DAN KECERDASAN EMOSI PADA REMAJA
Agnes Wijaya
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara intensitas penggunaan situs jejaring sosial dan kecerdasan emosi pada remaja. Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini, yaitu terdapat hubungan negatif antara intensitas penggunaan Situs Jejaring Sosial dan kecerdasan emosi pada remaja. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantatif dengan teknik analisis data spearman Rho untuk menguji korelasi kedua variabel. Responden penelitian adalah 221 remaja dengan rentang usia 13-18 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan (p < 0.05) antara intensitas penggunaan Situs Jejaring Sosial dan kecerdasan emosi pada remaja.
Emotional Intelligence among Adolescents
Agnes Wijaya
Abstract
The purpose of this research is to determine the correlation between the intensity of Social Networking Sites usage and adolescenceemotional intelligence. This research hypothesis is, there is a negative correlation between the intensity of Social Networking Sites usage and adolescence emotional intelligence. This research is quantitative research that using spearman rho as its analysis data technique. Respondents are 221 teenagers(13 to 18 years old). The result shows that there is significance (p < 0.05) negative correlation between the intensity of Social Networking Sites usage and adolescence emotional intelligence.
HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS PENGGUNAAN SITUS JEJARING SOSIAL (SJS) DAN KECERDASAN EMOSI PADA REMAJA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh : Agnes Wijaya
119114049
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN MOTTO
Dalam mengerjakan sesuatu, bukan hanya tentang kerja keras,
satu hal yang tak kalah penting adalah kesabaran menjalani proses.
Ketakutan adalah kesempatan kita untuk menjadi lebih baik dan berkembang.
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini untuk :
Papa dan Mama yang selalu mendukung
dan mau menunggu dengan sabar
hingga karya ini selesai kubuat.
Adikku, selamat menapaki dunia baru
dunia perkuliahan, Dut!
Ciwik-ciwik atas segala semangat
dan support yang selalu
kalian berikan padaku
Teman-teman seperjuanganku yang
sedang berjuang menyelesaikan
vii
HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS PENGGUNAAN SITUS JEJARING SOSIAL (SJS) DAN KECERDASAN EMOSI PADA REMAJA
Agnes Wijaya
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara intensitas penggunaan situs jejaring sosial dan kecerdasan emosi pada remaja. Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini, yaitu terdapat hubungan negatif antara intensitas penggunaan Situs Jejaring Sosial dan kecerdasan emosi pada remaja. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantatif dengan teknik analisis data spearman Rho untuk menguji korelasi kedua variabel. Responden penelitian adalah 221 remaja dengan rentang usia 13-18 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan (p < 0.05) antara intensitas penggunaan Situs Jejaring Sosial dan kecerdasan emosi pada remaja.
viii
Correlation of the Intensity of Sosial Networking Sites (SNS) Usage Used Intensity and Emotional Intelligence among Adolescents
Agnes Wijaya
Abstract
The purpose of this research is to determine the correlation between the intensity of Social Networking Sites usage and adolescence emotional intelligence. This research hypothesis is, there is a negative correlation between the intensity of Social Networking Sites usage and adolescence emotional intelligence. This research is quantitative research that using spearman rho as its analysis data technique. Respondents are 221 teenagers (13 to 18 years old). The result shows that there is significance (p < 0.05) negative correlation between the intensity of Social Networking Sites usage and adolescence emotional intelligence.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
penyertaan-Nya selama penulisan, pelaksanaan, hingga terselesaikannya skripsi
ini. Pengerjaan skripsi ini juga tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, peneliti hendak mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta,
2. Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta,
3. Carolus Wijoyo Adinugroho M.Psi., selaku Dosen Pembimbing Skripsi
peneliti yang telah membimbing, serta memberi kritik dan saran selama proses
penulisan skripsi ini,
4. Prof. Dr. Augustinus Supratiknya selaku DPA peniliti saat ini, dan Yohanes
Heri Widodo M.Psi. selaku DPA peneliti terdahulu yang sedang studi S3, atas
segala bimbingan dan arahannya selama masa studi di Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma,
5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
yang telah memberikan banyak pelajaran, pengetahuan, dan pengalaman hidup
selama masa studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
xi
6. Staf Sekretariat Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
yang telah membantu melancarkan proses pembelajaran selama masa studi di
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,
7. Kedua orang tua peneliti, Rendy Wijaya dan Rohana Teguh Djaya.
Terimakasih atas cinta, dukungan, doa, dan kesabaran yang sudah Papa dan
Mama berikan padaku,
8. Pihak SMP Kanisius Gayam, SMP Pangudi Luhur, SMA BOPKRI I, dan
SMA BOPKRI II, atas kerja samanya dalam pengumpulan dan pengambilan
data penelitian yang peneliti lakukan,
9. Agung Santoso, M. A dan Benedicta Herlina Widiastuti, S. Psi atas
saran-saran dan jawaban-jawabannya yang selalu memberikan pencerahan pada
peneliti.
10.Engger, S. Psi, atas waktu yang sudah diluangkan untuk menjawab setiap
pertanyaan peneliti,
11.Verni Emelia, S. Farm, teman kos yang telah terlebih dahulu menyandang
gelar sarjananya. Terimakasih atas malam-malam gila dan mabuk huruf dan
angkanya ketika membantuku coding,
12.Endah Febiana Gunawan, Yunika Ayu Agrippina, Benedikta Elsa Yuninda
Pasaribu, Nidia Gabriella, Tuti Mariana Damanik, dan Marius Angga atas
bantuannya di saat-saat peneliti hectic hendak mengambil data, selama
persiapan dan pengambilan data yang peneliti lakukan di sekolah-sekolah, dan
xii
13.Heribertus Septian Panji, teman seperjuangan dan seperjalanan, karena
ajakanmu aku mendapatkan kesempatan untuk melihat dan belajar tentang
kehidupan lebih luas lagi. Terimakasih juga atas bantuanmu dalam
menyelesaikan coding beberapa tumpukan skalaku. Ingat! Next Trip Toraja!
14.Felinsa Oktora Tanau, atas waktu yang kamu sediakan di sela-sela jadwalmu
yang padat untuk menjadi editor dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih juga
untuk semangat yang selalu kamu berikan pada Cicik!
15.Ciwik-ciwik, Angga, Bella, Bene, Bincik, Ela, Ghea, Martha, dan Rere atas
kehadiran kalian sebagai sahabat-sahabatku. Mengenal kalian, dukungan, dan
semangat dari kalian - tanpa itu semua, aku mungkin tidak akan setangguh ini
dalam hidupku, salah satunya ketika menyelesaikan skripsiku,
16.Para mitra-mitri Perpustakaan Paingan USD atas doa dan semangatnya selama
aku mengerjakan skripsi ini,
17.Pihak-pihak lain yang terkait selama proses penulisan dan pelaksanaan
penelitian yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu.
Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Yogyakarta, 14 November 2015
Peneliti,
xiii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……… i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ………. iii
HALAMAN MOTTO ……….. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. vi
ABSTRAK ……… vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………. ix
KATA PENGANTAR ………. x
DAFTAR ISI ……… xiii
DAFTAR SKEMA ………... xvii
DAFTAR TABEL ……… xviii
DAFTAR GRAFIK ……….. xix
DAFTAR LAMPIRAN ……… xx
BAB I PENDAHULUAN ………. 1
A. Latar Belakang ……… 1
B. Rumusan Masalah ……….. 9
C. Tujuan Penelitian ……… 9
D. Manfaat Penelitian ……….. 9
xiv
2. Manfaat Praktis ………. 9
BAB II LANDASAN TEORI ……….. 11
A. Kecerdasan Emosi ……….. 11
1. Definisi Kecerdasan ……….. 11
2. Definisi Emosi ……….. 14
3. Definisi Kecerdasan Emosi ………... 15
4. Faktor-faktor Kecerdasan Emosi ……….. 18
5. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi ………... 18
6. Individu yang Cerdas secara Emosi ……….. 28
B. Situs Jejaring Sosial ……… 29
1. Definisi Media Sosial ……… 29
2. Definisi dan Karakteristik Situs Jejaring Sosial ……… 31
3. Fitur-fitur Situs Jejaring Sosial ……… 33
4. Keuntungan dan Risiko Penggunaan Situs Jejaring Sosial ….. 35
C. Intensitas Penggunaan Situs Jejaring Sosial ……….. 37
D. Remaja ……… 38
1. Definisi Remaja ……… 38
2. Aspek Perkembangan Remaja ……….. 41
3. Remaja dan Situs Jejaring Sosial ……….. 50
E. Kecerdasan Emosi dan Situs Jejaring Sosial ……….. 52
F. Dinamika Hubungan Intensitas Penggunaan SJS dan Kecerdasan Emosi Remaja ………. 55
xv
H. Hipotesis ………. 61
BAB III METODE PENELITIAN ……… 62
A. Jenis Penelitian ……….. 62
B. Indentifikasi Variabel Penelitian ……… 62
C. Definisi Operasional ………... 63
1. Intensitas Penggunaan SJS ………... 63
2. Kecerdasan Emosi ……….... 63
D. Responden Penelitian ………. 66
E. Prosedur Penelitian ………. 67
F. Metode Pengumpulan Data ……… 69
1. Teknik Pengumpulan Data ………... 69
2. Alat Pengumpulan Data ……… 70
G. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ………... 74
1. Validitas ……… 74
2. Seleksi Item ……….. 75
3. Reliabilitas ……… 77
H. Metode Analisis Data ………. 79
1. Uji Asumsi ……… 79
2. Uji Hipotesis ………. 80
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….. 82
A. Pelaksanaan Penelitian ……… 82
B. Deskripsi Responden Penelitian ………. 82
xvi
1. Uji Asumsi ……… 84
2. Uji Hipotesis ………. 86
3. Analisis Tambahan ………... 87
D. Pembahasan ……… 92
E. Keterbatasan Penelitian ……….. 97
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………... 98
A. Kesimpulan ………. 98
B. Saran ………... 98
1. Bagi Peneliti Selanjutnya ……….. 98
2. Bagi Remaja ……….. 99
3. Bagi Pendidik dan/atau Pendamping Remaja ………... 100
xvii
DAFTAR SKEMA
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blue Print Skala Kecerdasan Emosi Sebelum Uji Coba …………. 72
Tabel 2. Skor Item Positif Skala Kecerdasan Emosi ………. 73
Tabel 3. Skor Item Negatif Skala Kecerdasan Emosi ……… 73
Tabel 4. Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosi Untuk Uji Coba ……….. 73
Tabel 5. Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosi yang Gugur ……… 76
Tabel 6. Distribusi Item Bentuk Final Skala Kecerdasan Emosi ………….. 77
Tabel 7. Deskripsi Jenis Kelamin Responden Penelitian ……….. 83
Tabel 8. Deskripsi Usia Responden Penelitian ……….. 83
Tabel 9. Uji Normalitas Variabel Penelitian ……….. 84
Tabel 10. Uji Korelasi Intensitas Penggunaan SJS dan Kecerdasan Emosi .. 87
Tabel 11. Deskripsi Data Skala Kecerdasan Emosi ………... 88
Tabel 12. Kategorisasi Skor Kecerdasan Emosi ……… 89
xix
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Q-Q Plot Data Kecerdasan Emosi ……….. 85
Grafik 2. Q-Q Plot Data Intensitas Penggunaan SJS ………. 85
Grafik 3. Distribusi Frekuensi Intensitas Penggunaan SJS …………... 90
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Kecerdasan Emosi ………... 108
Lampiran 2. Lembar Aktivitas SJS Model Pertama ……….. 117
Lampiran 3. Lembar Aktivitas SJS Model Kedua ……… 118
Lampiran 4. Korelasi Item Total Skala Kecerdasan Emosi Final …………. 119
Lampiran 5. Uji Reliabilitas Alpha Cronbach Skala Kecerdasan Emosi
Final ………... 120
Lampiran 6. Uji Normalitas ………... 121
Lampiran 7. Uji Linearitas ………. 122
Lampiran 8. Analisis Deskripsi Data ………. 123
Lampiran 9. Uji Hipotesis ……….. 124
Lampiran 10. Scatterplot Intensitas Penggunaan SJS dan Kecerdasan
1 BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Selama beberapa ribu tahun, metode utama manusia dalam pembelajaran
dan komunikasi sosial adalah melalui interaksi atau komunikasi tatap muka
(Uhls et al., 2014). Mann (1980, dalam Baumeister & Leary, 1995) juga
menyatakan bahwa setiap orang dalam setiap masyarakat di bumi pasti
tergabung dalam kelompok kecil yang utama yang melibatkan interaksi tatap
muka, interaksi yang personal.
Namun, pada abad 21 ini, seiring dengan ketersediaan internet dan
telepon seluler di hampir seluruh penjuru dunia, media digital telah menjadi
faktor umum dalam pembelajaran informal. Banyaknya waktu yang
dihabiskan oleh anak-anak dan remaja dengan media digital mungkin akan
mengambil waktu komunikasi tatap muka dan beberapa aktivitas antara
individu (Giedd, 2012). Data pada Januari 2015 menunjukkan bahwa
pengguna telepon seluler di Indonesia telah melampaui jumlah total penduduk
Indonesia sendiri (Digital in, 2015). Selain itu, hasil sebuah penelitian
perusahaan konsultan manajemen dan layanan teknologi Accenture yang
melibatkan 3600 profesional di 30 negara, termasuk Indonesia menunjukkan
bahwa 80 persen responden melakukan multitasking terkait gawai atau gadget
Martin Niens, seorang digital specialist dari Arcade mengemukakan
bahwa banyaknya kepemilikan telepon seluler di Indonesia disebabkan karena
semakin meningkatnya kesadaran masyarakat di negara berkembang terhadap
akses informasi. Selain itu, telepon seluler juga telah menjadi sarana untuk
mengekspresikan diri di media sosial (Pengguna Smartphone, 2014). Hal ini
sesuai dengan hasil riset yang dilakukan oleh Google, bahwa meski penduduk
Indonesia memiliki perangkat lain, seperti laptop atau tablet, akses terhadap
dunia maya tetap dilakukan melalui perangkat dengan layar yang lebih kecil,
yaitu telepon seluler. Dari hasil riset Google, didapatkan bahwa kegiatan yang
paling sering dilakukan melalui telepon seluler adalah akses media sosial dan
googling (Ini Hasil, 2015).
Beberapa penelitian telah meneliti tentang pengaruh penggunaan
teknologi komunikasi terhadap aspek psikologi individu. Misalnya,
konsekuensi pertemanan melalui jejaring sosial terhadap harga diri sosial
(social self-esteem) dan well being individu (Valkenburg, Peter, & Schouten,
2006); keterbukaan diri online dan offline (Nguyen, Bin, & Campbell, 2012);
pengalaman sense of belonging dan keterbukaan diri secara online (Davis,
2012).
Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa teknologi komunikasi
berpengaruh terhadap kemampuan anak dalam membaca tanda-tanda emosi
yang bersifat nonverbal. Dalam eksperimen lapangan yang dilakukan Uhls et
al. (2014) ditemukan bahwa anak-anak yang menghabiskan waktu untuk
mampu membaca dengan tepat emosi ekspresi wajah dibandingkan dengan
anak-anak yang tidak mengikuti kegiatan kemah dan menghabiskan waktu
dengan media digital seperti biasanya.
Terkait penelitian tersebut, Amy Morin (2015), seorang psikoterapis
dalam artikelnya Are We Losing the Ability to Read Each Other’s Emotions?
mengemukan bahwa teknologi telah mengganggu kemampuan individu untuk
mendeteksi perasaan orang-orang di sekitarnya. Menurutnya, jika seseorang
terlalu banyak menghabiskan waktu dengan layar, hal tersebut dapat
mengganggu kemampuan seseorang dalam mengenali emosi. Mengenali
emosi merupakan salah satu dari aspek dalam kecerdasan emosi, yaitu
mempersepsi emosi (Salovey & Grewal, 2005). Terkait hal tersebut, Amy
Morin pun menyebutkan bahwa individu dapat meningkatkan kecerdasan
emosi yang dimilikinya dengan mengurangi penggunaan media digital dan
memperbanyak kontak tatap muka dengan orang-orang di sekitar kita. Dengan
kata lain, menghabiskan banyak waktu dengan layar telepon seluler atau
komputer dan berkurangnya waktu interaksi tatap muka dapat mempengaruhi
tingkat kecerdasan emosi seseorang.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk memonitor emosi diri dan
orang lain, membedakan emosi-emosi yang ada, dan menggunakan
informasi-informasi terkait emosi untuk mengarahkan tindakan dan pikiran diri sendiri
(Salovey dan Mayer, 1990 dalam Mayer dan Salovey, 1993). Berdasarkan
definisi tersebut, Salovey dan Mayer (dalam Salovey dan Grewal, 2005) pun
(2) menggunakan emosi; (3) memahami dan menganalisa emosi; (4)
mengontrol emosi. Keempat area tersebut disusun dari area dengan proses
psikologis yang lebih rendah menuju area dengan proses psikologis yang lebih
tinggi. Artinya, ketika keterampilan-keterampilan dalam satu area tumbuh,
misalnya dalam mempersepsi emosi; maka keterampilan-keterampilan dalam
area lain juga akan tumbuh, misalnya dalam menggunakan emosi.
Goleman (1995) mengemukakan bahwa banyak bukti memperlihatkan
bahwa orang yang cakap secara emosional – mengetahui dan menangani perasaan mereka dengan baik, dan mampu membaca dan menghadapi
perasaan orang lain dengan efektif – memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan, seperti dalam hubungan asmara dan intim, atau menangkap
aturan-aturan tak tertulis yang dapat menentukan keberhasilan keberhasilan dalam
organisasi politik. Individu yang keterampilan emosionalnya berkembang
dengan baik sangat mungkin untuk berbahagia dan berhasil dalam kehidupan,
individu tersebut juga dapat menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong
produktivitas. Sebaliknya, orang yang tidak dapat menghimpun kendali
tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang
mengganggu kemampuan mereka untuk fokus pada pekerjaan dan pikiran
yang jernih.
Dari jumlah pengguna telepon seluler yang ada di Indonesia, aktivitas
yang paling sering dilakukan melalui telepon seluler adalah mengakses media
sosial (Mobile Activities, 2015). Lebih khususnya, berdasarkan hasil
tanggal 4 – 5 Mei 2015, peneliti menemukan bahwa kegiatan yang dilakukan melalui ponsel yang paling banyak muncul adalah browsing Situs Jejaring
Sosial (SJS) (81,25 %). Berdasarkan data tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa menggunakan media sosial, khususnya dalam penelitian ini SJS
merupakan aktivitas paling umum yang dilakukan anak-anak dan remaja saat
ini. Dengan demikian, tidak heran bila perkembangan emosi dan sosial
sebagian generasi saat ini tidak lepas dari kontribusi internet dan telepon
seluler (O’Keefee & Pearson, 2011).
Situs Jejaring Sosial (SJS) merupakan komunitas virtual yang
memungkinkan pengguna untuk membuat profil publik, berinteraksi dengan
teman-teman dunia nyata, dan berkenalan dengan orang baru yang memiliki
ketertarikan yang sama (Kuss & Griffiths, 2011). Contoh SJS, antara lain
Facebook, Path, Instagram, dsb.
Kandell (1998, dalam Spraggins, 2009) menyatakan bahwa remaja
merupakan kelompok yang paling rentan terhadap penggunaan internet yang
bermasalah atau berlebihan dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Hal
ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu karakteristik perkembangan dan
psikologis remaja, akses terhadap internet, dan ekspektasi terhadap remaja
untuk dapat menggunakan komputer atau akses internet. Hal ini sesuai dengan
data survei yang dilakukan Kementerian KOMINFO pada tahun 2014
terhadap 400 responden (anak dan remaja usia 10-19 tahun). Hasil survei
menunjukkan bahwa 79.5 persen dari responden adalah pengguna internet
fungsi komunikasi (Siaran Pers, 2014). Oleh karena itu, berbeda dengan penelitian Uhls et al. (2014) sebelumnya, dalam penelitian kali ini, peneliti
menspesifikkan subjek yang akan peneliti libatkan, yaitu remaja pengguna
SJS.
Berdasarkan uraian yang disampaikan Goleman (1995) dalam bukunya
Emotional Intelligence, dapat dilihat bahwa terdapat dua faktor yang
mempengaruhi tingkat kecerdasan emosi seseorang, yaitu internal dan
eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri
individu, yaitu aktivitas otak emosional (emotional brain) meliputi sistem
limbik, area neokorteks dan prefrontal, serta amygdala. Sebaliknya, faktor
eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu seperti
kebiasaan dan interaksi langsung dengan orang lain. Namun, peneliti belum
menemukan adanya peneliti atau ahli lain yang mengkaji kontribusi interaksi
dengan media sebagai faktor eksternal kecerdasan emosi, dalam penelitian ini
melalui media SJS.
Dalam penelitian ini, peneliti lebih spesifik memilih kegiatan yang
dilakukan dalam telepon seluler daripada telepon seluler itu sendiri, yaitu
aktivitas SJS. Hal ini peneliti putuskan berdasarkan adanya argumen yang
saling bertolakbelakang terkait kualitas interaksi yang dibangun dalam
interaksi lewat media (SJS) dan interaksi langsung (interaksi tatap muka)
(Briggle, 2008; Cocking & Matthews, 2001). Cocking & Matthews (2001)
mengemukakan bahwa interaksi virtual (SJS) tidak memiliki fitur-fitur
intonasi dalam berbicara, gesture tubuh, ekspresi wajah, dsb. Ketiadaan
fitur-fitur yang kompleks dalam interaksi melalui SJS tersebut membuat apa yang
didapat dalam interaksi tatap muka tidak didapatkan dalam interaksi melalui
SJS. Salah satunya adalah kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan
emosi dan keterampilan sosial penting lainnya melalui kompleksitas yang ada
dalam interaksi non-virtual (Giedd, 2012) sebagaimana yang diungkapkan
Amy Morin dalam artikelnya. Hal yang serupa juga disampaikan Uhls et al.
(2014) bahwa interaksi tatap muka dapat mengembangkan pemahaman akurat
terhadap tanda-tanda emosi (emotion cues) non-verbal.
Di sisi lain, Briggle (2008) mengemukakan bahwa adanya jarak dan
kecepatan yang lebih lambat pada relasi internet (SJS) dapat meningkatkan
kedekatan pertemanan dalam taraf yang setara atau lebih besar dibandingkan
dengan relasi offline (relasi tatap muka). Hal ini mungkin terjadi karena
indikator-indikator dalam relasi melalui media dapat lebih kaya dan lebih tepat
dibandingkan dengan indikator dalam relasi tatap muka. Relasi yang
terbangun melalui media online kebanyakan berdasarkan pada aktivitas
menulis dan membaca. Seiring dengan aktivitas menulis dan membaca, tingkat
introspeksi dan kesadaran diri seseorang juga meningkat. Berdasarkan teori
yang dikemukan oleh Mayer, Salovey, dan Caruso (2004) kesadaran diri juga
termasuk dalam aspek ketiga kecerdasan emosi, yaitu memahami emosi – kapasitas untuk menganalisa emosi dan memahami hasil (dampak) dari emosi.
dalam tingkat yang lebih rendah – interaksi melalui SJS mungkin dapat meningkatkan kecerdasan emosi individu.
Meski demikian, pada kenyataannya, salah satu isu tentang intensitas
penggunaan SJS yang sedang berkembang saat ini adalah intensitas
penggunaan dunia online diduga dapat menjadi pemicu depresi untuk
beberapa remaja (O’Keeffe & Pearson, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh
Moreno et al. (2011) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif
antara intensitas penggunaan facebook dengan depresi. Penelitian lain
mengungkapkan bahwa individu yang menghabiskan banyak waktu dalam
relasi online akan membuatnya merasa lebih tidak puas. Hal ini terjadi karena
relasi online kurang memiliki relasi antar pribadi – komunikasi langsung. Ketidakpuasan yang dirasakan individu ini dapat membuat individu
mengalami stress (Szwedo, Mikami, & Allen, 2012). Depresi atau dalam taraf
yang lebih ringan stress ini telah terbukti berhubungan dengan kecerdasan
emosi. Orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan lebih mudah
keluar dari situasi yang membuatnya depresi, juga lebih cepat bangkit dari
keterpurukan yang mereka alami. Kemampuan tersebut terdapat dalam area
keempat kecerdasan emosi (Goleman, 1995).
Berdasarkan penjabaran tersebut, peneliti melihat adanya kesesuaian
antara argumen Cocking dan Matthews dengan isu penggunaan SJS dan
depresi. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan
B. RUMUSAN MASALAH
Apakah terdapat hubungan antara intensitas penggunaan SJS dan
kecerdasan emosi?
C. TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui ada tidaknya hubungan antara intensitas penggunaan SJS
dan Kecerdasan Emosi individu.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan kajian
Kecerdasan Emosi dalam ranah psikologi.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya literatur kajian
aspek atau atribut psikologis dalam ranah cyberpsychology.
2. Manfaat praktis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi
remaja tentang keterkaitan antara intensitas penggunaan SJS dan
kecerdasan emosi.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi
orangtua dan/atau pendamping remaja, dan pendidik tentang
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan bagi penelitian
selanjutnya untuk mengetahui hubungan lebih rinci antara intensitas
11 BAB II
LANDASAN TEORI
A. KECERDASAN EMOSI 1. Definisi Kecerdasan
Kecerdasan adalah kapasitas untuk belajar dari pengalaman dengan
menggunakan proses-proses metakognitif untuk meningkatkan
pembelajaran, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan
sekitar (Sternberg, 2008). Binet dan Simon (dalam Gregory, 2011)
mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan menilai, memahami, dan
berpikir logis dengan baik. Thorndike (dalam Gregory, 2011)
mendefinisikan kecerdasan sebagai kekuatan merespon dengan baik dari
sudut pandang kenyataan atau fakta. Weschler (dalam Gregory, 2011)
mendefinisikan kecerdasan sebagai kapasitas global dari individu untuk
bertindak secara sengaja, berpikir secara rasional, dan menghadapi
lingkungan secara efektif. Sementara, Piaget (dalam Gregory, 2011)
melihat kecerdasan sebagai istilah umum untuk mengindikasikan bentuk
superior dari organisasi atau keseimbangan struktur kognitif yang
digunakan untuk beradaptasi dengan lingkungan fisik dan sosial.
Selain itu, Spearman (dalam Gregory, 2011) menyatakan bahwa
inteligensi terdiri dari dua faktor, yaitu faktor umum (general factor, g)
peserta pada tes-tes atau subtes kemampuan inteligensi yang serupa
ditentukan oleh kedua faktor tersebut.
Spearman (dalam Gregory, 2011) sering menyebut g sebagai
“energi” atau “kekuatan” dari seluruh korteks. Sementara faktor spesifik
merupakan substrat psikologis yang berada dalam kelompok neuron.
Substrat psikologis tersebut berguna untuk melakukan operasi mental yang
dibutuhkan dalam mengerjakan tes atau subtes.
Menurut Spearman, beberapa jenis tes memang mengandung faktor
g, sementara tes-tes lainnya – khususnya tes yang mengukur kemampuan
sensoris, secara umum diwakili oleh faktor s. Dua tes yang mengandung
faktor g akan berkorelasi secara signifikan. Sebaliknya, tes-tes psikologis
yang tidak mengandung faktor g tidak akan berkorelasi secara signifikan
satu sama lain.
Tokoh lainnya, Howard Gardner (dalam Gregory, 2011) mengajukan
teori multiple intelligence yang didasarkan pada hubungan antara otak dan
perilaku. Ia mengatakan bahwa sebenarnya terdapat beberapa inteligensi
yang terpisah antara satu sama lainnya, meskipun ia mengaku bahwa sifat
dasar, batasan, dan jumlah pasti dari intenligensi belum dapat dibuktikan
kepastiannya.
Menurut Gardner (dalam Kuswana, 2011), terdapat delapan
1. Inteligensi linguistik, melibatkan kepekaan terhadap bahasa tulis dan
lisan, kemampuan belajar bahasa, kapasitas menggunakan bahasa
untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Inteligensi logika matematika, melibatkan kemampuan untuk
menganalisis masalah secara logis, melakukan operasi matematika, dan
menyelidiki masalah ilmiah.
3. Inteligensi spasial, potensi untuk mengenali pola ruang yang luas dan
pola yang lebih terbatas.
4. Inteligensi musikal, keterampilan dalam kinerja, dan mampu
mengkomposisikan atau mengapresiasi musik.
5. Inteligensi kinestetik, potensi untuk menggunakan seluruh atau
sebagian anggota tubuh untuk memecahkan masalah atau metode
produk tertentu
6. Inteligensi interpersonal, kapasistas seseorang untuk berniat
memahami motivasi dan keinginan orang lain dan akibatnya untuk
bekerja secara efektif dengan orang lain.
7. Inteligensi intrapersonal, melibatkan kemampuan untuk memahami
diri sendiri untuk memiliki model kerja yang efektif dari diri sendiri,
termasuk keinginan, ketakutan, dan kapasitas serta menggunakan
informasi tersebut dalam mengatur kehidupan sendiri.
8. Inteligensi naturalis, kapasitas inti untuk mengenali dan
spesies dan mengakui keberadaan yang lain, tetangga spesies, dan
grafik hubungan secara formal dan informal di antara beberapa spesies.
Berdasarkan beberapa definisi kecerdasan yang diungkapkan oleh
beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan adalah kemampuan
untuk beradaptasi dengan lingkungan secara efektif dan kemampuan untuk
belajar dari lingkungan.
2. Definisi Emosi
Goleman (1995) mengemukakan bahwa secara esensi, semua emosi
merupakan dorongan untuk bertindak – sebuah rencana instan untuk
menghadapi kehidupan yang telah ditanamkan oleh evolusi dalam diri
kita. Akar kata dari emosi dalam bahasa latin adalah motere yang berarti
“bergerak”, penambahan awalan e- mengkonotasi “bergerak menjauh”
menunjukkan bahwa kecenderungan bertindak secara implisit ada di
dalam setiap emosi. Masih terkait dengan mekanisme evolusi, Watson
(dalam Strongman, 2003) mengemukakan bahwa emosi adalah reaksi
berpola yang turun-temurun yang melibatkan perubahan yang sangat besar
pada mekanisme tubuh sebagai satu kesatuan, tetapi khususnya bagian
sistem organ dalam dan kelenjar.
Di sisi lain, Santrock (2007) mendefinisikan emosi sebagai perasaan
atau afek yang terjadi ketika seseorang berada pada saat atau interaksi
yang penting untuknya, terutama untuk well-beingnya. Emosi
ketidaksenangan yang dialami individu dalam suatu keadaan, atau dalam
suatu interaksi yang mereka alami. Emosi juga dapat lebih spesifik dan
terlihat dalam wujud kebahagiaan, ketakutan, kemarahan, dst. –
tergantung pada bagaimana interaksi yang ada mempengaruhi individu.
Misalnya, interaksi yang mengancam, interaksi yang membuat frustasi,
interaksi yang melegakan, sesuatu yang harus ditolak, sesuatu yang tak
terduga, dst. Sementara itu, Papalia (2007) mendefinisikan bahwa emosi
adalah reaksi subjektif terhadap pengalaman yang diasosiasikan dengan
perubahan fisik dan perilaku.
Berdasarkan beberapa teori tersebut, dapat disimpulkan definisi
emosi dalam penelitian ini. Emosi adalah reaksi subjektif terhadap
pengalaman dalam bentuk perasaan atau afek yang melibatkan perubahan
fisik dan perilaku atau yang mengarah pada kecenderungan bertindak.
3. Definisi Kecerdasan Emosi
Untuk dapat memahami konsep kecerdasan emosi, pertama-tama kita
perlu mengeksplorasi dua istilah terlebih dahulu, yaitu kecerdasan dan
emosi. Kedua hal tersebut telah peneliti jabarkan sebelumnya.
Mayer dan Salovey (dalam Salovey, Mayer, dan Caruso, 2004)
mengemukakan kecerdasan emosi sebagai konsep harus mengarah pada
heightened emotional atau kemampuan mental. Oleh karena itu, keduanya
mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk merasa
mengakses dan membangkitkan emosi agar membantu pikiran,
kemampuan untuk memahami emosi dan pengetahuan terkait emosi, dan
kemampuan meregulasi emosi untuk meningkatkan perkembangan emosi
dan intelektual. Definisi tersebut menggabungkan ide bahwa emosi dapat
membuat pikiran menjadi semakin cerdas dan seseorang yang berpikir
dengan cerdas tentang emosi. Kedua-duanya menghubungkan inteligensi
dan emosi. Namun, pada tahun 2008, Mayer, Roberts, dan Barsade
merumuskan sebuah definisi kecerdasan emosi yang lebih sederhana, yaitu
kemampuan bernalar tentang emosi secara akurat dan kemampuan untuk
menggunakan emosi dan pengetahuan emosi untuk meningkatkan pikiran.
Patton (1998) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan
menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun
hubungan produktif dan meraih keberhasilan. Sementara Goleman (2007)
melihat bahwa kecerdasan emosi meliputi beberapa kemampuan, seperti
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi
frustasi, mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati dan menjaga
agar stressor tidak melumpuhkan kemampuan berpikir.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan definisi
kecerdasan emosi dalam penelitian ini. Kecerdasan emosi adalah
kemampuan untuk memahami, menggunakan dan meregulasi emosi secara
efektif untuk meningkatkan pikiran dan mencapai suatu tujuan.
Jika dibandingkan dengan teori kecerdasan dan emosi yang telah
dengan konsep emosi, konsep kecerdasan menurut beberapa ahli, terutama
konsep faktor umum dan faktor khusus dari Spearman. Menurut Salovey
dan Mayer (1993), kecerdasan emosi berbeda dengan kecerdasan umum
(g). Argumen tersebut tercipta karena tidak seperti kecerdasan umum,
kecerdasan emosi melibatkan manipulasi emosi dan isi emosional
(emotional content). Oleh karena itu, kecerdasan emosi memiliki validitas
diskriminan terhadap kecerdasan umum. Hal ini berarti kecerdasan emosi
memiliki kosntruk yang berbeda dari kecerdasan umum. Secara statistik,
validitas diskriminan tercapai ketika dua konstruk memiliki hubungan
yang positif, tetapi tidak signifikan atau memiliki hubungan yang negatif
dan signifikan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dua konstruk
yang diuji korelasi terbukti berbeda secara valid (Supratiknya, 2014).
Sebaliknya, Salovey (dalam Goleman, 1995) sepakat dengan konsep
kecerdasan majemuk yang dicetuskan oleh Gardner – bahwa kecerdasan
tidak hanya berkisar pada kecakapan linguistik dan matematika yang
sempit. Salovey percaya bahwa kecerdasan memiliki cakupan yang lebih
luas. Setelah itu, jalur penelitian menuntun para ahli kembali pada
pemahamana betapa pentingnya kecerdasan personal atau kecerdasan
emosional. Terkait hal tersebut, Salovey (dalam Goleman, 1995) pun
menempatkan kecerdasan personal (Gregory, 2011) dalam definisi dasar
4. Faktor-faktor Kecerdasan Emosi
Berdasarkan uraian yang disampaikan Goleman (1995) dalam
bukunya Emotional Intelligence, pada dasarnya, terdapat dua faktor yang
mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi seseorang, yaitu
1) Faktor internal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari
dalam diri individu, yaitu aktivitas otak emosional (emotional brain)
meliputi sistem limbik, area neokorteks dan prefrontal, serta amygdala.
Beberapa bagian otak yang penting untuk kehidupan emosional adalah
bagian yang paling lambat matang. Ketika area sensorik matang
selama masa kanak-kanak awal dan sistem limbik matang saat
pubertas, lobus frontal, tempat kontrol emosi, pemahaman, dan respon
artistik masih terus berkembang hingga usia 16 sampai dengan 18
tahun.
2) Faktor eksternal. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal
dari luar diri individu seperti kebiasaan dan interaksi langsung dengan
orang lain, termasuk di dalamnya pola asuh orangtua dan lingkungan
sosial individu. Anak terus belajar berbagai informasi tentang emosi
dari lingkungannya, yaitu orangtua hingga seiring bertambah usia dan
pergaulan anak (masuk ke sekolah, bertemu teman, dst).
5. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi
Berdasarkan definisi kecerdasan emosi yang dirumuskan oleh
2005), keduanya mencetuskan teori Four Branch Model on Emotional
Intelligence yang membagi kecerdasan emosi ke dalam empat area.
Keempat area tersebut disusun dari area dengan proses psikologis yang
lebih rendah menuju area dengan proses psikologis yang lebih tinggi.
Keempat area tersebut, sebagai berikut :
1. Mempersepsi emosi (perceiving emotion)
Kemampuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi emosi pada
wajah, gambar, suara, atau artifak (Salovey dan Grewal, 2005).
Kemampuan ini mulai dipelajari sejak masih bayi, dimulai dengan
mengidentifikasi keadaan emosi pada diri sendiri dan orang lain serta
belajar untuk membedakan emosi-emosi yang ada. Individu yang
matang secara emosi dapat dengan teliti memantau perasaan yang
terjadi di dalam dirinya (Mayer & Salovey, 1997). Lebih jauhnya,
individu menyadari mood yang sedang ia alami dan pikiran-pikirannya
terkait mood tersebut (Goleman, 1995). Anak yang berkembang
dengan sesuai akan mulai mampu untuk mengevaluasi di mana saja
emosi dapat diekspresikan, baik pada orang lain, arsitektur, maupun
hasil karya seni (Mayer & Salovey, 1997).
Selanjutnya, individu juga mampu untuk mengekspresikan
perasaan secara akurat serta mampu mengekspresikan kebutuhan yang
mengikuti perasaan yang ada. Hal ini terjadi karena individu yang
sehingga mereka menjadi sensitif terhadap kejanggalan atau ekspresi
yang manipulatif (Mayer & Salovey, 1997).
Goleman (1995) menyatakan bahwa mereka yang memiliki
kepastian tentang perasaan mereka – menyadari sepenuhnya perasaan
yang ada dalam diri mereka lebih baik dalam mengarahkan hidup
mereka, merasa lebih yakin tentang bagaimana perasaan mereka terkait
keputusan pribadi yang mereka ambil. Mempersepsi emosi adalah
representasi yang paling dasar dari kecerdasan emosi karena
mempersepsi emosilah yang memungkinkan terjadinya pemrosesan
informasi yang terkait emosi (Salovey & Grewal, 2005).
2. Menggunakan emosi (using emotion)
Kemampuan untuk memanfaatkan emosi untuk memfasilitasi
berbagai macam aktivitas kognitif, seperti berpikir dan penyelesaian
masalah (Salovey & Grewal, 2005). Emosi merupakan sebuah sistem
kewaspadaan sejak lahir. Artinya, emosi ini beroperasi sejak awal
untuk menandakan perubahan-perubahan penting, baik pada diri
individu maupun pada lingkungan. Seiring dengan kematangan
seseorang, emosi mulai membentuk dan meningkatkan pikiran dengan
mengarahkan perhatian individu pada perubahan-perubahan yang
penting. Contohnya, ketika seorang anak khawatir dengan pekerjaan
rumahnya, tetapi tetap menonton tv. Sementara seorang guru yang
menyelesaikan pekerjaannya sebelum perhatiannya teralihkan pada
hal-hal yang menyenangkan (Mayer & Salovey, 1997).
Selain itu, menggunakan emosi juga termasuk di dalamnya
menempatkan emosi yang ada di dalam diri seakan-akan kita adalah
orang lain, layaknya “teater pikiran”. Dengan demikian, emosi dapat
lebih mudah dipahami. “Teater pikiran” inilah yang dapat digunakan
untuk membangkitkan perasaan untuk membantu perencanaan (Mayer
& Salovey, 1997). Individu yang cerdas secara emosi tahu bagaimana
melibatkan atau memisahkan emosi dari pikiran (Mayer, Roberts, &
Barsade, 2008). Dengan demikian, individu dapat mengantisipasi
bagaimana perasaan mereka ketika mereka masuk ke sekolah baru,
mengambil pekerjaan baru, atau saat menghadapi kritik sosial. Dengan
mengantisipasi perasaan yang ada, individu dapat lebih mudah
memutuskan bilamana, misalnya ia akan mengambil suatu pekerjaan
atau tidak (Mayer & Salovey, 1997).
Terakhir, emosi juga dapat memfasilitasi pikiran dengan
membuat individu mempertimbangkan banyak perspektif (Mayer &
Salovey, 1997). Misalnya, ketika individu harus menyelesaikan tugas
yang sulit dan membosankan yang membutuhkan penalaran deduktif
dan perhatian terhadap detail dalam waktu yang singkat, manakah
yang lebih baik, mengerjakan tugas tersebut dengan mood senang atau
mood sedih? Berada dalam sedikit mood sedih akan membantu
mood senang dapat menstimulasi pikiran yang kreatif dan inovatif.
Dengan demikian, individu yang cerdas secara emosi dapat menguasai
seutuhnya perubahan mood-nya agar sesuai dengan tugas atau
pekerjaan yang mereka miliki (Salovey & Grewal, 2005).
3. Memahami dan menganalisa emosi
Kemampuan memahami dan menggunakan pengetahuan terkait
emosi, serta mengerti relasi di antara emosi yang kompleks.
Kemampuan ini meliputi kemampuan untuk sensitif dengan berbagai
macam emosi yang berbeda tipis, seperti merasa senang (happy) dan
sangat senang (ecstatic) (Salovey & Grewal, 2005).
Selain itu, aspek ini juga mencakup kemampuan untuk mengenali
dan mendeskripsikan bagaimana emosi berkembang seiring waktu,
seperti bagaimana terkejut dapat berubah menjadi duka (Salovey dan
Grewal, 2005). Kemampuan ini berkembang, segera setelah anak
mampu mengenali emosi, anak akan melabel dan memahami relasi di
antara label-label yang ada. Kemudian, anak mulai belajar persamaan
dan perbedaan antar emosi, seperti menyukai dan mencintai, kesal dan
marah, dst. Anak juga akan belajar secara otomatis makna relasi dari
setiap perasaan, seperti kesedihan dan kehilangan. Individu yang
tumbuh dan berkembang juga akan mulai mengenali adanya emosi
yang kompleks dan kontradiktif yang mungkin muncul pada situasi
untuk mempersepsi cinta dan benci terhadap orang yang sama (Mayer
& Salovey, 1997).
Pada tahap perkembangan ini, individu juga akan belajar tentang
campuran atau kombinasi emosi. Misalnya, takjub terkadang dilihat
sebagai kombinasi dari takut dan terkejut, harapan dianggap sebagai
kombinasi kepercayaan dan optimisme (Mayer & Salovey, 1997).
Selain itu, emosi cenderung terjadi dalam rangkaian yang
berpola, misalnya amarah yang semakin intens meningkat, lalu
diekspresikan, dan kemudian berubah menjadi rasa puas atau rasa
bersalah, tergantung pada situasi dan kondisinya. Penalaran terhadap
urutan emosi pun terjadi, misalnya individu yang merasa tidak dicintai
akan menolak perhatian dari orang lain karena ia merasa takut dengan
penolakan di masa mendatang. Penalaran tentang perkembangan emosi
dalam relasi interpersonal inilah yang merupakan pusat dari
kecerdasan emosi (Mayer dan Salovey, 1997).
4. Mengatur atau meregulasi emosi
Kemampuan ini adalah kemampuan dalam area yang paling
tinggi dalam kecerdasan emosi. Kemampuan ini terkait kemampuan
meregulasi emosi secara sadar, baik dalam diri sendiri ataupun dalam
orang lain untuk meningkatkan perkembangan emosi dan kecerdasan
individu. Reaksi emosi harus ditoleransi, bahkan diterima ketika
terjadi, terlepas dari apabila reaksi tersebut menyenangkan atau tidak.
belajar tentang suatu hal terkait perasaan mereka. Oleh karena itu, area
ini dimulai dengan kemampuan untuk terbuka terhadap perasaan
(Mayer & Salovey, 1997).
Dalam perkembangannya, anak akan belajar emosi-emosi yang
pantas dan tidak pantas untuk diekspresikan pada publik. Oleh karena
itu, anak belajar bahwa emosi dapat dipisahkan dari perilaku.
Misalnya, tetap tersenyum saat berhadapan di publik meski mungkin
individu sedang merasa sedih atau marah, atau menyendiri terlebih
dahulu atau masuk ke dalam kamar jika sedang merasa marah. Sebagai
konsekuensi, anak pun belajar untuk mengikuti atau tidak mengikuti
emosi pada waktu-waktu yang tepat. Merasa marah pada seseorang
atau karena ketidakadilan dapat berguna bagi penalaran terkait situasi
yang ada, tetapi akan lebih berkurang daya gunanya ketika rasa marah
mencapai titik klimaks. Individu yang matang secara emosi akan tahu
bahwa ia harus menahan dirinya dan mendiskusikan permasalahan
yang ada dengan orang kepercayaan yang lebih tenang (cool-headed).
Selanjutnya, insight-insight emosi dan energi yang didapatkan dari
pengalaman tersebut dapat digunakan untuk proses penalaran, yaitu
untuk memotivasi dan memfasilitasi, misalnya memicu kemarahan
seseorang untuk melawan ketidakadilan (Mayer & Salovey, 1997).
Dengan demikian, individu yang cerdas secara emosi mampu
memanfaatkan emosi, termasuk yang negatif, dan mengelolanya untuk
Seiring dengan kematangan individu, akan muncul juga
meta-experience mood dan emosi. Meta-experience (Mayer & Salovey,
1997) ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a) Meta-evalution, yaitu seberapa besar perhatian individu terhadap
moodnya, dan seberapa jelas, tipikal, dapat diterima, dan
pengaruhnya mood individu tersebut.
b) Meta-regulation, yaitu ketika individu mencoba untuk
memperbaiki mood yang buruk, meredakan mood yang baik, atau
meninggalkan moodnya.
Meta-experience ini berkaitan dengan fenomena-fenomena penting,
seperti seberapa lama seseorang tinggal dalam
pengalaman-pengalaman traumatis (Mayer & Salovey, 1997). Individu yang sedang
dalam mood sedih akan lebih mudah berpikir tentang hal-hal yang
semakin meningkatkan intensitas mood sedih yang ia rasakan. Hal
yang sama juga terjadi pada individu yang depresi, pikiran-pikiran
terkait mood sedih akhirnya membuat indivdu kesulitan untuk
menekan mood sedih (Goleman, 1995).
Salah satu cara untuk dapat membuat emosi menjadi lebih positif
adalah dengan melakukan reframing cognitive. Reframing cognitive
terjadi ketika individu mulai memunculkan pikiran-pikiran lain yang
kontradiktif atau berpikir dengan melihat alternatif lain terkait situasi
yang sedang dialaminya (Goleman, 1995). Misalnya, ketika remaja
mungkin berpikir bahwa “setelah ini, aku akan terus sendiri.” Namun,
ketika remaja mencoba melihat kejadian tersebut dengan cara berpikir
yang berbeda, seperti hubungannya selama ini jarang membuatnya
bahagia, ia lebih sering bertengkar daripada akur dengan pasangannya
akan membuat mood sedih berkurang. Dengan kata lain, melihat
kehilangan secara berbeda, yaitu dengan sudut pandang yang lebih
positif merupakan penawar rasa sedih. Dengan demikian,
meta-experience ini juga memungkinkan individu memahami emosi tanpa
harus membesar-besarkan atau mengecilkan kepentingan emosi
Skema 1
Kemampuan-kemampuan dalam area-area kecerdasan emosi
Kecerdasan Emosi Mengatur dan Meregulasi Emosi Kemampuan untuk terbuka terhadap perasaan, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Kemampuan untuk terlibat atau tidak
melibatkan diri dalam emosi berdasarkan penilaian informasi atau kegunaannya Memonitor secara reflektif emosi dalam relasi dengan diri sendiri dan orang
lain.
Kemampuan mengatur emosi dalam diri & orang
lain dengan menjembatani emosi negatif & meningkatkan
emosi yang menyenangkan, tanpa menekan atau melebih-lebihkan informasi yang
dikandungnya.
Memahami dan Menganalisa
Emosi
Melabel emosi dan mengenali relasi
antara kata dan emosi , sep-erti hubingan antara menyukai dan mencintai. Menginterpretasi makna bahwa emosi berubah tergantung relasi, seperti kesedihan sering muncul bersamaan dengan kehilangan. Mengerti perasaan yang kompleks, misalnya perasaa
cinta dan benci yang muncul
bersamaan.
Mengenali transisi di antara emosi, seperti perubahan
marah menuju puas atau marah menuju rasa malu.
Menggunakan Emosi Emosi menentukan prioritas pikiran dan mengarahkan perhatian pada informasi yang penting. Digunakan sebagai bantuan untuk menilai dan sebagai ingatan terkait perasaan.
Mood swing dapat mengubah perspektif individu, mendorong adanya pertimbangan dari beberapa sudur pandang. Menguasai perubahan-perubahan mood yang terjadi dalam diri. Mempersepsi Emosi Mengidentifikasi emosi pada keadaan fisik, perasaan dan pikiran diri sendiri. Mengidentifikasi emosi pada orang lain, desain, karya seni
lewat bahasa, suara, penampilan dan perilaku. Mengekspresikan emosi secara akurat dan kebutuhan yang berkaitan dengan perasaan. Membedakan akurat atau tidak
akurat atau jujur atau tidak jujur
6. Individu yang Cerdas secara Emosi
Berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi (Mayer, Salovey, &
Caruso, 2004), maka individu yang memiliki kecerdasan emosi yang
tinggi adalah individu yang dapat mempersepsi emosi, menggunakan
emosi dalam pikiran, memahami makna emosi, dan meregulasi emosi
lebih baik daripada orang lain. Mereka lebih mahir dalam mendeskripsikan
atau menjelaskan tujuan, target, dan misi dalam hidup mereka (Mayer et
al., 2004). Dalam menyelesaikan masalah, individu dengan kecerdasan
emosi tinggi tidak membutuhkan upaya kognitif yang besar. Mereka juga
cenderung memiliki keterampilan sosial dan kemampuan verbal yang lebih
tinggi, terutama jika individu memiliki skor yang tinggi dalam area
memahami emosi. Selain itu, mereka yang memiliki kecerdasan emosi
yang tinggi juga cenderung lebih terbuka, ramah dan kooperatif
(aggreable).
Selain itu, jika dibandingkan dengan yang lainnya, individu dengan
kecerdasan emosi yang tinggi lebih jarang terlibat dalam perilaku
bermasalah dan menghindari perilaku merusak diri, seperti merokok,
minum minuman keras berlebihan, pemakaian obat-obat terlarang, atau
terlibat melakukan kekerasan dengan orang lain. Individu yang memiliki
kecerdasan emosi yang tinggi juga memiliki kelekatan yang sentimentil
terhadap keluarga (home) dan memiliki interaksi sosial yang lebih positif
dengan orang-orang di sekitarnya, terutama jika individu memiliki skor
B. SITUS JEJARING SOSIAL 1. Definisi Media Sosial
Pertama-tama, penting untuk diketahui terlebih dahulu bahwa Situs
Jejaring Sosial (SJS) merupakan salah satu bentuk dari Media Sosial.
Media Sosial merupakan sekumpulan media online jenis baru yang
memiliki semua atau beberapa karakteristik (Mayfield, 2008), sebagai
berikut :
a) Partisipasi. Media sosial memungkinkan semua orang yang tertarik di
dalamnya memberi kontribusi dan tanggapan. Dengan kata lain, media
sosial mengaburkan garis antara pengguna dan media itu sendiri.
b) Keterbukaan. Kebanyakan layanan media sosial terbuka terhadap
tanggapan dan partisipasi. Mereka mendorong penggunanya untuk
memberi suara, berkomentar, dan berbagi informasi. Mereka juga
sangat jarang menggunakan batasan untuk akses dan penggunaan isi di
dalam media sosial.
c) Percakapan. Ketika media tradisional berkutat dengan broadcast
(content yang didistribusikan kepada pengguna), media sosial lebih
dilihat sebagai percakapan dua arah.
d) Komunitas. Media sosial memungkinkan terbentuknya komunitas
dengan cepat dan berkomunikasi secara efektif. Komunitas-komunitas
dapat berbagi ketertarikan yang sama, seperti kecintaan dengan
e) Keterhubungan. Kebanyakan jenis media sosial berkembang pesat
dalam keterhubungan mereka. Artinya, media sosial memungkinkan
pengguna untuk menggunakan hubungan atau tautan dengan situs lain,
sumber, atau orang lain.
Saat ini, pada dasarnya terdapat tujuh jenis media sosial (Mayfield,
2008), yaitu :
a) Jejaring Sosial atau dalam penelitian ini disebut Situs Jejaring Sosial
(SJS). Situs jenis ini memungkinkan orang-orang untuk membuat
halaman web pribadi dan kemudian berhubungan dengan teman untuk
berbagi content dan komunitkasi. Salah satu SJS terbesar adalah
Facebook.
b) Wikis. Situs ini memungkinkan orang-orang untuk menambah content
atau menyunting informasi yang ada di dalamnya, berperan sebagai
dokumen atau database umum. Wiki yang paling terkenal adalah
Wikipedia, sebuah ensikopedi online yang memiliki lebih dari dua juta
artikel berbahasa inggris.
c) Blogs. Situs jenis ini mungkin adalah jenis yang paling diketahui oleh
semua orang. Blog adalah jurnal online dengan catatan yang
ditampilkan merupakan yang paling sering diakses.
d) Podcasts. Situs berlangganan dokumen audio dan video melalui
e) Forum. Area untuk diskusi online, sering kali seputar topik atau
ketertarikan tertentu. Forum sudah ada sebelum istilah media sosial
ada dan merupakan elemen yang sangat kuat dalam komunitas online.
f) Content Communities. Komunitas yang terorganisasi dan berbagi
content tertentu. Content communities yang paling popular untuk
berbagi foto, yaitu Flickr dan berbagi video, yaitu Youtube.
g) Microblogging. Jaringan sosial yang dikombinasikan dengan bite-sized
blogging, yaitu content dalam jumlah yang kecil dapat didistribusikan
secara online lewat jaringan telpon seluler. Pemimpin dalam jenis
jaringan sosial ini adalah Plurk.
Dalam penelitian ini, jenis media sosial yang peneliti gunakan
adalah SJS. Hal ini peneliti putuskan berdasarkan hasil wawancara
yang peneliti lakukan terhadap 16 informan pada tanggal 4-5 Mei
2015, yaitu sebesar 81,25% responden mengakses SJS dibandingkan
kegiatan lain, seperti online shopping (12,5%) , main games (18,75%),
chatting (18,75%), dan membaca komik (6,25%) melalui gadget yang
mereka miliki.
2. Definisi dan Karakteristik Situs Jejaring Sosial
Situs Jejaring Sosial (SJS) adalah komunitas virtual yang
memungkinkan pengguna untuk membuat profil publik, berinteraksi
dengan teman-teman dunia nyata, dan berkenalan dengan orang lain yang
Ellison dan Boyd (2007), SJS merupakan layanan berbasis web yang
memungkinkan individu untuk (1) menciptakan profil publik atau
semipublik dalam sistem yang terbatas; (2) menunjukkan pengguna lain
yang berhubungan dengan dirinya di dalam sistem; (3) melihat dan
memperluas hubungan dengan pengguna lain di dalam sistem. Dengan
demikian, SJS memiliki tiga karakteristik utama, yaitu profil, teman, dan
daftar teman lintas pengguna (Ahn, 2011).
SJS merupakan bagian dari serangkaian aplikasi Web yang
menggunakan prinsip “Web 2.0”. Situs yang menerapkan prinsip Web 2.0
ini didesain untuk (1) bergantung pada partisipasi kelompok pengguna
yang besar daripada kontrol terpusat dari penyedia content; (2)
mengumpulkan dan menggabungkan content dari berbagai sumber; (3)
lebih menghubungkan antara pengguna dan content secara bersama-sama
(O’Reilly, 2007).
Kebanyakan dari SJS berfungsi untuk mempertahankan relasi yang
sudah ada sebelumnya dalam dunia nyata (Choi, 2006 dalam Boyd &
Ellison, 2008). Namun, di sisi lain SJS juga dapat membantu orang-orang
yang tidak saling kenal menjadi saling terhubung atas dasar memiliki
ketertarikan, pandangan politik, atau aktivitas yang sama (Boyd & Ellison,
3. Fitur-fitur Situs Jejaring Sosial
Dalam artikelnya, Boyd & Ellison (2008) menjabarkan variasi SJS,
seperti akses untuk melihat profil, sebutan untuk pengguna, dan
fasilitas-fasilias yang ditawarkan. Setelah bergabung dalam sebuah SJS, individu
akan diminta untuk mengisi halaman dengan serangkaian pertanyaan.
Melalui tahap inilah, profil online seseorang akan tercipta. Biasanya profil
terdiri dari informasi usia, tempat tinggal, ketertarikan, dan kolom
“deskripsi diri”. Kebanyakan SJS juga memfasilitasi penggunanya untuk
mengunggah foto profil. Beberapa situs bahkan memungkinkan
penggunanya untuk meningkatkan profil mereka dengan menambahkan
konten media-media atau memodifikasi tampilan profil mereka.
Akses untuk melihat profil juga bervariasi untuk setiap SJS dan
bergantung pada kebijakan pengguna. Misalnya, profil Friendster dan
Tribe.net dapat dijangkau dengan mesin pencari (search engine) sehingga
dapat diakses oleh siapa saja. Lain halnya dengan LinkedIn, SJS satu ini
mengontrol apa yang dapat dilihat oleh pengguna tergantung bilamana
pengguna sudah membayar akunnya atau belum. Situs lainnya, seperti
MySpace memfasilitasi penggunanya untuk memilih bilamana mereka
ingin profilnya dilihat oleh publik atau “hanya teman”. Berbeda dengan
Facebook, dalam pengaturan awal, profil pengguna dapat dilihat oleh siapa
saja, kecuali pengguna tersebut memblokir orang-orang tertentu untuk
Selanjutnya, SJS juga memfasilitasi pengguna untuk
mengidentifikasi pengguna-pengguna lain yang memiliki hubungan
dengannya di dalam sistem. Istilah yang digunakan untuk menyebut
hubungan ini berbeda-beda untuk setiap situs, istilah populer yang
biasanya digunakan adalah “Teman”, “Kontak”, atau “Fans.” Kebanyakan
SJS membutuhkan persetujuan antar pengguna untuk “berteman”, tetapi
ada juga yang tidak. Biasanya, istilah “Fans” atau “Pengikut” merupakan
label yang digunakan untuk SJS yang bersifat satu arah atau tidak
membutuhkan persetujuan antar pengguna untuk “berteman.”
Hampir semua SJS juga menyediakan sebuah mekanisme agar
pengguna dapat meninggalkan pesan di profil teman mereka. Fitur ini
biasanya disebut “komentar”, tetapi beberapa SJS lain memiliki istilah
yang berbeda untuk fitur ini. Selain itu, beberapa SJS juga memfasilitasi
penggunanya untuk meninggalkan pesan pribadi untuk pengguna lain,
layaknya e-mail.
Selain profil, teman, komentar, dan pesan pribadi, SJS sebenarnya
memiliki beragam fitur dan user base. Beberapa SJS memiliki kapasitas
untuk mengunggah dan berbagi foto atau video, sementara yang lainnya
lagi memiliki built-in blogging dan teknologi pesan singkat. Ada beberapa
SJS yang didukung penuh penggunaannya dengan menggunakan telepon
genggam, tetapi ada juga SJS yang hanya memiliki akses terbatas ketika
4. Keuntungan dan Risiko Penggunaan Situs Jejaring Sosial
Dalam penggunaan SJS, terdapat beberapa keuntungan yang bisa
didapatkan oleh remaja (O’Keefee & Pearson, 2011), yaitu :
a) Tetap terhubung dengan teman dan keluarga, membuat pertemanan
baru, berbagi gambar dan bertukar ide.
b) Kesempatan untuk terikat dengan komunitas dengan menghasilkan
uang untuk acara amal atau menjadi volunteer dalam acara lokal.
c) Perluasan koneksi online dan bahkan beralih ke offline melalui
ketertarikan yang sama yang melibatkan orang lain dari latar belakang
yang lebih beragam.
d) Membantu perkembangan identitas dan keterampillan sosial remaja.
e) Meningkatkan atau mempermudah kesempatan belajar. Misalnya,
siswa SMP dan SMA terhubung satu sama lain melalui SJS untuk
pengerjaan tugas atau proyek.
f) Kemudahan untuk mengakses atau mendapatkan informasi kesehatan.
Meski demikian, jika digunakan secara tidak tepat, penggunaan SJS
juga memiliki beberapa risiko untuk remaja, antara lain
a) Cyberbullying dan Kekerasan Online
Cyberbullying adalah tindakan menggunakan media digital untuk
menyampaikan fitnah, mempermalukan, atau menyampaikan pesan
yang kasar pada orang lain. Cyberbullying adalah risiko online yang
paling umum untuk kalangan remaja dan memiliki dampak untuk
Namun, kekerasan online lebih jarang terjadi dibandingkan
cyberbullying. Selain itu, kekerasan online juga tidak sering terjadi
pada kalangan anak-anak dan remaja (O’Keefee & Pearson, 2011).
b) Kecanduan SJS
Pada umumnya, SJS digunakan untuk fungsi atau tujuan sosial,
kebanyakan untuk mempertahankan relasi offline (Kuss & Griffiths
dalam Griffiths, Kuss, Demetrovic, 2014). Namun, bukti-bukti yang
ada menunjukkan bahwa individu mungkin merasa dipaksa untuk
mempertahankan jaringan sosial online mereka dalam suatu cara dalam
beberapa situasi mengarah pada penggunaan SJS yang berlebihan
(Griffiths, Kuss, Demetrovic, 2014).
Banyak karyawan-karyawan perkantoran telah mengklaim bahwa
kecanduan SJS sudah saatnya menjadi perhatian, terutama di antara
kalangan anak muda atau remaja. Misalnya, dalam sebuah survei
terhadap 120 manajer dan praktisi muda, didapatkan hasil bahwa
partisipan memiliki ketakukan bahwa aktivitas SNS menggantikan
aktivitas lainnya dan interaksi sosial tatap muka (Davies & Cranston
dalam Griffiths, Kuss, Demetrovic, 2014).
c) Depresi
Intensitas penggunaan dunia online diduga dapat menjadi pemicu
depresi untuk beberapa remaja (O’Keeffe & Pearson, 2011). Penelitian
yang dilakukan oleh Moreno et al. (2011) menunjukkan bahwa
dengan depresi. Dengan kata lain, individu yang sering mengakses
facebook juga sering menunjukkan update-update yang terkait depresi.
Penelitian lain mengungkapkan bahwa individu yang menghabiskan
banyak waktu dalam relasi online akan membuatnya merasa lebih tidak
puas. Hal ini terjadi karena relasi online kurang memiliki relasi antar
pribadi – komunikasi langsung. Ketidakpuasan yang dirasakan
individu ini dapat membuat individu mengalami stress (Szwedo,
Mikami, & Allen, 2012).
C. INTENSITAS PENGGUNAAN SITUS JEJARING SOSIAL
Intensitas adalah nilai kuantitatif dari stimulus atau sensasi.
Kekuatan dari perilaku, seperti impuls atau emosi. Kekuatan dari
performansi individu dalam beberapa aktivitas atau bidang dengan satu
atau lebih referensi atribut, yaitu gairah, komitmen, upaya, asertif, dan
fokus (VandenBos et al., 2007). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2011), intensitas adalah keadaan tingkatan atau ukuran intensnya. Masih
dari sumber yang sama, intens adalah kekuatan atau efek yang sangat kuat
atau hebat. Dengan demikian, secara lebih menyeluruh intensitas adalah
keadaan tingkatan atau ukuran kekuatan atau efek. Sementara itu,
Wulandari (2000) mengemukakan bahwa kata intensitas merujuk pada
waktu yang dihabiskan dalam melakukan aktivitas tertentu (durasi) dan
jumlah ulangan melakukan aktivitas tertentu dalam jangka waktu tertentu
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011), kata
penggunaan berasal dari kata dasar “guna”, yaitu faedah, manfaat, atau
fungsi. Sementara kata penggunaan sendiri berarti proses, cara, perbuatan
menggunakan sesuatu, pemakaian.
Berdasarkan uraian tersebut, maka intensitas penggunaan SJS yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah keadaan tingkatan atau ukuran
kekuatan atau efek dalam menggunakan SJS. Keadaan tingkatan dapat
dilihat dari waktu yang dihabiskan untuk mengakses dan menggunakan
SJS (durasi) dan jumlah ulangan yang dilakukan dalam mengakses dan
menggunakan SJS (frekuensi) dalam waktu satu hari.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan survei yang dilakukan sebuah
social media agency pada tahun 2015, rata-rata waktu yang digunakan