• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Peredaran Produk Kosmetik Berbahaya Yang Mencantumkan Nomor Izin Edar Badan Pengawas Obat Dan Makanan Palsu (Studi Pada : BPOM Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Peredaran Produk Kosmetik Berbahaya Yang Mencantumkan Nomor Izin Edar Badan Pengawas Obat Dan Makanan Palsu (Studi Pada : BPOM Medan)"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

Pesatnya pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan

khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan

variasi produk barang dan jasa yang dapat dikonsumsi.27 Kemajuan di bidang

ilmu pengetahuan, teknologi telekomunikasi, dan informatika juga turut

mendukung perluasan ruang gerak transaksi barang dan jasa hingga melintasi

batas-batas suatu negara. Kondisi demikian pada satu pihak sangat bermanfaat

bagi kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan barang dan jasa yang

diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih

aneka jenis kualitas barang dan jasa sesuai dengan kemampuannya.28

Dari sisi pelaku usaha, dengan semakin leluasanya peredaran barang

maupun jasa telah menimbulkan persaingan yang sangat ketat diantara para

produsen, sehingga memaksa para produsen untuk senantiasa bersikap kreatif

membaca situasi pasar dan kemudian menjabarkannya dalam berbagai kebijakan

guna meningkatkan penjualan.29

27

Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008), hal. 1.

28

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya (Jakarta : Kencana, 2008), hal.1.

29

Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hal.9.

Pelaku usaha yang tidak memiliki kemampuan

untuk bersaing dengan pelaku usaha yang kuat, kerap kali berpikir pendek dengan

melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak benar, walaupun dengan harus

(2)

mengurangi dana untuk menjaga mutu barang, sehingga biaya produksi dapat

dikurangi guna keberhasilan dalam persaingan, pemberian informasi yang tidak

jelas bahkan cenderung menyesatkan, pemalsuan, dan sebagainya, yang

ujung-ujungnya dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen.30

Posisi konsumen sebagai pihak yang lemah juga diakui secara

internasional sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB,

No.A/RES/39/248 Tahun 1985, tentang Guidelines for Consumer Protection,

dimana Guidelines for Consumer Protection menghendaki agar konsumen di

mana pun mereka berada, dari segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar tertentu,

terlepas dari status sosialnya. Yang dimaksud dengan hak-hak dasar tersebut

adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur, hak untuk

mendapatkan keamanan dan keselamatan, hak untuk memilih, hak untuk didengar,

hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar

manusia, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta

kewajiban untuk menjaga lingkungan itu, dan hak untuk mendapatkan pendidikan

dasar. PBB menghimbau seluruh anggotanya untuk memberlakukan hak-hak

konsumen tersebut di negaranya masing-masing.

Kondisi tersebut

semakin diperburuk dengan masih banyaknya konsumen yang belum memahami

akan hak-haknya, serta bersikap pasrah terhadap berbagai tindakan yang

dilakukan pelaku usaha tanpa ada usaha nyata untuk menggugatnya melalui

mekanisme penyelesaian sengketa konsumen yang telah tersedia.

31

30

A. Zein Umar Purba, “Perlindungan Konsumen : Sendi-Sendi Pokok Pengaturan”, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.4 Tahun XXII/Agustus 1992, hal. 400.

31

(3)

Bagi pemerintah Indonesia, upaya perlindungan terhadap konsumen antara

lain dimaksudkan untuk meletakkan prinsip-prinsip :32

1. Konsumen pada dasarnya adalah pemakai, pengguna atau pemanfaat

barang dan/atau jasa yang perlu diberikan perlindungan hukum;

2. Konsumen merupakan pihak yang sangat menentukan kelangsungan dan

pertumbuhan usaha, serta memiliki kedudukan yang setara dengan pelaku

usaha;

3. Konsumen perlu diberdayakan potensinya, mengingat selama ini pada

umumnya kurang mengerti atau kurang waspada, sehingga mudah tergiur

oleh upaya pemasaran yang menarik tanpa atau kurang memahami mutu

hasil produk yang ditawarkan.

Merupakan suatu hal yang sangat penting bagi pemerintah untuk

membangun setiap negara haruslah ada suatu kesadaran bahwa konsumen bukan

sebagai objek yang dapat dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab oleh

pelaku usaha demi keuntungan sepihak, tetapi harus ditempatkan sebagai subjek

yang setara kedudukannya dengan pelaku usaha, karena masa depan pelaku usaha

sangat ditentukan oleh keharmonisan hubungan diantara kedua belah pihak.33

Pentingnya peran negara dalam memberikan perlindungan terhadap

konsumen, dilatarbelakangi oleh adanya ketidakseimbangan kedudukan antara

para pelaku usaha dan konsumen. Walaupun konsumen dapat dianggap sebagai

pihak yang mempunyai kemampuan untuk mengalokasikan sumber dana yang

tersedia guna memenuhi kebutuhannya dalam berbagai produk yang tersedia di

32

Dedi Harianto, Op.Cit., hal. 10-11. 33

(4)

pasar, tetapi ketergantungan konsumen yang amat besar terhadap produk yang

disediakan pelaku usaha menyebabkan posisi tawar (bargaining position)

konsumen terhadap pelaku usaha menjadi lemah. Di samping itu, dianutnya asas

hukum yang belum berpihak kepada konsumen, menyebabkan konsumen dalam

kondisi yang sangat dirugikan. Asas inilah yang kemudian dikenal sebagai caveat

emptor atau let the buyer beware, dimana konsumen diharuskan untuk melindungi

dirinya sendiri dengan selalu berhati-hati dalam bertransaksi. Konsumen harus

memeriksa, menimbang, mencoba sendiri setiap barang atau jasa yang dibelinya,

dan apabila ia salah dalam bertransaksi, maka hal itu merupakan kesalahan dan

kebodohan konsumen sendiri.34

Kondisi dan realitas tersebut di atas, mendorong pelaku usaha untuk

mengeksploitasi ketidakberdayaan konsumen dengan lebih mengonsentrasikan

dirinya untuk memenangkan persaingan dan perluasan pasar. Hal tersebut

dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan memproduksi produk yang

tidak memenuhi standar kualiatas, pelayanan purna jual (after sales service) yang

buruk, sampai kepada pemberian informasi yang menyesatkan melalui media

iklan. Keseluruhan tindakan pelaku usaha tersebut, tentu akan cenderung

mengakibatkan kerugian bagi konsumen.35 Konsumen yang banyak dirugikan,

memerlukan peningkatan upaya untuk melindunginya, sehingga hak-hak

konsumen dapat ditegakkan.36

Melihat praktik perdagangan yang hanya menguntungkan pelaku usaha

secara sepihak dan tidak adanya perlindungan yang memadai bagi konsumen,

34

Ibid., hal.14-15. 35

Ibid. 36

(5)

maka timbul pemikiran agar negara dilibatkan untuk memberikan perlindungan

yang maksimal kepada konsumen sebagai salah satu bentuk pelayanan negara

(public service) kepada setiap warga negaranya.37

Untuk dapat menjamin suatu penyelenggaraan perlindungan konsumen,

maka pemerintah menuangkan perlindungan konsumen dalam suatu produk

hukum. Hal ini penting karena hanya hukum yang memiliki kekuatan untuk

memaksa pelaku usaha untuk menaatinya, dan juga hukum memiliki sanksi yang

tegas. Mengingat dampak penting yang dapat ditimbulkan akibat tindakan pelaku

usaha yang sewenang-wenang dan hanya mengutamakan kepentingan serta

keuntungan dari bisnisnya sendiri, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk

melindungi konsumen yang posisinya memang lemah, disamping ketentuan

hukum yang melindungi kepentingan konsumen belum memadai.

38

Di Indonesia, gerakan untuk memberikan perlindungan terhadap

konsumen telah melahirkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen

(selanjutnya disingkat UUPK) Nomor 8 Tahun 1999, yang berfungsi sebagai

payung dan dasar hukum bagi pengaturan perlindungan konsumen.39

Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu

antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen, serta Rumusan

pengertian perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan

Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 Angka (1) menyatakan :

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”

37 Ibid. 38

Azwir Agus, Arbitrase Konsumen Gambaran Dalam Perubahan Hukum Perlindungan Konsumen (Medan : USU Press, 2013), hal. 87.

39

(6)

membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa, dan

menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab.40

Dengan pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan perlindungan

hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh

barang dan jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya,

maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang

mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka

pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian hukum

perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan

kewajiban produsen-pelaku usaha, serta cara-cara mempertahankan hak dan

menjalankan kewajiban itu.41

Penjelasannya adalah perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha

bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan, yaitu :

Dalam Pasal 2 UUPK membahas tentang asas perlindungan konsumen,

yang menyatakan :

“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.”

42

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha

secara keseluruhan.

40

Adrian Sutedi, Op.Cit., hal.8. 41

Janus Sidabalok, Op.Cit., hal.37. 42

(7)

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat Indonesia dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan

kewajiban secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil

dan spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen

menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan

perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya, tampak

bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional, yaitu

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah

Negara Republik Indonesia.43 Sebagai asas hukum, dengan sendirinya

menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan

perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan

gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.44

43

Ibid., hal.26. 44

(8)

Tujuan yang ingin dicapai oleh UUPK adalah :45

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya

dari akses negatif peamakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi, serta akses untuk mendapatkan

informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam

berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan

keselamatan konsumen.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa kesemua undang-undang yang ada

dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap berlaku, sepanjang tidak

bertentangan atau telah diatur khusus oleh undang-undang. Oleh karena itu, tidak

dapat lain haruslah dipelajari juga peraturan perundang-undangan tentang

konsumen atau perlindungan konsumen ini dalam kaidah-kaidah hukum peraturan

45

(9)

perundang-undangan umum yang mungkin atau dapat mengatur dan/atau

melindungi hubungan masalah konsumen dengan penyedia barang atau jasa.

Sebagai akibat dari penggunaan peraturan perundang-undangan umum ini, dengan

sendirinya berlaku pulalah asas-asas hukum yang terkandung di dalamnya pada

berbagai pengaturan perlindungan konsumen tersebut.46

Pengertian peraturan perundang-undangan umum adalah semua peraturan

perundangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan yang berwenang untuk

itu, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Peraturan perundang-undangan ini

antara lain adalah (di pusat) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

Peraturan Presiden, dan seterusnya, dan (di daerah-daerah) Peraturan Daerah

(Peraturan daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota serta peraturan desa dan

sebagainya).47

Selain UUPK, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lainnya yang

juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum bagi perlindungan

konsumen sebagai berikut :48

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal

21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal

21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan

Perlindungan Konsumen.

46

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal.47-48. 47

Purnadi Purbacaraka, Perundang-undangan dan Yurisprudensi (Bandung : Alumni, 1979), hal.12.

48

(10)

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal

21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat.

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal

21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat,

Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta,

Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar.

5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

Nomor 301/MPP/KEP/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian

Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Senketa Konsumen.

6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

Nomor 605/MPP/Kep/8/2002 Tentang Pengangkatan Anggota Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota

Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Jakarta

dan Kota Medan.

8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

Nomor 480/MPP/Kep/6/2002 Tanggal 13 Juni 2002 Tentang Perubahan

(11)

302/MPP/Kep/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat.

9. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

Nomor 418/MPP/Kep/4/2002 Tanggal 30 April 2002 Tentang

Pembentukan Tim Penyeleksi Calon Anggota Badan Perlindungan

Konsumen.

10. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

Alasan yang dapat dikemukakan untuk menerbitkan peraturan

perundang-undangan yang secara khusus mengatur dan melindungi kepentingan konsumen

dapat disebutkan sebagai berikut :49

1. Konsumen memerlukan pengaturan tersendiri, karena dalam suatu

hubungan hukum dengan penjual konsumen merupakan pengguna barang

dan jasa untuk kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diproduksi ataupun

diperdagangkan.

2. Konsumen memerlukan sarana atau acara hukum tersendiri sebagai upaya

guna melindungi atau memperoleh haknya.

Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat

melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi

bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen. Dengan

adanya UUPK beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan

49

(12)

posisi yang berimbang dan konsumen dapat menggugat atau menuntut jika

ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar pelaku usaha.50

B. Bentuk Pelanggaran Hak Konsumen, Tata Cara Pengaduan Konsumen dan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Dengan

adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen

diyakini bisa dilakukan dengan penuh optimisme.

Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum.

Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun

materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan

terlebih-lebih hak-hak yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan

konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum

terhadap hak-hak konsumen.

Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yang

dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dalam pidatonya

dihadapan Kongres Amerika Serikat pada tahun 1962, yaitu :51

1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);

2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);

3. Hak untuk memilih (the right to choose);

4. Hak untuk didengar (the right to be heard).

50

Happy Susanto, Op.Cit., hal.4. 51

(13)

Dalam Pasal 4 UUPK disebutkan sejumlah hak-hak pokok konsumen yang

mendapat jaminan dan perlindungan dari hukum, yang dapat dijadikan sebagai

landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut, yaitu :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

(14)

Konsumen perlu memperhatikan hak-hak yang harus diperjuangkan, dan

tidak boleh tinggal diam ketika hak-haknya sebagai konsumen telah dilanggar,

namun konsumen juga mempunyai kewajiban yang harus diperhatikan dan

dilaksanakan. Kewajiban konsumen menurut Pasal 5 UUPK, yaitu :

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar uang yang disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

tidak hanya mengatur tentang hak dan kewajiban konsumen, melainkan juga hak

dan kewajiban pelaku usaha. Hak pelaku usaha tersebut diberikan agar tercipta

pola hubungan yang seimbang antara pelaku usaha dan konsumen. Hak-hak

pelaku usaha usaha tersebut tercantum dalam Pasal 6 UUPK adalah sebagai

berikut :

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beriktikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

(15)

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum

bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Disamping hak yang diberikan, dalam Pasal 7 UUPK terdapat pula kewajiban

yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pelaku usaha, yaitu :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

(16)

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

Khusus dalam Pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha,

kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku

usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.52

Sebagimana telah dibahas, tujuan dari perlindungan konsumen adalah

untuk mengangkat harkat hidup dan martabat konsumen, yaitu dengan cara

menghindarkannya dari efek negatif pemakaian barang dan/atau jasa. Oleh karena

itu, segala perbuatan yang melanggar hak konsumen harus dihindari. Berikut

adalah bentuk pelanggaran hak konsumen yang dilarang dalam Undang

Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 :

Seringnya terjadi pelanggaran

terhadap masalah perlindungan konsumen dikarenakan ketidaktahuan konsumen

maupun pelaku usaha mengenai hak dan kewajibannya masing-masing, meski

telah diatur dalam UUPK, masih banyak masyarakat yang belum membaca

bahkan belum mengetahui keberadaan undang-undang ini. Maka itu penting untuk

konsumen dan pelaku usaha untuk mengetahui hak dan kewajiban masing-masing

dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan.

53

1. Produk Atau Jasa Yang Dilarang

Menurut UUPK Pasal 8 ayat (1), barang atau jasa yang dilarang adalah

sebagai berikut.

52

Celina Tri Siwi Krisyanti, Op.Cit., hal.32. 53

(17)

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan

dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, atau netto, dan jumlah dalam hitungan

sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etikel barang tersebut.

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam

hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang

dan/atau jasa tersebut.

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya,

mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau

keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,

iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut.

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat

nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai,

tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta

keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus

(18)

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang

dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

yang berlaku.

Selain itu, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak,

cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan

benar atas barang yang dimaksud.54 Pelaku usaha juga dilarang

memperdagangkan persediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas,

dan tercemar dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan

benar.55 Jika pelaku usaha melanggar ketentuan tersebut, barang atau jasa tersebut

wajib ditarik dari peredaran. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau

jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang bisa

menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.56

2. Manipulasi Produk Atau Jasa

Inti dari

pasal-pasal diatas adalah agar setiap barang dan/atau jasa yang beredar di

masyarakat merupakan produk yang benar-benar layak edar sehingga konsumen

tidak dirugikan.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 9 menjelaskan bahwa

produk barang dan jasa yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan secara

tidak benar (manipulasi) oleh pelaku usaha dilarang, seolah barang/jasa itu :

54

Azwir Agus, Op.Cit., hal. 70. 55

Ibid. 56

(19)

a. Telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar

mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau

guna tertentu;

b. Dalam keadaan baik atau baru;

c. Telah mendapatkan atau memiliki sponsor persetujuan perlengkapan

tertentu, keuntungan tertentu,ciri-ciri kerja, atau aksesori tertentu;

d. Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau

afiliasi;

e. Barang/jasa tersebut tersedia;

f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang/jasa lain;

j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak berbahaya,

serta tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang

lengkap;

k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Barang atau jasa tersebut sangat dilarang untuk diperdagangkan. Pelaku

usaha yang melanggar ketentuan tersebut dilarang untuk melanjutkan

kegiatan penawaran, promosi dan pengiklanan.

(20)

Berdasarkan UUPK Pasal 10, pelaku usaha yang menawarkan barang atau

jasa untuk diperdagangkan, dilarang menawarkan, mempromosikan,

mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar dan menyesatkan

mengenai :

a. Harga atau tarif suatu barang/ jasa;

b. Kegunaan suatu barang/jasa;

c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang/jasa;

d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

e. Bahaya penggunaan barang/jasa.

4. Obral atau Lelang

Dalam UUPK Pasal 11 menjelaskan, pelaku usaha dalam hal penjualan

yang dilakukan dengan cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan

konsumen dengan :

a. Menyatakan barang/jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu

tertentu;

b. Menyatakan barang/jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat

yang tersembunyi;

c. Tidak berniat untuk menjual barang/jasa yang ditawarkan melainkan

dengan maksud menjual barang lain;

d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu atau jumlah yang cukup

(21)

e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup

dengan maksud menjual jasa yang lain;

f. Menaikkan harga atau tarif barang/jasa sebelum melakukan obral.

5. Pemberian Hadiah

Menurut Pasal 13 ayat (1) UUPK pelaku usaha dilarang menawarkan,

mempromosikan atau mengiklankan suatu barang/jasa dengan cara menjanjikan

pemberian hadiah berupa barang/jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak

memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya. Pelaku

usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat

tradisonal, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan

dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang/jasa lain.57

a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; Berdasarkan Pasal 14 UUPK, pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa

yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara

undian dilarang untuk :

b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;

c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;

d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

57

(22)

6. Pesanan

Pasal 16 UUPK mengatur ketentuan bahwa pelaku usaha dalam

menawarkan barang/jasa melalui pesanan dilarang untuk :

a. Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai

dengan yang dijanjikan;

b. Tidak menepati janji atas suatu pelayanan atau prestasi.

7. Usaha Periklanan

Dalam UUPK Pasal 17 mengatur secara khusus tentang ketentuan

periklanan. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang :

a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan

harga barang atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang/jasa;

b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang/jasa;

c. Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai

barang/jasa;

d. Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa;

e. Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau

persetujuan yang bersangkutan;

f. Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai

periklanan.

Adanya Undang-Undang yang mengatur perlindungan konsumen tidak

dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha. Undang-undang

(23)

mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan

yang ada dengan menyediakan barang/jasa yang berkualitas.58

Sejak tahun 2001 telah dibentuk suatu Direktorat Perlindungan Konsumen

di bawah Direktorat Jendral Perdagangan Dalam Negeri Departemen

Perindustrian dan Perdagangan yang bertugas melaksanakan perumusan

kebijakan, standarisasi, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perlindungan

konsumen di Indonesia. Salah satu sub direktoratnya yaitu Sub Direktorat

Pelayanan Pengaduan bertugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan

penyusunan pedoman, standar, norma, kriteria, prosedur dan bimbingan teknis,

serta evaluasi di bidang pelayanan pengaduan konsumen. Sub Direktorat juga

Undang-Undang Perlindungan Konsumen membuka kesempatan kepada

setiap konsumen yang dirugikan untuk mengajukan gugatan kepada pelaku usaha

melalui jalur di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana

dimaksud tersebut diatas tidak menutup kemungkinan penyelesaian secara damai

oleh para pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian secara

damai adalah penyelesaian yang dilakukan kedua belah pihak yang bersengketa

tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak

bertentangan dengan Undang-Undang. Penyelesaian sengketa secara damai ini

dapat dilakukan oleh konsumen langsung bernegosiasi kepada pelaku usaha atau

melalui bantuan Sub Direktorat Pelayanan Pengaduan, Direktorat Perlindungan

Konsumen.

58

(24)

melayani pengaduan konsumen yang dirugikan baik konsumen barang maupun

konsumen jasa atau klausula baku.

Konsumen bisa mendatangi sub direktorat (selanjutnya disingkat subdit)

pelayanan pengaduan di Direktorat Perlindungan Konsumen, Departemen

Perdagangan. Sebagaimana dijelaskan dalam website resminya,

Berikut adalah tata cara pengaduan konsumen melalui cara damai tanpa

melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen :59

1. Melalui Telepon

Konsumen yang menelepon perlu menjelaskan apa saja pokok

permasalahannya. Direktorat Perlindungan Konsumen akan menangani segala

pengaduan konsumen yang sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya.

2. Datang Langsung

Konsumen bisa membawa permasalahannya langsung ke Subdit Pelayanan

Pengaduan di Direktorat Perlindungan Konsumen dengan terlebih dahulu

melakukan :

a. Pengisian formulir registrasi pengaduan; dan

b. Menguraikan kronologis singkat permasalahan yang dihadapi.

Setelah konsumen menyerahkan formulir dan menjelaskan kronologis

permasalahan, petugas akan mengkroscek pendataan pengaduan dan bukti

pendukung yang telah diisi oleh konsumen dalam computer file. Kelengkapan

laporan akan ditandatangani oleh kedua belah pihak, yaitu pejabat penerima

59

(25)

pengaduan dan konsumen yang mengadu. Laporan konsumen menjadi dasar

pembuatan surat klarifikasi kepada pelaku usaha, dan setiap surat yang terkirim

kepada pelaku usaha, konsumen akan memperoleh tembusan.

3. Media Massa

Pengaduan melalui media massa, khususnya surat pembaca, bisa diterima

oleh Subdit Pelayanan Pengaduan Direktorat Perlindungan Konsumen, asalkan :

a. Surat pembaca tersebut memiliki identitas yang lengkap;

b. Masalah yang diajukan menimbulkan gejolak sosial;

c. Apa yang diadukan memang berdampak pada keamanan, kenyamanan dan

keselamatan konsumen;

d. Surat pembaca tersebut dikumpulkan dalam bentuk kliping sebagai data

awal yang akurat;

e. Perlu mengundang kedua belah pihak, baik konsumen maupun pelaku

usaha.

4. Internet

Pengaduan lewat internet juga diperbolehkan. Pengaduan melalui internet

akan ditindaklanjuti dengan cara sebagai berikut :

a. Mengklarifikasi apa permasalahannya.

b. Dilakukan pengecekan identitas agar jelas siapa yang mengadukan.

(26)

5. Bentuk Pengaduan

Konsumen bisa mengadukan haknya ke Subdit Pelayanan Pengaduan di

Direktorat Perlindungan Konsumen, baik dalam bentuk pengaduan tertulis

maupun pengaduan secara lisan. Bedanya, untuk pengaduan secara lisan akan

diisikan apa yang diadukan ke dalam formulir pendaftaran oleh petugas yang

bersangkutan. Beberapa cacatan penting yang perlu diperhatikan dalam mengisi

formulir pendaftaran pengaduan sebagai berikut :

a. Harus jelas identitas konsumen yang mengadukan

b. Bisa diajukan dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris

c. Yang diadukan memang benar-benar termasuk dalam kategori

perliindungan konsumen

Segala bentuk pengaduan yang disampaikan kemudian diproses ke dalam

registrasi. Proses registrasi adalah proses pemasukan data ke dalam sistem filling

oleh petugas yang bersangkutan. Tujuannya adalah agar jalur komunikasi mudah

diakses oleh siapapun. Yang akan dilakukan dalam proses registrasi ini, yaitu :

a. Mengelompokkan komoditas (barang dan jasa) yang diadukan;

b. Dilakukan pembagian kasus oleh petugas yang bersangkutan;

c. Diberikan nomor;

d. Didata dalam filling;

e. Dilakukan pengolahan jawaban kasus;

(27)

Setelah dilakukan registrasi, dilakukan kajian terhadap masalah yang

diadukan oleh konsumen. Penentuan masalah atau perkara merupakan “kata

kunci” untuk menyelesaikan masalah selanjutnya. Dasar untuk menentukan bahwa

hal tersebut merupakan masalah perlindungan konsumen, adalah sebagai berikut :

a. Ada kerugian yang dirasakan oleh konsumen

b. Konsumen tersebut adalah kosumen akhir

c. Ada pelaku usaha

d. Produk terdiri atas barang/jassa

Apabila suatu perkara bukan merupakan masalah perlindungan konsumen

diklarifikasikan melalui surat kepada konsumen yang mengadukan, sehingga

dianggap masalah telah selesai. Perkara-perkara yang dianggap sebagai masalah

perlindungan konsumen kemudian dilakukan terhadap proses konfirmasi. Proses

ini biasanya dilakukan terhadap konsumen dan pengirim surat tembusan, serta

instansi/dinas yang terkait. Pengecekan kebenaran materi pengaduan (konfirmasi)

dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut :

a. Dikirim surat untuk minta konfirmasi konsumen.

b. Pemberitahuan kepada aparat/pejabat yang bersangkutan.

c. Penentuan jadwal pertemuan dengan konsumen, pelaku usaha dan

keduanya dengan pejabat penerima pelayanan pegaduan.

Setelah dilakukan proses konfirmasi, pejabat yang bersangkutan akan melakukan :

a. Analisis terhadap masalah yang diadukan;

b. Klarifikasi kepada konsumen, dengan cara :

(28)

2.) Meminta penjelasan perihal kronologi kejadian secara akurat.

Setelah itu dilakukan proses klarifikasi terhadap pelaku usaha. Maksudnya, proses

jawaban pengaduan dilakukan setelah ada konfirmasi dari pelaku usaha. Pelaku

usaha bisa melakukan sanggahan atas pengaduan dari konsumen dengan

mempersiapkan hal-hal berikut :

a. Data dan hasil uji

b. Kebijakan internal perusahaan

c. Peraturan perundang-undangan yang mendukung

d. Persiapan melakukan pembuktian terbalik

Jika ternyata masalahnya belum menemui titik kejelasan, perlu dilakukan

beberapa langkah sebagi berikut :

a. Mediasi, yaitu proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga

yang berposisi netral. Pihak ketiga ini hanya membantu saja, tidak

berwenang memberikan keputusan

b. Konsiliasi, yaitu penyelesaian yang dilakukan sendiri oleh pihak-pihak

yang bersengketa didampingi oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai

konsiliator. Soal bentuk dan ganti ruginya menjadi kewenangan kedua

belah pihak, baik konsumen maupun pelaku usaha.

Jika kedua media diatas belum menghasilkan suatu keputusan bisa dilakukan

langkah-langkah selanjutnya, seperti :

a. Pelimpahan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

(29)

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, setiap konsumen yang

dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas

menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan

yang berada di lingkungan peradilan umum.60

Ada 4 (empat) kelompok yang dapat menggugat atas pelanggaran yang

dilakukan pelaku usaha sebagai berikut :

Gugatan terhadap masalah

pelanggaran hak konsumen perlu dilakukan karena posisi konsumen dan pelaku

usaha sama-sama berimbang dimata hukum.

61

1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;

2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi

syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran

dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi

tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah

melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

4. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar

dan/atau korban yang tidak sedikit.

Bentuk penyelesaian sengkta konsumen menurut Undang-Undang

Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (2) mengatakan :

“Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.”

60

Shidarta, Op.Cit., hal. 185. 61

(30)

Berdasarkan pasal ini, bisa dikatakan bahwa ada dua penyelesaian sengketa

konsumen, yaitu :62

1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan

a. Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri

b. Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu melalui

BPSK dengan menggunakan mekanisme melalui konsiliasi, mediasi, atau

arbitrase.

2. Penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur pengadilan atau proses legitasi

Penyelesaian sengketa konsumen yang telah disebutkan diatas dapat

diuraikan sebagai berikut :

1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan

a. Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak yang bersengketa

Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 45

ayat (2) UUPK, tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara

damai oleh para pihak yang bersengketa, yaitu pelaku usaha dan konsumen, tanpa

melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen, dan sepanjang

tidak bertentangan dengan UUPK. Bahkan dalam penjelasan pasal tersebut

dikemukakan bahwa pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan

penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Dari penjelasan

Pasal 45 ayat (2) UUPK dapat diketahui bahwa UUPK menghendaki agar

penyelesaian damai merupakan upaya hukum yang justru harus terlebih dahulu

62

(31)

diusahakan oleh para pihak yang bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk

menyelesaikaan sengketa mereka melalui BPSK atau badan peradilan.63

b. Penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen/BPSK

Pemerintah membentuk suatu badan baru, yaitu Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (selanjutnya disingkat BPSK), untuk menyelesaikan

sengketa konsumen di luar pengadilan. Dengan adanya BPSK maka penyelesaian

sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah dan murah. Cepat karena

undang-undang menentukan dalam tenggang waktu 21 hari kerja setelah gugatan

diterima BPSK wajib memberikan putusannya.64 Mudah karena prosedur

administratif dan proses pengambilan putusan sangat sederhana.65

Menurut Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 Tentang Pelaksanaan

Tugas Dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 15 ayat (2)

dan (3), setiap konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat

mengadukan masalahnya kepada BPSK. Permohonan dapat dilakukan oleh

konsumen yang dirugikan sendiri atau kuasanya atau ahli waris yang

bersangkutan jika konsumen telah meninggal dunia, sakit atau telah berusia lanjut

sehingga tidak dapat mengajukan pengaduan sendiri baik secara tertulis maupun

lisan, atau konsumen belum dewasa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Murah terletak

pada biaya perkara yang terjangkau.

63

Ibid., hal 99-103. 64

Azwir Agus, Op.Cit., hal. 83. 65

(32)

yang berlaku atau terhadap orang asing/warga negara asing. Pengaduan secara

lisan atau tulisan tersebut disampaikan kepada sekretariat BPSK di kota/kabupaten

tempat domisili konsumen atau di kota/kabupaten terdekat dengan domisili

konsumen.

Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK diselenggarakan semata-mata

untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian

dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tindakan tidak akan terulang

kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.66

66

Erman Rajagukguk, Op.Cit., hal. 138.

Dalam penjelasan Pasal 47

UUPK dikatakan bahwa bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa

pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali

perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut. Ukuran kerugian materi yang

dialami konsumen ini didasarkan pada besarnya dampak dari penggunaan produk

barang/jasa tersebut terhadap konsumen. Bentuk jaminan yang dimaksud adalah

berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali

perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.

Tata cara penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 jo. Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001

tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen. Proses penyelesaiannya pun diatur sangat sederhana dan sejauh

(33)

Ada 3 (tiga) tata cara penyelesaian sengketa berdasarkan Kepmenperindag

No. 350/MPP/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu :

1.) Konsiliasi

Pengertian konsiliasi menurut Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001

menjelaskan bahwa konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di

luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan pihak yang

bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian

dengan cara ini dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan

didampingi majelis yang bertindak pasif sebagai konsiliator.

Jadi, dalam hal ini majelis BPSK menyerahkan sepenuhnya proses

penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah

ganti kerugian. Konsiliator atau pihak ketiga hanya melakukan tindakan seperti

mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subjek

pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan

tersebut tidak mungkin disampaikan langsung oleh para pihak.

Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas Dan

Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 37 ayat (1) dan (2)

menyatakan hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antara pihak yang

bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang

ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, dan diserahkan kepada majelis

untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian

(34)

2.) Mediasi

Menurut Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 Tentang Tugas dan

Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 37 ayat 1 dan 2

mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan

dengan perantaraan BPSK sebagai penasihat dan penyelesaiannya diserahkan

kepada para pihak. Penyelesaian dengan cara ini dilakukan sendiri oleh para pihak

yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif sebagai

mediator.

Cara mediasi hampir sama dengan cara konsiliasi, yang membedakan di

antara keduanya adalah kalau mediasi didampingi oleh majelis yang aktif,

sedangkan komsiliasi didampingi majelis yang pasif. Dalam proses mediasi,

mediator bertindak lebih aktif dangan memberikan nasihat, petunjuk, saran dan

upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa.67 Hasil musyawarah yang

merupakan kesepakatan antara pihak yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam

bentuk pserjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa,

dan diserahkan kepada majelis BPSK untuk dikukuhkan dalam keputusan majelis

BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut. Keputusan majelis dalam konsiliasi

dan mediasi tidak memuat sanksi administratif.68

3.) Arbitrase

Menurut Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 tentang Pelaksanaan

Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 1 angka 11

67

Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal.110. 68

(35)

arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang

dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian

kepada BPSK. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase juga cenderung lebih

informal dan lebih sederhana dibandingan proses letigasi, prosedurnya tidak kaku

dan lebih dapat menyesuaikan, serta tidak sering mengalami penundaan.69 Hanya

perkara perdata saja yang dapat diselesaikan dan diputuskan oleh lembaga

arbitrase.70

2. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Pengadilan

Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase badan atau

majelis yang dibentuk BPSK bersikap aktif dalam mendamaikan pihak-pihak

bersengketa jika tidak tercapai kata sepakat diantara mereka. Cara pertama yang

dilakukan adalah badan ini memberikan penjelasan kepada pihak-pihak yang

bersengketa perihal perundang-undangan yang berkenaan dengan hukum

perlindungan konsumen. Lalu, masing-masing pihak yang bersengketa diberikan

kesempatan yang sama untuk menjelaskan apa saja yang dipersengketakan.

Nantinya keputusan yang dihasilkan dalam penyelesaian sengketa ini adalah

menjadi wewenang penuh badan yang dibentuk BPSK tersebut.

Pengadilan merupakan lembaga formal yang umum dipergunakan oleh

masyarakat untuk menyelesaikan segala bentuk permasalahan yang dihadapinya,

termasuk penyelesaian sengketa konsumen. Tetapi tidak semua sengketa

konsumen layak untuk diajukan ke pengadilan karena jumlah nominal sengketa

69

Ibid., hal 115. 70

(36)

tersebut sangat kecil, sedangkan untuk beracara di pengadilan membutuhkan

biaya yang cukup besar serta jangka waktu penyelesaian sengketa yang sangat

lambat.71

Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya

tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang

bersengketa. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu

kepada ketentuan peradilan umum yang berlaku di Indonesia.72

Terhadap pengajuan keberatan tersebut, UUPK memberi waktu yang pasti

bagi penyelesaian konsumen yang timbul, yakni jangka waktu 21 (dua puluh satu)

hari proses pada tingkat pengadilan negeri dan 30 (tiga puluh) untuk diselesaikan

oleh Mahkamah Agung, dengan jeda masing-masing 14 (empat belas) hari untuk

mengajukan ke Pengadilan Negeri maupun kasasi ke Mahkamah Agung.

Pada dasarnya putusan yang dijatuhkan majelis BPSK bersifat final dan

mengikat, yang artinya tidak terdapat upaya hukum bagi para pihak untuk

mengajukan banding maupun kasasi terhadap putusan majelis BPSK tersebut.

Akan tetapi, sifat final dan mengikat putusan BPSK masih harus dipertanyakan

kembali karena dalam ketentuan Pasal 56 ayat (2) UUPK membuka peluang bagi

para pihak untuk mengajukan keberatan terhadap putusan BPSK ke pengadilan

negeri, serta masih dibuka lagi kesempatan utuk mengajukan kasasi ke Mahkamah

Agung.

73

71

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hal.237. 72

Happy Susanto, Op.Cit., hal.76. 73

(37)

C. Peran Pemerintah Dalam Melindungi Konsumen

Peran pemerintah sebagai pemegang regulasi dan kebijakan sangat penting

dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen di Indonesia, pemerintah

mempunyai peranan untuk melaksanakan fungsi pembinaan dan fungsi

pengawasan.74 Tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pembinaan

penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan untuk memberdayakan

konsumen agar mendapatkan hak-haknya. Sementara itu tanggung jawab

pemerintah dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan perlindungan

konsumen juga menjadi bagian yang penting dalam upaya membangun kegiatan

usaha yang positif dan dinamis, sehingga hak-hak konsumen tetap bisa

diperhatikan oleh para pelaku usaha.75

1. Pembinaan

Penjelasan terhadap fungsi pembinaan dan pengawasan adalah sebagai

berikut :

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen Pasal 29 ayat (1) mengemukakan,

“Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.”

Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen

sebagaimana yang dimaksud dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis

74

Happy Susanto, Op.Cit., hal.63. 75

(38)

terkait.76

Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana

meliputi upaya untuk :

Menteri sebagiamana dimaksud melakukan koordinasi atas

penyelenggaraan perlindungan konsumen.

77

Tugas pembinaan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen

dilakukan oleh menteri atau menteri teknis terkait. Menteri ini melakukan

koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. Beberapa tugas a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku

usaha dan konsumen;

b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;

c. Meningkatknya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan

penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.

Pasal 29 ayat (5) UUPK menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai

pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Sebagai tindak lanjut dari Pasal 29 ayat (5) UUPK telah dibuat Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan

Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Dalam penjelasan umum,

disebutkan bahwa pembinaan perlindungan konsumen yang diselenggarkan oleh

pemerintah adalah sebagai upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen

dan pelaku usaha serta dilakukannya kewajiban masing-masing sesuai dengan

asas keadilan dan atas keseimbangan kepentingan.

76

Azwir Agus, Op.Cit., hal.76 77

(39)

pemerintah dalam melakukan pembinaan penyelenggaraan perlindungan

konsumen telah dijabarkan sebagai berikut :78

a. Menciptakan iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku

usaha dan konsumen.

Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun

2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan

Konsumen Pasal 4, untuk menciptakan iklim usaha dan menumbuhkan hubungan

yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, menteri melakukan koordinasi

penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait dalam hal

:

1.) Penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen;

2.) Pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang

berkaitan dengan perlindungan konsumen;

3.) Peningkatan peranan BPKN dan BPSK melalui peningkatan kualitas

sumber daya manusia dan lembaga;

4.) Peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan konsumen

terhadap hak dan kewajibannya masing-masing;

5.) Peningkatan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan,

keterampilan;

6.) Penelitian terhadap barang dan/atau jasa beredar yang menyangkut

perlindungan konsumen;

7.) Peningkatan kualitas barang dan/atau jasa;

78

(40)

8.) Peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab pelaku usaha

dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan dan

menjual barang dan/atau jasa;

9.) Peningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi

standar mutu produksi barang dan/atau jasa serta pencantuman label dan

klausula baku.

b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun

2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan

Konsumen Pasal 5, untuk mengembangkan LPKSM, menteri melakukan

koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait

dalam hal :

1.) Pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang

berkaitan dengan perlindungan konsumen;

2.) Pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia mengelola LPKSM

melalui pendidikan, pelatihan dan keterampilan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan

dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Pasal 6, disebutkan

bahwa dalam upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta

meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan

konsumen menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan

(41)

1.) Peningkatan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil di bidang

perlindungan konsumen;

2.) Peningkatan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang dan/atau jasa;

3.) Pengembangan dan pemberdayaan lembaga pengujian mutu barang; dan

4.) Penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu

barang dan/atau jasa serta penerapannya.

2. Pengawasan

Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta

penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh

pemerintah, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat.79

Dalam penjelasan umum Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang

Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen,

disebutkan bahwa perlindungan konsumen dilakukan secara bersama oleh

pemerintah, masyarakat dan LPKSM, mengingat banyak ragam jenis barang

dan/atau jasa yang beredar di pasar serta luasnya wilayah Indonesia. Pengawasan

oleh pemerintah meliputi sebagai berikut :80

1.) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam

memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label

dan klausula baku, promosi, pengiklanan, serta pelayanan purnajurnal

barang dan/atau jasa. (catatan : pelayanan purna jurnal yang dimaksud

79

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hal 183. 80

(42)

adalah pelayanan yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap konsumen,

seperti adanya jaminan atau garansi);

2.) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam

proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan dan penjualan barang

dan/atau jasa;

3.) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat

disebarluaskan kepada masyarakat;

4.) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) ditetapkan oleh menteri dan atau menteri terkait bersama-sama

Referensi

Dokumen terkait

1) Pelaksanaan pengembangan, penelusuran dan tindak lanjut deteksi dini.. 2) Pemberian pidana yang berat terhadap pelaku usaha peredaran kosmetika tanpa ijin edar sesuai

Perlu adanya upaya paksa bagi para pihak yang bersengketa untuk menaati keputusan badan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara memperluas wewenang badan penyelesaian

arbitrase bagi para pihak yang bersengketa pada Badan Penyelesaian Sengketa. Konsumen

Judul yang penulis angkat dalam skripsi ini adalah “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Peredaran Kosmetik Tanpa Izin Edar Dikaitkan Dengan Perlindungan Konsumen.” Alasan penulis

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen Produk Makanan dan Minuman yang Tidak Berlabel Halal. Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Pada prinsipnya penyelesaian sengketa konsumen diusahakan dapat dilakukan secara damai, sehingga dapat memuaskan para pihak yang bersengketa ( win-win solution ). Alternatif

Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui

SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pembahasan mengenai Pelaksanaan Pengawasan Badan Obat Dan Makanan BPOM Terhadap Peredaran Makanan Yang Tidak Memiliki Izin Edar Di Kota Padang