• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara intensitas penggunaan Situs Jejaring Sosial (SJS) dan kecerdasan emosi pada remaja.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara intensitas penggunaan Situs Jejaring Sosial (SJS) dan kecerdasan emosi pada remaja."

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

DAN KECERDASAN EMOSI PADA REMAJA

Agnes Wijaya

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara intensitas penggunaan situs jejaring sosial dan kecerdasan emosi pada remaja. Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini, yaitu terdapat hubungan negatif antara intensitas penggunaan Situs Jejaring Sosial dan kecerdasan emosi pada remaja. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantatif dengan teknik analisis data spearman Rho untuk menguji korelasi kedua variabel. Responden penelitian adalah 221 remaja dengan rentang usia 13-18 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan (p < 0.05) antara intensitas penggunaan Situs Jejaring Sosial dan kecerdasan emosi pada remaja.

(2)

Emotional Intelligence among Adolescents

Agnes Wijaya

Abstract

The purpose of this research is to determine the correlation between the intensity of Social Networking Sites usage and adolescenceemotional intelligence. This research hypothesis is, there is a negative correlation between the intensity of Social Networking Sites usage and adolescence emotional intelligence. This research is quantitative research that using spearman rho as its analysis data technique. Respondents are 221 teenagers(13 to 18 years old). The result shows that there is significance (p < 0.05) negative correlation between the intensity of Social Networking Sites usage and adolescence emotional intelligence.

(3)

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS PENGGUNAAN SITUS JEJARING SOSIAL (SJS) DAN KECERDASAN EMOSI PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh : Agnes Wijaya

119114049

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN MOTTO

Dalam mengerjakan sesuatu, bukan hanya tentang kerja keras,

satu hal yang tak kalah penting adalah kesabaran menjalani proses.

Ketakutan adalah kesempatan kita untuk menjadi lebih baik dan berkembang.

(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk :

Papa dan Mama yang selalu mendukung

dan mau menunggu dengan sabar

hingga karya ini selesai kubuat.

Adikku, selamat menapaki dunia baru

dunia perkuliahan, Dut!

Ciwik-ciwik atas segala semangat

dan support yang selalu

kalian berikan padaku

Teman-teman seperjuanganku yang

sedang berjuang menyelesaikan

(8)
(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS PENGGUNAAN SITUS JEJARING SOSIAL (SJS) DAN KECERDASAN EMOSI PADA REMAJA

Agnes Wijaya

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara intensitas penggunaan situs jejaring sosial dan kecerdasan emosi pada remaja. Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini, yaitu terdapat hubungan negatif antara intensitas penggunaan Situs Jejaring Sosial dan kecerdasan emosi pada remaja. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantatif dengan teknik analisis data spearman Rho untuk menguji korelasi kedua variabel. Responden penelitian adalah 221 remaja dengan rentang usia 13-18 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan (p < 0.05) antara intensitas penggunaan Situs Jejaring Sosial dan kecerdasan emosi pada remaja.

(10)

viii

Correlation of the Intensity of Sosial Networking Sites (SNS) Usage Used Intensity and Emotional Intelligence among Adolescents

Agnes Wijaya

Abstract

The purpose of this research is to determine the correlation between the intensity of Social Networking Sites usage and adolescence emotional intelligence. This research hypothesis is, there is a negative correlation between the intensity of Social Networking Sites usage and adolescence emotional intelligence. This research is quantitative research that using spearman rho as its analysis data technique. Respondents are 221 teenagers (13 to 18 years old). The result shows that there is significance (p < 0.05) negative correlation between the intensity of Social Networking Sites usage and adolescence emotional intelligence.

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

penyertaan-Nya selama penulisan, pelaksanaan, hingga terselesaikannya skripsi

ini. Pengerjaan skripsi ini juga tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai

pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, peneliti hendak mengucapkan terima

kasih kepada :

1. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta,

2. Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta,

3. Carolus Wijoyo Adinugroho M.Psi., selaku Dosen Pembimbing Skripsi

peneliti yang telah membimbing, serta memberi kritik dan saran selama proses

penulisan skripsi ini,

4. Prof. Dr. Augustinus Supratiknya selaku DPA peniliti saat ini, dan Yohanes

Heri Widodo M.Psi. selaku DPA peneliti terdahulu yang sedang studi S3, atas

segala bimbingan dan arahannya selama masa studi di Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma,

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

yang telah memberikan banyak pelajaran, pengetahuan, dan pengalaman hidup

selama masa studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

(13)

xi

6. Staf Sekretariat Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

yang telah membantu melancarkan proses pembelajaran selama masa studi di

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,

7. Kedua orang tua peneliti, Rendy Wijaya dan Rohana Teguh Djaya.

Terimakasih atas cinta, dukungan, doa, dan kesabaran yang sudah Papa dan

Mama berikan padaku,

8. Pihak SMP Kanisius Gayam, SMP Pangudi Luhur, SMA BOPKRI I, dan

SMA BOPKRI II, atas kerja samanya dalam pengumpulan dan pengambilan

data penelitian yang peneliti lakukan,

9. Agung Santoso, M. A dan Benedicta Herlina Widiastuti, S. Psi atas

saran-saran dan jawaban-jawabannya yang selalu memberikan pencerahan pada

peneliti.

10.Engger, S. Psi, atas waktu yang sudah diluangkan untuk menjawab setiap

pertanyaan peneliti,

11.Verni Emelia, S. Farm, teman kos yang telah terlebih dahulu menyandang

gelar sarjananya. Terimakasih atas malam-malam gila dan mabuk huruf dan

angkanya ketika membantuku coding,

12.Endah Febiana Gunawan, Yunika Ayu Agrippina, Benedikta Elsa Yuninda

Pasaribu, Nidia Gabriella, Tuti Mariana Damanik, dan Marius Angga atas

bantuannya di saat-saat peneliti hectic hendak mengambil data, selama

persiapan dan pengambilan data yang peneliti lakukan di sekolah-sekolah, dan

(14)

xii

13.Heribertus Septian Panji, teman seperjuangan dan seperjalanan, karena

ajakanmu aku mendapatkan kesempatan untuk melihat dan belajar tentang

kehidupan lebih luas lagi. Terimakasih juga atas bantuanmu dalam

menyelesaikan coding beberapa tumpukan skalaku. Ingat! Next Trip Toraja!

14.Felinsa Oktora Tanau, atas waktu yang kamu sediakan di sela-sela jadwalmu

yang padat untuk menjadi editor dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih juga

untuk semangat yang selalu kamu berikan pada Cicik!

15.Ciwik-ciwik, Angga, Bella, Bene, Bincik, Ela, Ghea, Martha, dan Rere atas

kehadiran kalian sebagai sahabat-sahabatku. Mengenal kalian, dukungan, dan

semangat dari kalian - tanpa itu semua, aku mungkin tidak akan setangguh ini

dalam hidupku, salah satunya ketika menyelesaikan skripsiku,

16.Para mitra-mitri Perpustakaan Paingan USD atas doa dan semangatnya selama

aku mengerjakan skripsi ini,

17.Pihak-pihak lain yang terkait selama proses penulisan dan pelaksanaan

penelitian yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu.

Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat

banyak kekurangan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang

membangun. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, 14 November 2015

Peneliti,

(15)

xiii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iii

HALAMAN MOTTO ……….. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. vi

ABSTRAK ……… vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………. ix

KATA PENGANTAR ………. x

DAFTAR ISI ……… xiii

DAFTAR SKEMA ………... xvii

DAFTAR TABEL ……… xviii

DAFTAR GRAFIK ……….. xix

DAFTAR LAMPIRAN ……… xx

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Rumusan Masalah ……….. 9

C. Tujuan Penelitian ……… 9

D. Manfaat Penelitian ……….. 9

(16)

xiv

2. Manfaat Praktis ………. 9

BAB II LANDASAN TEORI ……….. 11

A. Kecerdasan Emosi ……….. 11

1. Definisi Kecerdasan ……….. 11

2. Definisi Emosi ……….. 14

3. Definisi Kecerdasan Emosi ………... 15

4. Faktor-faktor Kecerdasan Emosi ……….. 18

5. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi ………... 18

6. Individu yang Cerdas secara Emosi ……….. 28

B. Situs Jejaring Sosial ……… 29

1. Definisi Media Sosial ……… 29

2. Definisi dan Karakteristik Situs Jejaring Sosial ……… 31

3. Fitur-fitur Situs Jejaring Sosial ……… 33

4. Keuntungan dan Risiko Penggunaan Situs Jejaring Sosial ….. 35

C. Intensitas Penggunaan Situs Jejaring Sosial ……….. 37

D. Remaja ……… 38

1. Definisi Remaja ……… 38

2. Aspek Perkembangan Remaja ……….. 41

3. Remaja dan Situs Jejaring Sosial ……….. 50

E. Kecerdasan Emosi dan Situs Jejaring Sosial ……….. 52

F. Dinamika Hubungan Intensitas Penggunaan SJS dan Kecerdasan Emosi Remaja ………. 55

(17)

xv

H. Hipotesis ………. 61

BAB III METODE PENELITIAN ……… 62

A. Jenis Penelitian ……….. 62

B. Indentifikasi Variabel Penelitian ……… 62

C. Definisi Operasional ………... 63

1. Intensitas Penggunaan SJS ………... 63

2. Kecerdasan Emosi ……….... 63

D. Responden Penelitian ………. 66

E. Prosedur Penelitian ………. 67

F. Metode Pengumpulan Data ……… 69

1. Teknik Pengumpulan Data ………... 69

2. Alat Pengumpulan Data ……… 70

G. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ………... 74

1. Validitas ……… 74

2. Seleksi Item ……….. 75

3. Reliabilitas ……… 77

H. Metode Analisis Data ………. 79

1. Uji Asumsi ……… 79

2. Uji Hipotesis ………. 80

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….. 82

A. Pelaksanaan Penelitian ……… 82

B. Deskripsi Responden Penelitian ………. 82

(18)

xvi

1. Uji Asumsi ……… 84

2. Uji Hipotesis ………. 86

3. Analisis Tambahan ………... 87

D. Pembahasan ……… 92

E. Keterbatasan Penelitian ……….. 97

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………... 98

A. Kesimpulan ………. 98

B. Saran ………... 98

1. Bagi Peneliti Selanjutnya ……….. 98

2. Bagi Remaja ……….. 99

3. Bagi Pendidik dan/atau Pendamping Remaja ………... 100

(19)

xvii

DAFTAR SKEMA

(20)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Skala Kecerdasan Emosi Sebelum Uji Coba …………. 72

Tabel 2. Skor Item Positif Skala Kecerdasan Emosi ………. 73

Tabel 3. Skor Item Negatif Skala Kecerdasan Emosi ……… 73

Tabel 4. Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosi Untuk Uji Coba ……….. 73

Tabel 5. Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosi yang Gugur ……… 76

Tabel 6. Distribusi Item Bentuk Final Skala Kecerdasan Emosi ………….. 77

Tabel 7. Deskripsi Jenis Kelamin Responden Penelitian ……….. 83

Tabel 8. Deskripsi Usia Responden Penelitian ……….. 83

Tabel 9. Uji Normalitas Variabel Penelitian ……….. 84

Tabel 10. Uji Korelasi Intensitas Penggunaan SJS dan Kecerdasan Emosi .. 87

Tabel 11. Deskripsi Data Skala Kecerdasan Emosi ………... 88

Tabel 12. Kategorisasi Skor Kecerdasan Emosi ……… 89

(21)

xix

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Q-Q Plot Data Kecerdasan Emosi ……….. 85

Grafik 2. Q-Q Plot Data Intensitas Penggunaan SJS ………. 85

Grafik 3. Distribusi Frekuensi Intensitas Penggunaan SJS …………... 90

(22)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Kecerdasan Emosi ………... 108

Lampiran 2. Lembar Aktivitas SJS Model Pertama ……….. 117

Lampiran 3. Lembar Aktivitas SJS Model Kedua ……… 118

Lampiran 4. Korelasi Item Total Skala Kecerdasan Emosi Final …………. 119

Lampiran 5. Uji Reliabilitas Alpha Cronbach Skala Kecerdasan Emosi

Final ………... 120

Lampiran 6. Uji Normalitas ………... 121

Lampiran 7. Uji Linearitas ………. 122

Lampiran 8. Analisis Deskripsi Data ………. 123

Lampiran 9. Uji Hipotesis ……….. 124

Lampiran 10. Scatterplot Intensitas Penggunaan SJS dan Kecerdasan

(23)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Selama beberapa ribu tahun, metode utama manusia dalam pembelajaran

dan komunikasi sosial adalah melalui interaksi atau komunikasi tatap muka

(Uhls et al., 2014). Mann (1980, dalam Baumeister & Leary, 1995) juga

menyatakan bahwa setiap orang dalam setiap masyarakat di bumi pasti

tergabung dalam kelompok kecil yang utama yang melibatkan interaksi tatap

muka, interaksi yang personal.

Namun, pada abad 21 ini, seiring dengan ketersediaan internet dan

telepon seluler di hampir seluruh penjuru dunia, media digital telah menjadi

faktor umum dalam pembelajaran informal. Banyaknya waktu yang

dihabiskan oleh anak-anak dan remaja dengan media digital mungkin akan

mengambil waktu komunikasi tatap muka dan beberapa aktivitas antara

individu (Giedd, 2012). Data pada Januari 2015 menunjukkan bahwa

pengguna telepon seluler di Indonesia telah melampaui jumlah total penduduk

Indonesia sendiri (Digital in, 2015). Selain itu, hasil sebuah penelitian

perusahaan konsultan manajemen dan layanan teknologi Accenture yang

melibatkan 3600 profesional di 30 negara, termasuk Indonesia menunjukkan

bahwa 80 persen responden melakukan multitasking terkait gawai atau gadget

(24)

Martin Niens, seorang digital specialist dari Arcade mengemukakan

bahwa banyaknya kepemilikan telepon seluler di Indonesia disebabkan karena

semakin meningkatnya kesadaran masyarakat di negara berkembang terhadap

akses informasi. Selain itu, telepon seluler juga telah menjadi sarana untuk

mengekspresikan diri di media sosial (Pengguna Smartphone, 2014). Hal ini

sesuai dengan hasil riset yang dilakukan oleh Google, bahwa meski penduduk

Indonesia memiliki perangkat lain, seperti laptop atau tablet, akses terhadap

dunia maya tetap dilakukan melalui perangkat dengan layar yang lebih kecil,

yaitu telepon seluler. Dari hasil riset Google, didapatkan bahwa kegiatan yang

paling sering dilakukan melalui telepon seluler adalah akses media sosial dan

googling (Ini Hasil, 2015).

Beberapa penelitian telah meneliti tentang pengaruh penggunaan

teknologi komunikasi terhadap aspek psikologi individu. Misalnya,

konsekuensi pertemanan melalui jejaring sosial terhadap harga diri sosial

(social self-esteem) dan well being individu (Valkenburg, Peter, & Schouten,

2006); keterbukaan diri online dan offline (Nguyen, Bin, & Campbell, 2012);

pengalaman sense of belonging dan keterbukaan diri secara online (Davis,

2012).

Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa teknologi komunikasi

berpengaruh terhadap kemampuan anak dalam membaca tanda-tanda emosi

yang bersifat nonverbal. Dalam eksperimen lapangan yang dilakukan Uhls et

al. (2014) ditemukan bahwa anak-anak yang menghabiskan waktu untuk

(25)

mampu membaca dengan tepat emosi ekspresi wajah dibandingkan dengan

anak-anak yang tidak mengikuti kegiatan kemah dan menghabiskan waktu

dengan media digital seperti biasanya.

Terkait penelitian tersebut, Amy Morin (2015), seorang psikoterapis

dalam artikelnya Are We Losing the Ability to Read Each Other’s Emotions?

mengemukan bahwa teknologi telah mengganggu kemampuan individu untuk

mendeteksi perasaan orang-orang di sekitarnya. Menurutnya, jika seseorang

terlalu banyak menghabiskan waktu dengan layar, hal tersebut dapat

mengganggu kemampuan seseorang dalam mengenali emosi. Mengenali

emosi merupakan salah satu dari aspek dalam kecerdasan emosi, yaitu

mempersepsi emosi (Salovey & Grewal, 2005). Terkait hal tersebut, Amy

Morin pun menyebutkan bahwa individu dapat meningkatkan kecerdasan

emosi yang dimilikinya dengan mengurangi penggunaan media digital dan

memperbanyak kontak tatap muka dengan orang-orang di sekitar kita. Dengan

kata lain, menghabiskan banyak waktu dengan layar telepon seluler atau

komputer dan berkurangnya waktu interaksi tatap muka dapat mempengaruhi

tingkat kecerdasan emosi seseorang.

Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk memonitor emosi diri dan

orang lain, membedakan emosi-emosi yang ada, dan menggunakan

informasi-informasi terkait emosi untuk mengarahkan tindakan dan pikiran diri sendiri

(Salovey dan Mayer, 1990 dalam Mayer dan Salovey, 1993). Berdasarkan

definisi tersebut, Salovey dan Mayer (dalam Salovey dan Grewal, 2005) pun

(26)

(2) menggunakan emosi; (3) memahami dan menganalisa emosi; (4)

mengontrol emosi. Keempat area tersebut disusun dari area dengan proses

psikologis yang lebih rendah menuju area dengan proses psikologis yang lebih

tinggi. Artinya, ketika keterampilan-keterampilan dalam satu area tumbuh,

misalnya dalam mempersepsi emosi; maka keterampilan-keterampilan dalam

area lain juga akan tumbuh, misalnya dalam menggunakan emosi.

Goleman (1995) mengemukakan bahwa banyak bukti memperlihatkan

bahwa orang yang cakap secara emosional – mengetahui dan menangani perasaan mereka dengan baik, dan mampu membaca dan menghadapi

perasaan orang lain dengan efektif – memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan, seperti dalam hubungan asmara dan intim, atau menangkap

aturan-aturan tak tertulis yang dapat menentukan keberhasilan keberhasilan dalam

organisasi politik. Individu yang keterampilan emosionalnya berkembang

dengan baik sangat mungkin untuk berbahagia dan berhasil dalam kehidupan,

individu tersebut juga dapat menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong

produktivitas. Sebaliknya, orang yang tidak dapat menghimpun kendali

tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang

mengganggu kemampuan mereka untuk fokus pada pekerjaan dan pikiran

yang jernih.

Dari jumlah pengguna telepon seluler yang ada di Indonesia, aktivitas

yang paling sering dilakukan melalui telepon seluler adalah mengakses media

sosial (Mobile Activities, 2015). Lebih khususnya, berdasarkan hasil

(27)

tanggal 4 – 5 Mei 2015, peneliti menemukan bahwa kegiatan yang dilakukan melalui ponsel yang paling banyak muncul adalah browsing Situs Jejaring

Sosial (SJS) (81,25 %). Berdasarkan data tersebut, maka dapat dikatakan

bahwa menggunakan media sosial, khususnya dalam penelitian ini SJS

merupakan aktivitas paling umum yang dilakukan anak-anak dan remaja saat

ini. Dengan demikian, tidak heran bila perkembangan emosi dan sosial

sebagian generasi saat ini tidak lepas dari kontribusi internet dan telepon

seluler (O’Keefee & Pearson, 2011).

Situs Jejaring Sosial (SJS) merupakan komunitas virtual yang

memungkinkan pengguna untuk membuat profil publik, berinteraksi dengan

teman-teman dunia nyata, dan berkenalan dengan orang baru yang memiliki

ketertarikan yang sama (Kuss & Griffiths, 2011). Contoh SJS, antara lain

Facebook, Path, Instagram, dsb.

Kandell (1998, dalam Spraggins, 2009) menyatakan bahwa remaja

merupakan kelompok yang paling rentan terhadap penggunaan internet yang

bermasalah atau berlebihan dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Hal

ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu karakteristik perkembangan dan

psikologis remaja, akses terhadap internet, dan ekspektasi terhadap remaja

untuk dapat menggunakan komputer atau akses internet. Hal ini sesuai dengan

data survei yang dilakukan Kementerian KOMINFO pada tahun 2014

terhadap 400 responden (anak dan remaja usia 10-19 tahun). Hasil survei

menunjukkan bahwa 79.5 persen dari responden adalah pengguna internet

(28)

fungsi komunikasi (Siaran Pers, 2014). Oleh karena itu, berbeda dengan penelitian Uhls et al. (2014) sebelumnya, dalam penelitian kali ini, peneliti

menspesifikkan subjek yang akan peneliti libatkan, yaitu remaja pengguna

SJS.

Berdasarkan uraian yang disampaikan Goleman (1995) dalam bukunya

Emotional Intelligence, dapat dilihat bahwa terdapat dua faktor yang

mempengaruhi tingkat kecerdasan emosi seseorang, yaitu internal dan

eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri

individu, yaitu aktivitas otak emosional (emotional brain) meliputi sistem

limbik, area neokorteks dan prefrontal, serta amygdala. Sebaliknya, faktor

eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu seperti

kebiasaan dan interaksi langsung dengan orang lain. Namun, peneliti belum

menemukan adanya peneliti atau ahli lain yang mengkaji kontribusi interaksi

dengan media sebagai faktor eksternal kecerdasan emosi, dalam penelitian ini

melalui media SJS.

Dalam penelitian ini, peneliti lebih spesifik memilih kegiatan yang

dilakukan dalam telepon seluler daripada telepon seluler itu sendiri, yaitu

aktivitas SJS. Hal ini peneliti putuskan berdasarkan adanya argumen yang

saling bertolakbelakang terkait kualitas interaksi yang dibangun dalam

interaksi lewat media (SJS) dan interaksi langsung (interaksi tatap muka)

(Briggle, 2008; Cocking & Matthews, 2001). Cocking & Matthews (2001)

mengemukakan bahwa interaksi virtual (SJS) tidak memiliki fitur-fitur

(29)

intonasi dalam berbicara, gesture tubuh, ekspresi wajah, dsb. Ketiadaan

fitur-fitur yang kompleks dalam interaksi melalui SJS tersebut membuat apa yang

didapat dalam interaksi tatap muka tidak didapatkan dalam interaksi melalui

SJS. Salah satunya adalah kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan

emosi dan keterampilan sosial penting lainnya melalui kompleksitas yang ada

dalam interaksi non-virtual (Giedd, 2012) sebagaimana yang diungkapkan

Amy Morin dalam artikelnya. Hal yang serupa juga disampaikan Uhls et al.

(2014) bahwa interaksi tatap muka dapat mengembangkan pemahaman akurat

terhadap tanda-tanda emosi (emotion cues) non-verbal.

Di sisi lain, Briggle (2008) mengemukakan bahwa adanya jarak dan

kecepatan yang lebih lambat pada relasi internet (SJS) dapat meningkatkan

kedekatan pertemanan dalam taraf yang setara atau lebih besar dibandingkan

dengan relasi offline (relasi tatap muka). Hal ini mungkin terjadi karena

indikator-indikator dalam relasi melalui media dapat lebih kaya dan lebih tepat

dibandingkan dengan indikator dalam relasi tatap muka. Relasi yang

terbangun melalui media online kebanyakan berdasarkan pada aktivitas

menulis dan membaca. Seiring dengan aktivitas menulis dan membaca, tingkat

introspeksi dan kesadaran diri seseorang juga meningkat. Berdasarkan teori

yang dikemukan oleh Mayer, Salovey, dan Caruso (2004) kesadaran diri juga

termasuk dalam aspek ketiga kecerdasan emosi, yaitu memahami emosi – kapasitas untuk menganalisa emosi dan memahami hasil (dampak) dari emosi.

(30)

dalam tingkat yang lebih rendah – interaksi melalui SJS mungkin dapat meningkatkan kecerdasan emosi individu.

Meski demikian, pada kenyataannya, salah satu isu tentang intensitas

penggunaan SJS yang sedang berkembang saat ini adalah intensitas

penggunaan dunia online diduga dapat menjadi pemicu depresi untuk

beberapa remaja (O’Keeffe & Pearson, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh

Moreno et al. (2011) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif

antara intensitas penggunaan facebook dengan depresi. Penelitian lain

mengungkapkan bahwa individu yang menghabiskan banyak waktu dalam

relasi online akan membuatnya merasa lebih tidak puas. Hal ini terjadi karena

relasi online kurang memiliki relasi antar pribadi – komunikasi langsung. Ketidakpuasan yang dirasakan individu ini dapat membuat individu

mengalami stress (Szwedo, Mikami, & Allen, 2012). Depresi atau dalam taraf

yang lebih ringan stress ini telah terbukti berhubungan dengan kecerdasan

emosi. Orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan lebih mudah

keluar dari situasi yang membuatnya depresi, juga lebih cepat bangkit dari

keterpurukan yang mereka alami. Kemampuan tersebut terdapat dalam area

keempat kecerdasan emosi (Goleman, 1995).

Berdasarkan penjabaran tersebut, peneliti melihat adanya kesesuaian

antara argumen Cocking dan Matthews dengan isu penggunaan SJS dan

depresi. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan

(31)

B. RUMUSAN MASALAH

Apakah terdapat hubungan antara intensitas penggunaan SJS dan

kecerdasan emosi?

C. TUJUAN PENELITIAN

Mengetahui ada tidaknya hubungan antara intensitas penggunaan SJS

dan Kecerdasan Emosi individu.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan kajian

Kecerdasan Emosi dalam ranah psikologi.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya literatur kajian

aspek atau atribut psikologis dalam ranah cyberpsychology.

2. Manfaat praktis

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi

remaja tentang keterkaitan antara intensitas penggunaan SJS dan

kecerdasan emosi.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi

orangtua dan/atau pendamping remaja, dan pendidik tentang

(32)

c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan bagi penelitian

selanjutnya untuk mengetahui hubungan lebih rinci antara intensitas

(33)

11 BAB II

LANDASAN TEORI

A. KECERDASAN EMOSI 1. Definisi Kecerdasan

Kecerdasan adalah kapasitas untuk belajar dari pengalaman dengan

menggunakan proses-proses metakognitif untuk meningkatkan

pembelajaran, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan

sekitar (Sternberg, 2008). Binet dan Simon (dalam Gregory, 2011)

mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan menilai, memahami, dan

berpikir logis dengan baik. Thorndike (dalam Gregory, 2011)

mendefinisikan kecerdasan sebagai kekuatan merespon dengan baik dari

sudut pandang kenyataan atau fakta. Weschler (dalam Gregory, 2011)

mendefinisikan kecerdasan sebagai kapasitas global dari individu untuk

bertindak secara sengaja, berpikir secara rasional, dan menghadapi

lingkungan secara efektif. Sementara, Piaget (dalam Gregory, 2011)

melihat kecerdasan sebagai istilah umum untuk mengindikasikan bentuk

superior dari organisasi atau keseimbangan struktur kognitif yang

digunakan untuk beradaptasi dengan lingkungan fisik dan sosial.

Selain itu, Spearman (dalam Gregory, 2011) menyatakan bahwa

inteligensi terdiri dari dua faktor, yaitu faktor umum (general factor, g)

(34)

peserta pada tes-tes atau subtes kemampuan inteligensi yang serupa

ditentukan oleh kedua faktor tersebut.

Spearman (dalam Gregory, 2011) sering menyebut g sebagai

“energi” atau “kekuatan” dari seluruh korteks. Sementara faktor spesifik

merupakan substrat psikologis yang berada dalam kelompok neuron.

Substrat psikologis tersebut berguna untuk melakukan operasi mental yang

dibutuhkan dalam mengerjakan tes atau subtes.

Menurut Spearman, beberapa jenis tes memang mengandung faktor

g, sementara tes-tes lainnya – khususnya tes yang mengukur kemampuan

sensoris, secara umum diwakili oleh faktor s. Dua tes yang mengandung

faktor g akan berkorelasi secara signifikan. Sebaliknya, tes-tes psikologis

yang tidak mengandung faktor g tidak akan berkorelasi secara signifikan

satu sama lain.

Tokoh lainnya, Howard Gardner (dalam Gregory, 2011) mengajukan

teori multiple intelligence yang didasarkan pada hubungan antara otak dan

perilaku. Ia mengatakan bahwa sebenarnya terdapat beberapa inteligensi

yang terpisah antara satu sama lainnya, meskipun ia mengaku bahwa sifat

dasar, batasan, dan jumlah pasti dari intenligensi belum dapat dibuktikan

kepastiannya.

Menurut Gardner (dalam Kuswana, 2011), terdapat delapan

(35)

1. Inteligensi linguistik, melibatkan kepekaan terhadap bahasa tulis dan

lisan, kemampuan belajar bahasa, kapasitas menggunakan bahasa

untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Inteligensi logika matematika, melibatkan kemampuan untuk

menganalisis masalah secara logis, melakukan operasi matematika, dan

menyelidiki masalah ilmiah.

3. Inteligensi spasial, potensi untuk mengenali pola ruang yang luas dan

pola yang lebih terbatas.

4. Inteligensi musikal, keterampilan dalam kinerja, dan mampu

mengkomposisikan atau mengapresiasi musik.

5. Inteligensi kinestetik, potensi untuk menggunakan seluruh atau

sebagian anggota tubuh untuk memecahkan masalah atau metode

produk tertentu

6. Inteligensi interpersonal, kapasistas seseorang untuk berniat

memahami motivasi dan keinginan orang lain dan akibatnya untuk

bekerja secara efektif dengan orang lain.

7. Inteligensi intrapersonal, melibatkan kemampuan untuk memahami

diri sendiri untuk memiliki model kerja yang efektif dari diri sendiri,

termasuk keinginan, ketakutan, dan kapasitas serta menggunakan

informasi tersebut dalam mengatur kehidupan sendiri.

8. Inteligensi naturalis, kapasitas inti untuk mengenali dan

(36)
[image:36.595.99.514.251.584.2]

spesies dan mengakui keberadaan yang lain, tetangga spesies, dan

grafik hubungan secara formal dan informal di antara beberapa spesies.

Berdasarkan beberapa definisi kecerdasan yang diungkapkan oleh

beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan adalah kemampuan

untuk beradaptasi dengan lingkungan secara efektif dan kemampuan untuk

belajar dari lingkungan.

2. Definisi Emosi

Goleman (1995) mengemukakan bahwa secara esensi, semua emosi

merupakan dorongan untuk bertindak – sebuah rencana instan untuk

menghadapi kehidupan yang telah ditanamkan oleh evolusi dalam diri

kita. Akar kata dari emosi dalam bahasa latin adalah motere yang berarti

“bergerak”, penambahan awalan e- mengkonotasi “bergerak menjauh”

menunjukkan bahwa kecenderungan bertindak secara implisit ada di

dalam setiap emosi. Masih terkait dengan mekanisme evolusi, Watson

(dalam Strongman, 2003) mengemukakan bahwa emosi adalah reaksi

berpola yang turun-temurun yang melibatkan perubahan yang sangat besar

pada mekanisme tubuh sebagai satu kesatuan, tetapi khususnya bagian

sistem organ dalam dan kelenjar.

Di sisi lain, Santrock (2007) mendefinisikan emosi sebagai perasaan

atau afek yang terjadi ketika seseorang berada pada saat atau interaksi

yang penting untuknya, terutama untuk well-beingnya. Emosi

(37)

ketidaksenangan yang dialami individu dalam suatu keadaan, atau dalam

suatu interaksi yang mereka alami. Emosi juga dapat lebih spesifik dan

terlihat dalam wujud kebahagiaan, ketakutan, kemarahan, dst. –

tergantung pada bagaimana interaksi yang ada mempengaruhi individu.

Misalnya, interaksi yang mengancam, interaksi yang membuat frustasi,

interaksi yang melegakan, sesuatu yang harus ditolak, sesuatu yang tak

terduga, dst. Sementara itu, Papalia (2007) mendefinisikan bahwa emosi

adalah reaksi subjektif terhadap pengalaman yang diasosiasikan dengan

perubahan fisik dan perilaku.

Berdasarkan beberapa teori tersebut, dapat disimpulkan definisi

emosi dalam penelitian ini. Emosi adalah reaksi subjektif terhadap

pengalaman dalam bentuk perasaan atau afek yang melibatkan perubahan

fisik dan perilaku atau yang mengarah pada kecenderungan bertindak.

3. Definisi Kecerdasan Emosi

Untuk dapat memahami konsep kecerdasan emosi, pertama-tama kita

perlu mengeksplorasi dua istilah terlebih dahulu, yaitu kecerdasan dan

emosi. Kedua hal tersebut telah peneliti jabarkan sebelumnya.

Mayer dan Salovey (dalam Salovey, Mayer, dan Caruso, 2004)

mengemukakan kecerdasan emosi sebagai konsep harus mengarah pada

heightened emotional atau kemampuan mental. Oleh karena itu, keduanya

mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk merasa

(38)

mengakses dan membangkitkan emosi agar membantu pikiran,

kemampuan untuk memahami emosi dan pengetahuan terkait emosi, dan

kemampuan meregulasi emosi untuk meningkatkan perkembangan emosi

dan intelektual. Definisi tersebut menggabungkan ide bahwa emosi dapat

membuat pikiran menjadi semakin cerdas dan seseorang yang berpikir

dengan cerdas tentang emosi. Kedua-duanya menghubungkan inteligensi

dan emosi. Namun, pada tahun 2008, Mayer, Roberts, dan Barsade

merumuskan sebuah definisi kecerdasan emosi yang lebih sederhana, yaitu

kemampuan bernalar tentang emosi secara akurat dan kemampuan untuk

menggunakan emosi dan pengetahuan emosi untuk meningkatkan pikiran.

Patton (1998) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan

menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun

hubungan produktif dan meraih keberhasilan. Sementara Goleman (2007)

melihat bahwa kecerdasan emosi meliputi beberapa kemampuan, seperti

kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi

frustasi, mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati dan menjaga

agar stressor tidak melumpuhkan kemampuan berpikir.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan definisi

kecerdasan emosi dalam penelitian ini. Kecerdasan emosi adalah

kemampuan untuk memahami, menggunakan dan meregulasi emosi secara

efektif untuk meningkatkan pikiran dan mencapai suatu tujuan.

Jika dibandingkan dengan teori kecerdasan dan emosi yang telah

(39)

dengan konsep emosi, konsep kecerdasan menurut beberapa ahli, terutama

konsep faktor umum dan faktor khusus dari Spearman. Menurut Salovey

dan Mayer (1993), kecerdasan emosi berbeda dengan kecerdasan umum

(g). Argumen tersebut tercipta karena tidak seperti kecerdasan umum,

kecerdasan emosi melibatkan manipulasi emosi dan isi emosional

(emotional content). Oleh karena itu, kecerdasan emosi memiliki validitas

diskriminan terhadap kecerdasan umum. Hal ini berarti kecerdasan emosi

memiliki kosntruk yang berbeda dari kecerdasan umum. Secara statistik,

validitas diskriminan tercapai ketika dua konstruk memiliki hubungan

yang positif, tetapi tidak signifikan atau memiliki hubungan yang negatif

dan signifikan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dua konstruk

yang diuji korelasi terbukti berbeda secara valid (Supratiknya, 2014).

Sebaliknya, Salovey (dalam Goleman, 1995) sepakat dengan konsep

kecerdasan majemuk yang dicetuskan oleh Gardner – bahwa kecerdasan

tidak hanya berkisar pada kecakapan linguistik dan matematika yang

sempit. Salovey percaya bahwa kecerdasan memiliki cakupan yang lebih

luas. Setelah itu, jalur penelitian menuntun para ahli kembali pada

pemahamana betapa pentingnya kecerdasan personal atau kecerdasan

emosional. Terkait hal tersebut, Salovey (dalam Goleman, 1995) pun

menempatkan kecerdasan personal (Gregory, 2011) dalam definisi dasar

(40)

4. Faktor-faktor Kecerdasan Emosi

Berdasarkan uraian yang disampaikan Goleman (1995) dalam

bukunya Emotional Intelligence, pada dasarnya, terdapat dua faktor yang

mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi seseorang, yaitu

1) Faktor internal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari

dalam diri individu, yaitu aktivitas otak emosional (emotional brain)

meliputi sistem limbik, area neokorteks dan prefrontal, serta amygdala.

Beberapa bagian otak yang penting untuk kehidupan emosional adalah

bagian yang paling lambat matang. Ketika area sensorik matang

selama masa kanak-kanak awal dan sistem limbik matang saat

pubertas, lobus frontal, tempat kontrol emosi, pemahaman, dan respon

artistik masih terus berkembang hingga usia 16 sampai dengan 18

tahun.

2) Faktor eksternal. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal

dari luar diri individu seperti kebiasaan dan interaksi langsung dengan

orang lain, termasuk di dalamnya pola asuh orangtua dan lingkungan

sosial individu. Anak terus belajar berbagai informasi tentang emosi

dari lingkungannya, yaitu orangtua hingga seiring bertambah usia dan

pergaulan anak (masuk ke sekolah, bertemu teman, dst).

5. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi

Berdasarkan definisi kecerdasan emosi yang dirumuskan oleh

(41)

2005), keduanya mencetuskan teori Four Branch Model on Emotional

Intelligence yang membagi kecerdasan emosi ke dalam empat area.

Keempat area tersebut disusun dari area dengan proses psikologis yang

lebih rendah menuju area dengan proses psikologis yang lebih tinggi.

Keempat area tersebut, sebagai berikut :

1. Mempersepsi emosi (perceiving emotion)

Kemampuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi emosi pada

wajah, gambar, suara, atau artifak (Salovey dan Grewal, 2005).

Kemampuan ini mulai dipelajari sejak masih bayi, dimulai dengan

mengidentifikasi keadaan emosi pada diri sendiri dan orang lain serta

belajar untuk membedakan emosi-emosi yang ada. Individu yang

matang secara emosi dapat dengan teliti memantau perasaan yang

terjadi di dalam dirinya (Mayer & Salovey, 1997). Lebih jauhnya,

individu menyadari mood yang sedang ia alami dan pikiran-pikirannya

terkait mood tersebut (Goleman, 1995). Anak yang berkembang

dengan sesuai akan mulai mampu untuk mengevaluasi di mana saja

emosi dapat diekspresikan, baik pada orang lain, arsitektur, maupun

hasil karya seni (Mayer & Salovey, 1997).

Selanjutnya, individu juga mampu untuk mengekspresikan

perasaan secara akurat serta mampu mengekspresikan kebutuhan yang

mengikuti perasaan yang ada. Hal ini terjadi karena individu yang

(42)

sehingga mereka menjadi sensitif terhadap kejanggalan atau ekspresi

yang manipulatif (Mayer & Salovey, 1997).

Goleman (1995) menyatakan bahwa mereka yang memiliki

kepastian tentang perasaan mereka – menyadari sepenuhnya perasaan

yang ada dalam diri mereka lebih baik dalam mengarahkan hidup

mereka, merasa lebih yakin tentang bagaimana perasaan mereka terkait

keputusan pribadi yang mereka ambil. Mempersepsi emosi adalah

representasi yang paling dasar dari kecerdasan emosi karena

mempersepsi emosilah yang memungkinkan terjadinya pemrosesan

informasi yang terkait emosi (Salovey & Grewal, 2005).

2. Menggunakan emosi (using emotion)

Kemampuan untuk memanfaatkan emosi untuk memfasilitasi

berbagai macam aktivitas kognitif, seperti berpikir dan penyelesaian

masalah (Salovey & Grewal, 2005). Emosi merupakan sebuah sistem

kewaspadaan sejak lahir. Artinya, emosi ini beroperasi sejak awal

untuk menandakan perubahan-perubahan penting, baik pada diri

individu maupun pada lingkungan. Seiring dengan kematangan

seseorang, emosi mulai membentuk dan meningkatkan pikiran dengan

mengarahkan perhatian individu pada perubahan-perubahan yang

penting. Contohnya, ketika seorang anak khawatir dengan pekerjaan

rumahnya, tetapi tetap menonton tv. Sementara seorang guru yang

(43)

menyelesaikan pekerjaannya sebelum perhatiannya teralihkan pada

hal-hal yang menyenangkan (Mayer & Salovey, 1997).

Selain itu, menggunakan emosi juga termasuk di dalamnya

menempatkan emosi yang ada di dalam diri seakan-akan kita adalah

orang lain, layaknya “teater pikiran”. Dengan demikian, emosi dapat

lebih mudah dipahami. “Teater pikiran” inilah yang dapat digunakan

untuk membangkitkan perasaan untuk membantu perencanaan (Mayer

& Salovey, 1997). Individu yang cerdas secara emosi tahu bagaimana

melibatkan atau memisahkan emosi dari pikiran (Mayer, Roberts, &

Barsade, 2008). Dengan demikian, individu dapat mengantisipasi

bagaimana perasaan mereka ketika mereka masuk ke sekolah baru,

mengambil pekerjaan baru, atau saat menghadapi kritik sosial. Dengan

mengantisipasi perasaan yang ada, individu dapat lebih mudah

memutuskan bilamana, misalnya ia akan mengambil suatu pekerjaan

atau tidak (Mayer & Salovey, 1997).

Terakhir, emosi juga dapat memfasilitasi pikiran dengan

membuat individu mempertimbangkan banyak perspektif (Mayer &

Salovey, 1997). Misalnya, ketika individu harus menyelesaikan tugas

yang sulit dan membosankan yang membutuhkan penalaran deduktif

dan perhatian terhadap detail dalam waktu yang singkat, manakah

yang lebih baik, mengerjakan tugas tersebut dengan mood senang atau

mood sedih? Berada dalam sedikit mood sedih akan membantu

(44)

mood senang dapat menstimulasi pikiran yang kreatif dan inovatif.

Dengan demikian, individu yang cerdas secara emosi dapat menguasai

seutuhnya perubahan mood-nya agar sesuai dengan tugas atau

pekerjaan yang mereka miliki (Salovey & Grewal, 2005).

3. Memahami dan menganalisa emosi

Kemampuan memahami dan menggunakan pengetahuan terkait

emosi, serta mengerti relasi di antara emosi yang kompleks.

Kemampuan ini meliputi kemampuan untuk sensitif dengan berbagai

macam emosi yang berbeda tipis, seperti merasa senang (happy) dan

sangat senang (ecstatic) (Salovey & Grewal, 2005).

Selain itu, aspek ini juga mencakup kemampuan untuk mengenali

dan mendeskripsikan bagaimana emosi berkembang seiring waktu,

seperti bagaimana terkejut dapat berubah menjadi duka (Salovey dan

Grewal, 2005). Kemampuan ini berkembang, segera setelah anak

mampu mengenali emosi, anak akan melabel dan memahami relasi di

antara label-label yang ada. Kemudian, anak mulai belajar persamaan

dan perbedaan antar emosi, seperti menyukai dan mencintai, kesal dan

marah, dst. Anak juga akan belajar secara otomatis makna relasi dari

setiap perasaan, seperti kesedihan dan kehilangan. Individu yang

tumbuh dan berkembang juga akan mulai mengenali adanya emosi

yang kompleks dan kontradiktif yang mungkin muncul pada situasi

(45)

untuk mempersepsi cinta dan benci terhadap orang yang sama (Mayer

& Salovey, 1997).

Pada tahap perkembangan ini, individu juga akan belajar tentang

campuran atau kombinasi emosi. Misalnya, takjub terkadang dilihat

sebagai kombinasi dari takut dan terkejut, harapan dianggap sebagai

kombinasi kepercayaan dan optimisme (Mayer & Salovey, 1997).

Selain itu, emosi cenderung terjadi dalam rangkaian yang

berpola, misalnya amarah yang semakin intens meningkat, lalu

diekspresikan, dan kemudian berubah menjadi rasa puas atau rasa

bersalah, tergantung pada situasi dan kondisinya. Penalaran terhadap

urutan emosi pun terjadi, misalnya individu yang merasa tidak dicintai

akan menolak perhatian dari orang lain karena ia merasa takut dengan

penolakan di masa mendatang. Penalaran tentang perkembangan emosi

dalam relasi interpersonal inilah yang merupakan pusat dari

kecerdasan emosi (Mayer dan Salovey, 1997).

4. Mengatur atau meregulasi emosi

Kemampuan ini adalah kemampuan dalam area yang paling

tinggi dalam kecerdasan emosi. Kemampuan ini terkait kemampuan

meregulasi emosi secara sadar, baik dalam diri sendiri ataupun dalam

orang lain untuk meningkatkan perkembangan emosi dan kecerdasan

individu. Reaksi emosi harus ditoleransi, bahkan diterima ketika

terjadi, terlepas dari apabila reaksi tersebut menyenangkan atau tidak.

(46)

belajar tentang suatu hal terkait perasaan mereka. Oleh karena itu, area

ini dimulai dengan kemampuan untuk terbuka terhadap perasaan

(Mayer & Salovey, 1997).

Dalam perkembangannya, anak akan belajar emosi-emosi yang

pantas dan tidak pantas untuk diekspresikan pada publik. Oleh karena

itu, anak belajar bahwa emosi dapat dipisahkan dari perilaku.

Misalnya, tetap tersenyum saat berhadapan di publik meski mungkin

individu sedang merasa sedih atau marah, atau menyendiri terlebih

dahulu atau masuk ke dalam kamar jika sedang merasa marah. Sebagai

konsekuensi, anak pun belajar untuk mengikuti atau tidak mengikuti

emosi pada waktu-waktu yang tepat. Merasa marah pada seseorang

atau karena ketidakadilan dapat berguna bagi penalaran terkait situasi

yang ada, tetapi akan lebih berkurang daya gunanya ketika rasa marah

mencapai titik klimaks. Individu yang matang secara emosi akan tahu

bahwa ia harus menahan dirinya dan mendiskusikan permasalahan

yang ada dengan orang kepercayaan yang lebih tenang (cool-headed).

Selanjutnya, insight-insight emosi dan energi yang didapatkan dari

pengalaman tersebut dapat digunakan untuk proses penalaran, yaitu

untuk memotivasi dan memfasilitasi, misalnya memicu kemarahan

seseorang untuk melawan ketidakadilan (Mayer & Salovey, 1997).

Dengan demikian, individu yang cerdas secara emosi mampu

memanfaatkan emosi, termasuk yang negatif, dan mengelolanya untuk

(47)

Seiring dengan kematangan individu, akan muncul juga

meta-experience mood dan emosi. Meta-experience (Mayer & Salovey,

1997) ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

a) Meta-evalution, yaitu seberapa besar perhatian individu terhadap

moodnya, dan seberapa jelas, tipikal, dapat diterima, dan

pengaruhnya mood individu tersebut.

b) Meta-regulation, yaitu ketika individu mencoba untuk

memperbaiki mood yang buruk, meredakan mood yang baik, atau

meninggalkan moodnya.

Meta-experience ini berkaitan dengan fenomena-fenomena penting,

seperti seberapa lama seseorang tinggal dalam

pengalaman-pengalaman traumatis (Mayer & Salovey, 1997). Individu yang sedang

dalam mood sedih akan lebih mudah berpikir tentang hal-hal yang

semakin meningkatkan intensitas mood sedih yang ia rasakan. Hal

yang sama juga terjadi pada individu yang depresi, pikiran-pikiran

terkait mood sedih akhirnya membuat indivdu kesulitan untuk

menekan mood sedih (Goleman, 1995).

Salah satu cara untuk dapat membuat emosi menjadi lebih positif

adalah dengan melakukan reframing cognitive. Reframing cognitive

terjadi ketika individu mulai memunculkan pikiran-pikiran lain yang

kontradiktif atau berpikir dengan melihat alternatif lain terkait situasi

yang sedang dialaminya (Goleman, 1995). Misalnya, ketika remaja

(48)

mungkin berpikir bahwa “setelah ini, aku akan terus sendiri.” Namun,

ketika remaja mencoba melihat kejadian tersebut dengan cara berpikir

yang berbeda, seperti hubungannya selama ini jarang membuatnya

bahagia, ia lebih sering bertengkar daripada akur dengan pasangannya

akan membuat mood sedih berkurang. Dengan kata lain, melihat

kehilangan secara berbeda, yaitu dengan sudut pandang yang lebih

positif merupakan penawar rasa sedih. Dengan demikian,

meta-experience ini juga memungkinkan individu memahami emosi tanpa

harus membesar-besarkan atau mengecilkan kepentingan emosi

(49)

Skema 1

Kemampuan-kemampuan dalam area-area kecerdasan emosi

Kecerdasan Emosi Mengatur dan Meregulasi Emosi Kemampuan untuk terbuka terhadap perasaan, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Kemampuan untuk terlibat atau tidak

melibatkan diri dalam emosi berdasarkan penilaian informasi atau kegunaannya Memonitor secara reflektif emosi dalam relasi dengan diri sendiri dan orang

lain.

Kemampuan mengatur emosi dalam diri & orang

lain dengan menjembatani emosi negatif & meningkatkan

emosi yang menyenangkan, tanpa menekan atau melebih-lebihkan informasi yang

dikandungnya.

Memahami dan Menganalisa

Emosi

Melabel emosi dan mengenali relasi

antara kata dan emosi , sep-erti hubingan antara menyukai dan mencintai. Menginterpretasi makna bahwa emosi berubah tergantung relasi, seperti kesedihan sering muncul bersamaan dengan kehilangan. Mengerti perasaan yang kompleks, misalnya perasaa

cinta dan benci yang muncul

bersamaan.

Mengenali transisi di antara emosi, seperti perubahan

marah menuju puas atau marah menuju rasa malu.

Menggunakan Emosi Emosi menentukan prioritas pikiran dan mengarahkan perhatian pada informasi yang penting. Digunakan sebagai bantuan untuk menilai dan sebagai ingatan terkait perasaan.

Mood swing dapat mengubah perspektif individu, mendorong adanya pertimbangan dari beberapa sudur pandang. Menguasai perubahan-perubahan mood yang terjadi dalam diri. Mempersepsi Emosi Mengidentifikasi emosi pada keadaan fisik, perasaan dan pikiran diri sendiri. Mengidentifikasi emosi pada orang lain, desain, karya seni

lewat bahasa, suara, penampilan dan perilaku. Mengekspresikan emosi secara akurat dan kebutuhan yang berkaitan dengan perasaan. Membedakan akurat atau tidak

akurat atau jujur atau tidak jujur

(50)

6. Individu yang Cerdas secara Emosi

Berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi (Mayer, Salovey, &

Caruso, 2004), maka individu yang memiliki kecerdasan emosi yang

tinggi adalah individu yang dapat mempersepsi emosi, menggunakan

emosi dalam pikiran, memahami makna emosi, dan meregulasi emosi

lebih baik daripada orang lain. Mereka lebih mahir dalam mendeskripsikan

atau menjelaskan tujuan, target, dan misi dalam hidup mereka (Mayer et

al., 2004). Dalam menyelesaikan masalah, individu dengan kecerdasan

emosi tinggi tidak membutuhkan upaya kognitif yang besar. Mereka juga

cenderung memiliki keterampilan sosial dan kemampuan verbal yang lebih

tinggi, terutama jika individu memiliki skor yang tinggi dalam area

memahami emosi. Selain itu, mereka yang memiliki kecerdasan emosi

yang tinggi juga cenderung lebih terbuka, ramah dan kooperatif

(aggreable).

Selain itu, jika dibandingkan dengan yang lainnya, individu dengan

kecerdasan emosi yang tinggi lebih jarang terlibat dalam perilaku

bermasalah dan menghindari perilaku merusak diri, seperti merokok,

minum minuman keras berlebihan, pemakaian obat-obat terlarang, atau

terlibat melakukan kekerasan dengan orang lain. Individu yang memiliki

kecerdasan emosi yang tinggi juga memiliki kelekatan yang sentimentil

terhadap keluarga (home) dan memiliki interaksi sosial yang lebih positif

dengan orang-orang di sekitarnya, terutama jika individu memiliki skor

(51)

B. SITUS JEJARING SOSIAL 1. Definisi Media Sosial

Pertama-tama, penting untuk diketahui terlebih dahulu bahwa Situs

Jejaring Sosial (SJS) merupakan salah satu bentuk dari Media Sosial.

Media Sosial merupakan sekumpulan media online jenis baru yang

memiliki semua atau beberapa karakteristik (Mayfield, 2008), sebagai

berikut :

a) Partisipasi. Media sosial memungkinkan semua orang yang tertarik di

dalamnya memberi kontribusi dan tanggapan. Dengan kata lain, media

sosial mengaburkan garis antara pengguna dan media itu sendiri.

b) Keterbukaan. Kebanyakan layanan media sosial terbuka terhadap

tanggapan dan partisipasi. Mereka mendorong penggunanya untuk

memberi suara, berkomentar, dan berbagi informasi. Mereka juga

sangat jarang menggunakan batasan untuk akses dan penggunaan isi di

dalam media sosial.

c) Percakapan. Ketika media tradisional berkutat dengan broadcast

(content yang didistribusikan kepada pengguna), media sosial lebih

dilihat sebagai percakapan dua arah.

d) Komunitas. Media sosial memungkinkan terbentuknya komunitas

dengan cepat dan berkomunikasi secara efektif. Komunitas-komunitas

dapat berbagi ketertarikan yang sama, seperti kecintaan dengan

(52)

e) Keterhubungan. Kebanyakan jenis media sosial berkembang pesat

dalam keterhubungan mereka. Artinya, media sosial memungkinkan

pengguna untuk menggunakan hubungan atau tautan dengan situs lain,

sumber, atau orang lain.

Saat ini, pada dasarnya terdapat tujuh jenis media sosial (Mayfield,

2008), yaitu :

a) Jejaring Sosial atau dalam penelitian ini disebut Situs Jejaring Sosial

(SJS). Situs jenis ini memungkinkan orang-orang untuk membuat

halaman web pribadi dan kemudian berhubungan dengan teman untuk

berbagi content dan komunitkasi. Salah satu SJS terbesar adalah

Facebook.

b) Wikis. Situs ini memungkinkan orang-orang untuk menambah content

atau menyunting informasi yang ada di dalamnya, berperan sebagai

dokumen atau database umum. Wiki yang paling terkenal adalah

Wikipedia, sebuah ensikopedi online yang memiliki lebih dari dua juta

artikel berbahasa inggris.

c) Blogs. Situs jenis ini mungkin adalah jenis yang paling diketahui oleh

semua orang. Blog adalah jurnal online dengan catatan yang

ditampilkan merupakan yang paling sering diakses.

d) Podcasts. Situs berlangganan dokumen audio dan video melalui

(53)

e) Forum. Area untuk diskusi online, sering kali seputar topik atau

ketertarikan tertentu. Forum sudah ada sebelum istilah media sosial

ada dan merupakan elemen yang sangat kuat dalam komunitas online.

f) Content Communities. Komunitas yang terorganisasi dan berbagi

content tertentu. Content communities yang paling popular untuk

berbagi foto, yaitu Flickr dan berbagi video, yaitu Youtube.

g) Microblogging. Jaringan sosial yang dikombinasikan dengan bite-sized

blogging, yaitu content dalam jumlah yang kecil dapat didistribusikan

secara online lewat jaringan telpon seluler. Pemimpin dalam jenis

jaringan sosial ini adalah Plurk.

Dalam penelitian ini, jenis media sosial yang peneliti gunakan

adalah SJS. Hal ini peneliti putuskan berdasarkan hasil wawancara

yang peneliti lakukan terhadap 16 informan pada tanggal 4-5 Mei

2015, yaitu sebesar 81,25% responden mengakses SJS dibandingkan

kegiatan lain, seperti online shopping (12,5%) , main games (18,75%),

chatting (18,75%), dan membaca komik (6,25%) melalui gadget yang

mereka miliki.

2. Definisi dan Karakteristik Situs Jejaring Sosial

Situs Jejaring Sosial (SJS) adalah komunitas virtual yang

memungkinkan pengguna untuk membuat profil publik, berinteraksi

dengan teman-teman dunia nyata, dan berkenalan dengan orang lain yang

(54)

Ellison dan Boyd (2007), SJS merupakan layanan berbasis web yang

memungkinkan individu untuk (1) menciptakan profil publik atau

semipublik dalam sistem yang terbatas; (2) menunjukkan pengguna lain

yang berhubungan dengan dirinya di dalam sistem; (3) melihat dan

memperluas hubungan dengan pengguna lain di dalam sistem. Dengan

demikian, SJS memiliki tiga karakteristik utama, yaitu profil, teman, dan

daftar teman lintas pengguna (Ahn, 2011).

SJS merupakan bagian dari serangkaian aplikasi Web yang

menggunakan prinsip “Web 2.0”. Situs yang menerapkan prinsip Web 2.0

ini didesain untuk (1) bergantung pada partisipasi kelompok pengguna

yang besar daripada kontrol terpusat dari penyedia content; (2)

mengumpulkan dan menggabungkan content dari berbagai sumber; (3)

lebih menghubungkan antara pengguna dan content secara bersama-sama

(O’Reilly, 2007).

Kebanyakan dari SJS berfungsi untuk mempertahankan relasi yang

sudah ada sebelumnya dalam dunia nyata (Choi, 2006 dalam Boyd &

Ellison, 2008). Namun, di sisi lain SJS juga dapat membantu orang-orang

yang tidak saling kenal menjadi saling terhubung atas dasar memiliki

ketertarikan, pandangan politik, atau aktivitas yang sama (Boyd & Ellison,

(55)

3. Fitur-fitur Situs Jejaring Sosial

Dalam artikelnya, Boyd & Ellison (2008) menjabarkan variasi SJS,

seperti akses untuk melihat profil, sebutan untuk pengguna, dan

fasilitas-fasilias yang ditawarkan. Setelah bergabung dalam sebuah SJS, individu

akan diminta untuk mengisi halaman dengan serangkaian pertanyaan.

Melalui tahap inilah, profil online seseorang akan tercipta. Biasanya profil

terdiri dari informasi usia, tempat tinggal, ketertarikan, dan kolom

“deskripsi diri”. Kebanyakan SJS juga memfasilitasi penggunanya untuk

mengunggah foto profil. Beberapa situs bahkan memungkinkan

penggunanya untuk meningkatkan profil mereka dengan menambahkan

konten media-media atau memodifikasi tampilan profil mereka.

Akses untuk melihat profil juga bervariasi untuk setiap SJS dan

bergantung pada kebijakan pengguna. Misalnya, profil Friendster dan

Tribe.net dapat dijangkau dengan mesin pencari (search engine) sehingga

dapat diakses oleh siapa saja. Lain halnya dengan LinkedIn, SJS satu ini

mengontrol apa yang dapat dilihat oleh pengguna tergantung bilamana

pengguna sudah membayar akunnya atau belum. Situs lainnya, seperti

MySpace memfasilitasi penggunanya untuk memilih bilamana mereka

ingin profilnya dilihat oleh publik atau “hanya teman”. Berbeda dengan

Facebook, dalam pengaturan awal, profil pengguna dapat dilihat oleh siapa

saja, kecuali pengguna tersebut memblokir orang-orang tertentu untuk

(56)

Selanjutnya, SJS juga memfasilitasi pengguna untuk

mengidentifikasi pengguna-pengguna lain yang memiliki hubungan

dengannya di dalam sistem. Istilah yang digunakan untuk menyebut

hubungan ini berbeda-beda untuk setiap situs, istilah populer yang

biasanya digunakan adalah “Teman”, “Kontak”, atau “Fans.” Kebanyakan

SJS membutuhkan persetujuan antar pengguna untuk “berteman”, tetapi

ada juga yang tidak. Biasanya, istilah “Fans” atau “Pengikut” merupakan

label yang digunakan untuk SJS yang bersifat satu arah atau tidak

membutuhkan persetujuan antar pengguna untuk “berteman.”

Hampir semua SJS juga menyediakan sebuah mekanisme agar

pengguna dapat meninggalkan pesan di profil teman mereka. Fitur ini

biasanya disebut “komentar”, tetapi beberapa SJS lain memiliki istilah

yang berbeda untuk fitur ini. Selain itu, beberapa SJS juga memfasilitasi

penggunanya untuk meninggalkan pesan pribadi untuk pengguna lain,

layaknya e-mail.

Selain profil, teman, komentar, dan pesan pribadi, SJS sebenarnya

memiliki beragam fitur dan user base. Beberapa SJS memiliki kapasitas

untuk mengunggah dan berbagi foto atau video, sementara yang lainnya

lagi memiliki built-in blogging dan teknologi pesan singkat. Ada beberapa

SJS yang didukung penuh penggunaannya dengan menggunakan telepon

genggam, tetapi ada juga SJS yang hanya memiliki akses terbatas ketika

(57)

4. Keuntungan dan Risiko Penggunaan Situs Jejaring Sosial

Dalam penggunaan SJS, terdapat beberapa keuntungan yang bisa

didapatkan oleh remaja (O’Keefee & Pearson, 2011), yaitu :

a) Tetap terhubung dengan teman dan keluarga, membuat pertemanan

baru, berbagi gambar dan bertukar ide.

b) Kesempatan untuk terikat dengan komunitas dengan menghasilkan

uang untuk acara amal atau menjadi volunteer dalam acara lokal.

c) Perluasan koneksi online dan bahkan beralih ke offline melalui

ketertarikan yang sama yang melibatkan orang lain dari latar belakang

yang lebih beragam.

d) Membantu perkembangan identitas dan keterampillan sosial remaja.

e) Meningkatkan atau mempermudah kesempatan belajar. Misalnya,

siswa SMP dan SMA terhubung satu sama lain melalui SJS untuk

pengerjaan tugas atau proyek.

f) Kemudahan untuk mengakses atau mendapatkan informasi kesehatan.

Meski demikian, jika digunakan secara tidak tepat, penggunaan SJS

juga memiliki beberapa risiko untuk remaja, antara lain

a) Cyberbullying dan Kekerasan Online

Cyberbullying adalah tindakan menggunakan media digital untuk

menyampaikan fitnah, mempermalukan, atau menyampaikan pesan

yang kasar pada orang lain. Cyberbullying adalah risiko online yang

paling umum untuk kalangan remaja dan memiliki dampak untuk

(58)

Namun, kekerasan online lebih jarang terjadi dibandingkan

cyberbullying. Selain itu, kekerasan online juga tidak sering terjadi

pada kalangan anak-anak dan remaja (O’Keefee & Pearson, 2011).

b) Kecanduan SJS

Pada umumnya, SJS digunakan untuk fungsi atau tujuan sosial,

kebanyakan untuk mempertahankan relasi offline (Kuss & Griffiths

dalam Griffiths, Kuss, Demetrovic, 2014). Namun, bukti-bukti yang

ada menunjukkan bahwa individu mungkin merasa dipaksa untuk

mempertahankan jaringan sosial online mereka dalam suatu cara dalam

beberapa situasi mengarah pada penggunaan SJS yang berlebihan

(Griffiths, Kuss, Demetrovic, 2014).

Banyak karyawan-karyawan perkantoran telah mengklaim bahwa

kecanduan SJS sudah saatnya menjadi perhatian, terutama di antara

kalangan anak muda atau remaja. Misalnya, dalam sebuah survei

terhadap 120 manajer dan praktisi muda, didapatkan hasil bahwa

partisipan memiliki ketakukan bahwa aktivitas SNS menggantikan

aktivitas lainnya dan interaksi sosial tatap muka (Davies & Cranston

dalam Griffiths, Kuss, Demetrovic, 2014).

c) Depresi

Intensitas penggunaan dunia online diduga dapat menjadi pemicu

depresi untuk beberapa remaja (O’Keeffe & Pearson, 2011). Penelitian

yang dilakukan oleh Moreno et al. (2011) menunjukkan bahwa

(59)

dengan depresi. Dengan kata lain, individu yang sering mengakses

facebook juga sering menunjukkan update-update yang terkait depresi.

Penelitian lain mengungkapkan bahwa individu yang menghabiskan

banyak waktu dalam relasi online akan membuatnya merasa lebih tidak

puas. Hal ini terjadi karena relasi online kurang memiliki relasi antar

pribadi – komunikasi langsung. Ketidakpuasan yang dirasakan

individu ini dapat membuat individu mengalami stress (Szwedo,

Mikami, & Allen, 2012).

C. INTENSITAS PENGGUNAAN SITUS JEJARING SOSIAL

Intensitas adalah nilai kuantitatif dari stimulus atau sensasi.

Kekuatan dari perilaku, seperti impuls atau emosi. Kekuatan dari

performansi individu dalam beberapa aktivitas atau bidang dengan satu

atau lebih referensi atribut, yaitu gairah, komitmen, upaya, asertif, dan

fokus (VandenBos et al., 2007). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(2011), intensitas adalah keadaan tingkatan atau ukuran intensnya. Masih

dari sumber yang sama, intens adalah kekuatan atau efek yang sangat kuat

atau hebat. Dengan demikian, secara lebih menyeluruh intensitas adalah

keadaan tingkatan atau ukuran kekuatan atau efek. Sementara itu,

Wulandari (2000) mengemukakan bahwa kata intensitas merujuk pada

waktu yang dihabiskan dalam melakukan aktivitas tertentu (durasi) dan

jumlah ulangan melakukan aktivitas tertentu dalam jangka waktu tertentu

(60)

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011), kata

penggunaan berasal dari kata dasar “guna”, yaitu faedah, manfaat, atau

fungsi. Sementara kata penggunaan sendiri berarti proses, cara, perbuatan

menggunakan sesuatu, pemakaian.

Berdasarkan uraian tersebut, maka intensitas penggunaan SJS yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah keadaan tingkatan atau ukuran

kekuatan atau efek dalam menggunakan SJS. Keadaan tingkatan dapat

dilihat dari waktu yang dihabiskan untuk mengakses dan menggunakan

SJS (durasi) dan jumlah ulangan yang dilakukan dalam mengakses dan

menggunakan SJS (frekuensi) dalam waktu satu hari.

Di Indonesia sendiri, berdasarkan survei yang dilakukan sebuah

social media agency pada tahun 2015, rata-rata waktu yang digunakan

Gambar

Grafik 1. Q-Q Plot Data Kecerdasan Emosi ……………………………….. 85
grafik hubungan secara formal dan informal di antara beberapa spesies.
gambar atau
Tabel 1 Blue print skala Kecerdasan Emosi sebelum uji coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang terkait penerapan transparansi perpajakan berupa pertukaran informasi keuangan adalah kurangnya sumber daya manusia pada

Sebelum memberikan rekomendasi, apoteker berdiskusi dengan anggota tim secara aktif untuk saling mengklarifikasi, mengkonfirmasi, dan melengkapi informasi penggunaan

Dari pengujian yang dilakukan dengan menggunakan analisis regresi data panel ketiga variabel bebas yaitu pertumbuhan ekonomi, upah minimum dan

The next debugging technique—the use of echo or print commands in the code—is also very simple, but it is used frequently to gather specific variable values from a running

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka pada penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan membaca kritis baik sebelum dan

Informasi yang ditampilkan dalam sistem informasi akademik UNESA harus terbaru, adanya panduan untuk menggunakan sistem, menetapkan kuota kelas agar tidak

Rental Mobil RAKA RENT bergerak dibidang usaha penyewaan kendaraan mobil yang membutuhkan pengolahan data yang cepat dan akurat, agar dapat menyajikan informasi mengenai

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecernaan fermentatif bahan kering (KCFBK) dan bahan organik (KCFBO) serta hasil fermentasi ransum yang mengandung jerami padi