• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Hasil Penelitian

selanjutnya untuk mengetahui hubungan lebih rinci antara intensitas

11 BAB II

LANDASAN TEORI

A. KECERDASAN EMOSI 1. Definisi Kecerdasan

Kecerdasan adalah kapasitas untuk belajar dari pengalaman dengan

menggunakan proses-proses metakognitif untuk meningkatkan

pembelajaran, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan

sekitar (Sternberg, 2008). Binet dan Simon (dalam Gregory, 2011)

mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan menilai, memahami, dan

berpikir logis dengan baik. Thorndike (dalam Gregory, 2011)

mendefinisikan kecerdasan sebagai kekuatan merespon dengan baik dari

sudut pandang kenyataan atau fakta. Weschler (dalam Gregory, 2011)

mendefinisikan kecerdasan sebagai kapasitas global dari individu untuk

bertindak secara sengaja, berpikir secara rasional, dan menghadapi

lingkungan secara efektif. Sementara, Piaget (dalam Gregory, 2011)

melihat kecerdasan sebagai istilah umum untuk mengindikasikan bentuk

superior dari organisasi atau keseimbangan struktur kognitif yang

digunakan untuk beradaptasi dengan lingkungan fisik dan sosial.

Selain itu, Spearman (dalam Gregory, 2011) menyatakan bahwa

inteligensi terdiri dari dua faktor, yaitu faktor umum (general factor, g)

peserta pada tes-tes atau subtes kemampuan inteligensi yang serupa

ditentukan oleh kedua faktor tersebut.

Spearman (dalam Gregory, 2011) sering menyebut g sebagai

“energi” atau “kekuatan” dari seluruh korteks. Sementara faktor spesifik

merupakan substrat psikologis yang berada dalam kelompok neuron.

Substrat psikologis tersebut berguna untuk melakukan operasi mental yang

dibutuhkan dalam mengerjakan tes atau subtes.

Menurut Spearman, beberapa jenis tes memang mengandung faktor

g, sementara tes-tes lainnya – khususnya tes yang mengukur kemampuan sensoris, secara umum diwakili oleh faktor s. Dua tes yang mengandung

faktor g akan berkorelasi secara signifikan. Sebaliknya, tes-tes psikologis

yang tidak mengandung faktor g tidak akan berkorelasi secara signifikan

satu sama lain.

Tokoh lainnya, Howard Gardner (dalam Gregory, 2011) mengajukan

teori multiple intelligence yang didasarkan pada hubungan antara otak dan

perilaku. Ia mengatakan bahwa sebenarnya terdapat beberapa inteligensi

yang terpisah antara satu sama lainnya, meskipun ia mengaku bahwa sifat

dasar, batasan, dan jumlah pasti dari intenligensi belum dapat dibuktikan

kepastiannya.

Menurut Gardner (dalam Kuswana, 2011), terdapat delapan

1. Inteligensi linguistik, melibatkan kepekaan terhadap bahasa tulis dan

lisan, kemampuan belajar bahasa, kapasitas menggunakan bahasa

untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Inteligensi logika matematika, melibatkan kemampuan untuk

menganalisis masalah secara logis, melakukan operasi matematika, dan

menyelidiki masalah ilmiah.

3. Inteligensi spasial, potensi untuk mengenali pola ruang yang luas dan

pola yang lebih terbatas.

4. Inteligensi musikal, keterampilan dalam kinerja, dan mampu

mengkomposisikan atau mengapresiasi musik.

5. Inteligensi kinestetik, potensi untuk menggunakan seluruh atau

sebagian anggota tubuh untuk memecahkan masalah atau metode

produk tertentu

6. Inteligensi interpersonal, kapasistas seseorang untuk berniat

memahami motivasi dan keinginan orang lain dan akibatnya untuk

bekerja secara efektif dengan orang lain.

7. Inteligensi intrapersonal, melibatkan kemampuan untuk memahami

diri sendiri untuk memiliki model kerja yang efektif dari diri sendiri,

termasuk keinginan, ketakutan, dan kapasitas serta menggunakan

informasi tersebut dalam mengatur kehidupan sendiri.

8. Inteligensi naturalis, kapasitas inti untuk mengenali dan

spesies dan mengakui keberadaan yang lain, tetangga spesies, dan

grafik hubungan secara formal dan informal di antara beberapa spesies.

Berdasarkan beberapa definisi kecerdasan yang diungkapkan oleh

beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan adalah kemampuan

untuk beradaptasi dengan lingkungan secara efektif dan kemampuan untuk

belajar dari lingkungan.

2. Definisi Emosi

Goleman (1995) mengemukakan bahwa secara esensi, semua emosi

merupakan dorongan untuk bertindak – sebuah rencana instan untuk menghadapi kehidupan yang telah ditanamkan oleh evolusi dalam diri

kita. Akar kata dari emosi dalam bahasa latin adalah motere yang berarti

“bergerak”, penambahan awalan e- mengkonotasi “bergerak menjauh”

menunjukkan bahwa kecenderungan bertindak secara implisit ada di

dalam setiap emosi. Masih terkait dengan mekanisme evolusi, Watson

(dalam Strongman, 2003) mengemukakan bahwa emosi adalah reaksi

berpola yang turun-temurun yang melibatkan perubahan yang sangat besar

pada mekanisme tubuh sebagai satu kesatuan, tetapi khususnya bagian

sistem organ dalam dan kelenjar.

Di sisi lain, Santrock (2007) mendefinisikan emosi sebagai perasaan

atau afek yang terjadi ketika seseorang berada pada saat atau interaksi

yang penting untuknya, terutama untuk well-beingnya. Emosi

ketidaksenangan yang dialami individu dalam suatu keadaan, atau dalam

suatu interaksi yang mereka alami. Emosi juga dapat lebih spesifik dan

terlihat dalam wujud kebahagiaan, ketakutan, kemarahan, dst. –

tergantung pada bagaimana interaksi yang ada mempengaruhi individu.

Misalnya, interaksi yang mengancam, interaksi yang membuat frustasi,

interaksi yang melegakan, sesuatu yang harus ditolak, sesuatu yang tak

terduga, dst. Sementara itu, Papalia (2007) mendefinisikan bahwa emosi

adalah reaksi subjektif terhadap pengalaman yang diasosiasikan dengan

perubahan fisik dan perilaku.

Berdasarkan beberapa teori tersebut, dapat disimpulkan definisi

emosi dalam penelitian ini. Emosi adalah reaksi subjektif terhadap

pengalaman dalam bentuk perasaan atau afek yang melibatkan perubahan

fisik dan perilaku atau yang mengarah pada kecenderungan bertindak.

3. Definisi Kecerdasan Emosi

Untuk dapat memahami konsep kecerdasan emosi, pertama-tama kita

perlu mengeksplorasi dua istilah terlebih dahulu, yaitu kecerdasan dan

emosi. Kedua hal tersebut telah peneliti jabarkan sebelumnya.

Mayer dan Salovey (dalam Salovey, Mayer, dan Caruso, 2004)

mengemukakan kecerdasan emosi sebagai konsep harus mengarah pada

heightened emotional atau kemampuan mental. Oleh karena itu, keduanya

mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk merasa

mengakses dan membangkitkan emosi agar membantu pikiran,

kemampuan untuk memahami emosi dan pengetahuan terkait emosi, dan

kemampuan meregulasi emosi untuk meningkatkan perkembangan emosi

dan intelektual. Definisi tersebut menggabungkan ide bahwa emosi dapat

membuat pikiran menjadi semakin cerdas dan seseorang yang berpikir

dengan cerdas tentang emosi. Kedua-duanya menghubungkan inteligensi

dan emosi. Namun, pada tahun 2008, Mayer, Roberts, dan Barsade

merumuskan sebuah definisi kecerdasan emosi yang lebih sederhana, yaitu

kemampuan bernalar tentang emosi secara akurat dan kemampuan untuk

menggunakan emosi dan pengetahuan emosi untuk meningkatkan pikiran.

Patton (1998) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan

menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun

hubungan produktif dan meraih keberhasilan. Sementara Goleman (2007)

melihat bahwa kecerdasan emosi meliputi beberapa kemampuan, seperti

kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi

frustasi, mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati dan menjaga

agar stressor tidak melumpuhkan kemampuan berpikir.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan definisi

kecerdasan emosi dalam penelitian ini. Kecerdasan emosi adalah

kemampuan untuk memahami, menggunakan dan meregulasi emosi secara

efektif untuk meningkatkan pikiran dan mencapai suatu tujuan.

Jika dibandingkan dengan teori kecerdasan dan emosi yang telah

dengan konsep emosi, konsep kecerdasan menurut beberapa ahli, terutama

konsep faktor umum dan faktor khusus dari Spearman. Menurut Salovey

dan Mayer (1993), kecerdasan emosi berbeda dengan kecerdasan umum

(g). Argumen tersebut tercipta karena tidak seperti kecerdasan umum,

kecerdasan emosi melibatkan manipulasi emosi dan isi emosional

(emotional content). Oleh karena itu, kecerdasan emosi memiliki validitas

diskriminan terhadap kecerdasan umum. Hal ini berarti kecerdasan emosi

memiliki kosntruk yang berbeda dari kecerdasan umum. Secara statistik,

validitas diskriminan tercapai ketika dua konstruk memiliki hubungan

yang positif, tetapi tidak signifikan atau memiliki hubungan yang negatif

dan signifikan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dua konstruk

yang diuji korelasi terbukti berbeda secara valid (Supratiknya, 2014).

Sebaliknya, Salovey (dalam Goleman, 1995) sepakat dengan konsep

kecerdasan majemuk yang dicetuskan oleh Gardner – bahwa kecerdasan tidak hanya berkisar pada kecakapan linguistik dan matematika yang

sempit. Salovey percaya bahwa kecerdasan memiliki cakupan yang lebih

luas. Setelah itu, jalur penelitian menuntun para ahli kembali pada

pemahamana betapa pentingnya kecerdasan personal atau kecerdasan

emosional. Terkait hal tersebut, Salovey (dalam Goleman, 1995) pun

menempatkan kecerdasan personal (Gregory, 2011) dalam definisi dasar

4. Faktor-faktor Kecerdasan Emosi

Berdasarkan uraian yang disampaikan Goleman (1995) dalam

bukunya Emotional Intelligence, pada dasarnya, terdapat dua faktor yang

mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosi seseorang, yaitu

1) Faktor internal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari

dalam diri individu, yaitu aktivitas otak emosional (emotional brain)

meliputi sistem limbik, area neokorteks dan prefrontal, serta amygdala.

Beberapa bagian otak yang penting untuk kehidupan emosional adalah

bagian yang paling lambat matang. Ketika area sensorik matang

selama masa kanak-kanak awal dan sistem limbik matang saat

pubertas, lobus frontal, tempat kontrol emosi, pemahaman, dan respon

artistik masih terus berkembang hingga usia 16 sampai dengan 18

tahun.

2) Faktor eksternal. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal

dari luar diri individu seperti kebiasaan dan interaksi langsung dengan

orang lain, termasuk di dalamnya pola asuh orangtua dan lingkungan

sosial individu. Anak terus belajar berbagai informasi tentang emosi

dari lingkungannya, yaitu orangtua hingga seiring bertambah usia dan

pergaulan anak (masuk ke sekolah, bertemu teman, dst).

5. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi

Berdasarkan definisi kecerdasan emosi yang dirumuskan oleh

2005), keduanya mencetuskan teori Four Branch Model on Emotional

Intelligence yang membagi kecerdasan emosi ke dalam empat area.

Keempat area tersebut disusun dari area dengan proses psikologis yang

lebih rendah menuju area dengan proses psikologis yang lebih tinggi.

Keempat area tersebut, sebagai berikut :

1. Mempersepsi emosi (perceiving emotion)

Kemampuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi emosi pada

wajah, gambar, suara, atau artifak (Salovey dan Grewal, 2005).

Kemampuan ini mulai dipelajari sejak masih bayi, dimulai dengan

mengidentifikasi keadaan emosi pada diri sendiri dan orang lain serta

belajar untuk membedakan emosi-emosi yang ada. Individu yang

matang secara emosi dapat dengan teliti memantau perasaan yang

terjadi di dalam dirinya (Mayer & Salovey, 1997). Lebih jauhnya,

individu menyadari mood yang sedang ia alami dan pikiran-pikirannya

terkait mood tersebut (Goleman, 1995). Anak yang berkembang

dengan sesuai akan mulai mampu untuk mengevaluasi di mana saja

emosi dapat diekspresikan, baik pada orang lain, arsitektur, maupun

hasil karya seni (Mayer & Salovey, 1997).

Selanjutnya, individu juga mampu untuk mengekspresikan

perasaan secara akurat serta mampu mengekspresikan kebutuhan yang

mengikuti perasaan yang ada. Hal ini terjadi karena individu yang

sehingga mereka menjadi sensitif terhadap kejanggalan atau ekspresi

yang manipulatif (Mayer & Salovey, 1997).

Goleman (1995) menyatakan bahwa mereka yang memiliki

kepastian tentang perasaan mereka – menyadari sepenuhnya perasaan yang ada dalam diri mereka lebih baik dalam mengarahkan hidup

mereka, merasa lebih yakin tentang bagaimana perasaan mereka terkait

keputusan pribadi yang mereka ambil. Mempersepsi emosi adalah

representasi yang paling dasar dari kecerdasan emosi karena

mempersepsi emosilah yang memungkinkan terjadinya pemrosesan

informasi yang terkait emosi (Salovey & Grewal, 2005).

2. Menggunakan emosi (using emotion)

Kemampuan untuk memanfaatkan emosi untuk memfasilitasi

berbagai macam aktivitas kognitif, seperti berpikir dan penyelesaian

masalah (Salovey & Grewal, 2005). Emosi merupakan sebuah sistem

kewaspadaan sejak lahir. Artinya, emosi ini beroperasi sejak awal

untuk menandakan perubahan-perubahan penting, baik pada diri

individu maupun pada lingkungan. Seiring dengan kematangan

seseorang, emosi mulai membentuk dan meningkatkan pikiran dengan

mengarahkan perhatian individu pada perubahan-perubahan yang

penting. Contohnya, ketika seorang anak khawatir dengan pekerjaan

rumahnya, tetapi tetap menonton tv. Sementara seorang guru yang

menyelesaikan pekerjaannya sebelum perhatiannya teralihkan pada

hal-hal yang menyenangkan (Mayer & Salovey, 1997).

Selain itu, menggunakan emosi juga termasuk di dalamnya

menempatkan emosi yang ada di dalam diri seakan-akan kita adalah

orang lain, layaknya “teater pikiran”. Dengan demikian, emosi dapat lebih mudah dipahami. “Teater pikiran” inilah yang dapat digunakan

untuk membangkitkan perasaan untuk membantu perencanaan (Mayer

& Salovey, 1997). Individu yang cerdas secara emosi tahu bagaimana

melibatkan atau memisahkan emosi dari pikiran (Mayer, Roberts, &

Barsade, 2008). Dengan demikian, individu dapat mengantisipasi

bagaimana perasaan mereka ketika mereka masuk ke sekolah baru,

mengambil pekerjaan baru, atau saat menghadapi kritik sosial. Dengan

mengantisipasi perasaan yang ada, individu dapat lebih mudah

memutuskan bilamana, misalnya ia akan mengambil suatu pekerjaan

atau tidak (Mayer & Salovey, 1997).

Terakhir, emosi juga dapat memfasilitasi pikiran dengan

membuat individu mempertimbangkan banyak perspektif (Mayer &

Salovey, 1997). Misalnya, ketika individu harus menyelesaikan tugas

yang sulit dan membosankan yang membutuhkan penalaran deduktif

dan perhatian terhadap detail dalam waktu yang singkat, manakah

yang lebih baik, mengerjakan tugas tersebut dengan mood senang atau

mood sedih? Berada dalam sedikit mood sedih akan membantu

mood senang dapat menstimulasi pikiran yang kreatif dan inovatif.

Dengan demikian, individu yang cerdas secara emosi dapat menguasai

seutuhnya perubahan mood-nya agar sesuai dengan tugas atau

pekerjaan yang mereka miliki (Salovey & Grewal, 2005).

3. Memahami dan menganalisa emosi

Kemampuan memahami dan menggunakan pengetahuan terkait

emosi, serta mengerti relasi di antara emosi yang kompleks.

Kemampuan ini meliputi kemampuan untuk sensitif dengan berbagai

macam emosi yang berbeda tipis, seperti merasa senang (happy) dan

sangat senang (ecstatic) (Salovey & Grewal, 2005).

Selain itu, aspek ini juga mencakup kemampuan untuk mengenali

dan mendeskripsikan bagaimana emosi berkembang seiring waktu,

seperti bagaimana terkejut dapat berubah menjadi duka (Salovey dan

Grewal, 2005). Kemampuan ini berkembang, segera setelah anak

mampu mengenali emosi, anak akan melabel dan memahami relasi di

antara label-label yang ada. Kemudian, anak mulai belajar persamaan

dan perbedaan antar emosi, seperti menyukai dan mencintai, kesal dan

marah, dst. Anak juga akan belajar secara otomatis makna relasi dari

setiap perasaan, seperti kesedihan dan kehilangan. Individu yang

tumbuh dan berkembang juga akan mulai mengenali adanya emosi

yang kompleks dan kontradiktif yang mungkin muncul pada situasi

untuk mempersepsi cinta dan benci terhadap orang yang sama (Mayer

& Salovey, 1997).

Pada tahap perkembangan ini, individu juga akan belajar tentang

campuran atau kombinasi emosi. Misalnya, takjub terkadang dilihat

sebagai kombinasi dari takut dan terkejut, harapan dianggap sebagai

kombinasi kepercayaan dan optimisme (Mayer & Salovey, 1997).

Selain itu, emosi cenderung terjadi dalam rangkaian yang

berpola, misalnya amarah yang semakin intens meningkat, lalu

diekspresikan, dan kemudian berubah menjadi rasa puas atau rasa

bersalah, tergantung pada situasi dan kondisinya. Penalaran terhadap

urutan emosi pun terjadi, misalnya individu yang merasa tidak dicintai

akan menolak perhatian dari orang lain karena ia merasa takut dengan

penolakan di masa mendatang. Penalaran tentang perkembangan emosi

dalam relasi interpersonal inilah yang merupakan pusat dari

kecerdasan emosi (Mayer dan Salovey, 1997).

4. Mengatur atau meregulasi emosi

Kemampuan ini adalah kemampuan dalam area yang paling

tinggi dalam kecerdasan emosi. Kemampuan ini terkait kemampuan

meregulasi emosi secara sadar, baik dalam diri sendiri ataupun dalam

orang lain untuk meningkatkan perkembangan emosi dan kecerdasan

individu. Reaksi emosi harus ditoleransi, bahkan diterima ketika

terjadi, terlepas dari apabila reaksi tersebut menyenangkan atau tidak.

belajar tentang suatu hal terkait perasaan mereka. Oleh karena itu, area

ini dimulai dengan kemampuan untuk terbuka terhadap perasaan

(Mayer & Salovey, 1997).

Dalam perkembangannya, anak akan belajar emosi-emosi yang

pantas dan tidak pantas untuk diekspresikan pada publik. Oleh karena

itu, anak belajar bahwa emosi dapat dipisahkan dari perilaku.

Misalnya, tetap tersenyum saat berhadapan di publik meski mungkin

individu sedang merasa sedih atau marah, atau menyendiri terlebih

dahulu atau masuk ke dalam kamar jika sedang merasa marah. Sebagai

konsekuensi, anak pun belajar untuk mengikuti atau tidak mengikuti

emosi pada waktu-waktu yang tepat. Merasa marah pada seseorang

atau karena ketidakadilan dapat berguna bagi penalaran terkait situasi

yang ada, tetapi akan lebih berkurang daya gunanya ketika rasa marah

mencapai titik klimaks. Individu yang matang secara emosi akan tahu

bahwa ia harus menahan dirinya dan mendiskusikan permasalahan

yang ada dengan orang kepercayaan yang lebih tenang (cool-headed).

Selanjutnya, insight-insight emosi dan energi yang didapatkan dari

pengalaman tersebut dapat digunakan untuk proses penalaran, yaitu

untuk memotivasi dan memfasilitasi, misalnya memicu kemarahan

seseorang untuk melawan ketidakadilan (Mayer & Salovey, 1997).

Dengan demikian, individu yang cerdas secara emosi mampu

memanfaatkan emosi, termasuk yang negatif, dan mengelolanya untuk

Seiring dengan kematangan individu, akan muncul juga

meta-experience mood dan emosi. Meta-experience (Mayer & Salovey,

1997) ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

a) Meta-evalution, yaitu seberapa besar perhatian individu terhadap

moodnya, dan seberapa jelas, tipikal, dapat diterima, dan

pengaruhnya mood individu tersebut.

b) Meta-regulation, yaitu ketika individu mencoba untuk

memperbaiki mood yang buruk, meredakan mood yang baik, atau

meninggalkan moodnya.

Meta-experience ini berkaitan dengan fenomena-fenomena penting,

seperti seberapa lama seseorang tinggal dalam

pengalaman-pengalaman traumatis (Mayer & Salovey, 1997). Individu yang sedang

dalam mood sedih akan lebih mudah berpikir tentang hal-hal yang

semakin meningkatkan intensitas mood sedih yang ia rasakan. Hal

yang sama juga terjadi pada individu yang depresi, pikiran-pikiran

terkait mood sedih akhirnya membuat indivdu kesulitan untuk

menekan mood sedih (Goleman, 1995).

Salah satu cara untuk dapat membuat emosi menjadi lebih positif

adalah dengan melakukan reframing cognitive. Reframing cognitive

terjadi ketika individu mulai memunculkan pikiran-pikiran lain yang

kontradiktif atau berpikir dengan melihat alternatif lain terkait situasi

yang sedang dialaminya (Goleman, 1995). Misalnya, ketika remaja

mungkin berpikir bahwa “setelah ini, aku akan terus sendiri.” Namun,

ketika remaja mencoba melihat kejadian tersebut dengan cara berpikir

yang berbeda, seperti hubungannya selama ini jarang membuatnya

bahagia, ia lebih sering bertengkar daripada akur dengan pasangannya

akan membuat mood sedih berkurang. Dengan kata lain, melihat

kehilangan secara berbeda, yaitu dengan sudut pandang yang lebih

positif merupakan penawar rasa sedih. Dengan demikian,

meta-experience ini juga memungkinkan individu memahami emosi tanpa

harus membesar-besarkan atau mengecilkan kepentingan emosi

Skema 1

Kemampuan-kemampuan dalam area-area kecerdasan emosi

Kecerdasan Emosi Mengatur dan Meregulasi Emosi Kemampuan untuk terbuka terhadap perasaan, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Kemampuan untuk terlibat atau tidak

melibatkan diri dalam emosi berdasarkan penilaian informasi atau kegunaannya Memonitor secara reflektif emosi dalam relasi dengan diri sendiri dan orang

lain.

Kemampuan mengatur emosi dalam diri & orang

lain dengan menjembatani emosi negatif & meningkatkan

emosi yang menyenangkan, tanpa menekan atau melebih-lebihkan informasi yang

dikandungnya.

Memahami dan Menganalisa

Emosi

Melabel emosi dan mengenali relasi

antara kata dan emosi , sep-erti hubingan antara menyukai dan mencintai. Menginterpretasi makna bahwa emosi berubah tergantung relasi, seperti kesedihan sering muncul bersamaan dengan kehilangan. Mengerti perasaan yang kompleks, misalnya perasaa

cinta dan benci yang muncul bersamaan. Mengenali transisi di antara emosi, seperti perubahan marah menuju puas atau marah menuju rasa malu.

Menggunakan Emosi Emosi menentukan prioritas pikiran dan mengarahkan perhatian pada informasi yang penting. Digunakan sebagai bantuan untuk menilai dan sebagai ingatan terkait perasaan.

Mood swing dapat mengubah perspektif individu, mendorong adanya pertimbangan dari beberapa sudur pandang. Menguasai perubahan-perubahan mood yang terjadi dalam diri. Mempersepsi Emosi Mengidentifikasi emosi pada keadaan fisik, perasaan dan pikiran diri sendiri. Mengidentifikasi emosi pada orang lain, desain, karya seni

lewat bahasa, suara, penampilan dan perilaku. Mengekspresikan emosi secara akurat dan kebutuhan yang berkaitan dengan perasaan. Membedakan akurat atau tidak

akurat atau jujur atau tidak jujur

suatu ekspresi perasaan.

6. Individu yang Cerdas secara Emosi

Berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi (Mayer, Salovey, &

Caruso, 2004), maka individu yang memiliki kecerdasan emosi yang

tinggi adalah individu yang dapat mempersepsi emosi, menggunakan

emosi dalam pikiran, memahami makna emosi, dan meregulasi emosi

lebih baik daripada orang lain. Mereka lebih mahir dalam mendeskripsikan

atau menjelaskan tujuan, target, dan misi dalam hidup mereka (Mayer et

al., 2004). Dalam menyelesaikan masalah, individu dengan kecerdasan

emosi tinggi tidak membutuhkan upaya kognitif yang besar. Mereka juga

cenderung memiliki keterampilan sosial dan kemampuan verbal yang lebih

tinggi, terutama jika individu memiliki skor yang tinggi dalam area

memahami emosi. Selain itu, mereka yang memiliki kecerdasan emosi

yang tinggi juga cenderung lebih terbuka, ramah dan kooperatif

(aggreable).

Selain itu, jika dibandingkan dengan yang lainnya, individu dengan

kecerdasan emosi yang tinggi lebih jarang terlibat dalam perilaku

bermasalah dan menghindari perilaku merusak diri, seperti merokok,

minum minuman keras berlebihan, pemakaian obat-obat terlarang, atau

terlibat melakukan kekerasan dengan orang lain. Individu yang memiliki

kecerdasan emosi yang tinggi juga memiliki kelekatan yang sentimentil

terhadap keluarga (home) dan memiliki interaksi sosial yang lebih positif

dengan orang-orang di sekitarnya, terutama jika individu memiliki skor

Dokumen terkait