PENGARUH INVESTASI PEMERINTAH
TERHADAP KESENJANGAN PDRB PER KAPITA
DI INDONESIA
DESY WULAN SARY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pengaruh Investasi Pemerintah Terhadap Kesenjangan PDRB per Kapita di Indonesia” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2012
iii
ABSTRACT
DESY WULAN SARY. The Impact of Public Investment on GDP per Capita Disparities in Indonesia. Under supervision of M. PARULIAN HUTAGAOL and BAMBANG JUANDA
Indonesia is an archipelago country consists of six main islands. Each island has its own characteristic and potential resources. The difference in the potential resources effected the achievement of development results from each island which then have an impact on the creation of income gaps both among islands and provinces. The results showed that an increase in GDP per capita can reduce disparities. While the increase in GDP per capita can be done either with increased public investment through government spending. To stimulate GDP per capita required factors that influence the growth of GDP per capita positively in each island.
v
RINGKASAN
DESY WULAN SARY. Pengaruh Investasi Pemerintah Terhadap PDRB per Kapita di Indonesia. Dibimbing oleh M. PARULIAN HUTAGAOL dan BAMBANG JUANDA
Dinamika spasial pembangunan Indonesia menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya atau antarkawasan, yaitu antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Daerah-daerah di Pulau Jawa umumnya mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat dibandingkan dengan daerah lain di luar Pulau Jawa. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum dapat sepenuhnya mengatasi permasalahan kesenjangan antar daerah. Perbedaan keberhasilan pembangunan yang dicapai setiap daerah disebabkan oleh perbedaan sumber-sumber yang dimiliki, adanya kecenderungan peranan modal (investor) yang memilih daerah perkotaan atau daerah yang mempunyai sarana prasarana yang lengkap seperti prasarana perhubungan, jaringan listrik, jaringan komunikasi, perbankan, asuransi dan ketersediaan tenaga terampil. Beranjak dari desentralisasi fiskal di Indonesia, melalui transfer dana ke daerah dan peningkatan potensi pendapatan asli daerah maka seharusnya pertumbuhan ekonomi antarwilayah di Indonesia semakin konvergen dan ketimpangan pendapatan antarwilayah dapat dieliminir. Dengan pencapaian tersebut maka kesejahteraan masyarakat di setiap wilayah di Indonesia diharapkan semakin membaik.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas dana transfer dari pemerintah pusat (DAU dan DAK bidang infrastruktur) dan pengaruh investasi pemerintah dalam mengurangi kesenjangan PDRB per kapita di pulau-pulau utama di Indonesia. Untuk dapat menjawab tujuan penelitian tersebut maka akan dilakukan kajian mengenai tren kecenderungan kesenjangan PDRB per kapita yang terjadi di Indonesia; hubungan antara DAU, DAK bidang infrastruktur, investasi pemerintah, dan kesenjangan PDRB per kapita di pulau-pulau utama di Indonesia; pengaruh investasi pemerintah terhadap kesenjangan PDRB per kapita di pulau-pulau utama di Indonesia; dan pengaruh investasi pemerintah dan faktor lainnya terhadap pertumbuhan PDRB per kapita di pulau-pulau utama di Indonesia. Metode yang digunakan untuk mengukur kesenjangan PDRB per kapita adalah dengan menggunakan Indeks Williamson. Kajian mengenai hubungan antara investasi pemerintah, PDRB per kapita, dan kesenjangan PDRB per kapita dilakukan berdasarkan hipotesis Kuznet dan teori konvergensi dengan mencari koefisien korelasi di antara ketiga variabel tersebut. Analisis data panel digunakan untuk menganalisis pengaruh investasi terhadap tendensi konvergensi ekonomi regional serta melihat pengaruh investasi dan faktor-faktor lainnya terhadap pertumbuhan PDRB per kapita regional di Indonesia.
sama diperlihatkan oleh tren ketimpangan di setiap pulau yang ada kecuali pulau Sulawesi. Ketimpangan PDRB per kapita di Sulawesi berada pada kisaran 0,19 sampai 0,21. Angka tersebut sebenarnya adalah angka terendah dari seluruh pulau di Indonesia, namun di akhir periode Sulawesi justru mengarah pada kondisi yang berseberangan dengan kelima pulau lainnya. Dari tahun 2009 ke tahun 2010, indeks Williamson Sulawesi justru menunjukkan adanya peningkatan ketimpangan dari 0,20 ke 0,21.
Kesenjangan PDRB per kapita dapat diturunkan melalui peningkatan investasi pemerintah yang bersumber dari PAD maupun dana transfer dari pemerintah pusat. Dana transfer diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah. Berbeda dengan DAK yang sudah jelas peruntukkannya, DAU yang diberikan dalam bentuk block grant ternyata tidak dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah daerah. Peningkatan proporsi DAU terhadap total penerimaan ternyata tidak diikuti oleh peningkatan proporsi investasi pemerintah melalui pengeluaran pembangunan/belanja modal terhadap total pengeluaran.
Hubungan negatif antara investasi pemerintah dengan kesenjangan PDRB per kapita terjadi di Indonesia dan pulau-pulau utama kecuali Bali-Nusa Tenggara. Peningkatan investasi pemerintah akan menurunkan kesenjangan tidak terjadi di pulau tersebut. Demikian pula dengan hubungan positif antara PDRB per kapita dengan kesenjangan PDRB per kapita hanya terjadi di Bali-Nusa Tenggara dan Maluku-Papua. Kondisi ini sesuai dengan hipotesis Kuznet yang menggambarkan bahwa pada awal pembangunan, perbedaan laju pertumbuhan ekonomi regional yang relatif besar antar wilayah akan menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam distribusi pendapatan per wilayah.
Konvergensi ekonomi dihitung dengan menggunakan pendekatan PDRB per kapita yang dimiliki oleh setiap provinsi yang ada di Indonesia selama tahun 2001-2009. Kecenderungan konvergensi dapat dilihat dari besaran koefisien parameter autoregressive dari variabel PDRB per kapita. Nilai koefisien dari Yt-1 yang kurang dari 1 (satu) menunjukkan adanya kecenderungan konvergensi dalam perekonomian, sedangkan apabila nilainya lebih besar dari 1 (satu) maka pendapatan provinsi persisten. Kecenderungan konvergensi terjadi di Indonesia, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi serta Maluku-Papua meskipun dengan tingkat konvergensi yang berbeda-beda. Sementara itu, kecenderungan konvergensi tidak terjadi di Jawa dan Bali-Nusa Tenggara.
Analisis data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat memacu pertumbuhan PDRB per kapita. Dari hasil estimasi diperoleh bahwa peningkatan investasi pemerintah, pembangunan infrastruktur jalan, listrik, kesehatan, dan pendidikan akan meningkatkan pertumbuhan PDRB per kapita. Investasi pemerintah yang optimal akan menghasilkan infrastruktur yang semakin lengkap dan baik. Pembangunan sarana dan prasarana yang baik akan menunjang peningkatan output sehingga pada akhirnya akan menurunkan kesenjangan antar wilayah. Oleh karena itu, provinsi-provinsi yang PDRB per kapitanya masih rendah perlu untuk meningkatkan faktor-faktor tersebut sehingga kesenjangan bisa dieliminir.
vii
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
ix
PENGARUH INVESTASI PEMERINTAH
TERHADAP KESENJANGAN PDRB PER KAPITA
DI INDONESIA
DESY WULAN SARY
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
xi
Judul Penelitian : Pengaruh Investasi Pemerintah Terhadap Kesenjangan PDRB per Kapita di Indonesia
Nama : Desy Wulan Sary
NRP : H151104394
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S.
Ketua
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
xiii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini berjudul “Pengaruh Investasi Pemerintah Terhadap Kesenjangan PDRB per Kapita di Indonesia”.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S selaku anggota komisi pembimbing, yang dalam kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S selaku penguji luar komisi dan Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si. selaku perwakilan dari Program Studi Ilmu Ekonomi.
Penghargaan dan ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Direktur Statistik Harga, dan Kepala Subdirektorat Statistik Harga Produsen yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPS) IPB. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si. beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB, semua dosen dan rekan-rekan yang senantiasa membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Meskipun demikian, penulis berharap bahwa tesis ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca sekalian.
Bogor, Oktober 2012
xv
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 7 Desember 1980 di Yogayakarta. Penulis merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara pasangan Bapak Hadisuwarno (Alm) dan Ibu Wagirah. Penulis menikah dengan Parwoto dan dikarunia dua orang putri bernama Hamima Husna Nur Shabrina dan Hafeeza Aufa Nur Shabira. Penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta pada tahun 2003. Penulis kemudian bekerja di Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung hingga tahun 2007. Sebelum kemudian pindah tugas ke Subdirektorat Statistik Harga Produsen di BPS RI Jakarta pada tahun 2008, penulis bekerja di BPS Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
xvii
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 11
2.1 Pertumbuhan Ekonomi ... 11
2.1.1 Model Pertumbuhan Neoklasik ... 12
2.1.2 Model Pertumbuhan Endogen ... 15
2.2 Kesenjangan PDRB per Kapita Regional ... 18
2.3 Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi... 24
2.4 Investasi Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi ... 30
2.5 Investasi Pemerintah dan Konvergensi Regional ... 33
2.6 Faktor-faktor Penentu Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia ... 39
2.6.1 Investasi Pemerintah ... 39
2.6.2 Tenaga kerja Berpendidikan Minimal SMA ... 41
2.6.3 Modal Manusia melalui Pendidikan dan Kesehatan ... 43
2.6.4 Infrastruktur Jalan dan Listrik ... 45
2.7 Kerangka Pemikiran ... 46
3.2.4.1 Pengertian dan Bentuk Regresi Data Panel ... 54
3.2.4.3 Pengujian Asumsi ... 58
3.2.4.4 Evaluasi Model ... 59
3.3 Spesikasi Model ... 60
3.3.1 Pengaruh Investasi Pemerintah terhadap Kesenjangan PDRB per Kapita di Pulau-pulau Utama di Indonesia ... 60
3.3.2 Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan PDRB per Kapita di Pulau-pulau Utama di Indonesia ... 61
IV. GAMBARAN UMUM KINERJA PEREKONOMIAN ... 63
4.4 Modal Manusia Melalui Pendidikan dan Kesehatan ... 74
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 79
5.1 Kecenderungan Disparitas PDRB per Kapita di Pulau-pulau Utama di Indonesia ... 79
5.2 Keterkaitan Antara DAU, DAK untuk Infrastruktur, Investasi Pemerintah, dan Kesenjangan PDRB Per Kapita di Pulau-pulau Utama di Indonesia ... 85
5.3 Pengaruh Investasi PemerintahTerhadap Kesenjangan PDRB per Kapita di Pulau-pulau Utama di Indonesia ... 93
5.3.1 Pengaruh Investasi Pemerintah terhadap Kesenjangan PDRB per Kapita di Pulau Sumatra ... 95
5.3.2 Pengaruh Investasi Pemerintah terhadap Kesenjangan PDRB Kapita di Pulau Jawa ... 96
5.3.3 Pengaruh Investasi Pemerintah terhadap Kesenjangan PDRB Kapita di Pulau Bali-Nusa Tenggara ... 97
5.3.4 Pengaruh Investasi Pemerintah terhadap Kesenjangan PDRB Kapita di Pulau Kalimantan ... 98
5.3.5 Pengaruh Investasi Pemerintah terhadap Kesenjangan PDRB Kapita di Pulau Sulawesi ... 99
5.3.6 Pengaruh Investasi Pemerintah terhadap Kesenjangan PDRB Kapita di Pulau Maluku - Papua ... 100
5.4 Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan PDRB per Kapita di Pulau- Pulau Utama di Indonesia ... 101
5.4.1 Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan PDRB per Kapita Di Pulau Jawa ... 103
xix
5.4.3 Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan PDRB per Kapita
Di Pulau Bali-Nusa Tenggara ... 107
5.4.4 Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan PDRB per Kapita Di Pulau Kalimantan ... 108
5.4.5 Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan PDRB per Kapita Di Pulau Sulawesi ... 109
5.4.6 Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan PDRB per Kapita Di Pulau Maluku-Papua ... 111
VI. SINTESIS PENELITIAN ... 113
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 117
7.1 Kesimpulan ... 117
7.2 Saran ... 118
DAFTAR PUSTAKA ... 119
xxi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.1 Rata-rata Pertumbuhan PDRB Menurut Propinsi, Tahun 2006-2010 . 2
1.2 Distribusi PDB Total Berdasarkan Pulau, Tahun 2004-2010 (persen) 6
1.3 Rata-rata Proporsi Pengeluaran Rutin dan Pembangunan Menurut
Propinsi Tahun 2001-2008 ... 7
3.1 Nilai dan Arti Statistik Durbin Watson (DW) ... 59
4.1 Rata-rata Pertumbuhan PDRB Menurut Propinsi, Tahun 2001-2010 . 65
4.2 Panjang Jalan dengan Kondisi Baik dan Sedang Menurut Pulau
di Indonesia, Tahun 2006-2010 (km) ... 72
4.3 Distribusi Investasi Swasta Menurut Pulau, Tahun 2001-2009 (%) ... 72
4.4 Komponen Pendidikan, Kesehatan dan IPM Menurut Propinsi,
Tahun 2009-2010 ... 76
5.1 Hubungan Investasi, PDRB per Kapita, dan Kesenjangan PDRB
Per Kapita, Tahun 2001-2009 ... 86
5.2 Hasil Estimasi Pengaruh Investasi Pemerintah Terhadap Tendensi
Konvergensi di Indonesia, Tahun 2001-2009 ... 94
5.3 Hasil Estimasi Pengaruh Investasi Pemerintah Terhadap Tendensi
Konvergensi di Pulau Sumatra, Tahun 2001-2009 ... 96
5.4 Hasil Estimasi Pengaruh Investasi Pemerintah Terhadap Tendensi
Konvergensi di Pulau Jawa, Tahun 2001-2009 ... 97
5.5 Hasil Estimasi Pengaruh Investasi Pemerintah Terhadap Tendensi
Konvergensi di Pulau Bali dan Nusa Tenggara, Tahun 2001-2009 .... 97
5.6 Hasil Estimasi Pengaruh Investasi Pemerintah Terhadap Tendensi
Konvergensi di Pulau Kalimantan, Tahun 2001-2009 ... 99
5.7 Hasil Estimasi Pengaruh Investasi Pemerintah Terhadap Tendensi
Konvergensi di Pulau Sulawesi, Tahun 2001-2009 ... 99
5.8 Hasil Estimasi Pengaruh Investasi Pemerintah Terhadap Tendensi
5.9 Hasil Estimasi Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan PDRB per
xxiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Investasi Aktual dan Break-even ... 13
2.2 Konvergensi Bersyarat/Kondisional ... 35
2.3 Dampak Pertumbuhan Populasi ... 36
2.4 Kerangka Pemikiran ... 49
4.1 Pertumbuhan Ekonomi Menurut Pulau, Tahun 2001-2010 (%) ... 63
4.2 Pertumbuhan Ekonomi Menurut Kawasan, Tahun 2001-2010 (%) . 64
4.3 Tren PDRB Antar Pulau, Tahun 2001-2010 (juta rupiah) ... 66
4.4 Tren PDRB per Kapita Antar Pulau, Tahun 2001-2010
(juta rupiah) ... 67
4.5 Migrasi Risen dan Migrasi Seumur Hidup Masuk, Tahun 2005
(orang) ... 68
4.6 Tren Penduduk Miskin Menurut Pulau, Tahun 2007-2010 (persen) 69
4.7 Tren Pengangguran Menurut Pulau, Tahun 2007-2010 (persen) .... 70
4.8 Perkembangan Investasi Pemerintah Menurut Pulau, Tahun 2001- 2009 (juta rupiah) ... 71
4.9 Banyaknya Listrik Terjual Menurut Pulau, Tahun 2007-2010 ... 73
4.10 Jumlah Tenaga Kerja Berpendidikan SMA ke atas Menurut Pulau di Indonesia, Tahun 2005-2010 (orang) ... 77
5.1 Indeks Williamson Menurut Pulau di Indonesia, Tahun 2001-2010 79
5.2 Tren PDRB per Kapita dan Indeks Williamson Menurut
Propinsi di Pulau Jawa, Tahun 2001-2010 (juta rupiah) ... 80
5.3 Tren PDRB per Kapita dan Indeks Williamson Menurut
Propinsi di Pulau Sumatra, Tahun 2001-2010 (juta rupiah) ... 81
5.4 Tren PDRB per Kapita dan Indeks Williamson Menurut Propinsi di Pulau Bali-Nusa Tenggara, Tahun 2001-2010
5.5 Tren PDRB per Kapita dan Indeks Williamson Menurut
Propinsi di Pulau Kalimantan, Tahun 2001-2010 (juta rupiah) ... 83
5.6 Tren PDRB per Kapita dan Indeks Williamson Menurut
Propinsi di Pulau Sulawesi, Tahun 2001-2010 (juta rupiah) ... 84
5.7 Tren PDRB per Kapita dan Indeks Williamson Menurut
Propinsi di Pulau Maluku-Papua, Tahun 2001-2010 (juta rupiah) .. 84
5.8 Dana Alokasi Umum (DAU) dan PDRB per Kapita di Indonesia Tahun 2009 (juta rupiah) ... 89
5.9 Dana Alokasi Umum (DAU) dan Investasi Pemerintah Menurut Pulau di Indonesia, Tahun 2001-2009 ... 90
5.10 DAU per Total Penerimaan dan Investasi Pemerintah per Total
Pengeluaran Menurut Pulau, Tahun 2006-2009 ... 92
5.11 DAU per Total Penerimaan dan Investasi Pemerintah per Total
Pengeluaran di Indonesia, Tahun 2009 (juta rupiah)... 91
5.12 DAK Bidang Infrastruktur dan PDRB per Kapita di Indonesia,
Tahun 2008 (juta rupiah) ... 93
5.13 Pertumbuhan PDRB per Kapita Tahun 2000-2010 dan PDRB per Kapita Tahun 2000, Provinsi-provinsi di Indonesia ... 94
5.14 Hubungan Antara PDRB per Kapita dan Kesenjangan PDRB per Kapita Menurut Pulau di Indonesia, Tahun 2001-2009 ... 101
5.15 Tren PDRB per Kapita Menurut Provinsi di Pulau Sumatra,
Tahun 2006-2010 (juta rupiah) ... 104
5.16 Tren PDRB per Kapita Menurut Provinsi di Pulau Jawa,
Tahun 2006-2010 (juta rupiah) ... 106
5.17 Tren PDRB per Kapita Menurut Provinsi di Pulau Bali-Nusa
Tenggara, Tahun 2006-2010 (juta rupiah) ... 107
5.18 Tren PDRB per Kapita Menurut Provinsi di Pulau Kalimantan,
Tahun 2006-2010 (juta rupiah) ... 109
5.19 Tren PDRB per Kapita Menurut Provinsi di Pulau Sulawesi,
Tahun 2006-2010 (juta rupiah) ... 111
xxv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Output Hasil Estimasi Pengaruh Investasi Terhadap Konvergensi
Ekonomi Regional di Indonesia, Tahun 2001-2009 ... 125
2 Output Hasil Estimasi Pengaruh Investasi Terhadap Konvergensi
Ekonomi Regional di Sumatra, Tahun 2001-2009 ... 126
3 Output Hasil Estimasi Pengaruh Investasi Terhadap Konvergensi
Ekonomi Regional di Jawa, Tahun 2001-2009 ... 127
4 Output Hasil Estimasi Pengaruh Investasi Terhadap Konvergensi
Ekonomi Regional di Bali-Nusa Tenggara, Tahun 2001-2009 ... 128
5 Output Hasil Estimasi Pengaruh Investasi Terhadap Konvergensi
Ekonomi Regional di Kalimantan, Tahun 2001-2009 ... 129
6 Output Hasil Estimasi Pengaruh Investasi Terhadap Konvergensi
Ekonomi Regional di Sulawesi, Tahun 2001-2009 ... 130
7 Output Hasil Estimasi Pengaruh Investasi Terhadap Konvergensi
Ekonomi Regional di Maluku-Papua, Tahun 2001-2009 ... 131
8 Output Hasil Estimasi Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan PDRB per Kapita di Pulau Sumatra, Tahun 2001-2009 ... 132
9 Output Hasil Estimasi Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan PDRB per Kapita di Pulau Jawa, Tahun 2001-2009 ... 133
10 Output Hasil Estimasi Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan PDRB per Kapita di Pulau Bali-Nusa Tenggara, Tahun 2001-2009 ... 134
11 Output Hasil Estimasi Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan PDRB per Kapita di Pulau Kalimantan, Tahun 2001-2009 ... 135
12 Output Hasil Estimasi Faktor-faktor Pemacu Pertumbuhan PDRB per Kapita di Pulau Sulawesi, Tahun 2001-2009 ... 136
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara melaksanakan pembangunan ekonomi untuk menciptakan
lapangan pekerjaan dan memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat.
Kesejahteraan dicirikan dengan kemakmuran, yaitu meningkatnya konsumsi
masyarakat karena pendapatan yang diperoleh juga mengalami peningkatan
(Sumodiningrat, 2001). Namun demikian dalam perjalanannya, pembangunan
dalam lingkup negara secara spasial kadang tidak sesuai harapan, dimana terdapat
perbedaan tingkat kesejahteraan dan perbedaan pencapaian pertumbuhan ekonomi
antar daerah. Beberapa daerah mencapai pertumbuhan yang cepat sementara
beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat (Sutarno dan Kuncoro,
2003).
Dinamika spasial pembangunan Indonesia menunjukkan adanya
ketidakseimbangan antara pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya (Bhinadi,
2003). Daerah-daerah di Jawa umumnya mengalami pertumbuhan ekonomi yang
cepat dibandingkan dengan daerah lain di luar Jawa. Penelitian lainnya yang
dilakukan oleh Garcia dan Soelistiningsih (1998) menunjukkan bahwa selama
tahun 1975-1995 telah terjadi ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar wilayah
di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), dimana
pertumbuhan ekonomi antar wilayah di KTI jauh tertinggal dibandingkan KBI.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada awal pembangunan umumnya
disertai dengan permasalahan lain seperti pengangguran, kemiskinan di perdesaan,
ketimpangan distribusi pendapatan dan ketidakseimbangan struktural (Kuncoro,
2003). Keadaan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan
syarat perlu namun tidak cukup bagi proses pembangunan (Esmara, 1986; Meier,
1989). Akibatnya terjadi pergeseran definisi pembangunan ekonomi dari yang
semula hanya memperhatikan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi
menjadi suatu proses dimana pendapatan perkapita suatu negara atau wilayah
meningkat dalam kurun waktu yang panjang, namun jumlah penduduk miskin
yang hidup di bawah garis kemiskinan absolut tidak meningkat dan distribusi
Secara rata-rata pertumbuhan ekonomi di wilayah Jawa dan Sumatra pada
periode tahun 2006-2010 sudah lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan nasional
(Tabel 1.1). Kondisi daerah yang mulai mencapai keadaan mapan membuat
pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Jawa dan Sumatra mulai melambat,
sedangkan untuk provinsi-provinsi di luar Jawa dan Sumatra, rata-rata
pertumbuhan ekonominya masih tinggi. Daerah dengan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi umumnya belum mencapai kondisi yang mapan dalam perekonomian
atau disebut sebagai wilayah yang sedang berkembang. Keadaan ini juga
menunjukkan perbedaan keberhasilan pembangunan antar provinsi di Indonesia.
Tabel 1.1 Rata-rata Pertumbuhan PDRB Menurut Provinsi, Tahun 2006-2010
Provinsi
Sumatra Utara 6,18 Kalimantan Tengah 6,01
Sumatra Barat 5,92 Kalimantan Selatan 5,66
Riau 4,27 Kalimantan Timur 3,32
Jambi 6,72 Sulawesi Utara 7,60
Sumatra Selatan 5,13 Sulawesi Tengah 8,21
Bengkulu 5,95 Sulawesi Selatan 7,05
Lampung 5,44 Sulawesi Tenggara 8,80
Kep Babel 4,53 Gorontalo 7,55
Keberhasilan pembangunan antar wilayah ditentukan oleh faktor-faktor
internal maupun faktor eksternal yang dimiliki oleh suatu daerah (Prahara, 2010).
3
kondisi alam, lokasi geografis, jumlah dan kualitas sumber daya alam, sumber
daya manusia, budaya, sistem politik dan ekonomi yang dianut, serta peran aktif
dari pemerintah dalam melaksanakan pembangunan. Adapun faktor eksternal
antara lain adalah perkembangan teknologi, kondisi perekonomian, perdagangan
dan politik wilayah lain, serta kondisi keamanan global.
Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan keberhasilan
pembangunan yang dicapai setiap daerah antara lain adalah kurangnya
sumber-sumber daya yang dimiliki, adanya kecenderungan peranan modal (investor)
memilih daerah perkotaan atau daerah yang mempunyai sarana prasarana yang
lengkap seperti prasarana perhubungan, jaringan listrik, jaringan komunikasi,
perbankan, asuransi dan ketersediaan tenaga trampil. Selain itu adanya
ketimpangan redistribusi pembagian pendapatan dari Pemerintah Pusat kepada
daerah juga menyebabkan pertumbuhan ekonomi antar daerah menjadi berbeda
(Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan Nasional, 1997). Konsekuensi dari
perbedaan keberhasilan pembangunan dan faktor internal dan eksternal yang
berbeda antar wilayah adalah terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah.
Daryanto (2003) membagi kesenjangan pembangunan antar wilayah menjadi
lima, yaitu kesenjangan dalam pendapatan perkapita, kualitas sumber daya
manusia, ketersediaan sarana dan prasarana seperti transportasi, energi dan
telekomunikasi, diparitas dalam pelayanan sosial seperti pendidikan dan
kesehatan, serta diparitas dalam hal akses ke perbankan.
Masalah kesenjangan ekonomi sebenarnya tidak hanya dihadapi oleh
negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, negara maju juga masih
terkendala oleh permasalahan yang sama (Putra, et.al. 2010), hanya saja yang
membedakannya adalah tingkat kecenderungan kesenjangan, tingkat kemiskinan
dan tingkat pengangguran yang terjadi. Hal ini tentunya membutuhkan solusi
yang berbeda. Negara maju memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) yang relatif
tinggi sehingga negara maju relatif lebih mudah menyelesaikan masalah-masalah
tersebut karena kesenjangan di negara maju relatif kecil. Meskipun demikian,
masalah ketimpangan tersebut tidak hanya menjadi permasalahan internal suatu
negara namun menjadi masalah internasional yang membutuhkan penyelesaian
Perbedaan indikator ekonomi pertumbuhan ekonomi dan PDRB per
kapita) antar provinsi dan antar pulau di Indonesia mengindikasikan adanya
kesenjangan ekonomi regional di Indonesia. Perlu adanya suatu instrumen yang
tepat untuk bisa mengatasi perbedaan yang ada sehingga kesejahteraan bisa
dicapai seiiring dengan menyempitnya kesenjangan ekonomi regional di
Indonesia.
Salah satu upaya yang ditempuh Indonesia untuk mengatasi permasalahan
kesenjangan ekonomi di wilayahnya adalah dengan menerapkan sistem
desentralisasi dengan harapan daerah mampu mengelola potensi yang dimilikinya
dengan lebih optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perwujudan
kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia dilakukan dengan memberikan transfer
kepada daerah berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus dan penyesuaian,
serta dalam bentuk instrumen peningkatan potensi pendapatan asli daerah (PAD)
(Suparno, 2010).
Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal berlaku sejak 1 Januari
2001 dengan ditetapkannya UU No. 22 dan No.25 Tahun 1999 yang kemudian
direvisi menjadi UU No. 32 dan No. 33 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
dan Perimbangan Lembaga Keuangan Pusat Daerah. Undang-undang tersebut
mengatur pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah serta
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengoptimalkan
potensi sumber daya keuangan di daerahnya. Secara riil otonomi daerah baru
mulai dilaksanakan pada tahun 2001 walaupun kebijakan desentralisasi ini
ditetapkan sejak tahun 1999.
Desentralisasi fiskal inilah yang kemudian diharapkan mampu
mengintervensi kesenjangan ekonomi yang terjadi. Intervensi ini diperlukan
karena pemerataan pembangunan antarwilayah tidak mungkin tercapai melalui
mekanisme pasar sehingga diperlukan intervensi pemerintah untuk melakukan
percepatan pembangunan di wilayah-wilayah yang dinilai tertinggal (Sjafrizal,
2008). Peranan pemerintah dalam bidang ekonomi tersebut bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui intervensi anggaran dengan kebijakan
fiskalnya (Suparno, 2010). Adanya campur tangan pemerintah melalui
5
PDRB per kapita namun juga mampu menurunkan kesenjangan pendapatan antar
provinsi di Indonesia. Peran pemerintah dalan hal ini adalah sebagai alat distribusi
pendapatan dengan mengupayakan agar alokasi-alokasi sumber ekonomi dapat
dilaksanakan secara efisien (Mangkoesoebroto, 1993).
Sasana (2001) menjelaskan bahwa kebijakan pembangunan yang bias
antar wilayah berdampak terhadap tingkat investasi yang timpang. Adanya
peranan pemerintah yang lebih otonom maka investasi pemerintah bisa
dilaksanakan secara efektif demi kemajuan pembangunan di suatu wilayah.
Pemerintah daerah bisa mengalokasikan pengeluaran pembangunan untuk
pembangunan daerahnya secara lebih tepat sehingga kesenjangan kemajuan
pembangunan ekonomi di Indonesia bisa dieliminir.
1.2 Perumusan Masalah
Kesenjangan ekonomi regional menimbulkan permasalahan yang secara
makro akan merugikan proses pembangunan secara keseluruhan. Kesenjangan
pendapatan antar daerah terjadi akibat distribusi dan alokasi pemanfaatan
sumberdaya yang kurang baik sehingga menciptakan inefisiensi dan tidak
optimalnya sistem ekonomi. Selain itu kesenjangan ekonomi yang semakin
melebar juga memunculkan kerugian lainnya, seperti melemahnya stabilitas sosial
dan solidaritas serta anggapan bahwa kesenjangan juga merupakan ketidakadilan
(Todaro & Smith, 2006).
Kesenjangan ekonomi terjadi akibat pembangunan ekonomi yang kurang
memperhatikan karakteristik wilayah. Kesenjangan tersebut terjadi salah satunya
sebagai dampak akumulatif dari kebijakan sentralistik dan kurangnya perhatian
terhadap perbedaan karakteristik ekologis, demografis, budaya dan ekonomi antar
daerah serta kebutuhan sosial ekonomi daerah (Sasana, 2001). Indonesia
merupakan negara yang terdiri dari beberapa kelompok pulau, dimana setiap
pulau terdiri dari beberapa provinsi dengan potensi atau karakteristik yang hampir
sama. Berdasarkan kelompok-kelompok pulau tersebut dapat dilihat lebih
mendalam seberapa besar kesenjangan ekonomi yang terjadi, baik antar pulau
Perbedaan pencapaian pertumbuhan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa
menunjukkan adanya permasalahan kesenjangan wilayah di Indonesia (Wibisono,
2001), meskipun sebenarnya terdapat perbedaan karakteristik yang cukup
mencolok antara Jawa dan Luar Jawa. Supremasi Jawa sangat terlihat jelas,
dengan luas yang sempit Jawa mampu menyumbang lebih dari 50% Produk
Domestik Bruto (PDB) total nasional (Tabel 1.2). Kondisi tersebut
mengindikasikan bahwa kesenjangan ekonomi regional terjadi di Indonesia karena
pembangunan yang tidak merata. Sasana (2001) dalam kajiannya menunjukkan
bahwa perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) selama 20 tahun
terakhir (1975-1995) telah terjadi pergeseran pangsa relatif terhadap PDB, yaitu
adanya dominasi ekonomi Pulau Jawa yang semakin besar.
Tabel 1.2 Distribusi PDB Total Berdasarkan Pulau, Tahun 2004-2010 (persen)
PULAU Tahun
Sumber : BPS, diolah, berbagai tahun.
Tidak meratanya pembangunan di Indonesia disebabkan oleh perbedaan
ketersediaan sarana infrastruktur dasar. Untuk mengurangi perbedaan tersebut
diperlukan peranan pemerintah karena investasi infrastruktur merupakan investasi
yang membutuhkan dana besar dengan resiko pengembalian yang tinggi dan
waktu pengembalian yang sangat lama sehingga hanya bisa dilakukan oleh
pemerintah.
Salah satu upaya pemerintah pusat untuk memaksimalkan investasi
pemerintah di setiap daerah adalah dengan menerapkan desentralisasi fiskal dan
otonomi daerah agar setiap daerah dapat lebih mandiri dalam melaksanakan
pembangunan. Desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan efektifitas
7
masyarakat dengan pemerintah sehingga mampu mengakomodasi kondisi
masyarakat dan wilayah yang heterogen. Desentralisasi fiskal memungkinkan
pemerintah daerah untuk memperoleh dua sumber dana untuk melakukan
pembangunan, yaitu yang berasal dari pendapatan asli daerahnya dan dana
transfer dari pusat. Dana transfer dari pusat diberikan sebagai dana perimbangan,
yaitu dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana
perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, dan antar pemerintah daerah. Penggunaan dana
perimbangan oleh pemerintah daerah akan menentukan kualitas
belanja/pengeluaran di suatu wilayah.
Selama tahun 2001-2008 pengeluaran untuk pembangunan relatif lebih
kecil dibandingkan dengan pengeluaran rutin, padahal seharusnya pemerintah
daerah berusaha untuk meningkatkan pembangunan di daerahnya secara lebih
optimal (Tabel 1.3). Pemerintah daerah seharusnya menggunakan dana
penerimaan daerahnya (PAD dan dana transfer) untuk melakukan belanja yang
lebih berkualitas.
Tabel 1.3 Rata-rata Proporsi Pengeluaran Rutin dan Pembangunan Menurut Provinsi, Tahun 2001-2008.
Provinsi Pengeluaran Provinsi Pengeluaran
Rutin Pembangunan Rutin Pembangunan
Aceh 0,66 0,34 Bali 0,79 0,21
Sumut 0,71 0,29 Kalbar 0,69 0,31
Sumbar 0,74 0,26 Kalteng 0,56 0,44
Riau 0,56 0,44 Kalsel 0.69 0,31
Jambi 0,65 0,35 Kaltim 0,51 0,49
Sumsel 0,62 0,38 Sulut 0,74 0,26
Bengkulu 0,67 0,33 Sulteng 0,67 0,33
Lampung 0,76 0,24 Sulsel 0,70 0,30
DKI Jakarta 0,68 0,32 Sultra 0,70 0,30
Jawa Barat 0,78 0,22 NTB 0,75 0,25
Jateng 0,80 0,20 NTT 0,71 0,29
DIY 0,81 0,19 Maluku 0,65 0,35
Jawa Timur 0,74 0,26 Papua 0,62 0,38
Penelitian yang dilakukan oleh Brodjonegoro (2001) dengan
menggunakan model makro ekonometrik simultan untuk melihat dampak
desentralisasi fiskal terhadap perekonomian Indonesia. Hasil studi menunjukkan
bahwa dengan skema DAU, DBHSDA, dan Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan
(DBHPPh) maka disparitas ekonomi antar daerah akan semakin meningkat. Hal
ini ditunjukkan oleh meningkatnya angka indeks Williamson. Sedangkan untuk
pertumbuhan ekonomi daerah, dengan skema yang sama menghasilkan tingkat
pertumbuhan yang berbeda-beda antar daerah, daerah yang kaya sumber daya
alam dan menerima DAU tinggi menunjukkan tingat petumbuhan yang tinggi,
demikian sebaliknya. Alokasi anggaran yang berkualitas akan menghasilkan
investasi pemerintah yang dapat mendorong pembangunan ekonomi di suatu
wilayah sehingga pemerataan pembangunan dapat tercapai. Namun apabila dalam
pengalokasian anggaran tersebut terdapat keberpihakan terhadap suatu wilayah
tertentu maka kesenjangan ekonomi akan semakin melebar.
Kesenjangan PDRB per kapita yang terjadi antar pulau bisa diturunkan
dengan memacu pembangunan ekonomi di daerah yang memiliki PDRB per
kapita rendah. Keberhasilan pembangunan ekonomi salah satunya ditunjukkan
dengan peningkatan PDRB per kapita suatu wilayah. Untuk meningkatkan PDRB
per kapita maka dalam proses pembangunan perlu diperhatikan faktor-faktor
pendukung, selain investasi pemerintah, yang berpengaruh di suatu pulau.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan utama yang ingin
dibahas di dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana efektivitas dana transfer dari pemerintah pusat (DAU dan DAK
bidang infrastruktur) dalam mengurangi kesenjangan PDRB per kapita di
enam pulau utama Indonesia?
2. Sejauhmana peranan investasi pemerintah dalam mengurangi kesenjangan
PDRB per kapita di pulau-pulau utama di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka
9
1. Mengevaluasi efektivitas dana transfer dari pemerintah pusat (DAU dan DAK
bidang infrastruktur) dalam mengurangi kesenjangan PDRB per kapita di
enam pulau utama Indonesia.
2. Mengevaluasi peranan investasi pemerintah terhadap kesenjangan PDRB per
kapita di pulau-pulau utama di Indonesia.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
investasi pemerintah, PDRB per kapita, dan kesenjangan PDRB per kapita antar
wilayah di Indonesia, khususnya di keenam pulau utama, setelah desentralisasi
fiskal dan otonomi daerah. Dengan adanya informasi-informasi tersebut maka
diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan untuk merumuskan kebijakan yang
tepat dalam rangka mengurangi kesenjangan ekonomi di Indonesia sehingga
setiap masyarakat bisa memperoleh tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan. Pertama, mengkaji kecenderungan
kesenjangan ekonomi antar pulau di Indonesia dengan menggunakan analisis
eksploratif dan hubungan antara DAU, DAK untuk infrastruktur, investasi
pemerintah, dan kesenjangan PDRB per kapita antar pulau. Kedua, menganalisis
pengaruh investasi pemerintah dan faktor-faktor lainnya terhadap kesenjangan
PDRB per kapita dan peningkatan PDRB per kapita di pulau-pulau utama
Indonesia dengan menggunakan regresi data panel. Ketiga, melakukan telaah dan
analisis terhadap hasil estimasi dari model ekonometrika yang dibangun serta
memberikan beberapa kesimpulan.
Ruang lingkup penelitian ini adalah provinsi-provinsi yang ada di
Indonesia. Analisis menggunakan data time series tahunan dari tahun 2000-2010.
Variabel yang digunakan berdasarkan fungsi produksi Cobb-Douglas dan
variabel-variabel lain yang berkaitan. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik
dan sumber-sumber lain yang relevan.
Kesenjangan ekonomi yang dibahas dalam penelitian ini hanya terbatas
individu tidak dikaji dalam penelitian ini. Sedangkan investasi dalam penelitian
ini hanya terbatas pada investasi pemerintah (pengeluaran pembangunan/belanja
modal), karena keberhasilan investasi yang dilakukan pemerintah di suatu wilayah
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu ukuran kuantitatif yang
menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu
apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Sukirno, 2007). Perkembangan
tersebut dinyatakan dalam bentuk persentase perubahan PDRB pada suatu tahun
dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Ada tiga komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa
(Todaro & Smith, 2006):
1). Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang
ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia.
2). Pertumbuhan penduduk yang pada tahun-tahun berikutnya akan
memperbanyak jumlah angkatan kerja.
3). Kemajuan teknologi.
Pertumbuhan ekonomi belum tentu melahirkan pembangunan ekonomi
dan peningkatan kesejahteraan (pendapatan) masyarakat. Hal tersebut disebabkan
karena bersamaan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi akan berlaku pula
pertambahan penduduk. Apabila tingkat pertumbuhan ekonomi selalu rendah dan
tidak melebihi tingkat pertambahan penduduk, pendapatan rata-rata masyarakat
(pendapatan per kapita) akan mengalami penurunan. Sedangkan apabila dalam
jangka panjang pertumbuhan ekonomi sama dengan pertambahan penduduk,
maka perekonomian negara tersebut tidak mengalami perkembangan (stagnan)
dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mengalami kemajuan. Dengan
demikian, salah satu syarat penting yang akan mewujudkan pembangunan
ekonomi adalah tingkat pertumbuhan ekonomi harus melebihi tingkat
pertambahan penduduk (Sukirno, 2007).
Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa.
Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan
Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan neoklasik dan model
2.1.1 Model Pertumbuhan Neoklasik
Teori pertumbuhan neo-klasik dimotori oleh Harrod-Domar dan Robert
Solow. Menurut Jhingan (2010) model pertumbuhan Harrod dan Domar atau lebih
dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar merupakan model
pertumbuhan Keynesian yang secara luas banyak diaplikasikan pada
negara-negara sedang berkembang. Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan
peran ganda investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Investasi
memengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier dan dalam
jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok
kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi juga
memengaruhi penawaran agregat. Domar menjelaskan tentang tingkat investasi
yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat setara dengan kapasitas
produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan.
Pertumbuhan permintaan agregat sama dengan investasi (I) dikalikan
dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan pertumbuhan kapasitas produksi
(penawaran agregat) sama dengan investasi (I) dibagi rasio kapital output (k).
Melalui manipulasi matematis diperoleh laju pertumbuhan investasi yang
diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan permintaan agregat dengan
laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (Marjinal Propensity to
Save = s) terhadap COR (Capital Output Ratio = k) atau dapat dinyatakan dengan
persamaan berikut:
∆ / ∆ / ∆ / / (2.1) keterangan:
Y/ Y = laju pertumbuhan permintaan agregat atau output
K/K = laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat)
I/I = laju peningkatan investasi
Model pertumbuhan neoklasik selanjutnya dimotori oleh Solow. Model
Solow menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan
yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern
dan output, guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Model Solow menganggap input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala
13
terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi
skala hasil tetap (Constant Returns To Scale) (Todaro & Smith, 2006). Secara
ekonomi, model pertumbuhan Solow menunjukkan bagaimana pertumbuhan
persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi
berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output
barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007).
Asumsi fungsi produksi bersifat skala hasil tetap yang digunakan Solow
menunjukkan bahwa output akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila
kapital dan tenaga kerja digandakan dan input-output yang baru digunakan
sepenting input yang telah ada (Mankiw, 2007). Tenaga kerja dan pengetahuan
diasumsikan tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari
anggapan tersebut model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan
fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per
tenaga kerja efektif, yaitu:
y = f(k) (2.2)
keterangan :
y = output per tenaga kerja efektif (Y/AL)
k = kapital per tenaga kerja efektif (K/AL)
Y = output
K = kapital,
L = tenaga kerja,
A = efektivitas tenaga kerja (pengetahuan),
AL = tenaga kerja efektif (labor augmented)
Investasi aktual dan Investasi break-even
Sumber: Mankiw (2007)
Gambar 2.1 Investasi Aktual dan Break-even
0
k*
Modal per pekerja efektif, k Investasi aktual
sf(k)
Dalam model Solow, output nasional yang diperoleh hanya digunakan
untuk dua tujuan yaitu konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan
untuk tujuan investasi berasal dari tabungan. Melalui proses akumulasi modal,
satu unit investasi menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan
kapital yang lama akan mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital
per unit tenaga kerja efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual
dengan perubahan investasi break-even, yaitu investasi yang diperlukan untuk
mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta
menggantikan penyusutan kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per
tenaga kerja efektif yang ada tetap terpelihara.
Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi pertumbuhan
ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi
aktual sama besarnya dengan perubahan investasi break-even. Apabila tingkat
stok kapital per tenaga kerja efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja
efektif lebih besar dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital
per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi
stok kapital per tenaga kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya
positif (gambar 2.1). Sebaliknya pada tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif
yang tinggi, investasi aktual per unit tenaga kerja lebih kecil dari investasi
break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah
sehingga jumlahnya menurun ke posisi stok kapital per tenaga kerja
keseimbangan atau laju pertumbuhannya negatif. Dengan demikian stok kapital
per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke posisi keseimbangannya di titik k*.
Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga
kerja efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi
aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital
total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu
sebesar jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu
pengetahuan. Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja
tumbuh sebesar pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Solow menjelaskan bahwa perekonomian senantiasa akan konvergen
15
setiap variabel tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada pertumbuhan yang
berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya ditentukan oleh tingkat
kemajuan teknologi. Hal ini menunjukkan pentingnya kemajuan teknologi dalam
proses pertumbuhan ekonomi menurut Solow.
2.1.2 Model Pertumbuhan Endogen
Model pertumbuhan endogen dikembangkan untuk melengkapi teori
pertumbuhan ekonomi neo-klasik. Model pertumbuhan neo-klasik berargumen
bahwa pertumbuhan output didorong oleh tingkat perkembangan teknologi. Tanpa
perkembangan teknologi, tidak akan ada pertumbuhan jangka panjang. Tetapi
karena penyebab perkembangan teknologi tidak dijelaskan dalam model Solow,
sehingga dasar terjadinya pertumbuhan masih kurang jelas. Karena Solow
menganggap teknologi sebagai faktor eksogen dalam proses pertumbuhan maka
model pertumbuhannya tidak memperhatikan bagaimana mendorong kemajuan
teknologi melalui proses belajar (learning by doing), investasi dalam penelitian
dan akumulasi pengetahuan (Capello, 2007).
Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang
pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci
utama dalam perekonomian, yaitu:
1. Pemikiran yang percaya bahwa knowledge stock adalah sumber utama bagi
peningkatan produktivitas ekonomi.
2. Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan human
capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal) dalam
perekonomian merupakan faktor pendorong bagi peningkatan produktivitas
perekonomian.
Pemikiran bahwa stok pengetahuan merupakan salah satu faktor produksi
yang semakin meningkat dikembangkan oleh Romer. Tingkat pertumbuhan dapat
terus meningkat sesuai dengan kemampuan masing-masing negara dalam
meningkatkan dan menciptakan stok pengetahuan. Oleh karena itu negara maju
yang memiliki kemampuan menciptakan pengetahuan yang lebih cepat
yang lebih cepat. Hal ini sekaligus menolak teori konvergensi dari neo-klasik,
karena konvergensi tidak bisa secara otomatis terjadi dalam perekonomian.
Model Romer menekankan pada akumulasi pengetahuan dalam upaya
mencapai pertumbuhan jangka sehingga bisa mencapai kondisi konvergen. Oleh
karena itu variabel modal dalam pertumbuhan agregat neo-klasik sekarang sudah
memperhitungkan unsur akumulasi pengetahuan. Tiga elemen utama dalam model
Romer yaitu:
1. Adanya unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan.
2. Adanya peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang menyebabkan
peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja.
3. Semakin pendeknya waktu pemanfaatan ilmu pengetahuan, karena pesatnya
perkembangan di sektor riset.
Secara umum model Romer dirumuskan sebagai berikut:
Y KαL αKβ
dengan 0 < α < 1; 0 < β < 1 (2.3)
Keterangan:
Yi : output produksi perusahaan i
Ki : stok modal
Li : tenaga kerja
K : stok pengetahuan/teknologi (technical knowledge) agregat.
K diasumsikan mempunyai efek menyebar yang positif terhadap produksi setiap
perusahaan.
Model pertumbuhan endogen berikutnya dikemukakan oleh Lucas melalui
model akumulasi human capital dengan learning theory. Learning theory
memasukkan unsur ekstemalitas yang terkandung dalam peningkatan kapital pada
proses produksi. Peningkatan capital akan meningkatkan stok publik knowledge,
sehingga secara keseluruhan proses produksi dalam skala yang bersifat increasing
return to scale.
Akumulasi modal manusia dapat dilakukan melalui pendidikan formal
maupun bukan jalur pendidikan formal (on the job traning). Eksternalitas yang
dihasilkan oleh investasi dalam pendidikan umum (termasuk kegiatan produksi)
serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu inilah yang menyebabkan proses
17
Model yang dikembangkan oleh Lucas menggunakan dua jenis modal,
yaitu modal fisik dan modal manusia. Rumusan yang digunakan Lucas adalah
sebagai berikut:
Y AKα u H L αHθ (2.4)
Keterangan:
Yt : output produksi
A : konstanta
K : stok modal
L : tenaga kerja
u : waktu yang digunakan untuk pekerja untuk berproduksi
H : kualitas dari human capital yang merupakan rata-rata banyaknya
pengetahuaan yang dimiliki oleh pekerja.
Dengan Ht yang meningkat sejalan dengan ut maka fungsi produksi akan bersifat
Increasing Return To Scale dimana Ht bersifat eksternal yang bergantung pada
tingkat ketrampilan rata-rata tenaga kerja dalam perusahaan tersebut.
Sirojuzilam (2009) mengemukakan bahwa terdapat lima faktor penyebab
perbedaan pertumbuhan ekonomi antar wilayah, yaitu:
1. Kandungan sumber daya alam
Kegiatan produksi akan sangat dipengaruhi oleh faktor produksi yang dimiliki.
Suatu daerah yang kaya akan sumber daya alam akan lebih efisien dalam
memproduksi barang karena harga faktor input yang murah sehingga pada
gilirannya akan mampu mempercepat pertumbuhan ekonominya.
2. Kondisi geografis
Kondisi geografis suatu wilayah seperti perbedaan tingkat pertumbuhan dan
struktur kependudukan, tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi
ketenagakerjaan, tingkah laku dan etos kerja masyarakatnya akan
memengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
3. Mobilitas barang dan jasa
Tidak lancarnya mobilitas barang dan jasa akan menyebabkan penumpukan
produksi di suatu wilayah sehingga akan menghambat pertumbuhan di
wilayah tersebut dan menyebabkan perekonomian di wilayah tersebut menjadi
4. Derajat konsentrasi kegiatan ekonomi
Wilayah yang memiliki derajat konsentrasi ekonomi yang baik akan
mendorong peningkatan penyerapan tenagakerja dan tingkat pendapatan
masyarakat sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah
tersebut.
5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah
Alokasi dana pembangunan atau investasi baik yang dilakukan oleh
pemerintah maupun swasta di suatu wilayah akan mendorong tumbuhnya
kegiatan di sektor produksi dan akan meningkatkan pendapatan sehingga
pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut dapat semakin tinggi.
2.2 Kesenjangan PDRB per Kapita Regional
Kesenjangan mengacu pada standar hidup relatif dari masyarakat secara
keseluruhan (Sutarno dan Kuncoro, 2003). Kesenjangan regional disebabkan
adanya perbedaan faktor potensi wilayah sejak awal. Perbedaan potensi inilah
yang menyebabkan kemampuan suatu daerah dalam melaksanakan pembangunan
ekonomi di wilayahnya menjadi berbeda. Arsyad (2010) menyebutkan bahwa
teori kutub pertumbuhan yang dikemukakan oleh Perroux menyebutkan bahwa
pertumbuhan tidak muncul di berbagai daerah dalam waktu yang bersamaan.
Pertumbuhan hanya terjadi di tempat-tempat yang merupakan pusat pertumbuhan
dengan intensitas yang berbeda. Terjadinya ketimpangan antar daerah ini
membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar daerah yang
pada akhirnya menyebabkan ketimpangan pendapatan.
Perbedaan kemajuan antar daerah berarti adanya perbedaan kemampuan
untuk tumbuh sehingga yang timbul adalah ketidakmerataan. Kuznets
menganalisis pola-pola pertumbuhan historis di negara-negara maju dan
mengemukakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan distribusi pendapatan
cenderung memburuk namun pada tahapan berikutnya distribusi pendapatan akan
semakin membaik. Kondisi inilah yang kemudian dikenal dengan hipotesis
“Kurva U Terbalik” (Todaro & Smith, 2006). Hipotesis ini dihasilkan melalui
kajian empiris terhadap pola pertumbuhan ekonomi terhadap trade off antara
19
maka setelah mencapai tahap tertentu trade off tersebut akan menghilang diganti
dengan hubungan korelasi positif antara pertumbuhan dan pemerataan.
Proses trade off ini banyak terjadi di negara sedang berkembang, ketika
proses pembangunan dilaksanakan maka ketimpangan semakin meningkat. Hal ini
disebabkan karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai di negara
sedang berkembang, kesempatan dan peluang pembangunan yang umumnya
dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunannya sudah lebih
baik. Sedangkan daerah-daerah yang masih terbelakang tidak mampu
memanfaatkan peluang yang ada karena keterbatasan prasarana dan sarana serta
rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hambatan ini tidak saja disebabkan
oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh faktor sosial budaya sehingga akibatnya
ketimpangan pembangunan antar daerah cenderung meningkat karena
pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisinya lebih
baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan
(Sjafrizal, 2008).
Faktor-faktor penyebab ketimpangan pembangunan ekonomi (Emilia dan
Imelia, 2006), antara lain:
1) Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah
Ekonomi di daerah dengan konsentrasi tinggi cenderung tumbuh pesat,
sedangkan daerah yang memiliki tingkat konsentrasi ekonomi yang rendah
cenderung akan tumbuh dengan lambat.
2) Alokasi investasi
Teori pertumbuhan ekonomi dari Harrod Domar menerangkan hubungan
positif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Artinya
apabila tingkat investasi suatu daerah rendah maka daerah tersebut akan
memiliki pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat per
kapita yang rendah karena tidak adanya kegiatan ekonomi yang produktif.
3) Tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antar daerah
Pertumbuhan ekonomi yang lambat disebabkan oleh kurang lancarnya
4) Perbedaan sumber daya alam antarwilayah
Kaum klasik menerangkan bahwa pembangunan ekonomi di daerah yang
kaya sumber daya alam (SDA) akan lebih maju dan masyakaratnya lebih
makmur dibandingkan dengan wilayah yang miskin SDA.
5) Perbedaan kondisi demografis antarwilayah
Jumlah dan pertumbuhan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin dan etos
kerja masyarakat menjadi faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi antar
wilayah menjadi berbeda. Faktor jumlah penduduk yang besar akan menjadi
faktor pendorong bagi pertumbuhan ekonomi sekaligus menjadi aset yang
potensial bagi produksi.
6) Kurang lancarnya perdagangan antarwilayah
Lancar tidaknya perdagangan antar wilayah ditentukan oleh kondisi
transportasi dan komunikasi. Kelangkaan barang modal, input antara, bahan
baku akibat sarana transportasi dan komunikasi yang tidak baik akan
menyebabkan kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak berkembang dan tidak
dapat beroperasi secara optimal.
Salah satu indikator untuk melihat kesenjangan ekonomi regional adalah
melalui kesenjangan pendapatan per kapita. Pendekatan pendapatan per kapita
yang biasa digunakan adalah dengan PDRB per kapita. PDRB adalah nilai bersih
barang dan jasa-jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan ekonomi di
suatu daerah dalam periode (Sasana, 2009). PDRB dapat menggambarkan
kemampuan suatu daerah mengelola sumber daya alam yang dimiliki suatu
daerah. Besaran PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing daerah sangat
bergantung kepada potensi sumber daya alam dan faktor produksi daerah tersebut.
PDRB per kapita dapat dihitung dari PDRB harga konstan dibagi dengan jumlah
penduduk pada suatu wilayah. Keterbatasan dalam ketersediaan faktor-faktor
produksi dan sumber daya alam membuat besaran PDRB bervariasi antar daerah.
Arsyad (2010) menjelaskan bahwa pendapatan per kapita memberikan
gambaran tentang kesejahteraan masyarakat di banyak negara dan
menggambarkan perbedaan tingkat kesejahteraan masyarakat yang terjadi antar
negara. Semakin tinggi PDRB per kapita maka semakin sejahtera penduduk suatu
21
Dengan pendapatan yang semakin tinggi maka seseorang akan semakin mampu
membayar berbagai pungutan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Di dalam perekonomian suatu negara, setiap sektor yang ada tergantung
pada sektor yang lain, satu dengan yang lain saling memerlukan baik dalam
tenaga, bahan mentah maupun hasil akhirnya. Sektor industri memerlukan bahan
mentah dari sektor pertanian dan pertambangan, hasil sektor industri dibutuhkan
oleh sektor pertanian dan jasa-jasa. Menurut BPS (2008), angka PDRB dapat
diperoleh melalui tiga pendekatan yaitu pendekatan produksi, pendekatan
pendapatan dan pendekatan pengeluaran yang selanjutnya dijelaskan sebagai
berikut :
1. Menurut Pendekatan Produksi
PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai
unit produksi yang berada di suatu wilayah/provinsi dalam jangka waktu
tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya
dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) sektor atau lapangan usaha yaitu;
Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik, Gas
dan Air Bersih, Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan
dan Komunikasi, Jasa Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, Jasa-jasa.
2. Menurut Pendekatan Pendapatan
PDRB merupakan balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang
ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam waktu tertentu. Balas
jasa faktor produksi adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan
keuntungan; sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya.
PDRB mencangkup juga penyusutan neto. Jumlah semua komponen
pendapatan per sektor disebut sebagai nilai tambah bruto sektoral. PDRB
merupakan jumlah dari nilai tambah bruto seluruh sektor.
3. Menurut Pendekatan Pengeluaran
PDRB adalah penjumlahan semua komponen permintaan akhir yaitu:
a) Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak
mencari untung.
b) Konsumsi pemerintah.
d) Perubahan stok.
e) Ekspor netto.
PDRB per kapita juga dapat dijadikan sebagai salah satu indikator guna
melihat keberhasilan pembangunan perekonomian di suatu wilayah. Perbedaan
faktor produksi dan sumber daya yang dimiliki setiap daerah akan menyebabkan
terjadinya kesenjangan PDRB per kapita antar daerah. Ketimpangan PDRB per
kapita antar daerah yang terjadi bisa diukur dengan indeks Williamson (Hartono,
2008). Penelitian yang dilakukan oleh Sjafrizal (1997) menunjukkan bahwa
ketimpangan ekonomi regional di Indonesia dari tahun 1971 sampai tahun 1990
berkisar antara 0,394 sampai 0,484. Artinya ada peningkatan ketimpangan
ekonomi regional walaupun masih relatif sedang. Studi yang dilakukan Hartono
(2008) menunjukkan bahwa ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah di
Provinsi Jawa Tengah yang dihitung dengan menggunakan indeks Williamson
pada tahun 1981-2005 semakin melebar.
Kenaikan pendapatan per kapita dapat tidak menaikkan standar hidup riil
masyarakat apabila pendapatan per kapita meningkat akan tetapi konsumsi per
kapita turun (Jhingan, 2010). Keadaan ini disebabkan oleh kenaikan pendapatan
tersebut hanya dinikmati oleh kelompok tertentu saja yaitu beberapa orang kaya
dan tidak oleh banyak orang miskin. Selain itu, rakyat lebih memilih untuk
meningkatkan tingkat tabungan mereka atau pemerintah lebih memilih untuk
menggunakan peningkatan pendapatan yang terjadi untuk membiayai keperluan
militer atau keperluan lain.
Penelitian tentang ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
di Provinsi Gorontalo yang dilakukan oleh Mopanga (2010) memperoleh hasil
bahwa sumber utama ketimpangan adalah perbedaan PDRB per Kapita, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) dan rasio belanja insfrastruktur. Pertumbuhan
ekonomi mempunyai hubungan positif dengan ketimpangan pembangunan
(Indeks Gini).
Baransano (2011) melakukan penelitian tentang kesenjangan pembangunan
di Provinsi Papua Barat. Hasil analisis dengan Indeks Williamson dan Indeks
Theil menunjukkan kesenjangan pembangunan di provinsi tersebut berangsur
23
kapita, jumlah penduduk, alokasi dana perimbangan dan IPM secara signifikan
memengaruhi kesenjangan pembangunan wilayah.
Uppal dan Handoko (1986) melakukan penelitian untuk mengetahui
kesenjangan pendapatan antar daerah pada periode 1976-1980. Dengan
menggunakan indeks Williamson ditemukan bahwa ada tendensi penurunan
dalam kesenjangan pendapatan antar daerah pada periode tersebut. Faktor yang
cenderung menurunkan kesenjangan antar daerah adalah anggaran belanja
pemerintah dan transfer kepada provinsi.
Tadjoeddin (2003) melakukan studi yang terkait dengan kesenjangan
regional dan konflik-konflik di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa dengan penghitungan Indeks Theil dan L, kontribusi daerah-daerah
kantong/kaya sekitar 60-70 persen dalam ketimpangan regional. Apabila
daerah-daerah kaya tersebut dikeluarkan dari penghitungan maka ketimpangan regional
dalam output per kapita akan lebih rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi
formasi dan pembangunan daerah kaya adalah kelimpahan sumberdaya alam
seperti minyak, gas, mineral dan kehutanan yang menarik investor untuk
mengeksploitasi sumberdaya alam tersebut dan menghasilkan kapasitas output
yang sangat besar, selain itu faktor pengambilan kebijakan, berdasarkan
keunggulan komparatif yang diperoleh dari lokasi yang strategis dan infrastruktur,
juga memiliki pengaruh dalam pembangunan daerah kaya.
Caska dan Riadi (2008) melakukan penelitian mengenai pertumbuhan dan
ketimpangan pembangunan ekonomi antardaerah di Provinsi Riau. Metode
penelitian yang digunakan adalah tipologi klassen, indeks ketimpangan
Williamson, indeks Entropi Theil, dan pembuktian kurva U terbalik Kuznets. Dari
hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa di Provinsi Riau selama tahun
2003-2005 tingkat ketimpangan pendapatan antar daerahnya rendah. Sedangkan
hipotesis Kuznets tidak berlaku di Provinsi Riau selama periode tersebut.
Penelitian tentang kesenjangan pendapatan di Indonesia juga dilakukan
oleh Akita dan Alisjahbana (2002). Penelitian tersebut menggunakan
menggunakan indeks Theil sebagai alat ukur kesenjangan pembangunan antar
wilayah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kesenjangan daerah meningkat