yang sangat tinggi dan kritik kepada diri yang dimanifestasi oleh para penari, kemudian berdampak pada kontrol berat badan, menahan makan, serta rasa cemas terhadap bentuk tubuh (Bradt, Goodwill, & Dileo;

2014). Oleh karena alasan tersebut, banyak dari penari yang memiliki pola makan tidak normal.

(43)

D. Kerangka Berpikir

Penelitian ini mengkaji hubungan antara body dissatisfaction dengan perilaku makan, peneliti menggunakan teori Cooper, dkk untuk body dissatisfaction serta teori Garner, dkk untuk perilaku makan.

Penari merupakan profesi yang menuntut individu untuk selalu menjaga bentuknya untuk selalu proporsional. Hal tersebut membuat penari lebih mudah untuk mempraktikkan perilaku makan yang tidak normal.

Menurut Garner dkk (dalam Wang, 2022) perilaku makan adalah tingkah laku yang berhubungan dengan aktivitas makan, refleksi pemikiran terhadap makanan yang dikonsumsi, dan tindakan terhadap makanan yang dipengaruhi lingkungan sekitar. Perilaku makan terbagi menjadi dua, yaitu perilaku makan normal dan tidak normal. Garner dkk (dalam Wang, 2022) mengatakan untuk mengetahui apakah perilaku makan seseorang sudah dikatakan tidak normal dapat diperhatikan melalui tiga indikator yaitu perilaku diet, bulimia dan preokupasi makanan, serta kontrol oral.

Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku makan adalah body dissatisfaction. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Laksmi dkk (2018) yang menemukan bahwa body dissatisfaction cenderung memiliki perilaku makan tidak normal dibandingkan dengan seseorang yang memiliki body image puas. Body dissarisfaction memiliki hubungan yang positif dengan perilaku makan.

Menurut Cooper dkk (dalam Heider, 2018), body dissatisfaction adalah perilaku negatif seseorang terhadap tubuhnya sendiri yang didasari

(44)

oleh perbedaan persepsi terhadap citra tubuh dan bentuk tubuh yang diidealkan. Untuk mengetahui apakah seseorang memiliki body dissatisfaction dapat dilihat dari aspeknya yaitu persepsi terhadap bentuk tubuh, perbandingan persepsi citra tubuh, sikap terhadap perubahan citra tubuh, dan sikap lebih drastis akibat dari perubahan citra tubuh.

Aspek pada body dissatisfaction seperti persepsi individu terhadap bentuk tubuhnya (self perception of body shape) dan membandingkan persepsi citra tubuh dengan orang lain (comparative perception of body image) menimbulkan perilaku diet yang merupakan salah satu dimensi pada perilaku makan. Hal tersebut menunjukkan bahwa body dissatisfaction erat kaitannya dengan perilaku makan. Lintang, Ismanto, dan Onibala (2015) menyebutkan bahwa semakin tinggi rasa ketidakpuasan tubuh seseorang, perilaku diet akan semakin meningkat, dimana perilaku diet adalah aspek dari perilaku makan. Sebaliknya semakin rendah rasa ketidakpuasan tubuh, maka semakin rendah pula perilaku diet. Perilaku diet tersebut dapat dipraktikkan secara sehat ataupun berbahaya, tergantung kepada individu.

Aspek perbandingan persepsi tubuh (comparative perception of body image) kemungkinan besar menyebabkan individu untuk mempraktikkan bulimia atau preokupasi makanan yang menjadi aspek dari perilaku makan.

Sitepu (2020) menyebutkan bahwa perempuan yang menganggap tubuhnya lebih berat daripada berat badan yang sebenarnya sangat mungkin untuk mempraktikkan perilaku ekstrim dalam mengontrol berat badan, salah satunya adalah dengan memuntahkan makanan. Bulimia juga dapat terjadi

(45)

karena perbandingan yang dilakukan individu dengan orang di sekitarnya, baik yang ditemui secara langsung ataupun dari paparan media sosial.

Perbandingan persepsi tubuh ini adalah dampak dari pengaruh media dimana seseorang banyak menghabiskan waktu untuk menilai tubuhnya yang dipengaruhi oleh figur dengan standar tertentu dari majalah, televisi, maupun pada teman dan sebagainya. Penari banyak melakukan perbandingan dengan penari lain yang dianggap memiliki bentuk tubuh lebih ideal dibandingkan tubuhnya sendiri. Perbandingan ini menimbulkan efek negatif yang berkaitan dengan gangguan makan seperti bulimia nervosa atau anorexia nervosa (Paramitha & Suarya, 2018).

Aspek selanjutnya yaitu perbandingan persepsi tubuh (attitude concerning of body image) berdampak kepada kontrol oral yang merupakan aspek dari perilaku makan seseorang terhadap makanan. Rae & Renyoet (2022) mengemukakan bahwa peran lingkungan sosial merupakan salah satu faktor yang besar dalam memberikan dampak terhadap kebiasaan makan. Seperti pemilihan makanan akan disesuaikan berdasarkan kelompok di mana individu tersebut tinggal dan tumbuh besar.

Standarisasi bentuk ideal, ketimpangan persepsi, dan perbandingan yang dilakukan kepada orang lain dengan bentuk tubuh yang lebih ideal menimbulkan rasa tidak puas terhadap bentuk tubuh yang menimbulkan citra negatif. Wahyuni & Wilani (2019) menyebutkan bahwa perubahan fisik akan cenderung melakukan perbandingan diri dengan orang lain yang berkaitan dengan komparasi sosial.

(46)

Perilaku berdasarkan perubahan persepsi citra tubuh (attitude concerning body image alternation) sangat mungkin terjadi akibat dari citra negatif kepada tubuh, seperti menghindari berlarian di kerumunan karena khawatir lemak tubuh akan terlihat atau tidak ingin berjumpa kepada orang lain karena tidak percaya diri. Salah satu bentuk dari perubahan perilaku (attitude concerning of body image alternation) adalah perilaku diet.

Perilaku diet merupakan usaha individu untuk menurunkan berat badannya agar menjadi ideal. Segala cara seseorang lakukan demi mengurangi berat badannya, seperti pengaturan pola makan yang berlebihan, menggunakan obat pelangsing di luar anjuran dokter, merasa khawatir dengan makanan yang mereka konsumsi, serta mengendalikan makanan secara berlebihan (Safarina & Rahayu, 2015).

Aspek terakhir yang memengaruhi perilaku makan adalah perubahan drastis dari persepsi terhadap tubuh (severe alternation in body perception) juga mempengaruhi perilaku makan. Menurut Nisa (2021) perilaku dari aspek ini sudah mengganggu keseharian individu seperti menghindar dari kerumunan karena tidak percaya diri akan tubuhnya, tidak berani berinteraksi dengan orang lain, dan mengganggu konsentrasi karena pikiran dipenuhi dengan bentuk tubuh mereka.

Berdasarkan pemaparan di atas, body dissatisfaction menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku makan. Seseorang dengan body dissatisfaction dapat mempraktikkan perilaku makan yang tidak normal. Ini

(47)

sesuai dengan yang dikemukakan oleh Amissah dkk (2015) bahwa body dissatisfaction memiliki hubungan yang positif dengan perilaku makan.

F. Hipotesis

Berdasarkan pemaparan kerangka berpikir yang telah dijabarkan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara body dissatisfaction dengan perilaku makan pada penari di Pekanbaru.

(48)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional.

Kuantitatif adalah sebuah pendekatan yang menggunakan sistem numerikal yang analisisnya melalui metode statistika (Azwar dalam Susanti dkk (2016). Melalui pendekatan ini, penelitian dimulai dari mengumpulkan teori, lalu disimpulkan hingga menjadi hipotesis dan asumsi dalam kerangka pemikiran yang terdiri dari variabel-variabel yang mengarah kepada suatu tema (Widodo, 2019). Korelasional sendiri merupan desain penelitian yang melihat hubungan antara satu atau lebih variabel bebas atau variabel faktor dengan variabel terikatnya, Korelasional digunakan untuk menguji apakah hipotesis yang diajukan peneliti diterima atau tidak (Susanti dkk, 2016).

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Penelitian ini memiliki dua variabel yaitu variabel body dissatisfaction yang menjadi variabel bebas dan perilaku makan sebagai variabel terikat.

Lebih jelasnya, dapat ditulis seperti sebagai berikut.

Variabel bebas (X) : body dissatisfaction Variabel terikat (Y) : perilaku makan

C. Definisi Operasional 1. Perilaku makan

Perilaku makan adalah perilaku penari terhadap makanan yang termasuk kegiatan makan secara keseluruhan, pemilihan makanan,

(49)

frekuensi makan, intensi dari kegiatan makan, dan reaksi seseorang terhadap kegiatan makan dan pada makanan. Perilaku makan diukur menggunakan skala Eating Attitude Test 26 (EAT-26) yang disusun oleh Garner (1982) dan sudah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mandiri (2018). Perilaku makan memiliki tiga aspek yaitu:

a. Dieting (perilaku diet), yaitu usaha untuk menurunkan berat badan.

b. Bulimia and food preoccupation (bulimia dan preokupasi makanan), yaitu makan dalam porsi banyak kemudian menahan diri untuk tidak mengonsumsi apa-apa setelahnya.

c. Oral control (kontrol oral), yaitu mengontrol asupan makanan ke dalam tubuh.

2. Body dissatisfaction

Body dissatisfaction adalah perilaku negatif penari terhadap tubuh yang berasal dari perbedaan antara persepsi terhadap citra tubuhnya dengan bentuk tubuh yang diinginkan, baik pada beberapa bagian tubuh, ataupun keseluruhan tubuh yang didasari oleh ketimpangan persepsi antara bentuk tubuh sebenarnya dengan bentuk tubuh yang diidealkan.

Body dissatisfaction didukur menggunakan skala Body Shape Questionnaire 34 (BSQ-34) yang disusun oleh Cooper dkk (1988) yang sudah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia oleh Sitepu (2020). Body dissatisfaction memiliki empat aspek yaitu:

(50)

a. Self perception of body shape, yaitu persepsi terhadap bentuk tubuh.

b. Comparative perception of body image, yaitu perbandingan yang dilakukan dengan bentuk tubuh orang lain yang dianggap lebih ideal.

c. Attitude concerning body image alternation, yaitu sikap yang terjadi pada perubahan citra tubuh.

d. Severe alternation in body perception, yaitu sikap lebih drastis yang terjadi akibat perubahan citra tubuh dan telah mengganggu keseharian.

D. Subjek Penelitian 1. Populasi Penelitian

Populasi merupakan jumlah seluruh orang dari suatu kelompok, kejadian, atau hal minat yang ingin peneliti teliti (Sekarang dalam Widodo, 2019). Populasi dalam penelitian ini adalah penari di Pekanbaru.

Penari merupakan profesi yang rentan untuk mempraktikkan perilaku makan tidak normal. Hal ini dikarenakan lingkungan penari menuntut mereka untuk mempertahankan bentuk tubuh yang proporsional karena menampilkan performa di hadapan banyak orang serta kelincahan tubuh mengikuti irama musik.

Belum ada data pasti dari jumlah total penari di Kota Pekanbaru, sehingga populasi dari penelitian ini tidak diketahui jumlahnya. Untuk

(51)

itu peneliti menyesuaikan jumlah penari berdasarkan yang ditemui di lokasi penelitian.

2. Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian atau dari populasi (Widodo, 2019).

Sugiyono (2016) menyebutkan bahwa sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi, serta sampel yang diambil harus mewakili populasi.

Untuk menentukan ukuran sampel pada penelitian ini, peneliti mengacu pada pendapat Sugiyono. Menurut Sugiyono (2016) minimal jumlah sampel yang layak pada sebuah penelitian adalah 30 partisipan.

Pernyataan ini juga didukung oleh Copper dan Emory (1997) yang mengatakan bahwa sampel sebanyak 100 responden yang diambil dari populasi berjumlah 5000 orang secara kasar memiliki ketetapan estimasi yang sama dengan 100 sampel yang diambil dari 200 juta populasi. Berdasarkan acuan tersebut, peneliti mengambil sampel dalam penelitian ini berjumlah 101 orang.

3. Teknik Sampling

Teknik sampling adalah cara pengambilan untuk menentukan berapa jumlah sampel serta bagaimana cara memilihnya. Jumlah sampel disesuaikan dengan jumlah populasi dan kesanggupan oleh peneliti untuk menjangkaunya (Widodo, 2019). Adapun teknik sampling dari penelitian ini adalah accidental. Accidental sampling digunakan ketika partisipan ditemui secara kebetulan saat penelitian dilakukan (Widodo,

(52)

2019). Alasan dari penggunaan accidental sampling karena populasi dari penelitian tidak diketahui dengan pasti (Sugiyono, 2012).

E. Metode Pengambilan Data

Widodo (2019) mengatakan bahwa metode pengambilan data adalah cara yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian. Metode pengambilan data yang digunakan pada penelitian ini adalah skala. Teknik pengumpulan data melalui skala digunakan karena skala dapat menjadi acuan untuk menentukan posisi subjek di tiap variabel karena pengukuran akan menghasilkan data yang kuantitatif dan dapat dikategorisasikan (Sugiyono, 2016). Skala dalam penelitian ini terdiri dari perilaku makan dan body dissatisfaction.

1. Skala Perilaku Makan

Skala untuk mengukur perilaku makan diadaptasi dari skala eating aptitude test 26 (EAT-26) yang disusun oleh Garner dkk (1982) yang telah diadaptasi oleh Mandiri (2015). Skala ini terdiri dari 26 aitem.

Setiap pernyataan pada aitem memiliki enam pilihan jawaban yaitu

‘Selalu’, ‘Biasanya’, ‘Sering’, ‘Kadang-Kadang’, ‘Jarang’, dan ‘Tidak Pernah’. Rentang skor berkisar antara 0–3 untuk masing-masing pernyataan aitem 1-25. Pernyataan yang paling sesuai dengan kriteria perilaku makan abnormal memiliki skor paling tinggi (skor 0 untuk pilihan jawaban ‘tidak pernah’, ‘jarang’, dan ‘kadang-kadang’. Skor 1 untuk pilihan jawaban ‘sering’, skor 2 untuk pilihan jawaban ‘biasanya’

dan skor 3 untuk pilihan jawaban ‘selalu’).

(53)

Aitem 26 memiliki cara skoring yang sedikit berbeda, yaitu skor 0 untuk pilihan jawaban ‘selalu’, ‘sering’, dan ‘biasanya’. Skor 1 untuk pilihan jawaban ‘kadang-kadang’, skor 2 untuk pilihan jawaban

‘jarang’, dan skor 3 untuk pilihan jawaban ‘tidak pernah’. Penetapan skor pada skala ini bersifat baku yang disusun oleh Garner dkk (1982).

Skor < 20 mengindikasikan perilaku makan dengan kategori normal dan skor > 20 mengindikasikan perilaku makan dengan kategori abnormal (Halgin & Whitbourne dalam Mandiri, 2015). Berikut adalah rincian dari skala Eating Attitude Test 26:

Tabel 3.1

Blueprint Eating Attitude Test 26 untuk Try Out

Aspek Aitem Favorable

Nomor Aitem Jumlah

Dieting

Bulimia and food preoccupation Oral control

1, 6, 7, 10, 11, 12, 14, 16, 17, 22, 23, 24, 25

3, 4, 9, 18, 21, 26 2, 5, 8, 13, 15, 19, 20

13 6 7

Total Aitem 26

2. Skala body dissatisfaction

Skala untuk mengukur body dissatisfaction pada penelitian ini berasal dari penelitian terdahulu yang telah diadaptasi Sitepu (2020) dari skala body shape questionnaire 34 (bsq-34) oleh Cooper dkk (1987). Skala dimodifikasi kembali oleh peneliti untuk menyesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Skala ini merupakan skala likert dalam format enam alternatif jawaban yaitu Tidak Pernah, Jarang, Kadang- Kadang, Sering, Sangat Sering, dan Selalu. Pemberian skor dalam skala

(54)

Body Dissatisfaction-34 (BSQ-34) ini memiliki lima kondisi yaitu; 1 untuk Tidak Pernah (TP), 2 untuk Jarang (J), 3 untuk Kadang-Kadang (KK), 4 untuk Sering (S), 5 untuk Sangat Sering (SR), dan 6 untuk Selalu (SL). Rincial skala Body Shape Questionnaire 34 dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.2

Blueprint Body Shape Questionnaire 34 untuk try out

Aspek Aitem Favorable

Nomor Aitem Jumlah

Self perception of body shape

1, 2, 3, 4, 6, 9, 10, 11, 14, 15, 16, 17, 19, 21, 22, 23, 24, 28, 30, 33, 34

22

Comparative perception of body shape

12, 20, 25, 29, 31 5

Attitude concerning body image

alternation

7, 13, 18, 26, 32 5

Severe alternation in

body shape perception 8, 27 2

Total Aitem 34

F. Validitas dan Reliabilitas 1. Uji Coba Alat Ukur

Sebuah skala dapat digunakan jika sudah terbukti valid dan reliabel berdasarkan hasil uji coba statistik dengan sejumlah subjek yang memiliki karakteristik serupa dengan karakteristik subjek penelitian.

Tujuan dari melakukan uji coba ini adalah untuk mengetahui seberapa tinggi validitas dan reliabilitas skala yang digunakan sebagai alat ukur.

Uji coba alat ukur dilakukan dengan memberikan instrumen penelitian kepada sejumlah penari di Pekanbaru menggunakan skala yang di print

(55)

dan melalui google form. Instrumen penelitian ini disebarkan secara langsung pada Sanggar Ncik Gemilau dan Sanggar Buih Selari.

Instumen yang melalui google form disebarkan secara daring melalui aplikasi WhatsApp dan diakses melalui tautan yang diberikan. Try Out dilakukan mulai pada tanggal 20 Mei 2022 hingga 30 Juni 2022. Skala try out diisi oleh 50 penari di Pekanbaru, baik penari yang tergabung dalam sanggar maupun freelancer yang tidak tergabung dalam sanggar.

Hasil dari uji coba akan diuji reliabilitas dan daya diskriminasi aitem menggunakan aplikasi SPSS versi 25 for windows.

2. Uji Validitas

Validitas menurut Gravetter & Forzano (2019) terletak pada prosedur perhitungan. Oleh karena itu, validitas merupakan sebuah instrumen yang digunakan untuk mengukur apa yang dirancang untuk diukur. Validitas melihat apakah suatu alat ukur sudah sesuai dengan tujuan pengukurannya. Validitas pada penelitian menunjukkan derajat ketepatan alat ukur penelitian terhadap isi sebenarnya yang diukur. Alat ukur yang valid mampu menjalankan fungsi ukurnya dengan tepat dan memiliki kecermatan yang tinggi. Menurut Kumar (2010) terdapat tiga jenis validitas yaitu validitas isi (face and content validity), validitas konkuren dan prediktif (concurrent and predictive validity), dan validitas konstruk (construct validity).

Pada penelitian ini uji validitas yang digunakan adalah validitas isi.

Validitas isi melihat relevansi aitem melalui indikator keperilakuan dan

(56)

dengan tujuan ukur sebenarnya yang didapatkan melalui evaluasi nalar dan akal sehat (common sense) (Azwar, 2017). Melalui validitas isi, yang menilai apakah aitem relevan dengan variabel yang diukur atau tidak adalah penilai yang kompeten atau professional judgement.

Adapun professional judgement yang menilai isi dari alat ukur peneliti adalah dosen pembimbing.

3. Uji Daya Beda Aitem

Menurut Azwar (2017) daya beda aitem adalah sejauh mana aitem mampu membedakan antara individua tau kelompok individu yang mempunyai dan yang tidak mempunyai atribut yang ingin diukur.

Indeks daya beda aitem merupakan indikator keselarasan atau konsistensi antara fungsi aitem dengan fungsi skala secara keseluruhan.

Aitem yang memiliki daya diskriminasi lebih tinggi atau sama dengan 0.30, dianggap memuaskan dan dapat digunakan dalam alat ukur. Pada penelitian ini peneliti menggunakan batasan ≥ 0.25 sebagai penentu apakah aitem tersebut valid atau tidak. Uji daya beda aitem dilakukan dengan mengkorelasikan teknik korelasi Pearson Product Moment dengan bantuan komputasi program SPSS versi 25 for windows.

Berdasarkan hasil analisis pertama koefisien korelasi aitem pada skala Eating Attitude Test 26, terdapat tiga aitem yang gugur yaitu aitem nomor 5, 13, dan 26. Hasil analisis setelah ketiga aitem tersebut dibuang, tidak terdapat aitem yang gugur dengan rentang korelasi aitem 0.288 – 0.742. Total aitem pada skala Eating Attitude Test 26 setelah membuang

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan yang menolak merasa berkewajiban untuk menerapkan al-Qur‟an dalam kehidupan kaum muslimin sepanjang masa, sebagaimana yang telah dipahami oleh ulama secara literal

Namun pembuatan pektin modifikasi dengan proses ini layak dipertimbangkan, mengingat dengan proses ini dapat mengurangi limbah kulit markisa kuning dan dapat menghasilkan

Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan.. Manuaba, Ida

Jika lebih dari 1 (satu) orang, maka salah satunya menjadi Lead Auditor. 3) Tim Audit yang melaksanakan verifikasi LK pada pemegang IUIPHHK, IUI, TDI, Pedagang ekspor serta

Biaya total adalah total keseluruhan yang terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel dikeluarkan oleh peternak pola bagi hasil Teseng sistem ternak sapi potong di

Metode yang digunakan pada HC dilakukan dengan cara menghitung total potensi produktivitas manusia yang hilang akibat kecelakaan fatal lalulintas di jalan, sedangkan metode

Bagi lembaga terkait, dapat mengungkapkan suatu produk pengembangan keilmuwan melalui teori yang ada dengan pendekatan dan metode baru bagi pengembangan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan profesionalisme dosen dengan prestasi belajar mahasiswa S1 Keperawatan pada mata kuliah KDM di STIKes