BAB II LANDASAN TEORI
D. Remaja
2. Aspek Perkembangan Remaja
Saat memasuki masa remaja, remaja mengalami transisi dalam
a. Aspek Fisik
Masa pubertas merupakan awal penting yang menandai masa
remaja. Pubertas adalah sebuah periode ketika kematangan fisik
berlangsung cepat dan melibatkan perubahan hormonal dan tubuh
yang terutama berlangsung pada masa remaja awal. Terdapat lima
perubahan utama yang terjadi selama pubertas (Steinberg, 2002),
yaitu (1) pertumbuhan yang cepat yang mengakibatkan
peningkatan yang dramatis terhadap tinggi dan berat badan; (2)
perkembangan karakteristik seks primer, termasuk pertumbuhan
kelenjar kelamin, yaitu testis pada laki-laki dan ovarium pada
perempuan; (3) perkembangan karakteristik seks sekunder, yang
melibatkan perubahan pada alat kelamin dan payudara,
pertumbuhan rambut pada alat kelamin, wajah, dan tubuh, serta
perkembangan lebih jauh pada organ kelamin; (4) perubahan pada
komposisi tubuh, terutama dalam jumlah dan persebaran otot dan
lemak dalam tubuh; (5) perubahan pada sistem pernapasan dan
peredaran darah yang mengarah pada peningkatan kekuatan dan
toleransi terhadap kegiatan olahraga.
Terdapat beberapa perbedaan pada pubertas laki-laki dan
perempuan (Santrock, 2011). Para peneliti menemukan urutan
perkembangan karakteristik pubertas sebagai berikut,
meningkatnya ukuran penis dan testis; keluarnya rambut kemaluan
(biasanya terjadi ketika melakukan masturbasi atau mimpi basah),
munculnya rambut kemaluan yang kaku, terjadinya pertumbuhan
maksimal, tumbuhnya rambut di ketiak, perubahan suara yang
terlihat jelas, dan pertumbuhan rambut di wajah.
Perubahan fisik pada perempuan diawali dengan payudara
membesar atau rambut kemaluan muncul. Selanjutnya, tumbuh
rambut di ketiak. Seiring perubahan ini, anak perempuan
bertambah tinggi serta pinggulnya melebar melebihi bahunya.
Menarche atau menstruasi pada perempuan berlangsung lebih akhir
dalam siklus pubertas. Pada pubertas perempuan tidak terjadi
perubahan suara seperti yang terjadi pada laki-laki. Kemudian,
pada akhir masa pubertas, payudara perempuan menjadi lebih
bulat.
Terkait pertumbuhan fisik, pertambahan berat tubuh terjadi
bertepatan dengan masa pubertas. Di awal remaja, remaja
perempuan cenderung lebih berat dibandingkan remaja laki-laki.
Meskipun demikian, pada usia 14 tahun, berat tubuh laki-laki
melampaui berat tubuh remaja perempuan. Demikian pula, pada
masa awal remaja, tubuh perempuan cenderung sama tinggi atau
lebih tinggi dibandingkan tubuh laki-laki. Namun, pada akhir usia
sekolah dasar, sebagian besar remaja laki-laki cenderung mengejar
Sebuah aspek psikologis yang pasti terjadi dan berkaitan
dengan perubahan fisik adalah citra tubuh. Remaja sangat
memperhatikan tubuhnya dan mengembangkan citra mengenai
tubuhnya. Preokupasi terhadap citra tubuh itu sangat kuat di antara
para remaja, tetapi secara khusus sangat terlihat pada masa remaja
awal, ketika remaja tidak puas dengan tubuhnya dibandingkan pada
masa remaja akhir (Santrock, 2011).
b. Aspek Kognitif
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2011), ketika anak berusia
11 tahun, tahap perkembangan kognitif yang keempat dan final
atau tahap operasional formal pun dimulai. Pemikiran operasional
formal ini lebih bersifat abstrak, remaja mampu merekayasa
terhadap berbagai situasi atau peristiwa yang masih berupa
kemungkinan dan mencoba berpikir logis tentang situasi atau
peristiwa tersebut.
Kualitas pemikiran abstrak pada tahap operasional formal
terbukti pada kemampuan remaja untuk memecahkan masalah
secara verbal. Indikator lain yang memperlihatkan kualitas abstrak
dari pemikiran remaja adalah meningkatnya kecenderungan untuk
berpikir mengenai pikiran itu sendiri. Pemikiran yang menyertai
sifat dasar abstrak dari pemikiran formal operasional adalah
Remaja terlibat di dalam berbagai spekulasi mengenai
karakteristik-karakteristik ideal, yaitu kualitas yang mereka
inginkan terdapat pada diri maupun orang lain. Cara berpikir
tersebut sering kali menggiring remaja untuk membandingkan
dirinya dengan orang lain menurut standar ideal tersebut. Selain
itu, pemikiran mereka juga sering kali berisi fantasi mengenai
kemungkinan-kemungkinan di masa depan.
Selain berpikir abstrak dan idealistik, remaja juga berpikir
logis. Remaja cenderung memecahkan masalah melalui trial and
error. Remaja membuat rencana untuk memecahkan masalah dan
secara sistematis menguji solusi. Dalam pemecahan masalah,
dibutuhkan penalaran hipotetis deduktif yang mencakup penciptaan
sebuah hipotesis dan melakukan deduksi terhadap implikasinya,
yang memungkinkan untuk menguji hipotesis. Dengan demikian,
remaja mengembangkan hipotesis mengenai cara memecahkan
masalah dan secara sistematis melakukan deduksi terhadap langkah
terbaik yang harus diikuti untuk memecahkan masalah.
Perubahan kognisi lain yang juga terjadi pada masa remaja
adalah munculnya egosentrisme remaja (Santrock, 2011). Elkind
(1967) mengemukan bahwa egosentrisme pada remaja ini muncul
ketika remaja telah mampu mengenali pikiran orang lain, tetapi
gagal untuk membedakan objek yang menjadi pemikiran orang lain
berasumsi bahwa orang lain terobsesi dengan penampilan dan
perilaku mereka, sebegaimana mereka juga terobsesi dengan diri
mereka sendiri. Keyakinan remaja bahwa orang lain terobsesi
dengan penampilan dan perilaku mereka ini disebut sebagai
imaginary audience.
Selanjutnya, ketika remaja percaya bahwa ia penting bagi
orang lain – imaginary audience, ia mulai memandang dirinya sendiri, terutama perasaannya sebagai sesuatu yang unik dan
spesial. Misalnya, remaja berpikir bahwa hanya dia yang dapat
merasakan penderitaan batin yang amat menyakitkan, tidak ada
orang lain yang dapat memahami perasaannya, dan pada tingkat
tertentu remaja merasa tidak akan terkalahkan, sehingga apa yang
terjadi pada orang lain tidak akan terjadi pada dirinya, misalnya
kehamilan di luar nikah dan kematian. Keyakinan remaja tentang
keabadiannya atau kekebalan dan keunikan perasaannya ini disebut
sebagai personal fable.
c. Aspek Sosioemosi
Selama masa remaja, Sullivan (1953, dalam Santrock, 2011)
berpendapat bahwa sahabat menjadi sangat penting untuk
memenuhi kebutuhan sosial. Secara khusus, Sullivan menyatakan
bahwa kebutuhan intimasi meningkat di masa remaja awal dan
Percakapan di antara remaja sering kali didominasi oleh
bergosip tentang teman sebaya (Buhrmester & Chong, 2009 dalam
Santrock, 2011). Kebanyakan gosip tersebut dicirikan dengan
komentar negatif tentang remaja lain, seperti membicarakan
remaja yang minum hingga mabuk minggu lalu, penampilan
seseorang di sekolah kemarin, atau bagaiman seseorang berani
melakukan apa yang dikatakannya. Dalam beberapa hal, gosip
negatif dapat berupa agresi relasi, yaitu menyebarkan rumor untuk
melecehkan seseorang. Meskipun demikian, tidak semua gosip di
antara teman bersifat negatif. Beberapa gosip dapat melibatkan
konstruksi kolaboratif yang berkontribusi untuk perkembangan
perspektif terhadap intimasi dan relasi yang akrab. Sahabat juga
dapat menunjukkan rasa percaya mereka dengan mengutarakan
pendapat yang berisiko.
Selain kebutuhan akan intimasi, perubahan dalam aspek
sosioemosi yang terjadi selama masa remaja juga terkait dengan
harga diri (self esteem) (Santrock, 2011). Harga diri merujuk pada
evaluasi global mengenai diri; harga diri juga disebut sebagai
martabat diri (self worth) atau citra diri (self image).
Penghargaan diri dapat mencerminkan persepsi yang tidak
selalu sesuai dengan realitasnya (Krueger, Vohs, & Baumeister,
2008). Penghargaan diri remaja dapat mengindikasikan persepsi
tersebut mungkin tidak akurat. Dengan demikian, penghargaan diri
yang tinggi dapat mengacu pada persepsi yang akurat mengenai
nilai seseorang sebagai manusia serta keberhasilan dan pencapaian
seseorang, tetapi juga dapat mengindikasikan kesombongan dan
rasa superior dari orang lain. Dengan cara yang sama, penghargaan
diri yang rendah mengindikasikan persepsi mengenai kekurangan
atau penyimpangan seseorang atau bahkan rasa inferior dan
ketidakamanan patologis.
Penghargaan diri yang tinggi berkaitan erat dengan narsisme.
Narsisme ini mengacu pada pendekatan terhadap orang lain yang
berpusat pada diri (self-centered) dan memikirkan diri sendiri (self
concerned). Biasanya, pelaku narsisme tidak menyadari keadaan
aktual diri sendiri dan bagaimana orang lain memandangnya.
Pelaku narsisme sangat berpusat pada dirinya, selalu menekankan
bahwa dirinya sempurna (self congratulatory), serta memandang
keinginan dan harapannya adalah hal terpenting (Santrock, 2011).
Selain itu, tugas perkembangan yang harus dilewati selama
masa remaja adalah pencarian identitas diri. Identitas diri adalah
potret diri yang tersusun dari berbagai aspek, yang mencakup
identitas pekerjaan atau karier, identitas politik, identitas spiritual,
identitas relai, indentitas prestasi atau intelektual, identitas seksual,
Erik Erikson adalah tokoh pertama yang memahami betapa
pentingnya pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas untuk
memahami perkembangan remaja. Berdasarkan teori yang
dikemukakan Erikson, tahap yang dialami individu di masa remaja,
yaitu tahap indentitas versus kebingungan identitas (Santrock,
2011). Menurut Erikson, pada masa ini, remaja harus memutuskan
siapa dirinya, bagaimana dirinya, dan tujuan apa yang hendak
diraihnya.
Pencarian identitas yang berlangsung pada masa remaja ini
disertai oleh berlangsungnya moratorium psikososial (psychosocial
moratorium), yaitu kesenjangan antara keamanan kanak-kanak dan
otonomi orang dewasa (Santrock, 2011). Selama periode ini,
masyarakat secara relatif membiarkan remaja bebas dari tanggung
jawab dan bebas mencoba berbagai identitas. Remaja
bereksperimen dengan berbagai peran dan kepribadian.
Eksperimen ini merupakan usaha yang dilakukan dengan sengaja
oleh remaja agar dapat menemukan keseuaian mereka di dunia.
Remaja yang berhasil mengatasi konflik identitas akan
tumbuh dengan penghayatan mengenai diri yang menyegarkan dan
dapat diterima. Remaja yang tidak berhasil mengatasi krisis
identitas akan mengalami kebingungan identitas. Kebingunan ini
melebur dalam dunia teman sebaya dan kehilangan identitasnya di
tengah crowd-nya.