• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II - JUAL BELI EMAS SECARA KREDIT DI UNIT PEGADAIAN SYARIAH A. YANI JEMBER DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM - Digilib IAIN Jember

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II - JUAL BELI EMAS SECARA KREDIT DI UNIT PEGADAIAN SYARIAH A. YANI JEMBER DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM - Digilib IAIN Jember"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

13

A. Penelitian Terdahulu

Ahmad Muzakkir, Fakultas syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan ilmu hukum islam. Tahun 2004. Judul skripsi “ Tinjauan Hukum islam terhadap Pembiayaan Jual Beli Emas di Pasar Rambipuji Jember”.

Menjelaskan tentang penangguhan pembayaran tidak harus dipahami secara sempit sebagaimana nash yang ada. Jual beli barang yang tidak sejenis dengan tidak tunai itu tidak di perbolehkan, akan tetapi harus di pahami barang tersebut berbeda satu dengan yang lainnya sesuai dengan jenis dan kualitasnya. Sebagaimana pertukaran perhiasan emas murni dengan kuantitas yang berbeda, baik dilakukan secara kredit maupun tunai terbebas dari unsur riba. Sehingga akad yang dilakukan sah dan jual beli di pasar Rambipuji ditangguhkan oleh islam.1

Nindia Hikmatul Maula, Fakultas syariah IAIN Jember jurusan hukum ekonomi syariah. Tahun 2015. Judul skripsi: “ Sistem Pembiayaan Akad Gadai Emas Dalam Perspektif Ekonomi Islam Di PT Pegadaian Syariah Unit

Pasar Tanjung Jember”. Dengan kesimpulan bahwa sistem pembiayaan akad gadai emas dalam perspektif ekonomi islam Di PT Pegadaian Syariah Unit

1

(2)

Pasar Tanjung adalah ketentuan gadai emas terdapat 2 akad yaitu akad gadai (Rahn) dan akad sewa (ijarah).2

Kurniawati Dahlifa, Fakultas syariah IAIN Jember jurusan hukum ekonomi syariah. Tahun 2015. Judul skripsi: Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Utang Piutang Emas di Lingkungan Condro Kelurahan

Kaliwates Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember ”. Dengan kesimpulan bahwa: 1). Beberapa faktor yang melatarbelakangi masyarakat Condro untuk melakukan utang piutang emas ini karena kebutuhan yang mendesak, kemudahan dalam menutupi kebutuhan hidup masyarakat setempat serta prosesnya yang cepat, mudah dan debitur tidak harus meninggalkan barang jaminan sebagai syarat utang piutang, sistem pengembalian utang juga mudah yaitu dengan cara di cicil, adanya motif bunga selain keuntungan serta minimnya pengetahuan hukum transaksi utang piutang tersebut dalam hukum islam. 2). Dalam pelaksanaan utang piutang emas di lingkungan Condro ini rukun dan syarat Al yard telah dipenuhi, maka praktek utang piutang ini sudah sah menurut hukum islam, tetapi terdapat tambahan yang disyaratkan oleh kreditur pada tiap-tiap utang tersebut. 3). Menurut tinjauan hukum islam utang piutang tersebut diperbolehkan akan tetapi tambahan yang disyaratkan termasuk dalam riba dan dilarang keras oleh Allah, sehingga pinjaman yang akan di kembalikan oleh debitur harus ditambah dengan tambahan yang telah ditetapkan oleh kreditur, karena dalam hal ini tujuan utama dari adanya utang

2

(3)

piutang sebagai sarana tolong menolong yang mempunyai sisi sosial yang tinggi bukan sebagai saran bisnis.3

Dengan adanya hasil dari penelitian terdahulu, kami tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Jual Beli Emas Secara Kredit di Unit Pegadaian Syariah A. Yani Jember” Adapun persamaan Judul yang kami angkat di sini adalah sama-sama mengkaji tentang emas namun berbeda dengan judul skripsi sebelumnya karena, dalam skripsi ini peneliti lebih menjelaskan tentang jual beli emas secara kredit yang di tinjau dalam perspektif hukum islam.

B. Kajian Teori

a. Jual Beli

1) Pengertian dan Dasar Jual Beli

Jual beli

عٛجنا

artinya menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain). Kata,

عٛجنا

dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata

ءاششنا

(beli). Dengan demikian kata

عٛجنا

berarti kata “ jual ” dan sekaligus juga berarti kata “ beli ”.

Secara terminologi, jual beli terdapat beberapa definisi, ulama Hanafiyah mendefinisikan:

ٍصُْٕصْخَي ٍّْجَٔ َٗهَع ٍلبًَِث ٍلبَي ُخَنَدبَجُي

3

(4)

Saling menukarkan harta dengan harta melalui cara

tertentu”,

atau:

ٍةُْٕغْشَسٍئَْٛش ُخَنَدبَجُي

ٍصُْٕصْخَي ٍذََّٛقُي ِّْجَٔ َٗهَع ِِّْٛف

“Tukar menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”.4

Unsur-unsur definisi yang dikemukakan ulama Hanafiyah tersebut adalah, bahwa yang dimaksud dengan cara yang khusus adalah ijab dan Qabul, atau juga bisa melalui saling memberikan barang dan menetapkan harga antara penjual dan pembeli. Selain itu harta yang di perjualbelikan itu harus bermanfaat bagi manusia.

Pada masyarakat primitif, jual beli biasanya dilakukan dengan tukar-menukar barang (harta), tidak dengan uang seperti yang berlaku pada masyarakat pada umumnya. Mereka umpamanya, menukarkan rotan (hasil hutan) dengan pakaian, garam dan sebagainya yang menjadi keperluan pokok mereka sehari-hari. Mereka belum menggunakan alat tukar seperti uang. Namun pada saat ini orang yang tinggal di pedalaman, sudah mengenal mata uang sebagai alat tukar.5

Pertukaran harta atas dasar saling rela itu dapat dikemukakan bahwa jual beli yang dilakukan adalah barter (

حذٚبقًنا

)

atau pertukaran barang. Umpamanya, gandum atau beras dari luar negeri ditukar dengan

4

Rachmat, Fiqih Muamalah, 74. 5

(5)

kopi atau lada dari Indonesia yang dalam jumlah yang amat besar (dapat dikatakan jual beli ini adalah dalam bentuk pasar tradisional).6

Jual beli sendiri hukumnya mubah, tapi bisa menjadi wajib, yaitu ketika dalam keadaan terpaksa membutuhkan makanan dan minuman, maka ia wajib membeli apa saja yang dapat menyelamatkan dirinya dari kebinasaan, dan haram hukumnya menahan menjual sesuatu yang dapat menyelamatkan seseorang (dari kebinasaan). Bisa juga menjadi sunah, seperti ketika seseorang bersumpah untuk menjual barang yang tidak membahayakan dirinya, maka ia sunah menjual untuk menepati sumpahnya. Bisa menjadi makruh, seperti menjual sesuatu yang haram di perjualbelikan.7

Dalil-dalil jual beli disyariatkan berdasarkan Al Quran, Sunah

Rasulullah SAW, dan juga dalam Ijma‟.

a) Al Quran

َٕثِشنا َوشَحَٔ َعْٛجَنا ُالله مَحَأَٔ

ا

ج

….

“Padahal Allah menghalalkan jual beli dan

mengharamkan riba.” (QS Al Baqarah 275)

ْىُتْعَٚبَجَت اَرِإُْٔذِْٓشَأَٔ

ج

….

6

Suhrawardi Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 140. 7

(6)

“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”.8 (QS.

“ Nabi SAW. Ditanya tentang mata pencaharian yang

paling baik (halal). Nabi SAW. menjawab, “ pekerjaan seorang lelaki yang dilakukan oleh tangannya sendiri, dan

setiap transaksi jual beli yang mabrur.”(HR. Bajjar, Hakim

menyahihkannya dari Rifa‟ah Ibn Rafi‟).9 c) Ijma‟

Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.10

2) Rukun dan Syarat Jual Beli

Jual beli adalah merupakan suatu akad, dan dipandang sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat jual beli. Mengenai rukun dan syarat jual beli, para ulama berbeda pendapat. Menurut Mazhab Hanafi rukun jual beli hanya ijab dan Qabul saja. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan antara kedua belah pihak untuk berjual beli. Namun, karena unsur kerelaan berhubungan dengan hati yang sering tidak kelihatan, maka diperlukan indikator

8

Departemen Agama RI, Al Quran,47- 48. 9

Moch Anwar dkk, Terjemahan Fathul Mu‟in (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), 763 10

(7)

(Qarinah) yang menunjukkan kerelaan tersebut dari kedua belah pihak.

Dapat dalam bentuk perkataan (ijab dan qabul) atau dalam bentuk perbuatan, yaitu saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang).11

a) Rukun Jual Beli

Dalam menetapkan syarat jual beli, di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama madhab Hanafi, rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha, baik dengan ucapan maupun perbuatan.12

Hal ini berbeda dengan pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:13

1) Orang yang berakad atau muta‟aqidain (penjual dan pembeli). 2) Ada Shighat (ijab dan qabul).

3) Ada barang yang dibeli.

4) Ada nilai tukar pengganti barang. b) Syarat jual beli

Secara umum tujuan adanya semua syarat dalam jual beli antara lain adalah untuk menghindari pertentangan diantara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang melakukan akad, serta untuk menghindari jual beli gharar (terdapat unsur penipuan), dan

11

Hasan, Transaksi Dalam Islam, 118. 12

Syafei, Fiqh, 75-76 13

(8)

lain-lain. Berikut ini merupakan syarat-syarat jual beli yang dikemukakan oleh jumhur ulama di atas:14

(1) Syarat orang yang berakad (a) Berakal

Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah. Adapun anak kecil yang sudah mumayyiz, menurut ulama Hanafiyah, apabila akad yang dilakukan membawa keuntungan bagi dirinya maka akadnya sah. Sebaliknya, apabila akad itu membawa kerugian bagi dirinya, maka tindakan hukumnya ini tidak boleh dilaksanakan.

Jumhur ulama berpendirian bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus telah baligh dan berakal.

(b) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya, seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual, sekaligus pembeli. (2) Syarat yang terkait dengan ijab qabul

(a) Orang yang mengucapkan telah akil baligh dan berakal. (b) Kabul sesuai dengan ijab.

(c) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis.

14

(9)

(3) Syarat Barang yang dijualbelikan

(a) Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.

(b) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. (c) Milik seseorang.

(d) Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung. (4) Syarat nilai tukar (harga barang)

(a) Harga yang disepakati kedua belah pihak, harus jelas jumlahnya.

(b) Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum, seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. (c) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling

mempertukarkan barang (al-muqa‟yadhah), maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan

syara‟.

Di samping syarat-syarat yang berkaitan dengan rukun jual beli di atas, para ulama fiqh juga mengemukakan beberapa syarat lain, yaitu:15

15

(10)

(a) Syarat sah jual beli.

Para ulama fiqh menyatakan bahwa sesuatu jual beli baru dianggap sah apabila:

(1) Jual beli itu terhindar dari cacat,

(2) Apabila barang yang di perjualbelikan itu benda bergerak, maka barang itu boleh langsung dikuasai pembeli. Sedangkan barang yang tidak bergerak, boleh dikuasai pembeli setelah surat menyuratnya diselesaikan, sesuai dengan „urf setempat.

(b) Syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual beli. Jual beli baru boleh dilaksanakan apabila yang berakad mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli.

(c) Syarat yang terkait dengan kekuatan hukum akad jual beli. Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa suatu jual beli bersifat mengikat apabila jual beli itu terbebas dari segala macam khiyar.

c) Bentuk dan Macam-macam Jual Beli 1) Bentuk jual beli

(11)

salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Dengan kata lain, menurut jumhur ulama, rusak dan batal memiliki arti yang sama.16

Adapun ulama Hanafiah membagi jual beli menjadi tiga bentuk, yaitu jual beli sahih, jual beli batal, dan jual beli yang fasid. Jual beli dapat dikatakan sebagai suatu transaksi jual beli yang shahih apabila jual beli tersebut disyariatkan, memenuhi rukun dan

syarat yang ditentukan. Bukan milik orang lain, tidak tergantung pada hak khiyar lagi.

Jual beli yang batal adalah jual beli yang apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak disyariatkan, seperti jual beli yang dilakukan anak-anak, orang gila, atau barang yang dijual itu barang-barang yang diharamkan oleh syara‟, seperti bangkai, darah, babi, dan khamar.17

Jual beli fasid adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan

shara‟ pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.18

16

Syafei, Fiqh, 91-92 17

Haroen, Fiqh, 121-122 18

(12)

2) Macam-macam jual beli

Dalam praktek kehidupan sehari-hari terdapat dua macam Jual beli, yaitu jual beli yang diperbolehkan dan jual beli yang dilarang oleh syariat Islam.19

(a) Jual beli yang diperbolehkan oleh syariat Islam

(1) Berdasarkan pertukarannya, dibagi empat macam:

a) Jual beli salam (pesanan) adalah jual beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.

b) Jual beli muqayadhah (barter) adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.

c) Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran, seperti uang.

d) Jual beli alat penukar dengan alat penukar adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.

(2) Berdasarkan dari segi harga, jual beli dibagi pula menjadi empat bagian:

19

(13)

a) Jual beli yang menguntungkan (al-murabahah). b) Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual

dengan harga aslinya (at-tauliyah). c) Jual beli rugi (al-khasarah).

d) Jual beli al-musawah, yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang yang akad saling meridhai, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.

(b) Jual beli yang dilarang oleh syariat Islam

Dalam beberapa disebutkan macam-macam jual beli, berikut ini adalah macam-macam jual beli yang dilarang dan batal hukumnya yaitu:20

1) Jual beli barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing, babi, dan bangkai.

2) Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina agar dapat memperoleh keturunan.

3) Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya.

4) Jual beli dengan muhallaqah, maksud muhallaqah disini adalah menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah.

20

(14)

5) Jual beli dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen, seperti menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil, dan yang lainnya.

6) Jual beli dengan mulamassah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh.

7) Jual beli dengan munabadzah, yaitu jual beli secara lempar melempar.

8) Jual beli dengan muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering.

9) Menentukan dua harga untuk barang yang diperjual belikan.

10) Jual beli dengan syarat („iwadh mahjul), jual beli ini hampir sama dengan jual beli dengan menentukan dua harga.

11) Jual beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadi penipuan.

12) Jual beli dengan mengecualikan sebagai benda yang dijual.

13) Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar.

(15)

1) Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk ke pasar untuk membeli barang dagangannya dengan harga yang semurah-murahnya, sebelum mereka tahu harga pasaran, untuk kemudian ia jual dengan harga yang setinggi-tingginya.

2) Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain. 3) Jual beli dengan Najasyi

4) Menjual di atas penjualan orang lain. b. Kredit

1) Pengertian Kredit

Kredit berasal dari kata Yunani, credere yang artinya kepercayaan, yaitu kepercayaan dari kreditur bahwa debiturnya akan mengembalikan pinjaman sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak. Tegasnya kreditur percaya bahwa kredit itu tidak akan macet.21

Kredit menurut istilah adalah hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang di minta, atau pada waktu yang akan datang, Karena penyerahan barang-barang sekarang. Sedangkan dalam syariah kredit di kenal dengan pembiayaan yaitu menyediakan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara perusahaan dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak lain mengembalikan pembiayaan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan bagi hasil.22

21

Rahman F. Manajemen Perkreditan Bank Umum; Teori, Masalah Kebijakan dan Aplikasi

(Bandung, Alfabeta, 2013), 15. 22

(16)

Dalam bukunya Sahruwardi K Lubis berpendapat bahwa yang dimaksud kredit adalah suatu pembelian yang dilakukan terhadap suatu barang yang pembayaran barang tersebut dilakukan secara berangsur-angsur sesuai dengan tahapan pembayaran yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yaitu penjual atau pembeli.23

Yang dimaksud dengan jual beli kredit (Ba‟i at-taqhsith) adalah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal dari pembayaran kontan.

Adapun menurut undang-undang nomor 14 tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan, yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan.24

Para ulama menyebutkan beberapa poin penting yang berkenaan dengan jual beli, yaitu sebagai berikut:

a) Dalam jual beli ini penjual tidak diperbolehkan membuat kesepakatan tertulis dalam akad dengan pembeli, bahwa ia berhal mendapat tambahan harga yang terpisah dari harga barang yang ada. Di mana harga tambahan itu akan berkaitan erat dengan waktu

23

Sahruwardi K Lubis, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 142. 24

(17)

pembayaran. Baik tambahan harga itu sudah disepakati oleh kedua belah pihak.

b) Apabila orang yang berhutang (pembeli) terlambat membayar cicilan dari waktu yang telah ditentukan, maka tidak boleh mengharuskannya untuk membayar tambahan dari hutang yang sudah ada baik dengan syarat yang sudah ada ataupun tanpa syarat, karena hal itu termasuk riba yang diharamkan.

c) Penjual tidak berhak menarik kepemilikan barang dan tangan pembeli setelah terjadi jual beli, namun penjual diperbolehkan memberi syarat kepada pembeli untuk menggadaikan barang kepadanya untuk menjamin hanya dalam melunasi cicilan-cicilan yang tertunda.

d) Boleh memberi tambahan harga pada harga yang pembayarannya ditunda dari barang yang dibayar secara langsung (cash).

e) Diharamkan bagi orang yang berhutang untuk menunda-nunda kewajibannya membayar cicilan, walaupun demikian syariat tidak membolehkan si penjual untuk memberi syarat kepada pembeli agar membayar ganti rugi jika ia terlambat menunaikan kewajibannya (pembayaran cicilan).25

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli kredit adalah membeli suatu barang yang diberikan kepercayaan untuk membayar secara mengangsur atau secara cicilan

25

(18)

dalam jangka waktu yang telah disepakati antara penjual dan pembeli. Dimana boleh memberi tambahan harga pada barang yang pembayarannya di tunda dari barang yang dibayar secara langsung. Akan tetapi diharamkan bagi orang yang berhutang untuk menunda-nunda kewajibannya dalam membayar cicilan tersebut.

2) Jenis-jenis Kredit

Terdapat beberapa pendapat dalam pengelompokan jenis kredit, namun pada umumnya dikelompokkan berdasarkan:

a) penggunaannya

(1) Kredit Produktif, yaitu kredit yang dipergunakan untuk membantu atau menambah modal dalam proses produksi atau usahanya.

(2) Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang ditujukkan kepada nasabah yang memerlukan dana untuk kebutuhan sehari-hari b) Keperluan produksi

(1) Kredit modal kerja, yaitu ditujukan kepada nasabah yang mengalami kekurangan modal kerja untuk pengembangan usahanya.

(2) Kredit investasi, ditujukan kepada nasabah yang membutuhkan barang modal untuk pertumbuhan usahanya.

c) Berdasarkan Jangka Waktunya

(19)

(2) Kredit jangka menengah, yaitu jenis kredit yang jangka waktunya antara satu tahun sampai tiga tahun.

(3) Kredit jangka panjang, yaitu jenis kredit yang jangka waktunya lebih dari tiga tahun.

d) Cara penggunaan

(1) Kredit rekening koran bebas, yaitu jenis kredit di mana debitur menerima seluruh kreditnya dalam bentuk rekening koran dan pemakaian tidak dibatasi, namun disesuaikan dengan maksimum kredit yang diberikan.

(2) Kredit rekening koran terbatas, yaitu jenis kredit dimana debitur menerima seluruh kreditnya dalam bentuk rekening koran, namun terdapat pembatasan dalam pemakaiannya. (3) Kredit rekening koran aflopend, yaitu jenis kredit dimana

penarikan dilakukan sekaligus pada waktu penarikan pertama dan pembayaran dilakukan secara mengangsur.

(4) Kredit Revolving, yaitu jenis kredit dengan penarikan yang sama dengan rekening koran bebas, namun dibedakan menurut cara pemakaiannya.26

3) Fungsi dan Tujuan Kredit a) Fungsi kredit

Dalam kehidupan perekonomian yang modern, bank memegang peranan yang sangat penting. Oleh karena itu

26

(20)

organisasi-organisasi bank selalu diikutsertakan dalam menentukan kebijakan di bidang moneter, pengawasan devisa, pencatatan efek-efek, dan lain-lain. Hal ini antara lain disebabkan usaha pokok bank adalah memberikan kredit, dan kredit yang diberikan oleh bank mempunyai pengaruh yang sangat luas dalam segala bidang kehidupan, khususnya di bidang ekonomi.

Fungsi kredit perbankan dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan antara lain:

(1) Kredit pada hakikatnya dapat meningkatkan daya guna uang (a) Para pemilik uang/modal dapat secara langsung

meminjamkan uangnya kepada para pengusaha yang memerlukan untuk meningkatkan produksinya atau untuk meningkatkan usahanya.

(b) Para pemilik uang / modal dapat menyimpan uangnya pada lembaga-lembaga keuangan. Uang tersebut diberikan sebagai pinjaman kepada perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan usahanya.

(21)

ditarik secara tunai dapat pula meningkatkan peredaran uang kartal, sehingga arus lalu lintas uang akan berkembang pula. (3) Kredit dapat pula meningkatkan daya guna dan peredaran

barang

Dengan mendapat kredit, para pengusaha dapat memproses bahan baku menjadi barang jadi, sehingga daya guna barang tersebut meningkat. Di samping itu, kredit dapat pula meningkatkan peredaran barang, baik melalui penjualan secara kredit maupun dengan membeli barang-barang dari satu tempat dan menjualnya ke tempat lain. Pembelian tersebut uangnya berasal dari kredit. Hal ini juga berarti bahwa kredit tersebut dapat pula meningkatkan manfaat suatu barang.

(4) Kredit sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi

Dalam keadaan ekonomi yang kurang sehat, kebijakan diarahkan kepada usaha-usaha antara lain:

(a) Pengendalian inflasi (b) Peningkatan ekspor

(c) Pemenuhan kebutuhan pokok rakyat

(22)

Arus-arus kredit diarahkan pada sektor-sektor yang produktif dengan pembatasan kualitatif dan kuantitatif. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan dalam negeri agar dapat di ekspor. Kebijakan tersebut telah berhasil dengan baik.

(5) Kredit dapat meningkatkan kegairahan berusaha

Setiap orang berusaha selalu ingin meningkatkan usahanya tersebut, namun adakalanya dibatasi oleh kemampuan di bidang permodalan. Bantuan kredit yang diberikan oleh bank akan dapat mengatasi kekurangmampuan para pengusaha di bidang permodalan. Sehingga para pengusaha dapat meningkatkan usahanya,

(6) Kredit dapat meningkatkan pemerataan pendapatan

Dengan bantuan kredit dari bank, para pengusaha dapat memperluas usahanya dan mendirikan proyek-proyek baru. peningkatan usaha dan pendirian proyek baru akan membutuhkan tenaga kerja untuk melaksanakan proyek tersebut, sehingga angka pengangguran sedikit terkurangi dan mereka memperoleh pendapatan. Dengan tertampungnya tenaga kerja tersebut, maka pemerataan pendapatan akan meningkat pula.

(23)

Bank-bank besar di luar negeri yang banyak mempunyai jaringan usaha dapat memberikan bantuan dalam bentuk kredit, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Begitu juga negara-negara yang telah maju yang mempunyai cadangan devisa dan tabungan yang tinggi, dapat memberikan bantuan dalam bentuk kredit kepada negara yang sedang berkembang untuk membangun negaranya. Bantuan dalam bentuk kredit ini tidak saja dapat mempererat hubungan ekonomi antar negara yang bersangkutan tetapi juga dapat meningkatkan hubungan internasional.27

Fungsi utama kredit adalah memberi kemungkinan kepada seorang pengusaha untuk memulai suatu usaha secara besar-besaran (skala besar). Kredit digunakan untuk menggerakkan modal yang ada dan memungkinkan di mulainya produksi sebelum berkembangnya permintaan, yaitu peningkatan penjualan hasil produksi kepada konsumen.28

b) Tujuan kredit

Di negara-negara liberal, tujuan kredit didasarkan kepada usaha untuk memperoleh keuntungan sesuai dengan prinsip ekonomi yang di anut oleh negara yang bersangkutan, yaitu dengan

27

Thomas Suyanto, Dasar-dasar Perkreditan, 16-17. 28

(24)

pengorbanan yang sekecil-kecilnya untuk memperoleh manfaat (keuntungan) yang sebesar-besarnya.

Oleh karena pemberian kredit dimaksud untuk memperoleh keuntungan, maka bank hanya boleh meneruskan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit, jika ia merasa yakin nasabah yang akan menerima kredit itu mampu dan mau mengembalikan kredit yang telah diterimanya. Dari faktor kemampuan dan kemauan tersebut, tersimpul unsur keamanan (Safety) dan sekaligus unsur keuntungan (Profitability), dari suatu

kredit tersebut kedua faktor tersebut saling berkaitan. 4) Faktor-faktor Jual Beli Kredit

Kebanyakan masyarakat melakukan transaksi pembelian barang dengan sistem kredit telah memasyarakat kepada masyarakat menengah ke bawah, walaupun ada masyarakat dengan tingkat ekonomi golongan menengah ke atas melakukan transaksi pembelian secara kredit.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyebab terjadinya masyarakat melakukan transaksi secara kredit, antara lain:

a) Kebutuhan

Seorang konsumen akan merasakan kebutuhan untuk

membeli suatu produk atau jasa pada situasi “storage” (kebutuhan

(25)

tertentu) maupun “ unfulfiled desire ”(kebutuhan yang timbul karena ketidakpastian pelanggan terhadap produk atau jasa saat ini).29

b) Kebiasaan

Kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya unsur paksaan.30 Kebiasaan merupakan pola perilaku atau perbuatan yang dipelajari dan ditandai dengan penampilan yang telah mantap dan berlangsung secara otomatis.

Kebiasaan masyarakat busa mempengaruhi kehidupan masyarakat yang lain, karena merupakan cara efektif dan efisien dalam memberikan perubahan. Masyarakat yang melakukan dengan menggunakan sistem kredit yang memberikan suatu kemanfaatan, maka masyarakat yang lainnya pun ikut sehingga menjadikan suatu adat.

c. Jual Beli Emas secara Kredit

Jual beli secara tidak tunai/ kredit adalah cara menjual atau membeli barang dengan pembayaran tidak secara tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur). Menurut istilah perbankan yang dimaksud dengan tidak tunai/ kredit, yaitu menukar harta tunai dengan harta tidak tunai. Emas merupakan komoditas unik. Emas mungkin satu-satunya komoditas yang di timbun, sementara komoditas lain di olah kembali untuk di konsumsi.

29

Fandy Tjiptono, Pemasaran Jasa (Jatim: Banyumedia Publishing, 2005), 30

(26)

Telah disepakati oleh sebagian besar ulama (ijma‟), dalam jual beli emas dan perak dikategorikan sebagai barang ribawi dikarenakan illat-nya sama yaitu sebagai patokan harga dan merupakan sebagai alat pembayar yang sama fungsinya seperti mata uang modern. Dan sebab itu emas dan perak

bisa dijadikan mata uang sehingga para ulama hadis memahami uang berasal dari

emas sebagai mata uang sejenis yaitu emas dengan istilah dan ukuran yang

berbeda.

Jika seseorang menjual barang yang mungkin mendatangkan riba (barang ribawi) bukan berdasarkan jenisnya. Maka di sini ada dua persoalan. Pertama, jika barang itu dijual dengan barang yang tidak sepakat dalam illat riba, misalnya menjual barang makanan dengan salah satu mata uang maka tidaklah ada riba padanya. Kedua, jika seseorang menjual dengan barang yang sepakat dalam sifat (illat) riba tetapi tidak sejenis, seperti menjual dirham dengan dinar (menjual uang perak dengan emas) atau menjual makanan dengan makanan lain yang tidak sejenis maka menjualnya boleh berlebih atau berkurang. Hanya disyariatkan padanya “kontan sama kontan dan timbang terima di majelis akad.”31

Jual beli barang yang sejenis yang didalamnya terkena hukum riba, seperti emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, kurma dengan kurma, agar tidak terkena riba ada 3 syarat:

1. Sepadan, sama timbangannya, dan takarannya, dan sama nilainya. 2. Spontan, artinya seketika itu juga.

3. Saling bisa diserah terimakan.

(27)

Para ulama telah sepakat bahwa riba terdapat pada dua perkara, yakni pada jual beli dan pada penjualan atau pinjaman atau hal lain yang berada dalam tanggungan. Riba pinjaman terbagi dua yaitu riba jahiliyah dan riba utang-piutang,

sedangkan riba jual beli juga terbagi dua yaitu riba fadl dan Nasiah. Pada transaksi jual beli emas ini masuk kepada riba jual beli yaitu jika: a) Riba fadl, yaitu riba dengan pelebihan pembayarannya atau tambahan

dalam salah satu baarang yang dipertukarkan. Illat-nya menurut ibnu Taimiyyah yang dikutip oleh Saleh Al-Fauzan adalah takaran atau timbangan. Makna “pelebihan pembayarannya” adalah tidak sama ukurannya, contohnya:

1) menukar satu bakul kurma jenis ajwah dengan 2 bakul kurma jenis sukari dengan cara tunai.

2) Menukar 100 gram emas baru dengan 200 gram emas dengan cara tunai

3) Menukar Rp.10.000,- kertas dengan Rp.9800,- logam dengan cara tunai.

b) Riba nasi‟ah yaitu menukar harta riba dengan harta riba yang „illat-nya (alasannya) sama dengan cara tidak tunai,

(28)

(2) Maksud “tidak tunai” transaksi serah terima kedua barang dilakukan pada saat yang tidak sama, contohnya:

(a) Menukar 1 ember kurma dengan 1 ember gandum dengan

Terdapat perbedaan pandangan antara para ulama mazhab tentang jual beli emas secara tidak tunai, ada yang mengharamkan dan ada pula yang membolehkan, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Ulama yang Tidak Membolehkan Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai Para ulama yang mengharamkan jual beli emas secara tidak

“Aku mendengar Rasulullah Saw melarang emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bulat ditukar dengan gandum bulat, gandum panjang ditukar dengan gandum panjang, kurma ditukar dengan kurma, ditukar dengan garam dan harus serupa dan sama ukurannya serta tunai. Apabila jenisnya berbeda, maka juallah semau kalian dengan

(29)

Benda-benda yang diharamkan riba yang dinashkan dengan

ijma‟ ada enam, yaitu: emas, perak, gandum, sya‟ir, kurma, dan garam,

akan tetapi illat emas dan perak berbeda dengan yang lainnya. Menurut Malik danSyafi‟i dikarenakan illat barang itu dijadikan patokan harga dan benda-benda tersebutlah yang hanya bisa disamakan dengan uang.32

Menurut Imam Syafi‟ illat keharaman yang demikian hanya

dengan emas dan perak saja. Jika melakukan jual beli atasnya mesti diterima masing-masing sebelum berpisah. Dan pendapat ini disetujui Imam Malik.

Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa illat keharaman menjual emas dengan emas dan perak dengan perak secara tidak tunai ialah benda-benda itu adalah benda-benda yang di timbang, di samping kesamaan jenisnya dan haram terhadap empat jenis barang lainnya pula karena benda-benda itu benda-benda yang disukai dan sama hukumnya. Dalil mereka adalah banyaknya isyarat tentang itu dalam Al-Quran, diantaranya :

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (1), (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi (2), dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi (3).33 (QS Al- Mutafiffin 1-3)

32

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum 33

(30)

2. Ulama yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai

Boleh jual dan perak yang telah di buat atau disiapkan untuk dibuat dengan angsuran. Pada saat ini dimana keduanya tidak lagi diperlakukan sebagai media pertukaran di masyarakat dan keduanya telah menjadi barang (sil‟ah) sebagaimana barang lainnya yang diperjual belikan dengan pembayaran tunai dan tangguh.

Para ulama yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai sebagaimana disebutkan dalam fatwa DSN MUI diantaranya Ibnu

Qayyim, Ibnu Taimiyah dan Syekh Ali Jumu‟ah, mufti Mesir. Dalil

yang digunakan oleh mereka adalah hadis Nabi Saw :

ََْذنا إُْعِْٛجَت َلا

بَغ بَُِْٓي إُْعِجَت َلأَ ٍمْثًِِث ًلاْثِي َّلاِإ ِتََْذنبِث َت

ٍضِج بَُِث بًجِئ

“ Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan ukuran yang sama, dan janganlah menjual emas yang

gha‟ib (tidak diserahkan saat itu) dengan emas yang tunai.”(HR. Bukhari).

Menurut Syekh Ali Jumu‟ah yang dikutip dalam fatwa, emas

dalam hadis ini mengandung „illat yaitu bahwa emas dan perak merupakan media pertukaran dan transaksi di masyarakat dahulu. Ini dikaitkan dengan dengan kaidah ushul :

ُىْكُحنَا

بًيَدُٕجُٔ ِِّتَّهِع َعَي ُسُْٔذَٚ

“Hukum berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya

‟illat.”

(31)

baik ada maupun tiada. Atas dasar itu, maka tidak ada larangan syara‟ untuk menjualbelikan emas yang telah di buat atau disiapkan untuk di buat dengan angsuran.

Selanjutnya dalam fatwa DSN MUI mengutip pendapat Ibnu

Taymiyah yaitu,“ Boleh melakukan jual beli perhiasan dari emas dan perak dengan jenisnya tanpa syarat harus sama kadarnya (tamatsul), dan kelebihannya dijadikan sebagai kompensasi atas jasa pembuatan perhiasan, baik jual beli itu dengan pembayaran tunai maupun dengan pembayaran tangguh, selama perhiasan tersebut tidak dimaksudkan sebagai harga (uang).”

Selanjutnya kutipan dari Ibnu Qayyim lebih lanjut menjelaskan,

(32)

tidak ada larangan untuk memperjualbelikan perhiasan emas dengan jenis

yang sama.

d. Pegadaian Syariah

1. Pengertian Pegadaian Syariah

Pegadaian syariah berasal dari prinsip islam yang di kenal dengan sebutan Rahn, yang berarti tetap atau lama. Dengan kata lain, penahanan suatu barang dalam jangka waktu tertentu. Menurut beberapa mazhab Rahn berarti perjanjian penyerahan harta oleh pemiliknya dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruh maupun sebagian. Penyerahan jaminan tersebut tidak harus bersifat actual (berwujud), namun yang terlebih penting penyerahan itu bersifat legal misal sertifikat atau surat bukti kepemilikan yang sah.

Menurut mazhab Syafi‟i dan hambali Rahn adalah harta yang dijadikan

jaminan tersebut tidak termasuk manfaatnya.

Gadai syariah adalah produk jasa berupa pinjaman menggunakan sistem gadai dengan berlandaskan prinsip-prinsip syariat islam, yaitu antara lain tidak menentukan tarif jasa dari besarnya uang pinjaman. 2. Landasan hukum gadai

Sebagaimana halnya institusi yang berlabel syariah, maka landasan konsep pegadaian syariah juga mengacu pada syariah islam yang bersumber dari Al Quran dan Al Hadis. Adapun landasan yang digunakan adalah

(33)

Ayat Al Qur‟an yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.34(Qs. Al Baqarah :283) b. Sunah makanan dengan menggadaikan baju besi”. (HR Bukhari dan Muslim).35

3. Ketentuan Umum Gadai

a) Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan barang sampai semua utang rahin (yang menyerakan barang) dilunasi b) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prisip

marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin

34

Departemen Agama Ri. Al Quran, 49. 35Syafe‟i,

(34)

dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya

c) Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin

d) Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman

e) Penjualan marhun.

f) Apabila jatuh tempo murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi hutangnya.

g) Apabila rahin tetap tidak melunasi hutangnya maka marhun tetap dijual paksa atau dieksekusi.

h) Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

i) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin

4. Produk Pegadaian Syariah

a. Rahn adalah skema pinjaman untuk memenuhi kebutuhan dana bagi masyarakat dengan sistem gadai sesuai syariah

(35)

c. Amanah adalah Pembiayaan amanah dari pegadaian syariah adalah pembiayaan berprinsip syariah kepada pegawai negeri sipil dan karyawan swasta untuk memiliki motor atau mobil dengan cara angsuran.

d. Logam Mulia adalah produk yang berfungsi untuk melayani investasi jangka panjang untuk nasabah.

5. Akad Perjanjian Gadai a) Akad Al-Qardhul Hasan

Akad ini dilakukan pada kasus nasabah yang ingin menggadaikan barangnya untuk kebutuhan konsumtif. Dengan demikian nasabah (rahin) akan memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian atau

murtahin yang telah menjaga atau merawat barang gadai (marhun)

b) Akad Al-Mudharabah

Akad dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha (pembiyaan investasi dan modal kerja) atau untuk usaha yang bersifat produktif. Dengan demikian rahin akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan kepada murtahin sesuai kesepakatan, sampai modal yang dipinjam

terlunasi.36

c) Akad Bai Al-Muqayadah

Akad ini dapat dilakukan jika rahin (nasabah) yang menginginkan menggadaikan barangnya untuk keperluan produkif, artinya dalam

36

(36)

menggadaikan, rahin tersebut menginginkan modal kerja berupa pembelian barang, sedangkan barang jaminan yang dapat dijaminkan untuk akad ini adalah barang-barang yang dapat dimanfaatkan atau tidak dapat dimanfaatkan oleh rahin atau murtahin. Dengan demikian, murtahin akan memberikan barang yang sesuai denga keinginan rahin atau rahin akan memberikan mark up kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan pada saat akad berlangsung sampai batas waktu yang telah ditentukan.37

6. Tugas Pegadaian Syariah

Perusahaan umum pegadaian adalah satu-satunya badan usaha resmi di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1150.

Tugas pokok pegadaian adalah memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai. Agar masyarakat tidak dirugikan oleh lembaga keuangan informal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari masyarakat.

37

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik final meliputi: 1) proses pengembangan Buku Ajar Guru berbasis pendekatan saintifik pada Mata

Kedua, peran Kodim 0614 dalam penanggulangan bencana banjir di Kota Cirebon dilaksanakan sesuai manajemen bencana dengan memberikan perbantuan kepada pemerintah daerah

Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis, maka diperoleh simpulan bahwa terdapat pengaruh penerapan media macromedia flash terhadap hasil belajar

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa efektivitas pembelajaran adalah ketepatgunaan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan dan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan aktivitas belajar dan hasil belajar matematika siswa kelas IX A SMP Negeri 3 Ceper

Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel Lingkungan kerja (X) secara tidak langsung berpengaruh secara signifikan terhadap variabel Kinerja Karyawan (Y) melalui

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna karena berhubungan dengan faktor jumlah rokok yang di konsumsi orangtua atau anggota keluarga balita

Penggambaran profil respon melalui contour plot super imposed yang mencakup seluruh respon yang diharapkan, menghasilkan suatu area kondisi optimum untuk proses pencampuran