• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Makanan dan Minuman yang Tidak Berlabel Halal di Kota Medan (Studi Kasus : BPOM Kota Medan dan MUI Kota Medan) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Makanan dan Minuman yang Tidak Berlabel Halal di Kota Medan (Studi Kasus : BPOM Kota Medan dan MUI Kota Medan) Chapter III V"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KEPASTIAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN SETELAH LAHIRNYA UU NO.33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK

HALAL (JPH)

3.1. Pengaturan Tentang Kelembagaan

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti,ketentuan atau

ketetapan.68Hukum secara hakiki harus pasti dan adil.Pasti sebagai pedoman kelakuan

dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai

wajar.Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat

menjalankan fungsinya.Menurutnya, kepastian dan keadilan bukanlah sekedar

tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak

pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk, melinkan bukan hukum

sama sekali. Kedua sifat itu termasuk paham hukum itu sendiri (den begriff des Rechts).69Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku

dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaanya dengan suatu

sanksi.70

68

Cst Kansil, Christine S.t Kansil,Engelien R,palandeng dan Godlieb N mamahit, Kamus Istilah Hukum, (jakarta,JALA PERMATA AKSARA,2009) hlm, 385.

69

Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, (Bandung PT REVIKA ADITAMA,2006), hlm.79-80.

70

Sudikno Mertokusumo dalam H. Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2010) hlm 24.

Kepastian hukum adalah “sicherkeit des Rechts selbst” (kepastian tentang hukum itu sendiri).Ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian

hukum.Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan(gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen),bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh

hakim, seperti “kemauan baik”, ”kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam

(2)

dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.71 Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma

hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi

da pat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi jus incertum, ibi jus nullum

(di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum).72 Menurut Apeldoorn,

kepastian hukum mempunyai dua segi. Pertama, mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal uang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang

khusus, sebelum ia memulai perkara. Kedua, kepastian hukum berarti keamanan hukum.Artinya, perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan

hakim.73Menurut Jan michiel otto, kepastian hukum yang sesungguhnya memang

lebih berdimensi yuridis.Namun, otto ingin memberikan batasan kepastian hukum

yang lebih jauh. Untuk itu ia mendefinisikan kepastian hukum sebagai kemungkinan

bahwa dalam situasi tertentu yaitu: Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih),

konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara; Instansi-instansi penguasa(pemerintahan) menerapkan

aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya; Warga

secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;

Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum

tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum, dan;

Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.74 Masalah kepastian hukum dalam

kaitan dengan pelaksanaan hukum,memang sama sekali tak dapat dilepaskan sama

sekali dari prilaku manusia. Kepastian hukum bukan mengikuti prinsip “pencet

tombol” (subsumsi otomat), melainkan sesuatu yang cukup rumit, yang banyak

berkaitan dengan faktor diluar hukum itu sendiri.Berbicara mengenai kepastian, maka

seperti dikatakan Radbruch, yang lebih tepat adalah kepastian dari adanya peraturan

itu sendiri atau kepastian peraturan (sicherkeit des Rechts).75

71

Satjipto Rahardjo,Hukum Dalam Jagat Ketertiban, ( Jakarta, UKI Press, 2006), hlm 135-136. 72

Ibid., hlm 82. 73

L.J van Apeldoorn dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, (Bandung PT REVIKA ADITAMA,2006), hlm 82-83.

74

Jan Michiel Otto terjemahan Tristam Moeliono dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, (Bandung, PT REVIKA ADITAMA,2006), hlm 85.

75

(3)

44

Jaminan kepastian hukum terhadap produk pangan halal dalam hukum

nasional sangat diperlukan guna memberikan jaminan kepastian hukum bagi

konsumen Muslim di Indonesia.Hal ini sejalan dengan perubahan pola konstruksi

hukum dalam hubungan produsen dan konsumen, yaitu hubungan yang dibangun atas

prinsip caveat emptor (konsumen harus berhati-hati) menjadi prinsip caveat venditor

(kesadaran produsen untuk berhati-hati guna melindungi konsumen).76

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan

menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan

jaminan tentang kehalalan Produk yang dikonsumsi dan digunakan

masyarakat.Jaminan mengenai Produk Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas

pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas

dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu, jaminan penyelenggaraan Produk

Halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian

ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan

Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan

menjual Produk Halal. Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik berkembang

sangat pesat. Hal itu berpengaruh secara nyata pada pergeseran pengolahan dan

pemanfaatan bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta

Produk lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi pengolahan .

Pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu pengetahuan.

Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

memungkinkan percampuran antara yang halal dan yang haram baik disengaja

maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan kesucian

suatu Produk, diperlukan suatu kajian khusus yang membutuhkan pengetahuan

multidisiplin, seperti pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, Tujuan

konsumen dalam mengkonsumsi, terutama pangan, dalam perspektif (ekonomi) Islam

adalah mencari maslahat maksimum dan begitu juga produsen

76

(4)

biologi, farmasi, dan pemahaman tentang syariat. Berkaitan dengan itu, dalam

realitasnya banyak Produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin

kehalalannya. Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki

keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum memberikan kepastian dan

jaminan hukum bagi masyarakat muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai JPH

perlu diatur dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk

yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat,

kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang

gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Diundangkannya UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

terdiri dari XI Bab, 68 Pasal yang diundangkan tanggal 17 Oktober 2014 ini sebagai

jawaban atas keresahan konsumen muslim terhadap segala produk yang dikonsumsi.

Walaupun sebelum diundangkannya UU JPH ini telah banyak pengaturan yang

menyinggung mengenai produk makanan dan minuman berlabel halal seperti UU No.

18 Tahun 2012 Tentang Pangan, UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen, Peraturan Pemerintah Tahun 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan

Pangan, Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan

Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal, Keputusan Menteri Agama

Republik Indonesia No. 519 Tahun 2001 Tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksa

Pangan Halal, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

924/Menkes/SK/VIII/1996 Tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 82/Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan

“Halal” pada Label Makanan. Banyaknya pengaturan yang menyinggung mengenai

produk makanan dan minuman halal tersebut tak kunjung memberikan kepastian

hukum dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen.Akan tetapi,

setelah lahirnya UU JPH diharapkan pengawasan serta penyelenggaraan jaminan

produk halal tak hanya sekedar angan.

Pengawasan terhadap makanan/minuman, terutama secara administratif

dilakukan dengan pendaftaran produk, yang diselenggarakan dalam rangka

melindungi masyarakat terhadap makanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan

untuk lebih menjamin keamanan dan mutu makanan yang beredar.Oleh karena itu,

produsen atau importir wajib mendaftarkan makanan yang diproduksi atau diimpor,

(5)

46

didaftarkannya.77 Pendaftaran yang dimaksud tidak hanya meliputi

makanan/minuman, akan tetapi juga produk lain yang berkaitan dengan kesehatan

manusia. Pengawasan adalah salah satu faktor yang memberi perlindungan kepada

konsumen atas peredaran barang dan atau jasa di pasaran. Pengawasan pada Jaringan

Produk Halal dilakukan terhadap:78

1. Lembaga Pemeriksa Halal;

2. Masa berlaku Sertifikat Halal;

3. Kehalalan Produk;

4. Pencantuman Label Halal;

5. Pencantuman keterangan tidak halal;

6. Pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan,

pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal

dan tidak halal;

7. Keberadaan Penyelia Halal; dan/atau

8. Kegiatan lain yang berkaitan dengan Jaminan Produk Halal

Badan Penyelenggara Jaminan Halal (BPJPH) merupakan Badan yang

dibentuk berdasarkan amanat UU JPH, berkedudukan dibawah Kementerian Agama

berdasarkan Peraturan Menteri Agama No 42 Tahun 2016 tentang Organisasi Tata

Kerja (Ortaker) Kementerian Agama.Pasal 1 ayat (6) UU JPH memberikan pengertian

tentang BPJPH yakni badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan

Jaminan Produk Halal (JPH). Adapun kewenangan dalam penyelenggaraan jaminan

sebagai bentuk pengawasan produk halal berwenang dalam :79

1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;

2. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;

3. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;

4. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri;

5. Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;

6. Melakukan akreditasi terhadap LPH;

7. Melakukan registrasi Auditor Halal;

8. Melakukan pengawasan terhadap JPH;

77

Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 382/MENKES/PER/VI/1989 tentang Pendaftaran Makanan.

78

Pasal 50 UU JPH 79

(6)

9. Melakukan pembinaan Auditor Halal; dan

10.Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang

penyelenggaraan JPH.

Badan penyelenggara jaminan produk halal juga membentuk lembaga

pemeriksa halal yang dapat didirikan oleh pemerintah dan/atau masyarakat yang

mempunyai kesempatan yang sama dalam membantu BPJPH melakukan pemeriksaan

dan/atau pengujian kehalalan produk.80Kemudian dibentuknya auditor halal yang

diangkat dan diberhentikan oleh LPH.bertugas:81

1. Memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;

2. Memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;

3. Memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;

4. Meneliti lokasi Produk;

5. Meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan;

6. Memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;

7. Memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan

8. Melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.

Peran serta masyarakat dalam membentuk jaminan produk halal adalah dapat

berupa melakukan sosialisasi mengenai Jaminan produk halal, mengawasi Produk dan

Produk Halal yang beredar dapat berbentuk pengaduan atau pelaporan ke BPJPH.82

Menurut Black’s Law Dictionary, sanction (sanksi) adalah “a penalty or coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction for discovery abuse)” atau sebuah hukuman atau tindakan memaksa yang dihasilkan dari kegagalan untuk mematuhi undang-undang. Sedangkan pengertian

sanksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan tanggungan (tindakan atau

hukuman) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan

undang-undang (anggaran dasar, perkumpulan, dan sebagainya); tindakan (mengenai

perekonomian) sebagai hukuman kepada suatu negara hukum; a imbalan negatif,

berupa pembebanan atau penderitaan yg ditentukan dalam hukum; b imbalan positif,

yg berupa hadiah atau anugerah yg ditentukan dalam hukum. Menurut Hans Kelsen,

3.2. Ketentuan Sanksi Administratif

80

Pasal 12 UU JPH 81

Pasal 15 UU JPH 82

(7)

48

sanksi didefinisikan sebagai reaksi koersif masyarakat atas tingkah laku manusia

(fakta sosial) yang mengganggu masyarakat. Setiap sistem norma dalam pandangan

Hans Kelsen selalu bersandar pada sanksi. Esensi dari hukum adalah organisasi dari

kekuatan, dan hukum bersandar pada sistem paksaan yang dirancang untuk menjaga

tingkah laku sosial tertentu.Dalam kondisi-kondisi tertentu digunakan kekuatan untuk

menjaga hukum dan ada sebuah organ dari komunitas yang melaksanakan hal

tersebut. Setiap norma dapat dikatakan “legal” apabila dilekati sanksi, walaupun

norma itu harus dilihat berhubungan dengan norma yang lainnya.83

Sanksi dalam Hukum Administrasi yaitu “alat kekekuasaan yang bersifat

hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas

ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi

Negara.” Berdasarkan definisi ini tampak ada empat unsur sanksi dalam hukum

administrasi Negara, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen), bersifat hukum publik (publiekrechtlijke), digunakan oleh pemerintah (overheid), sebagai reaksi atas ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving).84

Jenis Sanksi Administrasi dapat dilihat dari segi sasarannya yaitu:85

a. Sanksi reparatoir, artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi

semula sebelum terjadinya pelanggaran, misalnya bestuursdwang, dwangsom;

b. Sanksi punitif, artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan hukuman pada seseorang, misalnya adalah berupa denda administratif;

c. Sanksi regresif, adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang

diterbitkan

Perbedaan antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari

tujuan pengenaan sanksi itu sendiri.Sanksi administrasi ditujukan kepada perbuatan

pelanggarannya, sedangkan sanksi pidana ditujukan kepada si pelanggar dengan

memberi hukuman berupa nestapa.Sanksi administrasi dimaksudkan agar perbuatan

pelanggaran itu dihentikan.Sifat sanksi adalah reparatoir artinya memulihkan pada

83

Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2007, hlm. 84

84

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : PT. RajaGrafindo, 2006, hlm. 315 85

(8)

keadaan semula.Di samping itu perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi

administrasi ialah tindakan penegakan hukumnya. Sanksi adminitrasi diterapkan oleh

pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui prosedur peradilan, sedangkan sanksi

pidana hanya dapat dijatuhkan oleh hakim pidana melalui proses pengadilan.86

Mengenai keharusan adanya keterangan atau label halal dalam suatu produk,

dapat dilihat dala

dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk

kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai,

digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Sedangkan yang dimaksud

dengan dalam Pasal 1 ayat (2) memberikan pengertian produk halal adalah produk

yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.

Terkait dengan kehalalan suatu produk,

dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak

mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang

dicantumkan dalam label.87

d. Melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada Badan Penyelenggara Jaminan

Produk Halal (“BPJPH”).

UU Jaminan Produk Halal telah mengatur secara jelas dalam Pasal 4 yakni

bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib

bersertifikat halal. Jadi memang pada dasarnya, jika produk yang dijual tersebut

adalah halal, maka wajib bersertifikat halal.

Ada beberapa kewajiban bagi pelaku usaha yang mengajukan permohonan

sertifikat halal dan setelah memperoleh sertifikat tersebut. Pelaku usaha yang

mengajukan permohonan sertifikat halal wajib:

a. Memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;

b. Memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan,

pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan

tidak halal;

c. Memiliki Penyelia Halal; dan

86

Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet. ke-X, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2008, hlm. 247

87

(9)

50

Kemudian, setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha wajib:

a. Mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal;

b. Menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal;

c. Memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan,

pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan

tidak halal;

d. Memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir; dan

e. Melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.

Adapun sanksi administrasi terhadap Pelaku Usaha yang tidak melakukan

kewajibannya setelah memperoleh sertifikat halal, dikenai sanksi administratif berupa:

a. Peringatan tertulis;

b. Denda administratif; atau

c. Pencabutan Sertifikat Halal.

Mengenai kewajiban mencantumkan label halal oleh pihak yang telah

mendapatkan sertifikat halal, perlu diketahui bahwa bentuk label halal ini ditetapkan

oleh BPJPH dan berlaku nasional

3.3. Ketentuan Sanksi Pidana dan Perdata

Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang

yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur syarat-syarat tertentu1 , sedangkan

Roslan Saleh menegaskan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud

suatu nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan Negara kepada pembuat delik.88

Dalam hukum perdata, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat berupa:

Pasal 56 UU JPH menyebutkan ketentuan hukum pidana atas pelanggaran Jaminan

Produk Halal yakni Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah

memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak

Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)

Pasal 57 UU JPH Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH yang

tidak menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan

Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dipidana dengan pidana penjara

paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua

miliar rupiah).

88

(10)

1. Putusan condemnatoir yakni putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi (kewajibannya). Contoh: salah satu pihak

dihukum untuk membayar kerugian, pihak yang kalah dihukum untuk membayar

biaya perkara

2. Putusan declaratoir yakni putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini hanya bersifat menerangkan dan

menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Contoh: putusan yang

menyatakan bahwa penggugat sebagai pemilik yang sah atas tanah sengketa

3. Putusan constitutif yakni putusan yang menghilangkan suatu keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Contoh: putusan yang memutuskan suatu

(11)

BAB IV

KEPASTIAN HUKUM PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN HALAL OLEH BERBAGAI LEMBAGA TERKAIT DI KOTA MEDAN

4.1. MUI (Majelis Ulama Indonesia) Sebagai Pemeran Utama Dalam Penerbitan Sertifikat Halal

4.1.1 Sejarah Lahirnya MUI

MUI adalah sebuah lembaga yang mewadahi ulama zu’ama dan cendekiawan

Islam di Indonesia, untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin

serta menyatukan gerak dan langkah umat Islam di seluruh Indonesia dalam

mewujudkan cita-cita bersama. MUI berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395 Hijriah

bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta sebagai hasil pertemuan atau

musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru

tanah air, antara lain meliputi 26 orang ulama yang mewakili 26 provinsi di Indonesia

pada waktu itu, 10 orang ulama mewakili ormas Islam tingkat pusat, yaitu Nahdlatul

Ulama, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al-Wasliyah, Math’laul Anwar,

GUPPI, PTDI, DMI dan Al ittihadiyyah dan 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam,

AD, AU, AL dan Polri serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh

perorangan.89

Dari musyawarah tersebut dihasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk

wadah, tempat bermusyawarahnya para ulama dan cendekiawan muslim yang tertuang

dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI”, yang ditandatangani oleh seluruh peserta

musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional I Majelis Ulama seluruh

Indonesia.90

89

Latar Kesejarahaan MUI di Indonesia, sumber http://muidki.org/index.php?option=com_content&view=article&id=109&Itemid=106, diakses pada Tanggal 3 Agustus 2017.

(12)

4.1.2. Peran dan Tugas MUI

Momentum berdirinya MUI bertepatan dengan ketika bangsa Indonesia tengah

berada pada fase kembangkitan kembali setelah 30 tahun merdeka, dimana energi

bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik, kelompok dan kurang peduli

pada kesejahteraan rohani umat. Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa

mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya), maka mereka

terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI,

seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada jaman penjajahan dan perjuangan

kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang

sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan

moral serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan

hawa nafsu yang dapat melunturkan religiusitas masyarakat serta meremehkan peran

agama dalam kehidupan umat manusia.Selain itu kemajuan dan keragaman umat

Islam di Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan

kecenderungan aliran dan aspirasi politik sering mendatangkan kelemahan dan bahkan

dapat menjadi sumber pertentangan dikalangan umat Islam sendiri.Akibatnya umat

Islam dapat terjebak dalam egoism kelompok yang berlebihan.Oleh karena itu

kehadiran MUI makin dirasakan kebutuhannya, sebagai sebuah organisasi

kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan

silaturahmi demi kebersamaan umat Islam.91

Dalam perjalanannya Majelis Ulama Indonesia berusaha untuk memberikan

bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam kehidupan beragama dan

bermasyarakat yang diridhoi Allah SWT; memberikan nasehat dan fatwa mengenai

masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat;

meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antar

umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa, serta menjadi

penghubung antara ulama dan Pemerintah, dan menjadi penterjemah timbal balik

antara umat dan Pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;

meningkatkan hubungan dan kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan

cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada

(13)

54

masyarakat khususnya umat Islam dalam mengadakan konsultasi dan informasi timbal

balik.92

Di dalam Pasal 3 Pedoman Dasar MUI yang disahkan Musyarawarah Nasional

(Munas) I pada 26 Juli 1975, disebutkan bahwa MUI bertujuan untuk turut serta

mewujudkan masyarakat yang aman sesuai dengan Pancasila, UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Pada Munas II, Pasal 3

Pedoman Dasar MUI tersebut telah disempurnakan menjadi: “MUI bertujuan ikut

serta mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan

jasmaniah sesuai dengan Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

Garis-Garis Besar Haluan Negara yang diridhoi oleh Allah, SWT. Sedangkan pada

Munas III yang berlangsung pada 23 Juli 1985, Pasal 3 Pedoman Dasar MUI

disempurnakan menjadi: “MUI bertujuan mengamalkan ajaran Islam untuk ikut serta

mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah

yang diridhoi ole Allah SWT dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan

Pancasila.93

Tugas utama MUI adalah membina dan membimbing umat untuk

meningkatkan keimanan dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam, dalam usaha

untuk mewujudkan masyarakat yang aman, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah

sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara, sedangkan

peran MUI sebagaimana dirumuskan oleh Munas I dalam Pedoman Dasar Pasal 4,

yaitu berperan untuk mengeluarkan fatwa dan nasihat kepada pemerintah dan umat

Islam dalam masalah yang berhubungan dengan masalah keagamaan dan

kemaslahatan bangsa, menjaga kesatuan umat, institusi representasi umat Islam dan

sebagai perantara yang mengharmonisasikan hubungan antara umat beragama.94

Pembentukan LPPOM MUI didasarkan atas mandat dari Pemerintah/negara

agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan aktif dalam meredakan kasus lemak

babi di Indonesia pada tahun 1988.LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari

1989 untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal. Untuk memperkuat posisi

LPPOM MUI menjalankan fungsi sertifikasi halal, maka pada tahun 1996

4.1.3. Peran LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia)

92

(14)

ditandatangani Nota Kesepakatan Kerjasama antara Departemen Agama, Departemen

Kesehatan dan MUI.

Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan penerbitan Keputusan

Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001, yang

menguatkan MUI sebagai lembaga sertifikasi halal serta melakukan

pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal.

Dalam proses dan pelaksanaan sertifikasi halal, LPPOM MUI melakukan

kerjasama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM), Kementerian

Agama, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian

Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan,

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta sejumlah perguruan Perguruan

Tinggi di Indonesia antara lain Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas

Muhammadiyah Dr. Hamka, Universitas Djuanda, UIN, Univeristas Wahid Hasyim

Semarang, serta Universitas Muslimin Indonesia Makasar. Sedangkan kerjsama

dengan lembaga telah terjalin dengan Badan Standarisasi Nasional (BSN), Kadin

Indonesia Komite Timur Tengah, GS1 Indonesia, dan Research in Motion

(Blackberry).Khusus dengan Badan POM, sertifikat halal MUI merupakan persyaratan

dalam pencantuman label halal pada kemasan untuk produk yang beredar di

Indonesia.

Kini, dalam usianya yang ke-28 tahun, LPPOM MUI semakin menunjukkan

eksistensinya sebagai lembaga sertifikasi halal yang kredibel, baik di tingkat nasional

maupun internasional. Sistem sertifikasi dan sistem jaminan halal yang dirancang

serta diimplementasikan oleh LPPOM MUI telah pula diakui bahkan juga diadopsi

oleh lembaga-lembaga sertifikasi halal luar negeri, yang kini mencapai 42 lembaga

dari 23 negara.95

Peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Keputusan Menteri Agama

Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan

Pangan Halal adalah sebagai pihak yang memberikan sertifikasi halal kepada

produsen sebagai syarat bagi produsen yang hendak melakukan pemeriksaan kepada

Lembaga Pemeriksa. Keharusan memperoleh sertifikasi halal dari MUI bagi produsen

sebatas terhadap produsen yang melakukan aktivitas produksi yang menggunakan

95

(15)

56

bahan dari hewan.96Akan tetapi, peran MUI menjadi lebih luas setelah dikeluarkannya

Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana

Pemeriksaan Pangan Halal. Dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun

2001 MUI dinyatakan sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan halal,97 yang

memiliki otoritas sebagai berikut:98

1. Memeriksa dan /atau memverifikasi data pemohon,

2. Memeriksa proses produksi,

3. Memeriksa laboratorium,

4. Memeriksa pengepakan, pengemasan dan pemyimpanan produk,

5. Memeriksa sistem transportasi, distribusi, pemasaran dan penyajian, dan

6. Memproses dan menetapkansertifikasi halal.

4.1.4. Syarat dan Kreteria Produk Makanan dan Minuman Halal

Adapun Syarat produk makanan dan minuman halal untuk dikonsumsi sesuai dengan

perintah Allah SWT yang ketentuannya terdapat dalam Al-Qur’an antara lain :

a. Tidak mengandung bangkai hewan;

b. Tidak mengandung babi dan sejenisnya;

c. Tidak mengandung darah hewan;

d. Tidak mengandung binatang yang disembelih tanpa menyebut nama Allah

SWT;

e. Tidak mengandung Khamer atau minuman yang memabukkan

f. Tidak mengandung hewan yang memakan binatang buas, seperti anjing,

kucing, harimau dan sebagainya;

g. Dan makanan dan minuman tersebut haruslah diproduksi dengan cara yang

bersih dan sesuai dengan ketentuan syariah

Selain syarat itu terdapat juga syarat yang menentukan produk pangan yang

halal dan baik diambil dari tenaga ahli yang berhubungan dengan bidang tersebut.

Contoh : bahan penolong yang digunakan pada produk makanan atau minuman

berasal dari tumbuh-tumbuhan yang menurut Al-Qur’an tumbuhan merupakan

makanan halal, tetapi menurut standar kesehatan ada beberapa tumbuhan-tumbuhan

96

Pasal 3 Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal.

97

Pasal 1 Keputusan Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal.

98

(16)

yang tidak baik dikonsumsi untuk kesehatan, hal ini menjadi keterangan tambahan

untuk mengeluarkan sertifikat halal.

Berdasarkan data yang diperoleh penulis di MUI Kota Medan, jumlah

pemohon produsen makanan dan minuman di Kota Medan ditunjukkan pada Gambar

4.1.

Gambar 4.1. Produsen Makanan dan Minuman yang Memohonkan untuk Menerbitkan Sertifikatdi Kota Medan

4.1.5. Proses Sertifikasi Halal Produk Makanan dan Minuman

Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koprasi juga tidak memiliki wewenang

dalam pelabelan halal, seperti hasil wawancara dengan bapak Yanto Aprianto sebagai

kepala seksi Pengawasan Perdagangan beliau berpendapat bahwa “Klausal tidak

kesesuaian SNI terhadap barang dagang yang beredar di Indonesia, seperti minuman

mineral kemasan harus SNI, labeling penulisannya SNI dengan jelas, dan harus ada

nama produsen selaku pelaku usahanya, kesesuaian berat barang, berbahaya atau

tidaknya barang oleh konsumen, penyeleksian kerusakan barang, dan waktu

kadaluarsa yang jelas.” Beliau melanjutkan “Jika tidak berlabel menjamin kemutuan

produksinya maka tidak mengapa, karena Label halal itu sifatnya masih persuasif

belum merupakan wajib secara keseluruhannya.Sedangkan SNI wajib pada minuman

kemasan.” Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koprasi (Disperindagkop) berpacu

pada UU Perlindungan Konsumen, pada bab IV tentang Perbuatan Yang Dilarang

Bagi Pelaku Usaha pada pasal 8 yang berbunyi :

121

produsen makanan dan minuman

yang memohonkan untuk

menerbitkan sertifikat halal

di MUI kota medan

(17)

58

Pasal 8

1. Pelaku usaha dilarang memproduksi danatau memperdagangkan barang

danatau jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang

dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah

dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau

etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam

hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau

kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau

keterangan barang danatau jasa tersebut

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,

gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan

dalam label atau keterangan barang dan atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,

keterangan, iklan atau promosi penjualan barang danatau jasa

tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang

tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang

memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,

komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,

nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk

penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi danatau petunjuk penggunaan

barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan

(18)

2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau

bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar

atas barang dimaksud.

3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang

rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan

informasi secara lengkap dan benar.

4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)

dilarang memperdagangkan barang danatau jasa tersebut serta wajib

menariknya dari peredaran.

Syarat atau standarisasi produk untuk dapat memberi label halal pada kemasan

produksinya menurut bapak Hasan Matsum selaku Wakil Ketua Umum MUI Kota

Medan berpendapat bahwa standarisasi label halal yaitu dengan mengecek bahan,

distribusi, pengolahan, penyimpanan, asal muasal pembelian.99 Menurut penyusun

bahwa pemeriksaan halal dalam rangka sertifikasi halal dan pencantuman label halal

dilakukan secara bersama-sama antara Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

(BPJPH) akan tetapi saat ini BPJPH baik di pusat maupun di daerah belum juga

ditentukan orang-orangnya maka, pemeriksaan dan atau menguji kehalalan produk

dilakukan oleh MUI padahal seharusnya dilakukan oleh auditor halal, kemudian

Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) menyerahkan produk kepda BPJPH dan penetapan

kehalalan produk oleh Majelis Ulama Indonsia (MUI). Langkah yang ditempuh oleh

pemerintah dalam usaha melindungi konsumen pada produk makanan yang tidak

berlabel halal menurut bapak Hasan Matsum adalah pemerintah dalam melindungi

konsumen yaitu dengan diterbitkannya UU Konsumen, memiliki sertifikat halal dan

memiliki Sistem Jaminan Halal.100

99

Hasil wawancara ada hari Rabu, 26 juli 2017 di Kantor MUI Kota Medan. 100Ibid.

Adapun sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI Kota Medan sepanjang

(19)

60

Gambar 4.2. Sertifikat Halal yang Telah Dikeluarkan MUI

Bagi konsumen, manfaat memiliki sertifikat halal mempunyai beberapa fungsi,

yang pertama, untuk melindungi konsumen muslim dari mengkonsumsi pangan,

obat-obatan dan kosmetika yang tidak halal; kedua, secara kejiwaan perasaan hati dan batin

konsumen akan tenang; ketiga, mempertahankan jiwa dan raga dari keterpurukan

akibat produk haram; dan keempat, akan memberikan kepastian dan perlindungan

hukum. Menurut pendapat penyusun bagi pelaku usaha maupun produsen jika

memiliki sertifikat halal dan mencantumkan label halal dari BPJPH maka akan lebih

banyak memiliki keuntungan, mengingat banyaknya jumlah pasar muslim di Kota

Medan pada khususnya sangatlah besar. Apabila suatu produk mencantumkan label

halal (Halal BPJPH) tanpa memiliki sertifikat halal dari BPJPH dapat dikategorikan

memalsukan atau melakukan penipuan terhadap konsumen dan dapat dituntut secara

hukum. Manfaat yang diperoleh bagi pelaku usaha yang memiliki sertifikat halal

mempunyai beberapa peran penting. Yangpertama, sebagai pertanggungjawaban produsen kepada konsumen muslim, mengingat masalah halal merupakan bagian dari

prinsip hidup muslim; kedua, meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen;

ketiga, meningkatkan citra dan daya saing perusahaan; dan keempat, sebagai alat pemasaran serta untuk memperluas area jaringan pemasaran, dan kelima, memberi

110 112

49

0 20 40 60 80 100 120

2015 2016 2017

Sertifikat halal yang telah

dikeluarkan MUI

(20)

keuntungan pada produsen dengan meningkatkan daya saing dan omzet paroduksi dan

penjualan.101

Berikut adalah alur proses sertidikasi halal oleh MUI, dapat dilihat pada

Gambar 4.3.

Gambar 4.3. Alur Proses Sertifikasi Halal oleh MUI102

101

Muhammad Ibnu Elmi As Pelu, Label halal; Antara Spiritualitas Bisnis dan Komoditas Agama, Malang; Madani 2009, hlm. 31.

(21)

62

Penetapan jaminan produk halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)

memberikan sertifikasi halal. Sertifikasi halal dilakukan melalui langkah sebagai

berikut:103

1. Pengajuan Permohonan

a. Permohonan sertifikat halal diajukan oleh pelaku usaha secara tertulis

kepada BPJPH.

b. Permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dengan dokumen: 1)

Data pelaku usaha; 2) Nama dan jenis produk; 3) Daftar produk dan

bahan yang digunakan; dan 4) Proses pengolahan produk.

2. Penetapan Lembaga Pemeriksaan Halal

a. BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau

pengujian kehalalan Produk

b. dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung

sejak dokumen permohonan dinyatakan lengkap.

3. Pemeriksaan

a. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh

Auditor Halal.

b. Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat

proses produksi.

c. Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di

laboratorium.

d. Pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha,pelaku usaha wajib

memberikaninformasi kepada Auditor Halal.

4. Pengujian

a. LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan

Produk kepada BPJPH.

b. BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan

Produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan Produk.

5. Penetapan Kehalalan Produk

a. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.

b. Penetapan kehalalan Produk dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.

103

(22)

c. Sidang Fatwa Halal MUI mengikutsertakan pakar, unsur

kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait.

d. Sidang Fatwa Halal memutuskan kehalalan produk paling lama 30 (tiga

puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau

pengujian Produk dari BPJPH.

e. Keputusan penetapan halal produk ditandatangani oleh MUI.

f. Keputusan Penetapan Halal Produk disampaikan kepada BPJPH untuk

menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.

6. Penerbitan Sertifikat Halal

a. Dalam hal Sidang Fatwa Halal menetapkan halal pada produk yang

dimohonkan pelaku usaha, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal paling

lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan Produk

diterima dari MUI dan wajib dipublikasikan oleh BPJPH

b. Dalam hal Sidang Fatwa Halal menyatakan Produk tidak halal, BPJPH

mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha

disertai dengan alasan.

Sedangkan pemeriksaan dari aspek syariah dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI, yaitu

salah satu komisi dalam MUI yang bertugas memberikan nasehat hukum Islam dan

ijtihad untuk menghasilkan suatu hukum Islam terhadap persoalan-persoalan yang

sedang dihadapi umat Islam.Sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh BPJPH yang

ditetapkan kehalalannya oleh MUI merupakan fatwa tertulis dari lembaga yang

memiliki kompetensi dalam memberikan fatwa. Pelaku Usaha yang telah memperoleh

Sertifikat Halal wajib mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat

sertifikat halal, menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal,

memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan,

pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak

halal, memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir,

melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.104

104

Pasal 25 UU JPH

Pelaku Usaha yang

memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan

dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal.Pelaku usaha wajib

mencantumkan keterangan tidak halal pada Produk.Pelaku Usaha yang melanggar

(23)

64

pencabutan Sertifikat Halal. Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban

mencantumkan label tidak halal bahwa produknya haram bagi umat muslim dikenai

sanksi administratif berupa teguran lisan, peringatan tertulis, ataudenda administratif.

Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai dengan ketentuan yang

sudah berlakumaka dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan, peringatan

tertulis, atau pencabutan Sertifikat Halal.

Masa berlaku Sertifikasi halal Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun

sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi bahan.Sertifikat

halal wajib diperpanjang oleh pelaku usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat

Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku sertifikat halal

berakhir.105Sedangkan sertifikat halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum

Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu sertifikat

halal tersebut berakhir.106

a. Menyusun Undang-undang dan Ketentuan tentang sertifikasi dan lebelisasi

pangan halal.

Untuk melindungi konsumen dan mencapa hal tersebut,

maka perlu diambil langkah-langkah dan kebijakan sebagai berikut:

b. Meningkatkan kerjasama regional dan internasional dalam sertifikasi dan

lebelisasi halal.

c. Menetapkan pedoman dan standarisasi untuk menunjang kelancaran proses

sertifikasi dan labelisasi halal.

d. Meningkatkan kapasitas dan kualitas SDM

e. Memperbaiki/meningkatkan kualitas dan kapasitas laboratorium.

f. Meningkatkan koordinasi intern dan antar lembaga terkait/berwenang.

g. Melakukan sosialisasi dengan tiga sasaran utama pemerintah, pelaku usaha dan

masyarakat (konsumen).

h. Melakukan pengawasan sertifikasi dan labelisasi halal.

untuk pencantuman label halal yang sudah memiliki sertifikat halal BPJPH harus

melakukan pencantuman label halal ke BPJPH. Sehingga secara sederhana dapat

dikatakan bahwa BPJPH mengeluarkan surat/izin keamanan produk (thoyiban),

sedangkan MUI menetapkan surat/jaminan kehalalan produk kehalalannya, sehingga

dapat dipastikan merupakan produk yang aman dan sehat untuk digunakan dan

105

Pasal 42 UU JPH 106

(24)

dikonsumsi oleh masyarakat. Adapun upaya pemerintah dalam mengetahui status

kehalalan suatu produk kemasan yaitu dengan tahap-tahap sebagai berikut:

1. Perhatikan pada kemasan apakah tercantum nomor MD (Makanan Dalam

negeri), SP (Sertifikat Penyuluhan) atau ML (Makanan Luar

negeri).Keterangan: Peraturan pencantuman nomor MD/SP/ML sesuai dengan

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 382 tahun 1989 tentang Pendaftaran

Makanan.

a. Nomor MD dikeluarkan oleh BPOM bagi perusahaan pangan skala

industri menengah dan besar. Nomor MD diberikan bila perusahaan

telah dievaluasi (assessment) dan dinyatakan bahwa produk yang

dikeluarkan memenuhi standar mutu dan aman dikonsumsi.

b. Nomor SP dikeluarkan oleh kantor wilayah Depkes di setiap propinsi

bagi industri pangan skala kecil (modal investasi di bawah 10 juta).

Nomor SP diberikan bila industri yang bersangkutan telah mengikuti

program penyuluhan yang diselenggarakan oleh Depkes.

c. Nomor ML diberikan kepada produk-produk impor yang akan

dipasarkan di Indonesia.

2. Selanjutnya perhatikan apakah sudah ada logo halalnya. Bila YA, maka

produk tersebut sudah dilakukan pemeriksaan kehalalan dan mendapat

sertifikat halal dari MUI, sehingga sudah terjamin kehalalannya.

3. Untuk produk yang memiliki nomor MD/SP/ML, tapi tidak ada label halal,

bisa berarti produk tersebut belum diperiksa kehalalannya atau sudah

mendapat sertifikat halal tetapi masih dalam proses pengajuan pencantuman

label halal di BPOM. Untuk kepastian apakah produk tersebut sudah

bersertifikat halal atau belum, silahkan merujuk pada daftar produk halal yang

dikeluarkan oleh LPPOM-MUI.

4. Bila ditemukan pada label kemasan ada label halal, tapi tidak ditemui nomor

registrasi MD/SP/ML, maka produk tersebut tidak dijamin halal dan label halal

yang tercantum adalah ilegal dan di luar tanggung jawab BPOM.

(25)

66

Gambar 4.4. Alur Proses Labelisasi Halal oleh BPOM

4.3. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam Menyelesaikan Sengketa Konsumen Produk Makanan dan Minuman yang Tidak Berlabel Halal

Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur penyelesaian sengketa

(26)

Pasal 45

(1) setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaha

yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau

melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum

(2) penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar

pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam

undang-undang.

(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan

gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan

tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Penjelasan ayat (2)

“Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup

kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa.Pada setiap tahap

diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang

bersengketa.Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian

yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan

konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan

tidak bertentangan dengan undang-undang ini.”

Melalui ketentuan Pasal 45 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen dapat

diketahui bahwa untuk menyelesaikan sengketa konsumen, terdapat dua pilihan yaitu:

a. melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen dan pelaku

usaha, atau

b. melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

Penunjukan peradilan umum ini, erat kaitannya dengan substansi pasal 48 UU

Perlindungan Konsumen tentang penyelesaian sengketa melalui pengadilan.Namun

yang menjadi persoalan adalah ketentuan pasal 45 ayat 1 mengenai penunjukan

“lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku

usaha”.Ketentuan ini kurang jelas “lembaga” penyelesaian sengketa mana yang

dimaksud.Apabila yang dimaksud adalah khusus tertuju pada Badan Penyelesaian

(27)

68

badan ini.107Agar ketentuan tersebut tidak membingungkan, maka sebaiknya disebut

secara langsung bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku

usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) atau melalui peradilan

dalam lingkungan peradilan umum.108

upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan selain BPSK masih tetap

berlaku/ dapat dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan

pelaku usaha jika bertolak pada Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen dan

Penjelasannya. Dalam pasal ini hanya disebut penyelesaian sengketa melalui

pengadilan atau di luar pengadilan, tanpa menyebut bentuk dan cara penyelesaian di

luar pengadilan. Demikian pula dalam penjelasan Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan

Konsumen dimungkinkan mengadakan perdamaian sepanjang tidak bertentangan

dengan UUPK.109

Selanjutnya Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen dan Penjelasannya

juga tampak sangat rancu, karena penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau di

luar pengadilan sebenarnya tidak berdasakan pilihan sukarela para pihak, tetapi

berdasarkan pilihan konsumen (cermati Pasal 45 ayat (1)), kecuali kalau penyelesaian

sengketa di luar pengadilan dilakukan oleh lembaga lain di luar badan penyelesaian

sengketa konsumen, barulah kesepakatan para pihak yang dimaksud dapat terjadi,

itupun seharusnya dijelaskan kemungkinannya berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UU

Perlindungan Konsumen karena pasal ini menolak pilihan konsumen. Jadi bukan pada

penjelasan Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen seperti rumusan

sekarang.Demikian pula substansi Penjelasan Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan

Konsumen tersebut semakin sulit dimengerti maksudnya. Seolah penyelesaian melalui

badan penyelesaian sengketa konsumen tidak mengenal penyelesaian damai, padahal

dengan menyebutkan penyelesaian sengketa secara mediasi dan konsiliasi (pasal 52

huruf a UU Perlindungan Konsumen) sesungguhnya juga merupakan cara

penyelesaian damai, mengingat hasil akhir dari keduanya adalah kesepakatan

(agreement).110

107

Ahmadi Miru, op.cit., hlm. 224. 108

Ibid., hlm. 225 109

Ahmadi Miru, op.cit., hlm. 226. 110

Ibid., hlm. 227.

Pasal 45 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen seharusnya

menentukan bahwa penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat

(28)

di luar pengadilan, tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur

dalam undang-undang, tidak seperti rumusan yang ada sekarang yang hanya

menunjuk pada penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pasal 45 ayat (4) masih

memungkinkan untuk mengajukan gugatan melalui pengadilan walaupun telah dipilih

upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dengan hanya berdasarkan

alasan bahwa upaya penyelesaian tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu

pihak.111

Menurut Ahmadi Miru, ketentuan pasal 45 ayat (4) UU Perlindungan

Konsumen hanya dapat dibenarkan apabila istilah “tidak berhasil” tersebut tertuju

pada BPSK yang tidak berhasil memberi putusan dalam cara arbitrase, atau BPSK

sebagai mediator atau konsiliator tidak berhasil mengantar para pihak mencapai

kesepakatan dalam hal cara mediasi atau konsiliasi. Akan tetapi pernyataan

ketidakberhasilan tersebut dinyatakan oleh BPSK bukan oleh pihak/salah satu pihak

yang bersengketa.112

1. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: Pasal 46 Undang-Undang Perlindungan Konsumen:

a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;

b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,

yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya

menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut

adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan

kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar

dan/atau korban yang tidak sedikit.

2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan

konsumen swadaya masyarakat, atau peerintah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf b, huruf c, atau huruf d, diajukan kepada peradilan umum.

111Ibid.

112

(29)

70

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang

tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan peraturan

pemerintah.”

Penjelasan ayat (1) huruf b

“Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action.Gugatan

kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan

dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah bukti

transaksi.”Penjelasan ayat (1) huruf d “Tolak ukur kerugian materi yang besar

dan/atau korban yang tidak sedikit yang 3 adalah besar dampaknya terhadap

konsumen.” Kalimat yang menentukan “gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat

dilakukan oleh”, seharusnya tidak menggunakan istilah pelanggaran, karena istilah

tersebut dalam hukum dapat diberi makna khusus, sehingga seharusnya awal kalimat

dari pasal 46 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tersebut adalah “Gugatan terhadap

pelaku usaha dapat dilakukan oleh:”

Menurut Ahmadi Miru,113

Demikian pula ketentuan Pasal 46 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen

bertentangan dengan maksud ketentuan pasal 1 angka (11), Pasal 45 ayat 1, 2, dan 4,

pasal 49 s/d pasal 51, pasal pasal 52 sub a, f s/d m, pasal 54 s/d pasal 57 UU

Perlindungan Konsumen, yang substansinya mengatur tentang pembentukan,

pengakuan dan kewenangan badan penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan. Pasal 46 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen tidak dapat dikatakan

sebagai aturan khusus mengingat pengaturannya dilakukan secara bersama-sama

dengan Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU Perlindungan Konsumen tentang kewenangan

konsumen untuk memilih cara penyelesaian sengketa yang dikehendakinya yang mana pembedaan dalam Pasal 46 ayat (2) UU

Perlindungan Konsumen tidak perlu terjadi, mengingat kepentingan seorang

konsumen atau ahli waris sama dengan kepentingan kelompok konsumen, lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat serta pemerintah dan/atau instansi

terkait, yaitu menuntut keadilan di depan hukum. Baik gugatan kelompok konsumen,

lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat maupun gugatan pemerintah

dan/atau instansi terkait terhadap pelaku usaha adalah untuk kepentingan masyarakat

sebagai konsumen yang dirugikan. Ini berarti, ketentuan pasal 46 ayat (2) melanggar

asas persamaan hak di depan hukum.

113

(30)

keduanya merupakan aturan umum. Ini berarti asas lex specialis derogat legi generali

tidak berlaku.

Class action dalam undang-undang perlindungan konsumen, yaitu suatu

prosedur hukum yang memungkinkan banyak orang bergabung untuk menuntut ganti

kerugian atau kompensasi lainnya di dalam suatu gugatan.114

1) Seseorang dapat mengajukan suatu peristiwa, dalam hal iniwanprestasi atau

perbuatan melawan hukum, untuk menunjukkan haknya.

Berdasarkan ketentuan

Pasal 46 UUPK, maka dasar hukum gugatan kelompok (class action) semakin kuat,

karena gugatan kelompok yang diajukan selama ini belum memiliki ketentuan tertulis,

walaupun dalam kenyataan, gugatan kelompok tersebut diterima untuk diperiksa oleh

pengadilan.

MenurutPasal 48 UUPK, penyelesaiansengketa konsumen melalui pengadilan

mengacu pada ketentuan tentang peradilanumum. Ini berarti hukum acara yang

dipakai dalam tata cara persidangan danpemeriksaan perkara adalah

berdasarkan Herzine Inland Regeling (HIR)atau Rechtsreglemen Buitengewesten (RBg), yang mana keduanya pada dasartidak mempunyai perbedaan yang mendasar (prinsipil).

a) Pengajuan Gugatan

Dalam hukum acara perdata yangberlaku di Indonesia, di kenal asasHakim bersifat menunggu, pasif.Artinya bahwa inisiatif berperkara datang dari pihak-pihak yang berkepentingan.Di mana hal tersebut diatur dalam Pasal1865 KUH Perdata, yaitu

Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyaisesuatu hak atau guna

meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hakorang lain, menunjuk pada

suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hakatau peristiwa tersebut.

Kemudian dapat di lihat bahwadalam rumusan pasal 1865 KUH Perdata tersebut

mengandung beberapa makna, yangmana makna tersebut terdiri dari :

2) Peristiwa yang diajukan itu harus dibuktikan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, bahwa di dalam persidangan perdata para

pihak yang merasakan ataumendapatkan kerugian yang ditimbulkan dari akibat

114

(31)

72

adanya hubungan hukum, berhakmengajukan penuntutan di depan persidangan

dengan memberikan bukti-bukti yangberhubugan dengan persoalan yang terjadi.

Hal ini berbeda dengan ketentuanyang terdapat di dalam UUPK. Di mana

tepatnya di dalampasal 46 UUPK No 8 Tahun 1999, menyebutkan bahwa :

a. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukanoleh :

a) Seseorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yangbersangkutan;

b) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

c) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yangmemenuhi

syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam

anggarandasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan

didirikannya organisasi tersebutadalah untuk kepentingan perlindungan

konsumen dan telah melaksanakan kegiatansesuai dengan anggaran

dasarnya;

d) Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang danatau jasa yang

dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi

yangbesar dan/atau korban yang tidak sedikit.

b. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembagaperlindungan

konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah sebagaimana dimaksudpada

ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.

c. ketentuan lebih lanjut menegenai kerugian materi yangbesar dan/atau korban

yang tidak sedikit sebagaimana yang dimaksud pada ayat(1) huruf d diatur

dengan peraturan pemerintah.

Oleh karena itu, berdasarkanketentuan di atas, yang dapat mengajukan gugatan

dalam ketentuan UUPK adalah :

1) Setiap Konsumen yang dirugikan, ahli warisnya, baikberupa perseorangan

maupun kelompok.

2) Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat.

3) Pemerintah.

b). Pemerikasaan dan Pembuktian

Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar

(32)

memberikepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.115

1) Adanya hubungan perikatan (kontrak, perjanjian);

Dengan jalan

pembuktian, menjadi jelas bagi hakim tentang hukumannya suatuperkara sehingga

memudahkan hakim untuk mengonstatir peristiwa, mengualifikasi,dan kemudian

mengontitusikannya.Sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 1865 KUH Perdata, di

mana peristiwayang menjadi dasar hak tersebut mesti dibuktikan oleh penggugat.

Artinya kalaugugatan atas ganti kerugian didasarkan pada peristiwa wanprestasi

konsumensebagai penggugat perlu membuktikan :

2) Adanya bagian-bagian dari kerwajiban yang tidak dipenuhioleh pelaku usaha;

dan

3) Timbulnya kerugian bagi konsumen (penggugat).

Jika gugatan ganti kerugian didasarkan pada peristiwa perbuatan melawanhukum,

haruslah dibuktikan :

1) Adanya perbuatan melawan hukum, baik berupa pelanggaranhak konsumen,

pelanggaran terhadap kewajiban berhati-hati, pelanggaran normakesusilaan,

maupun pelanggaran norma kepatutan.

2) Adanya kesalahan kerugian yang diderita dari pelakuusaha, baik berupa

kesengajaan maupun kelalaian.

3) Adanya sejumlah kerugian yang diderita konsumen penggugat.

4) Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukumyang salah itu dan

kerugian.

Pembuktian hal-hal tersebut di atas dilakukan menurut cara-cara yang

diaturdalam undang-undang. Menurut pasal 284 RBG/164 HIR atau Pasal 1866 KUH

Perdata,alat-alat bukti yang dapat diajukan adalah :

1) Surat;

2) saksi;

3) persangkaan;

4) pengakuan; dan

5) sumpah

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau yang lebih dikenal dengan

Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat ditempuh dengan berbagai cara. ADR

115

(33)

74

tersebut dapat berupa arbitrase, mediasi, konsiliasi, minitrial, summary jury trial,

settlement conference serta bentuk lainnya.116

a. para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan; Sedangkan dalam Pasal 1

UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, arbitrase dibedakan dari alternatif penyelesaian sengketa, karena yang

termasuk dalam alternatif penyelesaian sengketa hanya konsultasi, negosiasi, mediasi,

konsiliasi dan penilaian ahli. Berdasarkan uraian, Undang-Undang Perlindungan

Konsumen hanya memperkenalkan tiga macam alternatif penyelesaian sengketa, yaitu

arbitrase, konsiliasi dan mediasi yang merupakan bentuk atau cara penyelesaian

sengketa yang dibebankan menjadi tugas badan penyelesaian sengketa konsumen.

Pasal 48

“Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan

tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal

45 di atas.”

Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan hanya dimungkinkan apabila:

b. upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak

berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

undang-undang perlindungan konsumen yang memberikan kemungkinan

konusmen untuk mengajukan penyelesaian sengketanya di luar pengadilan, yaitu

melalui badan penyelesaian sengketa konsumen, yang putusannya dinyatakan final

dan mengikat, sehingga tidak dikenal lagi upaya hukum banding maupun kasasi dalam

bidang penyelesaian sengketa konsumen

a. Tuntutan pengantian kerugian melalui Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK)

Tuntutan pengantiam kerugian melalui Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumenatau sering di sebut dengan BPSK merupakan upaya hukum di luar

pengadilan yangdapat ditempuh oleh konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku

usaha. Hal inidapat di ketahui berdasarkan rumusan pasal 52 UUPK jo. SK.

Memperindag Nomor350/MPP/Kep/12/2001 menerangkan bahwa tugas dan

wewenang BPSK yaitu:

116

(34)

a) Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketakonsumen dengan cara

konsiliasi, mediasi dan arbitrase;

b) Memberikan konsultasi perlindungan konsumen ;

c) Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

d) Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaranUndang-undang

Perlindungan Konsumen (UUPK);

e) Menerima pengaduan tertulis maupun tidak dari konsumententang terjadinya

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f) Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketaperlindungan konsumen;

g) Memangil pelaku usaha yang diduga telah melakukanpelanggaran terhadap

perlindungan konsumen;

h) Memangil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atausetiap orang yang

diduga mengetahui pelanggaran Undan-undang PerlindunganKonsumen

(UUPK);

i) Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan saksi,saksi ahli, atau

setiap orang pada butir g dan butir h yang tidak bersediamemenuhi panggilan

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK);

j) Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen,atau alat bukti lain

guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k) Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian di pihakkonsumen;

l) Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukanketentuan

Undang-udang Perlindungan Konsumen;

m) Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yangmelanggar

ketentuan Undan-undang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Berdasarkan point a yang dirumuskan di atas, maka penyelesaian

sengketakonsumen melalui BPSK mengunakan 3 cara, yaitu

1) Konsiliasi;

2) Mediasi ;

3) Arbitrase

Seperti halnya penyelesaian sengketa lainnya, di Badan PenyelesaianSengketa

Konsumen (BPSK) mempunyai ketentuan berproses dalam menyelesaikansengketa

antara konsumen dengan pelaku usaha. Adapun ketentuan Berproses diBadan

(35)

76

a. Permohonan Penyelesaian Sengketa konsumen (PSK)

Permohonan Penyelesaian konsumen (PSK) diatur dalam Pasal 15 sampai

Pasal17 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. yaitu di mana bentuk

permohonanPenyelesaian Konsumen (PSK) diajukan secara lisan atau tertulis ke

BadanPenyelesaian Konsumen (BPSK) melalui Sekretariat Badan Penyelesaian

SengketaKonsumen (BPSK) setempat oleh Konsumen. Hal ini apabila konsumen:

1) Meningal dunia;

2) Sakit atau telah usia lanjut (manula);

3) Belum dewasa;

4) Orang asing (warga Negara Asing), maka permohonandiajukan ahli waris atau

kuasanya.

Adapun menurut ketentuan pasal 16 dalam SK Menperindag Nomor.

350/MPP/Kep/12/2001, menerangkan bahwa isi permohonan Penyelesaian

SengketaKonsumen (PSK) memuat secara benar dan lengkap berdasarkan :

1) Identitas konsumen, ahli waris atau kuasanya disertaibukti diri;

2) Nama dan alamat pelaku usaha;

3) Barang atau jasa yang diadukan;

4) Bukti perolehan, keterangan tempat, waktu dan tanggalperolehan barang atau

jasa yang diadukan;

5) Saksi-saksi yang mengetahui perolehan barang atau jasa,foto-foto barang atau

kegiatan pelaksaan jasa, bila ada.

Kemudian Permohonan Penyelesaian Sengketa (PSK) dapat saja ditolak, hal

inidikaranakan :

1) Tidak memuat persyaratan-persyaratan isi permohonanpenyelesaian Sengketa

Konsumen (PSK) tersebut;

2) Permohonan gugatan bukan kewenangan Badan PenyelesaianSengketa

Konsumen (BPSK).

b. Susunan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSKdan

kepaniteraan

Susunan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ganjil,

(36)

ayat (2) UUPK yang salah satu anggota wajibberpendidikan dan berpengetahuan

dibidang hukum.

Setiap penyelesaian sengketa konsumen oleh badan penyelesaian sengketakonsumen

(BPSK) dilakukan oleh Majelis yang dibentuk berdasarkan KeputusanKetua Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan dibantu oleh Panitera.

c. Tata cara persidangan

Pasal 26 ayat (1) SK MenperindagNomor 350/MPP/Kep/12/2001 menentukan

bahwa pemanggilan pelaku usaha untuk hadirdi persidangan Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (PSK), dilakukan secaratertulis disertai dengan copy

permohonan penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK)dalam waktu 3 hari kerja sejak

permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK)diterima secara lengkap dan

benar telah memenuhi persyaratan Pasal 16 SK. Menperindag Nomor

350/MPP/Kep/12/2001.

Berdasarkan rumusan Pasal 54 ayat (4) jo. Pasal 26 sampai Pasal 36

SuratKeputusan Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, yaitu dimana terdapat 3

(tiga)Tata Cara persidangan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK),

yaitu :

1) Persidangan dengan cara konsiliasi

Inisiatif salah satu pihak atau para pihak membawa sengketa konsumen

keBadan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), ditangani bersikap Pasif

dalampersidangan dengan cara konsiliasi. Sebagai pemerantara antara pihak

yangberseng keta, Majelis Badan PenyelesaianSengketa Konsumen (BPSK) bertugas

(Pasal 28 Surat Keputusan Menperindag Nomor. 350/MPP/Kep/12/2001), antra lain :

a) Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang besengketa;

b) Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;

c) Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yangbersengketa;

d) Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihalperaturan

perundang-undagan di bidang perlindungan konsumen.

Kemudian di dalam pasal 29 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001

merumuskan bahwa didalam Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK) dengan

carakonsiliasi, mempunyai 2 prinsip, yaitu :

1) Proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentukmaupun jumlah

Gambar

Gambar 4.1. Produsen Makanan dan Minuman yang Memohonkan untuk
Gambar 4.2. Sertifikat Halal yang Telah Dikeluarkan MUI
Gambar 4.3.
Gambar 4.4. Alur Proses Labelisasi Halal oleh BPOM

Referensi

Dokumen terkait

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga2. khusus yang dibentuk dan diatur dalam Undang-undang

KONSUMENTERHADAP PRODUK PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA ( MAKANAN DAN MINUMAN) YANG TIDAK BERLABEL DI KABUPATEN KUDUS” ini secara umum bertujuan untuk mengetahui alasan

Kemudian mengenai Implementasi Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Mengenai Labelisasi Halal Pada Produk Makanan di Kota Langsa menurut

Jika dikaitkan dengan pelaku usaha yang melakukan pelanggaran atas produk makanan atau minuman impor yang tidak berlabel bahasa Indonesia, maka tanggung jawab pelaku

Setelah memperoleh dan mendeskripsikan fakta tentang upaya perlindungan bagi konsumen terhadap penyalahgunaan pencantuman label halal serta peran BPOM dan LPPOM MUI

Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang- Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukum.. PT.Citra Aditya

Ari Mariyana Angriyani dan Elisatris Gultom, “Peran Negara Dalam Memberikan Perlindungan Pada Konsumen Atas Penggunaan Produk Pangan Tidak Berlabel Halal Berdaarkan Undang- Undang

Kendala Yang Dihadapi Dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen di Kota Magelang Pelaksanaan penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK Dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen termasuk