BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Pesatnya pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan
khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan
variasi produk barang dan jasa yang dapat dikonsumsi.27 Kemajuan di bidang
ilmu pengetahuan, teknologi telekomunikasi, dan informatika juga turut
mendukung perluasan ruang gerak transaksi barang dan jasa hingga melintasi
batas-batas suatu negara. Kondisi demikian pada satu pihak sangat bermanfaat
bagi kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan barang dan jasa yang
diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih
aneka jenis kualitas barang dan jasa sesuai dengan kemampuannya.28
Dari sisi pelaku usaha, dengan semakin leluasanya peredaran barang
maupun jasa telah menimbulkan persaingan yang sangat ketat diantara para
produsen, sehingga memaksa para produsen untuk senantiasa bersikap kreatif
membaca situasi pasar dan kemudian menjabarkannya dalam berbagai kebijakan
guna meningkatkan penjualan.29
27
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008), hal. 1.
28
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya (Jakarta : Kencana, 2008), hal.1.
29
Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hal.9.
Pelaku usaha yang tidak memiliki kemampuan
untuk bersaing dengan pelaku usaha yang kuat, kerap kali berpikir pendek dengan
melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak benar, walaupun dengan harus
mengurangi dana untuk menjaga mutu barang, sehingga biaya produksi dapat
dikurangi guna keberhasilan dalam persaingan, pemberian informasi yang tidak
jelas bahkan cenderung menyesatkan, pemalsuan, dan sebagainya, yang
ujung-ujungnya dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen.30
Posisi konsumen sebagai pihak yang lemah juga diakui secara
internasional sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB,
No.A/RES/39/248 Tahun 1985, tentang Guidelines for Consumer Protection,
dimana Guidelines for Consumer Protection menghendaki agar konsumen di
mana pun mereka berada, dari segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar tertentu,
terlepas dari status sosialnya. Yang dimaksud dengan hak-hak dasar tersebut
adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur, hak untuk
mendapatkan keamanan dan keselamatan, hak untuk memilih, hak untuk didengar,
hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar
manusia, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta
kewajiban untuk menjaga lingkungan itu, dan hak untuk mendapatkan pendidikan
dasar. PBB menghimbau seluruh anggotanya untuk memberlakukan hak-hak
konsumen tersebut di negaranya masing-masing.
Kondisi tersebut
semakin diperburuk dengan masih banyaknya konsumen yang belum memahami
akan hak-haknya, serta bersikap pasrah terhadap berbagai tindakan yang
dilakukan pelaku usaha tanpa ada usaha nyata untuk menggugatnya melalui
mekanisme penyelesaian sengketa konsumen yang telah tersedia.
31
30
A. Zein Umar Purba, “Perlindungan Konsumen : Sendi-Sendi Pokok Pengaturan”, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.4 Tahun XXII/Agustus 1992, hal. 400.
31
Bagi pemerintah Indonesia, upaya perlindungan terhadap konsumen antara
lain dimaksudkan untuk meletakkan prinsip-prinsip :32
1. Konsumen pada dasarnya adalah pemakai, pengguna atau pemanfaat
barang dan/atau jasa yang perlu diberikan perlindungan hukum;
2. Konsumen merupakan pihak yang sangat menentukan kelangsungan dan
pertumbuhan usaha, serta memiliki kedudukan yang setara dengan pelaku
usaha;
3. Konsumen perlu diberdayakan potensinya, mengingat selama ini pada
umumnya kurang mengerti atau kurang waspada, sehingga mudah tergiur
oleh upaya pemasaran yang menarik tanpa atau kurang memahami mutu
hasil produk yang ditawarkan.
Merupakan suatu hal yang sangat penting bagi pemerintah untuk
membangun setiap negara haruslah ada suatu kesadaran bahwa konsumen bukan
sebagai objek yang dapat dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab oleh
pelaku usaha demi keuntungan sepihak, tetapi harus ditempatkan sebagai subjek
yang setara kedudukannya dengan pelaku usaha, karena masa depan pelaku usaha
sangat ditentukan oleh keharmonisan hubungan diantara kedua belah pihak.33
Pentingnya peran negara dalam memberikan perlindungan terhadap
konsumen, dilatarbelakangi oleh adanya ketidakseimbangan kedudukan antara
para pelaku usaha dan konsumen. Walaupun konsumen dapat dianggap sebagai
pihak yang mempunyai kemampuan untuk mengalokasikan sumber dana yang
tersedia guna memenuhi kebutuhannya dalam berbagai produk yang tersedia di
32
Dedi Harianto, Op.Cit., hal. 10-11. 33
pasar, tetapi ketergantungan konsumen yang amat besar terhadap produk yang
disediakan pelaku usaha menyebabkan posisi tawar (bargaining position)
konsumen terhadap pelaku usaha menjadi lemah. Di samping itu, dianutnya asas
hukum yang belum berpihak kepada konsumen, menyebabkan konsumen dalam
kondisi yang sangat dirugikan. Asas inilah yang kemudian dikenal sebagai caveat
emptor atau let the buyer beware, dimana konsumen diharuskan untuk melindungi
dirinya sendiri dengan selalu berhati-hati dalam bertransaksi. Konsumen harus
memeriksa, menimbang, mencoba sendiri setiap barang atau jasa yang dibelinya,
dan apabila ia salah dalam bertransaksi, maka hal itu merupakan kesalahan dan
kebodohan konsumen sendiri.34
Kondisi dan realitas tersebut di atas, mendorong pelaku usaha untuk
mengeksploitasi ketidakberdayaan konsumen dengan lebih mengonsentrasikan
dirinya untuk memenangkan persaingan dan perluasan pasar. Hal tersebut
dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan memproduksi produk yang
tidak memenuhi standar kualiatas, pelayanan purna jual (after sales service) yang
buruk, sampai kepada pemberian informasi yang menyesatkan melalui media
iklan. Keseluruhan tindakan pelaku usaha tersebut, tentu akan cenderung
mengakibatkan kerugian bagi konsumen.35 Konsumen yang banyak dirugikan,
memerlukan peningkatan upaya untuk melindunginya, sehingga hak-hak
konsumen dapat ditegakkan.36
Melihat praktik perdagangan yang hanya menguntungkan pelaku usaha
secara sepihak dan tidak adanya perlindungan yang memadai bagi konsumen,
34
Ibid., hal.14-15. 35
Ibid. 36
maka timbul pemikiran agar negara dilibatkan untuk memberikan perlindungan
yang maksimal kepada konsumen sebagai salah satu bentuk pelayanan negara
(public service) kepada setiap warga negaranya.37
Untuk dapat menjamin suatu penyelenggaraan perlindungan konsumen,
maka pemerintah menuangkan perlindungan konsumen dalam suatu produk
hukum. Hal ini penting karena hanya hukum yang memiliki kekuatan untuk
memaksa pelaku usaha untuk menaatinya, dan juga hukum memiliki sanksi yang
tegas. Mengingat dampak penting yang dapat ditimbulkan akibat tindakan pelaku
usaha yang sewenang-wenang dan hanya mengutamakan kepentingan serta
keuntungan dari bisnisnya sendiri, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk
melindungi konsumen yang posisinya memang lemah, disamping ketentuan
hukum yang melindungi kepentingan konsumen belum memadai.
38
Di Indonesia, gerakan untuk memberikan perlindungan terhadap
konsumen telah melahirkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya disingkat UUPK) Nomor 8 Tahun 1999, yang berfungsi sebagai
payung dan dasar hukum bagi pengaturan perlindungan konsumen.39
Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu
antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen, serta Rumusan
pengertian perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 Angka (1) menyatakan :
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
37 Ibid. 38
Azwir Agus, Arbitrase Konsumen Gambaran Dalam Perubahan Hukum Perlindungan Konsumen (Medan : USU Press, 2013), hal. 87.
39
membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa, dan
menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab.40
Dengan pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan perlindungan
hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh
barang dan jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya,
maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang
mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka
pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian hukum
perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan
kewajiban produsen-pelaku usaha, serta cara-cara mempertahankan hak dan
menjalankan kewajiban itu.41
Penjelasannya adalah perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha
bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan, yaitu :
Dalam Pasal 2 UUPK membahas tentang asas perlindungan konsumen,
yang menyatakan :
“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.”
42
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan.
40
Adrian Sutedi, Op.Cit., hal.8. 41
Janus Sidabalok, Op.Cit., hal.37. 42
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat Indonesia dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajiban secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil
dan spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya, tampak
bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional, yaitu
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah
Negara Republik Indonesia.43 Sebagai asas hukum, dengan sendirinya
menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan
perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan
gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.44
43
Ibid., hal.26. 44
Tujuan yang ingin dicapai oleh UUPK adalah :45
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari akses negatif peamakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi, serta akses untuk mendapatkan
informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan
keselamatan konsumen.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa kesemua undang-undang yang ada
dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap berlaku, sepanjang tidak
bertentangan atau telah diatur khusus oleh undang-undang. Oleh karena itu, tidak
dapat lain haruslah dipelajari juga peraturan perundang-undangan tentang
konsumen atau perlindungan konsumen ini dalam kaidah-kaidah hukum peraturan
45
perundang-undangan umum yang mungkin atau dapat mengatur dan/atau
melindungi hubungan masalah konsumen dengan penyedia barang atau jasa.
Sebagai akibat dari penggunaan peraturan perundang-undangan umum ini, dengan
sendirinya berlaku pulalah asas-asas hukum yang terkandung di dalamnya pada
berbagai pengaturan perlindungan konsumen tersebut.46
Pengertian peraturan perundang-undangan umum adalah semua peraturan
perundangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan yang berwenang untuk
itu, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Peraturan perundang-undangan ini
antara lain adalah (di pusat) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Presiden, dan seterusnya, dan (di daerah-daerah) Peraturan Daerah
(Peraturan daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota serta peraturan desa dan
sebagainya).47
Selain UUPK, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lainnya yang
juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum bagi perlindungan
konsumen sebagai berikut :48
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal
21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal
21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen.
46
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal.47-48. 47
Purnadi Purbacaraka, Perundang-undangan dan Yurisprudensi (Bandung : Alumni, 1979), hal.12.
48
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal
21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat.
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal
21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat,
Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta,
Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar.
5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 301/MPP/KEP/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian
Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Senketa Konsumen.
6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 605/MPP/Kep/8/2002 Tentang Pengangkatan Anggota Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota
Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Jakarta
dan Kota Medan.
8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 480/MPP/Kep/6/2002 Tanggal 13 Juni 2002 Tentang Perubahan
302/MPP/Kep/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat.
9. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 418/MPP/Kep/4/2002 Tanggal 30 April 2002 Tentang
Pembentukan Tim Penyeleksi Calon Anggota Badan Perlindungan
Konsumen.
10. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
Alasan yang dapat dikemukakan untuk menerbitkan peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur dan melindungi kepentingan konsumen
dapat disebutkan sebagai berikut :49
1. Konsumen memerlukan pengaturan tersendiri, karena dalam suatu
hubungan hukum dengan penjual konsumen merupakan pengguna barang
dan jasa untuk kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diproduksi ataupun
diperdagangkan.
2. Konsumen memerlukan sarana atau acara hukum tersendiri sebagai upaya
guna melindungi atau memperoleh haknya.
Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat
melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi
bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen. Dengan
adanya UUPK beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan
49
posisi yang berimbang dan konsumen dapat menggugat atau menuntut jika
ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar pelaku usaha.50
B. Bentuk Pelanggaran Hak Konsumen, Tata Cara Pengaduan Konsumen dan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Dengan
adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen
diyakini bisa dilakukan dengan penuh optimisme.
Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum.
Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun
materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan
terlebih-lebih hak-hak yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan
konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum
terhadap hak-hak konsumen.
Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yang
dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dalam pidatonya
dihadapan Kongres Amerika Serikat pada tahun 1962, yaitu :51
1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);
3. Hak untuk memilih (the right to choose);
4. Hak untuk didengar (the right to be heard).
50
Happy Susanto, Op.Cit., hal.4. 51
Dalam Pasal 4 UUPK disebutkan sejumlah hak-hak pokok konsumen yang
mendapat jaminan dan perlindungan dari hukum, yang dapat dijadikan sebagai
landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut, yaitu :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
Konsumen perlu memperhatikan hak-hak yang harus diperjuangkan, dan
tidak boleh tinggal diam ketika hak-haknya sebagai konsumen telah dilanggar,
namun konsumen juga mempunyai kewajiban yang harus diperhatikan dan
dilaksanakan. Kewajiban konsumen menurut Pasal 5 UUPK, yaitu :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar uang yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
tidak hanya mengatur tentang hak dan kewajiban konsumen, melainkan juga hak
dan kewajiban pelaku usaha. Hak pelaku usaha tersebut diberikan agar tercipta
pola hubungan yang seimbang antara pelaku usaha dan konsumen. Hak-hak
pelaku usaha usaha tersebut tercantum dalam Pasal 6 UUPK adalah sebagai
berikut :
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beriktikad tidak baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Disamping hak yang diberikan, dalam Pasal 7 UUPK terdapat pula kewajiban
yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pelaku usaha, yaitu :
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Khusus dalam Pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha,
kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku
usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.52
Sebagimana telah dibahas, tujuan dari perlindungan konsumen adalah
untuk mengangkat harkat hidup dan martabat konsumen, yaitu dengan cara
menghindarkannya dari efek negatif pemakaian barang dan/atau jasa. Oleh karena
itu, segala perbuatan yang melanggar hak konsumen harus dihindari. Berikut
adalah bentuk pelanggaran hak konsumen yang dilarang dalam Undang
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 :
Seringnya terjadi pelanggaran
terhadap masalah perlindungan konsumen dikarenakan ketidaktahuan konsumen
maupun pelaku usaha mengenai hak dan kewajibannya masing-masing, meski
telah diatur dalam UUPK, masih banyak masyarakat yang belum membaca
bahkan belum mengetahui keberadaan undang-undang ini. Maka itu penting untuk
konsumen dan pelaku usaha untuk mengetahui hak dan kewajiban masing-masing
dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan.
53
1. Produk Atau Jasa Yang Dilarang
Menurut UUPK Pasal 8 ayat (1), barang atau jasa yang dilarang adalah
sebagai berikut.
52
Celina Tri Siwi Krisyanti, Op.Cit., hal.32. 53
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etikel barang tersebut.
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut.
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya,
mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut.
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai,
tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang
dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Selain itu, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak,
cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar atas barang yang dimaksud.54 Pelaku usaha juga dilarang
memperdagangkan persediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas,
dan tercemar dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar.55 Jika pelaku usaha melanggar ketentuan tersebut, barang atau jasa tersebut
wajib ditarik dari peredaran. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang bisa
menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.56
2. Manipulasi Produk Atau Jasa
Inti dari
pasal-pasal diatas adalah agar setiap barang dan/atau jasa yang beredar di
masyarakat merupakan produk yang benar-benar layak edar sehingga konsumen
tidak dirugikan.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 9 menjelaskan bahwa
produk barang dan jasa yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan secara
tidak benar (manipulasi) oleh pelaku usaha dilarang, seolah barang/jasa itu :
54
Azwir Agus, Op.Cit., hal. 70. 55
Ibid. 56
a. Telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar
mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu;
b. Dalam keadaan baik atau baru;
c. Telah mendapatkan atau memiliki sponsor persetujuan perlengkapan
tertentu, keuntungan tertentu,ciri-ciri kerja, atau aksesori tertentu;
d. Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau
afiliasi;
e. Barang/jasa tersebut tersedia;
f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang/jasa lain;
j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak berbahaya,
serta tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang
lengkap;
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Barang atau jasa tersebut sangat dilarang untuk diperdagangkan. Pelaku
usaha yang melanggar ketentuan tersebut dilarang untuk melanjutkan
kegiatan penawaran, promosi dan pengiklanan.
Berdasarkan UUPK Pasal 10, pelaku usaha yang menawarkan barang atau
jasa untuk diperdagangkan, dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar dan menyesatkan
mengenai :
a. Harga atau tarif suatu barang/ jasa;
b. Kegunaan suatu barang/jasa;
c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang/jasa;
d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. Bahaya penggunaan barang/jasa.
4. Obral atau Lelang
Dalam UUPK Pasal 11 menjelaskan, pelaku usaha dalam hal penjualan
yang dilakukan dengan cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan
konsumen dengan :
a. Menyatakan barang/jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu
tertentu;
b. Menyatakan barang/jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat
yang tersembunyi;
c. Tidak berniat untuk menjual barang/jasa yang ditawarkan melainkan
dengan maksud menjual barang lain;
d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu atau jumlah yang cukup
e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup
dengan maksud menjual jasa yang lain;
f. Menaikkan harga atau tarif barang/jasa sebelum melakukan obral.
5. Pemberian Hadiah
Menurut Pasal 13 ayat (1) UUPK pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan atau mengiklankan suatu barang/jasa dengan cara menjanjikan
pemberian hadiah berupa barang/jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak
memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya. Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat
tradisonal, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan
dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang/jasa lain.57
a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; Berdasarkan Pasal 14 UUPK, pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa
yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara
undian dilarang untuk :
b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;
c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
57
6. Pesanan
Pasal 16 UUPK mengatur ketentuan bahwa pelaku usaha dalam
menawarkan barang/jasa melalui pesanan dilarang untuk :
a. Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai
dengan yang dijanjikan;
b. Tidak menepati janji atas suatu pelayanan atau prestasi.
7. Usaha Periklanan
Dalam UUPK Pasal 17 mengatur secara khusus tentang ketentuan
periklanan. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang :
a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan
harga barang atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang/jasa;
b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang/jasa;
c. Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai
barang/jasa;
d. Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa;
e. Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau
persetujuan yang bersangkutan;
f. Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
periklanan.
Adanya Undang-Undang yang mengatur perlindungan konsumen tidak
dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha. Undang-undang
mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan
yang ada dengan menyediakan barang/jasa yang berkualitas.58
Sejak tahun 2001 telah dibentuk suatu Direktorat Perlindungan Konsumen
di bawah Direktorat Jendral Perdagangan Dalam Negeri Departemen
Perindustrian dan Perdagangan yang bertugas melaksanakan perumusan
kebijakan, standarisasi, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perlindungan
konsumen di Indonesia. Salah satu sub direktoratnya yaitu Sub Direktorat
Pelayanan Pengaduan bertugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan
penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria, prosedur dan bimbingan teknis,
serta evaluasi di bidang pelayanan pengaduan konsumen. Sub Direktorat juga
Undang-Undang Perlindungan Konsumen membuka kesempatan kepada
setiap konsumen yang dirugikan untuk mengajukan gugatan kepada pelaku usaha
melalui jalur di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana
dimaksud tersebut diatas tidak menutup kemungkinan penyelesaian secara damai
oleh para pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian secara
damai adalah penyelesaian yang dilakukan kedua belah pihak yang bersengketa
tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak
bertentangan dengan Undang-Undang. Penyelesaian sengketa secara damai ini
dapat dilakukan oleh konsumen langsung bernegosiasi kepada pelaku usaha atau
melalui bantuan Sub Direktorat Pelayanan Pengaduan, Direktorat Perlindungan
Konsumen.
58
melayani pengaduan konsumen yang dirugikan baik konsumen barang maupun
konsumen jasa atau klausula baku.
Konsumen bisa mendatangi sub direktorat (selanjutnya disingkat subdit)
pelayanan pengaduan di Direktorat Perlindungan Konsumen, Departemen
Perdagangan. Sebagaimana dijelaskan dalam website resminya,
Berikut adalah tata cara pengaduan konsumen melalui cara damai tanpa
melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen :59
1. Melalui Telepon
Konsumen yang menelepon perlu menjelaskan apa saja pokok
permasalahannya. Direktorat Perlindungan Konsumen akan menangani segala
pengaduan konsumen yang sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya.
2. Datang Langsung
Konsumen bisa membawa permasalahannya langsung ke Subdit Pelayanan
Pengaduan di Direktorat Perlindungan Konsumen dengan terlebih dahulu
melakukan :
a. Pengisian formulir registrasi pengaduan; dan
b. Menguraikan kronologis singkat permasalahan yang dihadapi.
Setelah konsumen menyerahkan formulir dan menjelaskan kronologis
permasalahan, petugas akan mengkroscek pendataan pengaduan dan bukti
pendukung yang telah diisi oleh konsumen dalam computer file. Kelengkapan
laporan akan ditandatangani oleh kedua belah pihak, yaitu pejabat penerima
59
pengaduan dan konsumen yang mengadu. Laporan konsumen menjadi dasar
pembuatan surat klarifikasi kepada pelaku usaha, dan setiap surat yang terkirim
kepada pelaku usaha, konsumen akan memperoleh tembusan.
3. Media Massa
Pengaduan melalui media massa, khususnya surat pembaca, bisa diterima
oleh Subdit Pelayanan Pengaduan Direktorat Perlindungan Konsumen, asalkan :
a. Surat pembaca tersebut memiliki identitas yang lengkap;
b. Masalah yang diajukan menimbulkan gejolak sosial;
c. Apa yang diadukan memang berdampak pada keamanan, kenyamanan dan
keselamatan konsumen;
d. Surat pembaca tersebut dikumpulkan dalam bentuk kliping sebagai data
awal yang akurat;
e. Perlu mengundang kedua belah pihak, baik konsumen maupun pelaku
usaha.
4. Internet
Pengaduan lewat internet juga diperbolehkan. Pengaduan melalui internet
akan ditindaklanjuti dengan cara sebagai berikut :
a. Mengklarifikasi apa permasalahannya.
b. Dilakukan pengecekan identitas agar jelas siapa yang mengadukan.
5. Bentuk Pengaduan
Konsumen bisa mengadukan haknya ke Subdit Pelayanan Pengaduan di
Direktorat Perlindungan Konsumen, baik dalam bentuk pengaduan tertulis
maupun pengaduan secara lisan. Bedanya, untuk pengaduan secara lisan akan
diisikan apa yang diadukan ke dalam formulir pendaftaran oleh petugas yang
bersangkutan. Beberapa cacatan penting yang perlu diperhatikan dalam mengisi
formulir pendaftaran pengaduan sebagai berikut :
a. Harus jelas identitas konsumen yang mengadukan
b. Bisa diajukan dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris
c. Yang diadukan memang benar-benar termasuk dalam kategori
perliindungan konsumen
Segala bentuk pengaduan yang disampaikan kemudian diproses ke dalam
registrasi. Proses registrasi adalah proses pemasukan data ke dalam sistem filling
oleh petugas yang bersangkutan. Tujuannya adalah agar jalur komunikasi mudah
diakses oleh siapapun. Yang akan dilakukan dalam proses registrasi ini, yaitu :
a. Mengelompokkan komoditas (barang dan jasa) yang diadukan;
b. Dilakukan pembagian kasus oleh petugas yang bersangkutan;
c. Diberikan nomor;
d. Didata dalam filling;
e. Dilakukan pengolahan jawaban kasus;
Setelah dilakukan registrasi, dilakukan kajian terhadap masalah yang
diadukan oleh konsumen. Penentuan masalah atau perkara merupakan “kata
kunci” untuk menyelesaikan masalah selanjutnya. Dasar untuk menentukan bahwa
hal tersebut merupakan masalah perlindungan konsumen, adalah sebagai berikut :
a. Ada kerugian yang dirasakan oleh konsumen
b. Konsumen tersebut adalah kosumen akhir
c. Ada pelaku usaha
d. Produk terdiri atas barang/jassa
Apabila suatu perkara bukan merupakan masalah perlindungan konsumen
diklarifikasikan melalui surat kepada konsumen yang mengadukan, sehingga
dianggap masalah telah selesai. Perkara-perkara yang dianggap sebagai masalah
perlindungan konsumen kemudian dilakukan terhadap proses konfirmasi. Proses
ini biasanya dilakukan terhadap konsumen dan pengirim surat tembusan, serta
instansi/dinas yang terkait. Pengecekan kebenaran materi pengaduan (konfirmasi)
dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut :
a. Dikirim surat untuk minta konfirmasi konsumen.
b. Pemberitahuan kepada aparat/pejabat yang bersangkutan.
c. Penentuan jadwal pertemuan dengan konsumen, pelaku usaha dan
keduanya dengan pejabat penerima pelayanan pegaduan.
Setelah dilakukan proses konfirmasi, pejabat yang bersangkutan akan melakukan :
a. Analisis terhadap masalah yang diadukan;
b. Klarifikasi kepada konsumen, dengan cara :
2.) Meminta penjelasan perihal kronologi kejadian secara akurat.
Setelah itu dilakukan proses klarifikasi terhadap pelaku usaha. Maksudnya, proses
jawaban pengaduan dilakukan setelah ada konfirmasi dari pelaku usaha. Pelaku
usaha bisa melakukan sanggahan atas pengaduan dari konsumen dengan
mempersiapkan hal-hal berikut :
a. Data dan hasil uji
b. Kebijakan internal perusahaan
c. Peraturan perundang-undangan yang mendukung
d. Persiapan melakukan pembuktian terbalik
Jika ternyata masalahnya belum menemui titik kejelasan, perlu dilakukan
beberapa langkah sebagi berikut :
a. Mediasi, yaitu proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga
yang berposisi netral. Pihak ketiga ini hanya membantu saja, tidak
berwenang memberikan keputusan
b. Konsiliasi, yaitu penyelesaian yang dilakukan sendiri oleh pihak-pihak
yang bersengketa didampingi oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai
konsiliator. Soal bentuk dan ganti ruginya menjadi kewenangan kedua
belah pihak, baik konsumen maupun pelaku usaha.
Jika kedua media diatas belum menghasilkan suatu keputusan bisa dilakukan
langkah-langkah selanjutnya, seperti :
a. Pelimpahan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, setiap konsumen yang
dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada di lingkungan peradilan umum.60
Ada 4 (empat) kelompok yang dapat menggugat atas pelanggaran yang
dilakukan pelaku usaha sebagai berikut :
Gugatan terhadap masalah
pelanggaran hak konsumen perlu dilakukan karena posisi konsumen dan pelaku
usaha sama-sama berimbang dimata hukum.
61
1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran
dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi
tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah
melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
4. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar
dan/atau korban yang tidak sedikit.
Bentuk penyelesaian sengkta konsumen menurut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (2) mengatakan :
“Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.”
60
Shidarta, Op.Cit., hal. 185. 61
Berdasarkan pasal ini, bisa dikatakan bahwa ada dua penyelesaian sengketa
konsumen, yaitu :62
1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
a. Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri
b. Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu melalui
BPSK dengan menggunakan mekanisme melalui konsiliasi, mediasi, atau
arbitrase.
2. Penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur pengadilan atau proses legitasi
Penyelesaian sengketa konsumen yang telah disebutkan diatas dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
a. Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak yang bersengketa
Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 45
ayat (2) UUPK, tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara
damai oleh para pihak yang bersengketa, yaitu pelaku usaha dan konsumen, tanpa
melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen, dan sepanjang
tidak bertentangan dengan UUPK. Bahkan dalam penjelasan pasal tersebut
dikemukakan bahwa pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan
penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Dari penjelasan
Pasal 45 ayat (2) UUPK dapat diketahui bahwa UUPK menghendaki agar
penyelesaian damai merupakan upaya hukum yang justru harus terlebih dahulu
62
diusahakan oleh para pihak yang bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk
menyelesaikaan sengketa mereka melalui BPSK atau badan peradilan.63
b. Penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen/BPSK
Pemerintah membentuk suatu badan baru, yaitu Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (selanjutnya disingkat BPSK), untuk menyelesaikan
sengketa konsumen di luar pengadilan. Dengan adanya BPSK maka penyelesaian
sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah dan murah. Cepat karena
undang-undang menentukan dalam tenggang waktu 21 hari kerja setelah gugatan
diterima BPSK wajib memberikan putusannya.64 Mudah karena prosedur
administratif dan proses pengambilan putusan sangat sederhana.65
Menurut Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 Tentang Pelaksanaan
Tugas Dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 15 ayat (2)
dan (3), setiap konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat
mengadukan masalahnya kepada BPSK. Permohonan dapat dilakukan oleh
konsumen yang dirugikan sendiri atau kuasanya atau ahli waris yang
bersangkutan jika konsumen telah meninggal dunia, sakit atau telah berusia lanjut
sehingga tidak dapat mengajukan pengaduan sendiri baik secara tertulis maupun
lisan, atau konsumen belum dewasa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Murah terletak
pada biaya perkara yang terjangkau.
63
Ibid., hal 99-103. 64
Azwir Agus, Op.Cit., hal. 83. 65
yang berlaku atau terhadap orang asing/warga negara asing. Pengaduan secara
lisan atau tulisan tersebut disampaikan kepada sekretariat BPSK di kota/kabupaten
tempat domisili konsumen atau di kota/kabupaten terdekat dengan domisili
konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK diselenggarakan semata-mata
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian
dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tindakan tidak akan terulang
kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.66
66
Erman Rajagukguk, Op.Cit., hal. 138.
Dalam penjelasan Pasal 47
UUPK dikatakan bahwa bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa
pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali
perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut. Ukuran kerugian materi yang
dialami konsumen ini didasarkan pada besarnya dampak dari penggunaan produk
barang/jasa tersebut terhadap konsumen. Bentuk jaminan yang dimaksud adalah
berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali
perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 jo. Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001
tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen. Proses penyelesaiannya pun diatur sangat sederhana dan sejauh
Ada 3 (tiga) tata cara penyelesaian sengketa berdasarkan Kepmenperindag
No. 350/MPP/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu :
1.) Konsiliasi
Pengertian konsiliasi menurut Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001
menjelaskan bahwa konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan pihak yang
bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian
dengan cara ini dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan
didampingi majelis yang bertindak pasif sebagai konsiliator.
Jadi, dalam hal ini majelis BPSK menyerahkan sepenuhnya proses
penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah
ganti kerugian. Konsiliator atau pihak ketiga hanya melakukan tindakan seperti
mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subjek
pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan
tersebut tidak mungkin disampaikan langsung oleh para pihak.
Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas Dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 37 ayat (1) dan (2)
menyatakan hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antara pihak yang
bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang
ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, dan diserahkan kepada majelis
untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian
2.) Mediasi
Menurut Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 Tentang Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 37 ayat 1 dan 2
mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
dengan perantaraan BPSK sebagai penasihat dan penyelesaiannya diserahkan
kepada para pihak. Penyelesaian dengan cara ini dilakukan sendiri oleh para pihak
yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif sebagai
mediator.
Cara mediasi hampir sama dengan cara konsiliasi, yang membedakan di
antara keduanya adalah kalau mediasi didampingi oleh majelis yang aktif,
sedangkan komsiliasi didampingi majelis yang pasif. Dalam proses mediasi,
mediator bertindak lebih aktif dangan memberikan nasihat, petunjuk, saran dan
upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa.67 Hasil musyawarah yang
merupakan kesepakatan antara pihak yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam
bentuk pserjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa,
dan diserahkan kepada majelis BPSK untuk dikukuhkan dalam keputusan majelis
BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut. Keputusan majelis dalam konsiliasi
dan mediasi tidak memuat sanksi administratif.68
3.) Arbitrase
Menurut Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 tentang Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 1 angka 11
67
Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal.110. 68
arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang
dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian
kepada BPSK. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase juga cenderung lebih
informal dan lebih sederhana dibandingan proses letigasi, prosedurnya tidak kaku
dan lebih dapat menyesuaikan, serta tidak sering mengalami penundaan.69 Hanya
perkara perdata saja yang dapat diselesaikan dan diputuskan oleh lembaga
arbitrase.70
2. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Pengadilan
Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase badan atau
majelis yang dibentuk BPSK bersikap aktif dalam mendamaikan pihak-pihak
bersengketa jika tidak tercapai kata sepakat diantara mereka. Cara pertama yang
dilakukan adalah badan ini memberikan penjelasan kepada pihak-pihak yang
bersengketa perihal perundang-undangan yang berkenaan dengan hukum
perlindungan konsumen. Lalu, masing-masing pihak yang bersengketa diberikan
kesempatan yang sama untuk menjelaskan apa saja yang dipersengketakan.
Nantinya keputusan yang dihasilkan dalam penyelesaian sengketa ini adalah
menjadi wewenang penuh badan yang dibentuk BPSK tersebut.
Pengadilan merupakan lembaga formal yang umum dipergunakan oleh
masyarakat untuk menyelesaikan segala bentuk permasalahan yang dihadapinya,
termasuk penyelesaian sengketa konsumen. Tetapi tidak semua sengketa
konsumen layak untuk diajukan ke pengadilan karena jumlah nominal sengketa
69
Ibid., hal 115. 70
tersebut sangat kecil, sedangkan untuk beracara di pengadilan membutuhkan
biaya yang cukup besar serta jangka waktu penyelesaian sengketa yang sangat
lambat.71
Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang
bersengketa. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu
kepada ketentuan peradilan umum yang berlaku di Indonesia.72
Terhadap pengajuan keberatan tersebut, UUPK memberi waktu yang pasti
bagi penyelesaian konsumen yang timbul, yakni jangka waktu 21 (dua puluh satu)
hari proses pada tingkat pengadilan negeri dan 30 (tiga puluh) untuk diselesaikan
oleh Mahkamah Agung, dengan jeda masing-masing 14 (empat belas) hari untuk
mengajukan ke Pengadilan Negeri maupun kasasi ke Mahkamah Agung.
Pada dasarnya putusan yang dijatuhkan majelis BPSK bersifat final dan
mengikat, yang artinya tidak terdapat upaya hukum bagi para pihak untuk
mengajukan banding maupun kasasi terhadap putusan majelis BPSK tersebut.
Akan tetapi, sifat final dan mengikat putusan BPSK masih harus dipertanyakan
kembali karena dalam ketentuan Pasal 56 ayat (2) UUPK membuka peluang bagi
para pihak untuk mengajukan keberatan terhadap putusan BPSK ke pengadilan
negeri, serta masih dibuka lagi kesempatan utuk mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung.
73
71
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hal.237. 72
Happy Susanto, Op.Cit., hal.76. 73
C. Peran Pemerintah Dalam Melindungi Konsumen
Peran pemerintah sebagai pemegang regulasi dan kebijakan sangat penting
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen di Indonesia, pemerintah
mempunyai peranan untuk melaksanakan fungsi pembinaan dan fungsi
pengawasan.74 Tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan untuk memberdayakan
konsumen agar mendapatkan hak-haknya. Sementara itu tanggung jawab
pemerintah dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan perlindungan
konsumen juga menjadi bagian yang penting dalam upaya membangun kegiatan
usaha yang positif dan dinamis, sehingga hak-hak konsumen tetap bisa
diperhatikan oleh para pelaku usaha.75
1. Pembinaan
Penjelasan terhadap fungsi pembinaan dan pengawasan adalah sebagai
berikut :
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen Pasal 29 ayat (1) mengemukakan,
“Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.”
Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen
sebagaimana yang dimaksud dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis
74
Happy Susanto, Op.Cit., hal.63. 75
terkait.76
Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana
meliputi upaya untuk :
Menteri sebagiamana dimaksud melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan perlindungan konsumen.
77
Tugas pembinaan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen
dilakukan oleh menteri atau menteri teknis terkait. Menteri ini melakukan
koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. Beberapa tugas a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku
usaha dan konsumen;
b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c. Meningkatknya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
Pasal 29 ayat (5) UUPK menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai
pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 29 ayat (5) UUPK telah dibuat Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Dalam penjelasan umum,
disebutkan bahwa pembinaan perlindungan konsumen yang diselenggarkan oleh
pemerintah adalah sebagai upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen
dan pelaku usaha serta dilakukannya kewajiban masing-masing sesuai dengan
asas keadilan dan atas keseimbangan kepentingan.
76
Azwir Agus, Op.Cit., hal.76 77
pemerintah dalam melakukan pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumen telah dijabarkan sebagai berikut :78
a. Menciptakan iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku
usaha dan konsumen.
Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan
Konsumen Pasal 4, untuk menciptakan iklim usaha dan menumbuhkan hubungan
yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, menteri melakukan koordinasi
penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait dalam hal
:
1.) Penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen;
2.) Pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang
berkaitan dengan perlindungan konsumen;
3.) Peningkatan peranan BPKN dan BPSK melalui peningkatan kualitas
sumber daya manusia dan lembaga;
4.) Peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan konsumen
terhadap hak dan kewajibannya masing-masing;
5.) Peningkatan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan,
keterampilan;
6.) Penelitian terhadap barang dan/atau jasa beredar yang menyangkut
perlindungan konsumen;
7.) Peningkatan kualitas barang dan/atau jasa;
78
8.) Peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku usaha
dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan dan
menjual barang dan/atau jasa;
9.) Peningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi
standar mutu produksi barang dan/atau jasa serta pencantuman label dan
klausula baku.
b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan
Konsumen Pasal 5, untuk mengembangkan LPKSM, menteri melakukan
koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait
dalam hal :
1.) Pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang
berkaitan dengan perlindungan konsumen;
2.) Pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia mengelola LPKSM
melalui pendidikan, pelatihan dan keterampilan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 6, disebutkan
bahwa dalam upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta
meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan
konsumen menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan
1.) Peningkatan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil di bidang
perlindungan konsumen;
2.) Peningkatan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang dan/atau jasa;
3.) Pengembangan dan pemberdayaan lembaga pengujian mutu barang; dan
4.) Penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu
barang dan/atau jasa serta penerapannya.
2. Pengawasan
Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh
pemerintah, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat.79
Dalam penjelasan umum Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen,
disebutkan bahwa perlindungan konsumen dilakukan secara bersama oleh
pemerintah, masyarakat dan LPKSM, mengingat banyak ragam jenis barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar serta luasnya wilayah Indonesia. Pengawasan
oleh pemerintah meliputi sebagai berikut :80
1.) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam
memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label
dan klausula baku, promosi, pengiklanan, serta pelayanan purnajurnal
barang dan/atau jasa. (catatan : pelayanan purna jurnal yang dimaksud
79
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hal 183. 80
adalah pelayanan yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap konsumen,
seperti adanya jaminan atau garansi);
2.) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan dan penjualan barang
dan/atau jasa;
3.) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
disebarluaskan kepada masyarakat;
4.) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan oleh menteri dan atau menteri terkait bersama-sama