• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1.1. Latar Belakang

Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus

mengalami penurunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun

1998 rasio ekspor terhadap impor (X/M) dalam kelompok perdagangan non migas

meningkat dari sekitar 0.6 pada tahun 1973 menjadi 1.7. Hal tersebut

menunjukkan bahwa peranan migas di dalam ekspor total nasional makin kecil.

Sektor migas secara bertahap tidak bisa lagi menjadi sumber utama devisa negara.

Sektor industri yang berbasis resource base secara perlahan mulai menggantikan peranan sektor migas dalam perolehan devisa (Tambunan, 2002).

Penurunan peran ekspor migas terkait dengan adanya perubahan kebijakan

industrialisasi pada dekade 1980-an, yaitu dari substitusi impor ke orientasi

ekspor. Perubahan kebijakan tersebut juga berdampak pada perubahan struktur

ekspor yaitu makin besarnya kontribusi kelompok manufaktur terhadap nilai total

ekspor. Meskipun struktur ekspor Indonesia belum begitu baik tetapi

ketergantungan terhadap minyak dan gas sudah mulai berkurang secara signifikan.

Produk-produk industri dari kayu yang termasuk kelompok industri manufaktur

juga mengalami peningkatan peran yang cukup besar dalam perdagangan, baik

perdagangan luar negeri maupun domestik.

Perdagangan luar negeri (ekspor) merupakan masalah yang cukup vital

bagi pendapatan negara. Jika nilai ekspor negara lebih besar daripada nilai impor

maka negara akan mengalami surplus neraca perdagangan. Sebaliknya jika nilai

(2)

Berdasarkan data BPS menunjukkan total nilai ekspor-impor dengan migas

maupun tanpa migas mengalami peningkatan selama periode 1990-1997,

sedangkan tahun 1998 dan 1999 kinerja ekspor dan impor mengalami penurunan

drastis karena krisis ekonomi. Pada tahun 2000 kinerja ekspor dan impor tersebut

secara berlahan mengalami kenaikan.

Sejak Pelita I sampai dengan Pelita VI, subsektor kehutanan memiliki

peran yang cukup penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pada tahun 1980-an Indonesia menyumbang sekitar 40 persen terhadap ekspor

kayu dunia, dengan negara tujuan ekspor utama ke Jepang, Taiwan, Korea,

Singapura dan China (Timotius, 2000). Ekspor kayu tersebut didominasi oleh

kayu bulat, namun dominasi ekspor kayu bulat berakhir pada tahun 1985 sejak

diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat dan mulai digantikan dengan

peningkatan ekspor produk hasil industri pengolahan kayu primer (kayu gergajian

dan kayu lapis pada akhir tahun 1980-an) dan peningkatan nilai ekspor pulp pada

tahun 1990-an. Ekspor pulp berkembang sangat pesat yaitu pada tahun 1993

tercatat nilai ekspor hanya mencapai US $ 45.75 juta sedangkan pada tahun 2002

telah mencapai US$ 706.80 juta atau tumbuh rata-rata 49.61 per tahun (Indonesia Pulp and Paper Association,IPPA 2003).

Dalam waktu empat tahun terakhir, nilai total ekspor produk industri kayu

berimbang antara produk industri kayu primer dan produk industri kayu lanjutan.

Total nilai ekspor produk industri kayu pada tahun 1998 tercatat US $ 7.219

milyar yang terdiri dari produk industri kayu primer berkisar 47 persen dan masih

didominasi oleh kayu lapis diikuti oleh pulp dan kayu gergajian, sedangkan 53

(3)

Kebijakan larangan ekspor kayu bulat pertama kali diberlakukan pada Mei

1980 melalui Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menteri Pertanian, Menteri

Perindustrian dan Menteri Perdagangan). Larangan ekspor kayu bulat pada

awalnya diberlakukan secara bertahap, dan baru pada tahun 1985 diberlakukan

secara total. Sesudah krisis atas desakan IMF larangan dihentikan pada tahun

1998 tetapi diberlakukan kembali pada tahun 2001 sampai dengan saat ini. Pada

awalnya larangan ekspor kayu bulat bertujuan untuk : (1) meningkatkan

pendapatan ekspor dari sektor kehutanan melalui peningkatan ekspor kayu olahan,

(2) meningkatkan penyerapan tenaga kerja, (3) meningkatkan nilai tambah produk

kayu bulat, dan (4) mendorong pembangunan ekonomi regional.

Kebijakan larangan ekspor kayu bulat diberlakukan kembali melalui Surat

Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kehutanan Nomor: 1132/Kpts-II/2001 dan

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 192/MPP/Kep/10/2001,

tertanggal 8 Oktober 2001. Tujuannya disebutkan antara lain untuk mencegah

dimanfaatkannya kebijakan ekspor kayu bulat/bahan baku serpih oleh pelaku

penebangan liar (illegal logging) dan perdagangan gelap (illegal trading) yang mengancam kelestarian sumber daya hutan dan kerusakan lingkungan.

Subsektor kehutanan dan industri berbasis kehutanan memiliki kontribusi

yang rendah terhadap PDB, yaitu hanya berkontribusi sebesar 3.6 persen

(termasuk pulp dan kertas dengan 90 bahan baku dari kayu), meskipun subsektor

kehutanan mampu menampung tenaga kerja yang sangat besar terutama dari

industri kayu bulat, industri kayu olahan primer dan industri kayu olahan lanjutan

(4)

produsen dan pengekspor pulp terbesar keenam dunia, dengan volume produksi

sekitar 10 juta ton per tahun atau 4 produksi dunia (Ibnusantoso, 1997).

Produk hasil industri pengolahan kayu primer berupa kayu gergajian pada

awalnya merupakan produk industri pengolahan kayu hulu yang cukup dominan,

kemudian secara bertahap mulai digantikan oleh kayu lapis, kemudian pulp yang

nilai ekpornya selalu naik. Tetapi sejak adanya krisis ekonomi pada tahun 1997,

terjadi penurunan ekspor hasil industri pengolahan kayu primer. Kemudian secara

perlahan ekspor produk industri pengolahan kayu primer berfluktuasi, naik dan

turun sesuai dengan kondisi makroekonomi Indonesia. Penurunan kinerja ekspor

kayu lapis kecenderungannya konsisten baik volume maupun nilainya.

Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2004), penurunan ekspor produk

industri pengolahan kayu primer juga dipicu oleh penurunan pemanfaatan

kapasitas industri perkayuan dari rata-rata 66 pada tahun 1996 menjadi sekitar 45

pada tahun 2000.

Sejak tahun 1997 ekspor produk industri pengolahan kayu primer

Indonesia terutama kayu lapis cenderung menurun baik nilai maupun volume.

Tabel 1 menunjukkan bahwa sejak tahun 2002 ada sedikit perbaikan kinerja pada

ekspor produk pulp dan kayu gergajinan. Pulp berfluktuatif dan

kecenderungannya meningkat baik volume maupun nilainya demikian pula kayu

gergajian kecenderungannya menurun baik volume maupun nilainya. Kayu lapis

sebelumnya merupakan salah satu andalan ekspor produk industri pengolahan

kayu primer Indonesia dan mampu menguasai pasar kayu lapis dunia. Tetapi

dalam perkembangannya peran produk kayu lapis di dalam perdagangan

(5)

37.4 tertapi pada tahun 2005 menjadi 17.9. Demikian juga kayu gergajian dari

9.3 menajdi 6.7 . Teatepi pulp perannya mengalami kenaikan dari 7.1 pada tahun

2002 menjadi 12.2 pada tahun 2005.

Tabel 1. Peran Ekspor Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Indonesia terhadap Perdagangan Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Dunia

Pulp Unit 2002 2003 2004 2005

Dunia Juta US $ 12 123.0 7 326.2 7 735.7 7 965.8 1000 Ton 28 594.8 27 814.0 12 988.0 15 020.1 Indonesia Juta US$ 866.4 790.5 589.2 974.5 1000 Ton 2 187.7 2 374.6 1 677.6 2 633.7

% INA Thd Dunia Nilai 7.1 8.5 7.6 12.2

Volume 7.7 6.3 12.9 17.5

Kayu Lapis

Dunia Juta US $ 4 072.2 7 326.2 7 279.4 7 099.4 1000 Ton 6 614.6 8 339.8 7 934.1 7 568.9 Indonesia Juta US$ 1 522.1 1 235.1 1 178.5 1 274.4 1000 Ton 1 911.1 1 518.6 1 947.9 1 591.7 % INA Thd Dunia Nilai 37.4 16.9 16.2 17.9

Volume 28.9 18.2 24.9 21.0

Kayu Gergajian

Dunia Juta US $ 5 613.1 9 680.8 7 132.5 9 380.6 1000 Ton 13 844.3 5 240.6 5 715.7 4 455.9 Indonesia Juta US$ 523.4 465.0 637.6 628.7 1000 Ton 1 425.5 984.6 1 477.7 1 188.5

% INA Thd Dunia Nilai 9.3 4.8 8.9 6.7

Volume 10.3 18.8 25.9 26.7

Sumber : COMTRADE, 2007 (diolah)

Penurunan peran ekspor produk industri pengolahan kayu primer

utamanya kayu lapis dan kayu gergajian di pasar internasional berpengaruh

terhadap peran Indonesia dalam menentukan harga di pasar dunia, dan

melemahkan kekuatan lobby Indonesia di dalam menentukan kebijakan perdagangan internasional terhadap produk kayu lapis. Perubahan ini harus

diantisipasi secara seksama dalam rangka menjaga peran Indonesia dalam

(6)

industri perkayuan Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dari sumber

bahan baku kayu tropis yang relatif lebih berlimpah dibanding negara lain. Potensi

bahan baku kayu bulat dari hutan alam masih mungkin untuk ditingkatkan melalui

program silvikultur intensif dan pembangunan hutan tanaman.

Kecenderungan kenaikan nilai ekspor produk kayu olahan terutama pulp

diharapkan akan terus terjadi, mungkin volume mengalami penurunan tetapi nilai

ekspor diharapkan terus naik. Kondisi ini sangat membantu pengembangan

industri pengolahan kayu primer baik dari sisi pendapatan devisa maupun dari sisi

lingkungan. Penghematan bahan baku akan memperpanjang umur tegakan kayu

yang akan dieksploitasi sehingga mengurangi luasan areal hutan yang akan

dieksploitasi. Di Indonesia peran kenaikan nilai ekspor pulp pada perdagangan

internasional makin besar karena selain harga internasional pulp yang membaik,

volume ekspor juga mengalami kenaikan. Hal ini akan mendorong kenaikan

investasi pembangunan hutan tanaman industri sehingga bahan baku pulp akan

lebih terjamin. Pemerintah melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 162 tahun

2003 merencanakan percepatan pembangunan hutan tanaman industri dengan

target 5 juta hektar sampai tahun 2009, dimana pada tahun 2007 realisasinya

sudah mencapai 3.4 juta hektar (Dephut, 2007). Sejak tahun 2007 sampai dengan

tahun 2016 Departemen Kehutanan Menetapkan Target untuk membangun 5.4

juta hektar hutan tanaman rakyat. Ketersediaan bahan baku yang cukup nantinya

diharapkan akan mendorong investasi pada industri pengolahan kayu primer

khususnya pulp.

Sesudah krisis ekonomi pada tahun 1997, kondisi makroekonomi

(7)

perdagangan secara umum. Dalam upaya mencari alternatif kebijakan untuk

meningkatkan masa depan produk industri pengolahan kayu primer, diperlukan

antisipasi terhadap terjadinya perubahan kondisi makro dan kemungkinan

perubahan kebijakan di bidang perdagangan dan kehutanan. Berdasarkan hal

tersebut maka diperlukan penelitian yang dapat mengindentifikasi faktor- faktor

yang mempengaruhi kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer dan

mampu mengevaluasi kebijakan-kebijakan periode historis yang nantinya dapat

meramalkan alternatif kebijakan masa depan.

1.2. Perumusan Masalah

Kebijakan perdagangan dapat berdampak kepada semua subsektor baik

sektor industri, perdagangan, investasi, pertanian, kehutanan dan sebagainya.

Subsektor kehutanan memiliki potensi yang besar untuk menjadi salah satu

sumber penerimaan devisa ekonomi Indonesia. Subsektor kehutanan merupakan

suatu sektor yang memiliki banyak persinggungan dengan berbagai sektor lain.

Subsektor ini terkait dengan berbagai kebijakan perdagangan baik dalam maupun

luar negeri. Melalui kebijakan perdagangan yang tepat diharapkan dapat

mendorong kinerja ekspor produk industri kehutanan menjadi lebih baik.

Kemampuan produk kehutanan Indonesia bersaing dengan produk

kehutanan sejenis dari negara- negara pesaing masih rendah. Rendahnya daya

saing ekspor produk industri kehutanan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor,

antara lain teknologi, kualitas produksi ataupun kebijakan perdagangan yang

belum menunjang kinerja perdagangan produk industri kehutanan.

Permasalahan perdagangan yang menjadi perhatian para penentu kebijakan

(8)

Indonesia. Turunnya surplus neraca perdagangan terutama disumbang oleh

kenaikan yang signifikan terhadap impor barang konsumsi dan bahan baku

penolong yang cukup besar, selain karena adanya kenaikan impor barang modal.

Penurunan surplus neraca perdagangan mempengaruhi posisi neraca transaksi

berjalan Indonesia. Dalam masa krisis terlihat bahwa industri manufaktur yang

tidak berbasis pada sumber daya lokal mengalami kolaps. Industri kehutanan

masih mampu mengalami laju pertumbuhan yang positif, walaupun dalam

persentase yang kecil, sedangkan sektor industri manufaktur yang kandungan

lokalnya sedikit, mengalami laju pertumbuhan yang negatif.

Penerapan kebijakan ekonomi yang kondusif akan berdampak positif

terhadap kinerja perdagangan secara keseluruhan. Produk kayu olahan yang

merupakan salah satu komoditi ekspor yang diandalkan, juga sangat dipengaruhi

oleh kebijakan ekonomi tersebut.

Permasalahan perdagangan ekspor produk industri pengolahan kayu

primer adalah sangat kompleks tetapi secara garis besar terbagi pada dua hal

yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang berkaitan dengan

komitmen perdagangan dunia dan hambatan-hambatan non tarrif barriers yang diciptakan negara lain. Non tarrif barriers bisa dengan alasan HAM, lingkungan hidup, dan sebagainya.

Indonesia memiliki komitmen untuk melaksanakan kebijakan perdagangan

dunia seperti yang telah diatur oleh World Trade Organization (WTO) dan telah meratifikasinya melalui UU No.7 tahun 1994. Pada tingkat regional, Indonesia

telah menandatangani kesepakatan Asean Free Trade Agreement (AFTA) tentang perdagangan bebas di lingkungan negara- negara Asia Tenggara (Association of

(9)

South East Asian Nation, ASEAN), serta deklarasi Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) tentang sistem perdagangan bebas dan investasi. Kesepakatan-kesepakatan internasional tersebut selain berdamapk positif juga

mempunyai dampak negatif terutama bila terkait produk yang sensitif terhadap

lingkungan. Di samping itu juga merupakan tantangan bagi Indonesia untuk lebih

siap menghadapi persaingan di masa depan.

Permasalan perdagangan lainnya adalah yang permasalahan internal di

dalam negeri atau kebijakan-kebijakan sektoral yang terkait baik langsung

maupun tidak langsung terhadap kinerja perdagangan. Untuk subsektor kehutanan

banyak kebijakan yang terkait dengan produk industri pengolahan kayu primer

yang mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja

ekspornya. Sejak tahun 1970, komoditi produk kayu mengalami perkembangan

kebijakan terutama pada sektor kehutanan. Perkembangan tersebut erat kaitannya

dengan sektor perdagangan yang mempengaruhi kinerja ekspor produk kayu

primer.

Perkembangan terkait kebijakan perdagangan dapat dilihat pada Gambar

1. Gambar tersebut menunjukkan perkembangan kebijakan kehutanan setiap

sepuluh tahunan yang dapat dibagi dalam empat periode.

Periode pertama dan kedua (1970-1980) merupakan masa keemasan

(booming) produksi dan ekspor kayu bulat. Hal tersebut dikarenakan terbitnya PP 21/1970 tentang HPH dan HPHH. Pada tahun 1980 dikeluarkan Surat Keputusan

Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang larangan ekspor kayu bulat. Pada periode

ketiga dan ke empat pada tahun 1990-an dan 2000-an, ditandai dengan

(10)

Gambar 1. Perkembangan Kebijakan Kehutanan terkait Perdagangan DR = Dana Reboisasi

PSDH = Provisi Su mber Daya Hutan, BBS = Bahan Baku Serpih Keterangan 10 . 1980 1990 1970 2000 PP 21/1970 HPH dan HPHH PP 18/1975 Ketentuan Pe mohon HPH UU 5/ 1967 Pokok-pokok Kehutanan Inpres Reboisasi dan Penghijauan (1976) SKB Tiga Menteri La rangan Ekspor Kayu Bu lat (1980) Keppres 31/ 1989 dan 29/ 1990 Dana Reboisasi UU 5/ 1990 Konservasi SDA Hayati dan

Ekosistemnya

Ketentuan Ekspor Kayu Bu lat (1998)

SKB Tiga Menteri Pencabutan Larangan

Ekspor Kayu Bu lat (1998) UU 41/ 1999 Kehutanan Ekspor Kayu Bulat/ BBS (2001) SK Menhut Penurunan Pajak Ekspor Kayu Bu lat

(2000) SK Menhut Soft Landing (2003) Inpres No 4/2005 Pe mberantasan Penebangan dan PerdaganganKy Ilegal SK Menhut Percepatan Pe

mbang-unan HTI utkPe me-nuhan Bhn BakuPu lp

danKertas (2003) (Sumber: Justianto, diolah 2005) :

(11)

Kondisi subsektor kehutanan setelah krisis ekonomi mendorong

Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan kehutanan menurunkan pajak ekspor

kayu bulat. menjadi maksimum 10 persen sebelum akhir Desember 2000 dan 0

persen pada tahun 2003. Setelah pajak ekspor kayu bulat diturunkan, ekspor kayu

bulat berlangsung kembali namun volumenya sangat kecil.

Perubahan kebijakan kehutanan pada era tahun 2000-an diawali dengan

terbitnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan

dirangsang juga oleh adanya desentralisasi pemerintahan sejalan dengan lahirnya

Undang-Undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 memberikan perhatian khusus pada aspek perencanaan kehutanan secara

partisipatif, pemberdayaan ekonomi masyarakat, penyerahan sebagian

kewenangan kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kehutanan, peran

serta masyarakat, dan pengawasan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan

(Departemen Kehutanan, 1987)

Pada tahun 2003 pemerintah mengeluarkan kebijakan soft landing yaitu kebijakan penurunan produksi kayu bulat sebesar 50 persen dari produksi tahun

sebelumnya karena isu- isu lingkungan yang makin gencar, sehingga berakibat

menurunnya produksi kayu secara drastis pada beberapa provinsi. Penerapan

kebijakan “Soft Landing”, dilakukan dengan menerapkan pengurangan jatah produksi tahunan sebesar 30 persen dari tahun sebelumnya pada tahun 2003, dan

dilanjutkan masing- masing sebesar 10 persen pada tahun 2004 dan 2005.

Kebijakan perdagangan Indonesia yang akan dikaji adalah kebijakan

perdagangan yang terfokus pada : (l) larangan ekspor kayu bulat dan (2) kebijakan

(12)

Daya Hutan (pengganti Iuran Hasil Hutan, IHH) dan Dana Reboisasi. Selain

kedua kebijakan tersebut, kebijakan ekonomi yang terkait dengan kebijakan

perdagangan juga menjadi bahasan dalam penelitian ini, yaitu kebijakan yang

secara langsung dapat mempengaruhi kinerja perdagangan antara lain adalah (1)

kebijakan kenaikan upah tenaga kerja (2) kenaikan harga kayu bulat dunia dan (3)

nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar US.

Nilai tukar rupiah yang pada dasarnya bukan merupakan suatu kebijakan,

karena sistem nilai tukar di Indonesia sudah bebas mengambang yang artinya

sangat tergantung pada pasar dan nilai tukar rupiah yang melemah terhadap mata

uang asing dalam batas-batas yang rasional juga akan meningkatkan daya saing

ekspor. Melemahnya nilai tukar rupiah yang tidak terkendali dapat mengganggu

kondisi ekonomi nasional dan sangat tidak kondisif untuk perdagangan

internasional.

Ekspansi moneter yang jika berlebihan juga akan menyebabkan inflasi

tehadap rupiah sehingga akan meningkatkan bunga bank. Bunga bank yang naik

akan menahan laju daya saing barang ekspor Indonesia karena adanya kenaikan

biaya produksi. Kebijakan yang terpadu untuk menjaga kondisi makro ekonomi

yang stabil menjadi suatu persyaratan dalam meningkatkan kinerja ekspor

Indonesia.

Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor suatu negara terutama

negara berkembang seperti Indonesia dimana pendapatan ekspor merupakan hal

vital bagi perekonomian negara. Ekspor komoditi sektor kehutanan cukup

berpengaruh terhadap perolehan devisa negara. Tinggi rendahnya ekspor tidak

(13)

karena itu, penelitian ini akan menganalisis dampak kabijakan perdagangan

terhadap kinerja perdagangan produk industri pengolahan kayu primer.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa rumusan pertanyaan

penelitian sebagai berikut yaitu :

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja ekspor produk industri

pengolahan kayu primer ?

2. Bagaimanakah dampak kebijakan larangan ekspor kayu bulat terhadap kinerja

ekspor produk industri pengolahan kayu primer (tahun 1980-2002) ?

3. Bagaimanakah dampak kebijakan larangan ekspor kayu bulat terhadap kinerja

ekspor produk industri pengolahan kayu primer pada periode mendatang

(tahun 2007-2010) ?

4. Alternatif kebijakan apa yang perlu ditempuh untuk meningkatkan kinerja

ekspor produk industri pengolahan kayu primer ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diuraikan sebelumnya,

maka secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak

kebijakan perdagangan terhadap kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu

primer Indonesia. Secara spesifik, tujuan tersebut dapat dirumuskan sebagai

berikut :

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor produk

industri pengolahan kayu primer.

2. Mengevaluasi dampak kebijakan perdagangan kayu bulat terhadap kinerja

(14)

3. Meramalkan dampak kebijakan perdagangan kayu bulat terhadap kinerja

ekspor produk industri pengolahan kayu primer periode tahun 2007-2010.

4. Mengidentifikasi alternatif kebijakan yang perlu ditempuh untuk

meningkatkan kinerja ekspor produk industri pengolahan kayu primer.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan masukan baik dalam segi

ilmu pengetahuan maupun bagi kepentingan pengambil kebijakan, khususnya

dalam hal :

1. Memperkaya kajian-kajian di subsektor kehutanan terutama yang berkaitan

dengan produk-produk kayu olahan primer dan perdagangannya.

2. Memberikan masukan kepada pemerintah dalam rangka merumuskan

alternatif kebijakan perdagangan yang perlu dilakukan untuk mendorong

kinerja ekspor produk industri kayu olahan primer.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Model analisis dalam penelitian ini adalah model ekonometrika yang

mencoba menggambarkan realitas perdagangan yang terjadi antara Indonesia

dengan beberapa negara mitra dagang yang dominan terbesar, dimana realitas

perdagangan tersebut sangat erat kaitannya dengan kebijakan perdagangan

pemerintah yang langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada kinerja

ekspor terutama untuk produk-produk yang menjadi andalan ekspor Indonesia.

Kebijakan perdagangan yang dimaksudkan adalah yang telah atau yang akan

ditetapkan oleh pemerintah terkait dengan perdagangan produk kayu olahan,

(15)

Dalam penelitian ini kebijakan perdagangan yang akan dikaji adalah

kebijakan perdagangan yang terkait dengan kinerja ekspor kayu olahan primer

meliputi : (1) kebijakan terhadap bahan baku input, yaitu pungutan terhadap kayu

bulat yaitu Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi, tingkat suku

bunga/kredit, kebijakan upah tenaga kerja, dan (2) larangan ekspor kayu bulat.

Penelitian ini mengkaji aspek produksi untuk menggambarkan fenomena

perdagangan sebenarnya bahwa kinerja perdagangan produk kayu olahan tidak

bisa dipisahkan dengan kinerja industri kayu olahan itu sendiri dan intervensi

kebijakan pemerintah yang diterapkan.

Pemilihan komoditi produk industri kayu olahan primer yaitu kayu

gergajian, kayu lapis dan pulp dengan mempertimbangkan peran produk-produk

tersebut yang cukup dominan pada perekonomian Indonesia, khususnya yang

berkaitan dengan nilai ekonomi kehutanan, sedangkan produk-produk lain dari

kayu tidak menjadi obyek penelitian. Hal ini bukannya produk-produk tersebut

tidak penting tetapi supaya penelitian ini lebih fokus. Jenis produk industri yang

dipilih sebagian besar merupakan industri yang padat modal dan juga padat karya

serta banyak menggunakan input lokal.

Bahan baku kayu bulat dalam penelitian ini tidak dibedakan apakah

bersumber dari hutan alam atau dari hutan tanaman. Pembedaan ini sangat perlu

dilakukan karena sangat berbeda baik kualitas maupun harganya. Tetapi karena

data yang tersedia tidak dibedakan dengan jelas sehingga dalam penelitian ini

belum dapat dibedakan asal sumber bahan bakunya.

Kinerja ekspor dapat ditunjukkan melalui pendekatan pengukuran

(16)

primer yang merupakan perolehan nilai devisa dari ekspor. K inerja ekspor produk

kayu diharapkan dapat kembali meningkat dengan adanya intervensi kebijakan

yang tepat. Dimana kebijakan yang diterapkan harus merupakan kebijakan yang

komprehensif dimulai dari kelestarian pasokan bahan baku kayunya. Bahan baku

kayu komponen terbesar biaya produksi lebih dari 70 persen biaya produksi

Gambar

Tabel  1.  Peran  Ekspor  Produk  Industri  Pengolahan  Kayu  Primer  Indonesia  terhadap  Perdagangan Produk Industri Pengolahan Kayu Primer Dunia
Gambar 1. Perkembangan Kebijakan Kehutanan terkait Perdagangan DR = Dana Reboisasi

Referensi

Dokumen terkait

Pada analisis jalur jika variabel yang terkait berbentuk laten (tidak bisa diukur secara langsung), maka analisis data yang lebih tepat adalah pemodelan persamaan

Peneliti melakukan penelitian terhadap komunikasi antarpribadi yang terjadi antara guru dengan murid tunagrahita yaitu murid berkebutuhan khusus yang memiliki

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan tesis yang berjudul:

47 86,1% dengan kriteria sangat baik, berdasarkan hasil kriteria yang didapatkan dari respon guru menunjukkan bahwa tingkat kepraktisan dari alat evaluasi

Hasil penelitian menunjukkan: (1) produk yang dihasilkan adalah multimedia interaktif pembelajaran kimia pada materi hidrokarbon yang terdiri dari kompetensi, materi

Simpulan penelitian ini adalah penerapan alat bantu pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar gerak dasar lempar tangkap bola kecil pada siswa kelas IV SDN 4

Pada Selasa, 10 Juni 2014, Duta Besar Le Hoai Trung, Kepala Perwakilan Tetap Vietnam di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menemui dan menjawab interviu beberapa

Apabila penetuan nilai ini berdasarkan pada nilai hasil tes belajar yang digunakan pada kriterium peserta didik, maka pada hal ini mengandumg arti bahwa nilai yang