• Tidak ada hasil yang ditemukan

FORDA - Jurnal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FORDA - Jurnal"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Clean Development Mechanism – Forestry, and Its Prospect in Indonesia

Ari Wibowo

Kampus Balitbang Kehutanan, Pusat Litbang Hutan Tanaman

Jl. Gunung Batu No. 5 PO Box 331 Telp. (0251) 8631238, Fax. (0251) 7520005, Bogor 16610, Email : ariwibowo61@yahoo.com

Naskah masuk : 26 Maret 2008 ; Naskah diterima : 25 September 2008

ABSTRACT

The result of COP 3 in Tokyo known as Kyoto Protocol adopted legal binding for reduction of Greenhouse Gasses emission for developed countries (Annex I countries). To achieve the target of emission reduction, flexible mechanism consisted of Joint Implementation (JI), Clean Development Mechanism (CDM) and Emission Trading (ET) has been developed. CDM is the only mechanism of Kyoto Protocol where developed countries could invest in developing countries in various sectors to achieve their emission reduction target by buying Certified Emission Reduction (CER). Developing countries would receive compensation fund that might be used for sustainable development objective. Forestry sector could participate in CDM through Afforestation/Reforestation AR-CDM, with requirement of additionality of carbon sink in project location. Some forestry activities eligible for AR CDM include agroforestry, forest plantation and biomass energy project. Although the interest of AR CDM in Indonesia has been high, so far there has been no AR CDM project in Indonesia due to lack of eligible land, initial investment, readiness of local institution as well as difficult mechanism of CDM.

Keywords: Clean Development Mechanism, AR-CDM, Indonesia Prospect

ABSTRAK

Hasil COP 3 di Tokyo yang dikenal dengan Protokol Kyoto menghasilkan aturan yang mengikat untuk penurunan gas rumah kaca bagi negara maju (negara Annex I). Untuk mencapai target penurunan emisi telah dikembangkan mekanisme fleksibel yang terdiri dari Implementasi Bersama (JI), Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) danPerdagangan Emisi (ET). CDM adalah satu-satunya mekanisme Protokol Kyoto dimana negara maju dapat melakukan investasi di negara berkembang di berbagai sektor untuk mencapai target penurunan emisi mereka dengan membeli Sertifikat Penurunan Emisi (CER). Negara berkembang akan menerima dana kompensasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembangunan lestari. Sektor kehutanan dapat berpartisipasi dalam CDM melalui Aforestasi dan Reforestasi CDM (AR-CDM), dengan persyaratan adanya penambahan serapan karbon di lokasi proyek. Beberapa kegiatan kehutanan yang dapat menjadi proyek AR CDM termasuk perhutanan sosial, pembangunan hutan tanaman dan proyek energi biomas. Meskipun minat untuk melaksanakan proyek AR CDM di Indonesia tinggi, sampai sejauh ini belum ada proyek AR CDM yang dilaksanakan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh sulit mencari lahan yang sesuai, kesulitan modal awal, kurangnya kesiapan institusi di tingkat lokal serta mekanisme CDM yang masih dirasa sulit.

(2)

Vol. No. , 1 1 November 2008, 01 - 09

I. PENDAHULUAN

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil, bulan Juni 1992, lebih dari 180 negara telah sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Frameworks Convention on Climate Change, UNFCCC). Konvensi internasional tersebut bertujuan untuk menstabilkan emisi gas rumah kaca (GRK) dunia ke atmosfer pada tingkat tertentu sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Sejak tahun 1995, para pihak telah bertemu setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference on Parties, COP) guna menerapkan dan mengimplementasikan kerangka kerja tersebut.

Hasil dari Konferensi Para Pihak (COP) ke 3 di Kyoto, yang dikenal sebagai Protokol Kyoto telah mengadopsi aturan hukum mengikat (legal binding) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) bagi negara industri (negara industri dikenal sebagai negara Annex I). Negara Annex I akan mengurangi total GRK sedikitnya 5 % dibandingkan dengan tingkat GRK pada tahun 1990, yang harus dicapai pada tahun 2008-2012. Dengan target itu seluruh negara maju yang terdaftar dalam Annex I harus menurunkan emisinya sebesar 13,7 Giga Ton. Yang termasuk GRK dalam Protokol Kyoto adalah karbon dioksida CO , metana (CH ), 2 4 nitrogen oksida (N 0), 2 Hydro fluorocarbon (HFC), PFC dan Sulfur Heksafluorida (Sf ).6

Untuk mencapai target penurunan emisi, dibuat Mekanisme Kyoto yang terdiri dari tiga kegiatan yaitu Joint Implementation (JI), Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM) dan Perdagangan Emisi (Emission Trading, ET). CDM adalah satu-satunya mekanisme fleksibel dimana negera berkembang dapat berpartisipasi, sedangkan JI dan ET hanya bisa dilakukan antar negara maju. Mekanisme tersebut menghasilkan unit pengurangan emisi (Emission Reduction Unit, ERU) untuk JI, pengurangan emisi yang disertifikasi (Certified Emission Reduction, CER) untuk CDM dan unit jatah emisi (Assigned Amount Unit, AAU). Dengan CDM, Indonesia sebagai negara berkembang mungkin menghasilkan Sertifikat Penurunan Emisi (CER) yaitu melalui kegiatan pembangunan hutan tanaman sebagai bagian dari proyek Aforestation/Reforestasi Kehutanan.

Sampai saat ini, Indonesia belum berhasil mendapatkan proyek karbon kehutanan melalui mekanisme CDM. Tulisan ini merupakan kajian yang memuat informasi mengenai garis besar CDM Kehutanan, prospek dan hambatannya untuk diaplikasikan di Indonesia.

II. PRINSIP CDM

CDM adalah salah satu mekanisme fleksibel yang dihasilkan oleh Protokol Kyoto sebagai langkah nyata untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di bumi. Mekanisme ini memungkinkan negara maju melakukan investasi di negara berkembang pada berbagai sektor untuk mencapai target penurunan emisinya, dengan membeli Pengurangan Emisi yang Disertifikasi (Certified Emission Reduction, CER). Sementara itu, negara berkembang akan memperoleh kompensasi dana yang dapat digunakan untuk tujuan pembangunan yang lestari dan mencapai tujuan konvensi. Secara umum, proyek yang termasuk dalam kegiatan CDM adalah sektor energi, yaitu pembangkit listrik yang dapat diperbaharui, pengurangan emisi metana, pengurangan gas-gas industri, energi yang dapat diperbaharui untuk pengguna, efisiensi energi, substitusi bahan bakar serta kehutanan (Jung, 2006).

(3)

Protokol Kyoto juga menghasilkan target Kyoto yang mencakup jenis gas, persen pengurangan dan tahun pencapaian. Implikasi dari Target Kyoto adalah:

§Mengikat secara hukum (legally binding)

§Adanya periode komitmen (commitment period), yaitu 2008-2012. §Menggunakan rosot (sink) untuk pencapaian target.

§Adanya jatah emisi (assigned amount) setiap pihak Annex I (Tabel 1),

§Memasukkan enam jenis GRK (basket of gasses) yaitu CO , CH , N O, HFC, PFC dan SF , dan disetarakan 2 4 2 6 dengan Co .2

Komitmen pembatasan dan pengurangan emisi kuantitatif yang diterapkan untuk negara-negara industri selama periode komitmen dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :

Tabel (Table) 1. Emisi dan komitmen pengurangan emisi kuantitatif yang diterapkan untuk negara-negara industri (Emission and commitent of quantitative emission reduction applied by developed countries)

Keterangan (Remark) : * Persentase emisi dibandingkan tahun 1990

(4)

III. KELEMBAGAAN DAN SIKLUS CDM

A. Kelembagaan CDM

Kelembagaan untuk mengimplementasikan CDM dan mekanisme Kyoto lainnya secara garis besar adalah sebagai berikut :

1 CoP/MoP (Conference of Parties/Meeting of Parties)

Konferensi para Pihak atau Pertemuan Para Pihak merupakan pertemuan utama Para Pihak Kyoto Protokol yang juga merupakan lembaga pengambil keputusan tertinggi yang berkaitan dengan implementasi Kyoto Protokol. Tugas utama CoP/MoP adalah mengupayakan pelaksanaan Protokol secara efektif dengan cara menilai implementasi protokol, menilai kewajiban para pihak, mendorong terjadinya pertukaran informasi, memobilisasi dana serta memanfaatkan jasa dan kerja sama.

2 Badan Pelaksana CDM (CDM Executive Board)

Anggota Badan pelaksana CDM terdiri dari 10 orang dari Para Pihak Protokol dengan komposisi lima orang masing-masing dari lima wilayah PBB, dua orang dari negara Annex I, dua orang dari negara-negara Non-Annex I, dan satu orang dari SIDS (Small Islands DevelopingStates), yaitu negara-negara berkembang kepulauan kecil yang rentan terhadap perubahan iklim.

Tugas utama Badan Pelaksana CDM adalah mengawasi pelaksanaan proyek-proyek CDM di negara berkembang dan bertanggung jawab kepada CoP/MoP. Tugas utama tersebut meliputi:

§Membuat rekomendasi kepada CoP/MoP tentang revisi dan perubahan atas modalitas dan prosedur CDM jika diperlukan.

§Mengesahkan metodologi yang berkaitan dengan penentuan garis awal (baseline), pemantauan dan batas proyek

§Menyederhanakan modalitas dan prosedur untuk proyel-proyek skala kecil yang dimasukkan dalam jalur cepat.

§Memberikan rekomendasi kepada CoP/MoP tentang akreditasi terhadap entitas operasional, standar akreditasi, penangguhan dan pencabutan jika tidak lagi memenuhi standar.

§Memastikan bahwa distribusi proyek CDM tersebar merata secara geografis dan mengidentifikasi hambatan.

3 Pencatat CDM (CDM Registry)

Badan Pelaksana CDM akan mengembangkan dan menggunakan “buku induk” sistem pencatatan CDM (CDM registry) untuk mencatat perhitungan dan adminsitrasi CER. CER untuk kegiatan proyek CDM diterbitkan atas instruksi Badan Pelaksana dan dicatat kedalam rekening Badan pelaksana serta diteruskan ke rekening pencatat. Setiap CER yang dicatat harus memiliki nomor seri tertentu yang terdiri dari : (a) Kode periode komitmen, (b) Kode pihak penghasil CER sesuai ketentuan ISO 3166, (c) Tipe untuk identifikasi bahwa jenis unitnya adalah CER (d) Unit CER dan (e) Kode proyek.

4 Entitas Operasional (Operation Entity)

Entitas Operasional bertanggung jawab kepada CoP/MoP melalui Badan Pelaksana CDM. Tugas Entitas Operasional adalah melakukan (a) validasi Proyek CDM yang diusulkan pengembang, (b) pendaftaran proyek tersebut dalam sistem pencatatan Badan pelaksana, dan (c) verifikasi serta sertifikasi pengurangan emisi.

Entitas Operasional merupakan pihak ketiga yang independen dan terakreditasi oleh Badan Pelaksana. Entitas Operasional harus memiliki standar yaitu: (a) merupakan entitas legal atau berbadan hukum, (b) memperkerjakan orang dengan kompetensi memadai, (c) dukungan keuangan yang stabil, (d) memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan tanggung jawab hukum dan keuangan, (e)

(5)

memiliki dokumen tertulis struktur organisasi dan sistem manajemen, (f) memiliki pemahaman tentang CDM dan (g) tidak memiliki masalah hukum.

5 Otoritas Nasional yang Ditunjuk (Designated National Authority, DNA)

Otoritas Nasional adalah lembaga pada tingkat nasional yang ditunjuk pemerintah (Designated National Authority), untuk mewakili kepentingan nasional dalam implementasi CDM. Bagi para pihak di negara berkembang, memiliki sebuah DNA (dan meratifikasi Protokol Kyoto) merupakan syarat untuk dapat berpartisipasi dalam CDM.

Fungsi utama DNA adalah pengaturan dan promosi proyek CDM. Dalam menjalankan fungsi pengaturan, DNA yang memilki status legal akan melakukan evaluasi terhadap Dokumen Desain Proyek (Project Design Document) yang diajukan pengembang untuk selanjutnya direkomendasikan untuk disahkan oleh pejabat pemerintah yang berwenang (biasanya Focal Point Nasional Konvensi Perubahan Iklim). Untuk itu DNA perlu mengadopsi kriteria internasional dan menyusun kriteria nasional atas dasar konsultasi dengan stakeholder.

Kriteria internasional yang perlu diadopsi oleh DNA antara lain :

§Keabsahan (eligibility). kriteria bahwa proyek CDM dapat membantu negara berkembang dalam mencapai pembangunan berkelanjutan dan tujuan utama konvensi

§Baseline. Kriteria untuk mengukur keuntungan proyek CDM.

§Keterukuran. Kriteria yang menggambarkan pengurangan emisi berdasarkan skenario dapat diukur dan diproyeksikan secara kuantitatif.

§Eksternalitas. Kriteria yang digunakan untuk menggambarkan resiko dan pengelolaan resiko proyek yang memungkinkan terjadinya kebocoran simpanan atau emisi yang berkurang.

§Pemantauan. Kriteria guna menjamin terjadinya pengamanan atas pengurangan emisi (gambaran melalui dimensi waktu dan frekuensi pemantauan)

B. Siklus Proyek CDM

(6)

Langkah pertama pada siklus proyek CDM adalah munculnya ide proyek oleh pengembang proyek yang dinyatakan secara singkat dan tertulis sebagai catatan ide proyek (Project Idea Note, PIN) yang diperlukan oleh potensial pembeli CER. Selanjutnya perlu dibuat Dokumen Desain Proyek (Project Design

Document, PDD) sebagai dokumen standar yang memuat sebagian besar informasi penting mengenai rencana

proyek CDM .

PDD harus disetujui secara tertulis oleh DNA. Bagian dari persetujuan oleh pemerintah adalah konfirmasi bahwa proyek CDM memenuhi kriteria sebagai pembangunan yang berkelanjutan.

Pada tahap validasi, Entitas Operasional sebagai pihak ketiga yang independen dan terakreditasi akan menilai apakah proyek memenuhi peraturan internasional misalnya adanya baseline proyek, nilai tambah (additionality) dan lain-lain. Apabila desian proyek telah sukses pada tahap validasi, Badan Pelaksana akan secara formal mendaftarkan CDM proyek tersebut. Proses ini disebut sebagai registrasi.

Langkah selanjutnya adalah implementasi proyek. Pengembang proyek harus mengumpulkan dan memperoleh semua data yang diperlukan untuk menghitung emisi dan pembuangan GRK sesuai dengan rencana pemantauan yang dinyatakan dalam PDD. Dengan interval tertentu, emisi GRK yang dibuang akan ditentukan dan dicatat oleh Entitas Operasional dimana proses ini dinamakan verifikasi. Setelah Entitas Operasional mendapatkan jaminan tertulis bahwa kegiatan proyek dapat mencapai pengurangan emisi sebagaimana yang diverifikasikan (proses ini disebut sertifikasi), Badan Eksekutif dapat mengeluarkan CER (pengurangan emisi yang disertifikasi) setara dengan jumlah yang dapat direalisasikan oleh proyek. Tergantung dari harga karbon yang berlaku di pasar, CER yang dihasilkan akan dibeli oleh pasar di bawah koordinasi Badan Eksekutif sebagai nilai karbon yang diterima oleh pengembang.

IV. PROSPEK CDM KEHUTANAN DI INDONESIA

A. CDM Kehutanan

Kehutanan menjadi isu yang kontroversial sejak diadopsinya Protokol Kyoto, terutama berkaitan dengan mekanisme fleksibel dalam upaya penurunan emisi GRK. Protokol Kyoto Artikel 12 tentang CDM tidak secara tegas menyatakan bahwa aktifitas disektor kehutanan dapat masuk ke dalam CDM. Namun karena sejumlah data ilmiah menunjukkan bahwa beberapa aktivitas di sektor kehutanan dapat memberikan kontribusi nyata dalam mitigasi perubahan iklim, setelah melalui proses negosiasi panjang, pada CoP-6 di Bonn tahun 2001, disepakati bahwa aforestasi dan reforestasi sebagai aktivitas LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) dapat masuk CDM pada periode komitmen pertama tahun 2008-2012 (Purnama dan Masripatin, 2001). Meskipun demikian, ada batasan bahwa CDM dari sektor kehutanan tidak lebih dari satu persen dari total emisi Pihak Investor.

Proyek kehutanan harus memenuhi syarat terjadi penambahan (additionality) yaitu berkurangnya GRK akibat penambahan rosot karbon (sink) pada lokasi proyek, yang jumlah stok karbonnya lebih tinggi bila dibandingkan tanpa adanya kegiatan CDM kehutanan.

Beberapa jenis kegiatan yang masuk dalam kategori aforestasi dan reforestasi adalah agroforestry (wanatani) atau hutan kemasyarakatan, reboisasi, pembangunan hutan tanaman, dan proyek energi biomas. Hasil pertemuan CoP 6 di Bonn dan CoP 7 di Makaresh tetap sepakat bahwa aforestasi dan reforestasi adalah kegiatan di sektor kehutanan yang dapat menghasilkan CER pada periode komitmen 2008-2012. Sementara itu, pada CoP-CoP selanjutnya sampai dengan Cop 13 tahun 2007 di Bali, telah berkembang wacana bahwa mencegah deforestasi pada negara berkembang (REDD, Reducing Emission from Deforestation in Developing Countries) akan dapat dimasukkan sebagai mekanisme dalam menurunkan emisi GRK dan dapat diperjual belikan melalui mekanisme pasar dan non pasar.

(7)

B. Prospek dan Hambatan dalam Aplikasi CDM Kehutanan di Indonesia

Indonesia memiliki potensi yang tinggi untuk menjadi negera penyerap emisi karbon karena hutan tropisnya yang luas, yaitu ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire. Potensi tersebut bahkan dapat lebih ditingkatkan dengan upaya penanaman jenis pada hutan yang telah terdegradasi atau lahan kritis. Laporan FAO tahun 1990 menyebutkan bahwa luas lahan marginal di Indonesia yang hampir seluruhnya didominasi oleh padang alang-alang mencapai 17.327.000 ha (Anonim, 1991). Bila lahan yang telah terdegradasi tersebut direhabilitasi dengan teknik konservasi yang tepat, yaitu melalui aktivitas pembuatan hutan tanaman dengan metode pengelolaan yang tepat maka areal tersebut berpotensi sebagai media pengurangan emisi dengan penambahan/peningkatan rosot karbon (carbon sink) yang baru.

Kegiatan di sektor kehutanan yang potensial dapat menekan terjadinya perubahan iklim dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu konservasi, peningkatan rosot karbon dan substitusi penggunaan bahan bakar fosil dengan biomas. Kegiatan konservasi meliputi perlindungan hutan dari deforestasi dan degradasi akibat aktivitas manusia. Peningkatan rosot dilakukan melalui kegiatan perluasan hutan tanaman dengan penanaman pohon di lahan kritis, gundul atau semak belukar yang belum termasuk dalam kriteria hutan. Indonesia menetapkan definisi hutan dalam Mekanisme Pembangunan Bersih, serta aforestasi dan reforestasi, yaitu:

§Luasnya lebih besar atau sama dengan 0.25 ha.

§Penutupan tajuknya lebih besar atau sama dengan 30 % §Tinggi pohonnya lebih tinggi atau sama dengan 5 m.

§Reforestasi adalah penanaman tanaman tahunan di lahan kosong yang tidak berhutan sejak 31 Desember 1989.

§Aforestasi adalah penanaman tanaman tahunan di lahan kosong yang tidak berhutan sejak 50 tahun yang lalu.

Pengelolaan hutan dilakukan dengan sistem pengelolaan yang berkelanjutan (Boer, 2001). Potensi karbon yang yang dapat diserap untuk kegiatan di bidang kehutanan tercantum pada Tabel 2.

(8)

Minat untuk menerapkan Kyoto Protokol melalui proyek CDM Kehutanan di Indonesia cukup tinggi (ADB, 2006). Hal ini juga didukung oleh dikeluarkannya persetujuan mengenai modalitas dan prosedur untuk kegiatan AR CDM pada tahun 2003. Sebagai tindak lanjut, Pemerintah Indonesia telah menyusun Rencana Strategis Nasional untuk kegiatan CDM sektor kehutanan dan energi. Pada tanggal 19 Oktober 2004, Pemerintah Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto, sehingga Indonesia berhak (eligible) untuk mengimplementasikan CDM. Sejalan dengan persyaratan Protokol Kyoto, Pemerintah Indonesia kemudian membentuk Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (National Comission on CDM), yang berfungsi sebagai Designated National Authority (DNA). Untuk mempermudah pelaksanaan, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih.

Meskipun berbagai persyaratan telah dipenuhi dan secara fisik Indonesia memiliki potensi untuk menerapkan proyek karbon melalui mekanisme AR-Forestry CDM, sampai saat ini belum ada proyek CDM Kehutanan yang berhasil diaplikasikan di Indonesia. Berbagai kendala dalam menerapkan CDM Kehutanan diantaranya adalah kesulitan dalam mencari lahan yang memenuhi syarat (eligible), mekanisme CDM yang rumit dan butuh waktu lama, ketidaksiapan institusi di tingkat lokal dalam mengelola proyek CDM dan kesulitan investasi awal untuk membangun tanaman.

V. PENUTUP

Mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism, CDM) adalah salah satu mekanisme fleksibel yang dihasilkan oleh Protokol Kyoto sebagai langkah nyata untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di bumi. Mekanisme ini memungkinkan negara maju melakukan investasi di negara berkembang pada berbagai sektor untuk mencapai target penurunan emisinya, dengan membeli Penurunan Emisi yang Disertifikasi (Certified Emission Reduction, CER). Negara berkembang akan memperoleh kompensasi dana yang dapat digunakan untuk tujuan pembangunan yang lestari.

Meskipun minat untuk mengembangkan CDM Kehutanan cukup tinggi dan secara fisik Indonesia memiliki potensi untuk menerapkan proyek karbon kehutanan, berbagai hambatan dijumpai dalam upaya menerapkan proyek CDM Kehutanan. Beberapa langkah penting yang dapat dilakukan agar proyek CDM Kehutanan di Indonesia dapat dilaksanakan adalah sosialisasi yang lebih intensif dan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak agar kegiatan ini dapat dilaksanakan, mencari sumber dana dan melakukan negosiasi dengan pemodal (dalam negeri dan asing) yang bersedia menanamkan modalnya untuk kegiatan awal proyek CDM, dan membuat proyek percontohan proyek CDM skala kecil yang dapat menstimulasikan pelaksanaan proyek lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

ADB. 2006. Carbon Sequestration through the CDM for Indonesia. Final Report ADB TA No. 4137-INO Project.

Anonim. 1991. The Republic of Indonesia: the Basic Study on Strategic Response Against Global Warming and Climate Change. Interim report, Ministry of State for Population and Environment.

Boer, R. 2001. Opsi mitigasi Perubahan Iklim di Sektor kehutanan dan Aspek Metodologi Proyek Karbon Kehutanan. Prosiding Lokakarya Tindak Lanjut Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto 18 September 2001. Departemen Kehutanan. Jakarta

Jung, M. 2006. CDM Terminology, status of the CDM portfolio, failures and lessons learned.

(9)

Murdiyarso, D. 2003. CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih. Seri perubahan Iklim. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta.

Peraturan Menteri Kehutanan. No. P.14/Menhut-II/2004. Tata Cara Aforestrasi dan Reforestasi dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih. Sekretariat CDM. Departemen Kehutanan. Jakarta. Purnama, B dan N. Masripatin. 2001. Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto dalam Konteks

Gambar

Tabel (Table) 1. Emisi dan komitmen pengurangan emisi kuantitatif yang diterapkan untuk negara-negara industri (Emission and commitent of quantitative emission reduction applied by developed countries)
Gambar (Figure) 1. Siklus Proyek CDM (CDM Project cicle) (dimodifikasi dari Murdiyarso, 2003, Jung, 2006/Modified from Murdiyarso, 2003; Jung, 2006)
Tabel (Table) 2.  Potensi karbon yang dapat diserap oleh sektor kehutanan (Potency of carbon sequestrated by forestry sector)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

dapat diartikan seperangkat tugas yang harus dikerjakan atau sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur tingkat pemahaman dan penguasaannya

a. Sebagai acuan dalam proses kegiatan. Dengan demikian, semua aktivitas yang akan dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam proses kerjasama, harus mengacu

d. bahwa atas dasar pertimbangan di atas, maka dipandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum penyelenggaraan shalat Jumat bagi orang yang bekerja di suatu daerah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun aplikasi dengan menerapkan metode EOQ yang berguna untuk mengolah data pembelian menjadi informasi yang

sebagai tumbuhan berkhasiat obat yang dapat menjadi salah satu alternatif jenis yang dapat ditanam di Taman Obat Keluarga.. Tumbuhan yang di daerah Sunda dikenal dengan nama

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari Economic Value Added (EVA) dan Market Value Added (MVA) terhadap harga saham pada perusahaan makanan dan minuman yang

Salah satu cara yang paling efektif untuk menambah kemampuan pengamatan dan kesanggupan membeda- bedakan hal-hal yang penting dan yang tidak penting adalah dengan selalu

Proyek sodetan Bekasi-KBT sudah mulai dikerjakan di wilayah Pondok Kopi dan dihentikan Pemko Jakarta Jakarta Timur... BraniBeli SmuaMerk Mtr Tua / Muda KondTdk