• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJUANGAN DIPLOMASI DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA MASA REVOLUSI (1946-1949).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERJUANGAN DIPLOMASI DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA MASA REVOLUSI (1946-1949)."

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk

Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh :

ALFIDATU PANJI BIMANTARA 07406244001

PRODI STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)
(3)
(4)
(5)

v

"Janganlah terlalu merisaukan masalah Anda.

Berfokuslah pada kebaikan yang bisa Anda lakukan, dalam sekacau-kacaunya perasaan."

(Mario Teguh)

“Banyak sekali kegagalan dalam hidup adalah mereka yang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan ketika mereka menyerah” “Hanya karena sesuatu tidak berjalan sesuai dengan yang anda recanakan, tidak

berarti bahwa hal tersebut sia-sia” (Thomas Alva Edison)

“Anda tak akan dihukum untuk kemarahan anda, tetapi anda akan dihukum oleh

kemarahan anda.” (Pepatah Buddhis)

“Ketika satu pintu tertutup, pintu lainnya terbuka, tetapi kita seringkali melihat begitu lama dan penuh penyesalan terhadap pintu yang tertutup sehingga kita

tidak bisa melihat pintu lainnya yang telah terbuka untuk kita” (Alexander Graham Bell)

(6)

vi

Yang Maha Esa untuk:

 Ayahku tercinta bapak Bambang Heru Purnomo atas bimbingan dan segala jerih payahnya untuk membimbing dan selalu mengusahakan apapun kebutuhanku hingga saat ini untuk menimba ilmu dan meraih cita-citaku  Ibuku tersayang ibu Emilia Suatmi Utari atas kasih sayang dan segala

upayanya untuk mendidik dan mengajarkan banyak rasa bersyukur dan keihklasan untuk menjadi pribadi yang baik dan bertanggung jawab

 Bapak Dr. Aman, M. Pd selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu dan membimbing dalam penyelesaian skripsi ini sampai selesai. Tiada kata yang dapat diungkapkan selain kata terima kasih untuk bapak dosen

Kubingkiskan segala usahaku ini untuk:

 Adikku Bacilius Pandu Pinandito yang menjadi motivasi semangatku

 Yang Tersayang Fc.Astriyani Dewi Prawitasari yang selalu menemani dan memberi dukungan

 Teman terbaikku Nico Rizardo, Riqki Harvin Arvan yang bersama-sama berjuang dalam meraih cita-cita

 Teman-teman Pendidikan Sejarah 2007

(7)

vii

Oleh: Alfidatu Panji Bimantara NIM: 07406244001

Penulisan skripsi ini membahas permasalahan tentang suatu proses perundingan yang dilakukan yang terjadi antara tahun 1946-1949. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui latar belakang dipilihnya diplomasi. Selain itu untuk mengetahui proses proses dan perkembangan perjuangan diplomasi dengan dampaknya bagi Indonesia setelah masa Kemerdekaan.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode sejarah. Metode penelitian sejarah mencakup 4 tahap yaitu: Pengumpulan Sumber (Heuristik) yaitu kegiatan menghimpun jejak masa lalu yang digunakan sebagai sumber sejarah, Kritik Sumber (Verifikasi) yaitu kegiatan meneliti jejak masa lampau tersebut baik bentuk maupun isinya, Analisis Sumber (Interpretasi) yaitu kegiatan untuk menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta sejarah yang diperoleh. Penulis melakukan perbandingan dari setiap isi buku yang diperoleh dan Penulisan (Historiografi) yaitu menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk suatu kisah. Pendekatan yang digunakan ada 2 macam yaitu pendekatan historis dan pendekatan politik. Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriprif.

Berdasarkan hasil penelitian maka penulisan skripsi ini berhasil mengungkap beberapa hal seperti Diplomasi Indonesia efektif karena adanya keterlibatan pihak ketiga baik itu Amerika Serikat, PBB dan Dunia Internasional. Keterlibatan pihak ketiga ini memperkuat posisi Indonesia dengan memberikan pengakuan secara de facto dan de jure hingga kemudian sampailah ke perundingan akhir Konfrensi Meja Bundar yang diadakan di Den Haag Belanda.

(8)

viii

berjudul “Perjuangan Diplomasi Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Masa Revolusi (1946-1949)” dapat terselesaikan dengan baik dan lancar. Tugas akhir disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesainya skripsi ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis dengan kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd, M.A, selaku Rektor Universitas Negeri Yogyakarta beserta seluruh staf atas izin dan kesempatan yang diberikan. 2. Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M. Ag selaku Dekan FIS Universitas Negeri

Yogyakarta yang telah memberikan berbagai kemudahan dalam penelitian ini.

3. Bapak M .Nur Rokhman M, Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah. 4. Bapak Dr.Aman M.Pd yang juga selaku pembimbing yang selalu

memberikan motivasi, dan membimbing saya dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Sudrajat M.Pd selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan motivasi kepada penulis selama kuliah maupun dalam penulisan skripsi ini.

6. Staf perpustakaan UPT, Perpustakaan FIS dan Lab Sejarah UNY, terima kasih atas koleksi yang bermanfaat.

7. Kedua orang tuaku, yang telah memberikan segalanya dan mendoakan bagi penulis sampai sekarang ini.

(9)

ix

Semoga bantuan, bimbingan, dorongan bapak/ibu/saudara/i, berikan kepada penulis dicatat sebagai amal ibadah sebagai amalan yang terbaik. Amin, semoga Tuhan Allah YME melimpahkan berkah dan rahmatnya bagi kita semua. Akhirnya harapan penulis semoga skripsi ini membawa manfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, 10 Juli 2014

Penulis

(10)

ix A. Latar Belakang Proses Jalannya Diplomasi ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Penelitian ... 8

E. Historiografi yang Relevan ... 13

F. Metode dan Pendekatan Penelitian ... 14

BAB II SEBAB-SEBAB DIGUNAKANNYA DIPLOMASI DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA (1946-1949) A. Konflik Terjadi Berkelanjutan ... 20

B. Keadaan Politik Setelah Kemerdekaan ... 24

C. Pemilihan Jalan Diplomasi ... 31

BAB III PROSES JALANNYA DIPLOMASI DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA A. Proses dan Jalannya Diplomasi ... 34

B. Berbagai Macam Perundingan ... 35

BAB IV DAMPAK PENGGUNAAN DIPLOMASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK INDONESIA-BELANDA DESKRIPSI WILAYAH A. Peran Dunia Internasional dalam Diplomasi ... 75

B. Dampak Perundingan Republik Indonesia ... 80

BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan ... 85

(11)

x

III. Rumusan Protokol ... 97 IV. Dasar-Dasar Pemikiran Menteri Logemann... 103

(12)
(13)

1

A. Latar Belakang Proses Jalannya Diplomasi

Pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya setelah hampir 350 tahun hidup sebagai negara terjajah. Kemerdekaan merupakan kebebasan dan pernyataan berdirinya negara Republik Indonesia. Negara yang bebas dari segala penjajahan bangsa asing yang menguasai seluruh kepulauan Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia disambut dengan suka cita oleh seluruh rakyat Indonesia. Kegembiraan tersebut ditunjukkan dalam karangan P.R.S. Mani berjudul Jejak Revolusi 1945 Sebuah Kesaksian Sejarah, dikatakan bahwa :

Di Jawa, pusat kebangkitan nasional, perasaan ini lebih kuat. Bendera-bendera dan panji-panji berkibar di setiap tempat yang tinggi dan tentara maupun kelompok liar bersenjata berjalan hilir mudik dengan riangnya, menyandang senjata mereka yang beraneka macam. Patroli sering diadakan di setiap sudut jalan, semua jalan, dan jalan raya. Begitu pula rintangan jalan diletakkan di sana sini untuk mengintai musuh-musuh republik, yaitu bangsa Belanda yang mungkin saja kembali untuk kembali berkuasa di Indonesia.1

1

(14)

Belanda menentang kemerdekaan Republik Indonesia. Belanda tidak akan menyerahkan tanah air Indonesia. Tidak demikian dengan Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia menginginkan kemerdekaan yang berdaulat penuh. Kemerdekaan yang diakui oleh bangsa-bangsa di dunia, bangsa Indonesia mendambakan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemerdekaan yang telah dinantikan selama 350 tahun. Merdeka berarti bebas dari penjajahan bangsa asing. Bangsa bebas, merdeka yang dapat membangun masa depannya sendiri. Untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa yang bebas dari campur tangan kekuatan asing, tidaklah mudah karena berbagai hal. Banyak konflik yang terjadi setelah kemerdekaan. Salah satu konflik tersebut yakni terjadinya pertempuran antara Indonesia dan Jepang sepanjang bulan September 1945 setelah satu bulan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Pertempuran yag terjadi tidak hanya melawan Jepang, tetapi juga melawan Sekutu, Inggris, NICA (Netherlands Indies Civil Administration), dan Belanda.

(15)

Konflik yang terjadi antara Indonesia-Belanda karena masalah peralihan kekuasaan. Peralihan dari tangan Pemerintahan Belanda ke tangan Pemerintahan Republik Indonesia. Konflik tersebut terjadi dari tahun 1946-1949. Konflik yang dipicu keberpihakan Sekutu kepada Pemeritahan Belanda. Sekutu enggan menyerahkann wilayah Indonesia kepada Pemerintahan Republik Indonesia. Sekutu lebih memilih menyerahkan wilayah Indonesia kepada Belanda. Hal itu yang menimbulkan terjadinya Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II. Kedua agresi ini terjadi di sela-sela berlangsungnya perjanjian antara Indonesia dan Belanda. D. Sidik Saputra dalam karangannya berjudul Revolusi Indonesia dan Hukum Internasional, mengatakan bahwa:

(16)

jakarta yang juga dihadiri oleh Sir Archibald Clark Kerr tidak dapat berjalan lancar.2

Konflik atau pertempuran antara bangsa Indonesia dengan bangsa asing atas penguasaan wilayah-wilayah Indonesia merupakan suatu revolusi bangsa Indonesia. Revolusi yang terjadi merupakan bentuk kesadaran rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajahan. Bangsa Indonesia bertekad bahwa selama hayat masih dikandung badan, kemerdekaan harus terus dipertahankan untuk selama-lamanya. Dalam usaha mempertahankan kemerdekaan diperlukan peran serta berbagai lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Selama masa revolusi pada tahun 1945-1949 berbagai peristiwa telah terjadi. Pada masa itu situasi masyarakat Indonesia penuh pergolakan. Sebagai contohnya berbagai insiden kejam terjadi di Surabaya pada bulan Oktober 1945. Insiden yang merupakan penyimpangan dari kelompok ekstrimis Indonesia yang tidak terkendali.3 Pemerintah Indonesia menyadari bahwa konflik yang terjadi harus dihentikan. Penderitaan rakyat dan kehancuran akibat perang harus dipulihkan kembali. Sebagai bukti nyata tindakan dari pemerintah Republik Indonesia yaitu dengan mengadakan perundingan dengan pihak Belanda.

Dalam buku karangan George Mc Turman Kahin yang berjudul Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Nasionalisme dan Revolusi di

(17)

Indonesia, dikatakan bahwa pertempuran di Surabaya memungkinkan diadakannya perundingan diplomatik selama tahun 1946 dan awal 1947 antara Belanda dan Indonesia. Mulai saat itulah Pemerintah Republik Indonesia berusaha memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan melalui perjuangan diplomasi, sejauh mungkin menghindari pertempuran fisik. Beberapa bulan terakhir sebelum penarikan pasukan Inggris pada akhir 1949 yaitu pada saat perjanjian Linggarjati, merupakan suatu kondisi yang relatif damai di Indonesia. Kondisi damai tidak berlangsung lama, perjanjian Renville 17 Januari 1948 yang merupakan periode gencatan senjata berakhir dengan sia-sia. Belanda kembali mengadakan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948.4

Melihat situasi konflik yang terjadi selama periode 1945-1949 yang terus saja terjadi pemerintah Indonesia berkesimpulan bahwa konflik harus dapat diselesaikan melalui jalan diplomasi. Persetujuan gencatan senjata ini membawa dampak cukup luas terhadap sistem pertahanan Indonesia. Pemimpin Republik Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Amir Syarifudin sepakat bahwa perjuangan dengan cara diplomasi merupakan suatu cara perjuangan yang elegan dan bermartabat dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.

Diplomasi yang dilakukan bagi Indonesia bertujuan untuk menciptakan perdamaian pada masa peralihan kekuasaan. Selain itu,

4

(18)

perjuangan dengan diplomasi dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan internasional bagi eksistensi bangsa Indonesia. Perjuangan dengan diplomasi utuk menciptakan integritas bangsa. Perjuangan dengan diplomasi untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa pihak Indonesia ingin damai. Meskipun demikian tidak berarti takut berperang dengan mengangkat senjata untuk mepertahankan kemerdekaannya.5

Niat baik Pemerintahaan Republik Indonesia ditanggapi dingin oleh Belanda. Satu hal yang harus diwaspadai bahwa pemerintahan dalam negeri Republik Indonesia harus kondusif. Situasi dan kondisi politik dalam negeri harus stabil. Jika situasi politik dalam negeri lemah maka diplomasi yang dijalankan tidak efektif. Kondisi politik yang baik sangat mendukung jalannya diplomasi. Kestabilan politik dalam negeri sebagai dasar untuk mewujudkan cita-cita Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Republik Indonesia yang berdaulat sehingga dapat membangun masyarakat baru yang bebas dari intervensi bangsa asing.

Dengan adanya kestabilan politik dalam negeri akan memperlancar tugas pemimpin bangsa untuk mengadakan pembinaan kembali demokrasi di Republik Indonesia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perjuangan diplomasi pemimpin bangsa berdampak besar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam kurun tahun 1946-1949. Pada masa itu

5

(19)

perjuangan bangsa Indonesia dengan cara damai lewat perundingan dalam melawan kekuasaan penjajah Belanda.

B. Rumusan Masalah

Diplomasi merupakan suatu cara yang dilakukan pemimpin bangsa Indonesia dalam memperoleh dukungan dunia internasional. Bagi bangsa Indonesia, perjuangan diplomasi yang dijalankan bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan penuh agar terciptanya perdamaian di Indonesia. Untuk itu skripsi yang berjudul Perjuangan Diplomasi Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Masa Revolusi (1946-1949), dapat dirumuskan dalam beberapa permasalahan. Adapun permasalahannya sebagai berikut :

1. Mengapa pemerintah menempuh jalur diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam kurun 1946-1949? 2. Bagaimana proses jalannya diplomasi dalam mempertahankan

kemerdekaan Indonesia dalam kurun waktu tahun 1946-1949? 3. Bagaimana efektivitas diplomasi yang dijalankan dalam

(20)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dirumuskan tujuan penulisan sebagai berikut :

a. Untuk mendiskripsikan dan menganalisis latar belakang digunakan diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam kurun 1946-1949.

b. Untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam kurun 1946-1949.

c. Untuk mengetahui efektivitas diplomasi yang dijalankan para pemimpin dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam kurun 1946-1949.

D. Manfaat Penelitian

a. Secara umum penelitian sejarah tentang diplomasi diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan informasi yang sangat penting bagi pengembangan pengetahuan tentang fakta-fakta peristiwa sejarah awal-awal Kemerdekaan Republik Indonesia.

(21)

E. Kajian Pustaka

Sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan skripsi ini diperoleh melalui studi pustaka. Sumber-sumber yang digunakan berupa buku-buku yang tersedia di perpustakaan terutama buku-buku yang berkaitan dengan diplomasi yang dilakukan para pemimpin bangsa kurun waktu 1946- 1949. Dalam hal ini sumber-sumber dapat dibedakan menjadi dua yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah kesaksian dari seorang saksi sejarah yang dengan mata kepala sendiri melihat dan mengalami.

Sedangkan sumber sekunder merupakan kesaksian dari siapa pun yang bukan merupakan saksi yang mengalaminya sendiri, yakni dari seorang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkannya.6 Perlu diketahui dalam skripsi ini penulis tidak menggunakan sumber primer karena sumber primer merupakan sumber asli berupa dokumen, arsip-arsip, dan saksi mata atas peristiwa terjadi. Saksi mata peristiwa sudah tidak dapat dihadirkan kembali. Skripsi ini menggunakan salah satu sumber yaitu sumber sekunder. Penulis berpendapat sumber sekunder sudah cukup mendukung dalam penulisan. Adapun sumber sekunder tersebut adalah :

I. Pertama, Diplomasi Ujung Tombak Perjuangan RI, oleh Muhammad Roem, 1989, diterbitkan oleh PT Gramedia, Jakarta, 1989. Buku ini

6

(22)

berisi tentang kegiatan diplomasi ditahun-tahun awal kemerdekaan RI. Diplomasi yang merupakan salah satu cara pilihan utama para pemimpin Indonesia. Diplomasi sebagai cara untuk menyelesaikan konflik. Cara diplomasi diperjuangkan dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi isi buku ini ternyata belum menunjuk pada cara yang lebih baik dalam menyelesaikan konflik. Isi buku ini masih menampilkan suatu cara yang menimbulkan perjuangan fisik selama jalannya diplomasi. Perjuangan fisik yang melibatkan seluruh rakyat baik di desa maupun di kota-kota. Jadi, diplomasi yang dijalankan belum menunjuk ke arah yang lebih baik tanpa menimbulkan konflik.

II. Kedua, Jejak Revolusi 1945 Sebuah Kesaksian Sejarah, oleh O.R.S Mani, diterbitkan oleh PT Grafiti, Jakarta, 1989. Buku ini berisi tentang kesaksian Mani dalam periode sejarah bangsa Indonesia selama kurun 1945-1950. Buku ini mengisahkan jalannya revolusi fisik yang penuh dengan insiden-insiden yang terjadi selama masa pemerintahan Soekarno, Hatta, dan Syahrir. Pemikiran merekalah yang mempunyai pengaruh besar dalam revolusi. Dalam buku ini, masih banyak menampilkan revolusi dengan jalan kekerasan. Namun ternyata buku ini belum menjelaskan secara mendalam latar belakang terjadinya konflik-konflik. Konflik yang memunculkan pemikiran para pemimpin Indonesia untuk menempuh jalan diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

(23)

tentang berbagai pengalaman para tokoh sejarah yang terlibat langsung dalam perjuangan diplomasi yang berperan menegakkan kemerdekaan Republi Indonesia. Akan tetapi, buku ini belum menampilkan akibat dari diplomasi itu sendiri bagi kehidupan masyarakat. Sejauh mana diplomasi yang dilakukan para pemimpin Republik Indonesia dapat menghentikan konflik yang berlangsung selama masa peralihan belum terlihat. Pengaruh hasil diplomasi bagi kesejahteraan dan perdamaian dalam menghentikan konflik yang berlangsung selama masa peralihan tidak dapat ditampilkan. IV. Keempat, Refleksi pergumulan lahirnya Republik Nasionalisme Dan

Revolusi di Indonesia, oleh George Mc Turnan Kahin, Sinar Harapan & UI-Press, Cornell UI-Press, 1995. Buku ini berisi perihal besarnya kesadaran politik yang berkembang dalam semangat revolusioner yang dimiliki oleh masyarakat yang berjuang untuk menciptakan negara merdeka lepas dari kekuasaan penjajah. Akan tetapi buku ini belum menunjukkan gambaran situasi yang nyata dan jelas selama kurun waktu diplomasi. Bagaimana sepak terjang pemimpin bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan lewat jalur damai yaitu jalur diplomasi tidak dipelihatkan. Buku ini juga belum memberikan gambaran kepada pembaca bagaimana cara menghentikan berbagai konflik yang terjadi pada kurun waktu 1946-1949.

(24)

Republik Indonesia dalam perjuangan diplomasi. Buku yang memberikan gambaran kepada pembaca mengenai masalah peralihan, cara menghentikan perang, menghadapi tantangan, dan ancaman dalam hubungannya dengan perjanjian Linggarjati dan Renville. Akan tetapi buku ini belum menampilkan seberapa jauh keefektivitasan politik di Indonesia yang penuh dengan konflik selama masa diplomasi dilakukan. Buku-buku di atas tidak cukup untuk menjelaskan jawaban atas permasalahan yang ada.

Guna menyempurnakan penjelasan tentang permasalahan judul tulisan ini diperlukan teori yang berkaitan dengan penjelasan tentang dampak dan peran perjuangan diplomasi pada tahun 1946-1949. Menurut David B. Truman dalam tulisan Soelaeman Soemardi yang kaitannya dengan peran perjuangan diplomasi yaitu suatu usaha kegiatan yang mengarahkan pemerintah dalam menentukan keputusan-keputusan. Keputusan yang merupakan suatu hasil dari sekian banyak golongan kepentingan yang terorganisasi dan bersaing satu sama lain. Keputusan untuk memengaruhi pemerintah Republik Indonesia agar keputusan-keputusannya menguntungkan golongannya sendiri.7 Jadi peran perjuangan diplomasi merupakan suatu kegiatan yang memberikan batasan terhadap pemerintah Indonesia untuk menentukan keputusan-keputusan dalam berkompromi secara terorganisasi untuk melawan pengaruh

7

(25)

penjajah. Diplomasi yang dapat menguntungkan pihak Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.

F. Historiografi yang Relevan

Historiografi adalah metode dalam proses rekontruksi masa lalu atas dasar data-data yang diperoleh. Menurut Louis Gottschalk historiografi merupakan rekontruksi sejarah melalui proses menguji masa lalu.8 Historiografi yang relevan adalah kajian-kajian historis yang mendahului sebuah penelitian dengan tema atau topik yang hampir sama. Fungsi dari adanya historiografi yang relevan adalah untuk menunjukkan keaslian (orisinalitas) sebuah karya ilmiah. Adanya penjelasan mengenai perbedaan penelitian-penelitian yang sebelumnnya dengan penelitian yang akan dilakukan, tentunya sudah cukup untuk menunjukkan orisionalitas sebuah karya ilmiah.9

Adapun Historiografi relevan pembanding pertama dalam skripsi ini adalah Peranan Sutan Syahrir Dalam Pemerintahan Indonesia (1945-1947) dalam skripsi karya Bernarda Prihartanti,S.Pd. adalah Alumni Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun 2010. Dalam skripsi ini lebih banyak menyoroti tentang diplomasi masa revolusi akan tetapi lebih kepada ketokohan Sutan Syahrir dalam jalan diplomasi menghadapi Belanda.

(26)

Historiografi yang kedua adalah dari Anton Giri Sadewo Alumni mahasiswa Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2012. Judul Skripsi tersebut adalah “Strategi Republik Indonesia Mendapat Pengakuan Internasional Pada Masa Kabinet Hatta 1 Tahun 1948-1949”. Karya tersebut berbeda dengan skripsi yang akan disusun ini karena dalam karya Anton Giri hanya mencakup dalam masa kabinet Hatta saja bukan tentang diplomasi yang dijalankan seperti yang akan disusun dalam skripsi ini.

G. Metode dan Pendekatan Penelitian 1. Metode Penelitian

Dalam merekontruksi penelitian berjudul “Perjuangan Diplomasi Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Masa Revolusi (1946-1949)”. Dampak ini menggunakan metode sejarah. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Metode tersebut digunakan untuk menguji serta menganalisis fakta. Analisis dengan cara menampilkan sebanyak mungkin fakta rekaman masa lampau secara kritis.

(27)

Keempat tahapan di atas mempunyai pengertian dan maksud sebagai berikut :

a. Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Pengumpulan sumber dalam merekontruksi tulisan ini diperoleh melalui studi pustaka. Studi berdasarkan buku-buku yang tersedia di perpustakaan. Buku-buku dipilih dan dipilah melalui proses pencarian dan pengumpulan disesuaikan atau yang berkaitan dengan tulisan ini. Sebagai contoh buku-buku tentang perjanjian-perjanjian diplomasi yang dilakukan pemimpin bangsa. Sumber-sumber tersebut tidak hanya didapatkan di perpustakaan saja, tetapi pengumpulan sumber juga didapatkan melalui internet. Tentunya yang berkaitan dengan diplomasi yang dilakukan pemimpin bangsa era 1946 - 1949. Salah satu contohnya Diplomasi Ujung Tombak Perjuangan RI, oleh Muhammad Roem. Sumber-sumber di atas diharapkan dapat membantu dalam penulisan skripsi ini. Pengumpulkan data-data yang penting disesuaikan dengan judul tulisan ini. Penulis berharap bahan dan fakta yang diperoleh dapat diramu menjadi karya ilmiah sebagai penentu akhir dalam studi.

b. Kritik Sumber (Verifikasi)

(28)

kritik ekstern adalah suatu pembuktian atas keaslian terhadap sumber yang didapatkan, yang jelas esensialnya. ekstern adalah penerkaan mengenai tanggal dokumendari identifikasi pengarangnya.10

Dalam skripsi ini kritik ekstern tidak dapat dilakukan. Hal ini karena sumber asli/primernya tidak digunakan. Tanggal dokumen dan identifikasi pengarangnya sulit diketahui dengan pasti. Kritik intern adalah suatu kepercayaan atas keaslian isi sumber yang digunakan karena tidak kredibel. Kredibel dalam arti khusus yakni: selaras dengan hasil investigasi kritis terhadap sumber-sumber.11 Buku-buku yang didapat kemudian dianalisis. Analisis dititikberatkan pada isi buku yang berkaitan dengan diplomasi. Sebagai contohnya bahwa dalam buku karangan A.B. Lapian & P.J.Drooglever berjudul Menelusuri Jalur Linggarjati Diplomasi dalam Perspektif Sejarah, dikatakan perundingan awal yang dilakukan Indonesia dan Belanda dilaksanakan pada tanggal 14 April 1946 hal ini ternyata benar karena dalam buku yang sejenis karangan G. Moedjanto berjudul “Indonesia Abad ke 20 Dari kebangkitan Nasional Sampai Linggarjati”, juga mengatakan tanggal dan bulan yang sama sehingga ide yang dituangkan bersifat objektif. Dengan demikian buku-buku yang sudah melalui kritik sumber dapat digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan tentang diplomasi.

c. Analisis Sumber (Interpretasi)

10

Louis Gottschalk. op. cit. hlm. 94 11

(29)

Tahap ketiga yang dilakukan dalam penulisan ini adalah analisis sumber. Analisis digunakan untuk meneliti isi buku-buku yang berkaitan dengan perjanjian-perjanjian dalam diplomasi. Buku yang didapatkan dari perpustakaan. Dapat saja buku-buku dan data yang didapatkan melalui internet terutama yang berkaitan dengan peran diplomasi. Hal tersebut melalui proses analisis sumber. Penulis berharap terhindar adanya usur subjektif. Analisis terhadap buku-buku ini diolah secermat mungkin. Hal ini agar semua permasalahan-permasalahan diplomasi memiliki bobot hasil yang sebenarnya. Diharapkan tulisan ini memberikan suatu gambaran yang jelas dan mudah dipahami oleh pembaca. Sebagai contohnya dalam skripsi ini bahwa perundingan diplomasi yang dilakukan pemimpin bangsa Indonesia bukan sekadar politik penghancur musuh.

Diplomasi merupakan suatu politik negara yang dilakukan untuk mencari dukungan internasional. Diplomasi untuk memperjuangkan kemerdekaan, hasil diplomasi tersebut adalah pengakuan atas kedaulatan Indonesia secara de facto dan de jure peristiwa ini secara resminya diperoleh pada tahun 1949 pada sebuah perundingan KMB di Den Haag.

d. Penulisan (Historiografi )

(30)

memberikan penjelasan dan pemahaman kepada pembaca untuk mengetahui perkembangan diplomasi selama periode 1946-1949.

2. Pendekatan

Skripsi ini menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan sosial dan pendekatan politik:

Pendekatan sosial digunakan untuk mengetahuai dalam kurun waktu ini daya upaya Bangsa Indonesia masih ditujukan bagi Mempertahankan Negara Proklamasi Indonesia dari segala bentuk rongrongan baik yang berasal dari pihak Belanda melalui Nica maupun dari dalam negeri, sehingga UUD 1945 tidak berhasil dijalankan sebagaimana mestinya. Berdasarkan persetujuan konferensi meja bundar, bahwa agar kedaulatannya diakui Belanda maka Indonesia harus dalam bentuk RIS. Yang terdiri atas Negara proklamasi Indonesia, Negara Indonesia Timur, Sumatera Timur dll. Dengan Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Moh. Hatta sebagai wakil presiden.

(31)

H. Sistematika

Skripsi berjudul Perjuangan Diplomasi Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Masa Revolusi (1946-1949) Ini mempunyai sistematika sebagai berikut:

a. Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kajian teori, metode dan pendekatan, hipotesis, dan sistematika penulisan.

b. Berisi uraian tentang sebab digunakannya diplomasi dalam mem pertahankan kemerdekaan Indonesia Tahun 1946-1949 yang memuat beberapa bahasan yakni: adanya konflik yang terjadi terus menerus, situasi politik setelah kemerdekaan, dan memilih diplomasi sebagai jalan penyelesaian konflik.

c. Berisi uraian tentang proses jalannya diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pembahasan meliputi latar belakang proses jalannya diplomasi dan berbagai macam perundingan. d. Berisi uraian tentang efektivitas diplomasi yang dijalankan dalam

(32)

20

A. Konflik Terjadi Berkelanjutan

Lahirnya Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan buah suatu perjuangan kemerdekaan oleh seluruh rakyat. Kemerdekaan harus terus dipertahankan demi kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Rakyat dan bangsa Indonesia yang selama lebih dari 350 tahun menderita lahir batin berkepanjangan akibat penjajahan bangsa Belanda. Penderitaan yang sekian lama tersebut telah membangkitkan kesadaran dirinya untuk merdeka. Kesadaran akan harga diri sebagai bangsa untuk berjuang mengusir penjajah dari Bumi Nusantara. Kemerdekaan adalah kebebasan dari segala bentuk penjajahan asing. Kemerdekaan Bangsa Indonesia adalah kebebasan dalam segala hal agar bisa membangun kembali bangsa tanpa campur tangan penjajah. Meskipun bangsa Indonesia sudah merdeka, Belanda masih menghendaki Indonesia tetap menjadi bagian dari negaranya. Belanda yang sudah bertahun-tahun lamanya mencengkeram dan menanamkan kekuasaannya di Indonesia tidak dengan suka rela bersedia melepaskan kekuasaan itu.1

Pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, ternyata dunia internasional belum sepenuhnya mengakuinya. Walaupun Indonesia telah merdeka, Belanda masih berkuasa atas beberapa daerah di Indonesia

1

(33)

seperti: Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, Palembang, Medan, Padang, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau kecil lain. Daerah-daerah tersebut tidak akan dikembalikan kepada Indonesia. Belanda menganggap kekuasaannya sudah tertanam lama di daerah tersebut.

Keengganan Belanda menyerahkan daerah-daerah tersebut memicu terjadinya perlawaan di seluruh pelosok negeri. Rakyat menghendaki agar Belanda menyerahkan daerah-daerah dan pulau-pulau yang dikuasai dikembalikan ke Indonesia. Rakyat berpendapat bahwa daerah-daerah itu merupakan bagian wilayah Indonesia yang sah. Selama enam bulan setelah berdirinya Republik terjadilah pertempuran di mana-mana. Pertempuran sebagai bentuk perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajah. Insiden pertama kali terjadi pada tanggal 19 September 1945 di Hotel Yamato di Tunjungan Surabaya. Pertempuran terjadi karena para pemuda Indonesia tidak bisa menerima pengibaran bendera Belanda yang dilakukan oleh sejumlah bekas interniran. Pertempuran bermula dari perobekan bendera Belanda oleh Arek-arek Suroboyo. Peristiwa ini kemudian disusul dengan perkelahian massal antara orang-orang Belanda yang dibantu orang Indo-Belanda melawan pemuda-pemuda Indonesia.

(34)

G. Moedjanto dalam karangannya yang berjudul Indonesia Abad ke-20 Jilid I Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggarjati, mengatakan

bahwa :

Pemuda dan rakyat menganggap pelepasan Huyer ada hubungannya dengan penyebaran Pamplet oleh pihak Inggris. Karena itu kecurigaan terhadap Inggris sebagai kaki tangan NICA semakin menjadi-jadi. Keadaan menjadi tegang, ketegangan itu bertambah-tambah dengan adanya pelakat-pelakat yang isinya senada dengan selebaran. Pada tanggal 27 Oktober itu pula terjadi pendudukan gedung-gedung penting oleh Inggris. Lebih jelek lagi pada keesokan harinya tentara Inggris merampas mobil-mobil termasuk mobil-mobil pribadi. Pemuda dan rakyat Surabaya sudah bertekad mempertahankan diri : ”Sadu muk bathuk senyari bumi

ditohi pati ”(lebih baik mati terhormat daripada hidup menanggung malu).

Arek-arek Suroboyo mengganggap kemerdekaan dalam bahaya karena itu mereka sesuai dengan nama asalnya harus “suro ing boyo”(berani menghadapi bahaya) pada tanggal 28 Oktober sore harinya pertempuran tidak dapat dihindarkan.2

Pertempuran serupa yang terjadi di Surabaya juga terjadi di beberapa daerah seperti: Bandung dan Semarang. Pertempuran di Bandung mengenai persoalan persenjataan pada tanggal 6 Oktober 1945. Pemuda-pemuda mengadakan aksi boikot terhadap bekas internir Belanda. Pada tannggal 9 Oktober 1945 pemuda-pemuda menyerbu pabrik senjata di

2

(35)

Kiaracondong Bandung. Sayang kemenangan belum berpihak kepada pemuda Indonesia.

Di Jawa Tengah pertempuran terjadi karena adanya pengambil alihan kekuasaan. Perebutan bangunan pemerintahan di Surakarta, perusahaan-perusahaan gula di Sragen dan Klaten. Pertempuran yang terjadi di Semarang karena adanya aksi balas dendam terhadap pihak Jepang yang dengan semena-mena melakukan penangkapan dan pembunuhan sejumlah pemuda Indonesia. Jelaslah sudah bahwa pertempuran yang terjadi di berbagai kota besar di Jawa merupakan aksi perlawanan rakyat mengusir penjajah yang tidak mau angkat kaki dari Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Melihat terjadinya pertempuran diberbagai kota, pemerintah berpendapat bahwa pertempuran harus dihentikan.

Jika dibiarkan akan menimbulkan akibat yang lebih besar lagi yang justru akan merugikan bangsa Indonesia. Untuk mengatasinya, pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan baru dengan jalan perundingan. Berunding dengan Belanda agar tercipta perdamaian bagi bangsa Indonesia. Menurut Pemerintah Indonesia cara tersebut lebih elegan dan bermartabat.

B. Keadaan Politik Setelah Kemerdekaan

(36)

terjadi di berbagai daerah, hal inilah yang memengaruhi situasi politik Indonesia setelah kemerdekaan. Situasi politik memburuk akibat adanya konflik dengan Belanda. Konflik terjadi akibat adanya kesadaran rasa nasionalisme seluruh rakyat Indonesia. Rakyat bertekad bahwa kemerdekaan harus tetap dipertahankan apa pun akibatnya. Pada awal-awal pemerintahan Indonesia, keadaan Indonesia penuh dengan insiden pertempuran terutama terjadinya pertempuran di Surabaya dan Ambarawa. Pertempuran yang terjadi telah menyadarkan SEAC (South East Asia Command). Komandan SEAC, Lord Mountbatten berpendapat bahwa proklamasi kemerdekaan bukan hanya cetusan dari segelintir orang yang dianggap berbau Jepang, tetapi merupakan dampak dari arus nasionalisme yang telah berkembang di Indonesia. 3

Nasionalisme yang didukung oleh rakyat dan pemuda Indonesia. Mereka rela mengorbankan jiwa dan raga mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pemuda dianggap menjadi inti pendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pemuda sangat dibutuhkan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari kekuasaan penjajahan Belanda. Perjuangan yang dilakukan para pemuda merupakan bukti bahwa mereka bersedia membela tanah air Indonesia dengan ikhlas. Hal itu menjadi faktor yang harus diperhatikan dalam panggung politik Republik Indonesia. Pada awalnya pemuda-pemuda Indonesia meyakini bahwa

3

(37)

kemerdekaan sepenuhnya hanya dapat dicapai dengan perjuangan bersenjata.

Pada perkembangan selanjutnya pemuda menyadari bahwa kemerdekaan tidak hanya dapat dipertahankan dengan perjuangan bersenjata saja. Perjuangan juga memerlukan perundingan diplomasi. Peristiwa pertempuran di Surabaya dan Ambarawa merupakan salah satu politik yang digunakan pada pemerintahan Soekarno-Hatta untuk melawan pemerintahan Belanda. Peristiwa tersebut telah membawa hasil, pada tanggal 10 November 1945 tentara Inggris-India dapat dipukul mundur oleh para pemuda Indonesia. Inggris-India tidak dapat menguasai kota Surabaya dan Ambarawa lagi.4

Kekalahan pasukan Inggris membawa akibat serta ancaman bagi Pemerintah Belanda atas kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Van Mook yang menyadari situasi tersebut, sistem politik Belanda di Indonesia yang harus diperbaiki. Menurutnya pertempuran Ambarawa dan Surabaya merupakan kemelut di bidang politik yang harus diatasi. Jika hal tersebut tidak bisa diatasi maka akan berakibat buruk bagi masa depan Indonesia, dalam hal kerjasama membangun bangsa. Van Mook menawarkan suatu cara untuk mengatasi kemelut politik tersebut dengan perundingan perunding dengan Belanda. Perundingan yang ditawarkan oleh Van Mook tidak begitu saja diterima oleh Soekarno-Hatta. Kemudian Soekarno-Hatta mengajukan syarat untuk dilakukan perundingan jika pemerintahan

4

(38)

Belanda mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Pada saat itu keadaan politik juga dipengaruhi adanya perebutan kekuasaan dalam tubuh pemerintahan Indonesia, yakni antara Tan Malaka-Subardjo terhadap Soekarno-Hatta.

Perebutan kekuasaan terjadi karena saat itu sistem pemerintahan belum teratur. Soekarno-Hatta memaksakan menggunakan sistem kabinet presidensial. Sistem pemerintahan Presidensial tersebut tidak memberikan kepuasan Tan Malaka-Soebardjo. Sistem pemerintah Presidensial yang dijalankan oleh Soekarno-Hatta dianggap otoriter. Adanya ketidakpuasan atas sistem pemerintahan presidensial dipandang oleh Tan Malaka dan Subardjo sebagai sesuatu kekosongan politik. Syahrir yang ketika itu menjadi Perdana Menteri menyadari jika politik Tan Malaka-Subardjo yang bersifat sosialis tersebut berkembang dalam Republik Indonesia akan menciptakan situasi yang berbahaya untuk mendapatkan simpati dari dunia internasional.

(39)

untuk masa depan Bangsa Indonesia. Mahasiswa banyak yang tidak puas akan pola pemerintahan darurat pimpinan Soekarno-Hatta. Ketidakpuasan bermula dari susunan kabinetnya.

Mahasiswa beranggapan bahwa orang-orang yang bekerja dalam kabinet tersebut memiliiki jabatan tinggi pada zaman Jepang. Syahrir dan kelompoknya yang kontra dengan proklamasi 17 Agustus khawatir terhadap deklarasi Soekarno-Hatta yang dianggap terlalu lemah untuk membawa rakyat Indonesia kepuncak revolusi melawan Belanda. Syahrir menghendaki sistem pemerintahan Presidensil Soekarno-Hatta harus diubah. Untuk menyelamatkan situasi politik yang tidak stabil dimasa pemerintahan Soekarno-Hatta, beberapa tokoh seperti: Supeno, Sukarni, Subadio, Ir. Sakirman dan suami istri Mangungsarkoro serta semua anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) telah bekerjasama memberikan dukungan kepada Syahrir. Mereka membuat rencana untuk mengubah sistem pemerintahan Presidensil menjadi pemerintahan Parlementer. Syahir berkeinginan, kekuasaan legislatif berada di tangan KNIP. Taktik Syahir tersebut bertujuan untuk menjatuhkan kabinet Soekarno-Hatta. Perubahan sistem pemerintahan ini ternyata ditentang oleh Soekarno maupun Hatta. Soekarno-Hatta bersedia memenuhi dan menyetujui usul KNIP dilimpahi kekuasaan legislatif penuh.5 Ini berarti bahwa semua undang-undang terlebih dahulu harus disetujui KNIP

5

(40)

maupun presiden. Semua kekuaasaan telah dilimpahkan kepada KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat).

KNIP mempunyai tanggung jawab besar dalam menjalankan pemerintahan. KNIP yang telah diilimpahi kekuasaan penuh segera memilih Syahrir dan Sjarifoeddin untuk menjadi ketua dan wakil ketua badan pekerja KNIP. KNIP mempunyai hak untuk memilih 13 anggota lainnya. Ketiga belas anggota tersebut adalah Soetan Syahrir, Mr. Amir Syarifoeddin Prawiranegara, Kyai Wachid Hasjim, Mr. R. Hendromartono, Dr. R.M. Sunario Kolopaking, Dr. A. Halim, Subadio Sastrosatomo, Mr. Tamling Djie, Supeno, S. Mangunsarkoro, Adam Malik, dan Dr. Sudarsono, semua yang dipilih mendapatkan pendukung yang kuat solid.

Kebanyakan dari mereka pernah aktif dalam gerakan bawah tanah anti-Jepang. Semua berjumlah 15 orang badan pekerja S. Mangunsarkoro, Adam Malik, Tajaludin dan Dr. Sudarsono. Semua yang dipilih merupakan pendukung kuat. Kebanyakan dari mereka pernah aktif dalam gerakan bawah tanah anti Jepang. Semuanya berjumlah 15 anggota badan pekerja.6 Setelah Syahrir ditunjuk sebagai ketua, terjadi perubahan pada badan pekerja KNIP, situasi politik menjadi tidak stabil. Keinginan Syahrir dan para pengikutnya untuk menyelamatkan Republik Indonesia dari penyimpangan pemerintah yang otoriter dan organisasi politik yang otoriter dan totaliter tidak berhasil. Pada prinsipnya perubahan dibidang

6

(41)

pemerintahan dijadikan sarana untuk mencapai tujuan akhir politik. Dibalik kebijakan ini, masih ada suatu pertimbangan yang penting namun jelas bersifat sekunder, yaitu keinginan untuk sedapat mungkin meng-hapus noda kolaborator dari pemerintahan. Syahir yakin bahwa cara ini akan memperkuat kedudukan Internasional Republik ini dalam berunding dengan Belanda.

Sejak Syahrir menjadi Perdana Menteri semua sistem pemerintahan berubah. Pada tanggal 14 November 1945 Kabinet Soekarno-Hatta mengundurkan diri kemudian sistem pemerintahan diganti dengan sistem Demokrasi Parlementer, yaitu pemerintahan yang dikepalai oleh seorang Perdana Mentri dan bertanggung jawab kepada KNIP. Akan tetapi pada dasarnya hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun karena keadaan yang mendesak maka perubahan ini tetap dilaksanakan. Dalam hal ini Presiden Soekarno tetap berfungsi sebagai Presiden begitu juga dengan Hatta tetap menjalankan tugasnya sebagai Wakil Presiden. Syahrir yang diangkat menjadi Perdana Menteri juga ditugaskan menjadi Menteri Luar Negeri karena mempunyai tanggung jawab dalam semua urusan pemerintahan kepada KNIP, pada masa itu KNIP dianggap sebagai parlemen.

(42)

Sutan Syahrir dapat diterima oleh Belanda, selain beliau termasuk golongan moderat pernah juga mengenyam pendidikan di Belanda dikalangan Republik Indonesia, beliau juga tidak pernah berkolaborasi dengan pemerintahan pendudukan Jepang di Jawa. Bahkan beliau menyembunyikan diri dan mengumpulkan pemuda-pemuda yang menentang fasisme Jepang. Maka dengan latar belakang figur Sutan Syahrir ini Van Mook mempunyai harapan besar bahwa dalam masa yang akan datang pembicaraan atau perundingan antara pihak Belanda dan pihak Republik Indonesia akan dapat dilangsungkan.7

Sutan Syahrir yang memiliki tanggung jawab atas kekuasaan di pemerintahan banyak didukung oleh pemuda-pemuda Indonesia. Pemuda Indonesia menghendaki, adanya perubahan dalanm sistem pemerintahan Republik Indonesia. Pemuda sebenarnya hanya menghendaki tercapainya seratus persen kemerdekaan Indonesia. Menurut Syahrir bahwa untuk mempertahankan kemerdekaan terlebih dahulu masalah-masalah yang menyangkut politik Indonesia harus diselesaikan. Jika ingin mendapatkan pengengakuan Internasional, situasi politik dalam negeri harus stabil sehingga bisa menarik simpati dunia Internasional atas kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah situasi politik stabil dan mendapat pengakuan dunia Internasional maka perlu diadakan perundingan dengan pihak Belanda. Perundingan dimaksudkan untuk meletakan dasar kerjasama antara Republik Indonesia dengan Pemerintahan Belanda dikemudian hari.

7

(43)

C. Pemilihan Jalan Diplomasi

a. Pihak Republik Indonesia

Pertempuran yang terjadi terus menerus setelah Indonesia merdeka akan membawa dampak negatif bagi bangsa Indonesia. Kemerdekaan tidak dapat dirasakan. Oleh rakyat jika pemerintah tidak dalam keadaan damai. Memang tidak dapat disangkal pertempuran-pertempuran tidak dapat dihindari. Hal itu terjadi karena adanya rasa semangat nasionalisme dan kesadaran rakyat untuk mengusir penjajah dari Indonesia. Sejak awal Soekarno-Hatta selalu memilih penyelesaian dengan cara damai, baik ketika menghadapi Jepang maupun Belanda. Bagi pemuda, sikap ini kadang dianggap sikap pengecut dan lemah mendorong Syahrir untuk ikut berperan dalam pemerintahan.8 Dalam hal ini, pemerintah Republik Indonesia menyadari untuk mempertahankan kemerdekaan tidak selamanya dengan perjuangan bersenjata. Sementara itu Sutan Syahrir diperkuat dan membentuk kabinet baru tampil dalam perjuangan politik setelah membentuk kementrian nasional.

Jika perjuangan bersenjata tersebut dapat digunakan dalam persengketaan antara Indonesia-Belanda tidak akan ada penyelesaian karena kalah persenjataan. Ketika pemerintahan Presidensial diubah menjadi pemerintahan Demokrasi Parlementer. Pada masa itu kekuasaan politik dijalankan oleh Sutan Syahrir. Beliau lebih memilih perjuangan perundingan atau juga disebut politik diplomasi dalam mempertahankan

8Dr.A.H.Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Periode Linggarjati,

(44)

kemerdekaan, parlementer banyak yang menentang terutama bagi golongan sosialis dan golongan kanan di dalam negeri.

b. Pihak Pemerintah Belanda

Pidato Wilhelmina, sesudah Perang Pasifik akan menjadi dasar langkah-langkah yang akan diambil Pemerintah Belanda untuk memulai suatu dialog dengan wakil-wakil Indonesia. Menteri jajahan seusai Perang Pasifik ketika itu, Logemann berpendapat bahwa kebijakan Belanda setelah Perang harus ditunjukan ke pengakuan nasionalisme Indonesia. Sekalipun Logemann menyadari nasionalisme di Indonesia jauh dari matang. Berbeda dengan Van Starkenborg Stachouwer berpendapat lain, ia tetap pada pendiriannya bahwa kebijakan ketatanegaraan harus bersambung dengan masa lalu. Perubahan hanya dilakukan secara sedikit demi sedikit dengan hati-hati, dengan Belanda bersifat menentukan dan ia sangat menentang dirangsanya cita-cita politik terutama diadakannya pembicaraan dengan para pemuka Indonesia. Perbedaan mendasar dalam pendirian Logemann dan Van Starkenbrog, mengakibatkan pada tanggal 11 Oktober 1945 Van Starkenbrog mengundurkan diri.9

Hal ini mengakibatkan Pemerintah Belanda membebankan Letnan Gubernur Jendral Dr. H.J. van Mook sebagai pemerintah umum dan wali negara di Hindi Belanda. Melihat karir politik Van Mook adalah orang yang pilihannya paling tepat karena selain telah lama menjadi pejabat di Indonesia juga dapat menilai persoalan setelah perang di Indonesia.

9

(45)
(46)

34 A. Proses Jalannya Diplomasi

Berbagai pertempuran lokal yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia merupakan sebuah wujud perlawanan rakyat terhadap aksi Kolonialisme Belanda. Belanda sangat membahayakan masa depan keberadaan Republik Indonesia. Keinginan Belanda bercokol di Indonesia setelah Perang Dunia II memiliki tujuan menjadikan Indonesia bagian dari negaranya. Belanda tidak ingin begitu saja kehilangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) berlimpah-limpah untuk membangun kembali negaranya setelah Perang Dunia II yang ada di Indonesia.

(47)

Gubernur Jendral Dr. H. J. van Mook sebagai wakil Belanda di Indonesia menyadari situasi tersebut. Pergolakan rakyat harus segera diredam hingga Van Mook bersama direktur kabinetnya Dr. P. J. A Idenburg berinisiatif menawarkan suatu perundingan untuk menyelesaikan konflik kepada pihak Republik Indonesia. Van Mook menawarkan sebuah kerjasama, rencana tersebut ditolak oleh Soekarno Hatta dengan alasan mau bekerja sama apabila pemerintah Belanda setelah terlebih dahulu mengakui keberadaan Republik Indonesia sebagai pengakuan de facto. Penolakan tersebut menimbulkan reaksi negatif pemerintah Belanda di negeri Belanda. Kecemasan dan keresahan di kalangan politisi dan petinggi Pemerintah Belanda keras kepala, tetap pada pendiriannya tidak akan mengakui kemerdekaan Indonesia karena hal tersebut berarti menyatakan diri telah mengintervensi sebuah negara merdeka. Namun selalu mendesak Indonesia untuk segera melaksanakan perundingan, dengan harapan dapat segera dibentuk sebuah Uni antara Belanda dan Indonesia demi masa depan yang lebih baik.

B. Berbagai Macam Perundingan.

1. Perundingan di Hoge Veluwe

(48)

sejak akhir tahun 1945.1 Melihat sikap rakyat Indonesia yang menentang mati-matian dengan perlawanan di berbagai daerah akibat rencana pemulihan koloni di wilayah Indonesia, sehingga menyebabkan perubahan sikap Belanda menyikapi keinginannya. Perubahan sikap Pemerintah Belanda mulai melunak, namun Den Haag hanya dapat menyetujui dekolonialisasi secara bertahap. Menyadari bahwa keinginan perubahan tata negara rakyat Indonesia –sebagaimana antara lain jelas dikemukakan dalam Petisi Soetardjo sebelum pecah Perang Pasifik- tak dapat dikesampingkan begitu saja, maka pada tanggal 10 Mei dari London, Ratu Wilhelmina berpidato. Baginda mengemukakan maksud beliau bahwa, bentuk daerah-daerah jajahan dan penentuan kedudukan jajahan-jajahan ini dalam Kerajaan, akan disesuaikan dengan tuntutan jaman.2 Pada saatnya nanti Belanda akan mengakui hak bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri setelah dirasa telah mampu mengurus negaranya sendiri.

Dengan perantaraan Inggris sebagai pimpinan tertinggi Sekutu yang meliputi Asia Tenggara, diadakan perundingan antara Perdana Menteri Sutan Syahrir dan Letnan Gubernur Jendral H.J.Van Mook. Van Mook dianggap pilihan terbaik untuk melakukan perundingan dari pihak Belanda melihat karir politiknya di Indonesia beliau termasuk Kelompok Pendorong (Stuw Groep) yang menganggap bangsa Indonesia sudah

1M.Sabir.Politik Bebas Aktif Tantangan dan Kesempatan.Jakarta.hlm.66 2

(49)

mampu menentukan nasibnya sendiri. Permasalahan sendiri datang dari berbagai pihak baik di negeri Belanda dan Indonesia menanggapi upaya perundingan tersebut. Para politisi di kedua negara menentang adanya perundingan tersebut karena dirasa sama-sama merugikan baik itu dari pihak Belanda maupun Indonesia. Politisi pihak Belanda menolak pengakuan kedaulatan, serta adanya larangan untuk berunding dengan para pemimpin Republik seperti Soekarno dan Hatta. Hal itu tentu saja tidak mungkin, karena kedua tokoh tersebut adalah simbol Indonesia. Politisi Indonesia menginginkan pengakuan kemerdekaan langsung tanpa syarat dari pihak Belanda. Begitu juga usul-usul yang diajukan oleh Van Mook tidak tegas dan menyebutkan hadirnya Republik Indonesia tentu saja ditolak oleh partai-partai politik yang diwakili di KNIP. Ditambah perselisih karena perbedaan paham terhadap kebijakan politik Syahrir dengan golongan kiri. Golongan tersebut merupakan kelompok yang bergabung dalam persatuan perjuangan di bawah pimpinan Tan Malaka dan Soetono. Mereka hanya menghendaki perjuangan fisik untuk mengusir Belanda dan Inggris.3

Pemerintah Belanda mempersalahkan kehadiran Soekarno dan kawan-kawannya dalam perundingan, Soekarno dianggap kolaborator Jepang. Hal ini menimbulkan keributan yang cukup besar di Parlemen Negeri Belanda sampai hampir saja Van Mook akan dipecat dari jabatannya sebelum dicegah oleh Ratu Wilhelmina. Belanda hanya

3

(50)

menginginkan kehadiran Sutan Syahrir sebagai wakil Indonesia dalam perundingan karena pandangan politiknya yang lebih santun dan mengedepankan diplomasi. Bahkan setelah pada tanggal 14 November 1945 yang mendudukan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri menuntut kekuasaan dan kedaulatan di seluruh Hindia Belanda. Van Mook sebagai wakil Belanda menyadari bahwa permintaan tersebut akan menyebabkan kekerasan hati Pemerintah Belanda tidak mungkin dapat menyetujui dan akan menyebabkan kemacetan usaha dialog yang selama ini dilakukan. Akan tetapi Van Mook tidak menginginkan pemberhentian dialog dengan Perdana Menteri Syahrir, karena menurut pendapatnya hanya Syahrir petinggi Republik yang paling berakal sehat dalam menyikapi perundingan. Walaupun Negeri Belanda tetap pada pendiriannya tentang pemulihan kembali Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda sebelum tahun 1942 bertentangan dengan usul-usul Syahrir dalam perundingan. Syahrir menginginkan sebelum perundingan tetap adanya pengakuan terlebih dahulu terhadap eksistensi Republik Indonesia. Van Mook berusaha meyakinkan Pemerintah Belanda atas syarat yang diajukan Soekarno dari Indonesia dapat diterima sebagai jalan perudingan lebih baik.

(51)

dijalankan Van Mook ditentang oleh kabinet Belanda terutama Menteri Keuangan Belanda, P. Lieftinck dari SDAP (Social Demokratiische Arbaids Partij) dan Menteri Dalam Negeri Dr. L. J. M. Beel dari RKSP

(Rooms Katholieke Staats Partij) yang menginginkan terwujudnya

restorasi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Indonesia. Perundingan yang membahas kehadiran pasukan Inggris yang sangat diperlukan selama perundingan berlangsung. Inggris tidak diizinkan menarik kembali pasukannya sebelum tanggal yang telah ditentukan oleh pemerintah Belanda.

(52)

politik harus dibicarakan terlebih dahulu, menurutnya kemelut dalam politik dapat menghalangi jalannya perundingan ke arah penyelesaian. Sir Archibald Clark Kerr sebagai penengah berhasil meyakinkan kedua belah pihak.4

Akhirnya, kerjasama antara pihak Indonesia dan pihak Belanda terbentuk dalam panitia kecil rapat pleno. Keselapahaman antara Indonesia-Belanda baru berhasil pada tanggal 27 Maret 1946 yang dikenal dengan Naskah Persetujuan Pendahuluan. Naskah ini dijadikan titik tolak dalam perundingan selanjutnya antara pihak Belanda dan Indonesia. Naskah persetujuan pendahuluan tersebut ditandatangani oleh Soetan Syahrir dan Van Mook pada tanggal 30 Maret 1946 yang dikenal dalam

sejarah sebagai “Batavia Concep” atau Rumusan Jakarta.5

Namun ternyata naskah yang telah ditandatangani Syahrir dan Van Mook tidak disetujui oleh pemerintah Belanda. Belanda berangapan bahwa naskah persetujuan pendahuluan dalam persetujuan Hoge Veluwe tidak sesuai dengan harapan Belanda. Betapapun optimisme Van Mook dan delegasi Indonesia untuk dapat mencapai suatu hasil positif, sebagai dasar bagi perubahan-perubahan politik dan ketatanegaraan selanjutnya di Indonesia dan untuk dapat menempatkan hubungan Indonesia-Belanda dalam suatu perspektif baru, namun pembicaraan-pembicaraan Hoge

4

Dr.A.H.Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Periode Linggarjati, Penerbit Angkasa Bandung,hlm.4

5

(53)

Veluwe diakhiri dengan kegagalan yang menyeluruh.6 Hal ini mempersulit kedua belah pihak untuk melanjutkan perundingan lebih lanjut. Melihat situasi tersebut pemerintah Inggris mendesak perundingan antara Indonesia-Belanda harus dilanjutkan demi tercapainya penyelesaian masalah politik di Indonesia. Pemerintah Inggris mendesak Pemerintah Belanda untuk menyetujui naskah tersebut sehingga perundingan antar kedua belah pihak dapat dilaksanakan secepatnya. Perundingan untuk membicarakan lebih lanjut naskah persetujuan pendahuluan yang belum mendapat kesepakan akan dibicarakan pada perundingan selanjutnya di Hoge Veluw atau dikenal dengan perundingan Hoge Veluwe. Perundingan Hoge Veluwe diadakan pada tanggal 14 April 1946 dihadiri oleh Van Mook bersama tiga pejabat tinggi Indonesia dan Lord Inverchapel yang awalnya bernama Sir Archibald Clark Keer sebagai penengah dalam perundingan tersebut mencapai kesepakatan.

Perundingan Hoge Veluwe yang telah mencapai kesepakatan ternyata menimbulkan pertentangan di negeri Belanda. Pemerintah Belanda dan kabinetnya tidak menyetujui isi persetujuan tersebut. Belanda menentang disejajarkan kedudukannya dengan Indonesia. Hal ini akan memengaruhi pemilihan umum yang sedang diadakan di negeri Belanda. Banyak golongan politik di Belanda yang menentang diadakannya perundingan dengan Indonesia. Dalam perundingan tersebut, delegasi Belanda mengajukan gagasan Protokol. Gagasan tidak disetujui oleh

6

(54)

Soewandi, delegasi dari Indonesia. Gagasan Protokol yang berbeda dengan naskah persetujuan pendahuluan juga berbeda. Persetujuan Hoge Veluwe yang memuat bentuk perjanjian. Bagi Prof. Dr. Ir. W. Schemerhorn maupun Prof. Dr. J.H. Logenmann bentuk perjanjian sangat bertentangan dengan UUD Belanda dan partai politik di negeri Belanda khususnya partai keagamaan di Majelis Rendah (Tweede Kamer) yang tidak menghendaki adanya perundingan. Hanya karena masalah perbedaan isi antara protokol dan naskah persetujuan pendahuluan kesepakatan perundingan antara Indonesia-Belanda tidak tercapai sepenuhnya. Naskah Protokol dan naskah persetujuan pendahulun dianggap telah merugikan masing-masing pihak sehingga tidak dapat diterima. Dilihat dari permasalahan tersebut, perundingan Hoge Veluwe telah dinyatakan setengah gagal karena tidak semua naskah memberikan penyelesaian antara kedua belah pihak. Dalam hal tersebut, Belanda akhirnya memberikan pengakluan de facto atas Republik Indonesia hanya untuk pulau Jawa dan Madura saja, tetapi tidak untuk pulau Sumatera.

(55)

akan dilanjutkan pada perundingan selanjutnya, hasil Perundingan Hoge pada perkembangann selanjutnya dijadikan sebagai tonggak sejarah perjalanan perundingan yang akan datang bagi kedua belah pihak.7

Kegagalan perundingan Hoge Veluwe sebagai unsur kesengajaan yang diprakarsai oleh pemerintah Belanda. Alasan yang dikemukakan, Belanda akan mengadakan pemilihan umum di negerinya. Permasalah dalam perundingan tersebut akan menjadi pokok pertentangan dalam kampanyenya. Pada tanggal 17 Mei 1946 di negeri Belanda sudah ada kampanye pemilihan umum untuk anggota parlemen. Seperti biasa banyak partai yang turut dalam pemilihan umum, akan tetapi kelompok yang terbesar adalah kelompok Katolik dan Sosialis. Dalam menghadapi pemilu Partai Katolik (RKSP) telah mengubah diri menjadi Partai Rakyat Katolik atau Khatolieke Volks Partij (KVP). Partai Sosialis (SDAP) menjadi Partai Buruh (Partij Van De Arbeid) (PVDA).8

Kedua Partai KVP dan PVDA memiliki pemahaman politik yang berbeda dalam menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda. Meskipun berbeda kedua partai akan bekerjasama dalam membentuk suatu koalisi kabinet. Keduanya diserahi tugas penting, tugas difokuskan pada pemecahan masalah politik di Indonesia, perbedaan faham kedua partai tersebut menyebabkan kompromi yang dihasilkan tidak jelas. Keduanya menyadari hal tersebut dan berusaha mengatasinya. Untuk itu dibentuklah

7

Sidik Suraputro,D,(1991),Revolusi Indonesia Dan Hukum Internasional. UI Press:Jakarta.hlm.40

8

(56)

suatu badan atau lembaga yang diberi nama Komisi Jenderal. Komisi Jenderal diberi tugas istimewa untuk meneruskan perundingan dengan pihak Republik Indonesia. Masalah pembentukan kabinet di Belanda menjadi kendala untuk mengadakan perundingan yang akan datang. Oleh Prof. W. Schermerhorn dijelaskan bahwa situasi politik di Belanda berubah. Setelah pemilihan umum terjadi perimbangan kekuatan antara kedua partai yang menang. Keduanya mempunyai perbedaan paham dalam menyelesaikan masalah Indonesia. Akan tetapi dalam perkembangannya hal tersebut dapat diatasi karena takut terjadi krisis kabinet lagi.

Perbedaan paham akhirnya dapat disatukan karena keduanya mempunya tekad untuk mencapai penyelesaian secara demokrasi dalam menangani masala Indonesia. Melihat situasi politik di Belanda tersebut, Pemerintah Inggris menganjurkan kepada Pemerintah Belanda agar secepat mungkin mengadakan penyelesaian politik dengan Pemerintahan Indonesia. Anjuran yang sama juga disampaikan oleh Logenmann agar tidak melewatkan kesempatan untuk berunding dengan pemerintah Indonesia.9

Inggris berpendapat, jika perundingan segera dilaksanakan dan agar dapat mencapai persetujuan maka pemulangan tentara Inggris untuk meninggalkan negara Indonesia dapat dilakukan dalam situasi yang damai. Usul yang diberikan oleh Pemerintah Inggris akhirnya diterima oleh Pemerintah Belanda. Situasi politik kedua belah pihak ternyata sangat

9

(57)

menentukan perundingan Indonesia dengan Belanda. Politik yang tidak stabil akan sulit untuk melanjutkan perundingan. Belanda lebih mengutamakan penyelesaian masalah politik di dalam negeri terlebih dahulu sebelum melanjutkan perundingan dengan Indonesia. Syahrir yang ditugaskan sebagai wakil dalam perundingan Hoge Veluwe dengan Belanda telah gagal karena macetnya perundingan. Kegagalan Syahrir terletak pada kebijakan politiknya yang saat itu ditentang dan dijadikan senjata partai-partai lawan politiknya di Indonesia. PNI dan Masyumi merupakan yang terbesar dan paling berpengaruh. Seperti PNI dan golongan kanan dalam Masyumi sangat menentang perundingan-perundingan dengan Pemerintah Belanda sebelum semua pasukan Belanda di Indonesia ditarik tanpa terkecuali. Kegagalan perundingan Hoge Veluwe akhirnya membawa delegasi Indonesia kembali ke Jakarta dengan tangan kosong tanpa hasil.

(58)

dapat menerima usulan penyelesaian masalah Indonesia. Sebagai wujud tanggung jawabnya, Syahrir berkewajiban memberikan tanggapan untuk menjelaskan bahwa gagasan Belanda dalam konsep protokol tanggal 29 April 1946 dan pernyataan Logeman saat itu tidak disetujui Kabinet Syahrir. Terjadi ketegangan politik di Ibukota RI di Yogyakarta. Untuk mengatasinya, Presiden Soekarno mengambil alih kekuasaan kabinet dan mengumumkan keadaan darurat di seluruh pulau Jawa.

(59)

Oleh karena itu pada tanggal 3 Juli 1946 malam diadakan pertemuan antara Presiden Soekarno dan Panglima Besar Jendral Soedirman dan dalam pertemuan itu Presiden Soekarno menjelaskan bahwa untuk kepentingan Nasional Jendral Soedarsono dan kawan-kawannya harus diamankan. Akhirnya Panglima Besar Soedirman menyetujui tindakan Soekarno, akan tetapi beliau mengajukan suatu syarat agar Soekarno membubarkan Kabinet Syahrir.10

Presiden Soekarno menerima tuntutan Panglima Besar Soedirman, tetapi menteri-menteri dalam Kabinet Syahrir diberi wewenang untuk terus menjalankan tugasnya masing-masing kekuasaan pemerintahan hingga pada akhirnya dijalankan kembali oleh Soekarno. Pemerintahannya berlangsung sampai tanggal 2 Oktober 1946. Setelah Kabinet Syahrir II dibubarkan, pada tanggal 20 September 1946 pemerintah Belanda mendesak untuk menghidupkan kembali perundingan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda. Presiden Soekarno yakin bahwa jika Kabinet Presidensiil diteruskan maka pimpinan perundingan dipihak Republik Indonesia adalah Soekarno sendiri. Belanda tidak dapat menerimanya sebagai wakil dari Indonesia sebab hal itu akan menimbulkan banyak resiko kepada kedudukannya.

Jika perundingan itu gagal, golongan-golongan politik akan menyalahkan Soekarno dan menjadi bumerang untuk menghancurkan dirinya. Hal tersebut tentu akan mengurangi wibawa beliau di masyarakat

10

(60)

terutama lawan politiknya. Satu-satunya yang dianggap cakap dan memenuhi syarat-syarat untuk menghadapi Belanda di meja perundingan ialah Syahrir sendiri. Syahir sudah sejak lama memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan-perundingan dengan pihak Belanda. Terutama mengenai masalah politik Indonesia, oleh karena itu Presiden Soekarno meminta kepada Syahrir untuk membetuk kabinet baru dan pada tanggal 2 Oktober 1946. Syahrir berhasil menyusun kabinetnya yang ketiga, Syahrir menjadi Perdana Menteri sebagai pembantunya diangkat Haji Agus Salim menjadi Menteri Luar Negeri. Jadi, dengan dibentuknya kabinet tersebut akhirnya masalah Indonesia diatasi. Perundingan yang akan diadakan diwakili oleh Prof. Dr. Ir. W. Schermerhorn dan Syahrir. Dalam pelaksanaannya, pemerintah Inggris menunjuk Lord Killearen sebagai penengah dalam perundingan. Delegasi Republik terdiri dari Perdana Menteri Sutan Syahrir sebagai ketua, Menteri Perekonomian Dr. A.K. Gani, Menteri Pertahanan Mr. Amir Syarifudin, Menteri Dalam Negeri Mr. Soesanto Tirtoprodjo dan Mr. Muhamamad Roem sebagai wakil Masyumi sebagai anggota, sedangkan Mr. Ali Boediardjo sebagai sekertaris. Perundingan tersebut memasuki babak baru perjuangan diplomasi Indonesia-Belanda dalam perundingan.

(61)

pada tanggal 7 Oktober 1946, sidang membahas tentang diadakannya gencatan senjata sementara waktu antara Indonesia-Belanda agar terciptanya iklim ketenangan. Hal tersebut memang taktik Lord Killerarn untuk merintis jalan menuju perundingan politik dalam situasi damai dan tenang sesuai dengan tugasnya sebagai komisaris istimewa Inggris. Dalam perundingan tersebut, jalan ke arah kesepakatan politik diawali dengan persetujuan peletakan senjata yang ditandatangani pada tanggal 14 Oktober 1946.

Kesepakatan yang dicapai pada sidang Indonesia-Belanda akhirnya ditandatangani oleh anggota Komisi Jenderal, Syahrir, dan Lord Killearn. Hasil perundingan tersebut merupakan sebuah ujian, apakah perundingan antara pihak Belanda dan Indonesia mengenai masalah-masalah politik dapat diselesaikan dalam perundingan selanjutnya. Usai sidang Indonesia-Belanda, perundingan selanjutnya dilaksanakan. Dalam perundingan tersebut masalah yang dibahas mengenai pembentukan Uni Belanda-Indonesia.

(62)

diterima oleh Syahrir karena usul tersebut sulit diterima oleh rakyat Indonesia. Akhirnya, masalah tersebut akan dibicarkan lebih lanjut pada tanggal 4 November 1946 dalam suatu perundingan yang disebut dengan perundingan Liggarjati.

2. Perundingan Linggarjati

Perundingan Linggarjati yang diadakan di Kuningan, Jawa Barat melahirkan kesepakatan berbentuk naskah persetujuan pada tanggal 15 November 1946. Bagi delegasi Indonesia, kesepakatan itu merupakan titik awal pengharapan rakyat Indonesia yang benar-benar berharap perdamaian telah tercapai. Belakangan diketahui bahwa ternyata Soekarno-Hatta tidak memahami pasal-pasal kesepakatan tersebut karena dalam perundingan Hoge Veluwe mereka tidak dihadirkan. Pasal-pasal dalam konsep persetujuan Belanda ada yang sudah disepakati, tetapi ada juga yang belum disepakati. Beberapa pasal yang masih belum disetujui akan dirundingkan kembali dalam perundingan di Kuningan.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dengan adanya pengaruh yang kuat antara job characteristics dan employee engagement mampu memberikan kejelasan dan gambaran kerja bagi karyawan, dengan itu

(E) Mereka menganggap pekerjaan sebagai sesuatu yang harus dilakukan untuk dapat bertahan hidup, akan tetapi pekerjaan dipandang sebagai cara untuk mencapai tujuan dan

Bagi sebuah gerai ponsel penyedia kebutuhan telekomunikasi, dengan banyaknya produk dan jenis barang yang dijual, maka akan semakin banyak juga waktu yang digunakan untuk

sesuai : Jika produk ini mengandung bahan dengan batas pencemaran atau kontak yang diperbolehkan, gunakan daerah kerja terkurung, ventilasi pembuangan lokal atau kontrol teknis

Dengan demikian idgha>m merupakan proses pengucapan dua huruf yang sejenis yang berdampingan, huruf pertama sukun dan yang kedua berharakat dengan cara diberi tasydi>d

Dari segi feng shui, banyaknya akses menyebabkan banyaknya jalur untuk aliran chi mengalir masuk karena didukung oleh posisi Mal Paris van Java yang memiliki Burung Hong

Pemahaman tentang makna dan konsep Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 sangat wajib bagi setiap warga negara sebelum menerapkan nilai-nilai