• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Perilaku Asertif Dan Tingkat Stres

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa kedewasaan sehingga pada masa ini terjadi banyak perubahan yang dialami oleh remaja. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa ini berkisar dari perkembangan dan pematangan fungsi seksual, perkembangan

fungsi kognitif berupa kemampuan untuk berpikir abstrak sampai pada perubahan peran sosial serta kemandirian.

Salah satu sumber stres adalah adanya perubahan yang mengganggu kontinuitas dan kestabilan hidup individu yang bersangkutan. Oleh karena itu, perubahan yang muncul pada masa remaja dapat menimbulkan stres apabila remaja yang bersangkutan tidak mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan tersebut.

Stres dapat menimbulkan dampak yang negatif karena stres yang tidak dikelola dengan baik dapat mengganggu kondisi fisik, psikologis, kognitif, serta perilaku individu yang bersangkutan. Dampak negatif stres pada remaja dapat dilihat dari berbagai bentuk perilaku merusak serta kenakalan remaja. Contoh perilaku tersebut antara lain bunuh diri serta percobaan bunuh diri yang jumlahnya cukup tinggi pada usia remaja, pemakaian obat-obatan terlarang, atau pengkonsumsian rokok dan minuman keras. Karena itulah, stres perlu dikelola dan di atasi sesegera mungkin.

Ada berbagai macam bentuk coping yang dapat digunakan untuk menanggulangi dan mengelola stres, salah satunya adalah perilaku asertif. Namun latar belakang budaya dapat mempengaruhi reaksi masyarakat yang bersangkutan terhadap perilaku asertif sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi terbentuknya perilaku asertif pada seorang individu (Santoso, 1999).

Kebudayaan tradisional Jawa yang menekankan kerukunan hidup bersama serta menghindari segala hal yang dapat memicu konflik mungkin

menghambat terbentuknya perilaku asertif, akan tetapi perkembangan komunikasi dan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini mempermudah suatu negara dengan kebudayaan tertentu untuk mempelajari nilai-nilai dan kebudayaan negara lain yang berbeda serta mengadopsi unsur-unsur kebudayaan lain tersebut. Sarwono (2005) menyatakan bahwa kemajuan teknologi komunikasi telah menyebarluaskan dan memasyarakatkan gaya hidup, nilai, dan perilaku. Oleh karena itu kemajuan teknologi komunikasi juga memungkinkan perilaku asertif yang lebih dulu berkembang di kebudayaan Barat dipelajari dan diadopsi oleh remaja di Indonesia yang berlatar belakang kebudayaan Timur.

Perilaku asertif dapat menjadi pilihan yang tepat untuk mengatasi stres pada masa remaja karena perilaku asertif akan memampukan remaja untuk mengkomunikasikan ide, pendapat, atau perasaan yang dimilikinya secara jujur sehingga tekanan yang dirasakan remaja karena perkembangan fungsi kognitifnya dapat di atasi. Remaja yang tidak mau terbuka dan mengkomunikasikan pemikirannya akan lebih berpeluang untuk merasa tertekan. Hal ini terjadi karena biasanya pemikiran remaja yang unik dan segar membutuhkan suatu penjelasan yang baik agar orang lain dapat memahaminya. Oleh karena itu, perasaan tidak di pahami oleh orang lain akan lebih mudah dialami remaja yang tidak berperilaku asertif dibandingkan dengan remaja yang berperilaku asertif.

Perasaan tidak dipahami oleh orang lain dapat menimbulkan frustasi karena remaja akan merasa kurang mendapatkan pengertian dari orang lain

sehingga pada akhirnya akan menimbulkan stres. Oleh karena itu remaja yang tidak berperilaku asertif akan memiliki resiko lebih besar untuk mengalami stres daripada remaja yang berperilaku asertif.

Perilaku asertif pada masa remaja juga dapat menolong remaja untuk memperoleh bantuan saat mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan fisiknya maupun saat menghadapi tantangan tugas perkembangannya karena perilaku asertif memungkinkan remaja untuk meminta pertolongan kepada orang lain. Hardjana (1994) mengemukakan bahwa terkadang stres yang dihadapi oleh seorang individu terlalu sulit untuk dapat di atasi seorang diri sehingga diperlukan bantuan dari orang lain. Oleh karena itu, meminta bantuan kepada orang lain merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi stres. Remaja yang tidak mampu secara jujur meminta bantuan kepada orang lain akan lebih berpeluang untuk menyerah dalam menghadapi masalah dan tuntutan perkembangan pada masa remaja. Kegagalan dalam mengatasi dan menyelesaikan tugas perkembangan ini akan menimbulkan tekanan dan berdampak buruk pada tahap perkembangan hidup selanjutnya.

Kebutuhan remaja akan dukungan teman sebayanya serta kecenderungan remaja untuk berperilaku konform sering menimbulkan pertanyaan akan efektivitas perilaku asertif sebagai bentuk coping yang tepat pada masa remaja. Ketakutan remaja akan penolakan dari teman sebayanya menjadi alasan yang kuat untuk tidak menggunakan perilaku asertif sebagai coping dalam masa remaja. Perilaku asertif dipandang dapat memunculkan

ketakutan dan kecemasan akan penolakan dari kelompok teman sebayanya sehingga justru dapat menimbulkan tekanan dalam diri remaja. Akan tetapi, perilaku asertif sesungguhnya justru dapat membantu remaja dalam menghadapi perubahan sosialnya dengan keluarga dan teman sebayanya.

Perilaku asertif dapat membantu remaja terhindar dari konflik dengan orang lain akibat kesalahpahaman. Hal ini terjadi karena pada saat berperilaku asertif remaja akan mengkomunikasikan perasaan dan pemikirannya secara terkendali dan terkontrol sehingga tidak melukai lawan bicaranya. Dengan demikian perilaku asertif juga akan membantu remaja untuk menjalin hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain. Sebaliknya, tanpa perilaku asertif hubungan remaja dengan orang lain dapat mengalami banyak ketegangan dan kesalahpahaman. Ketegangan dapat tercipta ketika remaja memutuskan untuk tidak mendiskusikan secara terbuka mengenai sesuatu pengalaman atau situasi yang tidak menyenangkan dengan orang lain. Kesalahpahaman juga dapat terbentuk jika remaja memutuskan untuk mengutarakan isi hatinya tanpa kontrol yang baik sehingga pada akhirnya dapat melukai lawan bicaranya dan merusak hubungan interpersonal remaja.

Sikap konform pada masa remaja dalam batasan tertentu bukanlah suatu hal yang negatif. Dengan bersikap konform, remaja dapat belajar untuk mengenai sistem serta norma kelompok sosial dan belajar untuk bekerja atau beraktivitas dalam suatu kelompok sosial di luar keluarganya. Akan tetapi sikap konform tersebut akan menjadi negatif ketika remaja mengikuti suatu

sikap atau tindakan negatif dari kelompok sosialnya seperti misalnya merokok, perusakan fasilitas umum, dan sebagainya.

Perilaku asertif tetap memberi kesempatan remaja untuk bersikap konform dengan kelompok teman sebayanya mengenai hal-hal yang tidak bertentangan dengan prinsip atau norma yang diyakini oleh remaja yang bersangkutan, namun di sisi lain akan memampukan remaja untuk bersikap tegas dalam menolak pengaruh negatif dari kelompok teman sebayanya. Remaja yang tidak memiliki kemampuan berperilaku asertif akan lebih sulit menolak tekanan kelompoknya sehingga hal ini akan membuatnya menjadi mudah mengalami tekanan akibat seringnya mengorbankan keyakinan dan prinsip hidupnya demi mengikuti keinginan kelompoknya.

Dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif memiliki hubungan dengan stres pada remaja. Remaja yang tidak berperilaku asertif akan lebih mudah merasa tertekan sehingga stresnya dapat menjadi tinggi. Sebaliknya, remaja yang berperilaku asertif akan lebih mudah melepaskan diri dari perasaan tertekan sehingga stresnya dapat menjadi rendah. Dengan kata lain, remaja yang mampu berperilaku asertif akan lebih mudah menghadapi dan mengelola stres dengan baik dibandingkan dengan remaja yang tidak berperilaku asertif. Oleh karena itu perilaku asertif dapat menjadi bentuk coping yang efektif pada masa remaja.

Dokumen terkait