• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Hukum perlindungan kosumen memberikan penjelasan yang lebih terhadap konsumen mengenai hal-hal yang harus diperhatikan oleh konsumen dalam melakukan hubungan hukum dengan pelaku usaha. Hubungan hukum yang tercipta antara konsumen dan pelaku usaha merupakan hubungan hukum yang memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Secara umum konsumen haruslah dapat mengetahui tentang definisi seorang konsumen, pelaku usaha, dan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen dan pelaku usaha tersebut.

2.1 Definisi Hukum Perlindungan Konsumen

Kedudukan seorang konsumen tidak seimbang dengan pelaku usaha, hal ini dapat dilihat dari faktor ekonomi pelaku usaha yang lebih tinggi dibandingakan konsumen. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan di negara- negara maju dan berkembang lainnya. Hal ini telah menjadi permasalahan yang terus dipelajari agar ditemukan jalan yang terbaik dalam menyelesaikannya.

Hukum perlindungan konsumen inilah yang menjembatani permasalahan yang timbul tersebut.1 Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi konsumen.2

Hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah- kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.3 Sedangkan dalam hukum perlindungan konsumen sendiri adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah

1 Tim Penelitian di bawah Pimpinan Ibrahim Idham, Laporan Akhir Penelitian Perlindungan Terhadap Konsumen Atas Kelalaian Produsen, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1992, hal. 76.

2 Az. Nasution (a), Konsumen dan Konsumen; Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum Pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Sinar, 1995), hal. 65.

3 Az. Nasution (b), Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cet. 2, (Jakarta: Diadit Media, 2002), hal. 22.

(2)

penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.4

Setelah mengetahui definisi hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen, maka dapat diketahui definisi hukum konsumen lebih luas bila dibandingkan dengan hukum perlindungan konsumen. Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu bagian dari hukum konsumen yang melindungi hak- hak konsumen.5

Dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum konsumen maka dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari harus sejalan dengan hukum perlindungan konsumen yang telah ada. Oleh karena itu di dalam Pasal 64 UUPK disebutkan bahwa: ”Segala ketentuan peraturan perundang- undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang- undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku.”

Pasal ini menjelaskan hubungan hukum yang harmonis antara hukum konsumen dengan hukum perlindungan konsumen. Peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan konsumen tetap berlaku selama tidak bertentangan dan belum diatur dalam UUPK.

2.2 Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

UUPK memberikan perlindungan kepada konsumen bersama-sama dengan pelaku usaha berdasarkan atas asas-asas yang relevan dengan pembangunan nasional.

Asas-asas ini telah diatur di dalam Pasal 2 UUPK. Adapun asas-asas tersebut dapat disebutkan sebagai berikut:6

1. Asas Manfat

Asas ini mengamanatkan penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

4 Ibid

5 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia/Grasindo, 2000), hal.11.

6 Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Perlindungan konsumen Indonesia, Cet. 2, (Jakarta: 2005), hal. 5

(3)

2. Asas Keadilan

Asas ini dimaksudkan untuk mewujudkan partisipasi masyarakat secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil 3. Asas Keseimbangan

Asas ini memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil maupun spiritual.

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Asas ini ditujukan agar konsumen terjamin dalam hal keamanan, keselamatan dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi.

5. Asas Kepastian Hukum

Asas ini dimaksudkan agar konsumen dan pelaku usaha mematuhi hukum yang ada, dapat memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen dan negara menjamin kepastian hukum atas hal tersebut.

UUPK telah menjamin hak-hak yang dimiliki oleh setiap konsumen maupun pelaku usaha, dan UUPK juga telah mengatur kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap konsumen maupun pelaku usaha. Dari hak-hak dan kewajiban tersebutlah terlihat pembentukan UUPK memiliki tujuan sebagai berikut:7

1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

7 Indonesia, op. cit., ps. 2

(4)

5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

2.3 Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Hukum Perlindungan Konsumen Hukum konsumen menurut hukum positif di Indonesia, yaitu rangkaian peraturan perundang-undangan yang memuat asas dan kaidah yang berkaitan dengan hubungan dan masalah konsumen, yang berada di lingkungan hukum antara lain lingkungan hukum perdata, hukum pidana, hukum acara, hukum administrasi, dalam berbagai konvensi internasional dan lain-lain.8

2.3.1 Konsumen

UUPK di dalam Pasal 1 butir ke-2 memberikan definisi konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.

Berdasarkan definisi tersebut terdapat suatu pemahaman yang pada umumnya dianut dalam UUPK diseluruh dunia, bahwa konsumen haruslah seorang pemakai akhir dari suatu barang maupun jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Tetapi bila dilihat dari sisi yang lain dari UUPK tersebut, tidak diberikan suatu ketegasan mengenai suatu badan hukum atau suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai akhir dapat dikategorikan sebagai konsumen.9

Batasan-batasan mengenai definisi konsumen dapat digolongkan menjadi:10

8 Az. Nasution (a), op. cit, hal. 21

9 Shidarta, op. cit, hal.47

10 Az. Nasution (b), op. cit,, hal. 13.

(5)

1. Konsumen dalam arti umum, adalah pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu;

2. Konsumen antara, pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa utk membuat barang dan/atau jasa lain, atau untuk diperdagangkan;

3. Konsumen akhir, pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diri sendiri, keluarga, rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Di Australia, definisi konsumen dibatasi hanya dalam batas nominal tertentu, yang diatur dalam Consumer Whealth of Australia Trade Practice Act 1974/1977 article 4B ayat (1)a. Dalam peraturan tersebut konsumen didefinisikan sebagai setiap orang yang mendapatkan barang tertentu dengan harga yang ditetapkan (setinggi-tingginya A$15.000) atau, jika harganya melebihi maka barang dan/atau jasa tersebut hanya dipergunakan untuk keperluan pribadi, keluarga atau rumah tangga.

2.3.2 Pelaku Usaha

Pasal 1 butir (3) UUPK memberikan penjelasan mengenai definisi pelaku usaha, yaitu “setiap orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama- sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Menurut penjelasan UUPK, pelaku usaha meliputi perusahaan, korporasi, badan usaha milik negara, koperasi, importir, pedagang distributor, dan sebagainya.

Definisi pelaku usaha menurut Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia dibagi menjadi:

1. Investor adalah penyedia dana untuk digunakan oleh pelaku usaha atau konsumen;

2. Produsen adalah pembuat barang dan/atau atau jasa;

3. Distributor adalah pelaku usaha pengedar dan/atau penjual barang dan/atau jasa.

(6)

2.3.3 Pemerintah

Pemerintah merupakan pihak yang terkait dan memiliki peranan yang penting dalam upaya penegakan perlindungan konsumen. Dalam rangka hal tersebut, pemerintah bertugas menyelenggarakan perlindaungan konsumen dan melaksanakan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen guna menjamin diperolehnya hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha serta dapat membentuk peraturan perundang-undangan yang terkait dalam usahanya untuk melindungi kepentingan konsumen.11

Adanya keterlibatan pemerintah dalam pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUPK, didasarkan pada kepentingan yang diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945 bahwa kehadiran negara antara lain untuk mensejahterakan rakyat.12 Adanya tanggung jawab pemerintah dalam hal pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen tidak lain dimaksudkan untuk memberdayakan konsumen memperoleh haknya.13

Berkenaan dengan hal pengawasan, dalam Pasal 30 UUPK pemerintah diserahkan tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan perundang-undangannya. Dihubungkan dengan penjelasan Pasal 30 ayat (3) UUPK yang menentukan bahwa pengawasan dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, dan/atau survey, terhadap aspek yang meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan dan lain-lain.14

Wewenang pemerintah dalam hal pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen adalah bentuk upaya untuk terciptanya iklim usaha dan hubungan yang sehat antara konsumen dan pelaku usaha, berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dan meningkatnya kualitas sumber daya manusia dan penelitian serta pengembangan perlindungan konsumen. Dalam berbagai hubungan

11 Az. Nasution, Laporan Perjalanan ke Daerah-daerah Dalam Rangka Pengembangan Perlindungan Konsumen, hal. 6.

12 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi 1, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 180.

13 Ibid., hal. 181.

14 Ibid., hal. 187.

(7)

hukum yang terjadi, pemerintah memiliki peran sebagai pemegang kekuasaan publik yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kekuasaan publik yang dijalankan oleh alat-alat negara berdasarkan hukum yang berlaku tidak lain dimaksudkan untuk menyerasikan hubungan-hubungan hukum dan/atau masalah di antara pengusaha atau pelaku dan konsumen.15

2.4 Hak dan Kewajiban

Pembahasan mengenai hak dan kewajiban akan selalu berujung pada undang- undang yang telah mengaturnya. Di dalam hukum perdata, suatu perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban lahir bukan hanya dari undang-undang saja tetapi melalui perjanjian diantara kedua belah pihak yang dipersamakan juga seperti undang-undang. Hubungan hukum yang terjadi diantara konsumen dan pelaku usaha sangat sering terjadi hanya terbatas pada ucapan secara lisan mengenai harga dan barang dan/atau jasa yang telah disepakati tanpa diikuti suatu bentuk perjanjian yang tertulis.

Hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha merupakan hubungan yang saling membutuhkan. Konsumen membutuhkan barang dan/atau jasa hasil produksi pelaku usaha dan pelaku usaha membutuhkan uang konsumen untuk melanjutkan usahanya tersebut. Oleh karena itu maka dibutuhkan suatu kesadaran diantara konsumen dan pelaku usaha mengenai hak dan kewajiban mereka masing- masing.

2.4.1 Hak dan kewajiban konsumen

John F. Kennedy mengemukakan pendapatnya tentang hak-hak yang dimiliki seorang konsumen, yaitu:16

1. Hak untuk memoperoleh keamanan;

2. Hak untuk memilih;

3. Hak untuk mendapatkan informasi;

4. Hak untuk didengar.

15 Az. Nasution (b), op. cit, hal. 20.

16 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, op. cit, hal 25

(8)

Adapun hak-hak konsumen yang disebutkan dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:17

1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kemudian disebutkan juga kewajiban-kewajiban dari konsumen itu sendiri, yaitu:18

1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

17 Indonesia, op. cit., ps. 4.

18 Ibid., ps. 5

(9)

2.4.2 Hak dan kewajiban pelaku usaha

Secara tegas UUPK telah mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha. Di dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 diatur juga hak-hak yang dimiliki seorang pelaku usaha, yaitu:19

1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pada Masyarakat Ekonomi Eropa, pengertian produsen meliputi:20

1. Pihak yang menghasilkan produk akhir yang berupa barang-barang manufaktur. Mereka ini langsung bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari barang yang mereka edarkan kepada masyarakat, termasuk bila kerugian yang timbul akibat cacatnya barang yang merupakan komponen dalam proses produksinya;

2. Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk

3. Siapa saja yang membubuhkan nama, merek, ataupun tanda-tanda lain pada produk menampakan dirinya sebagai produsen suatu barang.

Salah satu yang dimiliki produsen yang diatur oleh masyarakat Masyarakat Ekonomi Eropa adalah hak untuk membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen.21 Walaupun kerusakan yang timbul disebabkan karena cacatnya barang tersebut. Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut:22

19 Ibid., ps. 6

20 Mahkamah Agung Republik Indonesia, op. cit, hal. 132

21 Ibid., hal. 132

(10)

1. Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan;

2. Cacat timbul dikemudian hari;

3. Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen;

4. Barang yang diproduksi secara individuil tidak untuk keperluan produksi;

5. Cacat timbul sebagai akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.

Begitu juga di Amerika Serikat, telah diberlakukannya pembebasan tanggung jawab produsen terhadap kerugian yang diderita oleh konsumen. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh produsen tersebut adalah:23

1. Kelalaian si konsumen penderita;

2. Penyalahgunaan produk yang tidak terduga pada saat produk dibuat;

3. Lewat jangka waktu peuntutan (daluwarsa) yaitu 6 tahun setelah pembelian, atau 10 tahun sejak barang diproduksi;

4. Produk pesanan pemerintah pusat;

5. Kerugian yang timbul sebagian akibat kelalaian yang dilakukan oleh produsen lain dalam kerjasama produksi.

Kewajiban pelaku usaha dalam melakukan transaksi ataupun perdagangan dengan konsumen terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi. Aturan ini terdapat dalam UUPK yang menyatakan bahwa, produsen harus:24

1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

22 Ibid., hal.132

23 Ibid., hal.133

24 Indonesia, op. cit., ps. 7

(11)

4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

2.5 Perbuatan yang Dilarang dalam Hukum Perlindungan Konsumen

Pelaku usaha merupakan subjek hukum perlindungan yang fital dalam menerapkan hukum perlindungan konsumen dengan baik dan sempurna. Pelaku usaha dalam memproduksi suatu barang ataupun jasa mempunyai suatu aturan yang telah diatur dalam UUPK. UUPK telah disebutkan di dalam definisinya tentang pelaku usaha. Pelaku usaha yang dimaksud dalam UUPK adalah pelaku usaha pabrikan, distributor dan jaringannya, serta juga termasuk para imporir dan juga pelaku usaha periklanan.

Pelaku usaha pabrikan dan pelaku usaha distributor secara prinsip merupakan berbeda, tetapi undang-undang tidak membedakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua pelaku usaha tersebut, dan juga berbagai larangan yang dikenakan kepada kedua pelaku usaha tersebut. Terdapat perbedaan sedikit yang patut diperhitungkan, yaitu sifat saat terbitnya pertanggungjawaban terhadap kegiatan usaha yang dilakukan masing-masing pelaku usaha terhadap konsumen yang mempergunakan barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau yang diberikan.25 Pertanggungjawaban yang diberikan pelaku usaha terhadap konsumen atas kesalahan pelaku usaha melanggar ketentuan undang-undang merupakan tanggung jawab yang berupa ganti rugi. Hukum pembuktian menerangkan tentang hapusnya ataupun lahirnya suatu pertanggungjawaban dari suatu pelaku usaha dan beralihnya pertanggungjawaban

25 Indonesia, op. cit., ps. 7 huruf f.

(12)

tersebut kepada pelaku usaha lainnya harus dibuktikan, agar tidak merugikan konsumen maupun pelaku usaha lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tercipta suatu asas kepatutan dan keadilan, serta kepastian hukum untuk semua pihak.

Perbuatan yang dilarang untuk pelaku usaha telah diatur dalam UUPK.

Perbuatan yang dilarang tersebut diatur dalam Bab IV yang terdiri dari 10 Pasal, diawali dari Pasal 8 sampai dengan Pasal 17. Di dalam Bab IV dapat dilihat bahwa pada dasarnya larangan-larangan yang berlaku bagi pelaku usaha pabrikan juga diberlakukan bagi para pelaku usaha distributor, dan tidak semua larangan yang dikenakan bagi pelaku usaha distributor (dan jaringannya) dikenakan juga bagi pelaku usaha pabrikan. Hal ini menunjukan bahwa undang-undang secara tidak langsung juga mengakui adanya kegiatan usaha perdagangan yang berupa:26

1. dilakukan secara individual;

2. dalam bentuk pelelangan, dengan tidak membedakan jenis barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

3. dengan pesanan;

4. dengan harga khusus dalam waktu dan jumlah tertentu.

Pada dasarnya undang-undang tidak memberikan perlakuan yang berbeda kepada masing-masing pelaku usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha tersebut, selama pelaku usaha tersebut menjalankan kegiatan usahanya tersebut secara benar dan memberikan informasi yang cukup, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta tidak menyesatkan konsumen yang akan mempergunakan atau memkai atau memanfaatkan barang dan jasa yang diberikan tersebut. Ketentuan Pasal 8 UUPK merupakan satu-satunya ketentuan umum yang berlaku secara umum mengenai larangan kegiatan usaha para pelaku usaha pabrikan ataupun distributor di Indonesia. Larangan tersebut meliputi kegiatan pelaku usaha yang dalam melaksanakan kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/jasa yang:27

1. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

26 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, op. cit., hal 37

27 Indonesia, op. cit., ps. 8 ayat 1.

(13)

2. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

3. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

4. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

5. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

6. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

7. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

8. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan

"halal" yang dicantumkan dalam label;

9. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

10. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Secara garis besar larangan yang tertuang dalam Pasal 8 UUPK dapat dibagi ke dalam dua larangan pokok, yaitu:28

1. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan konsumen.

28 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, op. cit., hal 39

(14)

Kelayakan produk suatu barang dan/atau jasa pada dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Kelayakan produk harus dipenuhi atau dimiliki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang dan/atau jasa tersebut diperdagangkan kepada masyarakat luas. Kelayakan produk tersebut memenuhi suatu standar yang harus diketahui oleh masyarakat, standar tersebut banyak yang sudah diketahui oleh masyarkat tetapi ada juga yang masih membutuhkan penjelasan yang lebih untuk hla tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan informasi yang lebih yang didapat tidak hanya dari pelaku usaha tetapi juga melalui sumber lain yang terpercaya.

2. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen.

Setiap konsumen mempunyai hak memilih dan menentukan barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsi, oleh karena itu setiap konsumen membutuhkn informasi yang benar mengenai barang dan/atau jasa tersebut. Dalam pembuatan informasi tentang suatu barang dan/atau jasa perusahaan periklanan dan pelaku usaha harus jujur yaitu memberikan informasi mengenai kelebihan dan kekurangan yang ada pada barang dan/jasa yang diperdagangkan. Undang-undang mengakui tentang adanya penjualan yang dilakukan secara lelang, penawaran dengan hadiah, atau penjualan barang dan/atau jasa yang tidak dalam keadaan yang tidak sempurna, dengan keadaan yang seperti ini maka dapat dikatakan bahwa kedudukan konsumen berada pada posisi yang kurang diuntungkan dibandingkan dengan posisi pelaku usaha sebab keterbatasan konsumen dalam menentukan barang dan/atau jasa yang layak menjadi terbatas.

Di dalam Pasal 9 UUPK melarang pelaku usaha untuk menawarkan, mempromosikan, mengiklankan meupun memperdagangkan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah:29

29 Indonesia, op. cit., ps. 9 ayat 1.

(15)

1. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

2. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

3. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;

4. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;

5. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

6. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

7. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

8. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

9. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;

10. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;

11. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Pelaku usaha juga dilarang melakukan penawaran, promosi, dan pengiklanan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan yang ditujukan untuk diperdagangkan mengenai: 30

1. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

2. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

3. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

4. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

5. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Pada intinya Pasal 12 UUPK melarang pelaku usaha untuk menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan haraga tarif

30 Ibid., ps. 10 ayat 1.

(16)

khusus dalam suatu waktu dan jumlah tertentu yang kemudian pada nyatanya pelaku usaha tidak bermaskud untuk melaksanakan hal-hal tersebut.

UUPK di dalam Pasal 13 melarang pelaku usaha untuk menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak ingin memenuhi apa yang telah diperjanjikan itu.

Pasal 17 UUPK secara khusus memberlakukan pelarangan bagi perusahaan periklanan untuk memproduksi iklan yang:31

1. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;

2. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;

3. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;

4. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;

5. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;

6. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

2.6 Penyelesaian Sengketa Konsumen

Selain hak-hak yang telah disebutkan sebelumnya yang dimiliki konsumen masih terdapat hak lain yang diberikan secara khusus. Hak khusus tersbut adalah hak untuk melakukan gugatan kepada pelaku usaha yang telah merugikan konsumen.

Di dalam Pasal 23 UUPK telah diatur hak konsumen untuk mengajukan gugatan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau badan peradilan di tempat kedudukan konsumen dalam hal pelaku usaha tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen.32

31 Ibid, ps. 17.

32 Ibid, ps. 23.

(17)

Konsumen dalam melakukan gugatan diberikan pilihan penyelesaian sengketa, antara lain melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan melalui Pengadilan Negeri tempat kedudukan konsumen. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.33 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berada pada daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.34 Putusan BPSK paling lambat dikeluarkan selama 21 hari setelah gugatan diterima BPSK.35 Putusan BPSK bersifat final dan mengikat, tetapi terdapat pengecualian atas hal tersebut dalam Pasal 56 ayat 2 UUPK yang menyatakan bahwa:36”para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari kerja setelah pemberitahuan putusan tersebut.”

Apabila para pihak masih belum dapat menerima putusan Pengadilan Negeri, para pihak dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung paling lambat 14 hari sejak putusan Pengadilan Negeri dibacakan.37

Dari penjelasan diatas maka dapat dilihat bahwa Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui peradilan umum merupakan proses yang tidak lebih mudah dan lebih cepat bila dibandingkan melalui BPSK. Melalui peradilan umum tidak terdapat ketentuan yang mengatur batas waktu yang harus ditempuh untuk peradilan umum memutus perkara penyelesaian sengketa konsumen. Proses yang ditempuh dalam peradilan umum dalam menyelesaiakan perkara sengketa konsumen yang merupakan perkara khusus disamakan dengan perkara perdata atau pidana umum lainnya38 sehingga proses penyelesaian sengketa konsumen menjadi lebih lama dibandingkan melalui BPSK karena melalui BPSK ada ketentuan waktu yang membatasi majelis hakim dalam memutus perkara.39

33 Ibid, ps. 1 angka11.

34 Ibid, ps. 49 ayat 1.

35 Ibid, ps. 55.

36 Ibid, ps. 56.

37 Ibid, ps. 58 ayat 2.

38 Ibid, ps. 48.

39 Ibid, ps. 55.

(18)

Dalam hal putusan penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan negeri tidak dikehendaki oleh para pihak maka dapatlah para pihak mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi daerah tersebut. Selanjutnya apabila para pihak masih belum menerima maka dapatlah putusan pengadilan tinggi tersebut dimintakan pertimbangan melalui kasasi di Mahkamah Agung. Proses penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan umum tidak ada perbedaan dengan perkara perdata ataupun pidana yang diselesaikan melalui peradilan umum ini.40

40 Ibid, ps. 48.

(19)

BAB 3

PROSES PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) sampai dengan ayat (4) tentang tanggung jawab pelaku usaha, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.1 Ketentuan tersebut dipertegas dengan ketentuan yang menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.2

Dengan berlakunya UUPK, maka konsumen yang akan mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, tidak mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri di tempat kedudukan pelaku usaha yang menjadi tergugat, tetapi mengajukan gugatan itu kepada Pengadilan Negeri di tempat kedudukan konsumen sebagai penggugat.

Ketentuan ini merupakan ketentuan acara yang berbeda dengan yang ditentukan dalam HIR/RBg Menurut HIR/RBg, gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat kedudukan tergugat. Sedangkan ketentuan Pasal 23 juncto Pasal 45 UUPK merupakan lex specialis terhadap HIR/RBg. Sesuai dengan adagium "lex specialis derogat lex generalis", yang berarti ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan umum, maka ketentuan Pasal 23 juncto Pasal 45 UUPK adalah ketentuan acara yang harus diterapkan dalam rangka pengajuan gugatan oleh konsumen kepada pelaku usaha.

Selain itu, konsumen dapat menempuh pengajuan gugatan dalam rangka penyelesaian sengketa konsumen, bukan hanya terbatas kepada 2 (dua) cara yaitu penyelesaian sengketa melalui badan penyelesaian sengketa konsumen dan melalui Pengadilan Negeri, tetapi juga "penyelesaian di luar pengadilan".3 Penyelesaian sengketa konsumen tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak

1 Indonesia, op. cit., ps. 23.

2 Ibid., ps. 45 ayat (1).

3 Ibid, ps. 45 ayat (2)

(20)

yang bersengketa bahkan pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam hal ini, penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan UUPK”.

Berikut ini akan dijelaskan proses penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan dan melalui BPSK.

3.1 Melalui Pengadilan

UUPK tidak menjelaskan secara terperinci tentang penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan. Gugatan kepada peradilan umum atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:4

1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;

2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; dan

4. Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Selanjutnya, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam UUPK.5 Hal ini berarti, sengketa konsumen yang diselesaikan melalui pengadilan menggunakan hukum acara perdata.

Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan terjadi karena adanya gugatan sengketa konsumen yang diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) setempat dan karena

4 Ibid., ps. 46 ayat (2) jo ps. 46 ayat (1)

5 Ibid., ps. 48

(21)

adanya Keberatan atas putusan yang dikeluarkan BPSK. Pengajuan gugatan ke PN dilakukan untuk menuntut ganti kerugian (bidang keperdatan) akibat perbuatan pelaku usaha, oleh karena itu gugatan tersebut diajukan ke PN melalui persidangan yang menggunakan Hukum Acara Perdata. Untuk penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam uraian berikut ini.

3.1.1. Mengajukan gugatan Sengketa Konsumen di Pengadilan

Gugatan penyelesaian sengketa konsumen melalaui pengadilan ini menggunakan hukum acara perdata dengan memperhatikan ketentuan dalam UUPK oleh karena itu ada aturan yang terdapat dalam hukum acara perdata yang dikesampingkan dan mengacu pada ketentuan UUPK.6 Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara ditaatinya hukum perdata materil dengan perantara hakim.7 Proses penyelesaian sengketa konsumen yang menggunakan hukum acara perdata ini dilakukan dengan cara:

3.1.1.1. Gugatan

Gugatan perdata adalah gugatan yang berisi tentang sengketa antara pihak yang berperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan diajukan kepada Pengadilan.8 Prof. Sudikno Mertokusumo memberikan istilah gugatan berupa tuntutan perdata tentang hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain.9 Dalam mengajukan gugatan terdapat dua macam bentuk gugatan yang dapat diajukan oleh pihak penggugat, yaitu:

1. Gugatan secara lisan

Gugatan secara lisan merupakan gugatan yang diajukan oleh penggugat yang buta huruf secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri.10 Gugatan secara

6 Ibid., ps. 48.

7 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, ed. 6, (Yogyakarta: Liberty), hal.

2.

8 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, cet. 6, (Jakarta: Sinar Grafika), hal. 47.

9 R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, (Bogor: Politea, 1985).

10 Ibid., ps.120.

(22)

lisan ini hanya diperbolehkan untuk orang yang buta hukum atau kurang memahami hukum dan tidak mampu secara finansial. Hal ini didasarkan oleh penggugat yang mempunyai kemampuan secara finansial tetapi buta aksara dapat membiayai pengacara, sehingga kurang layak untuk mendapatkan bantuan oleh Ketua Pengadilan Negeri.11

2. Gugatan tertulis

Gugatan tertuis adalah gugatan yang dimasukan ke Pengadilan Negeri (PN) dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya.

Berdasarkan ketentuan ini, yang berhak dan berwenang membuat dan mengajukan gugatan perdata adalah penggugat sendiri dan kuasanya. 12

Perumusan gugatan yang diajukan penggugat ke PN, harus memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun syarat-syarat formil surat gugatan adalah:

1. Ditujukan kepada PN sesuai dengan kompetensi relatif;

2. Diberi tanggal;

3. Ditandatangani penggugat atau kuasa;

4. Identitas para pihak;

5. Dasar gugatan;

6. Petitum gugatan.

Kompetensi relatif yang diatur dalam Pasal 118 HIR (Herzien indonesis Reglement) adalah kompetensi PN yang berwenang mengadili suatu perkara perdata didasarkan dan diutamakan pada kedudukan tempat tinggal tergugat. Berbeda dengan UUPK yang memberikan kemudahan pada pihak penggugat untuk menggugat tergugat pada kedudukan wilayah hukum PN tempat tinggal Penggugat.13

11 Yahya Harahap., op. cit., hal. 49.

12 R. Soesilo., op. cit., ps. 118 ayat 2

13 Indonesia, op. cit., ps. 23.

(23)

3.1.1.2. Jawaban

Jawaban merupakan hak yang dimiliki oleh pihak tergugat terhadap gugatan yang diajukan penggugat, dengan kata lain tidak ada kewajiban tergugat untuk menjawab gugatan yang diajukan penggugat.14 Jawaban tergugat terdiri dari pengakuan dan bantahan. Pengakuan adalah jawaban dari tergugat yang membenarkan isi gugatan penggugat baik untuk sebagian ataupun seluruhnya.

Sedangkan bantahan adalah sebaliknya yaitu jawaban tergugat yang tidak membenarkan gugatan yang diajukan penggugat.15

Dalam mengajukan jawaban atas gugatan penggugat tidak ada syarat yang harus dipenuhi oleh tergugat yang diatur dalam HIR, tetapi sudah selayaknya jawaban tergugat haruslah diberikan alasan-alasan karena dengan adanya alasan- alasan tersebut maka semakin jelaslah duduk perkaranya. Jawaban yang tidak cukup beralasan dapatlah dikesampingkan oleh hakim.16

3.1.1.3. Pembuktian

Hukum pembuktian (Law of Evidence) dalam suatu perkara merupakan suatu bagian yang sangat kompleks dalam litigasi. Keadaan kompleksitasnya semakin bertambah rumit karena dalam pembuktian membutuhkan kemampuan yang lebih dalam merekonstruksi kejadian di masa lalu sebagai suatu kebenaran. Kebenaran yang dicari dalam proses peradilan perdata adalah kebenaran yang tidak bersifat absolut tetapi kebenaran yang bersifat relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan, namun untuk mencari kebenaran yang demikian masih tetap menghadapi kesulitan.17

Pembuktian sengketa perdata mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut:18 1. Pembuktian mencari dan mewujudkan kebenaran formil;

14 Ibid., ps.121 ayat 2.

15 Mahkamah Agung Republik Indonesia. 27 Oktober 1971 No. 858K/Sip/1971, Yurisprudensi Jawa Barat 1969-1972, hal. 108.

16 Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Fasco, 1958), hal. 66.

17 John J. Cound, Civil Procedure: Cases and Material, (St. Paul Minnesota:West Publishing, 1985), hal. 867.

18 Yahya Harahap., op. cit., hal. 497.

(24)

2. Pengakuan mengakhiri pemeriksaan perkara;

3. Pembuktian perkara tidak bersifat logis;

4. Adanya fakta-fakta yang tidak perlu dibuktikan;

5. Adanya pembuktian yang diberikan oleh lawan (tergugat);

6. Adanya persetujuan pembuktian (menyepakati jenis alat bukti yang dapat diajukan).

Dalam hukum acara perdata di lingkungan peradilan umum, beban pembuktiannya berada pada pihak penggugat, tetapi berbeda dengan UUPK yang menerangkan bahwa beban pembuktian dalam sengketa konsumen berada pada pihak tergugat saja (pelaku usaha).19 Dalam hal demikian, PN yang menyidangkan perkara sengketa konsumen menggunakan ketentuan yang ada pada UUPK.

Hukum acara peradata telah mengatur mengenai alat bukti yang dapat diajukan dalam persidangan. Alat bukti tersebut, antara lain:20

1. Alat bukti surat yang terdiri dari:

a. Akta otentik;

b. Akta bawah tangan;

c. Akta sepihak atau pengakuan.

2. Alat bukti saksi 3. Alat bukti pengakuan 4. Alat bukti persangkaan 5. Alat bukti sumpah

3.1.1.4. Putusan

Putusan adalah wewenang yang dimiliki oleh Majelis Hakim karena jabatannya untuk menentukan putusan yang akan dijatuhkan dalam hal pemeriksaan perkara telah selesai. Putusan yang dimaksud adalah putusan yang dikeluarkan oleh peradilan tingkat pertama yang berisi penyelesaian perkara yang disengketakan.21

19 Indonesia, op. cit., ps 22.

20 R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, cet. 34, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), ps. 1866.

21 Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Bina Cipta, 1977), hal 122.

(25)

Dalam memutuskan suatu perkara perdata, hakim harus memperhatikan asas- asas putusan, antara lain:

1. Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci;

2. Wajib mengadili seluruh bagian gugatan;

3. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan;

4. Diucapkan di muka umum.

Adapun putusan yang dibuat oleh Majelis Hakim harus berisi dan mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Memuat secara ringkas dan jelas pokok perkara, jawaban, pertimbangan dan amar putusan, yang terdiri dari:

a. Dalil gugatan;

b. Mencantumkan jawaban tergugat;

c. Uraian singkat ringkasan dan lingkup;

d. Pertimbangan hukum;

e. Ketentuan perundang-undangan;

f. Amar putusan.

2. Mencantumkan biaya perkara.

Ada berbagai macam jenis-jenis putusan akhir dalam proses persidangan perdata, antara lain: 22

1. Putusan Condemnatoir

Putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Di dalam putusan ini diakui hak penggugat atas prestasi yang dituntutnya. Hukuman semacam itu hanya terjadi berhubung dengan perikatan yang bersumber pada persetujuan atau undang-undang, yang prestasinya dapat terdiri dari memberi, berbuat dan tidak berbuat. Pada umumnya putusan ini berisi untuk membayar sejumlah uang.

2. Putusan Constitutif

22 Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 221.

(26)

Adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum, misalnya pemutusan perkawinan, pengankatan wali, pemberian pengampuan, pernyataan pailit, pemutusan perjanjian.

3. Putusan Deklaratoir

Adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari yang sah. Juga setiap putusan yang menolak gugatan merupakan putusan yang bersifat deklaratoir.

3.1.1.5. Upaya Banding

Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara perdata tidak menerima suatu putusan PN karena hak-haknya terserang oleh adanya putusan itu atau menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil maka ia dapat mengajukan perkara yang telah diputuskan itu untuk dimintakan pemeriksaan ulang. Upaya untuk mengajukan pemeriksaan ulang itu dikenal dengan nama upaya banding. Pengajuan upaya banding ini dilakukan kepada badan pengadilan yang tingkatnya lebih tinggi dari PN, dalam hal ini yaitu Pengadilan Tinggi.23

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Desember 1970 dinyatakan bahwa permohonan banding itu hanya terbatas pada putusan Pengadilan Negeri yang merugikan pihak yang mengajukan upaya banding. Jadi upaya banding ini hanya diperuntukkan bagi pihak yang dikalahkan atau merasa dirugikan pada penyelesaian perkara pada tingkat PN, dan tidak selayaknya disediakan bagi pihak yang dimenangkan. Upaya banding selambat-lambatnya diajukan dalam jangka waktu 14 hari terhitung mulai pada hari berikutnya setelah hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan, atau diberitahukannya putusan kepada pihak yang bersangkutan.24

Pada asasnya semua putusan akhir pada pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan pemeriksaan ulang kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Bahwa

23 Ibid.,hal. 225.

24 Ibid.,hal. 226.

(27)

dalam pemeriksaan banding ini terjadi pemeriksaan ulang atas perkara, maka dibolehkan adanya penambahan dalam gugatan.25

Pengadilan tinggi memeriksa perkara secara judex factie yaitu memeriksa perkara berdasarkan berkas-berkas yang ada, dengan kata lain memeriksa ulang penerapan hukum yang diputuskan oleh Majelis Hakim pada tingkat PN. Pengadilan Tinggi memeriksa perkara banding dengan majelis yang terdiri dari tiga orang hakim, dan kalau diperlukan juga dengan mendengar sendiri para pihak. Hakim pada tingkat banding tidak diperbolehkan mengabulkan lebih daripada yang dituntutkan atau memutuskan hal-hal yang tidak dituntut.26

3.1.1.6. Upaya Kasasi

Terhadap putusan-putusan yang diberikan dalam tingkat akhir oleh pengadilan-pengadilan di luar Mahkamah Agung, demikian pula terhadap putusan pengadilan yang dimintakan banding dapat diupayakan adanya kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Kasasi itu sendiri merupakan pembatalan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir. Kasasi hanya mungkin dan diizinkan terhadap putusan yang diambil dalam lingkungan peradilan umum biasa.

Permohonan kasasi dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan yang akan dimintakan diperiksa pada tingkat kasasi diberitahukan kepada pihak yang bersangkutan.27

Hal-hal yang digunakan sebagai alasan hukum dalam pengajuan upaya kasasi kepada Mahamah Agung adalah karena:28

1. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

2. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

25 Ibid.,hal. 228.

26 Ibid.

27 Ibid.,hal. 230-231.

28 Ibid.,hal. 234.

(28)

3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang- undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Dari alasan-alasan tersebut di atas dapat diketahui bahwa di tingkat kasasi ini tidak diperiksa kembali tentang duduk perkara atau fakta, melainkan hukum yang diterapkan, sehingga tidak ada tindakan mengenai pembuktian atas perkara yang terjadi. Penilaian dalam hasil pembuktian tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan melalui upaya kasasi ini. Mahkamah Agung selaku pihak yang berwenang, terikat pada peristiwa yang telah diputuskan dalam tingkat terakhir.

Pemeriksaan atas penerapan hukum meliputi bagian daripada putusan yang merugikan pemohon kasasi maupun bagian daripada putusan yang menguntungkan pemohon kasasi.29

3.1.1.7 Peninjauan Kembali

Putusan yang telah dijatuhkan dalam tingkat terakhir dan tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan dapat ditinjau kembali atas permohonan orang yang pernah menjadi salah satu pihak di dalam perkara yang telah diputus dan dimintakan peninjauan kembali. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan baik secara tertulis maupun lisan oleh para pihak sendiri kepada MA melaui Ketua PN yang memutus perkara dalam tingkat pertama. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat diajukan satu kali.30

Hal-hal yang dijadikan sebagai alasan dalam melakukan peninjauan kembali adalah:31

1. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti- bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

29 Ibid.,hal. 234-235.

30 Ibid.,hal. 236.

31 Ibid.,hal. 236-237.

(29)

2. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;

3. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut;

4. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

5. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;

6. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

3.1.2 Keberatan Atas Putusan BPSK

PN dalam memeriksa keberatan atas putusan BPSK mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK (selanjutnya disebut PERMA). Dalam Pemeriksaan keberatan, PN hanya dapat memeriksa keberatan yang telah diputus oleh BPSK secara Arbitrase. Putusan BPSK yang melalui konsiliasi dan mediasi tidak dapat dimintakan kebertan ke PN.32

Keberatan yang diajukan tidak boleh melebihi tenggang waktu yang telah ditentukan yaitu 14 hari kerja terhitung sejak para pihak menerima pemberitahuan putusan.33 Keberatan yang diajukan didaftarkan di kepaniteraan PN sesuai prosedur pendaftaran perkara perdata sehingga hukum acara yang digunakan adalah hukum acara perdata.34 Majelis Hakim memberikan putusan dalam waktu 21 hari kerja sejak sidang pertama dilakukan.35 Pemeriksaan perkara dalam upaya keberatan ini tetap menggunakan hukum acara perdata kecuali ditentukan lain dalam PERMA ini.36

32 Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK, ps. 2.

33 Ibid., ps. 5 ayat 1.

34 Ibid., ps. 5 ayat 2.

35 Ibid., ps. 6 ayat 7.

36 Ibid., ps. 8.

(30)

Apabila putusan yang dikeluarkan oleh PN tidak diterima oleh pihak yang berperkara maka pihak tersebut dapat mengajukan kasasi Mahkamah Agung dalam tenggang waktu 14 hari kerja.37 Mahkmah Agung wajib mengeluarkan putusan paling lambat 30 hari kerja sejak diterimanya permohonan kasasi tersebut.38

3.2 Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.39 Untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, pemerintah membentuk suatu badan baru yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (untuk selanjutnya disebut BPSK).

BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.40 Pembentukan BPSK sendiri didasarkan pada adanya kecenderungan masyarakat yang enggan untuk beracara di pengadilan karena tidak seimbangnya tuntutan kerugian dengan biaya, waktu dan energi yang harus dikeluarkan dan terutama karena posisi konsumen yang secara sosial dan finansial tidak sebanding dengan pelaku usaha.41 Selain itu, sengketa di antara konsumen dan pelaku usaha biasanya nominalnya kecil atau nilai rupiahnya kecil sehingga tidak terlalu cocok jika harus diselesaikan melalui pengadilan.42

Dengan adanya BPSK maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan murah. Cepat ditentukan dari 21 hari kerja yang

37 Indonesia, op. cit., ps. 58 ayat 2.

38 Ibid., ps. 58 ayat 3.

39 Ibid., ps. 47.

40 Ibid., ps. 1 angka 11.

41 Sularsi, Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam UU Perlindungan Konsumen dalam Lika Liku Perjalanan Undang Undang Perlindungan Konsumen, disunting oleh Arimbi, cet.1, (Jakarta:

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 2001), hal.86-87.

42 Indah Sukmaningsih, “Harapan Segar dari Kehadiran UUPK,” Kompas, (20 April 2000):

[no hal tidak diketahui, sumber: kumpulan kliping Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia].

(31)

wajib menghasilkan sebuah putusan.43 Mudah terletak pada prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana.44 Murah terletak pada biaya perkara yang terjangkau.

BPSK merupakan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Hal ini diperkuat dengan cara penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh BPSK yaitu konsiliasi, mediasi dan arbitrase, sehingga jelas bahwa BPSK merupakan lembaga non litigasi (Alternative Dispute Resolution/Penyelesaian Sengketa Alternatif).

Namun di sisi lain, ada beberapa gaya pengadilan (litigasi) yang diadopsi oleh BPSK, misalnya persidangan yang dilakukan oleh Majelis dibantu Panitera dan produk penyelesaian sengketa yang berupa Putusan.45

BPSK dibentuk di daerah tingkat II untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.46 Pada saat ini sudah ada 34 (tiga puluh empat) BPSK yang telah beroperasi dan menjalankan tugasnya, yaitu BPSK di Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bandung, Kabupaten Belitung, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Janeponto, Kabupaten Kupang, Kabupaten OKU, Kabupaten Serang, Kabupaten Serdang Bagadai, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bandung, kota Medan, kota Padang, kota Batam, kota Pekan Baru, kota Bogor, Kota Denpasar, kota Palembang, kota Jakarta, kota Sukabumi, kota Bandung, kota Semarang, kota Yogyakarta, kota Kediri, kota Kupang, kota Mataram, kota Surabaya, kota Malang,

43 Indonesia, op. cit., ps. 55

44 Yusuf Shofie dan Somi Awan, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai Persoalan Mendasar BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), cet.1, (Jakarta: Piramedia, 2004), hal. 17. Dijelaskan lebih lanjut oleh Aman Sinaga, proses penyelesaian sengketa di BPSK adalah sangat sederhana karena di BPSK hanya dikenal surat Pengaduan Konsumen dan Jawaban Pelaku Usaha, kecuali untuk sengketa yang diselesaikan dengan cara arbitrase pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk mengajukan pembuktian. Keserhanaan proses tersbut paling menonjol dapat dilihat jika sengketa konsumen diselesaikan dengan cara konsiliasi atau mediasi. Aman Sinaga,

“BPSK Tempat Menyelesaikan Sengketa Konsumen dengan Cepat dan Sederhana,” Media Indonesia, (27 Agustus 2004): [no hal tidak diketahui, sumber: kumpulan kliping Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia].

45 J. Widijantoro dan Al Wisnubroto, Efektivitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam Upaya Perlindungan Konsumen, Laporan Hasil Penelitian Universita Atma Jaya Yogyakarta, (Yogyakarta, 2004), hal. 25.

46 Indonesia, op. cit., ps. 49 ayat (1).

(32)

kota Palangkaraya, kota Samarinda, kota Pare-pare, kota Pekalongan dan kota Makasar.47

3.2.1 Dasar Hukum

Seperti telah dijelaskan, dasar hukum pembentukan BPSK adalah yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa peraturan pelaksana yaitu:

1. Keputusan Presiden, Keppres No. 90 Tahun 2001. LN RI No. 105, tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Makasar.48

2. Keputusan Presiden, Keppres No.108 Tahun 2004. LN No.145 Tahun 2004, tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Kupang, Kota Samarinda, Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kota Kediri, Kota Mataram, Kota palangkaraya dan pada Kabupaten Kupang, Kabupaten Belitung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Serang, Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Kabupaten Jeneponto,49

3. Keputusan Presiden No.18 Tahun 2005 yang membentuk BPSK di Kota Padang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Tangerang.

4. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Kepmenperindag No.301/MPP/Kep/10/2001, tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen,

47 “BPSK Se-Indonesia”, < http://bpskkotabandung.blogdetik.com/bpsk-se-indonesia/>.

48 Keputusan Presiden Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Makasar, Keppres No. 90 Tahun 2001, LN No. 105 Tahun 2001.

49 Keputusan Presiden Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Kupang, Kota Samarinda, Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kota Kediri, Kota Mataram, Kota palangkaraya dan pada Kabupaten Kupang, Kabupaten Belitung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Serang, Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Kabupaten Jeneponto, Keppres No.108 Tahun 2004, LN No.145 Tahun 2004.

(33)

5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Kepmenperindag No.

350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen,

6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Kepmenperindag No.605/MPP/Kep/8/2002, tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makasar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.

7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Kepmenperindag No.794/MPP/Kep/12/2002, tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Malang.

8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Kepmenperindag No.231/MPP/Kep/3/2003, tentang Pengangkatan Kepala Sekretariat dan Anggota Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Bandung, Kota Semarang dan Kota Surabaya.

9. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Kepmenperindag No.704/MPP/Kep/3/2003, tentang Pengangkatan Kepala Sekretariat dan Anggota Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Malang.

10. Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No.24/DJPDN/Kep/VIII/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemilihan Ketua, Wakil Ketua, Kepala Sekretariat dan Anggota Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

3.2.2 Keanggotaan BPSK

Selain diatur oleh UUPK, keanggotaan BPSK juga diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 301/MPP/Kep/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (untuk selanjutnya disebut Kepmenperindag No.301 Tahun 2001).

(34)

Keanggotaan BPSK terdiri atas ketua merangkap anggota, wakil ketua merangkap anggota dan anggota.50 Sedangkan berdasarkan Kepmenperindag No.

301 Tahun 2001 susunan organisasi BPSK tidak hanya terdiri dari Ketua Merangkap Anggota, Wakil Ketua merangkap Anggota dan Anggota, tetapi juga dan Sekretariat.51

Anggota BPSK terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha, dengan penjelasan sebagai berikut:52

1. Unsur pemerintah berasal dari wakil instansi yang ruang lingkup tugasnya meliputi bidang industri, perdagangan, kesehatan, pertambangan, pertanian, kehutanan, perhubungan dan keuangan;

2. Unsur konsumen berasal dari wakil Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang terdaftar dan diakui oleh Walikota atau Bupati atau Kepala Dinas setempat; dan

3. Unsur pelaku usaha berasal dari wakil asosiasi dan/atau organisasi pengusaha yang berada di Daerah Kota atau di Daerah Kabupaten setempat.

Setiap unsur berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak- banyaknya 5 (lima) orang53, disesuaikan dengan volume dan beban kerja BPSK.

Ketua BPSK berasal dari unsur pemerintah sedangkan Wakil Ketua berasal dari unsur di luar unsur pemerintah dan keduanya dipilih diantara dan oleh para anggota.54

Keterwakilan unsur-unsur ini oleh UUPK dimaksudkan untuk menunjukkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan konsumen serta menunjukkan

50 Indonesia, op. cit., ps. 50.

51 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Kepmenperindag No. 301 Tahun 2001, ps. 2.

52 Indonesia, op. cit., ps 49 ayat (3).

53 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, op. cit., ps. 3 ayat (2). Jumlah ini juga ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (3) yang menyebutkan bahwa jumlah anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sedikit-dikitnya 9 (sembilan) orang atau sebanyak-banyaknya 15 (limabelas) orang.

54 Ibid., Pasal 4 ayat (2) dan (3).

(35)

bahwa perlindungan konsumen menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Namun UUPK tidak memberi batasan yang tegas unsur pemerintah dengan kompetensi seperti apa yang dapat menjadi anggota BPSK. Akibatnya terdapat unsur pemerintah yang ditempatkan di BPSK dari bagian yang tidak berhubungan langsung dengan upaya perlindungan konsumen. Misalnya terdapat unsur pemerintah yang berasal dari Dinas Keindahan Kota pada BPSK Kota Makasar. Seharusnya pemerintah tetap mengaitkan keterwakilan unsur pemerintah itu dengan kompetensi dan syarat-syarat keanggotaan BPSK.55

Anggota BPSK diangkat dan diberhentikan oleh Menteri56 untuk masa jabatan 5 (lima) Tahun.57 Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua BPSK selama 5 (lima) Tahun dan dapat dipilih serta diangkat kembali untuk satu kali jabatan berikutnya, selama masih memenuhi persyaratan pengangkatan. Adapun, syarat- syarat umum untuk dapat diangkat menjadi anggota BPSK adalah sebagai berikut:58 1. Warga Negara Indonesia;

2. Berbadan sehat;

3. Berkelakuan baik;

4. Tidak pernah dihukum karena kejahatan;

5. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;

6. Berusia sekurang-kurangnya tigapuluh Tahun.

Sedangkan syarat-syarat khusus untuk dapat diangkat menjadi anggota BPSK adalah:59

55 Yusuf Shofie dan Somi Awan, op. cit., Cet.1, (Jakarta: Piramedia, 2004), hal. 20.

56 Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan (Pasal 1 angka 13 Undang-undang No. 8 Tahun 1999).

57 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, op. cit., ps. 5.

58 Indonesia, op. cit., ps 49 ayat (2) jo Pasal 6 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

59 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, op. cit., ps. 6.

Referensi

Dokumen terkait

Kedua, Bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha sangat merugikan konsumen dan kurang menguntungkan posisi konsumen daripada pelaku usaha sebab keterlibatan konsumen

Perlu adanya upaya paksa bagi para pihak yang bersengketa untuk menaati keputusan badan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara memperluas wewenang badan penyelesaian

Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan atau penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua

tidak dijatarrkan oteh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk metakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan

Kedua, Upaya hukum untuk melindungi konsumen terhadap barang yang diproduksi maupun diperdagangkan oleh pelaku usaha agar tidak merugikan pihak konsumen secara

Definisi pelaku usaha berdasarkan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa : “Pelaku usaha adalah setia orang perorangan atau badan usaha, baik yang

Upaya Hukum dapat dilakukan dengan cara kesepakatan antara kedua belah pihak yaitu konsumen dan pelaku usaha, apabila hal tersebut tidak tercapai mufakat maka dapat dilakukan tuntutan

Para konsumen yang telah dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha melalui peradilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela antara para pihak yang bersengketa