• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

D. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment dengan uji satu arah. Uji hipotesis ini menghasilkan nilai r sebesar –0,616. Besar nilai r ini dapat diinterpretasikan untuk memperkirakan kekuatan hubungan korelasi, seperti ditampilkan pada tabel 10 (Budi, 2006):

Tabel 10

Interpretasi Terhadap Nilai r Hasil analisis Korelasi

Interval Nilai r *) Interpretasi 0,001 – 0,200 Korelasi sangat lemah 0,201 – 0,400 Korelasi lemah 0,401 – 0,600 Korelasi cukup kuat 0,601 – 0,800 Korelasi kuat 0,801 – 1,000 Korelasi sangat kuat *) Interpretasi berlaku untuk nilai r positif maupun negatif

Berdasarkan kategori pada tabel di atas, maka angka 0,616 sebagai angka koefisien korelasi atau nilai r menunjukkan korelasi yang kuat karena termasuk dalam interval 0,601 – 0,800. Tanda negatif di depan angka 0,616 menunjukkan bahwa korelasi memiliki pola negatif. Dengan demikian, dapat

diinterpretasikan bahwa semakin tinggi perilaku asertif, maka semakin rendah tingkat stres.

Angka probabilitas yang di hasilkan pada uji hipotesis dalam penelitian ini adalah 0,000 (p < 0,01), oleh sebab itu dapat diambil keputusan bahwa Ho, hipotesis yang menyatakan tidak ada hubungan antara variabel perilaku asertif dan variabel tingkat stres, ditolak. Rangkuman hasil uji hipotesis dapat dilihat pada tabel 11:

Tabel 11

Rangkuman Hasil Uji Hipotesis Product Moment Pearson

Variabel N r p

X : Perilaku Asertif 70

Y : Stres 70

-0,616 ** 0,000 (< 0,01) **) Korelasi signifikan pada taraf signifikansi 0,01

E. Kategorisasi

Kategorisasi yang digunakan adalah kategorisasi berdasarkan signifikansi perbedaan. Kategorisasi ini dilakukan dengan menguji signifikansi perbedaan antara mean skor empiris dengan mean skor teoritis, dan rumus yang digunakan untuk kategorisasi ini adalah (Azwar, 2000):

µ - t(α/ 2, n-1) (s/ √n) ≤ X ≤ µ + t(α/ 2, n-1) (s/ √n) Keterangan:

µ : Mean teoritis pada skala

t(α/ 2, n-1) : Harga Kritis t pada taraf signifikansi α/ 2 dan derajat kebebasan n-1

s : Standar Deviasi skor n : Banyaknya subjek

Pada penelitian ini jumlah subjek adalah sebanyak 70 subjek dan t(α/ 2, n-1) dicari pada taraf kepercayaan 95% sehingga diketahui α adalah sebesar 5%. Besarnya t(α/ 2, n-1) ini kemudian dicari pada daftar tabel t (Budi, 2006) sehingga dihasilkan nilai t(α/ 2, n-1) sebesar 2,000. Kategorisasi ini akan dilakukan pada kedua variabel penelitian:

1. Kategorisasi Perilaku Asertif

Pada penelitian ini, skala perilaku asertif menghasilkan mean hipotetik sebesar 102,5 dan standar deviasi sebesar 13,191. Maka interval pada kategorisasi perilaku asertif adalah:

99, 347 ≤ X ≤ 105, 65

Inteval ini merupakan interval skor yang digolongkan sebagai kategori sedang pada taraf signifikansi sebesar α sedangkan skor yang lebih besar daripada batas-batas interval akan diinterpretasikan sebagai tinggi dan skor yang lebih kecil dari batas-batas interval dikategorikan sebagai rendah (Azwar, 2000). Berdasarkan interval tersebut maka kategorisasi skor perilaku asertif dapat dilihat pada tabel 12:

Tabel 12

Kategorisasi Skor Kumulatif Perilaku Asertif

Kategori Jumlah Subjek Prosentase

Tinggi 61 87,14%

Sedang 3 4,29%

Rendah 6 8,57%

2. Kategorisasi Tingkat Stres

Pada penelitian ini, skala tingkat stres menghasilkan mean hipotetik sebesar 97.5 dan standar deviasi sebesar 14.242. Maka interval pada kategorisasi tingkat stres adalah:

94, 1 ≤ X ≤100, 9

Berdasarkan interval tersebut maka kategorisasi skor perilaku asertif dapat dilihat pada tabel 13:

Tabel 13

Kategorisasi Skor Kumulatif Perilaku Asertif

Kategori Jumlah Subjek Prosentase

Tinggi 12 17,14%

Sedang 9 12,86%

Rendah 49 70%

Jumlah 70 100%

F. Pembahasan

Hasil uji hipotesis membuktikan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara perilaku asertif dengan tingkat stres pada remaja. Artinya semakin tinggi perilaku asertif, maka tingkat stres akan semakin rendah. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah perilaku asertif, maka tingkat stres akan semakin tinggi.

Hasil uji hipotesis penelitian ini didukung oleh pendapat Santrock (2005) dan Er (1989) yang menyatakan bahwa perilaku asertif merupakan salah satu bentuk coping terhadap stres. Perilaku asertif sebagai salah satu

bentuk coping terhadap stres akan membuat pola korelasi yang terjadi di antara keduanya bersifat negatif. Selain itu, Hasil penelitian Kiselica, dkk (1994) mengenai kecemasan, stres dan pencapaian akademik pada remaja juga memperkuat hasil uji hipotesis penelitian ini. Kiselica, dkk membuat program yang terdiri dari pelatihan asertivitas dan beberapa bentuk coping stres lainnya untuk melihat pengaruhnya pada kecemasan, stres dan pencapaian akademik remaja. Hasilnya menunjukkan adanya penurunan simptom stres yang signifikan pada saat post test setelah subjek penelitian mengikuti program eksperimen mereka.

Hubungan negatif antara perilaku asertif dengan stres pada remaja dapat terjadi karena unsur-unsur yang ada dalam perilaku asertif memungkinkan remaja untuk mengatasi permasalahan dan tekanan yang mereka alami sehingga pada akhirnya hal ini akan menurunkan tingkat stres mereka. Perubahan pada masa remaja sedikit banyak akan mempengaruhi pikiran dan perasaan remaja. Ketidaknyamanan yang mungkin dirasakan remaja akibat perubahan fisiknya, kebingungan akibat tuntutan peran sosial yang baru, ide-ide yang muncul sebagai akibat perkembangan kemampuan kognitifnya, serta kelabilan emosi yang dapat muncul akibat perubahan hormon dapat menimbulkan stres. Akan tetapi dengan berperilaku asertif maka stres akibat perubahan pada masa remaja ini dapat dikurangi atau di atasi.

Perilaku asertif memungkinkan seorang individu untuk bersikap terbuka, baik dalam mengkomunikasikan pemikiran dan perasaan yang

dimilikinya, meminta informasi dan bantuan kepada orang lain saat membutuhkan, maupun untuk menolak atau berkata “tidak”. Remaja yang berperilaku asertif akan lebih mampu mengkomunikasikan ide-ide yang muncul dalam pemikirannya dan perasaan yang muncul dalam dirinya dengan lebih terbuka. Kemampuan untuk mengemukakan pendapat dan pemikirannya akan membantu menyalurkan berbagai ide yang muncul karena berkembangnya kemampuan abstrak pada masa remaja sehingga memungkinkan remaja untuk dimengerti oleh orang lain. Penyaluran ini dapat mengurangi tekanan yang dirasakan remaja selama masa transisinya dibandingkan remaja yang tidak mampu mengutarakan pikiran dan perasaannya. Remaja yang tertekan akan lebih mudah mengalami stres, karena itu remaja yang berperilaku asertif lebih mungkin terhindar dari stres dibandingkan remaja yang tidak berperilaku asertif.

Remaja yang berperilaku asertif juga mampu meminta informasi dan bantuan kepada orang lain saat membutuhkan sehingga peluang mereka untuk dapat menyelesaikan masalah yang dialaminya pada masa ini lebih besar dari pada remaja yang sulit untuk meminta pertolongan orang lain ketika memerlukannya. Masalah yang tidak terselesaikan dapat memicu stres, oleh karena itu remaja tidak berperilaku asertif akan lebih berpeluang untuk memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan remaja yang berperilaku asertif.

Alasan lain yang menyebabkan terjadinya hubungan negatif antara perilaku asertif dengan stres pada remaja, yaitu dalam berperilaku asertif

mempertahankan hak-hak pribadi dilakukan dengan tetap menghargai dan tidak melanggar hak-hak orang lain sehingga perilaku ini dapat mencegah terjadinya konflik dengan orang lain. Berkurangnya konflik dengan orang lain akan mempengaruhi tinggi atau rendahnya stres.

Kategorisasi skor kumulatif skala tingkat stres subjek penelitian menunjukkan bahwa ada 70% subjek penelitian yang memiliki tingkat stres rendah dan 12,86% subjek penelitian memiliki tingkat stres yang berada pada kategori sedang. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa ada hubungan negatif antara perilaku asertif dan tingkat stres. Oleh karena itu, kemungkinan subjek penelitian memiliki perilaku asertif yang tinggi sehingga tingkat stres mereka menjadi rendah. Namun demikian masih terdapat 17,14% subjek penelitian yang tingkat stresnya berada pada kategori tinggi.

Tingkat stres yang tinggi kemungkinan disebabkan karena tantangan hidup yang semakin besar dapat menimbulkan tekanan yang besar sehingga meningkatkan stres. Siswa SMA 1 Purworejo sebagai remaja sedikit banyak akan mulai memperdulikan permasalahan dan tantangan yang berada disekitarnya. Hal ini dapat meningkatkan tingkat stres Hal ini dapat meningkatkan stres siswa apabila mereka merasa tidak mampu menghadapi tantangan tersebut.

Peneliti mengamati bahwa pada saat pelaksanaan uji coba alat penelitian sampai dengan pelaksanaan penelitian para guru dan karyawan di SMA 1 Purworejo cenderung mengembangkan komunikasi yang hangat dengan para siswa dan mendorong para siswa untuk dapat aktif

berkomunikasi. Komunikasi yang hangat ini tampak pada dari interaksi dan komunikasi yang santai tetapi sopan antara guru dan murid ketika para guru memperkenalkan peneliti kepada subjek penelitian di awal penyebaran skala penelitian.

Peneliti juga melihat bahwa para siswa SMA 1 Purworejo berani menyapa guru atau karyawan SMA 1 Purworejo apabila berpapasan di luar kegiatan belajar mengajar dan guru atau karyawan SMA 1 Purworejo yang disapa pun menanggapi dengan ramah. Dari hasil pengamatan tersebut dapat dilihat bahwa upaya para guru dan karyawan di SMA 1 Purworejo untuk mengembangkan komunikasi yang baik mungkin telah menciptakan keterbukaan komunikasi antara para siswa dengan para guru dan karyawan di SMA 1 Purworejo. Keterbukaan komunikasi ini pada akhirnya dapat membantu siswa SMA 1 Purworejo untuk berani mengutarakan kesulitan yang mungkin dihadapinya di sekolah sehingga tekanan yang dirasakan siswa di sekolah dapat diatasi. Berkurangnya tekanan yang dirasakan siswa akan mempengaruhi tingkat stresnya.

Sarwono (2005) menyatakan bahwa seorang siswa melewatkan hampir sepertiga dari waktunya setiap hari di sekolah, sehingga tidak mengherankan kalau pengaruh sekolah terhadap perkembangan jiwa remaja cukup besar. Oleh karena itu, komunikasi yang terbuka antara siswa dan guru serta para staf karyawan SMA 1 Purworejo di sekolah dapat mempengaruhi keadaan psikis serta tingkat stres siswa. Hal inilah yang mungkin menurunkan tingkat stres subjek penelitian sehingga 12,86% subjek penelitian memiliki tingkat stres

sedang. Bahkan kemungkinan sebagian besar siswa telah mampu mengembangkan kemampuan berkomunikasinya menjadi perilaku asertif yang pada akhirnya dapat membantu mereka untuk mengatasi stres dan membuat tingkat stresnya menjadi rendah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya subjek penelitian yang memiliki tingkat stres yang rendah, yaitu sebesar 70%.

Analisis tambahan pada penelitian ini juga menemukan bahwa 87,14% subjek penelitian yang berlatar belakang kebudayaan Timur memiliki perilaku asertif yang tinggi. Hal ini kemungkinan terjadi karena adanya kemajuan teknologi yang memungkinkan terjadinya pembelajaran dan pengadopsian nilai-nilai kebudayaan lain. Sarwono (2005) menyatakan bahwa kemajuan teknologi komunikasi telah menyebarluaskan dan memasyarakatkan gaya hidup, nilai, dan perilaku.

Kemajuan teknologi komunikasi juga terjadi di SMA 1 Purworejo. Hal ini terbukti dengan tersedianya fasilitas internet bagi para siswa di SMA 1 Purworejo. Fasilitas ini mempermudah subjek penelitian untuk melihat dan mempelajari gaya hidup, nilai, dan perilaku kebudayaan lain, termasuk perilaku asertif sehingga pada akhirnya dapat membuat tingkat perilaku asertif mereka menjadi tinggi.

Hasil analisis tambahan ini juga menemukan bahwa meskipun 87,14% subjek penelitian memiliki perilaku asertif yang tinggi, namun ternyata masih ada 4,29% subjek yang memiliki perilaku asertif pada kategori sedang, bahkan 8,57% subjek memiliki taraf perilaku asertif yang rendah.Hal ini dapat terjadi karena berbagai macam kemungkinan, seperti masih adanya pengaruh dari

nilai-nilai budaya Timur, khususnya kebudayaan Jawa yang menekankan prinsip kerukunan untuk mempertahankan keadaan masyarakat yang harmonis (Suseno & Reksosusilo, 1983) sehingga pengadopsian perilaku asertif terhambat oleh kekhawatiran akan rusaknya harmonisasi dalam masyarakat, adanya ketakutan akan ketertolakan dari kelompok pergaulan teman sebayanya, dan kemungkinan-kemungkinan lainnya yang tidak diungkap dalam penelitian ini.

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini memiliki kelemahan. Adanya perbedaan jumlah aitem pada indikator skala penelitian yang diabaikan oleh peneliti dapat menyebabkan kemungkinan beberapa indikator dari variabel yang diteliti menjadi lebih menonjol dibandingkan indikator yang lain. Kelemahan penelitian juga terletak pada terbatasnya subjek penelitian. Subjek penelitian hanya diambil dari satu sekolah, sehingga hal ini menyebabkan hasil penelitian mungkin tidak dapat diterapkan kepada remaja di sekolah lain yang memiliki latar belakang budaya dan sistem yang berbeda dengan SMA 1 Purworejo. Selain itu, kurangnya perhatian perbedaan individual juga menjadi kelemahan pada penelitian ini.

Er (1989) menyatakan bahwa selain latar belakang budaya, perbedaan individual seperti kepribadian juga dapat menyebabkan reaksi yang berbeda terhadap perilaku asertif. Artinya, perilaku asertif mungkin dapat membantu seorang individu dalam menghadapi stres, namun bagi individu lain yang memiliki kepribadian atau latar belakang budaya yang berbeda perilaku asertif justru menimbulkan stres.

BAB V

Dokumen terkait