• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI MERRIK LENGKAAN ( PEMBERIAN LANGKAHAN) DALAM PERNIKAHAN DI DESA PESANGGRAHAN KECAMATAN KWANYAR KABUPATEN BANGKALAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI MERRIK LENGKAAN ( PEMBERIAN LANGKAHAN) DALAM PERNIKAHAN DI DESA PESANGGRAHAN KECAMATAN KWANYAR KABUPATEN BANGKALAN."

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

PERNIKAHAN DI DESA PESANGGRAHAN KECAMATAN

KWANYAR KABUPATEN BANGKALAN

SKRIPSI

Oleh :

ACHMAD FAWAIZ NIM : C31211112

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga Islam

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi Ini Adalah Hasil Penilitian Lapangan/Studi Kasus Dengan Judul “

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Merrik Lengkaan (Pemberian

Langkahan) Dalam Pernikahan di Desa Pesanggrahan Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan Bertujuan Untuk Menjawab Pertanyaan Mengapa

Pelaksanaan Tradisi Merrik Lengkaan (Pemberian Langkahan) Dalam

Pernikahan di Desa Pesanggrahan Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan

Dan Bagaimana Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Merrik Lengkaan

(Pemberian Langkahan) Dalam Pernikahan di Desa Pesanggrahan Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan.

Data Penelitian Dihimpun Melalui Wawancara,Observasi, Dan Dokumentasi Selanjutnya Dianalisis Dengan Tekhnik Analitik Deskriptif

Dengan Menggunakan Pendekatan ‘Urf Yakni Menilai Realita yang Terjadi

dalam Masyarakat, Apakah Ketentuan Masyarakat Tersebut Sesuai Atau Tidak dalam Pandangan Hukum Islam.

Berdasarkan Hasil Analisis Hukum Islam Terhadap Data Hasil Penelitian,

Maka Dapat Disimpulkan Bahwa Tradisi Merrik Lengkaan (Pemberian

Langkahan) Dalam Pernikahan di Desa Pesanggrahan Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan Adalah Sebuah Tradisi Yang Turun Menurun Yang Dianut Oleh Masyarakat Bahwasanya Jika Ada Adik Ingin Menikah dan Masih Mempunyai Kakaknya Diatasnya Maka Diharuskan Merrik Lengkaan. Mengapa karena ada faktor kepercayaan adat yang masih kuat, memperkuat hubungan personal antara adik yang melangkahi dengan kakak yang dilangkahi, dan Juga

Dilihat Dari Hukum Islam Dan ‘Urf Termasuk Kategori ‘Urf Shahih Jika

Permintaan Sang Kakak Tidak Memberatkan Si Adik Dan Termasuk ‘Urf Fasid

Jika Meminta Tidak Sesuai Dengan Kemampuan Si Adik Sehingga Memberatkan Si Adik.

Sejalan Dengan Kesimpulan Diatas Maka Kepada Masyarakat Dihimbau

dan Disarankan Ditetapkannya Merrik Lengkaan (Pemberian Langkahan)

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 5

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Kajian Pustaka ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Kegunaan Penelitian ... 9

G. Definisi Operasional ... 9

H. Metodologi Penelitian ... 10

I. Sistimatika Penelitian ... 15

BAB II TINJAUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM DAN ‘URF ... 16

A. Perkawinan Dalam Islam ... 16

1. Pengertian Perkawinan ... 16

2. Dasar Hukum Perkawinan ... 19

3. Rukun Dan Syarat Perkawinan ... 21

4. Hibah . ... 32

B. ’’urf ... 40

1. Pengertian ’’urf ... 40

(8)

3. Kehujjahan ’’urf ... 44

BAB III TRADISI MERRIK LENGKAAN DALAM PERNIKAHAN DI DESA PESANGGRAHAN KECAMATAN KWANYAR KABUPATEN BANGKALAN ... 48

A. Deskripsi Wilayah ... 48

1. Keadaan Geografis ... 48

2. Keadaan Demografis ... 49

3. Keadaan Agama ... 50

B. Tradisi Merrik Lengkaan dalam Pernikahan di Desa Pesanggrahan Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan ... 50

1. Pengertian Tradisi Merrik Lengkaan Dalam Pernikahan Di Desa Pesanggrahan Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan ... 50

2. Praktek Tradisi Merrik Lengkaan Dalam Pernikahan Di Desa Pesanggrahan Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan ... 52

3. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Merrik Lengkaan Dalam Pernikahan Di Desa Pesanggrahan Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan ... 54

4. Dampak Bagi yang Melanggar Tradisi Merrik Lengkaan Dalam Pernikahan Di Desa Pesanggrahan Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan ... 56

BAB 1V Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Merrik Lengkaan Dalam Pernikahan Di Desa Pesanggrahan Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan ... 63

1. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Merrik Lengkaan Dalam Pernikahan Di Desa Pesanggrahan Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan ... 63

2. Analisis Hukum Islam terhadap Tradisi Merrik Lengkaan Dalam Pernikahan Di Desa Pesanggrahan Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan ... 67

(9)

A.Kesimpulan...……….74

B.Saran ……….75

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia yang berada di atas permukaan bumi ini pastinya menginginkan kebahagiaan dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi miliknya. Kebahagiaan tidak dapat dicapai dengan mudah tanpa mematuhi peraturan-peraturan yang digariskan oleh agama diantaranya kewajiban individu dalam masyarakat itu saling menunaikan hak dan kewajbannya masing-masing dan salah satu untuk mencapai kebahagiaan itu ialah pernikahan. Sebagaimana dikemukakan di atas islam memandang pernikahan sebagai suatu cita-cita yang sangat ideal pernikahan bukan hanya sebagai persatuan antara laki-laki dan perempuan tetapi lebih daripada itu pernikahan sebagai kontrak social keanekaragaman tugas.

Pernikahan bagi umat manusia adalah suatu yang sangat sacral dan mempunyai tujuan yang sacral pula dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan syariat agama. Pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan hawa nafsu melainkan meraih ketenangan,ketentraman dan sikap saling mengayomi di antara

suami-istri dengan dilandasi cinta dan kasih sayang yang mendalam1.Memang

tak dapat dipungkiri antara pria dan wanita sudah fitrahnya untuk saling mempunyai ketertarikan dan dari ketertarikan tersebut kemudian beranjak

1Mohammad asnawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perdebatan, (Yogyakarta:Darussalam,

(11)

kepada niat suci pernikahan, proses ini mengandung dua aspek yaitu aspek biologis agar manusia itu berketurunan, dan aspek afeksional agar manusiamerasa tenang dan tentram berdasarkan kasih sayang.Dengan cinta dan kasih sayang tidak hanya memungkinkan pasangan tersebut membentuk kehidupan keluarga yang damai dan bahagia, tetapi juga memberi kekuatan yang dibutuhkan untuk mengutamakan nilai-nilai kebudayaan yang lebih tinggi. Al-

Qur’an telah menerangkan sasaran tersebut, bahwa dalam pandanganIslam

konsep perkawinan merupakan konsep cinta dan kasih sayang2.

Agar tujuan dan sasaran dalam pernikahan tercapai, dan mampu mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa

Rahmah3.Maka kemudian harus diperhatikan tentang syarat-syarat tertentunya,

agar tujuan dari disyari’atkannya perkawinan dapat tercapai dantidak menyalahi

aturan yang telah ditetapkan Agama4.

ِِ َنِإ ًةََْْرَو ًةَدَوَم ْمُكَنْ يَ ب َلَعَجَو اَهْ يَلِإ اوُنُكْسَتِل اًجاَوْزَأ ْمُكِسُفْ نَأ ْنِم ْمُكَل َقَلَخ ْنَأ ِهِتاَيآ ْنِمَو

َنوُرَكَفَ تَ ي ٍمْوَقِل ٍتاَيآ َكِلَذ

(

٢١

)

Artinya: ‚Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia ciptakan

pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir‛.5(Q.S.Ar-Ru>m

ayat 21)

2Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet. ke-3, (Jakarta:

BulanBintang, 1993), 25

3Khoiruddin Nasution, Islam dan Relasi Suami Istri (Hukum Perkawinan 1), cet.

ke-1,(Yogyakarta: Tazzafa Academia, 2004), 64

4Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. ke 3, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada ,1998),

56.

(12)

Dengan demikian, perkawinan itu diartikan sebagai perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dan wanita (suami istri) yang mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT di satu pihak dan pihak yang lainnya mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri. Islam dengan jelas pula menerangkan aturan perkawinan, namun aturan perkawinan yang berlaku di dalam masyarakat tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada,dan yang paling dominan adalah dipengaruhi oleh adat istiadat dan budaya dimana masyarakat tersebut berdomisili.

Ketika (hukum) Islam dipraktekkan di tengah-tengahmasyarakat yang memiliki budaya dan adat istiadat yang berbeda seringkali wujud yang ditampilkan tidak selalu sama dan seragam. Pranata-pranata Islam seringkali disesuaikan dengan hukum-hukum adat yang berlaku dimasyarakat yang bersangkutan dengan berbagai ciri khasnya.mengapa itu bisa terjadi?karena itu tidak lepas dari pengaruh dan peranan adat istiadat masyarakat yang berlaku dimana masyarakat itu berada. Adat istiadat masyarakat yang memang dominan dan mempunyai daya ikat yang kuat tentu juga mempunyai pengaruh yang besar pula dalam tingkah laku dan perbuatan masyarakat itu sendiri, dari sini adat tidak hanya sekedar warisan nenek moyang akan tetapi menjadi sebuah peraturan yang memang harus dipatuhi. Keteguhan berdirinya adat istiadat dalam masyarakat setempat telah menyebabkan berlaku sebagai hukum positif yang diakui keabsahanya dengan sanksi pelaksanaan hukum tertentu bagi

(13)

Di Desa PesanggrahanKecamatanKwanyarKabupatenBangkalan ada adat yang memang masih dilaksanakan dan berkembang sampai sekarang. Dalam pelaksanaan pernikahan ketika adik laki-laki akan melaksanakan sebuah pernikahan dan ternyata mempunyai saudara atau saudari di atasnya, atau adik perempuan yang akan melaksanakan pernikahan dan masih mempunyai kakak diatasnya harus memberikan sesuatu barang ataupun uang kepada kakak sebagai syarat dalam pelangkahan pernikahan. Adat memberi sesuatu barang atau pun

uang tersebut biasa disebut dengan adat merrik lengkaan dalam pernikahan dan

jumlahnya tergantung dari permintaan dari kakak yang dilangkahi.

Pemberian ini sifatnya wajib artinya apabila tidak merrik lengkaanakan

menghambat berlangsungnya pernikahan, dengan kata lain pernikahan belum dapat dilaksanakan apabila dari pihak yang melangkahi belum memberikan pemberian suatu barang atau pun uang sebagai syarat dalam pelangkahan pernikahan. Dari sini muncul pokok permasalahan yang membutuhkan analisis

lebih jauh dan mendalam terkait adat merrik lengkaanyang sifatnya adalah

kewajiban Di Desa PesanggrahanKecamatanKwanyarKabupatenBangkalan

ini.Bagaimana sebenarnya status hukum adat memberi lengkaanjika di tinjau

dengan kacamata hukum Islam khususnya yaitu ‘urf.

‘Urfialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah

menjadi tradisinya baik berupa ucapan ataupun perbuatannya dan atau hal

meninggalkan sesuatu juga disebut adat.6 Definisi ini menunjukkan bahwa adat

ini mencakup hal yang cukup luas seperti kebiasaan seseorang dalam

(14)

tidur,makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan-permasalahan yang menyangkut orang banyak yaitu sesuatu yang berkaitan

dengan hasil pemikiran baik dan buruk.7 Sedangkan menurut para ulama us}u>l

fiqh, ‘urf ialah kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.8

Dengan menggunakan dalil shar’iyah berupa ‘urf ini, maka akan diteliti

lebih lanjut keabsahan praktik merrik lengkaandalam pernikahan yang terjadi di

Desa PesanggrahanKecamatanKwanyarKabupatenBangkalan. Oleh sebab itu

peneliti mengangkat penelitian skripsi ini dengan judul ‚ Tinjauan Hukum Islam

terhadap tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan di Desa

PesanggrahanKecamatanKwanyarKabupatenBangkalan‛.

B. Identifikasi dan batasan masalah

Dari latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka dapat ditulis identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Perkawinan dalam hukum islam

2. Rukun dan syarat perkawinan dalam hukum islam

3. Peminangan dan pertunangan dalam pernikahan

4. Tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan didesa Pesanggrahankecamatan

KwanyarkabupatenBangkalan

5. Faktor yang melatar belakangi Tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan

didesa Pesanggrahankecamatan KwanyarkabupatenBangkalan.

6. Dampak bagi yang melanggar

7 Nasroen Harun, Us}u>l Fiqh I, (Jakarta: Logos,1996), 138.

8 Ahmad Fahmi Abu Sunnah, al ‘Urf wa al ‘Adah fīRa’yi al-Fuqaha> (Mesir: Da>r al Fikri al

(15)

7. Konsep ‘urf

Melihat luasnya pembahasan tentang tradisi larangan nikah dalam identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi masalah dalam pembahasan ini, dengan:

1. Pelaksanaan tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan di desa

Pesanggrahankecamatan Kwanyar kabupatenBangkalan

2. Tinjauan hukum islam terhadap tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan di

desa Pesanggrahan kecamatan Kwanyar kabupatenBangkalan

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah pokok dalam penelitian ini, yaitu:

1. Mengapa tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan di desa

Pesanggrahankecamatan Kwanyar kabupatenBangkalan ditaati sampai sekarang?

2. Bagaiamana tinjauan hukum islam terhadap tradisi merrik lengkaan dalam

pernikahan di desa Pesanggrahankecamatan Kwanyar kabupatenBangkalan?

D. Kajian Pustaka

Skripsi silfi Listiani yang berjudul ‚Tinjauanhukum Islammengenai tradisi

pemberian almari oleh suami kepada istridalam pernikahan (Studi Kasus di

DesaBuko Kecamatan Wedung Kabupaten Demak Jawa tengah)‛ disini

dijelakantentang kesepakatan anatara pihak laki-laki dan pihak perempuan

(16)

diberikansuami kepada istrisebagaitradisi pemberian wajib almari oleh suami

kepada istridalam pernikahan.9

Skripsi huzairi yang berjudul‛ tinjauan hukum islam terhadap tradisi

kewajiban pemberian bereget dalam pernikahan di desa pacentan kecamatan Tanah merah kabupaten.Bangkalan.disini dijelaskan tentang tradisi yang mana

pihak laki-laki memberikan sesuatu kepada pihak perempuan selain mahar.10

Skripsi rusman yang berjudul ‚tinjauan hukum islam terhadap tradisi

pemberian otoritas kepada kiai dalam penentuan pasangan hidup dalam perkawinan di desa klapayan kecamatanSepulu kabupaten.Bangkalan.disini dijelaskan tentang pernikahan seseorang ditentukan oleh kiai tanpa memandang

setuju atau tidaknya karena mereka mentakdzimi otoritas kiai.11

Iqbal, mohtinjauan hukum islam tentang uang panaik (uang belanja) dalam perkawinan adat suku bugis makassar kelurahan untia kecamatanbiringkanaya kota makassar.menjelaskan pemberian uang kepada pihak perempuan sesuai dengan status sosialnya.Tujuan pemberian uang panaik adalah untuk menghargai atau menghormati wanita yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui uang panaik tersebut. Kedudukan uang panaik dalam perkawinan adat tersebut adalah sebagai salah satu pra syarat,

9

Silfi Listiani‚Tinjauan hukum Islam mengenai tradisi pemberian almari oleh suami kepada istridalam pernikahan (Studi Kasus di Desa Buko KecamatanWedung Kabupaten Demak Jawa Tengah‛ (Skripsi—IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2007)

10Huzairi, Moh,‛ tinjauan hukum islam terhadap tradisi kewajiban pemberian bereget dalam pernikahan di desa pacentan kecamatantanah merah kab.bangkalan‛(Skripsi—IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2015)

11Rusman, ‚ tinjauan hukum islam terhadap tradisi pemberian otoritas kepada kiai dalam penentuan pasangan hidup dalam perkawinan di desa klapayan kecamatansepulu kab.

(17)

karena tidak ada uang panaik maka tidak ada perkawinan.Adapun nilai uang panaik sangat ditentukan oleh kedudukan atau status sosial dalam masyarakat, seperti jenjang pendidikan, ekonomi keluarga, kesempurnaan fisik, gadis dan janda, jabatan, pekerjaan dan keturunan. Apabila wanita yang akan dinikahi kaya maka akan banyak pula nilai uang panaik yang akan diberikan calon mempelai

laki laki kepada perempuan tersebut.12

arpa, ahmad muthiee bintinjauan hukum islam terhadap doi menre dalam pernikahan adat bugis di sarawak malaysia.Menjelaskan tentang pemberian

sejumlah uang yang wajib diberikan oleh calon suami kepada pihak keluarga calon istri. Fungsinya adalah digunakan sebagai biaya dalam resepsi perkawinan. Tujuan pemberian Doi Menre adalah untuk menghargai atau menghormati wanita yang ingin dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk

pernikahannya melalui Doi Menre tersebut.13

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini mempunyai tujuan:

1. Mengetahui alasan-alasan tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan di

desaPesanggrahankecamatan KwanyarkabupatenBangkalanditaati sampai sekarang

2. mengetahui hukum islam terhadap tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan

di desa Pesanggrahankecamatan Kwanyar kabupatenBangkalan.

12

iqbal, moh ‚tinjauan hukum islam tentang uang panaik (uang belanja) dalam perkawinan adat suku bugis makassar kelurahan untia kecamatan biringkanaya kota Makassar‛.Skripsi—IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012)

(18)

F. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat, sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal di bawah ini:

1.Aspek teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bagi peneliti selanjutnya dan dapat dijadikan bahan masukan dalam memahami tentang tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan di desa Pesanggrahan kecamatan Kwanyar kabupatenBangkalan Penelitian ini juga diharapkan menambah wawasan

pengetahuan tentang tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan di desa

Pesanggrahan kecamatan Kwanyar kabupatenBangkalan.

2. Aspek Praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat desa Pesanggrahankecamatan KwanyarkabupatenBangkalan tentang tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan

G. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah deretan pengertian yang dipaparkan secara gamblang untuk memudahkan pemahaman dalam skripsi ini, yaitu:

1. Hukum Islam

Hukum Islam adalah peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan

berkaitan dengan pelaksanaan tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan

(19)

syara’14.Hal ini peneliti mengambil hukum Islam secara spesifik mengenai

pengertian, dasar hukum perkawinan, tata cara perkawinandan ‘urf.

2. TradisiMerrik lengkaan dalam pernikahan

Pernikahan ketika adik laki-laki akan melaksanakan sebuah pernikahan dan ternyata mempunyai saudara atau saudari di atasnya, atau adik perempuan yang akan melaksanakan pernikahan dan masih mempunyai kakak diatasnya harus memberikan sesuatu barang ataupun uang kepadanya.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field Research).

Oleh karena itu, data yang dikumpulkan merupakan data yang diperoleh dari lapangan sebagai obyek penelitian. Agar penulisan skripsi ini dapat tersusun dengan benar, maka penulis memandang perlu untuk mengemukakan metode penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut:

1. Data yang dihimpun

Agar dalam pembahasan skripsi ini nantinya bisa dipertanggung jawabkan dan relevan dengan permasalahan yang diangkat, maka penulis membutuhkan data sebagai berikut:

a. Data tentang deskripsi tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan di desa

Pesanggrahan kecamatan KwanyarkabupatenBangkalan.

b. tinjauan hukum islam terhadap tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan di

desa Pesanggrahan kecamatan KwanyarkabupatenBangkalan.

14

(20)

2. Sumber data

Berdasarkan data yang akan dihimpun di atas, maka yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber data primer

Sumber data primer di sini adalah sumber data yang diperoleh

secara langsung dari subyek penelitian15. Dalam penelitian ini sumber

data primer adalah:

1) Keterangan dari tokoh agama di desa

PesanggrahankecamatanKwanyarkabupatenBangkalan antara lain: Bdr Ridwan Mustafa, Ust Moh. Sayuti, Bpk Jazuli Sufyan, Bpk Ahmad Amir Sulton, H. Ach. Hadrawi

2) Keterangan bersangkutan antara lain: Nur Aini, Husni Mubarak, kholiq,

hikmah, Afif, Rizal

b. Sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung

memberikan data kepada pengumpul data16.Adapun sumber data sekunder

dalam penulisan skripsi ini adalahi Hukum Islam DiIndonesia, Ahmad

Rofiq,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqhkarya amir syarifuddin,Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq, fiqihlima mazhab, karya

Muhammad Jawad Mughniyah, H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh

Munakahat Kajian Fiqh Nikah Lengkap, Kaidah-kaidah Us}u>li>yah dan

15

Marzuki, Metodologi Riset, (Yogjakarta: PT. Prasetia Widya Pratama, 2002),56 16

(21)

Fiqhi>yah karya Muchlis Usman,us}u>l fikih karya Nasroen Haroen dan

buku-buku yang menunjang dan relevan dengan pembahasan skripsi ini.

3. Teknik pengumpulan data

merupakan proses yang sangat menentukan baik tidaknya sebuah penelitian. Maka kegiatan pengumpulan data harus dirancang dengan baik dan sistematis, agar data yang dikumpulkan sesuai dengan permasalahan penelitian.Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Wawancara

Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan

secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan17.Apabila

wawancara bertujuan untuk mendapat keterangan atau untuk keperluan informasi maka individu yang menjadi sasaran wawancara adalah informan. Pada wawancara ini yang penting adalah memilih orang-orang yang tepat

dan memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang ingin kita ketahui18.

Di daerah pedesaan umumnya yang menjadi informan adalah pamong desa atau mereka yang mempunyai kedudukan formal. Wawancara dilakukan dengan cara bersilaturahmi dengan tokoh agama dan masyarakat

tentang tradisi tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan di desa

PesanggrahankecamatanKwanyarkabupatenBangkalan.

17

Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Cetakan Kesepuluh (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), 83

18

(22)

b. Pengamatan/observasi

Pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang

diselidiki19Observasi dilakukan Di desa

PesanggrahankecamatanKwanyarkabupatenBangkalan. Objek observasi

yang dilakaukan adalah pertihal tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan

di desa PesanggrahankecamatanKwanyarkabupatenBangkalan.

c. Dokumentasi

Studi dokumen merupakan salah satu sumber untuk memperoleh data dari

buku dan bahan bacaan mengenai penelitian yang pernah dilakukan20.Studi

dokumen ini adalah salah satu cara pengumpulan data yang digunakan dalam suatu penelitian sosial. Pengumpulan data tersebut dilakukan guna memperoleh sumber data primer dan sekunder, baik dari kitab-kitab, buku-buku, maupun dokumen lain yang berkaitan dengan kebutuhan penelitian.

4. Teknik pengolahan data

Dalam pengolahan data, dilakukan dengan cara mengedit data, lalu data yang sudah diedit tadi dikelompokkan dan diberikan pengkodean dan disusun berdasarkan kategorisasi dan diklasifikasikan berdasarkan permasalahan yang dirumuskan secara induktif. Dari data yang sudah diperoleh tersebut

selanjutnya dianalisis secara kualitatif21.

5. Teknik analisis data

19

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 70

20

Soerjono Soekanto, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga (Jakarta: UI-Press,1986), 201

21

(23)

Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap baik tahap selanjutnya adalah analisis data. Seperti halnya teknik pengumpulan data, analisis data juga merupakan bagian yang penting dalam sebuah penelitian. Dengan menganalisis, data dapat diberi arti dan makna yang jelas sehingga dapat digunakan untuk memecahkan masalah dan menjawab persoalan-persoalan yang ada dalam penelitian.

Dalam penelitian kualitatif dalam mendeskripsikan data hendaknya peneliti tidak memberikan interpretasi sendiri. Temuan lapangan hendaknya dikemukakan dengan berpegang pada emik dalam memahami realitas.

Penulisan hendaknya tidak bersifat penafsiran atau evaluatif.22

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik deskriptif dengan menggunakan pola pikir deduktif yaitu pola pikir yang berangkat dari hal-hal yang bersifat umum yakni aturan hukum Islam yang

menjelaskan tentang tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan di desa

PesanggrahankecamatanKwanyarkabupatenBangkalan, lalu aturan tersebut berfungsi untuk menganalisis hal-hal yang bersifat khusus yang terjadi di

lapangan yaitu tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan di desa

PesanggrahankecamatanKwanyarkabupatenBangkalan

I. Sistematika pembahasan

Penulisan Skripsi Ini Di bagi ke dalam Lima Bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa subbab sebagai berikut:

22

(24)

Bab pertama tentang pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Identifikasi dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Definisi Operasional, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

Bab kedua memuat tinjauan umum tentang perkawinan yang meliputi pengertian, dasar hukum, hukum perkawinan, serta tata cara perkawinan, dan urf. Ini merupakan uraian awal yang bertujuan untuk menunjukkan ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat menurut hukum islam secara ideal.

Bab Ketiga, deskripsitradisi merrik lengkaan dalam pernikahan dan deskripsi

tentang wilayah desa PesanggrahankecamatanKwanyarkabupatenBangkalan, sebagai wilayah penelitian yang dilakukan. Diharapkan di wilayah tersebut didapatkan data yang mencukupi dalam penelitian ini.

Bab keempat merupakan kajian analisis. Bab ini berisi tentang analisis

hukum Islam terhadap tradisi merrik lengkaan dalam pernikahan di desa

PesanggrahankecamatanKwanyarkabupatenBangkalan.

(25)

BAB II

PERKAWINAN DALAM ISLAM DAN ‘URF

A. Perkawinan Dalam Islam

1. Pengertian Perkawinan

Kata nikah atau kawin berasal dari bahasa Arab yaitu“حاكنلا‛ dan ‚جاوزلا‛,

yang secara bahasa mempunyai arti ‚ئطولا ‛ (setubuh, senggama)1 dan ‚ مضلا

‛(berkumpul). Dikatakan pohon itu telah menikah apabila telah berkumpul

antara satu dengan yang lain.2Secara hakiki nikah diartikan juga dengan

berarti bersetubuh atau bersenggama, sedangkan secara majazi bermakna

akad.3

Para ahli fikih biasa menggunakan rumusan definisi sebagaimana tersebut

di atas dengan penjelasan sebagai berikut:4

a. Penggunaan lafaz akad (دق ) untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu

adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan. Perkawinan itu dibuat dalam bentuk akad karena ia peristiwa hukum, bukan peristiwa biologis atau semata hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan.

b. Penggunaan ungkapan: ءطولاةحابا مض ي (yang mengandung maksud

membolehkan hubungan kelamin), karena pada dasarnya hubungan laki-laki

1Ahmad Warson Al-Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997) 1461.

(26)

dan perempuan itu adalah terlarang, kecuali ada hal-hal yang

membolehkannya secara hukum shara’. Di antara hal yang membolehkan

hubungan kelamin itu adalah adanya akad nikah di antara keduanya. Dengan demikian akad itu adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu yang asalnya tidak boleh.

c. Menggunakan kata جيوزتواحاكناظفلب , yang berarti menggunakan lafaz na-ka-h}a

atau za-wa-ja mengandung maksud bahwa akad yang membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan itu mesti dengan menggunakan kata na-ka-h{a dan za-wa-ja, oleh karena dalam Islam di samping akad nikah itu ada lagi usaha yang membolehkan hubungan antara laki-laki dengan perempuan itu, yaitu pemilikan seorang laki-laki atas

seorang perempuan atau disebut juga ‚perbudakan‛. Bolehnya hubungan

kelamin dalam bentuk ini tidak disebut perkawinan atau nikah, tapi

menggunakan kata ‚tasarri‛.

Abu Zahrah mengemukakan definisi nikah, yaitu akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara kedua orang yang berakad sehingga

menimbulkan hak dan kewajiban yang datangnya dari shara’. 5

Sedangkan di dalam Ensiklopedi Hukum Islam, disebutkan bahwa nikah merupakan salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia pertama di atas bumi

(27)

dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya.6

Perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mi>tha>qan ghali>z}a> dan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan

wanita untuk mentaati perintah Allah dan siapa yang melaksanakannya adalah merupakan ibadah, serta untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

saki>nah,mawaddah warahmah.7

Kemudian Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan pengertian nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan melakukan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan

memberikan batasan bagi pemiliknya serta peraturan bagi masing-masing.8

Ulama’ h{anafiyah memberikan pengertian nikah adalah akad yang

memberikan faedah dimilikinya kenikmatan dengan sengaja, maksudnya adalah untuk menghalalkan seorang laki-laki memperoleh kesenangan

(istimta>‘) dari wanita, dan yang dimaksud dengan memiliki di sini adalah

bukan makna yang hakiki.9Definisi ini menghindari kerancuan dari akad jual

beli (wanita), yang bermakna sebuah akad perjanjian yang dilakukan untuk

memiliki budak wanita.10

6 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 3, (Jakareta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet.

1, 1996) 1329.

7 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Buku Aksara, 1996) 14. 8Hasbi Ash-Shidieqi, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975) 96. 9Abdurrahman Al-Jaziri, Al Fiqh ‘Ala> Madh>ahib Al-‘Arba’ah..., 8.

(28)

Sedangkan menurut ulama sya>fi‘iyah, nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau tajwiz

atau semakna dengan keduanya.11

Ulama ma>likiyah mendefinisikan pernikahan adalah akad perjanjian untuk

menghalalkan meraih kenikmatan dengan wanita yang bukan mahram, atau

wanita maju>siyah, wanita Ahli kitab melalui sebuah ikrar.12Ulama hanabilah

berkata, akad pernikahan maksudnya sebuah perjanjian yang didalamnya,

terdapat lafaz nikah atau tajwi>z atau terjemahan (dalam bahasa lainnya) yang

dijadikan sebagai pedoman.13

Dapat diperhatikan dalam definisi-definisi ini, bahwa semuanya mengarah pada titik diperbolehkannya terjadinya persetubuhan, atau dihalalkannya memperoleh kenikmatan (dari seorang wanita) dengan lafaz tertentu.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian nikah

adalah perjanjian yang bersifat shar‘i yang berdampak pada halalnya seorang

(lelaki atau perempuan) memperoleh kenikmatan dengan pasangannya berupa

berhubungan badan dan cara-cara lainnya dalam bentuk yang disyari’atkan,

dengan ikrar tertentu secara disengaja.

2. Dasar Hukum Perkawinan

Perkawinan itu sangat penting sekali kedudukannya sebagai dasar pembentukan keluarga sejahtera, di samping melampiaskan seluruh cinta yang sah. Itulah sebabnya dianjurkan oleh Allah SWT dan junjungan kita Nabi

11abdurrahman Al-Jaziri, Al Fiqh ‘Ala> Madhahib Al-‘Arba’ah..., 8. 12Yusuf Ad-Duraiwisy, Nikah Sirri..., 17.

(29)

Muhammad SAW untuk menikah.14Diantara dasar hukum dianjurkannya perkawinan adalah sebagai berikut:

a. Q.S. Ar-Ru>m ayat 21

َ ِلَ ِ َ ِإ ًةََْْرَو ًةَدَوَم ْمُكَ ْ يَ ب َلَعَجَو اَهْ يَلِإ اوُ ُكْ َ ِل اًجاَوْزَأ ْمُكِ ُفْ نَأ ْنِم ْمُكَل َقَلَخ ْ َأ ِهِتاَيآ ْنِمَو

َ وُرَكَفَ َ ي ٍ ْوَقِل ٍتاَي

.

Artinya: ‚Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.‛15

b. Q.S. An-Nu>r ayat 32

اوُحِكْنَأَو

ىَماَيأا

ْمُكْ ِم

َ ِِااَللاَو

ْنِم

ْمُ ِداَبِ

ْمُكِااَمِإَو

ْ ِإ

اوُنوُكَي

َءاَرَقُ

ُمِهِ ْ ُ ي

ُهَللا

ْنِم

ِهِلْضَ

ُهَللاَو

ٌعِساَو

ٌميِلَ

Artinya:‚Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan

orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha

Mengetahui.‛16

c. Q.S. Yasin ayat 36

َ اَحْبُس

يِ َلا

َقَلَخ

َااَوْزأا

اَهَلُ

اَِِ

ُ ِبْ ُ ت

ُ ْرأا

ْنِمَو

ْمِهِ ُفْ نَأ

اََِِو

ا

َ وُمَلْعَ ي

14 Haya Binti Mubarok AlBarik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, (Jakarta: PT Darul Falah, 2010)

97-98.

15Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan terjemahnya, (Bandung: Syamil Cipta Media, 2006),

406.

(30)

Artinya:‚Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri

mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.‛17

d. Rasulullah SAW bersabda :

ِهَللا ِدْبَ ْنَ

لاَق

:

َااَطَ ْسا ْنَم ِباَبَللا َرَلْعَم اَي َمَلَسَو ِهْيَلَ ُهَللا ىَلَ ِ َ لا اَ َل َلاَق

ْمُك ِم

َةَءاَبْلا

ٌءاَجِو ُهَل ُهَنِ َ ِ ْوَللاِب ِهْيَلَعَ ْعِطَ ْ َي َْ ْنَمَو ِاْرَفْلِل ُنَلْحَأَو ِرَلَبْلِل َ َأ ُهَنِ َ ْاَوَزَ َيْلَ

Artinya : ‚Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: telah berkata kepada kami

Rasulullah SAW, : ‚Hai sekalian pemuda, barangsiapa yang

telah sanggup di antara kamu kawin, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (kepada yang dilarang oleh agama) dan memelihara kehormatan. Dan barangsiapa yang tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa. Maka

sesungguhnya puasa itu adalah perisai baginya‛.18

3. Rukun dan syarat pernikahan

Berkaitan dengan rukun dan syarat perkawinan ini, Amir Syarifudin menyatakan, kedua hal tersebut menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam hal suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syarat perkawinan tidak boleh tertinggal,

dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.19

Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur

17Ibid., 442.

18 Abu Al-Hasan Nuruddin Muhammad bin Abd Al-Hadi Al-Sindi, S}ahih Bukha>ri bi Al- Hasiyah Imam Al-Sindi Jilid 3 , (Beirut Lebanon : Daar Al-Kitab Al-Ilmiyah, 1971) 422.

(31)

yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.

a. Syarat perkawinan

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan

menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban.20

Secara garis besar syarat sahnya perkawinan dibagi menjadi dua yaitu yang pertama adalah halalnya seorang wanita bagi calon suami yang akan menjadi pendampingnya. Artinya tidak diperbolehkan wanita yang hendak dinikahi itu berstatus sebagai muhrimnya, dengan sebab apapun, yang mengharamkan pernikahan di antara mereka berdua, baik itu bersifat sementara maupun selamanya. Syarat kedua saksi yang mencakup hukum

kesaksian dan kesaksian dari wanita yang bersangkutan.21

Menurut Abu Zahrah dalam kitabnya al-Ah}wa>l as-Shakhsiyah, membagi

syarat-syarat perkawinan ini dalam 3 macam yaitu:

Pertama, syarat sah adalah syarat-syarat yang apabila tidak dipenuhi,

maka akad itu dianggap tidak ada oleh shara’. Yang mana dari akad itu

timbul hukum-hukum yang dibebankan oleh shara’. Kedua, syarat

20 Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat..., 49.

21 Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqh Wanita, (Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, Jakarta:

(32)

pelaksanaan yaitu syarat-syarat yang bila tak ada, maka tidak ada hukum apa-apa tiap-tiap orang yang berakad. Ketiga, syarat keberlangsungan yaitu syarat yang kedua pihak tidak memerlukan akad apabila tidak ada syarat-syarat tersebut.22

Syarat sah nikah (Syarat S}ih}hah) : hadirnya para saksi. Saksi tersebut

minimal dua orang laki-laki dan dua wanita yang baligh{, berakal, merdeka, mendengar dan memahami ucapan dua pihak yang berakad, beragama Islam. Kemudian calon istri adalah wanita yang bukanlah mahram si lelaki.

Baik mahram abadi maupun sementara.23

Syarat terlaksananya akad nikah (Syarat Nafaz). Demi terlaksananya akad

nikah, orang yang mengadakannya haruslah orang yang mempunyai kekuasaan mengadakan akad nikah. Jika orang yang mengurusi akad mempunyai kecakapan yang sempurna dan mengakadkan dirinya sendiri, maka akad tersebut sah dan dapat diberlakukan. Demikian halnya jika dia mengadakan akad bagi orang di bawah kekuasaannya, atau orang yang

mewakilkan penyelenggaraan akad kepada dirinya.24

Mayoritas fuqaha>’ menyatakan bahwa wanita tidak dapat mengakad

nikahkan dirinya sendiri. Akad nikah tidak bisa terjadi dengan ungkapan wanita, meskipun wali tidak mempunyai hak memaksa dirinya. Wanita dan

22 Abu Zahrah, Al-Ah}wal Al-Shakhsiyah..., .58. 23Ibid., 58.

(33)

walinya bekerja sama memilih dan memilah calon suami. Namun wali dari

wanita itulah yang akan mengakadkan akad nikah.25

Syarat keberlangsungan nikah (Syarat Luzu>m). Pada dasarnya akad nikah

adalah akad yang berlangsung terus menerus. Tidak boleh membatalkan akad tersebut secara sepihak. Dalam artian tidak boleh melepaskan akad itu dari asalnya, melainkan perbuatan menghentikan hukum-hukum akad nikah. Talak merupakan salah satu hak yang dimiliki suami sebagai konsekuensi dari terjadinya akad nikah.

Akad nikah adalah suatu kewajiban yang mengharuskan keberlangsungan.

Karena tujuan shari‘at dari pernikahan tidak akan tercapai tanpa adanya

keberlangsungan nikah itu sendiri. Kehidupan rumah tangga yang baik, pendidikan anak, dan pemeliharaan mereka pasti memerlukan sebuah keberlangsungan jangka panjang. Syarat keberlangsungan nikah (syarat luzu>m) dalam Mazhab hanafi adalah hendaklah wali yang menikahkan

orang yang tidak/ kurang cakap adalah ayah, kakek atau anaknya sendiri. Hendaklah mahar yang diterima wanita dewasa yang menikahkan dirinya

sendiri adalah setara dengan mahar mithil (yang berlaku umum). Wanita

dewasa yang berakal hendaknya tidak menikahkan dirinya dengan orang

yang sekufu’. Hendaknya jangan sampai ada penipuan status kafa>‘ah dalam

akad yang tersimpan berlarut-larut.26

(34)

Dalam permasalahan syarat pernikahan Ulama fuqaha’ berselisih pendapat. Perselisihan itu terjadi karena perbedaan pola pikir mereka dan

dasar hukum yang mereka gunakan. 27

a. Menurut hanafiyah, syarat pernikahan berkaitan dengan s}i>ghat, dua

orang yang berakad (suami istri) dan persaksian. Adapun penjelasan secara rinci sebagai berikut:

1) S}i>ghat (ijab kabul)

Ijab dan kabul dianggap sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

a) Menggunakan redaksi-redaksi khusus yang mengandung ungkapan

menikah, baik sarih (inkah, tajwi>z) dan kina>yah

b) Ijab dan kabul berada dalam satu majlis

c) Antara ijab dan kabul tidak ada perbedaan yang signifikan

d) Ucapan s}i>ghat dapat didengar oleh kedua orang yang berakad yaitu

wali dan mempelai pria

e) S}i>ghat perkawinan tidak mengisyaratkan adanya batasan waktu.

Karena yang demikian adalah termasuk nikah mut‘ah

2) Dua orang yang berakad (suami dan istri)

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai yang akan melangsungkan perkawinan adalah berakal, baligh, merdeka, calon istri halal untuk dinikahi serta calon istri dan suami telah diketahui identitasnya.

(35)

3) Persaksian

Syarat-syarat saksi dalam perkawinan adalah berakal, baligh,

merdeka, Islam dan mampu mendengar s}i>ghat akad dari wali dan

suami.

b. Sha>fi‘iyah. Syarat-syarat perkawinan menurut Imam Syafi‘i berkaitan

erat dengan s}i>ghat, wali, dua mempelai dan saksi masing-masing

dijelaskan pada uraian di bawah ini.

1) S}i>ghat

Beberapa syarat sah s{igat pernikahan yaitu:

a) Tidak ada ta‘lik

b) Menggunakan kata tajwi>z, inka>h atau mushtaq dari keduanya

2) Wali

Syarat-syarat wali dalam perkawinan adalah:

a) Atas kemauan sendiri (tidak ada paksaan dari orang lain)

b) Berjenis kelamin laki-laki

c) Masih berstatus mahram dengan mempelai perempuan

d) Baligh

e) Berakal

f) Adil

g) Tidak dalam kendali atau kekuasaan orang lain (mahjur ‘alaih)

h) Penglihatan masih normal

(36)

j) Bukan budak

3) Suami

Pernikahan seorang pria akan sah apabila memenuhi ketentuan-ketentuan berikut:

a) Tidak ada hubungan mahram dengan calon istri baik dari garis

nasab, rad}a‘, musha>harah

b) Tidak dipaksa

c) Identitasnya jelas

4) Istri

a) Tidak ada hubungan mahram dengan calon suami

b) Identitasnya jelas

c) Terbebas dari hal-hal yang menghalanginya untuk menikah.

Seperti: mahram, telah bersuami, dalam keadaan idah, dan lain sebagainya.

5) Dua saksi

a) Bukan dua orang hamba sahaya

b) Bukan dua orang wanita

c) Bukan dua orang yang fasik

c. Menurut hanabilah syarat perkawinan dibagi menjadi lima, yaitu:

1) Dua calon mempelai yang jelas.

Artinya baik calon suami maupun istri harus disebutkan nama atau

(37)

dan kesamaran. Adapun redaksi akadnya menggunakan lafaz inka>hatau tajwi>z. Selain itu juga disyari’atkan antara ijab dan kabul tidak ada

jeda waktu yang lama.

2) Pilihan dan rela.

Orang yang telah dewasa dan berakal walaupun seorang budak, apabila berkeinginan untuk menikah, maka dia tidak boleh dipaksa oleh siapapun. Dia memutuskan menikah atas kemauan hati nuraninya sendiri.

3) Wali.

Dalam masalah wali, hanabilah mensyaratkan tujuh perkara. Yaitu

laki-laki, berakal, baligh, merdeka, It-tifa>q Ad-Di>n (persamaan

agama), cerdas dan berkomitmen untuk berbuat baik terhadap perkawinan.

4) Persaksian.

Shaha>dah (persaksian) dalam perkawinan akan dihukumi sah

apabila datang dua pria muslim, balighh, berakal, adil, maupun berbicara dan mendengar dengan baik.

5) Calon istri terbebas dari hal yang menghalangi mereka untuk

menikah.

d. Menurut ma>likiyah seluruh rukun nikah juga termasuk syarat nikah.

Masing-masing rukun mempunyai syarat-syarat tertentu sebagai berikut:

(38)

Ijab kabul harus berupa lafaz yang menunjukkan kata nikah,

seperti inka>h dan tajw>iz. Khusus lafaz hibah harus disertai

penyebutan mas kawin. Antara ijab dan kabul juga tidak boleh ada sela waktu yang lama. Kecuali dalam pernikahan yang diwasiatkan.

Artinya apabila ada seorang dengan si Fulan‛, ucapan ini dianggap

sah. Dan orang yang diberi wasiat tidak harus menjawabnya seketika itu. Selain dua syarat di atas, juga ada dua syarat lagi, yaitu tidak boleh ada batas waktu dan perkawinannya tidak boleh digantungkan dengan sebuah syarat.

2) Wali

Syarat-syarat wali dalam perkawinan menurut Malikiyah, yaitu

laki-laki, balighh, tidak dalam keadaan ihram, bukan nonmuslim, bukan orang yang bodoh, tidak fasik.

3) Mahar

Dalam hal mahar disyaratkan berupa barang yang boleh dimiliki

secara shara’. Dengan demikian arak, babi, anjing, bangkai, dan

daging qurban tidak boleh dijadikan mahar untuk calon istri. Namun

jika itu terjadi, maka nikahnya akan rusak apabila belum dukhu>l dan

harus memberikan mahar mithil apabila sudah melakukan jima>‘.

4) Persaksian

(39)

5) Suami istri

a) Terbebas dari hal-hal yang menghalanginya untuk menikah,

seperti dalam keadaan ihram

b) Calon mempelai perempuan tidak berstatus istri orang lain

c) Calon istri tidak dalam keadaan bodoh

d) Calon suami dan istri tidak ada hubungan mahram, baik nasab,

rad}a‘, maupun musa>harah.

b. Rukun Perkawinan

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:28

a) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.

Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama

perempuan.29Allah SWT berfirman dalam surat An-Nu>r ayat 32 :

ُهَللاَو ِهِلْضَ ْنِم ُهَللا ُمِهِ ْ ُ ي َءاَرَقُ اوُنوُكَي ْ ِإ ْمُكِااَمِإَو ْمُ ِداَبِ ْنِم َ ِِااَللاَو ْمُكْ ِم ىَماَيأا اوُحِكْنَأَو

ٌميِلَ ٌعِساَو

(

٣٢

)

Artinya:‚Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan

orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha

Mengetahui.‛30

b) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita

28Slamet Abidin dan H.Aminuddin, Fiqh Munakahat I, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999) 64-68. 29 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam…, 64.

(40)

Wali adalah orang yang menyertai, mengatur, menguasai, memimpin atau melindungi. Dalam perkawinan, maksudnya ialah orang yang berkuasa mengurus atau mengatur perempuan yang di bawah

perlindungannya.31

اَِِ اَُرْهَماَهَلَ اَهَ باَ َأ ْ ِ َ ٌلِطاَب اَهُحاَكِ َ ٌلِطاَب اَهُحاَكِ َ ٌلِطاَب اَهُحاَكِ َ َِِوْلا اَهْحِكْ ُ ي َْ ٍةَأَرْما اَ َُأ

ُهَل ََِِو َا ْنَم َِِو ُ اَطْل لاَ اوُرَ َ ْاا ْ ِ َ اَهْ ِم َباَ َأ

Artinya:‚Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka

pernikahannya batal (3x), apabila terjadi baginya mahar dan

sulthan adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali‛.32

c) Adanya dua orang saksi.

Akad perkawinan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari

pihak-pihak yang berakad di belakang hari. 33Hadis{ Nabi SAW:

َا

َااَكِن

َاِا

َِِوِب

ْيَدِاَاَو

ٍلْدَ

Artinya: ‚Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang

saksi‛34

d) S}i>ghat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau

wakilnya dari pihak wanita dan dijawab oleh pengantin pria.

31 M. Thalib, Perkawinan Menurut Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993) 9.

32Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Yazid Al-Quzwayniy, Sunan Ibn Majah (Beirut: Dar Al-Fikr,

2004) 166.

33 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan…, 81-82.

34 Abu ‘Isa Muhammad ‚Isa bin Saurah, Sunan At-Tirmizi Juz 2, (Beirut Lebanon: Dar El-Fikr,

(41)

Ijab adalah ucapan yang keluar lebih awal dari salah seorang yang

melakukan akad, seperti ucapan ayah istri: ‚Aku nikahkan engkau dengan

anak perempuanku Fulanah,‛ atau ucapan suami: ‚Nikahkan aku dengan

anak perempuanmu Fulanah‛, sedangkan yang dimaksud kabul adalah

ucapan yang keluar setelah ijab dari salah seorang yang melakukan akad,

seperti (calon) suami berkata kepada ayah (calon) istri setelah ijab: ‚Aku

terima pernikahan anak perempuanmu,‛ atau ayah (calon) istri berkata

kepada suami setelah ijab: ‚Aku telah nikahkan engkau dengan anak

perempuanku Fulanah‛.35

4. Hibah

a. Pengertian

Kata berasal dari bahasa arab ( بهة ) kata ini merupakan mashdardari kata

( بهو) yang berarti pemberian. Apabila seseorang memberikan harta

miliknya kepada orang lain secara suka rela tanpa pengharapan balasan apapun,hal ini dapat diartikan bahwa si pemberi telah menghibahkan miliknya. Karena itu kata hibah sama artinya dengan pemberian. Hibah dalam arti pemberian juga bermakna bahwa peihak penghibah bersedia melepaskan haknya atas benda yang dihibahkan, hibah merupakan salah satu bentuk pemindahan hak milik jika dikaitkan dengan perbuatan hukum.Jumhur ulama mendefinisikan hibah sebagai akad yang

mengakibatkan pemilikan harta tanpa ganti rugi yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain secara suka rela. Ulama mazhab

(42)

Hambali mendefinisikan hibah sebagai pemilik harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi hibah boleh melakukan sesuatu tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu maupun tidak, bedanya ada dan dapat diserahkan, penyerahannya dilakukan ketika pemberi masih hidup tanpa mengharapkan imbalan. Kedua definisi

itu sama-sama mengandung makna pemberian harta kepada seseorang

secara langsung tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali untuik mendekat kandiri kepada Allah SWT.

Menurut beberapa madzhab hibah diartikan sebagai berikut:36

1. Memberikan hak memiliki suatu benda dengan tanpa ada syarat harus

mendapat imbalan ganti pemberian ini dilakukan pada saat si pemberi masih hidup. Dengan syarat benda yang akan diberikan itu adalah sah milik si pemberi (menurut madzhab Hanafi).

2. Pemberian milik yang dilakukan oleh orang dewasa yang pandai

terhadap sejumlah harta yang diketahui atauyang tidak diketahui namun sulit untuk mengetahuinya. Harta tersebut memang ada dapat diserahkan dengan kewajiban dengan tanpa imbalan ( menurut madzahab hambali)

3. Mamberikan hak sesuatu materi dengan tanpa mengharapkan imbalan

atau ganti. Pemberian semata-mata hanya diperuntukkan kepada orang yang diberinya tanpa mengharapkan adanya pahala dari Allah SWT. Hibah menurut madzhab ini sama dengan hadiah. Apabila pemberian itu

36

(43)

semata untuk meminta ridha Allah dan megharapkan pahalanya. Menurut madzhab maliki ini dinamakan sedekah.

4. Pemberian hanya sifatnya sunnah yang dilakukan dengan ijab dan qobul

pada waktu sipemberi masih hidup. Pemberian mana tidak dimaksudkan untuk menghormati atau memulyakan seseorang dan tidak dimaksudkan untuk mendapat pahala dari Allah karena menutup kebutuhan orang yang

diberikannya. (menurut madzhab syafi’i).37

Dari beberapa definisi ini, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya hibah adalah:

1. Merupakan akad atau perjanjian

2. Pemberian Cuma-Cuma atau pemberian tanpa ganti

3. Banda (barang) yang dihibahkan mempunyai nilai

4. Hibah dapat dilaksanakan oleh seseorang kepada orang lain, oleh

seseorangkepada badan-badan tertentu, juga beberapa orang yang berserikat kepadayang lain.

Definisi hibah diatas hanya merupakan istilah otak makna yang khusus.Adapun hibah dengan maknanya yang umum, meliputi hal-hal berikut:

1. Ibraa' yaitu : menghibahkan hutang kepada orang lain yang berhutang.

2. Sedekah yaitu: menghibahkan atau memberikan sesuatu dengantidak ada

tukarannya karena mengharapkanpahala di akhirat.

(44)

3. Hadiah yaitu : memberikan sesuatu dengan tidak adatukarannya serta

dibawah ketempat yang diberi karena hendak memuliakan.38

b. Dasar-Dasar Hukum Hibah

Hibah sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka kebajikan antar sesama manusia sangat bernilai positif. Ulama' fiqih sepakat bahwa hukum hibah adalah sunnah, berdasarkan firman Allah SWT surat al baqarah ayat 177.

ِرِخ ا ِ ْوَ يْلاَو ِهاِب َنَماَء ْنَم َِِْلا َنِكَلَو ِبِرْ َمْلاَو ِقِرْلَمْلا َلَبِق ْمُكَوُجُو او لَوُ ت ْ َأ َِِْلا َسْيَل

َنْباَو َ ِ اَ َمْلاَو ىَماَ َيْلاَو َىْرُقْلا يِوَ ِهِبُح ىَلَ َلاَمْلا ىَتاَءَو َ ِيِبَ لاَو ِباَ ِكْلاَو ِةَكِاَاَمْلاَو

اوُدَاَ اَ ِإ ْمِِدْهَعِب َ وُ وُمْلاَو َةاَ َزلا ىَتاَءَو َةَاَللا َ اَقَأَو ِباَقِرلا ِ َو َ ِلِااَ لاَو ِليِبَ لا

َ وُقَ ُمْلا ُمُ َ ِ َلوُأَو اوُقَدَ َنيِ َلا َ ِ َلوُأ ِسْ َبْلا َ ِحَو ِءاَرَضلاَو ِءاَسْ َبْلا ِ َنيِرِباَللاَو

Artinya: ‚Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu

suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa‛.

Dan Allah juga berfirman dalam surat al- muna>fiqu>n ayat 10:

ٍلَجَأ ََِٰإ َِِتْرَخَأ َاْوَل ِبَر َلوُقَ يَ ُتْوَمْلا ُمُ َدَحَأ َ ِِْ َي ْ َأ ِلْبَ ق ْنِم ْمُ اَ ْ قَزَر اَم ْنِم اوُقِفْنَأَو

َ ِِااَللا َنِم ْنُ َأَو َقَدَ َ َ ٍييِرَق

38

(45)

Artinya: ‚Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?".

Dasar hukum hibah dalam hadist nabi SAW. Antara lain:

ص ى لا ن ه ها يضر ةرير ىا ن

.

ص لوسرلا لوقي

.

:

ىراخبلا هجرخا اوباهواوداه

ىقاحيبلاو

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a menceritakan Nabi SAW. Bersabda, "hadiah menghadiahilah kamu, niscaya bertambah kasih sayang

sesamamu.39

ص ى لا ن ه ها يضر ةرير ىا ن

.

لاق

:

اهراا ةراج رقَا تامل ما ءا ناى

,

سر ولو

يراخبلا اور ةاا

Artinya: Dari abu hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: "jangan

menghina seorang tetangga jika ia memberi hadiah walaupun

hanya kuku kambing.40

Dari hadist diatas dapat dipahami bahwa setiap pemberian atau hadiah

dari orang lain jangan ditolak, walaupun harga pemberian tersebut tidak

seberapa.Selain itu pemberian hadiah dapat menghilangkan kebencian antar sesama, khususnya antara pemberi dan penerima hadiah.Selain itu pemberian hadiah dapat menghilangkan kebencian antar sesama, khususnya antara pemberi dan penerima hadiah.

39

Muhammad Ibnu Hajar al-Asqalani, Subulussalam Jilid III, terj. Abu Bakar Muhammad, (Surabaya: al-Ikhlas 1995), 333.

(46)

c. Rukun dan syarat hibah

Oleh karena hibah adalah merupakan akad atau perjanjian berpindahnya hak milik, maka dalam pelaksanaannya membutuhkan rukun dan syarat-syarat sebagai ketentuan akad tersebut dapat dikatakan sah.

Rukun hibah ada tiga macam41:

1. Aqid (wahid dan mauhud lahu) yaitu penghibahan dan penerima hibah.

2. Mauhud yaitu barang yang dihibahkan

3. Sighat yaitu ijab dan qobul.

Ketiga rukun akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Penghibahan dan Penerima Hibah

Penghibahan yaitu orang yang memberikan harta miliknya sebagai hibah. Orang ini harus Memenuhi syarat-syarat:

a. Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah, dengan demikian

tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.

b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu

alasan.

c. Penghibahan tidak dipaksa Untuk memberikan hibah, dengan

demikian haruslah didasarkan kepada kesukarela.

Penerima hibah adalah orang yang diberi hibah.Disyaratkan bagi penerima hibah benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan.Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang tersebut

41

(47)

(penerima hibah) sudah lahir.Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.

Sedangkan seorang anak masih kecil diberisesuatu oleh orang lain (diberi hibah), maka hibah itu tidak sempurna kecuali dengan adanya penerimaan oleh wali. Walian yang bertindak Untuk dan atas nemapenerimaan hibah dikala penerima hibah itu belum ahlinya al-Ada' al-Kamilah. Selain orang, lembaga juga bisa menerima hadiah, seperti lembaga pendidikan.

2. Barang yang dihibahkan

Yaitu suatu harta benda atau barang yang diberikan dari seseorang

kepada orang lain. Pada dasarnya Segala benda dapat dijadikan hak milik adalah dapat dihibahkan, baik benda itu bergerak atau tidak bergerak, termasuk Segala macam piutang. Tentunya benda-benda atau barang-barang tersebut harus Memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Banda tersebut benar-benar ada b. Benda tersebut mempunyai nilai

c. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannyadan pemilikannya dapat dialihkan.

d. Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dandiserahkan kepada

penerima hibah.42

e. Benda tersebut telah diterima atau dipegang oleh penerima

42Chairuman Pasaribu, dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, h.115-115 Lihat

(48)

f. Menyendiri menurut ulama Hanafiyah, hibah tidak dibolehkan terhadap barang-barang bercampur dengan milik orang lain, sedangkan menurutulama Malikiyah, Hambaliyah, dan Syafi'iyah hal tersebut dibolehkan.

g. Penerima pemegang hibah atas seizing wahib.43

3. Sigat (Ijab dan Qobul)

Sigat adalah kata-kata yang diucapkan oleh seseorang

yangmelaksanakan hibah karena hibah adalah akad yang dilaksanakan oleh dua fihak yaitu penghibah dan penerima hibah, maka sigat hibah itu terdiri ijab dan qobul, yang menunjukkan pemindahan hak milik dari seseorang (yang menghibahkan) kepada orang lain (yang menerima hibah). Sedangkan pernyataan menerima (qobul ) dari orang yang menerima hibah. Karena qobul ini termasuk rukun.Bagi segolongan

ulama madzhab Hanafi, qobul bukan termasu rukun hibah.44

Dalam literatur fiqh tidak ada keterangan tentang ketentuan bahwa dalam akad hibah terdapat suatu syarat agar dalam pelaksanaannya hibah harus disiapkan alat-alat bukti, saksi atau surat-surat autentik yang menjadi syarat sahnya perjanjian.Demikian ini dapat dimengerti sebab dalam Al-Qur'an sendiri menganjurkan muamalah yang dilakukan secara tunai. Akan tetapi walaupun demikian sebaiknya dalam hal pelaksanaan perjanjian keperdataan yang termasuk hibah sebaiknya terdapat alat

43Rahmat syafi'i, Fiqih Muamalah, hal 247

(49)

bukti, sebab dengan adanya alat bukti itu akan menimulkan kemantapan bagi yang menghibahkanmaupun bagi yang memberikan hibah. Jika dikemudian hari terjadi perkara dalam permasalahan hibah maka dengan adanya alat-alat bukti perkara tersebut akan mudah diselesaikan. Tentunya yang membutuhkan alat-alat bukti adalah pemberian yang berhubungan dengan benda yang tidak bergerak tetapi bernilai atau mempunyai nilai yang tinggi seperti: permata, emas, tanah, dan lain-lain.

B. ‘Urf

‘Urf muncul dari sebuah pemikiran dan pengalaman dari mayoritas masyarakat,

karena sadar akan kenyataan bahwa adat atau sebuah kebiasaan telah memiliki

peranan penting dalam sebuah dinamika kehidupan masyarakat, maka shari>’at

Islam mengakui ‘urf sebagai sumber hukum atau dalil hukum dalam bidang furu>iyah (mu’a>malah).

Adat atau kebiasaan berkedudukan sebagai bagian dari hukum yang tidak tertulis, akan tetapi sebuah adat atau kebiasaan telah menjadi tradisi dan menyatu dengan setiap lapisan masyarakat sehingga adat kebiasaan tersebut

berlanjut dari satu generasi ke generasi selanjutnya. ‘Urf ada kaitannya dengan

tata nilai yang dianggap baik oleh masyarakat.45 Agar dapat memahami lebih

lanjut tentang ‘urf dalam hukum Islam maka akan di paparkan beberapa sub bab

mengenai ‘urf.

1 Pengertian ‘Urf

(50)

Pengertian ‘urf dari segi bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rafu ( ُ َرْعَ ي َ َرَ ).

Sering diartikan dengan al-ma’ruf ( ُ ْوُرْعَمْلا) berarti ‚sesuatu yang dikenal‛ atau

berarti ‚yang baik‛. Pengertian ‚dikenal‛ ini lebih dekat kepada pengertian

yang diakui oleh orang lain.46

Sementara kata yang sepadan atau sinonim dari ‘urf ialah kata ‚adat‛ yang

berasal dari Bahasa Arab yaitu ٌةَداَ akar katanya ‚‘a>da, ya’u>du ( ُدْوُعَ ي - داَ )

artinya perulangan (راركت). Sebenarnya tidak ada perbedaan antara adat dan ‘urf,

karena keduanya sama-sama mengacu kepada peristiwa yang berulang kali

dilakukan sehingga diakui dan dikenal orang.47

Sedangkan menurut istilah shara’, banyak definisi yang disebutkan oleh

beberapa kalangan, namun menurut ulama us}u>l fiqh yaitu:

ُ ْرُعْلا

ُهَ َراَعَ تاَمَوُ

ُساَ لا

ِهْيَلَ اْوُراَسَو

ْنِم

ٍلْوَ ق

ٍلْعِ ْوَا

ٍ ْرَ تْوَا

Artinya: ‘Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya, baik

berupa perkataan, perbuatan, ataupun meninggalkan sesuatu.48

ٌةَداَ

رْوُهُُْ

ٍ ْوَ ق

ِ

ٍلْوَ ق

ْوَا

ٍلْعِ

Artinya:Kebiasaan mayoritas sebuah kaum baik dalam perkataan ataupun

perbuatan.49

لُ

اَم

ُ َدَ ْ ا

ُساَ لا

اْوُراَسَو

ِهْيَلَ

ْنِم

ِلُ

ٍلْعِ

َااَا

ْمُهَ ْ يَ ب

ْوَا

ٍلْوَ ق

اْوُ َراًعَ ت

ُهَق َاْطِا

ىَلَ

َ ْعَم

ٍصاَخ

ُهَفَلَاَت َا

ُةَ للا

َاَو

ُرَداَبَ َ ي

ُ َرْ يَ

َدْ ِ

ِهِ اَِ

Artinya: Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan dijalaninya dalam suatu perbuatan yang telah popular diantara mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi dan ketika

46 Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Us}u>l Fiqh, Cet. I, (Jakarta: Amzah, 2005), 333. 47 Sapiudin Shidiq, Us}u>l Fiqh, Cet. Ke-I, (Jakarta: Kencana, 2011), 98.

48 Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Us}u>l ..., 334.

(51)

mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.50

اَم

ُهَ َراَعَ ت

ُساَ لا

اْوُراَسَو

ِهْيَلَ

ْنِم

ٍلْوَ ق

ْوَا

ٍلْعِ

ْوَا

ٍ ْرَ ت

,

ىَمَ ُيَو

ةَداَعْلَا

51

Artinya: Apa yang saling diketahui dan yang saling dijalani orang, berupa perkataan, perbuatan atau meninggalkan atau disebut adat.

Adapun sebuah adat dapat dikategorikan sebagai ‘urf apabila memenuhi

tiga syarat dalam ‘urf, yaitu, Pertama, adanya kemantapan jiwa. Kedua, sejalan

dengan pertimbangan akal sehat. Ketiga, dapatr diterima oleh watak (fitrah)

bawaan manusia, dalam artian sejalan dengan tuntutan watak asal manusia.52

Adat atau ‘urf yang dimaksud sebagai sumber hukum Islam bukan hanya

adat orang Arab saja, melainkan semua adat yang berlaku di suatu tempat dan masyarakat tertentu, dalam arti adat yang terjadi di suatu tempat bisa dijadikan sebagai sumber hukum, dan produk hukum yang berlaku dan bersifat lokalitas,

tanpa mengikat pada tempat yang lain.53

2 Macam-macam ‘urf

Ulama ushul fiqh membagi’urf dalam tiga macam, yaitu pertama dilihat

dari segi objeknya, kedua dari segi cakupannya dan ketiga dari segi

keabsahannya.

a. Berdasarkan objeknya, ‘urf terbagi menjadi al-‘urf al-lafdhi dan al-‘urf al

-‘amali>.

50 Wahbah al-Zuhayliy, Al-Wa>jiz Fi al-Us}u>l Fiqh, (Shuria: Dar al-Fikr, 1999), 97.

Gambar

Tabel 1 Keadaan penduduk
Tabel 3

Referensi

Dokumen terkait

Shunt pada APS-6 digunakan untuk membaca arus pada saatmelakukan charging baterai. Shunt yang digunakan pada APS-6 adalah shunt resistor dengan kapasitas 300

Pengaruh perlakuan fungisida awalnya juga rendah dan pengaruhnya baru tampak pada pengamatan ke-3, yang menunjukkan bahwa penyemprotan yang dilakukan apabila terjadi

(PNPM) Mandiri Perkotaan Provinsi Jawa Tengah, Staff Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Pengurus Badan Keswadayaan Masyarakat, Fasilitator / Unit Pelaksana Kegiatan

Dari hasil penelitian di atas didapat gambaran bahwa kesepakatan dalam diagnosis malaria dengan mikroskopik di Puskesmas dan kabupaten di Kabupaten Purworejo termasuk

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan proporsi kacang tanah dengan petis udang memberikan pengaruh nyata (α=0.05) terhadap parameter kimia (kadar air, Aw,

Dalam klasifikasi, klasifikasi ini dibangun dari satu set contoh pelatihan dengan label kelas. Metode klasifikasi biasanya menggunakan pengamatan terhadap data yang

Otonomi daerah, dalam hal ini desa merupakan momentum penting untuk melakukan penataan secara menyeluruh terhadap pemerintahan desa. Dimana desa yang merupakan salah satu

Oleh itu, kajian ini memberi tumpuan kepada memahami perkara-perkara yang berkaitan dengan kaedah pelaksanaan TQM dan eiri-eiri yang membawa kejayaan pelaksanaannya