BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
D. Pembahasan
Pengujian hipotesis mengunakan teknik analisis korelasi spearman rho
menunjukkan bahwa kecerdasan emosi dan intenstitas penggunaan SJS
memiliki hubungan yang negatif secara signifikan (p < 0.05). Dengan kata lain,
hasil analisis data menunjukkan bahwa hipotesis penelitian terbukti, yaitu
terdapat hubungan negatif antara intensitas penggunaan SJS dan kecerdasan
emosi pada remaja.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas
penggunaan SJS yang dimiliki remaja, maka semakin rendah tingkat
kecerdasan emosi yang dimiliki remaja. Sebaliknya, semakin rendah intensitas
penggunaan SJS yang dimiliki remaja, maka semakin tinggi tingkat
0 5 10 15 20 25 30 35 40 06-07 07-08 08-09 09-10 10-11 11-12 12-13 13-14 14-15 15-16 16-17 17-18 18-19 19-20 20-21 21-22 22-23 23-00 00-01 01-02 02-03 03-04 04-05 05-06
Persentase Jumlah Jawaban Waktu Penggunaan SJS
Waktu PE n g g u n aan S JS
Waktu penggunaan SJS
kecerdasan emosi yang dimiliki remaja. Begitu juga, ketika semakin rendah
tingkat kecerdasan emosi yang dimiliki remaja, maka semakin tinggi intensitas
penggunaan SJS yang dimiliki remaja. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat
kecerdasan emosi yang dimiliki remaja, maka semakin rendah intensitas
penggunaan SJS yang dimiliki remaja.
Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, yaitu eksperimen yang
dilakukan oleh Uhls et al. (2014) yang menemukan bahwa anak-anak yang
menghabiskan waktu tanpa media digital, seperti telepon seluler lebih mampu
membaca dengan tepat ekspresi wajah dibandingkan anak-anak yang
menghabiskan waktu dengan media digital seperti biasanya. Dalam hal ini,
membaca dengan tepat ekspresi wajah merupakan salah satu kemampuan
dalam kecerdasan emosi yang berada dalam area pertama kecerdasan emosi.
Kesesuaian penelitian ini dan penelitian Uhls et al. (2014) ini dapat terjadi
karena seperti yang dikemukan Salovey dan Mayer (dalam Mayer dan Salovey,
1997) bahwa keempat area kecerdasan emosi saling berhubungan satu sama
lain, yaitu seiring tumbuhnya keterampilan-keterampilan dalam satu area,
maka keterampilan-keterampilan dalam area lainnya juga akan tumbuh.
Seperti yang disampaikan oleh Cocking dan Metthews (2000) bahwa
interaksi virtual, dalam hal ini interaksi melalui SJS tidak memiliki fitur-fitur
layaknya interaksi tatap muka, seperti kompleksitas intonasi suara dalam
berbicara, gesture tubuh, dan ekspresi wajah. Sejalan dengan itu, Bosacki dan
Astington (dalam Uhls et al, 2014) mengemukakan bahwa interaksi tatap
orang lain yang merupakan salah satu kemampuan dalam area kecerdasan
emosi. Sejalan dengan itu, Giedd (2012) menyatakan bahwa kompleksitas
yang ada dalam interaksi tatap muka merupakan kesempatan untuk
mengembangkan kecerdasan emosi dan ketertampilan sosial penting lainnya.
Dengan demikian, ketika remaja menghabiskan banyak waktu dengan SJS,
kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan emosi dan keterampilan sosial
penting lainnya menjadi berkurang. Hal ini dapat terjadi karena fitur-fitur SJS
tidak dapat memfasilitasi penggunanya untuk mengembangkan kecerdasan
emosi secara optimal layaknya interaksi tatap muka. Oleh karena itu, hasil
pengolahan data memperlihatkan ketika intensitas penggunaan SJS cenderung
tinggi, tingkat kecerdasan emosi yang dimiliki remaja cenderung rendah.
Sebaliknya, ketika intensitas penggunaan SJS cenderung rendah, tingkat
kecerdasan emosi yang dimiliki remaja cenderung tinggi.
Meski demikian, berdasarkan koefisien korelasi (r = -0,254) dan
scatterplot (bdk. Lampiran 9 & 10) yang dimiliki oleh kedua variabel, terlihat
bahwa hubungan negatif antara intensitas penggunaan SJS dan kecerdasan
emosi termasuk dalam kategorisasi hubungan yang cenderung lemah (Cohen,
1988; Siregar, 2013). Dengan kata lain, data yang didapat dalam penelitian ini
tidak seluruhnya menunjukkan bahwa ketika intensitas penggunaan SJS tinggi
maka tingkat kecerdasan emosi rendah, atau sebaliknya ketika tingkat
kecerdasan emosi rendah maka tingkat intensitas penggunaan SJS tinggi.
Beberapa interpretasi untuk menjelaskan lemahnya hubungan negatif
gambaran kenyataan yang sebenarnya. Gambaran tersebut dapat terlihat secara
lebih detail melalui scatterplot (bdk. Lampiran 10). Ada remaja yang
menghabiskan banyak waktu mengakses SJS memiliki skor kecerdasan emosi
yang sama dengan remaja yang menghabiskan lebih sedikit waktu mengakses
SJS ataupun sebaliknya. Keadaan lainnya, ada remaja yang menghabiskan
banyak waktu mengakses SJS memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan
dengan remaja yang menghabiskan lebih sedikit waktu untuk mengakses SJS
(bdk. Lampiran 10). Kedua keadaan tersebut tentunya bertolak belakang
dengan argumen bahwa SJS tidak dapat memfasilitasi perkembangan
kecerdasan emosi.
Kedua keadaan tersebut dapat terjadi karena adanya peran dari variabel
asing (extranous variable) yang berkontribusi terhadap hubungan kedua
variabel penelitian. Hal ini berarti bahwa variabel atau faktor yang
berkontribusi terhadap tingkat kecerdasan emosi tidak hanya berasal dari
intensitas penggunaan SJS. Misalnya, meski remaja menghabiskan banyak
waktu untuk mengakses SJS, tetapi hal ini diimbangi dengan banyaknya
waktu yang juga dihabiskan untuk melakukan kegiatan lain yang dapat
memfasilitasi perkembangan kecerdasan emosi, seperti interaksi tatap muka.
Dalam penelitian ini, kegiatan lain yang dapat memfasilitasi perkembangan
kecerdasan emosi inilah yang disebut sebagai variabel asing (extranous
variable). Variabel asing adalah variabel yang bukan merupakan fokus
penelitian, tetapi dapat mempengaruhi hasil penelitian (Myers & Hansen,
Berdasarkan data deskriptif (bdk. Lampiran 8), dapat dilihat bahwa
rerata waktu yang dihabiskan responden untuk mengakses SJS adalah 120
menit. Ketika remaja menghabiskan waktu rata-rata 120 menit dalam sehari
untuk mengakses SJS, sangat mungkin jika waktu lainnya remaja habiskan
dengan melakukan kegiatan lain yang dapat memfasilitasi perkembanagan
kecerdasan emosi, salah satunya interaksi tatap muka dengan individu lain.
Oleh karena itu, dapat dilihat juga pada scatterplot (bdk. Lampiran 10)
terdapat 14 data memiliki skor kecerdasan emosi yang sama dengan 14 data
lainnya yang memiliki intensitas penggunaan SJS yang berbeda-beda.
Misalnya, dua responden yang masing-masing menghabiskan waktu 25 menit
dan 365 menit untuk mengakses SJS memiliki skor kecerdasan emosi yang
sama, yaitu 88 (bdk. Lampiran 10).
Kedua, terkait variabel atau faktor lain yang mungkin berkontribusi
terhadap hubungan kedua variabel, yaitu latar belakang lingkungan keluarga
atau gaya pengasuhan orangtua. Seperti yang dijabarkan Goleman (1995)
bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi individu,
yaitu internal dan eksternal. Salah satu contoh dari faktor eksternal adalah
interaksi langsung dengan orang lain, termasuk di dalamnya pola asuh dan
interaksi dengan orangtua. Kemampuan-kemampuan dalam kecerdasan emosi
dipelajari sejak individu masih anak-anak. Anak belajar tentang informasi
emosi dari lingkungan sekitarnya, yaitu pertama-tama dari orangtua hingga
Dalam penelitian ini, sangat mungkin jika responden berasal dari berbagai
latar belakang keluarga yang berbeda dengan lingkungan dan pola asuh
orangtua yang juga berbeda-beda. Karena latar belakang keluarga yang
berbeda-beda inilah, remaja yang menghabiskan waktu lebih banyak dengan
SJS dapat memiliki skor yang sama dengan remaja yang menghabiskan lebih
sedikit waktu dengan SJS. Dengan kata lain, meski remaja menghabiskan
banyak waktu dengan SJS, remaja tersebut sudah cukup mempelajari dan
mengembangkan kemampuan-kemampuan dalam kecerdasan emosi sedari
anak-anak. Dengan demikian, remaja ybs. dapat memiliki skor yang sama
tingginya dengan remaja lain yang menghabiskan lebih sedikit waktu dengan
SJS.