• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara perilaku asertif dan perilaku cyberbullying di jejaring sosial pada remaja.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara perilaku asertif dan perilaku cyberbullying di jejaring sosial pada remaja."

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DAN PERILAKU CYBERBULLYING DI JEJARING SOSIAL PADA REMAJA

Yohanna Viscanesia Sinaga

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku asertif

dan perilaku cyberbullying pada remaja. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

adalah terdapat hubungan negatif antara perilaku asertif dengan perilaku

cyberbullying pada remaja. Subjek penelitian ini adalah remaja usia 12-18 tahun

berjumlah 192 orang. Data penelitian dikumpulkan menggunakan Skala Perilaku

Asertif dan Skala Perilaku Cyberbullying. Skala Perilaku Asertif memiliki reliabilitas

0,944 dan Skala Perilaku Cyberbullying memiliki reliabilitas sebesar 0,956. Analisis

data penelitian dilakukan menggunakan korelasi Spearman Rho. Hasil korelasi antara

perilaku asertif dengan perilaku cyberbullying sebesar -0,482 dengan p = 0,000 (p <

0,01), yang berarti terdapat hubungan negatif yang signifikan antara perilaku asertif

dan perilaku cyberbullying pada remaja.

(2)

ii

THE RELATION BETWEEN ASSERTIVE BEHAVIOR AND CYBERBULLYING BEHAVIOR IN SOCIAL NETWORK AMONG

ADOLESCENTS

Yohanna Viscanesia Sinaga

ABSTRAK

This research aimed to know the relation between assertive behavior and cyberbullying behavior in adolescents. The hypothesis in this research was a negative correlation between assertive behavior and cyberbullying behavior in adolescents. Subjects in this research were 192 adolescents in aged range 12 until 18 years old. The data was collected by assertive behavior scale and cyberbullying behavior scale. Reliability of assertive behavior scale was 0,944 and reliability of cyberbullying behavior scale was 0,957. The data was analyzed using Spearman Rho correlation technique. Result of correlation between assertive behavior and cyberbullying behavior was -0,482 with p = 0,000 (p < 0,01), which means there was a significant negative correlation between assertive behavior and cyberbullying behavior in adolescents.

(3)

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DAN PERILAKU CYBERBULLYING DI JEJARING SOSIAL PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Yohanna Viscanesia Sinaga

119114043

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN MOTTO

“KEGAGALAN itu tidak menyakitkan. Tapi perasaan bahwa kamu tidak

mengerahkan segala kemampuanmu, itulah yang menyakitkan.

Bahkan ketika kamu sudah mengerahkan segala kemampuanmu, tidak ada jaminan

bahwa kamu akan sukses, atau tetap dikritik atau masih ditertawakan orang.

Akan tetapi, ketika kamu mengerahkan segala kemampuanmu, imbalanmu adalah

perasaan yang mengatakan,

(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada,

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria,

Keluarga tercinta,

Dosen Pembimbing Skripsi,

Sahabat seperjuangan,

Universitas Santa Dharma,

(8)
(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DAN PERILAKU CYBERBULLYING DI JEJARING SOSIAL PADA REMAJA

Yohanna Viscanesia Sinaga

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku asertif

dan perilaku cyberbullying pada remaja. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

adalah terdapat hubungan negatif antara perilaku asertif dengan perilaku

cyberbullying pada remaja. Subjek penelitian ini adalah remaja usia 12-18 tahun

berjumlah 192 orang. Data penelitian dikumpulkan menggunakan Skala Perilaku

Asertif dan Skala Perilaku Cyberbullying. Skala Perilaku Asertif memiliki reliabilitas

0,944 dan Skala Perilaku Cyberbullying memiliki reliabilitas sebesar 0,956. Analisis

data penelitian dilakukan menggunakan korelasi Spearman Rho. Hasil korelasi antara

perilaku asertif dengan perilaku cyberbullying sebesar -0,482 dengan p = 0,000 (p <

0,01), yang berarti terdapat hubungan negatif yang signifikan antara perilaku asertif

dan perilaku cyberbullying pada remaja.

(10)

viii

THE RELATION BETWEEN ASSERTIVE BEHAVIOR AND CYBERBULLYING BEHAVIOR IN SOCIAL NETWORK AMONG

ADOLESCENTS

Yohanna Viscanesia Sinaga

ABSTRAK

This research aimed to know the relation between assertive behavior and cyberbullying behavior in adolescents. The hypothesis in this research was a negative correlation between assertive behavior and cyberbullying behavior in adolescents. Subjects in this research were 192 adolescents in aged range 12 until 18 years old. The data was collected by assertive behavior scale and cyberbullying behavior scale. Reliability of assertive behavior scale was 0,944 and reliability of cyberbullying behavior scale was 0,957. The data was analyzed using Spearman Rho correlation technique. Result of correlation between assertive behavior and cyberbullying behavior was -0,482 with p = 0,000 (p < 0,01), which means there was a significant negative correlation between assertive behavior and cyberbullying behavior in adolescents.

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terimakasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus

dan Bunda Maria atas limpahan berkat dan kasih-Nya sehingga penulis mampu

menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik dan lancar. Skripsi yang berjudul

“Hubungan antara Perilaku Asertif dan Perilaku Cyberbullying di Jejaring Sosial pada

Remaja” ini diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan untuk meraih gelar sarjana

di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Proses penyelesaian skripsi ini melibatkan begitu banyak pihak yang begitu

tulus dalam memberikan bantuan dan dukungan dalam berbagai bentuk. Oleh karena

itu penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-sebesarnya kepada

pihak-pihak yang telah membantu selama proses penelitian skripsi ini berlangsung. Penulis

ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang telah menjadi pendengar yang baik

dalam setiap doa dan pengharapan penulis.

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak P. Eddy Suhartanto, M. Si. selaku Ketua Program Studi Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma.

4. Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi atas bimbingan,

dukungan, pengetahuan dan kesabaran dalam membantu penulis menyelesaikan

(13)

xi

5. Rm. Agustinus Priyono Marwan, SJ. selaku Bapa yang pernah membimbing

proses skripsi selama hampir satu semester dan selalu menyemangati serta

mendoakan saya.

6. Kedua orangtua penulis, Papa dan Mama yang selalu memberikan dukungan,

doa, cinta kasih, berusaha agar anak-anaknya dapat mengayomi pendidikan yang

berkualitas dan dengan sabar menunggu proses perkuliahan penulis. Adik-adik

yang selalu menyemangati dan senantiasa sabar menunggu dalam proses

pengerjaan skripsi.

7. Kakak Ervin Mau yang selalu menyemangati, mendukung, mendoakan, bertanya

tentang kelanjutan skripsi penulis dan mengingatkan untuk selalu mengerjakan

skripsi.

8. Om Sam yang sering membantu, mendukung, menyemangati, memfasilitasi

mulai dari pengerjaan seminar dan selalu mengingatkan untuk selalu

mengerjakan skripsi.

9. Sahabat-sahabatku terkasih Nety, Arum, Jojo, Hervy, Mbak Tirsa, Silla, Clara

yang selalu menyemangati dan memberi dukungan serta membantu dalam

kesulitan-kesulitan proses pengerjaan skripsi.

10. Teman-teman yang bersama-sama mengerjakan skripsi bersama di Perpustakaan

Paingan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta: Ruth, Risty, Winda.

Terimakasih atas dukungan dan kebersamaannya sehingga penulis termotivasi

(14)

xii

11. Teman seperantauan, David Randa Kembaren, terimakasih untuk empat tahun

bersama berjuang menjadi anak rantau di Yogyakarta. Terimakasih untuk selalu

mendukung, menyemangati, dan menasehati untuk tidak sering menunda-nunda

pekerjaan.

12. Teman-teman SMA yang selalu berkomunikasi memberikan dukungan dan

semangatnya melalui guyonan-guyonan aneh: Junai, Gogo, Monic, Martin,

Erwin. Terimakasih sering membuat penulis tertawa dan berrefreshing sejenak.

13. Mas Wisnu, Mba Caecil, Ken, Nining, Fitri, teman-teman kos Iota, teman-teman

Fakultas Psikologi, Mba Rina yang senantiasa membantu, mendukung dan

menyemangati penulis. Ibu penjaga loker di Perpustakaan yang selalu

memberikan senyum dan semangatnya untuk proses pengerjaan skripsi penulis.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam

menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, 19 Agustus 2016

Penulis,

(15)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan Pembimbing ... ii

Halaman Pengesahan Skripsi ... iii

Halaman Motto ... iv

Halaman Persembahan ... v

Halaman Pernyataan Keaslian Karya ... vi

Abstrak ... vii

Abstract ... viii

Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah ... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi ... xiii

Daftar Tabel ... xvii

Daftar Lampiran ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Teoritis ... 10

2. Praktis ... 10

(16)

xiv

A. Perilaku Asertif ... 12

1. Definisi Perilaku Asertif ... 12

2. Dampak Perilaku Asertif ... 13

3. Aspek-aspek Perilaku Asertif ... 17

B. Perilaku Cyberbullying ... 21

1. Definisi Perilaku Bullying ... 21

2. Definisi Perilaku Cyberbullying ... 22

3. Jejaring Sosial ... 26

4. Aspek-aspek Perilaku Cyberbullying ... 26

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cyberbullying ... 31

6. Dampak Perilaku Cyberbullying ... 35

C. Remaja ... 36

1. Definisi dan Batasan Usia Remaja ... 36

2. Perkembangan Remaja ... 39

D. Dinamika Hubungan antara Perilaku Asertif dan Perilaku Cyberbullying pada Remaja ... 43

E. Hipotesis ... 48

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 49

A. Jenis Penelitian ... 49

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 49

C. Definisi Operasional ... 49

(17)

xv

2. Perilaku Cyberbullying ... 50

D. Subjek Penelitian ... 51

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 52

1. Skala Perilaku Asertif ... 52

2. Skala Perilaku Cyberbullying ... 54

F. Validitas, Seleksi Item dan Reliabilitas Alat Ukur ... 56

1. Validitas ... 56

2. Seleksi Item ... 57

3. Reliabilitas ... 61

G. Metode Analisis Data ... 59

1. Uji Normalitas ... 62

2. Uji Linearitas ... 63

3. Uji Hipotesis ... 63

H. Pelaksanaan Uji Coba ... 64

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 65

A. Pelaksanaan Penelitian ... 65

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 65

C. Deskripsi Data Penelitian ... 67

D. Kategorisasi ... 68

E. Analisis Data Penelitian ... 71

1. Uji Asumsi ... 71

(18)

xvi

b. Uji Linearitas ... 72

2. Uji Hipotesis ... 73

F. Pembahasan ... 75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82

(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pemberian Skor Skala Perilaku Asertif ... 53

Tabel 3.2 Blueprint dan Distribusi Item Skala Perilaku Asertif Sebelum Uji Coba 54 Tabel 3.3 Pemberian Skor Skala Perilaku Cyberbullying ... 55

Tabel 3.4 Blueprint dan Distribusi Item Skala Perilaku Cyberbullying Sebelum Uji Coba ... 56

Tabel 3.5 Blueprint dan Distribusi Item Skala Perilaku Asertif Setelah Uji Coba ... 58

Tabel 3.6 Blueprint dan Distribusi Item Skala Perilaku Asertif Setelah Uji Coba (Setelah diacak sesuai skala) ... 59

Tabel 3.7 Blueprint dan Distribusi Item Skala Perilaku Cyberbullying Setelah Uji Coba Kedua ... 60

Tabel 3.8 Blueprint dan Distribusi Item Skala Perilaku Cyberbullying Setelah Uji Coba Kedua (Setelah diacak sesuai skala) ... 61

Tabel 4.1 Deskripsi Subjek berdasarkan Jenis Kelamin ... 66

Tabel 4.2 Deskripsi Subjek berdasarkan Usia ... 66

Tabel 4.3 Deskripsi Subjek berdasarkan Jenjang Sekolah ... 66

Tabel 4.4 Deskripsi Data Penelitian ... 67

Tabel 4.5 Norma Kategorisasi ... 69

Tabel 4.6 Norma Kategorisasi Perilaku Asertif ... 69

Tabel 4.7 Norma Kategorisasi Perilaku Cyberbullying ... 70

(20)

xviii

Tabel 4.9 Hasil Uji Linearitas ... 73

(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Blueprint Skala Perilaku Asertif ... 90

Lampiran B. Blueprint Skala Perilaku Cyberbullying ... 92

Lampiran C. Skala Pengukuran ... 95

Lampiran D. Reliabilitas dan Seleksi Item Skala Perilaku Asertif ... 104

Lampiran E. Reliabilitas dan Seleksi Item Skala Perilaku Cyberbullying (Pertama) 106 Lampiran F. Reliabilitas dan Seleksi Item Skala Perilaku Cyberbullying (Kedua) 108 Lampiran G. Uji Normalitas Perilaku Asertif ... 110

Lampiran H. Uji Normalitas Perilaku Cyberbullying ... 110

Lampiran I. Uji Linearitas ... 111

(22)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkembangan teknologi komunikasi kian mengubah bentuk pergaulan

dan cara bersosialisasi. Manusia bebas mengekspresikan perasaan dan pikiran

serta bergaul tanpa mengenal batas, ruang dan waktu dengan memanfaatkan

media internet (cyber media). Berbagai perangkat komunikasi seperti komputer,

laptop dan yang paling marak digunakan saat ini ialah smartphone menambah

kemudahan akses internet di manapun dan kapanpun. Lembaga survei dunia yaitu

Mobility Report Ericsson, melaporkan bahwa pengguna perangkat mobile di dunia pada tahun 2019 akan mencapai 5,6 miliar dengan 60% diantaranya adalah

pengguna smartphone (biskom.web.id). Survei yang dilakukan oleh APIJI

(Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) pada tahun 2012 menemukan

bahwa jumlah pengguna smartphone di Indonesia mencapai 65,7%. Regional

Head of Consumer Lab Ericsson Southeast Asia and Oceania juga menuturkan

terkait pemakaian smartphone di Indonesia masih didominasi untuk sms dan

internetan (tekno.kompas.com).

Di Indonesia jumlah pengguna internet terus meningkat dari tahun ke

tahun. Survei yang dilakukan oleh APJII menemukan hingga akhir tahun 2014

pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 88,1 juta jiwa. Naik sekitar enam

persen dari 2013 dengan 71,9 juta pengguna. Survei yang dilakukan oleh APJII

(23)

jejaring sosial hingga menetapkannya di posisi teratas. APJII (2014) mencatat

terdapat 87,4% nitizen mengakses internet untuk menggunakan jejaring sosial.

Kemudian disusul dengan mencari informasi atau browsing dengan 68,7% dan

instant messanging sebanyak 59,9%. Situs jejaring sosial yang sengaja dibuat

untuk menghubungkan orang-orang dari berbagai belahan dunia dalam

berinteraksi satu sama lain telah mencapai ratusan. Tim Pusat Humas

Kementerian Perdagangan RI (2014) menerangkan beberapa jejaring sosial yang

dibuat dan telah dikenal oleh masyarakat mulai dari Friendster, MySpace, Flickr,

Orkut, Multiply, Care2, Digg, Youtube, Facebook, Twitter, Friendfeed, Google

Buzz hingga yang terbaru sekarang, yaitu Instagram dan Path.

Boyd & Ellison (2008) mendifinisikan jejaring sosial sebagai layanan

berbasis web yang memungkinkan individu untuk membangun profil yang

terbuka untuk umum maupun semi terbuka, berhubungan dengan daftar koneksi

dari pengguna lain, melihat dan melintasi daftar koneksi pengguna lain maupun

diri sendiri. Lembaga penelitian Paw Research mengungkapkan bahwa Facebook

masih menjadi jejaring sosial andalan bagi para remaja. Remaja dengan rentang

usia 13-17 tahun menggunakan jejaring sosial Facebook sebanyak 71%.

Kemudian, jejaring sosial Instagram dilaporkan memiliki netizen terbanyak kedua

setelah Facebook, yaitu 52% remaja. Setelah itu terdapat Snapchat dengan 41%

pengguna remaja, Twitter dan Google+ sebanyak 33%, Vine (24%), Tumblr

(24)

Jejaring sosial memiliki beberapa layanan yang telah disediakan antara

lain, tampilan profil, teman, komentar, pesan pribadi, berbagi foto dan video, built

in blogging serta instant messanging (Boyd & Ellison, 2008). Hal-hal tersebut

memudahkan para remaja yang menggunakan jejaring sosial untuk membangun

jaringan mereka, mengizinkan mereka mengobrol dan berinteraksi secara bebas.

Setiap remaja dapat mengekspresikan ide-ide mereka secara spontan dalam

memenuhi kebutuhan eksistensi, aktualisasi serta bersosialisasi menggunakan

kata-kata, gambar dan video. Namun, dari waktu ke waktu, kenyamanan dari

eksistensi, aktualisasi juga sosialisasi dalam membangun informasi dan

komunikasi telah disalahgunakan oleh banyak remaja. Jejaring sosial yang

termasuk dalam media sosial digunakan lebih jauh untuk mengintimidasi

seseorang dengan mengirimkan kata-kata, gambar maupun video yang

menyerang, yang kemudian disebut sebagai cyberbullying (Margono, Yi &

Raikundalia, 2014).

Survei yang dilakukan Ipsos yaitu perusahaan riset terkemuka dunia, di 24

negara termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa satu dari sepuluh atau sekitar

12% orang tua melaporkan bahwa anak mereka mengalami cyberbullying.

Pemeriksaan terhadap bullying di antara sekitar 200.000 anak usia sekolah di 40

negara di dunia tahun 2005-2006 menemukan Indonesia merupakan salah satu

negara yang memiliki presentase tinggi terkait cyberbullying. Mayoritas dari

orangtua (60%) mengatakan anak-anak mengalami perilaku mengganggu tersebut

(25)

anti-bullying terbesar di Inggris, Ditch the Label, melakukan survei yang melibatkan

10.008 anak muda di Amerika Serikat dengan usia rata-rata 13-22 tahun. Survei

tersebut menemukan bahwa 69% responden yang diwawancarai pernah

mengalami pelecehan di dunia maya. Sebanyak 89% korban cyberbullying

mengalaminya di situs jejaring sosial MySpace, kemudian 54% lainnya juga

menjadi korban di Facebook, 28% koresponden muda pernah mengalami di

Twitter serta di jejaring sosial instagram, ask.fm, bebo dan tumblr

(www.DitchtheLabel.org).

Cyberbullying merupakan bentuk baru dari tindakan bullying atau traditional bullying. Bullying didefinisikan sebagai tindakan agresi yang sengaja

dilakukan oleh individu atau kelompok dengan tujuan untuk melukai orang lain

secara berulangkali dimana orang lain tidak dapat membela dirinya sendiri.

Tindakan bullying tersebut terjadi antara pelaku yang lebih kuat kepada korban

yang lebih lemah secara verbal maupun nonverbal, ataupun secara langsung

maupun tidak langsung (Olweus, 2012). Sedangkan cyberbullying sendiri

didefinisikan sebagai setiap perilaku yang dilakukan melalui media elektronik

atau digital oleh individu atau kelompok secara berulang kali berkomunikasi

dengan mengirim pesan bersifat permusuhan dan agresif untuk memberikan luka

atau ketidaknyamanan bagi orang lain (Tokunaga, 2010). Artinya, seseorang

dapat dikatakan melakukan cyberbullying ketika menghina, melecehkan,

mengancam melalui email, pesan singkat online (Instant Messaging), ruang

(26)

kemudian melukai perasaan atau membuat ketidaknyamanan (takut, cemas,

marah) terhadap orang lain.

Cyberbullying banyak dilakukan dan melibatkan remaja serta anak muda.

Tokunaga (2010) menyebutkan bahwa berdasarkan kecenderungan kelompok

usia, munculnya korban cyberbullying banyak terjadi di kelas VII dan VIII

Sekolah Menengah Pertama pada remaja laki-laki dan perempuan. Pernyataan

tersebut didukung oleh penelitian Lindfors dkk (2012) bahwa proporsi tertinggi

terjadinya cyberbullying diantara usia 14 tahun dan yang terendah usia 18 tahun

pada laki-laki maupun perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Price &

Dalgeish (2010) juga menemukan bahwa remaja yang banyak melakukan atau

mengalami cyberbullying ketika berusia 10-14 tahun (50%), 15-18 tahun (42%)

dan 19-25 tahun (8%). Presentase terbesar yang terlibat dalam cyberbullying

merupakan individu yang berusia 10 tahun hingga 18 tahun. Usia remaja

merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang melibatkan

perubahan fisik, kognitif, emosional dan sosial (Papalia, Feldman & Martorell,

2014). Perubahan yang begitu kompleks menyebabkan remaja menjadi labil dan

belum matang secara psikis. Dolcini dkk (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan

bahwa para remaja mudah terlibat dalam perilaku yang ceroboh. Tindakan

ceroboh berarti remaja tergesa-gesa dan kurang matang dalam mengambil

keputusan sehingga menimbulkan masalah-masalah.

Perilaku cyberbullying yang terjadi di Indonesia baru-baru ini menimpa

(27)

dikabarkan mengaku sebagai anak dari Jenderal Kapolda Sumatera Utara,

kemudian berani membentak polwan yang menertibkannya karena berkonvoi usai

Ujian Nasional. Perilaku Sonya tersebut mengundang banyak kecaman dan caci

maki di akun jejaring sosial instagram miliknya. Cyberbullying yang dialami

membuat Sonya mengalami trauma, ketakutan dan malu untuk keluar rumah

(sumatera.metrotvnews.com). Kasus yang paling mengejutkan di luar negeri

adalah banyak remaja korban dari cyberbullying merasa putus asa dan berpikiran

pendek sehingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara-cara

tertentu. Salah satu kasusnya yaitu Katie Webb, gadis cantik asal Inggris ini

mengakhiri hidupnya di usia 12 tahun. Katie ditemukan tewas gantung diri di

rumahnya di Evesham, Worcestershire, Inggris lantaran tak kuat menerima cacian

dari temannya melalui Facebook. Katie mendapat hinaan karena

teman-temannya menilai gaya rambut Katie tidak keren dan karena Katie juga tidak

memakai baju bermerek (dailymail.co.uk).

Tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh Katie Webb merupakan dampak

yang paling mengkhawatirkan pada korban cyberbulling. Kasus tersebut

mendukung penemuan Hay, Meldrum dan Mann (dalam Slonje dkk, 2012) bahwa

dampak terbesar dari cyberbullying adalah kemungkinan untuk melukai diri

sendiri dan keinginan untuk bunuh diri. Ybarra dkk (2006) menemukan bahwa

korban cyberbullying mengalami banyak tekanan dan ketegangan akibat

pengalaman yang dialami. Selain depresi dan bunuh diri, korban cyberbullying

(28)

menarik diri dari aktivitas sekolah, ketidakhadiran di sekolah, dan kegagalan

dalam sekolah, gangguan makan dan penyalahgunaan zat-zat kimia (Chibbaro &

Klomek dalam Notar dkk, 2013). Dampak negatif tidak hanya dirasakan oleh para

korban cyberbullying. Studi Patchin & Hinduja (2010) dan Guarini dkk (2012),

menemukan siswa yang memiliki pengalaman cyberbullying, secara signifikan

memiliki sikap negatif terhadap sekolah dan harga dirinya lebih rendah daripada

mereka yang sedikit atau tidak pernah terlibat dalam cyberbullying. Terdapat juga

implikasi jangka panjang untuk pelaku ketika memasuki masa dewasa, yaitu

antisosial, kekerasan atau perilaku kriminal yang lebih tinggi (Patchin & Hinduja;

Kulig dkk dalam Notar dkk, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Emilia & Leonardi (2013) terhadap remaja

berusia 15-17 tahun menyatakan bahwa perilaku cyberbullying dipengaruhi oleh

kompetensi sosial. Individu yang kompetensi sosialnya rendah maka perilaku

cyberbullying yang dilakukan tinggi. Kompetensi sosial yang dimaksud ialah

kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk berinteraksi dengan orang lain

secara efektif dan dapat diterima secara sosial. Individu yang memiliki

kemampuan tersebut mengetahui bagaimana merespon orang lain dengan cara

menyampaikan pendapat secara langsung dan jelas tanpa adanya kecemasan.

Individu juga memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan kebutuhan dan

keinginan tanpa melakukan tindakan agresi untuk menyakiti orang lain.

(29)

memiliki sikap dan perilaku asertif (Praskah & Devi, 2015; Arrindell & van der

Ende dalam Sarkova dkk, 2013).

Perilaku asertif merupakan sikap yang aktif, langsung dan jujur dalam

berinteraksi dengan orang lain. Dengan bersikap asertif, kita memandang

keinginan, kebutuhan, dan hak kita sama dengan keinginan, kebutuhan dan hak

orang lain (Llyod, 1990). Perilaku asertif memudahkan para remaja untuk

bersosialisasi dalam lingkungan, menghindari konflik karena bersikap jujur dan

terus terang, serta dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi secara efektif.

Remaja dengan perilaku asertif tinggi akan menghasilkan hubungan yang sehat

dalam bernegosiasi dan pemecahan konflik. Perilaku asertif yang dimiliki

membantu remaja dalam mengurangi stress ataupun konflik yang dialami

sehingga tidak melarikan diri ke hal-hal negatif (Widjaja & Wulan dalam Marini

& Andriani, 2005).

Individu dengan tingkat perilaku asertif yang rendah kurang dapat

mengekspresikan pikiran, perasaan dan kebutuhan yang sebenarnya dialami

kepada orang lain. Individu yang gagal untuk berkomunikasi secara spontan lebih

cemas dan berjuang untuk mengatasi pikiran, perasaan dan kebutuhan yang

mengganggu yang masih terhambat di masa lalu maupun yang akan terjadi di

masa mendatang (Adams, 1995). Kecemasan tersebut dapat membawa individu

mengalami frustasi yang diakibatkan individu tidak diperlakukan sebagaimana

dirinya ingin diperlakukan. Frustrasi merupakan situasi dimana individu

(30)

atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai tujuan.

Berkowitz (dalam Koeswara, 1988) menyatakan bahwa frustrasi bisa

mengarahkan individu untuk bertindak agresif. Tindakan agresif yang

kemungkinan dapat dilakukan oleh individu ialah perilaku cyberbullying.

Dorongan agresi tersebut disalurkan melalui media elektronik yang disebabkan

individu tidak mampu untuk mengungkapkan langsung bertatap muka kepada

orang lain. Hal tersebut didukung oleh penelitian Varjas dkk (2010) yang

menyatakan bahwa motivasi seseorang dalam melakukan cyberbullying, antara

lain ingin membalas dendam dan membuat perasaan menjadi lebih baik. Berbeda

dengan individu yang memiliki perilaku asertif tinggi, mereka akan mencari

penyelesaian masalah dimana kedua belah pihak mencapai tujuan yang sama.

Selain itu, cyberbullying bersifat tidak langsung atau anonymous. Hal ini

menyebabkan pelaku memiliki kesempatan untuk menyembunyikan identitasnya

(Varjas dkk, 2010). Pelaku juga cenderung tidak mendapatkan hukuman dan

konsekuensi atas tindakannya.

Terkait dengan penjelasan di atas, penelitian tentang cyberbullying di

Indonesia masih sedikit, sehingga memunculkan ketertarikan peneliti untuk

terlibat dalam penelitian tentang cyberbullying. Penelitian ini dilakukan dalam

situasi jejaring sosial terkait kasus-kasus cyberbullying pada remaja banyak

terjadi di jejaring sosial. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk melihat

(31)

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan negatif antara perilaku asertif dan perilaku

cyberbullying di jejaring sosial pada remaja?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perilaku

asertif dan perilaku cyberbullying di jejaring sosial pada remaja.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan pada ilmu

psikologi, terutama pada konteks penelitian –penelitian yang berkaitan dengan

faktor dari perilaku cyberbullying, khususnya tentang hubungan antara

perilaku asertif dan perilaku cyberbullying di jejaring sosial pada remaja.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi remaja: Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran

umum mengenai hubungan perilaku asertif dan perilaku cyberbullying di

jejaring sosial sehingga dapat dijadikan acuan bagi para remaja dalam

menyikapi dan menggunakan teknologi dengan baik.

b. Bagi orangtua: Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi

(32)

membangun suasana yang dapat mendukung peningkatan perilaku asertif

anak. Selain itu, orangtua juga diharapkan mampu untuk mengawasi,

membimbing dan mengarahkan para remaja tentang penggunaan teknologi

(33)

12

BAB II

LANDASAN TEORI A. Perilaku Asertif

1. Definisi Perilaku Asertif

Llyod (1990) mengemukakan perilaku asertif merupakan sikap yang

aktif, langsung dan jujur dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan

bersikap asertif, kita memandang keinginan, kebutuhan, dan hak kita sama

dengan keinginan, kebutuhan dan hak orang lain. Perilaku ini juga mendorong

hubungan yang jujur dan terbuka.

Pengertian perilaku asertif menurut Alberti dan Emmons (1986) ialah

perilaku untuk menjalin suatu hubungan yang setara dengan orang lain.

Dalam berhubungan dengan orang lain, individu diharapkan dapat

mengungkapkan dan mengekspresikan secara jujur mengenai apa yang

diinginkan dan dirasakan. Perilaku ini juga dilakukan tanpa mengganggu atau

merugikan orang lain.

Perilaku interpersonal yang melibatkan pengekspresian pikiran dan

perasaan yang relatif jujur dan langsung sesuai norma sosial dan

memperhitungkan perasaan dan kesejahteraan orang lain adalah perilaku

asertif menurut Rimm and Masters (dalam Pipas & Jaradat, 2010).

Cawood (1997) mendefinisikan perilaku asertif sebagai kemampuan

seseorang untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, kebutuhan dan hak

(34)

memperhitungkan hak-hak sendiri tanpa meniadakan hak orang lain. Ekspresi

yang langsung dimaksudkan sebagai perilaku yang tidak berputar-putar, pesan

jelas dan terfokus serta tidak menghakimi. Ekspresi jujur dimaksudkan

sebagai perilaku yang selaras antara kata-kata, gerak-gerik, perasaan semua

mengatakan hal yang sama.

Berdasarkan beberapa pengertian mengenai perilaku asertif di atas,

maka dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif merupakan perilaku individu

yang mengungkapkan perasaan dan pikiran secara langsung, artinya

menyampaikan pesan secara jelas, tidak berputar-putar dan fokus. Individu

juga dapat mengekspresikan perasaan secara jujur, yaitu antara kata-kata,

gerak-gerik dan perasaan selaras. Pengekspresian perasaan dilakukan dengan

memandang keinginan, kebutuhan, hak dan kesejahteraan kita setara dengan

orang lain yang dilakukan tanpa menghakimi, menggangu, menyakiti maupun

merugikan orang lain.

2. Dampak perilaku Asertif

Kemampuan untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan maupun

keinginan-keinginan secara langsung dan jujur kepada orang lain dengan tetap

menghormati hak orang lain merupakan perilaku asertif. Menurut Adams

(1995), individu yang mampu mengungkapkan diri maupun yang tidak

(35)

a. Individu tetap mampu sepenuhnya memahami diri sendiri tentang

kebutuhan, opini dan ide-ide. Individu yang berani mengungkapkan secara

nyata tentang suatu perasaan dan pikiran membuat seseorang menjadi

mengenali diri dengan lebih baik. Individu juga menjadi lebih konkret

dalam bertindak tentang perasaan dan pikiran. Kemudian, melalui proses

tersebut individu akan menciptakan lebih banyak kesempatan untuk

mengembangkan diri dengan cara-cara baru, seperti meningkatkan

kemampuan pengendalian diri dan pengambilan keputusan (Sriyanto dkk,

2014).

b. Individu yang mampu mengungkapkan diri secara terus-menerus lebih

mudah untuk hidup di “masa kini”. Hidup di “masa kini” berarti individu

hanya memikirkan kebutuhan di saat sekarang, bukan tentang masa lalu

maupun tentang masa depan. Individu yang hidup dalam “masa kini”,

akan lebih mudah memenuhi kebutuhan di masa sekarang sehingga

mengurangi atau menghilangkan kecemasan (Alberti dan Emmons dalam

Marini & Andriani, 2005). Sebaliknya, individu yang gagal untuk

berkomunikasi secara spontan lebih cemas dan berjuang untuk mengatasi

pikiran, perasaan dan kebutuhan yang mengganggu yang masih terhambat

di masa lalu maupun yang akan terjadi di masa mendatang.

c. Individu yang berperilaku asertif lebih mudah untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan pokok pada saat membutuhkan bantuan dan kerja

(36)

tersebut akan menghasilkan hubungan yang sehat dalam bernegosiasi,

pemecahan konflik dan kehidupan keluarga kemudian menghasilkan “win

win solution”. Apabila orang lain mengetahui kebutuhan dan keinginan

individu, mereka akan lebih mampu bersedia dan bekerja sama serta

membantu memenuhi kebutuhan individu. Kebanyakan individu sering

melakukan kesalahan yang menganggap bahwa orang lain mengetahui

keinginan dan kebutuhan individu, sehingga merasa tidak perlu lagi untuk

mengungkapkan secara langsung dan jujur. Padahal, orang lain belum

tentu tepat dalam memperkirakan kebutuhan dan keinginan individu

sebelum individu itu sendiri yang mengkonfirmasinya. Individu yang

gagal dalam menyatakan kebutuhan pada orang-orang terdekat dapat

mengalami efek-efek negatif berkepanjangan, misalnya hubungan yang

merenggang antara pasangan suami istri akibat ketidakpedulian kedua

belah pihak. Hal tersebut menyebabkan stress dan ketidakbahagiaan yang

berlangsung lama sehingga berdampak pada kesehatan mental kedua

pasangan.

d. Dampak lain dari berperilaku asertif ialah bertambahnya harga diri dan

kepercayaan diri individu. Perilaku asertif yang tinggi menimbulkan harga

diri yang tinggi dan hubungan interpersonal yang memuaskan karena

memungkinkan seseorang untuk mengemukakan keinginan secara

langsung dan jelas sehingga menimbulkan perasaan senang dalam diri

(37)

e. Individu yang berani untuk terbuka dan mengungkapkan diri otomatis

membukakan jalan bagi orang lain juga untuk mengungkapkan diri.

Kesalahpahaman yang terjadi di masa lampau dapat dijernihkan dan

kesalahpahaman di kemudian hari pun dapat dicegah. Stres dan konflik

pun berkurang sehingga tidak melarikan diri ke hal-hal yang negatif

(Widjaja & Wulan dalam Marini & Andriani, 2005). Dengan

terungkapnya minat satu sama lain, jajaran persahabatan, aktivitas

individu, dan hal-hal baru lainnya pun dapat meluas.

f. Individu yang mampu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran secara

spontan dan jujur dapat mencegah terjadinya keretakan hubungan dengan

orang-orang terdekat. Individu yang berani mengungkapkan kebutuhan

dan keinginannya membuat orang lain berusaha untuk memahami dan

memenuhi kebutuhan maupun keinginan tersebut sehingga hubungan

menjadi lebih nyaman dan bertahan lama. Sebaliknya, kebutuhan yang

tidak terpenuhi terus-menerus dapat menimbulkan kebencian yang akan

membawa individu menjadi agresif sehingga menyebabkan rusaknya

suatu hubungan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa individu

yang memiliki perilaku asertif tinggi menimbulkan dampak yang lebih positif

(38)

3. Aspek-aspek Perilaku Asertif

Individu perlu untuk mengungkapkan perasaan secara terbuka,

langsung dan jujur untuk mencapai hubungan yang sehat dengan orang lain.

Kemampuan tersebut merupakan pengertian dari perilaku asertif. Perilaku

asertif mengandung aspek-aspek yang terkandung di dalamnya. Alberti dan

Emmons (1986) mengemukakan aspek-aspek yang terdapat dalam perilaku

asertif, antara lain:

a. Mendukung kesetaraan dalam hubungan manusia

Perilaku ini bertujuan untuk mendapatkan suatu keseimbangan

dalam melakukan hubungan interpersonal. Perilaku tersebut juga

mendorong kesetaraan dalam hubungan antar manusia. Hal ini berarti

individu mengetahui bahwa setiap orang memiliki persamaan derajat yang

memungkinkan individu mendapatkan perlakuan yang sama tanpa merasa

dirugikan satu sama lain.

b. Bertindak sesuai dengan kepentingan dan minat

Kemampuan untuk membuat keputusan tentang karir, hubungan

dengan orang lain, gaya hidup dan manajemen waktu. Individu yang dapat

berperilaku asertif juga memiliki inisiatif untuk memulai pembicaraan,

mengatur kegiatan, percaya pada keputusan sendiri, dapat menetapkan

tujuan dan bekerja untuk mencapainya. Selain itu, kemampuan ini juga

membuat individu untuk berani secara jujur meminta bantuan orang lain

(39)

c. Mampu mempertahankan hak-hak pribadi

Individu memiliki keberanian untuk mengucapkan kata tidak dan

menolak hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Individu mampu

mempertahankan hak-hak mereka tanpa melanggar hak dan kebutuhan

orang lain. Selain itu, individu yang memiliki kemampuan ini dapat

menanggapi suatu kritik tanpa menggunakan emosi negatif seperti marah

ataupun melakukan perilaku agresif. Kemampuan ini juga digunakan

individu untuk mengekspresikan atau mendukung atau mempertahankan

pendapat yang diungkapkan.

d. Mengekspresikan perasaan secara jujur dan nyaman

Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan yang dialami secara

terbuka baik yang perasaan positif maupun perasaan negatif. Individu

mampu untuk tidak menyetujui suatu hal yang tidak sesuai keinginan dan

menunjukkan kemarahan secara efektif. Individu juga dapat

mengekspresikan kasih sayang dan persahabatan serta menunjukkan

persetujuan atau dukungan. Hal ini dilakukan individu secara spontan,

tanpa perasaan cemas, ragu-ragu maupun perasaan takut.

e. Tidak melanggar hak-hak orang lain

Individu memiliki kemampuan untuk mengungkapkan ekspresi

tanpa memberikan kritik yang tidak adil bagi orang lain. Dalam

berhubungan dengan orang lain individu menghindari perilaku yang dapat

(40)

melakukan hubungan yang jujur tanpa memanipulasi dan mengontrol

orang lain.

Adams (1995) mengemukakan bahwa perilaku asertif memiliki

ciri-ciri sebagai berikut:

a. Individu mampu bergaul dengan terbuka, otentik, apa-adanya, jujur dan

langsung. Artinya, individu dapat menyatakan perasaan-perasaan,

kebutuhan-kebutuhan dan ide-ide individu yang sebenarnya kepada orang

lain secara langsung.

b. Individu mampu mempertahankan hak-hak individu tanpa melanggar hak

dan kebutuhan orang lain.

c. Individu mampu bertindak demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan

diri sendiri. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan berinisiatif untuk

meminta informasi dan bantuan dari orang lain bilamana membutuhkan.

d. Individu bersedia mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah

pihak apabila mengalami konflik dengan orang lain.

Individu yang dapat berperilaku asertif menurut Zeuschner (2003)

adalah sebagai berikut:

a. Individu memiliki keinginan untuk berkomunikasi. Hal ini berarti individu

berkemauan untuk membangun relasi dan berinteraksi dengan orang lain

dengan cara menyatakan ide-ide, kebutuhan-kebutuhan dan

(41)

b. Individu yang asertif merupakan individu yang bertanggungjawab.

Individu berarti merupakan orang yang mandiri dan bertanggungjawab

terhadap ide-ide, kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan yang

dimiliki. Individu yang bertanggungjawab berarti individu siap menerima

konsekuensi atas segala ide-ide, kebutuhan-kebutuhan dan

perasaan-perasaan yang dinyatakan kepada orang lain.

c. Individu mampu berkomunikasi sesuai dengan norma sosial dan budaya di

lingkungan tempat tinggal. Individu sebaiknya mengetahui cara

menyampaikan pendapat yang baik kepada orang lain dengan mengacu

pada norma sosial dan budaya dimana individu berada. Hal tersebut

dilakukan agar tercipta komunikasi yang nyaman dan terkendali.

Komunikasi yang terkendali berarti individu mampu menyampaikan

ide-ide, kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan tanpa menyerang atau

melukai perasaan orang lain.

Aspek-aspek perilaku asertif dalam penelitian ini menggunakan teori

Alberti & Emmons (1986) yang didukung oleh teori Adams (1995) dan

Zeuschner (2003). Kelima aspek perilaku asertif tersebut, yaitu:

a. Mampu menyatakan perasaan dan pendapat

b. Mampu bertindak sesuai kebutuhan dan kepentingan diri

c. Mampu mempertahankan hak-hak pribadi

d. Mampu menghormati hak-hak orang lain

(42)

B. Perilaku Cyberbullying 1. Definisi Perilaku Bullying

Istilah bullying berasal dari kata „bull’ (bahasa Inggris) yang berarti

„banteng‟ yang suka menanduk. Bullying merupakan tindakan yang

menyalahgunakan kekuatan/kekuasaan oleh seseorang atau kelompok kepada

korban yang tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya karena

lemah secara fisik atau mental. Tindakan dapat dikatakan perilaku bullying

apabila tindakan dilakukan berulang-ulang dan membuat seseorang merasa

takut atau terintimidasi (SEJIWA, 2008).

Bullying juga didefinisikan sebagai tindakan agresi yang sengaja

dilakukan oleh individu atau kelompok dengan tujuan untuk melukai orang

lain secara berulangkali dimana orang lain tidak dapat membela dirinya

sendiri. Tindakan bullying tersebut terjadi antara pelaku yang lebih kuat

kepada korban yang lebih lemah secara verbal maupun nonverbal, ataupun

secara langsung maupun tidak langsung (Olweus, 2012).

Menurut Dracic (2009), bullying adalah bentuk kekerasan atau

serangan yang bertujuan untuk menyebabkan luka atau penderitaan dan

ketidaknyamanan pada orang lain, baik penderitaan fisik maupun emosional.

Tindakan bullying dilakukan tanpa memperdulikan tempat terjadinya,

keparahan dan durasi. Perilaku ini terjadi berulang kali dalam bentuk yang

(43)

individu atau kelompok yang kuat melawan individu atau kelompok yang

lemah.

Berdasarkan berbagai pengertian bullying diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa perilaku bullying adalah tindakan menyerang secara fisik

maupun verbal yang dilakukan secara berulang-ulang yang bertujuan untuk

melukai dan memberi penderitaan atau ketidaknyamanan dari

individu/kelompok yang lebih kuat (secara fisik maupun sosial) kepada

individu/kelompok yang lebih lemah dan tidak dapat membela diri.

2. Definisi Perilaku Cyberbullying

Perilaku bullying paling banyak terjadi di lingkungan sekolah,

terutama di tempat-tempat yang bebas dari pengawasan guru maupun

orangtua. Seiring dengan berkembangnya teknologi yang semakin canggih,

perilaku bullying terjadi di kawasan yang lebih luas. Remaja saat ini lebih

aktif memonitor komputer atau mengecek smartphone daripada bermain di

luar bersama teman-teman sebaya. Perilaku bullying pun sekarang ini lebih

mudah dilakukan melalui media elektronik, yang kemudian disebut sebagai

cyberbullying (SEJIWA, 2008).

(44)

pesan singkat yang dikirim melalui telepon seluler maupun teknologi

informasi dan komunikasi lainnya (Kowalski dkk, 2012).

Hinduja & Patchin (2014) yang khusus meneliti tentang agresi di

media online mengemukakan tentang definisi dari cyberbullying. Tindakan

yang sengaja dilakukan berulang kali untuk menyakiti melalui penggunaan

komputer, telpon selular, dan alat elektronik lain disebut sebagai

cyberbullying. Tindakan tersebut mengacu pada insiden dimana remaja

menggunakan teknologi untuk mengganggu, mengancam, menghina atau

melakukan perbuatan yang menimbulkan pertengkaran dengan teman sebaya.

Perbuatan yang termasuk dalam cyberbullying, misalnya seperti mengirimkan

pesan teks yang melukai perasaan orang lain, menyebarkan rumor tentang

teman sebaya menggunakan smartphones, menyebarkan foto dan video

tentang teman sebaya di media sosial, maupun menggunakan aplikasi tanpa

nama untuk menghina orang lain.

Cyberbullying juga didefinisikan oleh Smith dkk (2008) sebagai

tindakan agresif atau perilaku yang dilakukan dengan menggunakan sarana

elektronik oleh kelompok atau individu berulang kali dan dari waktu ke waktu

terhadap korban yang tidak bisa dengan mudah membela dirinya.

Sedangkan menurut Tokunaga (2010), cyberbullying adalah setiap

perilaku yang dilakukan melalui media elektronik atau digital oleh individu

(45)

atau agresif yang dimaksudkan untuk menimbulkan bahaya atau

ketidaknyamanan pada orang lain.

Berdasarkan berbagai pengertian cyberbullying diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa perilaku cyberbullying adalah tindakan yang menyakiti,

mengganggu, mengancam atau menghina orang lain secara sengaja dan

berulang kali oleh individu atau kelompok melalui media elektronik atau

digital untuk menimbulkan bahaya atau ketidaknyamanan bagi orang lain.

Perilaku agresi yang digunakan untuk membully orang lain melalui

media elektronik memiliki berbagai macam cara. Willard (dalam Kowalski

dkk, 2012) kemudian mengklasifikasikan tujuh perilaku yang paling umum

digunakan untuk melakukan tindakan cyberbullying, antara lain:

a. Flaming

Individu mengirimkan pesan teks berisi kata-kata yang penuh

amarah dan frontal kepada orang lain.

b. Harassment

Individu mengirimkan pesan-pesan berisi gangguan pada email,

sms, maupun pesan teks di jejaring sosial yang dilakukan secara terus

(46)

c. Denigration

Individu memposting pernyataan yang tidak benar atau kejam

tentang seseorang dengan tujuan untuk merusak reputasi dan nama baik

orang tersebut.

d. Impersonation

Individu berpura-pura menjadi orang lain untuk membuat

seseorang terlihat buruk atau berada dalam bahaya. Misalnya, individu

mencuri kata sandi akun jejaring sosial seseorang, kemudian memposting

status yang negatif atau mengirimkan kata-kata menghina kepada orang

lain.

e. Outing and trickery

Individu terlibat dalam trik untuk mengumpulkan informasi

pribadi, foto-foto pribadi atau informasi memalukan tentang orang lain

yang kemudian disebarkan dengan mempublikasikan melalui media

elektronik.

f. Exclusion

Individu secara sengaja dan kejam mengeluarkan seseorang dari

group online.

g. Cyberstalking

Individu mengganggu dan mencemarkan nama baik seseorang

secara intens sehingga menimbulkan ketakutan yang besar pada orang

(47)

3. Jejaring Sosial

Jejaring sosial adalah layanan berbasis web yang memungkinkan

individu untuk membangun profil yang terbuka untuk umum maupun semi

terbuka, berhubungan dengan daftar koneksi dari pengguna lain, melihat dan

melintasi daftar koneksi pengguna lain maupun diri sendiri. (Boyd & Ellison,

2008).

Individu dapat menuliskan hal apapun seperti menulis pesan ke orang

lain, berbagi foto atau video, juga menuliskan identitas diri untuk melengkapi

data yang ada di jejaring sosial (Boyd & Ellison, 2008).

Tim Pusat Humas Kementerian Perdagangan RI (2014) menerangkan

beberapa jejaring sosial yang dibuat dan telah dikenal oleh masyarakat mulai

dari Friendster, MySpace, Flickr, Orkut, Multiply, Care2, Digg, Youtube,

Facebook, Twitter, Friendfeed, Google Buzz hingga yang terbaru sekarang,

yaitu Instagram dan Path.

4. Aspek-aspek perilaku Cyberbullying

Cyberbullying merupakan bentuk baru dari tindakan bullying atau traditional bullying (Olweus, 2012). Dalam traditional bullying terdapat

empat aspek penting untuk menentukan bahwa perilaku termasuk dalam

bullying. Empat aspek tersebut ialah pengulangan (repetitition), ketidakseimbangan kekuatan (power imbalance), kesengajaan (intention), dan

(48)

tersebut untuk dimasukkan dalam cyberbullying. Sebelumnya, keempat aspek

tersebut harus direvisi/didefinisi ulang agar dapat disesuaikan dalam konteks

maya (cyber). Namun, untuk memahami bagaimana aspek-aspek tersebut

dapat berlaku di konteks maya (cyber), perlu untuk membedakan antara

cyberbullying secara langsung maupun tidak langsung terlebih dahulu.

a. Cyberbullying langsung

Cyberbullying langsung terjadi dalam domain pribadi.

Cyberbullying langsung merupakan komunikasi pribadi antara pelaku

kepada korban dengan mengirimankan pesan secara langsung melalui

media elektronik yang memiliki efek langsung terhadap korban.

b. Cyberbullying tidak langsung

Cyberbullying tidak langsung terjadi dalam domain publik. Cyberbullying tidak langsung ialah tindakan bullying dimana pesan agresi

disampaikan melalui forum umum di dunia maya, seperti jejaring sosial

atau website. Pesan yang disampaikan tersebut dapat tersebar kepada

penonton dengan jumlah yang tidak terbatas.

Setelah menjelaskan tentang cyberbullying secara langsung dan tidak

langsung, Langos (2012) menjelaskan tentang keempat aspek yang telah

didefinisi ulang sesuai dengan konteks maya (cyber). Aspek-aspek

(49)

a. Repetitition (pengulangan)

Pengulangan merupakan kriteria utama dalam cyberbullying

(Hinduja & Patchin dalam Langos, 2012). Perilaku agresi yang dilakukan

hanya sekali tidak dapat dikatakan sebagai perilaku cyberbullying,

melainkan disebut sebagai lelucon atau cyberjoking. Oleh karena itu,

pengulangan merupakan kriteria penting untuk membedakan antara

lelucon atau serangan yang disengaja.

Aspek pengulangan memiliki perbedaan pada cyberbullying

langsung dan tidak langsung. Pada cyberbullying langsung, pengulangan

terjadi dengan mengirimkan pesan secara pribadi dari pelaku kepada

korban secara berulang-ulang, misalnya pelaku telah mengirimkan pesan

agresi melalui SMS sebanyak delapan kali dalam sebulan. Sedangkan pada

cyberbullying tidak langsung, aspek pengulangan tidak terjadi seperti pada cyberbullying langsung. Pesan agresi yang diunggah dalam forum umum

di dunia maya dapat dilihat berkali-kali atau disalin kemudian

didistribusikan oleh para penonton kepada penonton-penonton lain tanpa

harus diposting terus-menerus.

b. Power imbalance (ketidakseimbangan kekuatan)

Ketidakseimbangan kekuatan merupakan aspek lain yang dianggap

penting oleh beberapa peneliti sebagai kriteria dalam cyberbullying.

Ketidakseimbangan kekuatan berkaitan dengan interpretasi bahwa

(50)

Definisi ketidakseimbangan kekuatan tidak berubah dalam konteks maya

(cyber). Meskipun ketidakseimbangan kekuatan dapat dicapai dengan

berbagai cara baru di dunia maya (cyber), hal tersebut tidak merubah

pandangan bahwa dalam rangka memenuhi syarat sebagai cyberbullying,

perilaku harus menempatkan korban dalam posisi dimana korban tidak

dapat dengan mudah membela atau mempertahankan diri.

Karakteristik seseorang seperti popularitas tinggi, kecerdasan,

kekuatan fisik, usia, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi dapat

memberikan kekuatan atau kekuasaan yang lebih pada pelaku daripada

korban dalam traditional bullying. Namun, korban yang dianggap sebagai

„orang buangan sosial‟ dalam traditional bullying juga dapat terus menjadi

alasan untuk menjadi korban dalam cyberbullying.

Vandabosch (dalam Langos, 2012) mengemukakan bahwa

berbagai derajat keterampilan teknologi dapat membuat perbedaan

kekuatan antara pelaku dan korban di dunia maya (cyber). Korban dapat

merasa tidak berdaya dalam membela atau mempertahankan diri terhadap

tindakan online pelaku dikarenakan pelaku yang dirasa memiliki keahlian

teknologi yang lebih besar daripada korban. Korban cyberbullying juga

dapat mengalami perasaan tidak berdaya dengan tidak mengetahui

identitas pelaku. Hal ini sebagai akibat dari ketersediaan anonymity dalam

dunia maya. Pelaku dapat dengan mudah untuk membuat akun

(51)

sebagai pihak yang lemah dengan tidak adanya keterbatasan antara ruang

atau waktu. Pelaku cyberbullying dapat beraksi dimana saja dan kapan

saja tanpa dibatasi. Pelaku juga dapat memiliki kekuasaan lebih ketika

melakukan cyberbullying secara tidak langsung. Pesan agresi yang

diunggah ke dalam forum umum di dunia maya dengan jumlah penonton

yang tidak terbatas membuat korban menjadi kurang berdaya.

c. Intention (kesengajaan) dan Aggression (agresi)

Aspek kesengajaan dan agresi berkaitan satu sama lain dengan

kedua aspek sebelumnya, yaitu pengulangan dan ketidakseimbangan

kekuatan dalam memenuhi kriteria perilaku cyberbullying. Perilaku umum

seperti cyberteasing atau cyberjoking yang tidak memerlukan aspek

pengulangan, ketidakseimbangan kekuatan atau kesengajaan untuk

menyakiti dilabelkan sebagai tindakan agresif di dunia maya (cyber).

Aspek kesengajaan yang hilang menjadikan perilaku tidak dianggap

agresif. Hal tersebut dikarenakan perilaku yang dilakukan untuk menyakiti

tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain. Perilaku dianggap agresif

apabila perilaku yang ditujukan kepada korban menghasilkan konsekuensi

(52)

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cyberbullying

Cyberbullying merupakan masalah yang umum terjadi di kalangan

para remaja dalam era globalisasi saat ini. Perilaku cyberbullying para remaja

disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

a. Bullying Tradisional

Peristiwa bullying di dunia nyata memiliki pengaruh yang besar

pada kecenderungan individu untuk menjadi pelaku cyberbullying. Riebel

dkk (2009) menemukan bahwa pelaku cyberbullying juga melakukan

bullying di kehidupan nyata. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa

individu yang terlibat dalam bullying kemungkinan besar melanjutkan

perilaku intimidasi melalui media elektronik. Hal ini dikarenakan

perkembangan teknologi yang semakin pesat di era globalisasi sehingga

memudahkan pelaku untuk melanjutkan tindakan mengintimidasi.

b. Karakteristik Kepribadian

Camodeca & Goossens (dalam Kowalski dkk, 2012) memaparkan

karakteristik individu yang menjadi pelaku bullying adalah sebagai

berikut:

i. Memiliki kepribadian yang dominan dan senang melakukan

kekerasan.

ii. Cenderung temperamental, impulsif, dan mudah frustrasi.

iii. Memiliki sikap positif terhadap kekerasan dibandingkan anak

(53)

iv. Kesulitan mengikuti peraturan.

v. Terlihat kuat dan menunjukkan sedikit rasa empati atau belas

kasihan kepada mereka yang menjadi korban cyberbullying.

vi. Sering bersikap agresif kepada orang dewasa.

vii. Pandai berkelit pada situasi sulit.

viii. Terlibat dalam agresi proaktif (seperti agresi yang disengaja

untuk meraih tujuan tertentu) dan agresi reaktif (seperti reaksi

defensif ketika diprovokasi).

c. Persepsi terhadap Korban

Persepsi terhadap individu tertentu dapat mempengaruhi sikap

seseorang terhadap individu tersebut. Para korban bullying yang tidak

disukai atau kontroversial biasanya menjadi target intimidasi (Pratiwi,

2011).

d. Strain

Teori strain menitikberatkan pada hubungan yang negatif dengan

orang lain, hubungan dimana seseorang tidak diperlakukan sebagaimana

dirinya ingin diperlakukan. Strain adalah suatu kondisi ketegangan psikis

yang ditimbulkan dari hubungan negatif dengan orang lain yang

menghasilkan efek negatif (terutama rasa marah dan frustrasi) yang

mengarah pada kenakalan (Agnew dalam Pratiwi, 2011). Frustrasi

merupakan situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam usaha

(54)

untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai tujuan. Berkowitz (dalam

Koeswara, 1988) menyatakan bahwa frustrasi bisa mengarahkan individu

untuk bertindak agresif.

Individu yang mengalami strain memiliki kecenderungan untuk

mengintimidasi orang lain daripada remaja yang tidak mengalami strain

(Hinduja & Patchin dalam Pratiwi, 2011). Cyberbullying dapat terjadi

karena ingin mengurangi ketegangan, membalaskan dendam atau

membuat perasaan menjadi lebih baik (Varjas dkk, 2010).

e. Interaksi Orangtua dan Anak

Peranan orangtua dalam mengawasi aktivitas anak dalam

berinteraksi di internet merupakan faktor yang cukup berpengaruh pada

kecenderungan anak untuk terlibat dalam cyberbullying. Orangtua yang

tidak terlibat dalam aktivitas online anak menjadikan anak lebih rentan

terlibat dalam cyberbullying (Willard, 2005).

Varjas dkk (2010) menyatakan bahwa remaja lebih sering melakukan

cyberbullying berdasarkan motivasi-motivasi internal, antara lain:

a. Pengalihan perasaan

Individu yang pernah menjadi korban cyberbullyig merasa berhak untuk

(55)

b. Pembalasan dendam

Individu merasa marah terhadap seseorang yang memperlakukan individu

dengan tidak baik sehingga menimbulkan niat untuk membalas dendam.

c. Membuat perasaan menjadi lebih baik

Individu dapat merasa lebih baik setelah melakukan tindakan

cyberbullying terhadap orang lain.

d. Rasa bosan

Individu melakukan tindakan cyberbullying dalam upaya mengisi waktu

luang atau membuat hiburan dikarenakan tidak memiliki kegiatan yang

lebih baik untuk dilakukan.

e. Perlindungan

Individu menjadi pelaku cyberbullying dengan tujuan melindungi diri agar

terhindar menjadi korban dari cyberbullying.

f. Iri hati

Individu yang merasa iri hati dan benci terhadap orang lain sehingga

melakukan tindakan cyberbullying.

g. Mendapatkan persetujuan

Individu melakukan cyberbullying dengan maksud ingin mendapatkan

perhatian dengan menggertak orang lain untuk mengesankan teman-teman

(56)

h. Mencoba persona baru

Individu ingin menampilkan diri dengan cara yang berbeda di dunia maya

daripada yang dilihat orang lain di dunia nyata.

i. Anonymity/rasa malu

Individu dapat melakukan tindakan cyberbullying dengan

sebebas-bebasnya ketika korban tidak mengetahui identitas pelaku. Anonymity

menghindari individu yang melakukan cyberbullying dari rasa malu.

Individu merasa dapat melakukan atau mengatakan apapun ketika tidak

bertatap muka dengan korban.

6. Dampak Perilaku Cyberbullying

Hinduja & Patchin (2014) mengemukakan efek negatif cyberbullying

berdasarkan pengalaman para korban. Para korban cyberbullying merasa

depresi (Ybarra dkk, 2006), sedih, marah dan frustrasi. Beberapa korban

mengaku terluka baik secara fisik maupun mental. Cyberbullying yang

dialami membuat para korban merasa tidak berdaya (Notar dkk, 2013), tidak

berharga dan tidak percaya diri. Beberapa korban sering merasa takut dan

malu untuk pergi ke sekolah. Dampak-dampak negatif lain bagi korban yang

pernah mengalami cyberbullying adalah menurunnya harga diri (Brewer &

Kerslake, 2015; Hinduja & Patchin, 2010), mengalami bermacam-macam

(57)

(Chibbaro, 2007), kekerasan di sekolah serta keinginan untuk bunuh diri

(Klomek dkk, 2011).

Efek negatif dari cyberbullying tidak hanya dirasakan oleh korban.

Pelaku cyberbulllying juga mengalami penurunan harga diri (Brewer &

Kerslake, 2015; Hinduja & Patchin, 2010). Pelaku kemungkinan mengalami

implikasi jangka panjang antara lain peningkatan sikap antisosial, kekerasan

atau perilaku kriminal pada masa dewasa (Patchin & Hinduja: Kulig dkk

dalam Notar dkk, 2013). Pinchot & Paullet (2013) menemukan fakta-fakta

bahwa perilaku cyberbullying dapat berlanjut menjadi masalah ketika siswa

memasuki universitas walaupun insiden cyberbullying selama ini terjadi pada

tahun-tahun sekolah menengah. Remaja yang terus-menerus melakukan

cyberbullyingdapat mengalami penurunan kualitas hubungan dengan teman

sebaya. Remaja pelaku cyberbullying akan kehilangan dukungan dari

teman-teman sebaya yang kemudian berdampak pada kesejahteraan psikologis (Price

dkk, 2010).

C. Remaja

1. Definisi dan Batasan Usia Remaja

Kata „remaja‟atau „adolescence‟ berasal dari kata latin „adolescere’,

yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menuju kedewasaan” (Ali & Asrori,

2005). Masa remaja ialah perkembangan transisi yang melibatkan perubahan

(58)

sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda. Masa remaja ditentukan sekitar

usia 11 dan 19 atau 20 tahun (Papalia, Feldman & Martorell, 2014).

Santrock (2007) mendefinisikan remaja sebagai periode transisi

perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang

melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional.

Masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dimulai sekitar usia

10 hingga 13 tahun dan berakhir sekitar usia 18 hingga 22 tahun. Masa remaja

dibagi menjadi dua, yaitu masa remaja awal (early adolescence) dan masa

remaja akhir (late adolescence). Masa remaja awal berlangsung kira-kira di

masa sekolah menengah pertama atau sekolah menengah akhir dan perubahan

pubertal terbesar terjadi di masa ini. Sedangkan, masa remaja akhir

berlangsung kira-kira pada pertengahan dasawarsa yang kedua dari

kehidupan.

World Health Organization (WHO) (dalam Sarwono, 2002)

mengemukakan definisi remaja melalui tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis

dan sosial ekonomi. Secara biologis, remaja adalah suatu masa dimana

individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda

kematangan seksual sekundernya sampai mencapai kematangan seksual.

Secara psikologis, remaja merupakan individu yang mengalami

perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi

dewasa. Terakhir definisi remaja secara sosial ekonomi ialah terjadinya

(59)

yang relatif lebih mandiri (Muangman, dalam Sarwono, 2002). Organisasi

kesehatan dunia tersebut membagi remaja menjadi remaja awal yang berkisar

antara umur 10 hingga 14 tahun dan remaja akhir sekitar umur 15 hingga 20

tahun.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja

merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang

melibatkan perubahan biologis, psikologis dan sosio-emosional dengan

beragam bentuk latar belakang sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda.

Individu dapat dikatakan sebagai remaja ketika individu mencapai usia sekitar

10 hingga 20 tahun.

Dalam kasus cyberbullying, Tokunaga (2010) menyebutkan bahwa

cyberbullying banyak terjadi di usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia rata-rata berada

pada usia 12 hingga 14 tahun. Price & Dalgeish (2010) menemukan bahwa

presentase terbesar usia yang terlibat dalam cyberbullying adalah usia 10

hingga 18 tahun. Lindfors dkk (2012) juga melaporkan bahwa proporsi

tertinggi terjadinya cyberbullying diantara usia 14 tahun dan yang terendah

usia 18 tahun. Penentuan subjek kemudian disimpulkan berdasarkan pendapat

para ahli yaitu mulai dari remaja di usia 12 hingga 18 tahun, dimana remaja

memasuki pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga pendidikan

Sekolah Menengah Atas (SMA). Subjek dalam penelitian ini menggunakan

Gambar

Tabel 4.10 Hasil Uji Hipotesis ...............................................................................
Table 3.1 Pemberian Skor Skala Perilaku Asertif
Table 3.2
Pemberian Skor Skala Perilaku Table 3.3 Cyberbullying
+7

Referensi

Dokumen terkait

3 Jejaring sosial adalah tempat yang tepat agar orang lain dapat mengetahui diri saya lebih dalam melalui informasi yang

Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini, yaitu terdapat hubungan negatif antara intensitas penggunaan Situs Jejaring Sosial dan kecerdasan emosi pada

Saya menyatakan dengan sesungguhanya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam

Motivasi itu meliputi motif sosiogenis yaitu motif cinta dimana informan ingin membalas perbuatan orang yang dituju karena rasa sakitnya, motif kompetensi yaitu dimana

3 Ketika saya merasa bosan, akan lebih baik jika berolahraga daripada bermain jejaring sosial 4 Saya akan menyelesaikan masalah pribadi saya. supaya tidak

13 Tidak ada seorangpun mau mendengarkan saya 14 Saya menarik diri dari pergaulan dengan orang lain 15 Saya suka berteman dengan orang lain. 16 Saya memiliki

Perbedaan Asertifitas Terhadap Perilaku Seksual Pranikah Pada Remaja Putri Yang Telah Dan Belum Mengikuti Pendidikan Seksualitas. (tidak

Perilaku asertif merupakan hal yang penting remaja, karena orang yang asertif akan lebih adaptif dan menggunakan mekanisme pertahanan diri yang efektif serta tidak mudah mengalami