• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAP.COM - EKONOMI TENAGA KERJA PERTANIAN DAN IMPLIKASINYA DALAM ...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TAP.COM - EKONOMI TENAGA KERJA PERTANIAN DAN IMPLIKASINYA DALAM ..."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

K

ompleksitas ekonomi tenaga kerja pertanian mencakup dimensi yang relatif luas. Penurunan peran relatif sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang relatif cepat tidak diikuti oleh akselerasi yang sama pada aspek kesempatan kerja sehingga produktivitas tenaga kerja pertanian menurun. Perkembangan tingkat upah

sektor pertanian pun tidak berjalan selaras dengan kenaikan harga kebutuhan pokok sehingga berimplikasi negatif terhadap daya beli dan kesejahteraan buruh tani. Rendahnya pendapatan buruh tani juga tidak terlepas dari rendahnya partisipasi dan aksesibilitas buruh tani terhadap kesempatan kerja di luar sektor per-tanian.

Pada tahun 2000, kesempatan kerja sektor pertanian menempati posisi dominan dengan proporsi 45,28% dari total kesempatan kerja yang mencapai 89,84 juta orang. Menurut status pe-kerjaan, kesempatan kerja berburuh (karyawan) mencapai 32,83% atau sebesar 29,49 juta orang. Kesempatan kerja berburuh di sektor pertanian mencapai

EKONOMI TENAGA KERJA PERTANIAN DAN

IMPLIKASINYA DALAM PENINGKATAN

PRODUKSI DAN KESEJAHTERAAN

BURUH TANI

I Wayan Rusastra dan M. Suryadi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan Ahmad Yani No. 70, Bogor 16161

ABSTRAK

Kesempatan kerja sektor pertanian selama periode 1995−2000 meningkat 0,51%/tahun. Pada tahun 2000, posisinya tetap dominan (45,28%) dengan status pekerjaan berburuh tani meliputi 5,38 juta orang. Permasalahan tenaga kerja pertanian mencakup produktivitas, daya beli, dan tingkat kesejahteraan yang relatif rendah. Tulisan ini membahas perkembangan struktur kesempatan kerja dan tingkat upah serta dampaknya terhadap produksi padi, struktur pendapatan, dan tingkat kesejahteraan petani dan buruh tani di pedesaan. Terdapat indikasi kelangkaan tenaga kerja dan kenaikan tingkat upah absolut, namun kenaikan upah riil berjalan lambat. Elastisitas tenaga kerja terhadap produksi relatif tinggi (0,13) dan tingkat upah berdampak negatif inelastis terhadap penawaran dan keuntungan usaha tani padi. Sumber pendapatan dominan rumah tangga buruh tani adalah kegiatan berburuh dan nonpertanian dengan proporsi 68,10%. Implikasinya adalah kelangkaan dan kenaikan tingkat upah perlu dikendalikan dan perbaikan kesejahteraan buruh tani perlu dilakukan melalui pendekatan yang holistik dan komprehensif. Produktivitas dan kesejahteraan buruh tani dapat ditingkatkan melalui pengembangan kelembagaan mekanisasi pertanian, agribisnis dan agroindustri, serta perluasan kesempatan kerja di luar sektor pertanian.

Kata kunci: Produktivitas tenaga kerja, produksi pertanian, buruh tani, kesejahteraan sosial

ABSTRACT

Agricultural labor economy and its impact on agricultural production and hired labor welfare

During the period of 1995−2000, the growth of agricultural employment was 0.51%/year. Its role in the year 2000 was still dominant (45.28%), with hired agricultural labor approaching to 5.38 million. The problems faced by agricultural labor are low productivity, weak purchasing power, and low welfare status. This paper analyses the perspective of employment structure and wage rate as well as their impact on rice production, income structure, and hired labor welfare in rural area. The evidence showed the indication of labor shortage as well as the increasing of absolute wage rate, but with sluggish real wage growth. Elasticity of rice production with respect to labor was relatively high (0.13), and elasticity of supply and profit with respect to wage rate was negative inelastic. The main source of hired labor household income was hired labor and non-agricultural activity with the proportion of 68.10%. All of those implied that labor shortage and wage rate increase had to be controlled, and improvement of hired labor welfare should be conducted in holistic and comprehensive manner. The productivity and welfare of hired labor can be improved through implementing appropriate institutional arrangement on agricultural mechanization, agribusiness and agroindustry development, as well as non-agricultural employment generation.

(2)

5,38 juta orang atau 13,23% dari total kesempatan kerja sektor pertanian yang besarnya 40,68 juta orang (Badan Pusat Statistik 2001).

Upaya memperbaiki tingkat upah dan kesejahteraan buruh tani meng-hadapi permasalahan yang kompleks (Sumaryanto dan Rusastra 2000) yaitu: 1) permintaan tenaga kerja di sektor pertanian bersifat fluktuatif dan musiman, 2) penggunaan tenaga per unit luasan usaha tani cenderung menurun karena ber-kembangnya mekanisasi pertanian (traktor), aplikasi herbisida, dan mak-simisasi penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, 3) adanya indikasi penurunan upah riil, daya beli dan kesejahteraan buruh tani, 4) sulitnya mengimplementasikan instrumen kebijakan karena posisi buruh tani yang bersifat dilematis, yaitu sebagai pemasok dan sekaligus juga pengguna tenaga kerja pertanian, dan 5) strategi perbaikan kesejahteraan dan tingkat upah melalui upaya tidak langsung seperti peningkatan intensitas garapan dan kesempatan kerja nonpertanian.

Tulisan ini menyajikan perkem-bangan kesempatan kerja menurut sektor utama dan status pekerjaan serta perkem-bangan tingkat upah sektor pertanian dengan basis data agregat dan data Panel Petani Nasional (Patanas) di enam propinsi penelitian. Di bahas pula dinamika dampak penggunaan tenaga kerja dan tingkat upah terhadap penawaran dan produksi usaha tani padi, struktur kesempatan kerja dan tingkat pendapatan rumah tangga buruh tani, serta nilai tukar petani dan kesejahteraan buruh tani di pedesaan.

PERKEMBANGAN

KESEMPATAN KERJA

NASIONAL DAN SEKTOR

PERTANIAN

Dalam periode 1995–2000, total ke-sempatan kerja nasional meningkat 1,94%/ tahun, dari 80,11 juta menjadi 89,84 juta orang. Sektor pertanian memberikan sumbangan dominan dengan peningkatan proporsi dari 43,98% menjadi 45,28%, dan tumbuh dengan laju 0,51%/tahun. Kesempatan kerja di sektor perdagangan tumbuh dengan laju terbesar (2,75%/ tahun), serta proporsi penyerapan tenaga kerja menempati posisi kedua terbesar dengan pangsa 20,58% terhadap total

kesempatan kerja nasional yang mencapai 89,84 juta jiwa. Dengan mengacu pada sumbangan sektor pertanian pada PDB nasional tahun 2000 yang besarnya 16%, tampak adanya disparitas produktivitas tenaga kerja antara sektor pertanian dan nonpertanian (Badan Pusat Statistik 2001). Dibandingkan dengan pertumbuhan kesempatan kerja nasional yang mencapai 1,94%/tahun, pertumbuhan kesempatan kerja di enam propinsi wilayah penelitian Patanas yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan berkisar antara 1,59%/tahun (Jawa Tengah) dan 3,28%/tahun di Sulawesi Selatan (Tabel 1). Di luar Jawa (kecuali NTB), laju per-tumbuhan kesempatan kerja agregat melebihi laju pertumbuhan nasional, tetapi laju kesempatan kerja pertanian meng-alami penurunan 0,07%/tahun (Sulawesi Selatan) sampai dengan 2,63%/tahun (Lampung). Andalan pertumbuhan ke-sempatan kerja di Jawa adalah sektor pertanian, sedangkan di luar Jawa mulai bergeser ke sektor industri, perdagangan dan jasa dengan besarnya kontribusi yang bervariasi antardaerah. Dibutuhkan fasilitasi kebijakan yang memungkinkan terjadinya mobilisasi tenaga kerja yang lebih cepat ke luar Jawa.

Di enam propinsi penelitian Patanas, sektor pertanian masih tetap merupakan penyumbang kesempatan kerja terbesar (khususnya di luar Jawa), dengan

kisar-an 41,10% (Jawa Tengah) sampai dengkisar-an 59,42% di Lampung (Tabel 1). Pe-nyumbang kesempatan kerja kedua terbesar adalah sektor perdagangan dengan kisaran 14,32% (Lampung) sampai dengan 20,08% (Jawa Tengah). Di Jawa, posisi berikutnya adalah sektor industri dan jasa, namun sebaliknya untuk luar Jawa. Di luar Jawa, sektor jasa menempati posisi ketiga dengan kisaran 10,98% (Lampung) sampai dengan 15,06% (Sulawesi Selatan). Kisaran sumbangan sektor industri adalah 5,39% (Sulawesi Selatan) sampai dengan 11,29% (NTB). Dengan demikian, fase pertumbuhan ekonomi yang direfleksikan oleh peran masing-masing sektor secara spasial menunjukkan perbedaan sehingga stra-tegi dan fokus kebijakan pembangunan pun berbeda. Dalam jangka pendek, peran sektor industri belum dapat diharapkan mengingat masih lemahnya dukungan stabilitas politik, keamanan, dan pe-negakan hukum.

Proporsi kesempatan kerja nasional menurut status pekerjaan dalam periode 1995−2000 menunjukkan bahwa status sebagai buruh/karyawan menempati posisi dominan, diikuti oleh kategori berusaha sendiri, berusaha dibantu ang-gota keluarga/buruh tidak tetap, pekerja keluarga, dan terakhir adalah berusaha dengan buruh tetap (Badan Pusat Statistik 2001). Tampak bahwa bidang kewira-usahaan masih perlu pembinaan dan

Tabel 1. Pertumbuhan dan proporsi kesempatan kerja menurut sektor utama di enam propinsi Indonesia, 1995−−−−−1999.

Sektor utama

Pertumbuhan dan proporsi kesempatan kerja (%)1

Jawa Jawa Lampung Nusa Teng- Sulawesi Sulawesi

Tengah Timur gara Barat Utara Selatan

Pertanian 41,10 44,01 59,42 47,41 51,21 54,71

(1,12) (1,46) (-2,63) (-1,53) (-0,47) (-0,07)

Industri 17,65 14,73 8,14 11,29 7,29 5,39

(0,68) (-1,23) (5,18) (0,95) (-2,89) (-4,80)

Perdagangan 20,08 18,92 14,32 17,23 14,95 17,17

(1,95) (0,13) (4,96) (-0,40) (2,84) (2,97)

Jasa 11,43 11,71 10,98 11,31 14,15 15,06

(-5,88) (-2,89) (3,88) (0,94) (-2,68) (-1,39)

Lainnya2 9,75 10,64 7,14 12,76 12,41 7,65

(-1,97) (-1,04) (3,38) (5,50) (4,31) (0,69)

Total kesempatan 14.621 16.982 3.041 1.716 1.162 3.078

('000 orang) (1,59) (1,97) (2,30) (1,67) (2,73) (3,28)

1Angka dalam kurung adalah pertumbuhan kesempatan kerja (%/tahun).

2Bangunan, angkutan, pergudangan, komunikasi, keuangan, asuransi, usaha persewaan

(3)

dukungan fasilitasi kebijakan untuk mendorong partisipasi dan kesempatan berusaha bagi masyarakat luas. Implikasi lainnya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan taraf hidup dan kesejahteraan buruh dan karyawan memegang peranan sentral. Walaupun kesempatan kerja berburuh mengalami penurunan 1,52%/tahun, posisinya pada tahun 2000 tetap dominan (32,83%), dan diyakini dalam satu dekade ke depan akan tetap memegang peranan penting dalam ekonomi ketenagakerjaan nasional.

Di sektor pertanian, status pekerjaan berburuh menempati posisi keempat setelah kategori berusaha dibantu anggota keluarga/buruh tidak tetap, pekerja keluarga, dan berusaha sendiri (Tabel 2). Seperti halnya pada kesempatan kerja agregat nasional, dalam sektor pertanian, kategori status pekerjaan berusaha dengan buruh tetap menempati peringkat terakhir. Selama periode 1995− 2000, posisi status pekerjaan berburuh di sektor pertanian relatif stagnan yang

proporsinya pada tahun 2000 mencapai 13,23% (5,38 juta orang) dari total kesempatan kerja sektor pertanian sekitar 40,68 juta orang.

Secara relatif terhadap total ke-sempatan kerja berburuh, proporsi berburuh di sektor pertanian menempati peringkat ketiga setelah sektor jasa dan industri (Tabel 3), sedangkan sektor perdagangan menempati posisi keempat dari empat sektor utama pembangunan nasional. Pada tahun 2000, pangsa kesempatan kerja berburuh di sektor jasa, industri, pertanian, dan perdagangan berturut-turut adalah 27,18%, 25,70%, 18,24%, dan 10,64%. Selama periode 1995−2000, kesempatan kerja berburuh di sektor pertanian meningkat dengan laju 1,84%/tahun, dari 4,92 juta orang tahun 1995 menjadi 5,38 juta orang tahun 2000, atau 18,24% dari total ke-sempatan kerja berburuh yang mencapai 29,50 juta orang. Laju pertumbuhan ini dinilai cukup tinggi dibandingkan dengan laju kesempatan kerja total berburuh yang

hanya 0,45%/tahun. Tampaknya sektor pertanian masih tetap merupakan sumber kesempatan kerja berburuh yang potensial dalam kondisi melemahnya daya tampung sektor jasa dan sektor ekonomi lainnya yang mengalami penurunan penyerapan masing-masing 2,84% dan 2,47%.

PERKEMBANGAN TINGKAT

UPAH SEKTOR PERTANIAN

Deskripsi tingkat upah absolut menurut jenis kegiatan di enam propinsi pada tahun 1990−2001 menunjukkan bahwa: 1) tingkat upah berbeda antarwilayah, yaitu terendah di Jawa Tengah dan tertinggi di Sulawesi Utara, 2) tingkat upah meningkat secara konsisten untuk seluruh jenis kegiatan selama tiga segmen waktu analisis, 3) kecuali di Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan, terdapat disparitas tingkat upah di mana tingkat upah mencangkul lebih tinggi dibandingkan dengan upah me-manen dan menyiang (Badan Pusat

Tabel 3. Proporsi dan pertumbuhan kesempatan kerja berburuh menurut status pekerjaan di Indonesia, 1995−−−−−2000.

Status pekerjaan

Proporsi kesempatan kerja (%) Pertumbuhan

1995 1996 1997 1998 1999 2000 (%/tahun)

Pertanian 17,26 17,07 15,78 18,09 18,42 18,24 1,84

Industri 21,96 21,47 21,87 20,68 22,79 25,70 2,74

Perdagangan 7,57 8,58 8,95 8,51 8,87 10,64 5,09

Jasa 33,70 32,54 32,70 34,30 32,23 27,18 -2,84

Lainnya1 19,51 20,33 20,69 18,43 17,68 18,24 -2,47

Total buruh 28.498 28.952 30.489 28.805 29.384 29.498 0,45

('000 orang)

1Bangunan, angkutan, pergudangan, komunikasi, keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah, jasa perusahaan, listrik, gas, dan air.

Sumber: Badan Pusat Statistik (2001, diolah).

Tabel 2. Proporsi dan pertumbuhan kesempatan kerja sektor pertanian menurut status pekerjaan di Indonesia, 1995−−−−− 2000.

Status pekerjaan Proporsi kesempatan kerja (%) Pertumbuhan

1995 1996 1997 1998 1999 2000 (%/tahun)

Berusaha sendiri 22,35 16,51 18,89 18,23 19,85 15,17 -4,09

Berusaha dengan dibantu 30,70 38,40 32,48 34,94 32,94 36,50 1,26

anggota rumah tangga/buruh tidak tetap

Berusaha dengan buruh 0,86 0,83 1,22 1,18 2,59 1,71 19,35

tetap

Buruh/karyawan 13,96 13,10 13,42 13,22 14,10 13,23 1,84

Pekerja keluarga 32,13 31,16 33,99 32,44 30,52 33,39 0,25

Total tenaga kerja 35.233 37.720 35.849 39.415 38.378 40.677 2,47

('000 orang)

(4)

Statistik 1996a;2002a). Informasi di atas sedikitnya mengindikasikan dua hal, yaitu adanya keterkaitan antara kelangka-an tenaga kerja dkelangka-an tingkat upah, serta terjadinya diskriminasi tingkat upah.

Perbedaan tingkat upah secara spasial menunjukkan adanya kelangkaan dan berfungsinya pasar tenaga kerja. Hal ini dinilai positif bagi tenaga kerja buruh tani. Perbedaan tingkat upah mencangkul dengan upah menyiang/menanam me-nunjukkan adanya diskriminasi tingkat upah, di mana kegiatan pertama dilakukan tenaga kerja pria dan yang terakhir oleh tenaga kerja wanita. Menurut Pasandaran

et al. (1990), jam kerja menanam lebih lama 31% daripada mencangkul, sehingga disparitas upah per jam kerja antara menanam dan mencangkul menjadi makin melebar.

Perkembangan indeks upah absolut secara spasial dan jenis kegiatan meng-ilustrasikan akselerasi atau konvergensi tingkat upah (Badan Pusat Statistik 2001). Pada wilayah yang memungkinkan terjadinya mobilitas tenaga kerja antar-wilayah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, konvergensi tingkat upah tidak terjadi. Pada jenis kegiatan yang sama, Jawa Tengah dengan tingkat upah awal (tahun 1990) lebih rendah, tidak memiliki perkembangan indeks upah yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa Timur. Bila dibandingkan antara Jawa Tengah (upah awal terendah) dan Sulawesi Utara (tingkat upah ter-tinggi), peningkatan indeks upah di Sulawesi Utara berlangsung lebih cepat yang merefleksikan dampak dari ke-langkaan tenaga kerja di wilayah tersebut. Kecuali di NTB, indeks upah menanam meningkat lebih cepat dibandingkan dengan kegiatan mencangkul, yang mengindikasikan adanya konvergensi tingkat upah antara dua jenis kegiatan ini dan juga menurunnya diskriminasi tingkat upah. Hal ini berimplikasi pada perbaikan dan pemerataan tingkat kesejahteraan buruh tani serta mening-katnya produktivitas tenaga kerja.

Perkembangan tingkat upah absolut dan riil menurut jenis kegiatan disajikan pada Tabel 4. Jawa Tengah dengan tingkat upah absolut yang lebih rendah dari Jawa Timur ternyata memiliki laju per-tumbuhan tingkat upah yang lebih tinggi. Namun, pertumbuhan tingkat upah riil lebih baik, terutama pada periode 1998− 2000. Sulawesi Utara dengan tingkat upah absolut tertinggi memiliki laju

pertumbuhan tingkat upah yang juga lebih tinggi dibandingkan daerah lain-nya, kecuali Lampung dan Sulawesi Selatan, khususnya dalam empat tahun terakhir. Jawa dan NTB dengan surplus tenaga kerja yang relatif tinggi meng-alami tekanan dalam peningkatan tingkat upah, sementara daerah lainnya meng-alami laju peningkatan upah yang relatif tinggi. Pada seluruh wilayah dan jenis kegiatan, secara konsisten laju per-tumbuhan upah riil lebih rendah daripada upah absolut. Tampak bahwa harga kebutuhan pokok masyarakat meningkat lebih cepat daripada tingkat upah sehingga daya beli buruh tani juga semakin rendah.

Data tingkat upah usaha tani padi di desa penelitian Patanas umumnya me-nunjukkan pola yang serupa dengan data Badan Pusat Statistik (Tabel 5). Luar Jawa dengan tingkat kelangkaan tenaga kerja yang lebih besar memiliki tingkat upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua propinsi di Jawa. Jawa juga memiliki laju pertumbuhan tingkat upah yang lebih

rendah sehingga makin memperbesar disparitas tingkat upah secara spasial.

Kegiatan mencangkul tetap memiliki tingkat upah yang lebih tinggi di-bandingkan kegiatan menanam dan menyiang, sepanjang waktu untuk seluruh wilayah. Pertumbuhan upah riil relatif rendah pada seluruh wilayah dan jenis kegiatan, yang merefleksikan kurangnya akselerasi peningkatan daya beli tenaga kerja buruh tani pada usaha tani padi. Kecuali di Lampung dan NTB, laju peningkatan upah menanam dan me-nyiang lebih tinggi dibandingkan dengan upah mencangkul sehingga diharapkan disparitas dan diskriminasi tingkat upah antarkegiatan dan gender semakin membaik.

RESPONS TINGKAT UPAH

TERHADAP PENAWARAN

Melalui pendekatan analisis kebijakan dilakukan ulasan dan sintesis secara

Tabel 4. Perkembangan tingkat upah absolut dan riil (%/tahun) kegiatan usaha tani di enam propinsi Indonesia, 1990−−−−−20011.

Mencangkul Menanam Menyiang

Propinsi/tahun

Absolut Riil Absolut Riil Absolut Riil

Lampung

Nusa Tenggara Barat

1990−1993 12,53 5,42 9,55 2,33 13,34 6,05

1994−1997 10,92 3,67 10,55 3,22 12,75 5,35

1998−2001 20,41 12,42 20,29 12,07 18,26 10,06

Sulawesi Selatan

1Upah riil dihitung dengan menggunakan deflator indeks harga konsumen menurut propinsi

(5)

mana usaha tani padi bersifat padat tenaga kerja. Aplikasi teknologi varietas unggul, pupuk, dan irigasi dapat men-dorong aplikasi tenaga kerja (labor-using technologies). Urutan kontribusi faktor produksi terhadap keluaran seperti tersebut di atas dinilai konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia atau di negara lain, di mana tenaga kerja dan lahan merupakan faktor produksi yang terpenting, diikuti oleh pupuk atau modal (Yotopoulus et al. 1976; Sidhu dan Baanante 1979; Sugianto 1982; Erwidodo 1990).

PARTISIPASI DAN

STRUKTUR PENDAPATAN

BURUH TANI

Dalam periode 1995−1999, kegiatan rumah tangga usaha tani padi makin bervariasi, di mana peran kegiatan nonpertanian mengalami peningkatan. Peningkatan partisipasi rumah tangga pada kegiatan nonpertanian cukup menonjol di Jawa Timur, Lampung, NTB, dan Sulawesi Selatan, dengan kisaran laju peningkatan sebesar 8,06%/tahun (NTB) sampai dengan 121,43%/tahun (Lampung). Bagi rumah tangga dengan kegiatan berburuh, partisipasi tertinggi adalah pada sektor pertanian. Kecuali di Lampung dan NTB, partisipasi kegiatan berburuh di sektor pertanian mengalami peningkatan de-ngan kisaran 4,31%/tahun (Sulawesi Selatan) sampai dengan 11,32%/tahun (Sulawesi Utara) (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertani-an 1996). Dalam kondisi krisis ekonomi yang belum pulih sampai saat ini, sektor pertanian tetap menjadi tumpuan ke-sempatan kerja bagi masyarakat. Sektor pertanian menjadi katup pengaman dan sekaligus menjadi beban karena akan semakin berdampak terhadap penurunan produktivitas tenaga kerja pertanian.

Secara absolut, pendapatan rumah tangga buruh tani yang terendah adalah di NTB (Rp788.454/tahun) dan tertinggi di Sulawesi Selatan (Rp2.167.835) pada tahun 1995 (Tabel 7). Kisaran proporsi pendapatan berburuh di sektor pertanian adalah 12% (Sulawesi Utara) sampai 45% (Jawa Tengah). Sumber pendapatan berburuh dari sektor pertanian yang cukup menonjol adalah di Jawa Timur (28%) dan Jawa Tengah (10%), sedangkan di luar Jawa umumnya di bawah 10%. Tabel 5. Tingkat upah absolut dan riil pada usaha tani padi di enam propinsi

penelitian Panel Petani Nasional (Patanas), Indonesia, 1995−−−−−1999.1

Tingkat upah (Rp/orang/hari)

Mencangkul Menanam Menyiang Propinsi/tahun

Absolut Riil Absolut Riil Absolut Riil

Jawa Tengah

1995 3.369 1.973 3.000 1.757 2.571 1.506

1999 7.050 3.319 5.090 2.396 4.800 2.259

Pertumbuhan (%/tahun) 20 13 14 8 1 7 11

Nusa Tenggara Barat

1995 2.809 1.596 2.640 1.499 2.551 1.449

1999 14.120 6.944 13.350 6.565 13.340 6.560

Pertumbuhan (%/tahun) 31 2 4 3 4 2 7 1 7 10

1Upah riil dihitung dengan deflator indeks harga konsumen (BPS). 2Pada usaha tani perkebunan.

Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (2000, diolah).

mendalam terhadap dampak tingkat upah/ tenaga kerja terhadap tingkat keuntungan, penawaran, dan produksi usaha tani padi pada berbagai wilayah di Indonesia (Tabel 6). Peningkatan tingkat upah umumnya berdampak negatif terhadap keuntungan usaha tani dengan kisaran elastisitas 0,13− 0,19. Penurunan keuntungan lebih besar pada usaha tani padi di lahan sawah di-bandingkan dengan di lahan kering, dengan elastisitas tingkat upah terhadap keuntungan (Ep) -0,15 vs. -0,13. Pe-ningkatan upah tenaga kerja ternak juga berdampak negatif terhadap keuntungan dengan Ep -0,04 dan bersifat nyata pada taraf kepercayaan 1% (α = 1%). Namun, Wardana et al. (2001) melaporkan bahwa tingkat upah justru meningkatkan ke-untungan usaha tani padi dengan Ep 0,21 pada musim hujan dan 0,03 pada musim kemarau. Tingkat upah yang lebih baik (tambahan insentif) akan menstimulasi efektivitas pemanfaatan tenaga kerja sehingga produktivitas usaha tani padi meningkat.

Dampak peningkatan tingkat upah terhadap penawaran usaha tani padi menunjukkan respons yang inelastis, dengan kisaran dampak penurunan terhadap penawaran sebesar 0,21−0,33% untuk setiap 1% peningkatan tingkat upah. Tidak terdapat perbedaan elastisitas penawaran (Es) antara usaha tani padi di lahan kering dan di lahan sawah, dengan elastisitas penawaran -0,20 vs -0,21. Respons peningkatan tingkat upah tenaga kerja ternak terhadap penawaran relatif rendah dengan elastisitas -0,04 (Rachman 1986).

Pada usaha tani padi lahan sawah, kisaran elastisitas tenaga kerja adalah 0,12

(6)

Rumah tangga buruh tani juga terlibat pada kegiatan pertanian dan nonpertanian dengan proporsi kegiatan pertanian berkisar dari 13% (Jawa Timur) hingga46% (Lampung). Pangsa kegiatan nonpertanian yang cukup menonjol adalah di Sulawesi dan Jawa Timur, sementara di daerah lainnya di bawah 20%. Rumah tangga buruh tani umumnya adalah petani berlahan sempit atau petani penyakap sehingga andalan sumber pen-dapatan utama adalah dari kegiatan nonpertanian dan berburuh. Oleh karena itu, perbaikan sistem sakap, tingkat upah, dan kesempatan kerja di luar sektor pertanian akan memegang peranan Tabel 6. Tinjauan dampak penggunaan tenaga kerja/tingkat upah terhadap produksi atau penawaran komoditas pangan

di Indonesia.

Peneliti Lokasi/jenis data Model/fungsi Respons

Sawit (1985) Empat desa di Jawa Barat Fungsi keuntungan Cobb-Douglas Es = -0,31

Data primer petani padi Peubah bebas tingkat upah

Kasryno (1986) Jawa Barat Fungsi keuntungan Cobb-Douglas Es = -0,33

Data panel 360 rumah tangga Peubah bebas tingkat upah petani padi

Rachman (1986) Enam desa DAS Cimanuk, Fungsi keuntungan Cobb-Douglas TK manusia:

Jawa Barat Peubah bebas upah tenaga Eπ = -0,1930

Data primer resurvei kerja manusia dan tenaga kerja ternak (S = α 1%)

Proyek SDP-SAE (padi) Es = -0,2660

TK ternak: Eπ = -0,0419 (S = α 1%) Es = -0,0412

Hutabarat (1988) Sulawesi Selatan Fungsi produksi translog Lahan kering

Tiga desa lahan kering dan Peubah bebas tenaga kerja Ep = 0,11

tiga desa lahan sawah (padi) Lahan sawah

Ep = 0,14

Rusastra (1995) Indonesia Fungsi keuntungan Cobb-Douglas Padi lahan sawah:

Kombinasi data penampang Peubah bebas tingkat upah Eπ = -0,1463

lintang (11 wilayah) dan deret (S = α 1%)

waktu (1973−1991) Ep= 0,1202

Padi lahan sawah dan Es = -0,2067

padi lahan kering Padi lahan kering:

Eπ= -0,1294 (S = α 1%) Ep = 0,1073 Es = -0,2034

Rusastra et al. (1997) Indonesia Fungsi produksi linier Ep= 0,7180

Kombinasi data penampang Peubah tergantung (n.s.)

lintang (5 wilayah) dan deret produktivitas padi waktu, 1979−1993 (padi) sawah; peubah bebas

tenaga kerja

Wardana et al. (2001) Pati, Jawa Tengah Fungsi keuntungan Cobb-Douglas Eπ (MH): 0,2065 Data primer padi tadah hujan Peubah bebas tingkat upah (S = α 1%)

dataran rendah Eπ (MK): 0,0288

(S = α 5%)

Tabel 7. Struktur pendapatan rumah tangga buruh tani pada desa padi sawah di enam propinsi Panel Petani Nasional (Patanas), 1995.

Proporsi jenis kegiatan utama (%)

Propinsi Berburuh Total

pen-Pertanian

Non-Pertanian

Non-dapatan

pertanian

pertanian (Rp/tahun)

Jawa Tengah 2 8 1 7 4 5 1 0 1.551.010

Jawa Timur 1 3 24 3 6 2 8 1.549.159

Lampung 4 6 1 7 3 0 8 1.244.266

Nusa Tenggara Barat 3 9 1 3 44 5 788.454

Sulawesi Selatan 24 3 0 4 4 2 2.167.835

Sulawesi Utara 4 4 3 9 12 5 1.758.515

(7)

penting dalam peningkatan pendapatan rumah tangga buruh tani.

Sumber pendapatan utama selain dari kegiatan pertanian (usaha tani padi) dan berburuh (pertanian dan non-pertanian) relatif terbatas. Sumber pendapatan dari subsektor peternakan dan perikanan hampir tidak ada. Kegiat-an nonpertKegiat-aniKegiat-an yKegiat-ang cukup menonjol adalah perdagangan, sedangkan kegiatan industri hanya ada di Jawa Timur, NTB, dan Sulawesi Selatan. Kegiatan jasa terdapat di semua propinsi dengan kisaran 3% (Lampung)sampai24% di Sulawesi Utara (Patanas P/SE).

Secara absolut, total pendapatan berburuh yang cukup menonjol adalah di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Jawa Tengah dengan nilai masing-masing Rp1.001.000, Rp987.100, dan Rp858.400 pada tahun 1995 (Tabel 8). Di propinsi lainnya, nilainya di bawah Rp500.000/ rumah tangga buruh tani/tahun. Sumber pendapatan berburuh dari sektor per-tanian menempati posisi dominan dengan kisaran proporsi 56,50% (Jawa Timur) sampai94,60% (Sulawesi Selatan). Dalam upaya meningkatkan pendapatan buruh tani dan produktivitas tenaga kerja pertanian, persoalan yang paling sulit adalah mendorong tenaga kerja keluar dari sektor pertanian primer. Upaya yang dinilai strategis adalah mengembangkan agroindustri melalui pendekatan agro-politan. Dengan pendekatan tersebut, petani dapat mengakses kegiatan agroindustri tanpa harus kehilangan kesempatan kerja di sektor pertanian atau sebagai tenaga kerja paruh waktu. Pengembangan agroindustri diharapkan akan meningkatkan respons permintaan produk pertanian terhadap perubahan pendapatan sehingga nilai tukar petani makin membaik.

NILAI TUKAR DAN

KESEJAHTERAAN BURUH

TANI

Nilai tukar petani (NTP) dan kesejahteraan buruh tani memiliki keterkaitan yang kuat. Secara hipotetis, normatif kesejah-teraan petani akan ditransmisikan dalam bentuk perbaikan taraf hidup buruh tani. Pembahasan NTP dan faktor pem-bentuknya menggunakan data Patanas, sementara kinerja dan perspektif ke-sejahteraan buruh tani menggunakan

Tabel 8. Pendapatan berburuh (Rp/tahun) rumah tangga buruh tani pada desa padi sawah di enam propinsi penelitian Panel Petani Nasional (Patanas), 1995.

Propinsi Jenis kegiatan berburuh Total

Pertanian Nonpertanian

Jawa Tengah 701.444 (81,70) 156.915 (18,30) 858.359

Jawa Timur 557.267 (56,50) 429.817 (43,50) 987.084

Lampung 368.423 (79,40) 95.377 (20,60) 463.800

Nusa Tenggara Barat 344.109 (90,20) 37.281 (9,80) 381.390 Sulawesi Selatan 946.831 (94,60) 54.194 (5,40) 1.001.025

Sulawesi Utara 208.483 (69) 93.737 (310) 302.220

Angka dalam kurung menunjukkan proporsi dari jenis kegiatan berburuh.

Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (1996, diolah).

Tabel 9. Indeks harga yang diterima (IT), indeks harga yang dibayar (IB), dan nilai tukar petani (NTP) di enam propinsi Indonesia, 1992−−−−− 2001.

Uraian1 Indikator NTP

1992 1994 1996 1998 2001

Lampung

I T 121,80 174,30 160,80 307,90 261,40

IB 135,50 182,30 207 428,60 321,20

N T P 89,90 95,61 77,68 71,84 81,38

Jawa Tengah

I T 219 286,70 363,30 738,60 407,30

IB 230,20 284,30 341,20 755 393,30

N T P 95,13 100,84 106,48 97,83 103,56

Jawa Timur

I T 200,50 279,40 341,90 818,90 509

IB 207,90 264,60 324,40 743,80 441,60

N T P 96,44 105,59 105,39 110,10 115,26

Nusa Tenggara Barat

I T 150 197 243,30 740,50 381,50

IB 150,40 185,50 216,60 500 443,50

N T P 99,73 106,20 112,33 148,10 86,02

Sulawesi Utara

I T 132,40 157,90 197,50 437,60 980,50

IB 133,20 161,30 198,60 623,90 434,30

N T P 99,40 97,89 99,45 70,14 225,77

Sulawesi Selatan

I T 154,80 203,60 268,90 600,40 423

IB 151,50 185,90 233,80 479,60 394,70

N T P 102,18 109,52 115,01 125,19 107,17

1NTP = (IT : IB) x 100%.

Sumber: Badan Pusat Statistik (1996b; 2002b). pendekatan analisis kebijakan ber-dasarkan ulasan dan sintesis penelitian kebijakan yang ada.

Analisis perkembangan NTP dan faktor pembentuknya di enam propinsi Patanas selama periode 1992−2001 memberikan gambaran (Tabel 9) sebagai berikut:

(8)

Di Jawa Tengah, rataan NTP adalah 99,63, dengan kisaran 90,50–104,80, cenderung stabil dan sedikit me-ningkat. Pada tahun 2001, NTP di Jawa Tengah mencapai 103,60 yang mengindikasikan indeks harga yang diterima petani secara relatif lebih baik, terutama indeks harga tanaman pangan dan perkebunan.

Di Jawa Timur, rataan NTP selama periode 1992−2001 mencapai 105,30, dengan kisaran 93,40−115,30, dan meningkat secara konsisten. Pada tahun 2001, NTP relatif tinggi (115,30) karena adanya perbaikan indeks harga yang diterima petani, khususnya untuk komoditas tanaman pangan.

Di NTB, rataan NTP mencapai 109,10, dengan kisaran 84,60–148,10, cen-derung fluktuatif dan menurun. Pada tahun 2001, NTP di NTB mencapai 86 yang mengindikasikan penurunan daya beli petani karena meningkatnya indeks harga yang dibayar petani untuk kedua komponen utamanya, yaitu biaya produksi dan konsumsi rumah tangga petani.

Di Sulawesi Utara, rataan NTP men-capai 115,90, dengan kisaran 83,50– 225,80, dan cenderung meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu. Pada tahun 2001, NTP di Sulawesi Utara mencapai angka tertinggi (225,80) yang menunjukkan daya beli petani relatif tinggi, khusus-nya terhadap barang-barang untuk mendukung kegiatan produksi dan konsumsi rumah tangga. Hal ini terutama disebabkan oleh mening-katnya indeks harga komoditas perkebunan.

Di Sulawesi Selatan, rataan NTP selama periode 1992−2001 mencapai 110,80, dengan kisaran 101,20 – 125,20 dan cenderung menurun. Pada tahun 2001, NTP di Sulawesi Selatan men-capai 107,20, yakni mendekati nilai rataan dengan posisi daya beli yang memadai. Hal ini juga disebabkan oleh meningkatnya indeks harga yang diterima petani, khususnya untuk komoditas perkebunan.

Perkembangan nilai tukar pekerja (buruh tani) pada tahun 1985, 1989, dan 1995, dengan memanfaatkan dua basis data indeks upah yang disusun BPS dan Patanas, memberikan informasi yang

menarik (Djauhari et al. 2000). Bila berpedoman pada indeks upah BPS, nilai tukar pekerja di Jawa Barat dan Jawa Timur dalam periode 1985−1989 mengalami penurunan, namun pada periode se-lanjutnya meningkat. Sebaliknya dalam tujuh tahun berikutnya (1989−1995), nilai tukar pekerja berkembang cukup pesat yang disebabkan oleh meningkatnya indeks upah yang cukup besar relatif terhadap harga barang-barang konsumsi. Pemerintah berperan penting dalam pengendalian harga pangan yang ter-jangkau masyarakat luas. Dalam situasi krisis yang diindikasikan oleh pemutusan hubungan kerja atau semakin terbatasnya kesempatan kerja, kelangkaan dan peningkatan harga kebutuhan pokok masyarakat akan menurunkan tingkat kesejahteraan buruh tani.

Hasil perhitungan nilai tukar pekerja versi Patanas menunjukkan perkem-bangan yang berbeda. Pada periode 1985−1989, nilai tukar meningkat dan pada periode selanjutnya (1989−1995) menurun. Walaupun demikian, perhi-tungan nilai tukar pekerja untuk kedua versi ini (BPS dan Patanas) tidak berbeda nyata, kecuali untuk tahun 1995. Hal tersebut disebabkan adanya perbeda-an cakupperbeda-an pengumpulperbeda-an data upah, serta penetapan pembobotan perolehan pendapatan dari upah sektor pertanian dan kegiatan di luar pertanian. Namun, secara umum selama periode 1985−1995 kesejahteraan pekerja di wilayah pe-desaan Jawa Barat dan Jawa Timur relatif meningkat. Perkembangan tingkat upah yang cukup pesat di Jawa Timur meng-akibatkan nilai tukar pekerja (buruh tani) lebih baik dibandingkan dengan di Jawa Barat. Dalam upaya mempertahan-kan kesejahteraan petani dan pekerja perlu terus diupayakan peningkatan bagian harga yang diterima petani dan pengendalian harga barang konsumsi dan sarana produksi pada tingkat harga yang wajar.

KESIMPULAN DAN

IMPLIKASI KEBIJAKAN

Sektor pertanian masih tetap merupakan sumber kesempatan kerja dan berburuh tani yang potensial. Upaya meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan buruh

tani perlu terus dilakukan antara lain melalui perbaikan sistem sakap dan peng-upahan, mobilitas dan informasi tenaga kerja, serta pengembangan agroindustri dan kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Tingkat upah bergantung pada penawaran tenaga kerja, perkembangan mekanisasi pertanian, dan pertumbuhan kesempatan kerja di luar sektor pertani-an. Walaupun indeks upah absolut meningkat, harga kebutuhan pokok meningkat lebih cepat sehingga laju pertumbuhan upah riil menjadi sangat lambat. Pengembangan infrastruktur, pen-didikan dan pembinaan keterampilan tenaga kerja (khususnya wanita) sangat penting agar mereka dapat bekerja secara mandiri dan posisi tawarnya meningkat. Perbaikan infrastruktur perlu dikom-plemenkan dengan pembenahan struktur dan efisiensi pemasaran sehingga daya beli petani dan buruh tani dapat diting-katkan.

Tingkat upah berdampak negatif inelastis terhadap keuntungan dan penawaran pada usaha tani padi. Elas-tisitas tenaga kerja terhadap produksi padi adalah yang tertinggi (0,13) di-bandingkan faktor produksi lainnya (< 0,04). Kontribusi tenaga kerja dinilai menentukan kinerja usaha tani padi yang bersifat padat tenaga kerja. Kelangkaan tenaga kerja dan peningkatan upah secara tidak terkendali perlu dicegah.

Sumber pendapatan dominan buruh tani adalah berburuh (pertanian) dan kegiatan nonpertanian. Proporsi pen-dapatan berburuh tani adalah 78,60% dari total pendapatan berburuh, sedang-kan total pendapatan berburuh adalah 44,80% dari pendapatan keluarga. Sumbangan pendapatan dari kegiatan nonpertanian mencapai 23,30%. Keber-hasilan dalam mempertahankan tingkat upah yang wajar dan membangun ke-sempatan dan aksesibilitas kegiatan di luar pertanian memegang peranan penting dalam peningkatan kesejahteraan buruh tani.

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 1996a. Statistik Upah Buruh Tani di Pedesaan 1990−1995. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1996b. Indikator Ekonomi 1992−1995. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2001. Statistik Indonesia Tahun 1996−2000. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2002a. Statistik Upah Buruh Tani di Pedesaan, 1996−2001. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2002b. Indikator Ekonomi 1996−2001. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Djauhari, A., W. Sudana, dan I W. Rusastra. 2000. Kesempatan kerja, konvergensi tingkat upah dan kesejahteraan petani di pedesaan Jawa. Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Erwidodo. 1990. Panel Data Analysis of Farm Level Efficiency, Input Demand and Output Supply of Rice Farming in West Java, Indonesia. Ph.D. Thesis. Michigan State University, USA.

Hutabarat, B. 1988. Analisis Elastisitas Produksi terhadap Masukan pada Usaha Tani Padi di Sulawesi Selatan. Prosiding Patanas: Perubahan Ekonomi Pedesaan menuju Struktur Ekonomi Berimbang (F. Kasryno, A. Suryana, A. Djauhari, P. Simatupang, B. Hutabarat, dan Chairil A. Rasahan (Ed.). Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Bogor.

Kasryno, F. 1986. Supply of rice and demand for fertilizer for rice farming in Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi 5(2): 27−42.

Pasandaran, E., I W. Rusastra, and B. Rachman. 1990. Wage Rate, Employment and Welfare in Rural Java. Paper Presented in Workshop on Rural Income and Employment in Indonesia. University of Wollongong, NSW, Australia, 6−8 February 1990.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. 1996. Bank Data Struk-tur Pendapatan Rumah Tangga Pedesaan Panel Petani Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. 2000. Bank Data Tingkat Upah Usaha Tani Padi, Panel Petani Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Rachman, H.P.S. 1986. Pendugaan Fungsi Keuntungan dan Analisis Efisiensi Ekonomi Relatif Usaha Tani Padi Sawah (Studi Beberapa Desa di Jawa Barat). Thesis Magister Sain, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rusastra, I W. 1995. A Profit Function Ap-proach in Estimating Input Demand, Output Supply and Economic Efficiency for Rice Farming in Indonesia. Ph.D Dissertation, UP Los Banos, Philippines.

Rusastra, I W., R. Kustiari, dan E. Pasandaran. 1997. Dampak penghapusan subsidi pupuk

terhadap permintaan pupuk dan produksi padi nasional. Jurnal Agro Ekonomi 16(1 dan 2): 31−41.

Sawit, M.H. 1985. Fungsi respons dan fungsi permintaan tenaga kerja. Jurnal Agro Eko-nomi 4(1): 1−10.

Sidhu, S.S. and C.A. Baanante. 1979. Farm level fertilizer demand for Mexican wheat varieties in the Indian Punjab. Am. J. Agric. Econ. 61(1): 445−462.

Sugianto, T. 1982. The Relative Economic Efficiency of Irrigated Rice Farms, West Java, Indonesia. Ph.D. Thesis. University of the Illinois at Urbana-Champign, USA.

Sumaryanto dan I W. Rusastra. 2000. Struktur penguasaan tanah dan hubungannya dengan kesejahteraan petani. Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Wardana, P., Mulyadi, and C.T. Aragon. 2001. Economic efficiency of rice farmers in a rainfed lowland environment before and during the financial crisis. Jurnal Agro Ekonomi 19(1): 85−105.

Gambar

Tabel 1.Pertumbuhan dan proporsi kesempatan kerja menurut sektor utama−−−−−
Tabel 2.Proporsi dan pertumbuhan kesempatan kerja sektor pertanian menurut status pekerjaan di Indonesia, 19952000.
Tabel 4.Perkembangan tingkat upah absolut dan riil (%/tahun) kegiatanusaha tani di enam propinsi Indonesia, 1990−−−−−20011.
Tabel 5.Tingkat upah absolut dan riil pada usaha tani padi di enam propinsipenelitian Panel Petani Nasional (Patanas), Indonesia, 1995−−−−−1999.1
+3

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Mata kuliah memberi pemahaman bagaimana dibahas perubahan social sebagai gejala umum, keterkaitan antara perubahan social dan perubahan kebudayaa,

SEBARAN SPASIO-TEMPORAL IKAN YANG TERTANGKAP DENGAN JARING PANTAI DI PERAIRAN TELUK AMBON BAGIAN DALAM.. [Spatio-temporal distribution of fishes catched by beach seine in inner

Berdasarkan data angkutan udara lebaran tahun 2012 dan 2013, kapasitas angkutan udara khususnya angkutan udara dalam negeri dan luar negeri yang disiapkan masih

Hadits dalam mengatasi kesulitan belajar siswa pada mata pelajaran Al-. Qur’an Hadits adalah cara guru dalam memahami dan

Subjek penelitian yang terkait dalam pengambilan data untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Penelitian awal dan pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebar angket

flakes , mengetahui formula terbaik flakes berbahan dasar tepung milet putih dengan penambahan koya ikan gabus dan tepung tempe sebagai sereal tinggi protein

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini yang berjudul “ STRATEGI KOMUNIKASI PEMASARAN TERPADU (INTEGRATED MARKETING COMMUNICATION) PADA PT