• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antarakelekatan remaja dengan orang tua dan perilaku merokok pada remaja di Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antarakelekatan remaja dengan orang tua dan perilaku merokok pada remaja di Yogyakarta."

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN REMAJA DENGANORANG TUA DAN PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA DI YOGYAKARTA

Rhisang Sadewa ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap adanya hubungan antara kelekatan dengan perilaku merokok pada remaja. Hipotesis pada penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara kelekatan dengan perilaku merokok pada remaja. Subjek dalam penelitian ini adalah 200 remaja laki-laki yang memiliki kebiasaan merokok dengan usia 12-15 tahun. Pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan teknik purposive sampling. Alat ukur yang digunakan dalam pngambilan data ialah skala kelekatan dan angket perilaku merokok yang disusun oleh peneliti. Skala kelekatan memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,857. Teknik analisis data menggunakan uji korelasi Spearman’s rho dikarenakan sebaran data pada salah satu variabel bersifat tidak normal. Hasil analisis data menghasilkan nilai r sebesar -0,734 dengan taraf signifikansi p sebesar 0,000. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan adanya hubungan negatif antara body kelekatan dengan perilaku merokok. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kelekatan remaja dengan orangtuanya, maka semakin rendah perilaku merokoknya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah tingkat kelekatan remaja dengan orang tua, maka perilaku merokok pada remaja akan cenderung semakin tinggi.

(2)

CORRELATION BETWEEN ADOLESCENT ATTACHMENT WITH PARENTS AND SMOOKING BEHAVIOUR – SMOOKER ADOLESCENT IN

YOGYAKARTA

Rhisang Sadewa

ABSTRACT

This research is aimed to know the correlation between adolescent attachment with parent and smoking behavior. The hypothesis was that, there was a negative correlation between adolescent attachment with parent and smoking behavior on adolescent. There were 200 subjects of the research, aged 12 to 15 years old who had smoking behavior. In this research, researcher used purposive sampling technique. The collection of the data was done by using adolescent attachment with parent and smoke consumption inquiry scales. Reliability of the early adolescent attachment scale was 0,857. To determine the correlation between adolescent attachment with parent and smoking behavior, researcher used Spearman's rho correlation test. Coefficient correlation (r) between adolescent attachment and smoking behavior was -0,734 with significance level (p) 0,000. It means there was negative significant correlation between adolescent attachment with parent and smoking behavior. It was concluded that adolescent who had high level of attachment relationship with parent had low level of smoking behavior intensity.

(3)

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN REMAJA DENGAN ORANGTUA DAN PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA DI YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Rhisang Sadewa

119114052

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN MOTTO

“Hari ini, atau tidak sama sekali.”, Homicide.

(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada Tuhan

yang senantiasa memberkati dari awal pengerjaan hingga

terselesaikannya skripsi ini.

Kedua orang tua yang selalu mendoakan, mendukung, dan

mencukupi semua kebutuhan hingga mampu menyelesaikan

bangku kuliah.

(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhanya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah

Yogyakarta, 7 Juli 2017

Penulis

(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN REMAJA DENGAN ORANGTUA DAN PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA DI YOGYAKARTA

Rhisang Sadewa

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap adanya hubungan antara kelekatan dengan perilaku merokok pada remaja. Hipotesis pada penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara kelekatan dengan perilaku merokok pada remaja. Subjek dalam penelitian ini adalah 200 remaja laki-laki yang memiliki kebiasaan merokok dengan usia 12-15 tahun. Pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan teknik purposive sampling. Alat ukur yang digunakan dalam pngambilan data ialah skala kelekatan dan angket perilaku merokok yang disusun oleh peneliti. Skala kelekatan memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,857. Teknik analisis data menggunakan uji korelasi Spearman’s rho dikarenakan sebaran data pada salah satu variabel bersifat tidak normal. Hasil analisis data menghasilkan nilai r sebesar -0,734 dengan taraf signifikansi p sebesar 0,000. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan adanya hubungan negatif antara body kelekatan dengan perilaku merokok. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kelekatan remaja dengan orangtuanya, maka semakin rendah perilaku merokoknya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah tingkat kelekatan remaja dengan orangtua, maka perilaku merokok pada remaja akan cenderung semakin tinggi.

Kata kunci: kelekatan, perilaku merokok, remaja, orangtua.

(10)

viii

CORRELATION BETWEEN ADOLESCENT ATTACHMENT WITH PARENTS AND SMOOKING BEHAVIOUR – SMOOKER ADOLESCENT

IN YOGYAKARTA

Rhisang Sadewa

ABSTRACT

This research is aimed to know the correlation between adolescent attachment with parent and smoking behavior. The hypothesis was that, there was a negative correlation between adolescent attachment with parent and smoking behavior on adolescent. There were 200 subjects of the research, aged 12 to 15 years old who had smoking behavior. In this research, researcher used purposive sampling technique. The collection of the data was done by using adolescent attachment with parent and smoke consumption inquiry scales. Reliability of the early adolescent attachment scale was 0,857. To determine the correlation between adolescent attachment with parent and smoking behavior, researcher used Spearman's rho correlation test. Coefficient correlation (r) between adolescent attachment and smoking behavior was -0,734 with significance level (p) 0,000. It means there was negative significant correlation between adolescent attachment with parent and smoking behavior. It was concluded that adolescent who had high level of attachment relationship with parent had low level of smoking behavior intensity.

(11)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Rhisang Sadewa

Nomor Mahasiswa : 119114052

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN REMAJA DENGAN ORANGTUA DAN PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA DI YOGYAKARTA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain

untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun

memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal : 7 juli 2017

Yang menyatakan,

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih

karunia-Nya kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menginspirasi para pembaca.

Penyusunan skripsi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma yang turut memberikan motivasi selama

penulisan skripsi ini.

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M. Si, selaku Kepala Program Studi Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma

3. Bapak Robertus Landung Eko Prihatmoko, M.Si., selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah memberi inspirasi dan memotivasi penulis menyusun

skripsi. Terimakasih juga untuk ibu Sylvia Carolina M.Y.M. S.Psi., M.Si.,

yang telah memberi banyak masukan pada saat awal penyusunan skripsi.

4. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya, selaku dosen pembimbing akademik yang

telah mendampingi proses kuliah hingga akhir, memberikan nasihat-nasihat,

dan motivasi untuk mengembangkan diri.

5. Terimakasih kepada ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si dan Bapak Edward

Theodorus, M.App.Psy sebagai dosen penguji skripsi. Terimakasih atas

masukan-masukannya sehingga skripsi ini bisa lebih baik dan berguna.

6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah

berbagi ilmu, pengalaman, dan memberikan inspirasi untuk belajar di dunia

psikologi.

7. Seluruh staff Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang

senantiasa membantu segala proses administrasi dan juga dalam proses

pembelajaran selama masa studi.

8. Kedua orangtuaku terkasih yang selalu memberikan kasih sayang serta doa

yang selama proses perkuliahan hingga penulisan skripsi ini. Terimakasih

(13)

xi

9. Maria Oktavina Rae, terimakasih perhatian dan dukungan selama ini hingga

akhirnya terselesaikan. Harus cepat menyusul.

10. Teman-temin admin Lazadut: Gunam, Bayu, Manda, Endah, dan Rere yang

sering membantu dalam mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Semoga kita

bisa bertemu kembali lain waktu. Sukses selalu.

11. Teman-teman fakultas psikologi USD yang telah memberikan banyak

inspirasi dan dinamika untuk berkembang. Khusus Ekarock, semoga kita bisa

nonton Hammersonic bersama secepatnya.

12. Kawan-kawan SlamBoys yang telah menjadi teman hidup dijogja, semoga

diberi rejeki untuk kos yang lebih layak. Semoga lekas menggapai cita-cita

untuk semuannya.

13. Semua pihak yang telah membantu dalam pengerjaan skripsi yang tidak bisa

disebutkan semuannya, terimakasih banyak. Sukses selalu.

Akhir kata, peneliti menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak

kekurangan. Oleh karena itu, peneliti terbuka kepada setiap kritik dan saran yang

disampaikan demi perkembangan yang lebih baik.

Yogyakarta, 19 Oktober 2016

Peneliti,

(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian... 11

BAB II DASAR TEORI ... 12

A. KELEKATAN ... 12

1. Pengertian Kelekatan ... 12

2. Kelekatan Remaja dengan Orangtua ... 14

3. Aspek Kelekatan ... 16

B. REMAJA ... 19

1. Pengertian Remaja ... 19

2. Aspek Perkembangan Remaja... 20

C. PERILAKU MEROKOK ... 23

1. Pengertian Perilaku Merokok ... 23

(15)

xiii

3. Faktor-Faktor yang Mempengarui Perilaku Merokok ... 24

D. HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN REMAJA DAN ORANGTUA DAN PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA ... 25

E. HIPOTESIS ... 31

F. SKEMA PENELITIAN ... 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 33

A. JENIS PENELITIAN ... 33

B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN ... 33

C. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN ... 33

1. Kelekatan remaja dengan orangtua ... 33

2. Perilaku Merokok ... 35

D. SUBJEK PENELITIAN ... 35

E. METODE DAN ALAT PENGUMPUALAN DATA ... 36

1. Skala Kelekatan ... 36

2. Angket Perilaku Merokok ... 38

F. UJI COBA ALAT UKUR ... 39

G. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR ... 39

1. Validitas ... 40

2. Reliabilitas ... 40

H. SELEKSI ITEM ... 41

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 46

A. PELAKSANAAN PENELITIAN ... 46

B. DESKRIPSI SUBJEK PENELITIAN ... 46

C. DESKRIPSI DATA PENELITIAN ... 47

1. Deskripsi Statistik ... 47

2. Kategorisasi ... 49

(16)

xiv

D. HASIL PENELITIAN ... 51

1. Uji Asumsi ... 51

2. Uji Hipotesis ... 53

E. PEMBAHASAN ... 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

A. KESIMPULAN ... 59

B. SARAN ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tabel Spesifikasi Skala Kelekatan Remaja ... 37

Tabel 2 Tabel Angket Perilaku Merokok ... 38

Tabel 3 Tabel Spesifikasi Skala Kelekatan Remaja (setelah uji coba)... 43

Tabel 4 Deskripsi Subjek Penelitian ... 47

Tabel 5 Deskripsi Statistik ... 47

Tabel 6 Kategorisasi Perilaku Merokok ... 50

Tabel 7 Kategorisasi skor skala kelekatan ... 51

Tabel 8 Uji normalitas ... 52

Tabel 8 Uji linearitas ... 53

(18)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Blueprint Skala Kelekatan ... 67

Lampiran 2 Alat Ukur Penelitian Sebelum Uji Coba ... 73

Lampiran 3 Alat Ukur Penelitian Setelah Uji Coba ... 85

Lampiran 4 Seleksi Item Dan Reliabilitas Skala Kelekatan ... 94

Lampiran 5 Hasil Uji T Mean Teoretik Dan Mean Empiris ... 99

Lampiran 6 Hasil Uji Normalitas ... 101

Lampiran 7 Uji Linearitas... 103

Lampiran 8 Hasil Uji Hipotesis ... 105

(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Rokok bukan merupakan produk yang asing bagi masyarakat

Indonesia. Setiap kelas sosial dalam masyarakat Indonesia sudah

mengenal rokok sejak puluhan tahun yang lalu. Hingga saat ini,

masyarakat Indonesia sangat dekat dengan rokok, baik sebagai

produsen maupun konsumen. Seperti yang sudah diketahui jika

memang di Indonesia beredar bermacam-macam merk dagang rokok

baik produk impor maupun asli produk Indonesia. Dengan demikian

rokok memang sudah lekat dengan keseharian masyarakat lndonesia.

Penelitian Sirait, Pradono, Toruan (2002) menjelaskan jika

masyarakat Indonesia khususnya laki-laki memiliki prevalensi 54,5%,

atau lebih dari setengah masyarakat Indonesia berjenis kelamin

laki-laki adalah perokok. Dengan hal ini, rokok memang sudah lekat

dengan keseharian masyarakat lndonesia khususnya pada masyarakat

laki-laki.

Hal yang memprihatinkan adalah mulai masuknya kalangan

remaja pada dunia perokok. Dunia remaja cukup dekat dengan rokok,

terlebih jika lingkungan tempatnya bersosialisasi adalah lingkungan

(20)

merokok sebelum SMA. Survey Monitoring the Future tahun 1999,

ditemukan bahwa 1/5 dari anak kelas 8 sudah mencoba “menghisap”,

22% sudah mencoba ganja dan hampir 25% sudah mabuk minimal

sekali. Umumnya remaja mulai merokok pada kelas 7 atau 8, dan

diperkirakan tiap hari, 5000 remaja Amerika mencoba rokok untuk

pertama kalinya dan 2000 remaja Amerika menjadi perokok

(Sternberg, 2002). Smet (1994) juga menyebutkan jika perilaku

merokok dimulai pada usia 11-13 tahun. Jika dilihat keadaannya di

Indonesia sendiri pada penelitian Komalasari & Helmi (2000)

menemukan bahwa masa paling kritis remaja dalam mengenal rokok

adalah saat menginjak usia SLTP.

Dilihat dalam jumlah data, perokok muda di Indonesia menurut

Kementrian Kesehatan Indonesia (depkes.go.id) meningkat cukup

signifikan. Menurut Global Youth Tobacco Survey pada tahun 2006

remaja perokok di Indonesia sebesar 12,6% (24,5% laki-laki, 2,3%

perempuan) sedangkan pada tahun 2009 perokok aktif 20,3% (41%

laki-laki, 3,5% perempuan). Data ini cukup menggambarkan pesatnya

peningkatan jumlah remaja perokok di Indonesia. Data yang lain juga

menggambarkan mengenai perokok pasif yang juga cukup

memprihatinkan. Menurut Global Youth Tobacco Survey pada tahun

2009, 78,1% anak sekolah 13-15 tahun terpapar asap rokok di luar

(21)

menjelaskan jika memang agen sosialisasi rokok sudah ada bahkan

dalam lingkup keluarga, atau sesuai dalam jurnal di atas.

Jumlah remaja perokok di Indonesia semakin meningkat dan

semakin memprihatinkan. Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek (dalam

kompas.com, 27/05/2016) menilai remaja perokok di Indonesia sangat

memprihatinkan. Menteri Nila menambahkan, “Lebih menyedihkan

saat car free day anak-anak kita jalan pagi lalu duduk nongkrong di

pinggir jalan sambil ngrokok santai.”. Menteri Nila menekankan

sebenarnya sudah ada Peraturan Pemerintah 109 Tahun 2012 yang

secara garis besar mengatur tentang pelarangan seseorang di bawah

umur 18 tahun untuk menjual, membeli, dan mengkonsumsi produk

tembakau. Menurut Menteri Nila PP tersebut belum optimal karena

masih banyak orangtua yang menyuruh anaknya untuk membelikan

rokok di warung. Dalam hal ini Menteri Nila menekankan pentingnya

sinergi semua pihak untuk lebih berperan dalam penanggulangan

rokok khususnya perokok yang masih anak-anak. Menteri Nila

menghimbau semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat

khususnya keluarga mau berperan dalam menekan bahaya rokok pada

anak-anak.

Peneliti menganggap perilaku merokok dikalangan remaja

memang sangat umum. Peneliti juga merasakan masa remaja yang

(22)

untuk merokok. Peneliti mencoba merokok pada saat peneliti

bersekolah di tingkat SMP secara sembunyi-sembunyi dengan teman

sebaya. Pada masa sekarang, remaja SMP justru semakin berani

menunjukkan bahwa mereka bisa merokok tanpa merasa malu atau

takut. Dalam harian online SoloPos (25/05/2017) beberapa remaja

SMP tertangkap kamera sedang antre untuk membeli rokok. Remaja

SMP terlihat antre untuk membeli rokok di sekitar Pasar Jetis,

Salatiga. Meski ada larangan tentang transaksi rokok bagi seseorang di

bawah usia 18 tahun, saat ini remaja merokok sudah hal yang lumrah

bagi masyarakat.

Secara umum, keluarga atau orangtua memiliki peranan untuk

membangun keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang (Willis,

2010). Willis (2010) menambahkan bahwa orangtua harus

memberikan perhatian yang memadai terhadap kebutuhan remaja.

Dalam hal ini remaja dipandang memiliki kebutuhan untuk

mendapatkan perhatian dari orangtua dalam masa perkembangannya.

Orangtua juga disebutkan sebagai agen dalam menanamkan

norma-norma yang akan menjadi bekal remaja dalam kehidupannya.

Orangtua yang seharusnya menjadi panutan akan menanamkan nilai

atau value untuk tidak merokok. Orangtua memiliki peran yang besar

dalam penanaman nilai pada remaja karena remaja masih sangat

(23)

Carlo, & Raffaelli, 2000) juga mengungkapkan 2800 remaja dengan

rentang usia 12-15 tahun sebagian besar mengatakan jika orangtua

merupakan figur penting dan signifikan dalam memberikan pengaruh

positif dalam hidup mereka. Dengan demikian, orangtua masih

merupakan figur yang sangat dominan dalam perkembangan anak

khususnya pada periode remaja. Dengan demikian, orangtua

merupakan figur yang penting bagi remaja. Orangtua menjadi sosok

yang memberi pengaruh positif dan menanamkan norma yang baik

bagi remaja.

Hubungan emosional antara anak dengan orangtua biasa disebut

dengan kelekatan. Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang

terbentuk dengan adanya kedekatan dan terkandung rasa aman baik

fisik maupun psikologis (Santrock, 2003). Secara umum, bentuk

kelekatan pada setiap individu dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu

secure attachment dan insecure attachment (Cassidy & Shaver, 1999). Istilah secure atau insecure menjelaskan mengenai persepsi bayi

terhadap ketersediaan pengasuhnya ketika munculnya keperluan akan

suatu kenyamanan dan keamanan, dan istilah-istilah tersebut

merupakan suatu kumpulan respon bayi terhadap pengasuhnya yang

mendasari persepsi-persepsi akan ketersediaan pengasuh.

Dalam perkembangannya, kelekatan pada masa awal

(24)

perkembangan berikutnya. Pada masa remaja, kelekatan dengan

orangtua pada masa remaja akan berkaitan dengan mekanisme

internal working model. Menurut Bowlby (1973), seorang anak yang tumbuh dengan kelekatan aman memiliki internal working model

yang positif sehingga anak memiliki konsep diri, keyakinan, dan

kepercayaan dalam dirinya bahwa dia adalah pribadi yang dicintai dan

dapat mencintai. Dengan demikian anak yang tumbuh dalam

kelekatan yang aman akan memiliki internal working model yang

positif dalam masa perkembangannya khususnya pada masa remaja.

Remaja dengan internal working model yang positif akan memiliki

konsep diri, keyakinan, dan kepercayaan dalam dirinya bahwa dia

adalah pribadi yang dicintai dan dapat mencintai.

Kelekatan khususnya pada masa remaja, dapat dilihat dari tiga

aspek yaitu komunikasi (communication), kepercayaan (trust), dan

keterasingan (alienation). Teori kelekatan pada masa remaja ini

dikembangkan oleh Armsden dan Greenberg (1987) dengan tidak

membedakan jenis kelekatan secure attachment dan insecure

attachment, akan tetapi hanya melihat kualitas kelekatan remaja terhadap ibu berdasarkan kelekatan aman tinggi dan kelekatan aman

rendah.

Hubungan emosional yang kurang dekat antara orangtua dengan

(25)

perkembangan, salah satunya munculnya perilaku menyimpang

seperti perilaku merokok. Hal ini sesuai dengan Steinberg (2002) yang

menjelaskan jika kedekatan antara remaja dengan orangtuanya sangat

kurang remaja akan mempunyai kecenderungan perilaku menyimpang

seperti perilaku merokok hingga penyalahgunaan obat. Hubungan

keluarga yang tidak harmonis ataupun keluarga yang bermasalah, juga

dapat menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya perilaku merokok

di kalangan remaja. Masalah dalam keluarga juga berhubungan

dengan masalah seksual, penyalahgunaan obat dan alkohol, serta

kenakalan remaja (Sarwono, 2006). Dalam hal ini, kelekatan tidak

aman atau insecure attachment diasumsikan memiliki peran dalam

memunculkan masalah perilaku merokok. Baer dan Corado (dalam

Atkinson, 1999) menjelaskan bahwa remaja perokok adalah anak-anak

yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia. Orangtua yang

cenderung tidak memperhatikan anak dan memberikan hukuman fisik

yang keras akan membuat anak memiliki kecenderungan lebih besar

untuk menjadi perokok. Remaja dalam keluarga yang tidak bahagia

cenderung memiliki hubungan emosional yang kurang dekat atau

bermasalah dengan orangtuanya. Tidak adanya orangtua sebagai figur

lekat yang memberi rasa aman akan membuat remaja mencari hal lain

untuk mendapatkanrasa aman atau pegangan dalam mengahadapi

(26)

tersendiri bagi remaja dalam menghadapi tekanan-tekanan dalam fase

krisis di masa remaja. Hal ini dapat dilihat bahwa perilaku merokok

pada remaja merupakan sebuah reaksi dari remaja dalam mengelola

distres yang ada yang dipicu oleh masalah-masalah perkembangan

(Semmer, Dwyer, Lippert, Fuchs, Cleary, Paul & Schindler, 1987).

Penelitian mengenai perilaku merokok pada remaja

mengungkapkan jika remaja merokok lebih dipengaruhi

olehmengungkap bahwa sikap permisif orangtua terhadap perilaku

merokok anak dan ajakan teman sebaya merupakan faktor yang

dominan mempengaruhi perilaku merokok pada remaja (Komalasari

& Helmi, 2000). Meskipun orangtua sebenarnya tidak mendukung

perilaku merokok, tetapi perilaku merokok remaja atau anak justru

dalam kategori tinggi. Hal ini kemungkinan diakibatkan karena

kurangnya pengawasan atau kontrol dari orangtua terhadap perilaku

merokok anak dikarenakan ada sebagian anak atau siswa yang

memang jarang di rumah. Pada penelitian ini, peneliti menganggap

perlunya mengkaji kembali dalam hal pengaruh keluarga, khususnya

orangtua dalam perilaku merokok. Peneliti menganggap sikap

permisif orangtua kurang relevan dalam mempengaruhi perilaku

merokok remaja karena dalam penelitian tersebut sudah disebutkan

jika perilaku merokok justru muncul saat berada di lingkungan teman

(27)

berpengaruh. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Hasanah &

Sulastri (2011) tentang hubungan antara dukungan oranng tua, teman

sebaya, dan iklan rokok pada perilaku merokok pada remaja.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orangtua cenderung tidak

mendukung perilaku merokok tetapi perilaku merokok pada remaja

tetap tinggi. Hal tersebut dikatakan berkaitan dengan keadaan subjek

penelitian yang mulai memiliki kehidupan diluar lingkungan rumah

sehingga pengawasan atau control dari orangtua tidak begitu

berpengaruh bagi remaja. Keadaan ini dijelaskan oleh Erikson (dalam

Santrock, 2003) bahwa masa remaja adalah masa seseorang memulai

kehidupan lain selain kehidupan dalam keluarga. Dengan demikian

sikap permisif orangtua kurang berpengaruh karena perilaku merokok

pada remaja umumnya muncul saat remaja bersama teman sebayanya.

Penelitian mengenai hubungan antara pengaruh orangtua, teman

sebaya dan iklan rokok cukup banyak di Indonesia. Hasil penelitian

menyebutkan jika teman sebaya masih menjadi factor utama setelah

orangtua dan media masa atau iklan (Liem, 2014; Hasanah & Sulastri,

2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua memiliki

pengaruh cukup kuat terhadap perilaku merokok remaja dibandingkan

dengan media massa. Hasil temuan ini belum mengungkap hubungan

(28)

ini lebih memfokuskan pada persentase dari variabel yang dianggap

memperngaruhi perilaku merokok pada remaja.

Berdasarkan paparan teoretis penulis sebelumnya, peneliti ingin

mengetahui tentang tingkat kelekatan remaja dengan orangtua dan

perilaku merokok pada remaja. Peneliti belum menemukan penelitian

khusus membahas mengenai hubungan antara tingkat kelekatan

remaja dengan orangtua dan perilaku merokok pada remaja. Peneliti

merasa perlu meneliti karena selain lebih menjelaskan faktor perilaku

merokok pada remaja dalam konteks keluarga, hasil penelitian ini juga

akan menjelaskan peran orangtua dalam kaitannya pada isu

meningkatnya jumlah perokok di usia remaja. Hasil dari penelitian ini

bisa menjadi alternatif penanggulangan meningkatnya jumlah perokok

khususnya pada usia remaja.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah

pada penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara tingkat

(29)

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui adanya hubungan

antara tingkat kelekatan remaja dengan orangtua dan perilaku

merokok pada remaja.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan akan menambah konsep atau kajian

dalam ilmu psikologi, khususnya dalam hal perkembangan

perilaku pada remaja. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini

diharapkan dapat memperkaya kajian dalam ilmu psikologi

perkembangan dalam konteks social, khususnya dalam perilaku

merokok. Selain itu dapat memperkaya hasil penelitian

sebelumnya dan menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan menjadi referensi bagi orangtua

dalam pentingnya menanamkan value untuk tidak merokok

dengan menjalin hubungan yang erat dengan anaknya. Selain itu,

juga bisa menjadi bahan kajian untuk menentukan alternatif

pengendalian pesatnya jumlah perokok pemula bagi pihak-pihak

(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KELEKATAN

1. Pengertian Kelekatan

Istilah kelekatan (attachment) pada awalnya dikemukakan oleh

seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John

Bowlby. Kelekatan atau biasa juga disebut keterikatan merupakan

ikatan emosional abadi dan timbal-balik antara bayi dan

pengasuhnya, yang sama-sama memberikan kontribusi terhadap

kualitas hubungan pengasuh-bayi. Keterikatan memiliki nilai adaptif

bagi bayi, memastikan kebutuhan psikososial dan fisiknya terpenuhi.

Merujuk kepada teori etologis, bayi dan orangtua memiliki

kecenderungan untuk menempel satu dengan yang lain, dan

keterikatan memberikan daya tahan hidup bagi bayi (Papalia & Olds,

2008).

Bowlby (dalam Cassidy & Shaver, 1999) mengungkapkan

kelekatan adalah ikatan emosional yang terbentuk antara bayi dan

pengasuhnya dan hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam

rentang kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan Bowlby yang

menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam

(31)

pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Pengertian ini sejalan dengan

apa yang dikemukakan Ainsworth mengenai kelekatan. Ainsworth

(1985) mengatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang

dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik,

mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal

sepanjang waktu. Kelekatan yang dialami oleh seseorang di masa

kecilnya akan berpengaruh kepada kepribadian di masa dewasanya

(Cassidy & Shaver, 1999).

Bowlby (dalam Cassidy & Shaver, 1999) mengemukakan

bahwa perilaku seseorang untuk mempertahankan kedekatan dengan

seseorang yang dianggap mampu memberikan perlindungan dari

ancaman lingkungan terutama saat seseorang merasa takut, sakit, dan

terancam disebut dengan perilaku lekat (attachment behavior).

Perilaku lekat ini merupakan perilaku anak yang menangis,

mendekati, mencari kontak dan berusaha untuk mempertahankan

kontak pada figur lekatnya ketika anak sedang mencari kenyamanan

atau rasa aman. Pada bayi perilaku yang menunjukkan kedekatan

tersebut adalah menghisap, menempel, tersenyum, dan cenderung

menangis. Selain itu, pengasuh juga akan memberi perlindungan

terhadap bayi. Kelekatan memberi manfaat kelangsungan hidup

terhadap bayi, memberi perlindungan dari bahaya dengan cara

(32)

ibu (Cassidy & Shaver, 1999). Kelekatan membuat seorang bayi

akan merasa nyaman untuk melakukan eksplorasi terhadap

lingkungannya. Jika bayi merasa terpisah maka hal tersebut

mengancam kesejahteraannya. Oleh karena itu, bayi mencoba untuk

tetap berada di dekat pengasuh. Pada dasarnya kelekatan aman akan

membuat bayi merasa nyaman untuk melakukan eksplorasi dan

menguasai lingkungan.

Berdasarkan uraian di atas, kelekatan merupakan ikatan

emosional yang kuat dan menetap yang dikembangkan anak melalui

interaksinya dengan orangtua sehingga dapat melindungi dan

mendorong perkembangan remaja secara adaptif.

2. Perkembangan kelekatan Remaja dengan Orangtua

Dalam perkembangannya, berdasarkan kualitas hubungan anak

dengan pengasuh akan mengembangkan mekanisme mental yang

dikenal dengan internal working model. Mekanisme ini merupakan

sebuah keterampilan anak memandang mengenai diri sendiri dan

orang lain yang menjadi dasar dalam keterampilan. Internal working

model mendasari anak untuk berelasi dengan orang lain, menghadapi orang lain, dan kemampuan untuk meregulasi emosi. Dengan

demikian Internal working model berkaitan dengan sifat kelekatan

yang relatif stabil sepanjang hidupnya (Blount, Matthew &

(33)

Pengetahuan anak didapat dari interaksi dengan pengasuh.

Anak yang memiliki orangtua yang mencintai dan dapat memenuhi

kebutuhannya akan mengembangkan model hubungan yang positif

yang didasarkan pada rasa percaya (trust). Selanjutnya anak akan

mengembangkan model yang paralel dalam dirinya. Anak dengan

orangtua yang mencintai akan memandang dirinya berharga. Model

ini selanjutnya akan digeneralisasikan anak dari orangtua pada orang

lain, misalnya pada guru dan teman sebaya. Anak akan berpendapat

bahwa guru dan teman adalah orang yang dapat dipercaya.

Sebaliknya, anak yang memiliki pengasuh yang tidak menyenangkan

akan mengembangkan kecurigaan (mistrust) dan tumbuh sebagai

anak yang pencemas dan kurang mampu menjalin hubungan sosial.

Allen (dalam Santrock, 2002) kelekatan dengan orangtua pada

masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan

sosial remaja, sebagaimana tercermin dalam ciri-ciri seperti harga

diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik. Remaja yang

memiliki relasi yang nyaman dengan orangtuanya memiliki harga

diri dan kesejahteraan emosional yang lebih baik. Kelekatan yang

aman antara remaja dengan orangtua juga akan meningkatkan

kemampuan berinteraksi dengan teman sebaya yang kompeten dan

(34)

3. Aspek Kelekatan

Berdasarkan kajian dari Armsden & Greenberg (1987)

elekatan terdiri dari tiga aspek yaitu rasa percaya(trust), komunikasi,

dan alienasi (Barrocas, 2008). Rasa percaya(trust) dan komunikasi

memiliki nilai positif yang akan menunjukkan atau mendukung

adanya kelekatan remaja pada figur lekat. Sedangkan aspek alienasi

mengandung penilaian yang berbeda dengan dua aspek sebelumnya

karena menunjukkan nilai yang negatif sehingga kurang mendukung

dan menunjukkan adanya kelekatan (Armsden & Greenberg, 1987).

a. Rasa percaya(trust)

Rasa percaya didefinisi sebagai perasaan aman dan

keyakinan bahwa orang lain akan memenuhi kebutuhannya. Rasa

percaya merupakan produk dari hubungan yang kuat, terutama

partner dalam hubungan merasa bahwa mereka dapat bergantung

satu sama lain. Oleh karena itu, rasa percaya merupakan satu

komponen dari hubungan yang kokoh antara anak dengan figur

lekatnya. Rasa percaya berfokus pada keyakinan anak bahwa

orang lain secara konsisten ada untuknya (Armsden & Greenberg,

1987).

Dalam perkembangannya, seseorang yang mengembangkan

rasa percaya dengan orangtua akan memiliki sifat sejauh mana

(35)

bergantung dengan orangtua, mempercayai orangtua, dan

mendapatkan rasa aman dari orangtua (Barrocas, 2008).

b. Komunikasi

Komunikasi didefinisikan sebagai komunikasi yang dua

arah yang terjadi antara ibu dan anak. Menurut Segrin dan Flora

(dalam Barrocas, 2008) komunikasi timbal balik yang terjadi

secara harmonis akan membantu ikatan emosional yang kuat

antara ibu dan anak. Remaja mencari kedekatan dan kenyamanan

dalam bentuk nasihat ketika mereka merasa membutuhkannya,

sehingga komunikasi menjadi sangat penting dalam masa remaja.

Remaja dengan komunikasi yang baik dengan orangtua

akan merasa dekat dengan orangtua. Perasaan dekat dengan

orangtua akan membuat remaja merasa dicintai dan dihargai

orangtua (Barrocas, 2008). Dalam aspek komunikasi, remaja yang

memiliki pola komunikasi yang baik dengan orangtuanya akan

terbuka dengan orangtua tentang perasaan-perasaan yang

dialaminya (Cassidy & Shaver, 1999).

c. Alienasi

Alienasi atau juga biasa disebut keterasingan merupakan

suatu perasaan tidak aman atau perasaan terabaikan dari figur

lekat (Armsden & Greenberg, 1987). Alienasi atau juga biasa

(36)

karena adanya penolakan dan pengabaian dari orangtua atau figur

lekat (Barrocas, 2008). Alienasi merupakan tingkat kemarahan,

pengasingan atau putus asa yang diakibatkan karena figur lekat

yang tidak responsif atau tidak konsisten. Alienasi terjadi karena

seseorang merasa bahwa figur lekat tidak ada sehingga kelekatan

menjadi kurang aman. Perasaan negatif ini berkaitan dengan

adanya perasaan dihindari oleh orangtua, merasa diabaikan oleh

(37)

B. REMAJA

1. Pengertian Remaja

Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescence (kata Belanda, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti

tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah remaja sesungguhnya

memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional,

sosial dan fisik (Hurlock, 1999). Dalam Santrock (2012) remaja

adalah seseorang individu yang berada pada rentang usia kira-kira 10

hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun, yang

sedang mengalami transisi antara masa anak-anak dengan masa

dewasa.

Masa remaja secara umum dianggap mulai dengan pubertas,

proses yang mengarah kepada kematangan seksual. Masa remaja

dimulai pada usia 11 atau 12 sampai masa remaja akhir atau awal

usia 20 tahun. Masa remaja awal (sekitar usia 11 atau 12 sampai 14

tahun), pada masa ini adalah transisi keluar dari kanak-kanak dan

menawarkan peluang untuk tumbuh bukan hanya dalam dimensi

fisik, tetapi juga dalam kompetensi kognitif dan sosial (Papalia &

Olds, 2008).

Menurut Monks (2004), pada masa remaja (12 tahun hingga

dengan 21 tahun) dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: masa remaja

(38)

hingga 18 tahun), masa remaja akhir (usia 18 tahun sampai dengan

21 tahun)

Berdasarkan penjelasan di atas remaja merupakan periode

transisi antara usia kanak-kanak dan dewasa yang diikuti oleh

perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional dengan rentang usia

10 - 12 tahun dan berakhir di usia 18-21 tahun. Berdasarkan

penjelasan tersebut peneliti menentukan subjek penelitian adalah

remaja awal yaitu 12 – 15 tahun atau pada tingkat Pendidikan SMP.

2. Aspek Perkembangan Remaja a. Fisik

Perkembangan fisik pada masa remaja menurut Papalia

(2008) merupakan perubahan tubuh misalnya bentuk badan,

perkembangan otak, kapasitas sensoris, dan kemampuan motorik.

Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan

berat badan, pertumbuhan tulang dan otot, juga kematangan organ

seksual dan fungsi reproduksi.

Pertumbuhan fisik pada masa remaja awal belum sepenuhnya

sempurna. Pertumbuhan pada anak laki-laki lebih lambat daripada

anak perempuan, namun pertumbuhan laki-laki lebih lama.

Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan

(39)

awal remaja sehingga membutuhkan penyesuaian mental dan

perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.

b. Kognitif

Pada perkembangan kognitif, struktur otak yang semakin

sempurna dan lingkungan yang semakin luas memungkinkan

remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap

perkembangan kognitif pada masa ini dengan tahap operasi

formal (Papalia & Olds, 2008).

Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih

berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock,2002). Remaja

dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan saat ini

memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian

remaja sudah mampu memperkirakan konsekuensi yang mungkin

bisa membahayakan dari tindakannya.

Piaget (dalam Santrock, 2002) menjelaskan jika seorang

remaja akan termotivasi untuk terus memahami dunia karena

adanya perilaku adaptif mereka. Dalam pandangannya Piaget

mengungkapkan jika remaja akan secara aktif membangun dunia

kognitif mereka, sehingga informasi yang ada tidak selalu bisa

diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Bagi

(40)

penting dan menghubungkan ide-ide tersebut sehingga muncul

ide baru.

c. Sosial

Perkembangan kepribadian merupakan perubahan cara

individu dalam berhubungan dengan dunia luar dan menyatakan

emosi secara unik, sedangkan perkembangan sosial merupakan

perubahan dalam berhubungan dengan orang lain (Papalia &

Olds, 2008). Perkembangan kepribadian yang sangat penting pada

masa remaja merupakan pencarian identitas diri. Menurut Erikson

(dalam Papalia & Olds,2008) pencarian identitas diri merupakan

proses menjadi seseorang yang unik dengan suatu peran tertentu.

Dalam perkembangan sosial, kelompok teman sebaya

menjadi dominan dalam hal pertimbangan remaja dalam

berperilaku (Papalia & Olds, 2008). Remaja menganggap jika

teman sebaya merupakan referensi utama dalam hal persepsi dan

sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Meskipun remaja sudah

mampu menentukan jati dirinya sendiri, teman sebaya masih

(41)

C. PERILAKU MEROKOK

1. Pengertian perilaku merokok

Merokok adalah menghisap tembakau yang dibakar ke dalam

tubuh dan menghembuskan kembali keluar (Armstrong, 1990).

Perilaku merokok dapat juga didefinisikan sebagai aktivitas

subjek yang berhubungan dengan perilaku merokoknya, yang diukur

melalui intensitas merokok, waktu merokok, dan fungsi merokok

dalam kehidupan sehari-hari (Komalasari & Helmi, 2000).

Berdasarkan uraian di atas perilaku merokok adalah satu

aktivitas seseorang yang menghisap atau menghirup asap dari rokok.

Perilaku tersebut dapat yang diamati dari fungsi rokok bagi individu,

banyaknya rokok yang dihabiskan setiap hari dan lamanya seseorang

telah merokok.

2. Tipe Perokok

Smet (1994) mengemukakan tiga tipe perokok yang dapat

diklasifikasikan menurut banyaknya rokok yang dihisap. Tiga tipe

perokok tersebut adalah:

a. Perokok berat yang menghisap lebih dari 15 batang rokok dalam

sehari.

b. Perokok sedang yang menghisap 5-14 batang rokok dalam

(42)

c. Perokok ringan yang menghisap 1-4 batang rokok dalam sehari.

3. Faktor – Faktor yang mempengaruhi perilaku merokok

Sarafino (2011) menyebutkan faktor – faktor yang

mempengaruhi perilaku merokok yaitu:

a. Faktor biologis

Banyak penelitian menunjukkan bahwa nikotin dalam rokok

merupakan salah satu bahan kimia yang berperan penting pada

ketergantungan merokok. Kebanyakan perokok memiliki nikotin

dalam dalam darah yang cukup tinggi.

b. Faktor psikologis

Merokok dapat berfungsi untuk meningkatkan konsentrasi,

menghalau rasa kantuk, mengakrabkan suasana sehingga timbul

rasa persaudaraan serta dapat memberikan kesan modern dan

berwibawa, sehingga bagi individu yang sering bergaul dengan

orang lain, perilaku merokok sulit untuk dihindari.

c. Faktor lingkungan sosial

Lingkungan sosial berpengaruh terhadap sikap, kepercayaan

dan perhatian individu pada perokok. Seseorang akan berperilaku

merokok dengan memperhatikan lingkungan sosialnya. Banyak

remaja yang merokok karena terpengaruh oleh teman-temannya

(43)

d. Faktor demografis

Faktor ini meliputi umur dan jenis kelamin. Orang yang

merokok pada usia dewasa semakin bertambah. Akan tetapi

pengaruh jenis kelamin tidak terlalu berperan penting karena

banyak pria dan wanita sudah memiliki kebiasaan merokok.

D. HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN REMAJA DENGAN

ORANGTUA DAN PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang

dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang

mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orangtua.

Bowlby (dalam Barrocas, 2008) menyatakan bahwa hubungan

kelekatan akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia

yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti

ibu. Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Ainsworth

mengenai kelekatan. Ainsworth (1985) mengatakan bahwa kelekatan

adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang

lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu kedekatan

yang bersifat kekal sepanjang waktu. Kelekatan merupakan suatu

hubungan yang didukung oleh tingkah laku lekat (attachment behavior)

(44)

Kelekatan yang terjadi pada bayi dengan figur pengasuh memiliki

peranan penting dalam kehidupan anak dan menjadi dasar dalam

hubungan anak dengan orang lain di kemudian hari. Kualitas kelekatan

yang terbentuk antara anak dengan figur pengasuh di masa lampau

tidak lantas hilang begitu saja namun akan senantiasa berkembang

ketika individu menginjak pada masa remaja maupun dewasa. Dengan

kata lain kualitas kelekatan yang tampak pada hubungan yang terjalin

pada saat individu memasuki masa remaja dan dewasa bersumber dari

kualitas kelekatan yang dirasakan ketika individu tersebut ketika masih

bayi hingga kanak-kanak. Burland dan Zimmerman (dalam Santrock,

2002) kelekatan dengan orangtua juga menumbuhkan berbagai

kemampuan adaptif yang berkaitan dengan kemampuan sosial karena

perkembangan kemampuan sosial bersumber pula dari perkembangan

karkteristik mental individu seperti harga diri, kepercayaan diri,

kemampuan penyesuaian emosional, dan sebagainya.

Kelekatan yang terjalin antara figur pengasuh dengan remaja

terbangun dari adanya tiga aspek aspek yang mendukung tumbuhnya

kelekatan dan menghambat tumbuhnya kelekatan. Aspek yang

mendukung tumbuhnya kelekatan yaitu rasa percaya(trust) dan

komunikasi. Kedua aspek ini akan menggambarkan hubungan yang

(45)

mengahambat tumbuhnya kelekatan atau alienasi lebih menggambarkan

tentang kurangnya kedekatan antara remaja dengan figur pengasuh.

Rasa percaya(trust) dalam kelekatan membuat remaja belajar

membangun rasa percaya dalam suatu hubungan dengan belajar bahwa

orang lain secara konsisten ada untuknya (Collins & Repinsky, 1994;

Armsden & Greenberg, 1987). Remaja yang memiliki hubungan aman

dengan figur lekatnya akan memandang orang lain akan ada untuknya

dan merasa diri dicintai sehingga remaja akan memiliki pandangan

yang positif terhadap orang lain dan dirinya. Hal tersebut akan

mempengaruhi remaja dalam memotivasi dirinya sendiri dan membina

hubungan dengan orang lain (Wills, 1985; Maholtra, 1977 dalam

Barrocas, 2008), Remaja yang memandang orang lain ada untuknya

akan merasa dicintai sehingga remaja akan memiliki pandangan yang

positif terhadap orang lain dan dirinya (Steinberg, 2002). Santrock

(2002) menjelaskan jika anak yang tumbuh dalam kelekatan yang aman

akan menjadi individu yang memiliki harga diri dan kesejahteraan

emosianal yang baik. Adanya figur orangtua membuat remaja percaya

diri untuk mengekplorasi lingkungan baru yang semakin luas. Kondisi

psikologis yang sehat membantu remaja dari kecemasan dan

kemungkinan perasaan tertekan atau ketegangan emosi yang berkaitan

dengan transisi dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa.

(46)

karena memiliki kondisi psikologis yang sehat ditambah adanya figur

lekat yang akan selalu mendukung secara emosional.

Komunikasi dalam kelekatan diibaratkan sebagai komunikasi dua

arah yang terjadi antara remaja dengan figur lekat atau orangtua.

Remaja yang merasa dekat dengan orangtuanya akan mampu

mengungkapkan segala permasalahannya dengan orangtua secara

terbuka sehingga dapat saling menyampaikan pendapat dan

perasaannya. Hal ini akan mendorong remaja dalam menumbuhkan

kemampuan berkomunikasi yang baik dengan orang lain. Bagi remaja

komunikasi yang baik antasa remaja dengan orangtua juga akan mampu

menumbuhkan perasaan dicintai oleh orangtua (Armsden & Greenberg,

1987). Interaksi yang terbuka antara remaja dan orangtua akan

menumbuhkan iklim yang suportif dalam keluarga dan akan membuat

remaja merasa aman menghadapi tahapan perkembangannya (Santrock,

2002). Dengan adanya dukungan atau iklim yang suportif dalam

keluarga remaja akan remaja akan terhindar dari perilaku menyimpang

khususnya perilaku merokok.

Aspek alienasi dalam kelekatan merupakan aspek yang

mempunyai kecenderungan yang negatif. Alienasi menggambarkan

perasaan negatif remaja terhdap orangtua. Aspek alienasi ini cenderung

menggambarkan tidak adanya orangtua atau pengasuh yang seharusnya

(47)

yang kurang konsisten memunculkan perasaan diabaikan atau bahkan

ditolak bagi remaja. Hal ini akan menimbulkan munculnya kecemasan

pada remaja (Cassidy & Shaver, 1999). Kecemasan yang tinggi pada

masa remaja akan membuat remaja mencari pelampiasan dengan

melakukan hal-hal yang dirasa meredakan ketegangan atau kecemasan

tersebut. Pada umumnya remaja dengan kondisi tersebut akan mudah

mangadaptasi perilaku menyimpang misalnya merokok atau bahkan

berkaitan dengan penyalahgunaan zat terlarang (Sarwono, 2006).

Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat jika kualitas kelekatan

antara figur lekat atau orangtua dengan remaja akan sangat berpengaruh

dalam perkembangan emosional remaja. Dengan demikian keadaan

emosional juga akan mempengaruhi remaja dalam beperilaku. Jika

remaja memiliki kelekatan aman dengan figur lekat atau orangtua, hal

ini akan menumbuhkan keadaan emosional yang aman dan membuat

remaja merasa memiliki dukungan emosional yang positif. Dengan

demikian remaja tidak perlu mencari kompensasi lain dalam

menghadapi badai krisis yang ada pada masa remaja. Sebaliknya jika

remaja tidak memiliki kelekatan yang aman dengan orangtua, akan

menumbuhkan perasaan-perasaan yang tidak aman. Dengan tidak

adanya dukungan emosional yang positif dari orangtua, remaja akan

memiliki kecenderungan lebih besar dalam mencari kompensasi dalam

(48)

Remaja dalam penjelasan sebelumnya merupakan masa transisi

antara anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis,

kognitif, dan sosial-emosional. Hall (dalam Santrock,2003)

menjelaskan remaja adalah masa antara usia 12 sampai 23 tahun dan

penuh dengan badai dan tekanan. Badai dan tekanan (storm and stress)

adalah konsep Hall tentang remaja sebagai masa goncangan yang

ditandai dengan adanya konflik dan perubahan suasana hati. Selain itu,

masa remaja adalah masa yang rentan terhadap berbagai masalah,

sehingga terkadang remaja gagal dalam menjalankan

perkembangannya. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Adams &

Gullotta (dalam Laible dkk, 2000) mengemukakan jika masa remaja

merupakan masa yang rentan terhadap depresi, perilaku menyimpang,

bunuh diri, dan penyalahgubaan obat atau alkohol.

Kecenderungan remaja untuk merokok dalam menghadapi

masalahnya merupakan tanda bahwa remaja tidak memiliki kemampuan

emosional dan dukungan emosional yang baik. Hal ini sesuai dengan

Baer dan Corado (dalam Atkinson, 1999; Steinberg, 2002) menjelaskan

bahwa remaja perokok adalah anak-anak yang berasal dari rumah

tangga yang tidak bahagia. Remaja dalam keluarga yang tidak bahagia

cenderung memiliki hubungan emosional yang kurang dekat atau

bermasalah dengan orangtuanya. Steinberg (2002) mengungkapkan jika

(49)

akan mempunyai kecenderungan perilaku menyimpang dari perilaku

merokok hingga penyalahgunaan obat. Hal ini juga dibahas oleh

Santrock (2002) tentang kelekatan remaja dengan orangtua dapat

membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosial remaja,

sebagaimana tercermin dalam ciri-ciri seperti harga diri, penyesuaian

emosional, dan kesehatan fisik. Laible, Carlo, & Raffaelli (2000)

menjelaskan jika pada masa remaja interaksi antara remaja dan

orangtua masih sangat penting meski sebagian besar waktu remaja

dihabiskan dengan lungkungan baru di luar keluarga. Dengan demikian

kelekatan antara remaja dengan orangtua atau figur lekat akan memiliki

peran yang signifikan dalam menentukan masa perkembangannya.

Dalam hal ini kelekatan yang terjalin akan memberikan efek adaptif

bagi remaja dalam mengahadapi krisis yang ada pada masa

perkembangaanya.

E. HIPOTESIS

Hipotesis yang diajukan peneliti dalam penelitian ini adalah

terdapat hubungan negatif antara perilaku merokok dengan kelekatan

orangtua pada remaja. Semakin tinggi tingkat kelekatan remaja dengan

(50)

F. SKEMA PENELITIAN

Remaja

Kelekatan dengan orangtua tinggi

Kelekatan dengan orangtua rendah

Rasa percaya kepada orangtua membuat remaja merasa aman untuk mengeksplorasi

lingkungan baru sehingga remaja memiliki kesehatan psikologis yang baik untuk menghadapi masa

perkembangannya

Komunikasi yang terjalin dengan baik dengan orangtua akan membuat remaja mampu mengungkapkan perasaan dan masalahnya sehingga akan menumbuhkan iklim suportif bagi remaja untuk menghadapi tekanan dalam masa remaja.

Remaja dengan alienasi yang rendah akan memiliki

pandangan yang positif kepada orangtua, sehingga remaja merasa yang merasa diterima oleh oranng tuanya mendapat dukungan dalam menghadapi tekanan dalam masa

perkembangan

Rasa percaya yang kurang kepada orangtua membuat remaja merasa tidak percaya diri untuk mengeksplorasi lingkungan secara luas

sehingga remaja membutuhkan pelampiasan yang

menimbulkan rasa aman untuk mengeksplorasi lingkungan perkembangannya.

Komunikasi yang kurang hangat dengan orangtua akan membuat remaja memiliki kemampuan mengelola emosi yang kurang sehingga remaja akan cenderung mengadaptasi perilaku yang salah dalam mengelola emosinya

(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian korelasional. Penelitian

korelasional merupakan jenis penelitian yang digunakan untuk melihat

hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya (Azwar, 2005).

Penelitian korelasional dalam penelitian ini digunakan untuk melihat

hubungan antara kelekatan remaja awal dan orangtua dengan perilaku

merokok

B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Dalam penelitian ini melibatkan dua jenis variabel yaitu:

Variabel terikat : perilaku merokok

Variabel bebas : kelekatan remaja awal dengan orangtua

C. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN 1. Kelekatan remaja dengan orangtua

Kelekatan remaja awal dengan orangtua merupakan keadaan

dimana remaja memiliki hubungan yang lekat dengan orangtua yang

memberikan rasa nyaman, aman dan senang pada remaja karena

adanya rasa percaya dan komunikasi yang tinggi serta kurangnya

aspek alienasi. Kelekatan remaja awal dengan orangtua akan

(52)

meliputi tiga aspek di atas, yaitu rasa percaya, komunikasi dan

alienasi.

Rasa percaya diukur berdasarkan sejauh mana remaja

memandang merasa orangtua akan selalu ada, merasa bergantung

dengan orangtua, mempercayai orangtua, dan mendapatkan rasa

aman dari orangtua.

Komunikasi diukur berdasarkan sejauh mana remaja memiliki

sikap Merasa dekat dengan orangtua, merasa dicintai orangtua,

merasa dihargai orangtua, merasa diterima, dan terbuka dengan

orangtua.

Alienasi diukur berdasarkan sejauh mana remaja mengalami

perasaan negatif seperti merasa marah, sedih, atau kecewa dengan

orangtua. Perasaan negatif ini berkaitan dengan adanya perasaan

dihindari oleh orangtua, merasa diabaikan oleh orangtua, merasa

ditolak oleh orangtua.

Semakin tinggi skor pada aspek rasa percaya dan komunikasi

serta semakin rendah skor pada aspek alienasi, maka semakin tinggi

kelekatan remaja awal dengan orangtua. Sebaliknya, semakin rendah

skor pada aspek rasa percaya dan komunikasi sedangkan pada skor

alienasi semakin tinggi maka semakin rendah kelekatan remaja

(53)

2. Perilaku merokok

Perilaku merokok adalah aktivitas seseorang yang menghisap

atau menghirup asap dari rokok, yang diamati dari banyaknya rokok

yang dihabiskan setiap hari. Perhitungan variabel ini berdasarkan

banyaknya rokok yang dikonsumsi seseorang. Apabila subyek

menjawab dengan jumlah rokok yang banyak, maka subyek akan

mendapat skor tinggi. Sebaliknya, apabila subyek mengungkapkan

jumlah rokok yang dikonsumsi sedikit maka subyek akan mendapat

skor rendah.

D. SUBJEK PENELITIAN

Subjek pada penelitian ini adalah siswa SMP di daerah Yogyakarta

berjumlah 200 orang. Sampel penelitian diambil dengan menggunakan

teknik purposive sampling. Sampel dipilih berdasarkan ciri-ciri atau

sifat-sifat dari sebuah populasi yang telah ditentukan (Azwar, 2010).

Subjek dalam penelitian ini difokuskan pada remaja awal dengan

usia 11 – 15 tahun atau siswa SMP sesuai dengan Komalasari & Helmi

(2000) dan Smet (1994).

Kriteria subjek dalam penelitian ini adalah:

1. Remaja laki-laki

2. Berusia 12-15 tahun

3. Perokok aktif

(54)

E. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan alat

ukur yang memuat skala dan angket. Skala dengan stimulus yang berisi

pernyataan-pernyataan yang mengungkap indikator dari variable

penelitian. Adapun bentuk skala mengacu pada model skala Likert,

dimana masing-masing item berbentuk favorable dan unfavorable.

Dalam aplikasinya, subjek diminta memberikan respon

kesesuaian-ketidaksesuaian terhadap setiap item dalam sebuah kontinum yang terdiri

dari beberapa pilihan respon (Supratiknya, 2014).

Angket merupakan pertanyaan yang secara langsung mengungkap

informasi yang akan diungkap. Hal ini berkaitan dengan asumsi bahwa

angket akan mengungkap fakta secara langsung tentang diri subjek. Skala

yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kelekatan remaja

dengan orangtua. Sedangkan untuk perilaku merokok diungkap

menggunakan angket.

1. Skala Kelekatan

Penyusunan skala kelekatan dalam penelitian ini didasarkan pada

tiga aspek kelekatan yaitu rasa percaya, komunikasi dan alienasi.

Dalam skala kelekatan masing-masing aspek kelekatan terdiri dari

empat alternatif jawaban, yaitu “Sangat Setuju (SS)”, “Setuju (S)”,

“Tidak Setuju (TS)”, dan “Sangat Tidak Setuju (STS)”. Nilai skor

(55)

respon netral. Hal ini dikarenakan untuk menghindari kecenderungan

subjek memilih jawaban tengah dan agar subjek lebih tegas dalam

memilih jawaban.

Blue Print dari skala kelekatan terlampir.

Tabel spesifikasi skala kelekatan dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 1 Tabel Spesifikasi Skala Kelekatan Remaja Aspek

kelekatan

Item No. soal Jumlah Presentase

Trust favorable 1,7,13,19,25,3

1,37,43,49,55

10 16,6 %

unfavorable 6,12,18,24,30,

36,42,48,54,60

10 16,6 %

Komunikasi Favorable 3,9,15,21,27,3

3,39,45,51,57

10 16,6 %

Unfavorable 4,10,16,22,28,

34,40,46,52,58

10 16,6 %

Alienasi Favorable 5,11,17,23,29,

(56)

2. Angket Perilaku Merokok

Untuk mengetahui frekuensi merokok maka digunakan

angket. Data yang diungkap oleh angket berupa data faktual atau

dianggap fakta dan kebenarannya diketahui oleh subyek. Selain itu,

didukung juga dengan pertanyaan terbuka yang dirancang oleh

penulis berdasarkan penelitian Komalasari & Helmi (2000) dengan

mengacu pada aspek-aspek perilaku merokok, yaitu fungsi rokok

bagi remaja, bagaimana tanggapan orangtua tentang perilaku

merokok, lamanya remaja merokok. Peneliti juga menambahkan

pertanyaan mengenai sumber remaja mendapatkan rokok dan apakah

kebiasaan mereka mendapat ijin dari orangtuanya merujuk pada

penelitian Wiryanatha & Ani (2014).

Tabel 2 Tabel Angket Perilaku Merokok

Angket perilaku merokok

1. Pada usia berapa anda pertama kali mencoba merokok?

2. Apa yang membuat anda tertarik untuk merokok pada saat

itu?

3. Mulai usia berapa anda aktif merokok?

4. Apa alasan anda menjadi merokok?

5. Apakah orangtua anda mengetahui bahwa anda merokok?

(57)

anda?

7. Berapa uang saku anda perhari?

8. Berapa biaya yang anda keluarkan untuk membeli rokok

perharinya?

9. Dari mana anda mendapatkan uang untuk membeli rokok?

10. Berapa jumlah rata-rata batang rokok yang anda konsumsi

setiap hari?

F. UJI COBA ALAT UKUR

Sebelum penelitian dilakukan, peneliti mengadakan uji coba alat

ukur. Uji coba dilakukan peneliti untuk memastikan kualitas dan

keandalan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian. Uji coba

dilaksanakan pada bulan Juni tahun 2016 pada remaja di sekitar kota

Yogyakarta. Subjek yang dalam uji coba penelitian ini berjumlah 40

orang dan kepada seluruh subjek diberikan dua jenis alat ukur, yaitu

skala kelekatan dan angket perilaku merokok. Setiap subjek memperoleh

satu eksemplar yang terdiri dari dua alat ukur tersebut.

G. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR

Sebelum melakukan penelitian dengan alat ukur yang sudah dibuat,

peneliti melakukan uji coba alat ukur penelitian terlebih dahulu terhadap

subjek dengan kriteria yang sama dengan subjek penelitian. Tujuan

(58)

validitas dan reliabilitas alat ukur sehingga alat ukur yang digunakan

dalam penelitian ini memiliki standar yang dapat dipercaya, dan akurat.

1. Validitas

Dalam Supratiknya (2014) validitas merupakan kualitas

esensial yang menunjukkan suatu tes sungguh-sungguh mengukur

atribut psikologis yang hendak diukur. Suatu tes atau instrument

pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila

alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil

ukur yang sesuai dengan maksud pengukuran tersebut (Azwar,

2007). Penelitian ini menggunakan validitas isi sebagai acuan untuk

menjamin kualitas skala atau alat ukur. Validitas isi dicapai dengan

pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat

professional judgement yang dilakukan oleh dosen pembimbing. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validitas ini adalah sejauh

mana aitem-aitem dalam tes yang mencakup keseluruhan isi objek

yang hendak diukur atau sejauh mana isi tes mencerminkan atribut

yang hendak diukur (Azwar,2007).

2. Reliabilitas

Reliabilitas merupakan konsistensi hasil pengukuran jika

pengetesan dilakukan berulang kali terhadap individu atau kelompok

(59)

dan konsitensi alat ukur. Rendahnya reliabilitas ditunjukkan oleh

suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas (Azwar, 2004).

Peneliti menggunakan analisis reliabilitas analisis Alpha

Cronbach menggunakan SPSS for windows 19. Koefisien reliabilitas berada ditunjukkan dalam rentang 0,00 sampai 1,00. Jika angka

koefisien reliabilitas semakin mendekati 1,00 maka reliabilitas

semakin tinggi. Jika angka koefisien reliabilitas semakin mendekati

0,00 maka reliabilitas semakin rendah.

Uji reliabilitas item dalam penelitian ini, pada skala kelekatan

remaja dengan orangtua diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,857

dari 60 item. Dengan demikian reliabilitas pada skala kelekatan

remaja dikatakan mendekati angka 1 sehingga bisa dikatakan

reliabel.

H. SELEKSI ITEM

Seleksi item dalam penelitian ini menggunakan teknik koefisien

korelasi dengan mengkorelasikan konsistensi antara fungsi item dengan

fungsi skala secara keseluruhan atau sering disebut dengan konsistensi

aitem total. Pengujian konsistensi aitem dilakukan dengan komputasi

koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap item dengan

distribusi skor total sebagai kriteria. Komputasi ini akan menghasilkan

koefisien korelasi aitem total yang umumnya dikenal dengan indeks daya

(60)

dengan skor tes berarti semakin tinggi konsistensi antara item tersebut

dengan tes keseluruhan yang berarti semakin tinggi daya bedanya. Azwar

(2008) mengatakan bahwa nilai koefisien korelasi item total minimal

0,30. Apabila jumlah item yang lolos masih tidak mencukupi jumlah

yang diinginkan, kriteria tersebut dapat diturunkan menjadi 0,25.

(61)

Tabel 3 Tabel Spesifikasi Item Skala Kelekatan Remaja(setelah uji coba)

Aspek

kelekatan

Item No. soal Jumlah Presentase

Trust Favorable 1(1),5(7),9(13),14(1

9),19(25),

Komunikasi Favorable 2(3),7(9),11(15),16(

21),21(27),

Alienasi Favorable 4(5),12(17),17(23),

22(29),27(35),

Gambar

Tabel 1 Tabel Spesifikasi Skala Kelekatan Remaja
Tabel 2 Tabel Angket Perilaku Merokok
Tabel 3 Tabel Spesifikasi Item Skala Kelekatan Remaja(setelah uji
Tabel 5 Deskripsi Statistik
+6

Referensi

Dokumen terkait

Metode analisis data yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah asosiatif dimana penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antar variabel dan bagaimana

inflasi, kurs Rp/Dollar USA, dan suku bunga kredit terhadap Indeks Harga Saham. Gabungan periode tahun 1993 –

[r]

Metode penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan studi potong lintang yaitu untuk mengetahui adanya hubungan antara dukungan sosial

Sesuai dengan Pasal 52, 53 dan 54 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan

Menurut  Rasyid  Ridla  dalam  tafsirnya,  kata  ُﺢْﻴِﺴَﻤْﻟَﺍ  (al­Masih)  adalah  kata  serapan  dari  bahasa  ‘Ibrani,  yaitu  dari  kata 

6.3 Setelah diperoleh model yang paling memadai untuk data runtun waktu H, kita dapat menentukan ramalan beberapa langkah ke depan, dengan cara: klik statistic, klik

Tujuan penelitian ini adalah memetakan lokasi dan kapasitas dari informasi inventarisasi mata air di Kecamatan Cidahu, mengkaji variasi dari data deret waktu mata air yang