GAYA PENYELESAIAN KONFLIK DENGAN MERTUA PADA PASANGAN BEKERJA YANG TINGGAL SERUMAH
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)
Psikologi (S.Psi)
ISA MAS KHANNAH
B07213013
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
INTISARI
Penelitian ini memiliki fokus penelitian yaitu bagaimana menemukan gaya penyelesaian konflik dengan mertua pada pasangan bekerja yang tinggal serumah. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan triangulasi sebagai validasi data. Subjek penelitian adalah pasangan suami istri yang bekerja dan tinggal serumah dengan mertua atau orang tuanya. Penelitian ini menemukan beberapa temuan, yaitu pada masing-masing subjek mampu menemukan gaya penyelesaian yang sesuai dengan diri mereka dan permasalahan. Ketiga pasangan subjek memiliki gaya penyelesaian konflik yang berbeda. Subjek pasangan 1 dan 2 menggunakan gaya yang sama yaitu
avoidance style. Kemampuan untuk menghindari permasalahan selalu digunakan untuk meredakan konflik. Sedangkan pasangan subjek 3 tidak menggunakan gaya penyelesaian konflik. Membiarkan konflik berlalu oleh waktu. Ketiga mertua dari masing-masing pasangan subjek menggunakan gaya penyelesaian konflik yang berbeda juga. Subjek mertua dari pasangan 1 dan 3 menggunakan gaya yang sama yaitu collaboration style. Kemampuan untuk menggabungkan tujuan pihak sendiri dan pihak lain yang berkaitan dalam meredakan konflik. Sedangkan pada subjek mertua dari pasangan 2 menggunakan gaya penyelesaian competition style dengan memperlihatkan kekuatannya dalam menyerang pihak lain yang bersangkutan untuk meraih keinginannya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
INTISARI ... xii
ABSTRACT ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Fokus Penelitian ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 12
E. Keaslian Penelitian ... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konflik 1. Pengertian Konflik ... 18
2. Jenis-jenis Konflik ... 19
B. Penyelesaian Konflik 1. Pengertian Gaya Penyelesaian Konflik ... 21
2. Jenis-jenis Gaya Penyelesaian Konflik ... 23
3. Faktor-faktor yang Membedakan Gaya Penyelesaian Konflik ... 25
4. Konflik dalam Keluarga ... 27
5. Pengelolaan Konflik dalam Keluarga ... 30
C. Perspektif Teoritis ... 37
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 40
B. Lokasi Penelitian ... 40
C. Sumber Data ... 41
D. Cara Pengumpulan Data ... 43
E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 46
F. Keabsahan Data ... 48
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek ... 51
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 97
B. Saran ... 101
DAFTAR PUSTAKA ... 102
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian
Pada setiap perjalanan kehidupan manusia terdapat tiga saat terpenting,
salah satunya adalah pernikahan dimana di dalam pernikahan ini sebagai awal
terbentuknya sebuah keluarga (Setiono, 2011). Kebutuhan manusia yang
terpenuhi dalam pernikahan adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan
psikologis, kebutuhan sosial, dan kebutuhan religius (Walgito, 2002).
Pernikahan pada umumnya berkaitan dengan suatu hubungan yang
dijalani oleh pria dan wanita sebagai pasangan suami dan istri untuk menjadi
satu keluarga baru. Pernikahan merupakan ikatan yang kudus (suci/sakral),
antara pasangan dari seorang laki-laki dan seorang wanita sebab hubungan
pasangan suami istri tersebut telah disahkan dalam suatu acara keagamaan
tertentu dan di sahkan pula oleh catatan pemerintahan sipil, serta ada
kesepakatan antara pasangan suami istri untuk membina kehidupan rumah
tangga dalam suatu keluarga (Dariyo, 2003).
Papalia, Olds, dan Feldman (2009) menyatakan bahwa golongan dewasa
muda berkisar antara 21-40 tahun. Masa ini dianggap sebagai rentang yang
cukup panjang, yaitu dua puluh tahun. Terlepas dari panjang atau pendek
rentang waktu tersebut, golongan dewasa muda yang berusia di atas 25 tahun,
umumnya telah menyelesaikan pendidikannya minimal setingkat SLTA
(SMU-Sekolah Menengah Umum), akademi atau universitas. Menurut Dariyo
2
guna meraih karier tertinggi. Dari sini, mereka mempersiapkan dan
membuktikan diri bahwa mereka sudah mendiri secara ekonomis, artinya
sudah tidak bergantung lagi pada orang tua.
Sikap yang mandiri ini merupakan langkah positif bagi mereka karena
sekaligus dijadikan sebagai persiapan untuk memasuki kehidupan rumah
tangga yang baru. Namun lebih dari itu, mereka juga harus dapat membentuk,
membina, dan mengembangkan kehidupan rumah tangga dengan
sebaik-baiknya agar dapat mencapai kebahagiaan hidup. Mereka harus dapat
menyesuaikan diri dan bekerja sama dengan pasangan hidup masing-masing.
Mereka juga harus dapat melahirkan, membesarkan, mendidik, dan membina
anak-anak dalam keluarga. Selain itu tetap menjalin hubungan baik dengan
orang tua ataupun saudara-saudara (Dariyo, 2003).
Setelah menjalani pernikahan, bukan berarti pasangan individu antara
laki-laki dan wanita akan dapat langsung mewujudkan kebahagiaan, seperti
yang diimpikan sewaktu mereka belum menikah atau masa pacaran (Aprilia,
2008). Mereka mau tidak mau harus menghadapi berbagai masalah yang
timbul selama mereka menikah. Justru sering kali dalam kenyataannya,
masalah-masalah yang sepele dan tidak terduga, muncul dalam kehidupan
mereka (Gunarsa, 2003).
Menurut Fitroh (2011) pasangan muda juga memiliki kebebasan untuk
menentukan dimana mereka akan tinggal. Beberapa pasangan memilih masih
hidup dan tinggal bersama dengan orang tua pengantin wanita atau pria.
3
untuk tetap tinggal bersama orang tua ataupun mertua dengan berbagai alasan
yaitu salah satunya adalah karena pasangan tersebut belum dapat hidup
mandiri baik secara finansial atau ekonomi maupun non finansial. Secara
finansial belum mencukupi untuk dapat membeli rumah dengan segala
perlengkapannya. Alasan lainnya, orang tua yang memilih dan menginginkan
anaknya yang telah menikah untuk tetap tinggal bersama. Sehingga dengan
tinggal bersama orang tua atau mertua akan sedikit meringankan beban
finansial maupun non finansial yang belum tercukupi. Selain itu diharapkan
dapat menabung dan kelak dapat membeli rumah dari tabungan mereka
sendiri. Hal ini akan semakin menciptakan berbagai masalah setelah mereka
menikah.
Alasan lainnya, terutama laki-laki adalah rasa tanggung jawab terhadap
keluarga untuk menjaga dan menghidupi keluarga, sehingga harus tinggal
bersama orang tua walaupun dari segi finansial mencukupi untuk mandiri
(Kertamuda, 2009). Terutama pada keluarga yang orang tua atau mertuanya
telah menginjak lanjut usia. Biasanya, orang tua akan tetap meminta anak dan
menantu untuk tetap tinggal bersama karena suatu kondisi yang tidak
memungkinkan bagi mertua untuk tinggal sendiri. Misalnya, sang mertua
sedang mengidap suatu penyakit atau salah satu dari mertuanya telah
meninggal.
Keuntungan tinggal di rumah mertua memang tidak perlu pusing
memikirkan biaya kontrak rumah. Jika sudah mempunyai anak dan istri tetap
4
jika ditinggal bekerja. Mencari pengasuh anak yang telaten dan dapat
dipercaya bukanlah perkara mudah. Namun tinggal bersama mertua bisa
membawa masalah sendiri bagi pasangan yang baru saja menikah. Masalah
akan terasa lebih berat lagi jika pihak istri yang menumpang tinggal di rumah
mertua. Dilain pihak tinggal di tempat sendiri juga tidak mudah, terlebih jika
kondisi ekonomi belum stabil. Semua pilihan memiliki konsekuensinya
sendiri.
Selain itu, Suryadi & Moeryono (dalam Yanuarti & Sriningsih, 2012)
mengatakan bahwa status istri yang bekerja dapat menjadi sumber konflik
pernikahan. Pasangan suami istri yang memiliki pekerjaan untuk
mendapatkan penghasilan dalam kurun waktu dan bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga adalah pasangan dual-earner (Hayghe dalam Anderson,
1993). Dual-earner couple yaitu pasangan yang keduanya sama-sama bekerja
dan mengurus kehidupan rumah tangga (Sekaran dalam Hammer, dkk, 1997).
Sumber konflik pada pasangan dual-earner berasal dari peran-peran yang
sering menjadi tidak jelas terutama adanya tuntutan peran dari lingkungan.
Seperti pengaruh dari keluarga yaitu orang tua. Konflik di dalam keluarga
dapat terjadi karena adanya perilaku oposisi atau ketidaksetujuan antara
anggota keluarga. Prevalensi konflik dalam keluarga berturut-turut adalah
konflik sibling, konflik orang tua-anak dan konflik pasangan (Sillars dkk,
2004). Walaupun demikian, jenis konflik yang lainpun juga dapat muncul,
misalnya antara menantu dan mertua, dengan saudara ipar, dengan paman,
5
Bagi pasangan muda permasalahan hubungan antara menantu (istri)
dengan mertua seringkali menjadi pemicu timbulnya konflik antara suami dan
istri terhadap mertua dimana istri belum mengetahui peraturan (adat) yang
berlaku (kompas, 2008).
Penelitian yang dilakukan Gurin, dkk (dalam Dewi & Basti, 2011)
menyimpulkan bahwa konflik senantiasa terjadi dalam kehidupan pernikahan
dimana hasil penelitiannya menunjukkan 45% orang yang sudah menikah
mengatakan bahwa dalam kehidupan bersama akan selalu muncul berbagai
masalah dan 32% pasangan menilai bahwa pernikahan yang bahagia juga
mengalami pertentangan.
Tinggal di rumah mertua dikenal dengan sebutan pondok mertua indah,
bagi sebagian pasangan yang mungkin menganggap hal itu sebagai kondisi
yang menguntungkan (Fitroh, 2011). Namun di sisi lain, tidak sedikit pula
pasangan yang justru menganggap hal itu akan menimbulkan permasalahan
dalam rumah tangga. Aryani dan Setiawan (2007) menyebutkan ada beberapa
hubungan yang terjadi antara menantu dengan mertua, yaitu hubungan penuh
konflik, hubungan acuh tak acuh, ataupun hubungan harmonis.
Beberapa bentuk hubungan menantu dengan mertua yang disebutkan
oleh Aryani dan Setiawan (2007), yang sering terdengar dan menjadi bahan
pembicaraan menarik di media konsultasi adalah hubungan penuh dengan
konflik. Konflik itu sendiri banyak dialami oleh menantu perempuan dengan
ibu mertua. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian dari Utah State
6
ketegangan hubungan dengan mertua, yang biasanya terjadi antara menantu
perempuan dengan ibu mertua (Sweat dalam Fitroh, 2011).
Konflik antara menantu dan mertua yang tinggal serumah, sepertinya
bukan hal asing lagi. Nyatanya, memang tidak sedikit menantu yang
mengeluh sulit membangun hubungan baik dengan mertuanya dengan
berbagai alasan. Tetapi pada saat pasangan tersebut sudah siap tinggal sendiri
dan pisah dengan mertua maka konflik antara menantu mertua pun akan
jarang terjadi. Gunarsa (2003) menyatakan bertambahnya anggota keluarga
setelah pernikahan tidak semudah yang diinginkan, tidak jarang terjadi
konflik antara menantu dengan mertua yang tinggal serumah. Seringkali
orang tua merasa masih memiliki hak atas anaknya yang telah menikah dan
merasa hak-hak atas anaknya telah direbut oleh menantunya, sehingga
perebutan cinta kasih antara menantu dengan mertua.
Secara psikologis, penyebab timbulnya konflik antara mertua dan
menantu adalah pertama, adanya perbedaan peran. Masing-masing pihak
memiliki cara pandang sendiri berdasarkan peran mereka masing-masing.
Mertua merasa memiliki anak laki-lakinya karena ia berperan sebagai ibu,
sementara si istri juga merasa sepenuhnya memiliki suaminya. Kedua,
berkaitan dengan persepsi dan budaya keluarga. Nilai, pendidikan, kebiasaan,
dan aturan yang berlaku di masing-masing keluarga berbeda, dan ini bisa
menimbulkan konflik.
Ketiga, perkawinan yang tidak disetujui. Jika perkawinan tidak disetujui,
7
Apalagi kalau tinggal serumah dengan mertua. Konflik bisa sering terjadi.
Keempat, perbedaan cara berpikir (level of thinking). Biasanya menantu
melakukan penolakan awal terhadap mertua karena sering merasa tidak satu
level pemikiran. Tipe mertua yang identik dengan ibu rumah tangga
konservatif berbeda jauh dengan anak jaman sekarang yang metropolis dan
dinamis (kompas, 2010).
Permasalahan hubungan antara ibu mertua dengan menantu perempuan
seringkali juga menjadi pemicu timbulnya konflik antara suami dengan istri
atau sebaliknya. Bahkan, tidak jarang perceraian terjadi karena permasalahan
ini. Namun, kemampuan untuk mengelola perbedaan, akan dapat menjadi
jalan untuk mewujudkan kebahagiaan pernikahan. Segala masalah yang
timbul dalam kehidupan pernikahan akan dapat terselesaikan dengan baik bila
masing-masing keluarga mau menyediakan diri untuk berkomunikasi guna
memahami kelebihan dan kelemahan keluarga dari masing-masing pasangan
hidupnya. Dengan cara tersebut, pernikahan akan dapat dipertahankan dengan
baik (Gunarsa, 2003).
Menurut Wehr (Hocker, 1985), konflik merupakan suatu proses yang
alami, yang melekat dalam sifat alami dari semua hubungan yang penting dan
bisa menyetujui membangun regulasi melalui proses komunikasi. Dalam
suatu konflik ada istilah “communication breakdown” artinya dalam konflik
salah satu pihak ada yang tidak melakukan komunikasi.
Tinggal di rumah orang tua suami (mertua) terlebih jika suami belum
8
boleh-boleh saja dan tidak ada larangan. Istri sepatutnya taat dan patuh
kepada suami dalam kebaikan selama sang suami tidak memerintahkan
kemaksiatan. Maka, apabila ada perintah untuk berbuat maksiat, sang istri
wajib menolaknya. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: Tidak ada
ketaatan bagi seorang hamba ketika diperintah untuk bermaksiat kepada Allah
(HR.at-Tirmidzi).
Menurut adat jawa seorang mempelai wanita harus ikut tinggal bersama
sang pria. Hidup dan tinggal di Jawa, tentu sudah sering melihat dengan janur
kuning melengkung yang berada di depan rumah pengantin wanita. Janur ini
bermakna seperti papan reklame, semacam siaran untuk memberitahu
masyarakat luas kalau ada pesta acara pernikahan. Acara pernikahan adat
jawa yang sebenarnya dapat berlangsung lebih dari satu hari. Bahkan, pada
zaman dahulu pesta acara pernikahan bisa sampai 7 (tujuh) hari lamanya
karena adanya pertunjukan yaitu pertunjukan wayang. Hal ini dapat kita lihat
dalam prosesi upacara pernikahan yang penuh makna dan khas.
Idealnya, pasangan yang sudah menikah meninggalkan rumah orang tua
untuk membangun rumah tangganya sendiri. Akan tetapi, ada banyak alasan
maupun kendala yang kemudian mengharuskan pasangan tersebut untuk
tinggal di rumah orang tua atau di rumah mertua. Seperti kebanyakan orang
jawa yang kebanyakan tinggal di rumah mertuanya, bahkan ada yang
beralasan untuk sementara dan bahkan cukup lama. Sebenarnya, selain
hukum negara, di Indonesia masih berlaku juga hukum adat, termasuk adat
9
menikah, bahwasanya perempuan harus tinggal di rumah laki-laki atau
suaminya. Dikarenakan hal tersebut sudah menjadi adat dari zaman dahulu
dan supaya tidak ada beban untuk orang tua dari perempuan. Negara
Indonesia memang banyak sekali budayanya, sehingga banyak sekali
berbedaan diantara warganya.
Oleh karena itu gaya penyelesaian konflik dengan ibu mertua pada
pasangan suami-istri yang bekerja sangat dibutuhkan dan menjadi salah satu
modal dasar yang sangat besar manfaatnya. Dengan menggunakan strategi
atau gaya penyelesaian konflik akan sangat memudahkan jika dilakukan
dengan baik terutama pada pasangan yang usianya jauh lebih muda dan
tinggal bersama dengan mertua. Hal tersebut menarik untuk diteliti karena
dapat mengetahui bagaimana pemilihan strategi atau gaya penyelesaian
konflik antara pasangan suami-istri yang bekerja dengan ibu mertua yang
tinggal bersama agar hubungan keduanya tetap harmonis dan dapat
meminimalisir terjadinya konflik dalam rumah tangga.
Hocker & Wilmot (1991) mendefinisikan gaya penyelesaian konflik
perkawinan sebagai perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang oleh
individu seperti menghindar, mengancam, atau bekerjasama dalam
menyelesaikan konflik perkawinan. Cara pasangan menangani konflik
biasanya digambarkan dalam istilah resolusi "gaya" atau "Strategi" yang
merupakan perilaku interpersonal yang digunakan dalam konteks hubungan
untuk menyelesaikan ketidaksepakatan (Marchand, 2004). Strategi yang
10
memastikan hubungan yang harmonis dan perilaku yang tidak efektif
mencoba mengalahkan orang lain atau menghindari masalah.
Beberapa model dasar penyelesaian konflik menunjukkan bahwa sebagai
proses interpersonal dapat dipahami dalam dua dimensi kunci: ketegasan dan
kooperatifitas. Ketegasan dipandang sebagai perhatian terhadap hasil dan
kerja sama seseorang sebagai perhatian terhadap hasil orang lain. Penelitian
ini mendukung lima strategi spesifik dalam menangani konflik yang berasal
dari kombinasi dua dimensi (Thomas, 1977). Dengan demikian,
dimungkinkan untuk melakukan tindakan yang tinggi atau rendah pada kedua
dimensi, atau tinggi pada satu dimensi dan rendah di sisi lain.
Meskipun sebagian besar orang memiliki kemampuan untuk memberikan
respon terhadap konflik yang bervariasi tergantung pada situasinya, namun
setiap orang mempunyai preferensi tertentu yang menjadi dasar pijakan bagi
tindakannya ketika menghadapi konflik (Robbins & Coulter, 1996)
Hal ini serupa dengan yang dinyatakan Thomas (1983) bahwa setiap
orang memiliki peyelesaian atau style yang berbeda ketika menghadapi
konflik. Gaya penyelesaian konflik menggambarkan pilihan seseorang dalam
menentukan cara yang dianggap sesuai dengan dirinya untuk menghadapi
konflik. Dalam pandangan tersebut tersirat bahwa setiap orang dapat
memiliki satu macam gaya yang tampil lebih dominan, namun tidak berarti
hanya itu satu-satunya gaya yang dimiliki. Dalam hal ini setiap orang dapat
memiliki gaya penyelesaian konflik utama dan gaya penyelesaian koonflik
11
Karena sifat konflik yang normatif dalam suatu hubungan, artinya tidak
bisa dielakkan, maka vitalitas hubungan dalam keluarga sangat tergantung
pada respon masing-masing terhadap konflik. Frekuensi konflik
mencerminkan kualitas hubungan, artinya pada hubungan yang berkualitas,
frekuensi konflik lebih sedikit. Kualitas hubungan dapat mempengaruhi cara
individu dalam membingkai persoalan konflik.
Menurut Handayani, dkk (2008) konflik perkawinan sebenarnya tidak
selalu berimbas negatif. Jika konflik tersebut dapat diselesaikan secara positif
tentunya akan menjadikan keluarga tersebut semakin kuat dan kompak.
Penelitian yang dilaukan oleh Coleman, Fine Ganong Down dan Pauk (dalam
Galvin, dkk., 2004) menunjukkan bahwa beragam konflik dalam keluarga
yang mendorong terjadinya diskusi dan kompromi justru menyebabkan
perubahan yang positif dalam keluarga.
Belajar bagaimana menyelesaikan konflik secara efektif adalah langkah
terpenting dalam membangun intimate relationship. Galvin dkk, (2004)
mengembangkan sebuah model yang dapat digunakan untuk membandingkan
gaya penyelesaian konflik. Model ini dikembangkan dengan pemikiran bahwa
terdapat aspek yang menjadi fokus perhatian saat individu mengusahakan
tujuannya, yaitu: perhatian pada diri sendiri dan orang lain. Perhatian kepada
diri sendiri diukur dengan sejauh mana tingkat asertivitas atau agresivitas
seseorang. Perhatian terhadap orang lain ditekankan kepada tingkat kerjasama.
Model resolusi konflik ini mengidentifikasi lima gaya penyelesaian knflik,
12
dan accommodating style (Galvin, dkk., 2004). Dengan mengidentifikasi gaya
penyelesaian konflik yang dipakai, serta mengenali kelebihan dan
kelemahannya maka penyelesaian konflik yang konstruktif akan dapat lebih
mudah untuk dikembangkan.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka
penelitian ini memfokuskan pada menemukan gaya penyelesaian konflik
dengan mertua pada pasangan bekerja yang tinggal serumah.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada fokus latar belakang diatas, maka tujuan dari penelitian
ini adalah untuk menemukan gaya penyelesaian konflik dengan mertua pada
pasangan bekerja yang tinggal serumah.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada
masyarakat khususnya mengenai bentuk gaya penyelesaian konflik
dengan mertua, sehingga dapat membantu serta memberikan wawasan
dalam kehidupan rumah tangga dan untuk dapat memberikan
gambaran mengenai gaya penyelesaian konflik apa yang terbaik dan
tepat untuk digunakan sebagai strategi penyelesaian konflik ataupun
dalam mengembangkan kemampuan penyelesaian konflik pada
13
2. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu
psikologi, khususnya mengenai Psikologi Perkembangan, Psikologi
Konseling dan Psikologi Keluarga yang memfokuskan pada masalah
gaya penyelesaian konflik dengan mertua pada pasangan bekerja yang
tinggal serumah. Bagi penelitian selanjutnya dapat menambah ilmu
pengetahuan tentang gaya penyelesaian konflik dengan mertua pada
pasangan bekerja yang tinggal serumah.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan teori dan uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti
kajian tentang “gaya penyelesaian konflik dengan mertua pada pasangan
bekerja yang tinggal serumah”. Sepanjang penelusuran peneliti kajian tentang
gaya penyelesaian konflik dengan mertua pada pasangan bekerja yang tinggal
bersama mertua belum pernah diteliti oleh mahasiswa jurusan psikologi
Fakultas Psikologi dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya. Oleh karena itu peneliti mencoba mencari posisi terhadap
penelitian-penelitian lain.
Penelitian terpublikasi di luar negeri diantaranya: Yake Li & Yaquen
Gao (2013) yang berjudul “An Attitude Study on the Conflict between Mother
and Her Daughter-in-law in the Novel Double-Sided Adhesive from
Appraisal Theory Perspective”. Hasil menunjukkan bahwa perbedaan budaya
dan ideologis, ketika seorang ibu dan menantu perempuan tinggal bersama,
14
pemikiran masing-masing. Hal ini menunjukkan tujuan bersama keduanya,
yaitu mencoba mengubah partai lain secara kultural atau ideologis, sehingga
lebih banyak sumber penghakiman diadopsi untuk mencapai tujuan evaluatif
dan persuasi.
Penelitian yang dilakukan Nicole (2015) yang berjudul “Psychosocial
Predictors of Relationship Conflict Styles as Mediated by Emotional
Intelligence: A Study of Botswana Adults”. Temuan menunjukkan bahwa
wanita lebih mungkin dibandingkan pria untuk melaporkan penggunaan
Strategi kolaborasi dalam menanggapi video tanpa kekerasan, dan laki-laki
lebih mungkin dibandingkan perempuan untuk melaporkan strategi
akomodasi dalam menanggapi video kekerasan.
Penelitian yang dilakukan Byadgi (2013) yang berjudul “Conflict Resolution Strategies among Working Couples”. Hasil menunjukkan bahwa
di antara pasangan laki-laki, strategi kolaborasi adalah strategi resolusi
konflik pertama dan paling disukai, diikuti oleh akomodasi, penghindaran,
kompromi dan kemudian persaingan. Sedangkan di antara pasangan wanita,
akomodasi merupakan strategi pertama dan paling disukai, diikuti oleh
kolaborasi, kompromi, penghindaran dan persaingan. Dibandingkan pasangan
wanita, suami secara signifikan menerapkan strategi kolaborasi dan
penghindaran, sedangkan pasangan perempuan cukup tinggi dalam
menerapkan strategi akomodasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Zahra dkk (2016) yang berjudul
15
women: A qualitative study”. Hasil menunjukkan bahwa secara luas gaya
akomodasi lebih banyak digunakan oleh wanita baik di tahun-tahun pertama
perkawinan mereka atau pada tahap selanjutnya. Meskipun wanita Iran dalam
penelitian ini mungkin tidak puas dengan kehidupan mereka dan menyadari
penyebab konflik dan konteks budaya masyarakat, mereka sangat rela
melindungi perkawinan mereka. Mereka bahkan mencoba melindungi
pernikahan mereka dengan melatih suami mereka untuk mengadopsi perilaku
yang sama.
Penelitian yang dilakukan oleh Li-Li Huang (2016) “Interpersonal Harmony and Conflict for Chinese People: A Yin–Yang Perspective”. Hasil
menunjukkan bahwa penghindaran konflik lebih sering terjadi di masyarakat
Asia Timur daripada masyarakat Barat.
Penelitian tentang gaya penyelesaian konflik pernah diteliti sebelumnya
oleh Frida (2014) dengan judul “Gaya Penyelesaian Konflik dengan Mertua
pada Menantu Perempuan yang Bekerja dan Menantu Perempuan yang
Tidak Bekerja”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kuntitatif. Perbedaan dengan peneliti terletak pada subjeknya.
Subjek dalam penelitian ini adalah 60 menantu perempuan yang bekerja dan
62 menantu yang tidak bekerja. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan
bahwa gaya penyelesaian konflik yang dominan digunakan oleh menantu
perempuan yang bekerja adalah avoidance style, sedangkan gaya
penyelesaian konflik yang dominan digunakan oleh menantu perempuan yang
16
Selanjutnya penelitian tentang gaya penyelesaian konflik pernah diteliti
oleh Theresia (2014) dengan judul “Gaya Penyelesaian Konflik Perkawinan
pada Pasangan Dual Earner”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian kualitatif. Perbedaan dengan peneliti terletak pada
subjeknya. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua pasangan
suami istri yang bekerja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kedua
pasangan subjek memiliki gaya penyelesaian konflik yang berbeda. Gaya
penyelesaian konflik yang dominan digunakan adalah accommodating style.
Sedangkan subjek yang lain menggunakan competitive style.
Penelitian tentang menantu yang tinggal bersama mertua pernah diteliti
sebelumnya oleh Fadjryana Fitroh (2011) tentang “Hubungan Antara
Kematangan Emosi Dan Hardiness Dengan Penyesuaian Diri Menantu Yang
Tinggal Bersama Dirumah Ibu Mertua”. Perbedaan dengan peneliti terletak
pada variabel dan metode penelitiannya. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kuantitatif. Subjek dalam penelitian ini
berjumlah 30 menantu perempuan yang tinggal di Kecamatan Kedungpring
Kabupaten Jawa Timur. Dari hasil penelitian tersebut berdasarkan analisis
data diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan kematangan emosi dan
hardiness secara signifikan terhadap penyesuaian diri menantu yang tinggal
di rumah ibu mertua.
Penelitian berikutnya dikaji oleh Nova Anissa dan Agustin Handayani
(2012) tentang “Hubungan Antara Konsep Diri dan Kematangan Emosi
17
Perbedaan dengan peneliti terletak pada variabel dan metode penelitiannya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif.
Subjek dalam penelitian ini adalah para istri di RW. 03 Desa Godong
Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan. Dari hasil penelitian tersebut
berdasarkan analisis data diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan
positif antara konsep diri dengan kematangan emosi dengan penyesuaian diri
istri yang tinggal bersama keluarga suami.
Penelitian selanjutnya dikaji oleh Eva Meizara (2011) tentang “Konflik
Perkawinan dan Model Penyelesaian Konflik pada Pasangan Suami Istri”.
Perbedaan dengan peneliti terletak pada variabel dan metode penelitiannya.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan dilengkapi dengan data
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan intensitas konflik perkawinan pada istri yang tinggal bersama dan yang tinggal terpisah dengan suami. Model penyelesaian konflik yang banyak digunakan oleh para istri baik yang tinggal bersama suami maupun yang tinggal terpisah lebih banyak yang mengarah konstruktif dalam penyelesaian konflik perkawinan.
Dari beberapa penelitian diatas tentang gaya penyelesaian konflik
dengan mertua pada pasangan bekerja yang tinggal bersama mertua, peneliti
belum menemukan penelitian yang menggabungkan keduanya. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif dan meggunakan pendekatan fenomenologi
yang belum diteliti sebelumnya. Terdapat pula perbedaan penelitian ini
dengan beberapa penelitian diatas yakni terletak pada variabel, subjek, dan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Konflik
1. Pengertian Konflik
Donohue dan Kolt (dalam Wilmot & Hocker, 2001) menjelaskan
konflik sebagai situasi yang mana orang-orang yang memiliki
ketergantungan mengekspresikan perbedaan untuk memuaskan kebutuhan
dan minat mereka, dan pengalaman mereka dicegah dari orang lain dalam
pemenuhan tujuan tersebut. Menurut Wilmot dan Hocker (2001) konflik
adalah ekspresi bertahan antara setidaknya dua bagian yang saling
bergantung yang mendapatkan tujuan yang berbeda, hasil, dan pencegahan
dari orang lain untuk mencapainya. Sedangkan Robbins (1991)
mendefinisikan konflik sebagai proses dimana satu pihak merasa bahwa
pihak lain telah melakukan atau mengenakan sesuatu yang negatif pada
dirinya.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik
mencakup beberapa faktor, yaitu:
1. Mengekspresikan kemampuan mempertahankan sesuatu.
Pihak-pihak yang terlibat konflik memiliki perbedaan persepsi
mengenai pandangan dan pendapat mereka dengan pandangan dan pendapat
orang lain. Tingkah laku yang komunikatif lebih mudah dipahami, seperti
19
2. Terdapat setidaknya dua pihak yang saling ketergantungan.
Pihak-pihak yang bersangkutan dalam sebuah konflik biasanya
saling memiliki kepentingan. Ketika seseorang merasa tidak memiliki
urusan dan minat dengan orang lain maka konflik itu terjadi.
3.Adanya tujuan yang berbeda.
Pada sebuah konflik, tujuan pihak yang terlibat konflik biasanya
memiliki peranan yang sangat penting bagi mereka, sehingga jika terjadi
penolakan atas tujuan tersebut maka akan terjadi sebuah konflik.
4. Adanya sumber daya yang langka.
Sumber daya yang dimaksud di sini adalah dari sudut pandang
ekonomi, fisik, ataupun kondisi sosial di sekitar. Ketiadaan atau kekurangan
hal tersebut bisa menimbulkan konflik, apalagi jika pihak lain memiliki
hal-hal tersebut secara berlebihan.
5. Adanya campur tangan dari orang lain
Keterlibatan orang lain dalam beberapa hal bisa menyebabkan
terjadinya konflik ditambah jika pihak lain tersebut sangat memaksakan
kehendak akan kebutuhan mereka. Ataupun juga keterlibatan orang lain
yang menyebabkna terhambatnya suatu tujuan.
2. Jenis-jenis Konflik
Fisher dan Ellis (1990) menjelaskan mengenai beberapa jenis-jenis
20
1. Intergroup conflict, yaitu konflik yang terjadi pada suatu kelompok
dan biasanya bertentangan dengan sistem yang ada. Konflik ini lebih
melibatkan kelompok daripada individual.
2. Cognitive conflict, yaitu konflik terjadi dalam diri inidividu. Konflik
terjadi antara pemikiran seseorang dengan tindakan yang harus ia
lakukan, bertentangan dengan nilai dan sikap orang tersebut.
3. Interpersonal conflict, yaitu konflik terjadi antara dua individu yang
memiliki pertentangan atas suatu hal.
Yang kedua adalah konflik dilihat dari sudut pandang apakah affective
(Bagaimana cara menyelesaikan konflik) atau substantive (Bagaimana isi
konflik).
1. Affective conflict
Konflik yang terjadi antara individu-individu dalam sebuah sistem
sosial (kelompok) yang biasanya mengenai masalah-masalah
prosedural atau bagaimana mengerjakan konflik tersebut.
2. Substantive conflict
Konflik yang meliputi aspek intelektual anggota kelompok atas isi
suatu ide atau tugas kelompok.
Dan yang terakhir adalah membedakan konflik berdasarkan efek yang
akan ditimbulkan.
1. Destructive conflict, yaitu konflik yang memberikan efek merusak
21
2. Constructive conflict, yaitu konflik yang memberikan efek
membangun bagi suatu sistem sosial.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, konflik yang terjadi pada kelompok
sosial salah satunya keluarga adalah intergroup conflict karena pada konflik
keluarga selalu melibatkan individu lain didalam suatu keluarga.
B. Gaya Penyelesaian Konflik
1. Pengertian Gaya Penyelesaian Konflik
Dalam menghadapi sebuah konflik, seseorang memiliki gaya
penyelesaian tersendiri untuk menyelesaikan konfliknya. Gaya penyelesaian
konflik atau sering dikenal sebagai resolusi konflik didefinisikan sebagai
sekumpulan pola respon atau sekumpulan tingkah laku yang ditampilkan
individu dalam menghadapi konflik (Wilmot, 2001). Penyelesaian konflik
menurut Miall (2002) adalah tercapainya suatu kesepakatan antara
pihak-pihak yang bertikai yang memungkinkan mereka mengakhiri sebuah konflik.
Sedangkan Hocker & Wilmot (2001) mendefinisikan bahwa penyelesaian
konflik merupakan suatu cara yang digunakan sebagai respon atau
serangkaian perilaku yang dilakukan oleh seseorang dalam menyelesaikan
konflik.
Dari pemaparan teori menurut para ahli tersebut maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa penyelesaian konflik adalah cara penyelesaian masalah
yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mendapatkan hasil atau
22
Saat menghadapi konflik, manusia pasti mempunyai cara penyelesaian
yang berbeda-beda. Namun secara umum, untuk menyelesaikan konflik,
dikenal beberapa istilah antara lain (Liliweri, 2005):
1. Pencegahan Konflik: bertujuan mencegah timbulnya kekerasan dalam
konflik.
2. Penyelesaian Konflik: bertujuan mengakhiri kekerasan melalui
persetujuan perdamaian.
3. Pengelolaan Konflik: bertujuan membatasi atau menghindari kekerasan
melalui perubahan pihak-pihak yang terlibat agar berperilaku positif.
4. Resolusi Konflik: bertujuan menangani sebab-sebab konflik dan berusaha
membangun hubungan baru yang relatif dapat bertahan lama di antara
kelompok-kelompok yang bermusuhan.
5. Transformasi Konflik: bertujuan mengatasi sumber-sumber konflik sosial
dan politik yang lebih luas dengan mengalihkan kekuatan negatif dari
sumber perbedaan ke kekuatan positif.
Semua upaya yang digunakan untuk menyelesaikan konflik tersebut di
atas, yang paling sering digunakan adalah penyelesaian konflik yang
bertujuan mengakhiri kekerasan melalui persetujuan perdamaian.
Serupa dengan yang dinyatakan Thomas (1983) bahwa setiap orang
memiliki gaya penyelesaian atau style yang berbeda ketika meghadapi
konflik. Gaya penyelesaian konflik menggambarkan pilihan seseorang dalam
menentukan cara yang dianggap sesuai dengan dirinya untuk menghadapi
23
memiliki satu macam gaya yang ia miliki. Dalam hal ini setiap orang dapat
memiliki gaya penyelesaian konflik utama dan gaya penyelesaian konflik
penunjang.
2. Jenis-jenis Gaya Penyelesaian Konflik
Kilman dan Thomas (dalam Wilmot & Hocker, 2001)
mengklasifikasikan lima jenis gaya penyelesaian konflik, yaitu:
1. Avoidance, yaitu individu lebih memilih untuk meninggalkan arena
konflik atau mencoba menganggap bahwa konflik tidak pernah terjadi.
Individu yang menggunakan gaya penyelesaian ini biasanya lebih
memilih untuk menghindari pembicaraan dan bercanda daripada
berurusan langsung dengan konflik tersebut. Pada gaya penyelesaian ini
kemungkinan yang terjadi adalah munculnya konflik laten karena
mengabaikan konflik tersebut. Gaya penyelesaian konflik ini cocok
dipakai pada situasi dimana persoalaan yang sedang dihadapi tidak
penting, sementara ada masalah lain yang lebih penting, atau pada
pembahasan-pembahasan masalah yang sensitif. Contoh gaya
penyelesaian konflik jenis ini adalah seseorang yang menghindar atau
tidak menyukai ketika bertentangan pendapat dengan orang lain dan
memilih untuk diam daripada membahas pertentangan pendapat
tersebut.
2. Competition, yaitu individu cenderung untuk memenuhi kepentingannya
dan mengabaikan pihak lain. Individu yang memakai gaya penyelesaian
24
menyerang pihak lain yang bersangkutan untuk meraih kemenangannya.
Kelemahan pada gaya penyelesaian konflik ini antara lain menilai
rendah upaya untuk bekerja sama dengan pihak lain, mereka cenderung
menganggap penting untuk mengungkapkan ketidaksetujuan secara
langsung dan terbuka. Gaya penyelesaian ini efektif pada situasi ketika
seseorang mengetahui bahwa ia sedang berada di pihak yang benar dan
ketika dibutuhkan tindakan yang sangat tegas. Contoh gaya
penyelesaian konflik jenis ini adalah seseorang yang merasa menang
jika pendapat atau gagasannya diterima oleh semua orang dan
mengabaikan pendapat orang lain.
3. Compromise, yaitu gaya penyelesaian yang digunakan oleh seseorang
dengan mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu. Pada gaya
penyelesaian ini sangat membutuhkan kekuatan untuk saling berbagi.
Kelemahan gaya penyelesaian ini antara lain adalah tidak berusaha
menggali lebih jauh masalah untuk menemukan solusi yang memuaskan
masing-masing pihak, dianggap sering menyisakan masalah. Gaya
penyelesaian ini cocok pada situasi yang membutuhkan solusi yang
bijaksana dan masing-masing pihak merasa tujuannya penting. Contoh
gaya penyelesaian konflik jenis ini adalah seseorang yang menganggap
harus menghargai pendapat orang lain ketika orang lain tersebut juga
menghargai pendapatnya.
4. Accommodation, yaitu individu mencoba memberikan ketenangan pada
25
dirinya sendiri. Kelemahan pada gaya penyelesaian ini adalah seseorang
cenderung untuk terus mengalah dan mengorbankan dirinya sendiri.
Situasi yang cocok dipakai gaya penyelesaian tersebut adalah ketika
waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik terbatas dan
harmonisasi atau hubungan baik dianggap sangat penting. Contoh gaya
penyelesaian konflik jenis ini adalah seseorang yang lebih memilih
menyenangkan orang lain dengan mengikuti segala pendapat yang
dikemukakan oleh orang lain, tanpa memperhatikan pendapatnya
sendiri.
5. Collaboration, yaitu individu memiliki kecenderungan untuk
memberikan penyelesaian yang sukses dengan menyertakan tujuan
pihak sendiri dan pihak lain yang berkaitan dalam konflik. Kelemahan
pada gaya penyelesaian jenis ini adalah membutuhkan waktu yang
relatif lama untuk mempersatukan pendapat kedua belah pihak. Gaya
penyelesaian konflik jenis ini cocok dipakai dalam situasi yang mana
semua pendapat, ide, pemikiran masing-masing pihak yang terlibat
konflik sama pentingnya. Contoh gaya penyelesaian konflik jenis ini
adalah seseorang yang mendengarkan pendapat orang lain sebagai
tambahan informasi dan mengemukakan pendapatnya sendiri untuk
memecahkan suatu permasalahan dan menjadikannya lebih jelas.
3. Faktor-Faktor yang Membedakan Gaya Penyelesaian Konflik
Masing-masing individu memiliki gaya penyelesaian yang berbeda.
26
tersebut antara lain karena faktor-faktor di bawah ini, yaitu:
a. Jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi seseorang dalam
menyelesaikan konflik. Antara laki-laki dan perempuan memiliki
kecenderungan memakai gaya penyelesaian konflik yang berbeda.
b. Konsep diri
Bagaimana kita berpikir mengenai diri kita akan mempengaruhi
pendekatan penyelesaian konflik yang kita pilih.
c. Harapan
Pemikiran kita mengenai apakah orang lain sebagai lawan dalam
konflik memang benar-benar ingin menyelesaikan konflik tersebut.
d. Situasi
Situasi di mana terjadinya konflik juga akan mempengaruhi gaya
penyelesaian konfllik. Dalam kaitannya pada penelitian ini, terdapat
perbedaan situasi yang dihadapi pada siswa sekolah rumah dan
siswa sekolah formal. Terutama situasi sehari-hari yang
berhubungan dengan orang lain.
e. Kekuatan
Bagaimana kekuatan kita dan hubungan kita dengan pihak lain yang
terlibat konflik.
f. Latihan
Berlatih menggunakan kelima gaya penyelesaian tersebut dan
27
g. Pemahaman yang baik
Pemahaman yang baik mengenai konflik yang sedang dihadapi dan
berlatih untuk menyelesaikan dengan gaya penyelesaian yang
terbaik.
h. Kemampuan komunikasi
Seseorang yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik akan
mampu menyelesaikan konflik mereka dengan lebih baik dan lebih
sukses.
i. Pengalaman hidup
Adanya pengalaman mengenai konflik tersebut dan bagaimana
menyelesaikan. Pada siswa sekolah rumah dan siswa sekolah formal
memiliki pengalaman hidup yang berbeda, karena mereka terlibat
dalam keadaan yang berbeda juga.
4. Konflik dalam Keluarga
Keluarga merupakan salah satu unit sosial yang mana hubungan antar
anggotanya terdapat saling ketergantungan yang tinggi. Oleh karena itu,
konflik dalam keluarga merupakan suatu keniscayaan. Konflik di dalam
keluarga dapat terjadi karena adanya perilaku oposisi atau ketidaksetujuan
antara anggota keluarga. Prevalensi konflik dalam keluarga berturut-turut
adalah konflik sibling, konflik orang tua-anak dan konflik pasangan (Sillars
dkk dalam Lestari, 2012). Walaupun demikian, jenis konflik yang lainpun
juga dapat muncul, misalnya antara menantu dan mertua, dengan saudara ipar,
28
menantu. Faktor yang membedakan konflik di dalam keluarga dengan
kelompok sosial yang lain adalah karakteristik hubungan didalam keluarga
yang menyangkut tiga aspek, yaitu: intensitas, kompleksitas dan durasi
(Vuchinich dalam Lestari, 2012).
Pada umumnya hubungan antara anggota keluarga merupakan jenis
hubungan yang sangat dekat atau memiliki intensitas yang sangat tinggi.
Keterikatan antara pasangan, orang tua-anak, atau sesama saudara berada
dalam tingkat tertinggi dalam hal kelekatan, afeksi maupun komitmen. Ketika
masalah yang serius muncul dalam hubungan yang demikian, perasaan positif
yang selama ini dibangun secara mendalam dapat berubah menjadi perasaan
negatif yang mendalam juga. Misalnya: penghianatan terhadap hubungan
kasih sayang, berupa perselingkuhan atau perundungan seksual terhadap anak,
dapat menimbulkan kebencian yang mendalam sedalam cinta yang tumbuh
sebelum terjadinya pengkhianatan.
Benci tapi rindu adalah sebuah ungkapan yang mewakili bagaimana
pelik atau kompleksnya hubungan dalam keluarga. Sebagai misal, seorang
istri yang sudah mengalami KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan
melaporkan suaminya ke polisi, bahkan masih mau setia mengunjungi
suaminya di penjara dengan membawakan makanan kesukaanya, atau seorang
anak yang tetap memilih tinggal dengan orang tua yang melakukan kekerasan
daripada tempat yang lain. Hal ini dikarenakan ikatan emosi yang positif
yang telah dibangun lebih besar daripada penderitaan yang muncul karena
29
Hubungan dalam keluarga merupakan hubungan yang bersifat kekal.
Orang tua akan selalu menjadi orang tua, demikian juga saudara. Tidak ada
istilah mantan orang tua atau mantan saudara. Oleh karena itu, dampak yang
dirasakan dari konflik keluarga seringkali bersifat jangka panjang. Bahkan
seandainya konflik dihentikan dengan mengakhiri hubungan persaudaraan,
misalnya berupa perceraian atau lari dari rumah (minggat) sisa-sisa dampak
psikologis dari konflik tetap membekas dan sulit dihilangkan.
Konflik didalam keluarga lebih sering dan mendalam bila dibandingkan
dengan konflik dalam konteks sosial yang lain (Sillars dkk, dalam Lestari,
2012). Misalnya penelitian Adam dan Laursen (dalam Lestari, 2012)
menemukan bahwa konflik dengan orang tua lebih sering dialami remaja bila
dibanding dengan sebaya. Penelitian lainnya (Rafaelli dalam Lestari, 2012)
mengungkapkan bahwa konflik dengan sibling meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah kontak. Selain itu jumlah waktu yang dihabiskan
bersama lebih signifikan memprediksi konflik sibling dibandingkan dengan
faktor usia, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga dan variabel lainnya.
Walaupun demikian penelitian Stocker Lanthier dan Furman (dalam Lestari,
2012) mengungkapkan bahwa meningkatnya interaksi sibling berasosiasi
positif dengan persepsi terhadap kehangatan.
Menurut Galvin dan Broomel (2004) menjelaskan tentang
bentuk-bentuk konflik dalam keluarga dapat dikategorikan menjadi dua yaitu yang
berfokus pada isu-isu mendasar dan kurang berfokus pada isu dasar. Isu
30
kepemilikan anak, ekonomi, konflik peran dan pekerjaan. Sedangkan konflik
yang tidak berfokus pada isu utama adalah hal-hal yang terkait dengan
aktivitas sehari-hari seperti keputusan untuk berlibur atau pembagian tugas
pekerjaan. Beberapa jenis konflik yang terkait dengan isu diatas ada yang
dapat diselesaikan ada yang tidak sampai pada tahap penyelesaian. Kondisi
terparah jika konflik tidak mencapai tahap penyelesaian adalah terjadinya
perpisahan atau hubungan yang diakhiri.
Pada penelitian ini peneliti akan memfokuskan pada konflik dalam
keluraga yang terjadi antara mertua dengan pasangan bekerja yang tinggal
serumah. Bentuk konflik ini berupa konflik ekonomi, konflik peran dan
pekerjaan.
5. Pengelolaan Konflik dalam Keluarga
Oleh karena konflik merupakan aspek normatif dalam suatu hubungan,
maka keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap
hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan. Konflik baru akan
berdampak negatif bila tidak dikelola dengan efektif dan akan menjadi gejala
atau faktor yang menyumbang akibat begatif pada individu maupun keluarga
secara keseluruhan.
Menurut Rubin (dalam Lestari, 2012) pengelolaan konflik sosial dapat
dilakukan dengan beberapa cara antara lain: penguasaan atau (domination,
ketika salah satu pihak berusaha memaksakan kehendaknya baik dilakukan
secara fisik maupun psikologis), penyerahan atau (capitulation, ketika salah
31
pengacuhan atau (inaction, ketika salah satu pihak tidak melakukan apa-apa
sehingga cenderung membiarkan terjadinya konflik), penarikan diri atau
(withdrawal, ketika salah satu pihak menarik diri dari keterlibatan dengan
konflik), tawar-menawar atau (negotiation, ketika pihak-pihak yang
berkonflik saling bertukar gagasan, dan melakukan tawar- menawar untuk
menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan masing-masing), dan
campur tangan pihak ketiga atau (third-party intervention, ketika ada pihak
yang tidak terlibat dalam konflik, menjadi penengah untuk menghasilkan
persetujuan pada pihak-pihak yang berkonflik). Dari berbagai cara tersebut
hanya negosiasi dan pelibatan pihak penengah yang merupakan cara
penganganan konflik yang bersifat konstruktif.
Pada dasarnya pengelolaan konflik dalam interaksi antarpribadi dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu secara konstruktif dan destruktif. Pengelolaan
konflik secara destruktif dapat terjadi karena alasan antara lain:
a. Persepsi negatif terhadap konflik. Individu yang menganggap
konflik sebagai hal yang negatif akan cenderung menghindari
konflik atau menggunakan penyelesaian semu terhadap konflik.
Individu yang demikian biasanya sering gagal mengenali pokok
masalah yang menjadi sumber konflik, karena perhatiannya sudah
terfokus pada konflik sebagai problem.
b. Perasaan marah. Sebagaimana konflik merupakan aspek normatif
dalam suatu hubungan, marah sebenarnya juga merupakan hal yang
32
memendam marah sama buruknya bagi kesehatan hubungan maupun
mental individu. Oleh karena itu, rasa marah harus dipahami sebagai
gejala yang harus diatasi dan dapat diubah, oleh karena itu hendaklah
dikendalikan dengan penuh hati-hati dan kesabaran.
c. Penyelesaian oleh waktu. Sebagai upaya menghindari munculnya
perasaan negatif dalam menghadapi konflik, misalnya marah, takut,
sedih seringkali individu memilih mengabaikan masalah yang
menjadi sumber konflik. Harapannya adalah masalah tersebut akan
selesai dengan sendirinya oleh berjalannya waktu.
Cara orang tua menyelesaikan konflik dengan anak dapat menjadi
model bagi anak dalam menyelesaikan konflik pada berbagai situasi.
Sayangnnya seringkali orang tua dan anak tidak menggunakan metode yang
sistematis dalam menyelesaikan perbedaan Riesch dkk (dalam Lestari, 2012).
Respon remaja dan dewasa terhadap konflik dengan orang tua biasanya
berupaya menghindari konflik. Adapun respon orang tua berupa sikap
mempertahankan otoritas sebagai orang tua, hal ini juga banyak dipengaruhi
nilai-nilai konservatif yang selalu dipertahankan.
Dari berbagai penelitian dan sesi konseling keluarga, para paneliti dan
terapis mengenali adanya gaya resolusi konflik yang umumnya digunakan
individu dalam mengelola konflik. Harriet Goldhor Lerner sebagaimana
dikutip oleh Olson dan Olson (dalam Lestari, 2012), membedakan ada lima
cara individu dalam menyelsaikan konflik, yaitu: (1) pemburu atau disebut
33
kuat, dekat dan harmonis; (2) penghindar atau disebut dengan distancer
adalah individu yang cenderung mengambil jarak secara emosi agar tidak
menimbulkan konflik baru; (3) pecundang atau disebut dengan
underfunctioner adalah individu yang gagal menunjukkan kompetensi atau
aspirasinya; (4) penakluk atau disebut dengan overfunctioner adalah individu
yang cenderung mengambil alih dan merasa lebih tahu yang terbaik bagi
pihak lain; (5) pengutuk atau disebut dengan blameradalah individu yang
selalu menyalahkan orang lain atau keadaan.
Individu dengan ciri pemburu akan selalu berusaha meningkatkan
kualitas relasinya dengan orang-orang terdekatnya dan selalu berusaha
menjalin hubungan secara harmonis, ketika terjadi konflik dalam interaksinya
mareka akan sadar menghadapi konflik tersebut serta berusaha mencari pokok
masalah yang menyebabkan timbulnya konflik tersebut, berdiskusi untuk
memahami perspektif masing-masing, kemudian melakukan negosiasi untuk
mencapai kompromi yang saling menguntungkan. Dalam hal ini konflik
dimaknai secara positif dan dikelola secara konstruktif. Berbeda dengan
individu dengan karakteristik penghindar atau distance yang akan memilih
untuk menarik diri dari kancah konflik, tidak memiliki kesediaan untuk
berunding, dan biasanya cenderung memilih untuk membiarkan, waktu yang
akan menyelesaikan masalah. Cara pengelolaan yang demikian ini hanya
akan menunjukkan seolah-olah tidak ada konflik atau perselisihan, namun
membiarkan konflik secara terpendam, yang demikian ini dapat menimbulkan
34
Individu dengan ciri pengutuk atau blamer, akan menjadikan konflik
sebagai kancah peperangan, mengumbar marah, bahkan seringkali
mengungkit-ungkit masalah lain yang tidak relevan dengan pokok persoalan
yang menyebabkan munculnya perselisihan. Individu yang demikian
cenderung tidak mau mengakui kesalahan, selalu membela diri dan
mrnimpahkan kesalahan pada pihak lain atau keadaan. Sedikit berbeda
dengan individu yang berciri penakluk individu yang seperti ini akan
menghadapi konflik dengan cara unjuk kekuasaan, selalu berupaya
mendominasi dan mengedepankan egonya. Baik pengutuk maupun penakluk
akan menghadapi konflik dengan cara pertikaian dan pertengkaran yang
beresiko memunculkan perilaku agresi.
Dalam upaya menghindari pertengkaran, individu dengan ciri
pecundang akan memilih untuk selalu mengalah dan menuruti segala sesuatu
yang menjadi kemauan pihak lain. Pengelolaan konflik yang demikian
memang dapat menghindarkan adanya pertikaian, namun tidak bersifat
konstruktif, karena tidak mampu mengembangkan kepribadian yang positif
pada masing-masing pihak. Dalam taraf tertentu cara ini dapat
mempertahankan hubungan dari situasi yang buruk, namun hanya bersifat
stagnan dan tidak mampu meningkatkan kualitas hubungan yang lebih baik.
Senada dengan Lerner, Kurdek (dalam Lestari, 2012) mengajukan
empat macam gaya untuk menyelesaikan konflik dalam keluarga, yaitu (1)
penyelesaian masalah secara positif atau yang disebut dengan positive
35
(2) pertikaian atau conflict engagement misalnya dengan melakukan
kekerasan, marah, selalu membela diri, menyerang dan lepas kontrol; (3)
penarikan diri atau withdrawal misalnya dengan cara mendiamkan, menutup
diri, menolak berunding dan menjaga jarak dari konflik; (4) tunduk atau
disebut dengan compliance misalnya dengan selalu mengalah dan lain-lain.
Konflik yang dikelola dengan cara saling menyerang dapat berdampak
pada perilaku yang diekspresikan secara eksternal, seperti agresi. Adapun
penggunaan dengan cara “penghindaran” dalam mengatasi konflik dapat
berdampak pada perilaku yang diekspresikan secara internal, seperti symptom
depresi dan psikosomatis. Pengelolaan konflik orang tua-anak yang tidak
konstruktif juga mempengaruhi cara yang ditempuh anak dalam mengelola
konflik dengan teman, sehingga anak akan mengalami hambatan dalam
penyesuaian sosialnya.
Konflik orang tua-anak, selain berupa konflik dalam meregulasi
(memunculkan) perilaku dapat pula terjadi dalam ranah yang lebih subtil
(dalam dan tersembunyi), yaitu terjadinya konflik nilai. Dalam menghadapi
situasi konflik nilai antara orang tua-anak, Natrajan (dalam Lestari, 2012)
mengajukan ada empat tahapan dalam penyelesaian, yaitu:
1. Menentukan nilai yang berkonflik, misalnya apa yang dianggap
penting bagi orang tua dan apa yang dianggap penting bagi anak.
2. Mencoba melakukan kompromi, misalnya masing-masing nilai
dipertahankan tetapi dikurangi kadarnya.
36
4. Mencari alternatif lain untuk tetap terpenuhinya masing-masing nilai.
Selain mengatasi konflik internal keluarga, orang tua juga berperan
sebagai mediator bagi anak dalam menghadapi dunia sosial yang lebih luas.
Menurut Parke dan Bhavnagri (dalam Lestari, 2012), dalam menghadapi
lingkungan eksternal orang tua menjadi mediator dalam hal kontak personal
diluar keluarga seprti tempat perawatan anak, sekolah, bertetangga dan
komunitas. Selain itu orang tua juga membantu anak untuk menghadapi
nilai-nilai yang dipromosikan oleh individu maupun berbagai agen diluar rumah.
Dalam pengasuhan orang tua menggunakan berbagai strategi ketika
mensosialisasikan anak dalam menghadapi situasi konflik nilai. Strategi
tersebut bervariasi tergantung pada konteks situasi yang dihadapi, atau
potensi pelanggaran yang diakibatkan jika anak bertintak tidak konsisten
dengan nilai yang ditanamkan. Menurut hasil penelitian Padilla-Walker dan
Thompson (dalam Lestari, 2012), terdapat empat strategi yang dapat
digunakan oleh orang tua ketika menghadapi pesan yang menimbulkan
konflik, yakni:
a. Coconing, yaitu melindungi anak dari pengaruh masyarakat luas
dengan membatasi akses anak terhadap nilai-nilai alternatif, atau
membatasi kemampuan untuk berperilaku yang bertentangan dengan
nilai-nilai orang tua. Coconing terbagi menjadi dua level, yaitu:
reasoned cocooning dan controlled cocooning. Pada reasoned
cocooning, orang tua secara persuasif melindungi anak dari pengaruh
37
penjelasan yang logis terhadap nilai-nilai yang ditananmkan. Pada
controlled cocooning orang tua memaksa anak untuk disiplin dan
patuh, tanpa memberikan penjelsan atau dasar yang rasional terhadap
larangan-larangan yang diberikan.
b. Pre-arming, orang tua mengantisipasi konflik nilai dan menyiapkan
anak untuk menghadapinya guna melawan dunia yang lebih luas.
c. Compromise, memberikan kesempatan pada anak untuk terpapar
konflik nilai, namun tetap mempertahankan elemen-elemen nilai
keluarga dengan kontrol sebagai orang tua.
d. Deference, orang tua mengalah demi kebutuhan anak dan
membiarkan anak mengambil keputusan sendiri, meskipun hal
tersebut bertentangan dengan nilai-nilai keluarga.
Secara garis besar konflik orang tua-anak sesungguhnya dapat berfungsi
sebagai media dalam penanaman nilai. Dapat dikatakan demikian karena
dalam menangani konflik dengan anak, orang tua berkesempatan
mengungkapkan harapan-harapannya atau menyampaikan pesan-pesan moral
pada anak. Fungsi ini dapat berlangsung dan berhasil mendorong anak dalam
menginternalisasikan nilai yang disampaikan apabila konflik dikelola secara
konstruktif.
C. Perspektif Teoritis
Di Indonesia sendiri cukup banyak permasalahan atau konflik dalam
rumah tangga pada pasangan suami istri yang dipicu oleh adanya
38
menantu dan mertua. Ketika pasangan suami istri memutuskan untuk tinggal
bersama dengan orang tua, mereka harus dapat menerima semua tantangan
dan resiko. Termasuk adaptasi dengan peranan yang baru.
Hanaco & Wulandari (2013) mengatakan bahwa di masyarakat kita,
masih sangat lazim tinggal menetap bersama mertua. Tentu hal ini dapat
memicu beragam konflik jika tidak berhati-hati. Ketika terpaksa mengambil
langkah ini tentu ada kecemasan dipihak menantu. Sebagai “pendatang baru”
tentu memikul beban yang lebih berat. Mertua biasanya akan memandang
sang menantu baru dengan tatapan penuh penilaian. Mertua akan menilai
bagaimana pasangan yang telah dipilih oleh anaknya.
Hubungan menantu dan mertua adalah suatu hubungan yang unik.
Perbedaan yang biasanya terdapat antara menantu dan mertua terkadang
menimbulkan hubungan yang tidak lancar diantara keduanya. Sering kali
perbedaan antara menantu dan mertua ini berujung pada permasalahan atau
konflik yang serius dan berjangka panjang. Ketika konflik yang serius muncul
dalam hubungan yang demikian, perasaan positif yang selama ini dibangun
secara mendalam dapat berubah menjadi perasaan negatif yang mendalam
juga.
Untuk menjaga hubungan positif baik antara pasangan suami istri,
menantu dan mertua diperlukan adanya gaya penyelesaian konflik yang
sangat dibutuhkan antara menantu dan mertua yang nantinya akan menjadi
salah satu modal dasar yang sangat besar manfaatnya (Hanaco & Wulandari,
39
Handayani, dkk (2008) konflik dalam perkawinan sebenarnya tidak
selalu berimbas negatif. Jika konflik tersebut dapat diselesaikan secara positif
tentunya akan menjadikan keluarga tersebut semakin kuat dan kompak. Salah
satu unsur penting yang menentukan hubugan positif dalam keluarga yang
sangat berpengaruh dalam perkawinan adalah gaya penyelesaian konflik.
Belajar bagaimana menyelesaikan konflik secara efektif adalah langkah yang
terpenting dalam membangun hubungan positif dalam perkawinan dan
kehidupan keluarga.
Dengan penyelesaian konflik, individu dapat menyelesaikan masalah
yang sedang dihadapi dengan individu lain secara sukarela. Penyelesaian
konflik menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan
konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan
pada pihak-pihak yang berkonflik untuk memecahkan masalah oleh mereka
sendiri atau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral dan adil untuk
membantu pihak-pihak yang berkonflik dengan memecahkan masalahnya
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Menurut Moleong (2000) pendekatan kualitatif adalah pendekatan
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain
(Larasati, 2005).
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi.
Fenomenologi diambil karena didalamnya peneliti mengidentifikasi tentang
suatu fenomena tertentu, serta mengharuskan peneliti mengkaji subjek dengan
terlibat langsung untuk mengembangkan pola dan relasi yang bermakna
(Cresswell, 2010). Dalam konteks penelitian yang akan dikaji, fokus utama
dari penelitian ini adalah gaya penyelesaian konflik dengan mertua pada
pasangan bekerja yang tinggal bersama dalam satu rumah.
B. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat tiga subjek yang berdomisili di Sidoarjo,
tepatnya di Desa Kasih Kecamatan Buduran. Lokasi penelitian tersebut akan
disesuaikan dengan kesepakatan yang dibuat sebelumnya antara subjek dan
peneliti. Adapun alasan pemilihan tempat dalam penelitian ini karena terdapat
banyak pasangan suami istri yang setelah menikah masih memilih untuk
41
C. Sumber Data
Subjek dalam penelitian ini adalah pasangan suami-istri yang bekerja dan
tinggal serumah dengan mertua. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah
enam orang yaitu tiga orang pasangan suami-istri yang bekerja dan tiga orang
mertua dari subjek. Ketiga subjek merupakan pasangan suami-istri yang
bekerja sebagai key informan (kunci informasi). Subjek pertama adalah
pasangan suami istri yang bekerja bernama DA dan NA. Subjek kedua
adalah IA dan YN. Sedangkan subjek ketiga adalah WK dan WH. Ditambah
dengan tiga orang mertua dari ketiga subjek, yaitu MA mertua dari subjek
pertama, FA mertua dari subjek kedua, dan SA mertua dari subjek ketiga.
Subjek akan di wawancara dengan beberapa pertanyaan yang telah disiapkan.
Kriteria subjek penelitian adalah:
1. Pasangan suami-istri yang bekerja.
Profesi dari setiap pasangan suami-istri yang bekerja dalam
penelitian ini adalah karyawan swasta, guru honorer dan tukang
bangunan.
2. Sudah memiliki anak.
Dari setiap subjek telah memiliki satu dan dua orang anak.
3. Tinggal serumah dengan mertua.
Ketiga subjek juga tinggal serumah dengan mertua selama tidak
lebih dari lima tahun.
42
Sebelum melakukan wawancara peneliti telah meminta kesediaan
subjek untuk melakukan wawancara dengan membuat lembar
kesediaan wawancara yang terdapat dalam lampiran.
Pengambilan subjek dalam penelitian ini dilakukan dengan cara memilih
subjek dan informan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh
peneliti. Dengan pengambilan subjek secara purposive (sesuai dengan kriteria
yang ditentukan), maka penelitian ini menemukan subjek yang sesuai dengan
tema penelitian. Guna mengecek kebenaran hasil wawancara subjek, dan
menambah dengan observasi.
Selain itu peneliti juga membutuhkan informan penguat yakni orang lain
yang dekat dengan subjek (mempunyai hubungan) yang disebut dengan
subjek partisipan yang biasa disebut dengan significant other. Sehingga
diduga kuat mempunyai informasi tentang subjek. Jumlah significant other
dalam penelitian ini adalah 6 orang, yang mana dua orang untuk subjek
pertama, dua orang untuk subjek kedua, dan dua orang untuk subjek ketiga
yaitu:
1. HN dan SI merupakan adik ipar dari subjek pertama.
2. WN dan LN merupakan tetangga dari subjek kedua.
3. AZ dan JI merupakan tetangga dari subjek ketiga.
Berdasarkan etika penelitian dalam menyebutkan nama subjek maupun
significant other dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan inisial
43