PEMANFAATAN KULIT BUAH KOPI
FERMENTASI TERHADAP PERFORMANS
DAN KUALITAS KARKAS AYAM BURAS
Pusat Kajian Peternakan, Perikanan,
Sumberdaya Pesisir dan Laut
Fakultas Peternakan
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
PEMANFAATAN KULIT BUAH KOPI FERMENTASI
TERHADAP PERFORMANS DAN KUALITAS
KARKAS AYAM BURAS
Oleh
Henri Hutabarat
Cetakan pertama, Agustus 2007
Hak Cipta © 2007
Pusat Kajian Peternakan, Perikanan, Sumberdaya Pesisir
dan Laut
Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen
Jalan Sutomo No 4 A Medan
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Tidak diperkenankan
memperbanyak penerbitan ini dalam bentuk cetak, stensil, offset,
fotocopi, mikrofis atau bentuk lain tanpa izin tertulis dari penerbit
Hutabarat, Henri
3.3.2.1. Persiapan 26
3.3.2.2. Penyembelihan 26
3.3.2.3. Scalding 26
3.3.2.4. Defeathering 26
3.3.2.5. Evisceration 26
3.4. Parameter yang diukur 27
3.5. Analisa data 30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 32
4.1. Konsumsi ransum 32
4.2. Pertambahan bobot badan 34
4.3. Konversi ransum 36
4.4. Kualitas karkas 38
4.4.1. Berat hidup 40
4.4.2. Berat karkas 41
4.4.3. Persentase karkas 42
4.4.4. Berat potongan primal karkas 43
4.4.4.1. Leg 43
4.4.4.2. Drumstick 44
4.4.4.3. Paha gending 45
4.4.4.4. Berat dada 46
4.4.4.5. Berat punggung 47
4.4.4.6. Berat sayap 48
4.4.4.8. pH daging 50
4.4.4.9. Warna daging 51
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 52
5.1. Kesimpulan 52
5.2. Saran 53
DAFTAR PUSTAKA 54
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Jumlah produksi kopi tahun 2010 di daerah Sumatera Utara 20Tabel 2. Komposisi zat gizi buah kopi sebelum dan setelah fermentasi 22
Tabel 5. Skala Hedonik warna daging ayam 29 Tabel 6. Rataan konsumsi ransum ayam buras selama penelitian 32 Tabel 7. Rataan pertambahan bobot badan ayam buras selama
penelitian 34
Tabel 8. Rataan konversi ransum ayam buras selama penelitian 36 Tabel 9. Pengaruh kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus
Niger terhadap berat hidup, bera t karkas, persentase
karkas, berat potongan primal karkas, persentase lemak
abdominal, pH daging dan warna daging 39
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bagian karkas ayam 15
KATA PENGANTAR
Kulit buah kopi merupakan limbah tanaman perkebunan yang produk utamanya biji kopi belum banyak dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan pakan ransum unggas. Untuk meningkatkan kualitas dari kulit kopi tersebut dapat dilakukan dengan proses fermentasi menggunakan Aspergilus niger. Melalui fermentasi dapat memperbaiki kandungan nutrisi dan menurunkan kandungan serat kasar dan zat-zat anti nutrisi yang terkandung didalamnya.
ampai selesainya tulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dra. Antetti Tampubolon, MSi., Apt, Naomi dan Paulus selaku istri dan anak-anak saya yang turut membantu hingga selesai penyusunan buku ini.
Buku ini tidak terlepas dari kekurangannya, untuk itu penulis masih mengharapkan adanya saran-saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan tulisan ini.
Medan, Agustus 2012
Henri Hutabarat
1.1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut :
1. Berapa besar manfaat fermentasi kulit buah kopi terhadap kualitas karkas yang
meliputi bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, bobot potongan primal
karkas, persentase lemak abdominal, pH dan warna daging.
2. Pada pemberian level berapa fermentasi kulit buah kopi yang memberikan
manfaat terbaik terhadap bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, bobot
potongan primal karkas, persentase lemak abdominal, pH dan warna daging.
1.2. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui seberapa besar manfaat terhadap kualitas karkas yang meliputi,
bobot potong, bobot karkas, bobot potongan karkas, persentase lemak abdominal,
2. Untuk mengetahui pada pemberian level berapa fermentasi kulit buah kopi yang
memberikan manfaat terbaik terhadap bobot potong, bobot karkas, bobot
potongan karkas, persentase lemak abdominal, pH dan warna daging.
1.3. Kegunaan Penelitian
Sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam penyusunan ransum tentang manfaat
fermentasi limbah kulit buah kopi yang mempengaruhi kualitas karkas.
1.4. Kerangka Pemikiran
Pertumbuhan adalah Pertambahan jumlah sel dan penambahan ukurannya. Pada
awalnya pertumbuhan unggas lambat dan diikuti dengan satu priode pertumbuhan yang
cepat dan akhirnya menjadi lambat(Anggorodi, 1985), dan pada masa pertumbahan ayam
harus memperoleh makanan yang banyak mengandung protein, zat ini berfungsi sebagai
pembangun, pengganti sel yang rusak dan berguna untuk pembentukan telur.(Wahyu,
2005)
Dari beberapa faktor produksi, pakan merupakan salah satu penyumbang biaya
operasional terbesar. Oleh karena itu untuk meminimalkannya dilakukan dengan mencari
bahan pakan yang lebih murah dan berkualitas berasal dari hasil ikutan pertanian. Salah
satu contoh hasil ikutan pertanian tersebut ialah kulit buah kopi, karena dapat diperoleh
dengan mudah dan dengan biaya yang murah dipedesaan yang memiliki kebun kopi,
dimana berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara (Sumatera Utara Dalam
Angka 2011) bahwa produksi kopi sebesar 55376,40 ton dengan produksi kulit buah kopi
mencapai 35994,66 ton. Hal ini merupakan suatu peluang untuk memanfaatkan kopi
sebagai bahan pakan ternak unggas. Namun untuk meningkatkan kualitas dari bahan
Fermentasi adalah suatu proses bioteknologi dengan memanfaatkan bakteri untuk
mengawetkan pakan dan tidak mengurangi kandungan zat nutrient pakan dan bahkan
dapat meningkatkan kualitas dan daya tahan pakan itu sendiri.(Soeharsono et al., 2010)
Menurut Pujaningsih (2005) bahwa untuk meningkatkan kualitas bahan pakan
dilakukan proses fermentasi terlebih dahulu, karena dengan melakukan fermentasi akan
menghasilkan suatu produk (bahan pakan) yang mempunyai kandungan nutrisi, tekstur,
biological avialability yang lebih baik dan juga menurunkan zat anti nutrisinya. Hal
tersebut juga diterangkan Prayitno (2001) bahwa dari hasil fermentasi buah kulit kopi
dengan Aspergilus niger kandungan anti nutrisi yang ada di kulit buah kopi (polifenol,
tannin dan kafein) dapat diturunkan, namun tingkat penurunannya belum dijelaskan.
Sehubungan semakin baik kandungan nutrisi dan menurunnya zat anti nutrisi kulit kopi
yang difermentasi tersebut maka akan meningkatkan kertersediaan nutrisi dan dapat
meningkatkan pertambahan bobot badannya. Pertambahan bobot badan ini disebabkan
bertambahnya volume tubuh ayam buras tersebut yang merupakan pengaruh dari
kuantitas dan kualitas karkas yang bertumbuh dan berkembang. Dengan adanya
pengaruh tersebut sehingga untuk mengetahui seberapa besar kuantitas dan kualitas
karkas yang buras tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
1.5. Hipotesa
Pemanfaatan kulit buah kopi fermentasi mempengaruhi konsumsi ransum,
Pertumbuhan berat badan, dan kualitas karkas ayam buras.
1.6. Defenisi Operasional
1. Ransum adalah campuran dari beberapa bahan pakan yang diberikan pada ternak
dalam jangka waktu 24 jam.
2. Konsumsi Ransum harian adalah Hasil selisih antara jumlah pakan yang diberikan
3. Pertambahan berat badan harian adalah selisih antara bobot badan akhir dengan
berat badan awal tertimbang dibagi dengan waktu lama pengamatan.
4. Konversi ransum adalah banyaknya ransum yang dikonsumsi dibagi dengan
pertambahan bobot badan yang diperoleh.
5. Kulit buah kopi adalah kulit/hasil ikutan yang diperoleh dari pengupasan buah
kopi segar atau baru panen.
6. Kulit buah kopi fermentasi adalah kulit buah kopi yang telah difermentasikan
dengan jamur Aspergilus niger.
7. Bobot potong adalah bobot ayam buras yang diperoleh sebelum dipotong setelah
ayam buras dipuasakan lebih dari 3 jam.
8. Karkas adalah Berat tubuh dari ternak potong setelah pemotongan dengan
mengeluarkan kepala, darah serta organ-organ internal, dan serta kulit. Untuk
ayam, paru-paru dan ginjal termasuk didalamnya.
9. Bobot karkas adalah bobot yang diperoleh dengan menimbang karkas ayam buras. 10. Persentase karkas dihitung dengan cara membagi bobot karkas dengan bobot
potong ayam buras yang bersangkutan kemudiaan dikalikan 100%
11. Kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap
suatu kondisi pemasaran. Faktor yang menentukan nilai karkas meliputi berat
bagian-bagian potongan primal karkas ayam buras, yaitu (a) Kaki (leg), (b) paha
(drumstick), (c) paha’gending’ (thigh), (d)Dada dengan rusuk, (e) Punggung dan
(f) sayap.
14. Persentase lemak abdominal diperoleh dari perbandingan antara bobot lemak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Identifikasi Ayam Buras
Ayam peliharaan yang ada pada dewasa ini (Gallus domesticus) Merupakan
keturunan ayam hutan. Manusia telah memelihara ayam sejak 5000 tahun yang lalu.
Dengan adanya identifikasi domestikasi yang telah berlangsung cukup lama, telah banyak
penemuan-penemuan mutakhir yang mengakibatkan jenis-jenis ayam banyak mengalami
perubahan.
Menurut Suprijatna et al.,(2005) ayam buras adalah ayam lokal atau juga disebut
ayam bukan ras yang berkembang di beberapa daerah dengan memiliki karakteristik yang
relatif homogen, baik tubuh maupun warna bulu. Jika dilihat berdasarkan klasifikasi
taksonimi zoology ayam buras, sama dengan ayam ras yaitu :
Filum : Chordata
Ayam buras dari sudut berkembangnya, merupakan hasil produksi dan seleksi alam
lingkungan. Oleh sebab itu interaksi antara ayam buras dengan alam lingkungan, sudah
ada keterpaduan yang sangat dominan dan tidak dapat terpisahkan.
Ayam buras merupakan ayam local yang belum mengalami perubahan genetis. Ayam
ini memiliki keunggulan yang diantaranya adalah daya tahan tubuhnya dan adaptasi
terhadap lingkungan relatif tinggi dan baik, daging dan telurnya memiliki rasa khas yaitu
yaitu tahan terhadap pengolahan dan lingkungan yang buruk, tidak peka terhadap kadar
amoniak tinggi, dapat diberi pakan yang berkualitas jelek, modal tidak besar, dan tidak
mudah stress bila memperoleh perlakuan kasar. (Murtidjo, 1992)
Berdasarkan hal tersebut pengembangan ayam buras ini memiliki peluang yang
menjanjikan, baik dalam usaha ayam potong, penghasil telur, dan ayam bibit dan bahkan
penyedia pakan untuk ayam buras.
2.2. Konsumsi Ransum
Ransum merupakan kumpulan bahan makanan yang layak dimakan oleh ayam
dan telah disusun mengikuti aturan tertentu yang meliputi nilai kebutuhan gizi bagi ayam
dan nilai kandungan gizi dari bahan makanan yang digunakan (Rasyaf, 1999).
Pakan yang dikonsumsi sebagian dicerna dan diserap tubuh. Sebagian yang tidak
dicerna diekskresikan dalam bentuk feses. Zat-zat makanan (nutrien) dari pakan yang
dicerna digunakan untuk sejumlah proses di dalam tubuh. Penggunaannya secara pasti
bervariasi, tergantung spesies, umur, dan produktivitas unggas. Sebagian besar unggas
menggunakan zat-zat makanan yang diserap untuk fungsi esensial, seperti metabolisme
tubuh, memelihara panas tubuh, serta mengganti dan memperbarui sel-sel tubuh dan
jaringan. Penggunaan pakan untuk pertumbuhan, penggemukan, atau produksi telur
dikenal sebagai kebutuhan produksi (Suprijatna, 2005).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pakan antara lain besar dan berat
badan, kondisi fisiologis ternak serta gerak laju dari makanan tersebut di dalam alat
pencernaan ternak. Laju makanan dalam alat pencernan dapat mempengaruhi jumlah
makanan yang dikonsumsi, yakni makin cepat aliran makanan dalam alat pencernaan
makin banyak pula jumlah makanan yang dikonsumsi. Selain itu, faktor yang
bau, rasa, tekstur, dan suhu makanan yang diberikan. Selera merupakan faktor internal
yang merangsang rasa lapar. Faktor lain yang juga mempengaruhi konsumsi adalah
ternak, lingkungan, dan stres karena penyakit (Wahyu, 1978).
2.3. Pertumbuhan dan Perkembangan Ternak Ayam Buras
Pertumbuhan adalah suatu proses yang sangat kompleks meliputi pertumbuhan bobot
badan dan semua bagian tubuh secara merata dan serentak seperti tulang, otot, jantung
otak dan semua jaringan tubuh kecuali lemak. (Maynard dan Loosli, 1979)
Ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu besar tubuh unggas
berdasarkan jenis (strain), jumlah makanan yang dikonsumsi, macam makanan serta cara
pemeliharaannya.
Menurut Hammond, 1960 yang disitasi oleh Soeparno, (2005) bahwa jaringan tubuh
mencapai petumbuhan maksimal dengan urutan dari jaringan syaraf, tulang, tendo, otot,
lemak intramuscular, lemak subkutan dan lemak abdominal. Sedangkan untuk urutan
perkembangan kedewasaan lemak adalah interamuskular, perirenal atau canel, lemak
ginjal, subkutan, dan omental atau caul (Kirton et al., 1972; Wood et al.,1980). Lemak
omental adalah lemak yang menyelimuti retikulum, rumen, omasum dan abomasum. Dalam pertumbuhan terjadi masa cepat tumbuh dan masa lambat bahkan berhenti
tumbuh. Masa cepat pertumbuhan terjadi pada masa setelah lahir sampai pubertas.
Sedangkan masa lambat tumbuh terjadi setelah dewasa dicapai, kemudian masa
pertumbuhan tidak terjadi lagi karena tulang dan daging tidak bertambah lagi, yang
terjadi adalah penambahan bobot badan karena bertambahnya lemak.(Berg dan Butter
field, 1976)
Pembentukan lemak tubuh pada ayam terjadi karena adanya kelebihan energi yang
dikonsumsi. Energi yang digunakan tubuh umumnya berasal dari karbohidrat dan
yang disimpan disekeliling jeroan dibawah kulit dan rongga perut(Kubena et al.,1974;
Anggorodi, 1995).
Berdasarkan penelitian Iskandar (2009), bahwa rata-rata bobot badan (BB) Doc
(Day Old Chick) atau anak ayam baru menetas sampai umur sehari berkisar antara 29-36
g dengan lingkar dada(LD) 5 cm, Panjang tubuh (PT) 4 cm dan tinggi keseluruhan pada
posisi normal sampai ujung kepala mencapai (TN = tinggi normal) 10 cm. Tubuh tertutup
dengan bulu halus seperti kapas. Pada pemeliharaan intensif yang baik, anak ayam
tersebut akan tumbuh sampai umur 4 minggu mencapai BB 100-200 g, dengan LD 13
cm, PT 11 cm dan TN 20 cm. Pada umur 8 minggu mencapai BB 300-500 g, LD 17 cm,
PT 14 cm dan TN 25 cm. Pada umur 12 minggu mencapai BB 700-1100g, LD 23 cm, PT
27 cm dan TN 40 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tulang yang merupakan
melekatnya otot akan berkembang, ditandai dengan bertambahnya lingkar dada, tinggi
normal dan panjang tubuh selama proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh ayam
buras tersebut.
Seperti yang telah disebutkan bahwa strain (genotipe) ternak juga mempengaruhi laju
pertumbuhan dimana perbedaan laju petumbuhan diantara bangsa dan individu ternak
didalam suatu bangsa disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh dewasa. Bangsa ternak
yang memiliki proporsi tubuh besar, akan lebih berat, tumbuh lebih cepat dan lebih berat
pada saat mendapai kedewasaan dari pada bangsa ternak kecil. ( Tulloh 1978; Williams,
1982, yang disitasi oleh Soeparno, 2005). Oleh karena itu laju pertumbuhan ayam buras
sangat rendah bila dibandingkan dengan ayam ras pedaging. Untuk mendapatkan bobot
badan 900 sampai dengan 1100 gram dibutuhkan waktu pemeliharaan selama 90 hari (12
minggu) dengan pemberian pakan yang mengandung protein kasar 14 % dan energi
Dada 24,20%, paha atas 19 % dan paha bawaah 18 % (Muryanto, 2002), dan pada
pemeliharaan 14 minggu berat yang didapat mencapai 1.289-1448 gram, dengan
persentase karkas 60,68% dengan dada 16,76-18,12%, punggung 14,96-17,41%, paha
22,35-24,08% sayap 9,15-10,64% (Ruza,2004 yang disitasi oleh Kusmayadi 2004)
sedangkan pada pemeliharaan 20 minggu berat ayam buras dapat mencapai 1380-1600
gram dengan persentase karkas 50-70% dengan dada 16-21%, punggung 15-19%, paha
22-24,5% sayap 9-11% (Abubakar etal., 2004).
Jenis kelamin dapat juga menyebabkan perbedaan laju pertumbuhan. Dibandingkan
ternak betina, ternak jantan biasanya tumbuh lebih cepat dan pada umur yang sama lebih
berat (Chaniago dan Boyes, 1980 ; Hammond et al ., 1984). Perbedaan laju pertumbuhan
antara kedua jenis kelamin tersebut dapat menjadi lebih besar sesuai dengan
bertambahnya umur. (Crouse et al., 1978).
2.4. Pertambahan Bobot Badan
Pertumbuhan murni menurut Anggorodi (1985) adalah pertambahan dalam bentuk
dan bobot jaringan-jaringan tubuh seperti urat daging, tulang, jantung, otak, dan semua
jaringan tubuh lainnya (kecuali lemak). Kemampuan ternak mengubah zat-zat nutrisi
ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan merupakan
salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan.
Pertambahan bobot badan diperoleh melalui pengukuran kenaikan bobot badan
dengan melakukan penimbangan berulang-ulang dalam waktu tiap hari, tiap minggu atau
tiap bulan (Tillman dkk., 1991). Kecepatan pertumbuhan mempunyai variasi yang cukup
besar, keadaan ini bergantung pada tipe ayam, jenis kelamin, galur, tata laksana,
temperatur lingkungan, tempat ayam tersebut dipelihara serta kualitas, dan kuantitas
Pada masa pertumbuhan, ayam harus memperoleh makanan yang banyak
mengandung protein, zat ini berfungsi sebagai pembangun, pengganti sel yang rusak dan
berguna untuk pembentukan telur. Kebutuhan protein perhari ayam sedang bertumbuh
dibagi menjadi tiga bentuk kebutuhan yaitu protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
jaringan, protein untuk hidup pokok dan protein untuk pertumbuhan bulu (Wahju, 2004).
Anggorodi (1985) menjelaskan bahwa Keseimbangan zat-zat nutrisi, terutama
imbangan energi dan protein penting karena nyata mempengaruhi pertumbuhan dimana
pertumbuhan berlangsung secara perlahan-lahan pada awalnya, kemudian cepat dan pada
tahap terakhir perlahan-lahan kembali dan kemudian berhenti sama sekali. Dijelaskan
lebih lanjut dalam beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ayam broiler antara
lain faktor nutrisi yang meliputi energi, protein, vitamin, mineral dan kalsium.
Pertumbuhan ternak unggas dipengaruhi oleh faktor genetik, dimana masing-masing
ternak mempunyai kemampuan tumbuh yang berbeda-beda (Suprijatna dkk., 2005).
Menurut Tillman dkk., (1991) pertumbuhan dapat dilihat pada kenaikan bobot badan
yang diperoleh dengan cara menimbang ayam buras secara harian, mingguan ataupun
menurut periode waktu tertentu. Pertumbuhan erat kaitannya dengan konsumsi ransum
yang mencerminkan pula gizinya, sehingga untuk mencapai pertumbuhan yang optimal
dibutuhkan sejumlah zat-zat makanan yang bermutu, baik dari segi kualitas maupun
kuantitas.
2.5. Konversi Ransum
Konversi ransum (Ration Convertion) adalah perbandingan jumlah konsumsi
ransum pada satu minggu dengan pertambahan bobot badan yang dicapai pada minggu
dengan efisien. Hal ini dipengaruhi oleh besar badan dan bangsa ayam, tahap produksi,
kadar energi dalam ransum, dan temperatur lingkungan (Rasyaf, 2000).
ransum merupakan suatu ukuran yang dapat digunkan untuk menilai efisiensi
penggunaan dan kualitas ransum. Konversi ransum adalah perbandingan antara jumlah
ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan dalam jangka waktu tertentu.
Salah satu ukuran efisiensi adalah dengan membandingkan antara jumlah ransum yang
diberikan (input) dengan hasil yang diperoleh baik itu daging atau telur (output) (Rasyaf,
1995).
Nilai suatu ransum selain ditentukan oleh nilai konsumsi ransum dan tingkat
pertumbuhan bobot badan juga ditentukan oleh tingkat konversi ransum, dimana konversi
ransum menggambarkan banyaknya jumlah ransum yang digunakan untuk
pertumbuhannya (Wiradisastra, 1986). Semakin rendah angka konversi ransum berarti
kualitas ransum semakin baik. Anggorodi (1980) menyatakan bahwa nilai konversi
ransum dapat dipenuhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah suhu lingkungan, laju
perjalanan ransum melalui alat pencernaan, bentuk fisik, dan konsumsi ransum.
2.6. Karkas dan Daging Ayam Buras
Sebelum Ternak disembelih ayam buras harus di istirahatkan selama lebih dari 3 jam
dimana tanpa diberikan pakan, Tujuan ternak diistirahatkan sebelum disembelih adalah
agar ternak tidak mengalami stress, agar pada saat disembelih darah dapat keluar sedapat
mungkin serta agar cukup tersedia energi, sehingga proses kekakuan karkas (rigormortis)
berlangsung secara sempurna (Hafid dan Rugayah 2009).
Karkas unggas ketika dipasarkan ke konsumen dapat berupa karkas utuh, belahan
karkas kiri kanan, seperempat karkas atau potongan-potongan karkas yang lebih kecil.
mengikuti ujung posterior terakhir dan dilanjutkan melalui veterbral coloumn. Sayap
dipisahkan melalui sendi bahu dan dapat dibagi dengan memotong bagian distal terhadap
tulang radius dan ulna. Bagian dada terdiri dari sternum dan otot terkait yang bisa berupa
bentuk utuh atau dibelah menjadi dua bagian (dada kiri dan dada kanan). Paha dipisahkan
pada acetabulum dengan otot pelvic tanpa tulang pelvic. Paha dapat dibagi dua dengan
memotong pada persendian antara femur dengan tibia, bagian proximal disebut thigh
(paha gending) dan distal disebut drumstick. Sisa bagiannya berupa punggung utuh yang
meliputi tulang pelvic, scapula bagian dorsal dari rusuk dan vertebrae dari bagian
posterior leher sampai ekor(Swatland, 1984 yang disitasi oleh Soeparno 2005).
Karkas ayam buras terdiri dari bagian, yaitu dua buah sayap, satu bagian dada, satu
bagian punggung dan dua bagian paha yang terdiri dari dua bagian thigh dan dua bagian
drumstick (Judge et al., 1989). Menurut Swatland yang disitasi oleh Soeparno (2005)
sayap adalah bagian yang terdiri dari daging pada tulang radius, ulna dan humerus
dengan tulang-tulang tersebut. Dada terdiri dari tulang-tulang sternum dan daging yang
melekat padanya. Paha terdiri dari daging yang melekat pada pelvis tanpa tulang pelvis
ditambah daging dan tulang pada paha. Thigh terdiri dari daging yang melekat pada
tulang femur sampai pertemuan tulang femur dengan tulang tibia dengan tulangnya.
Drumstick terdiri dari daging yang melekat pada tulang tibia dan tulang fibula pada
paha dengan tulangnya. Punggung adalah bagian yang memanjang dari pangkal leher
sampai pada bagian pelvis dengan daging dan tulang yang ada padanya. ( Gambar 1)
Daging didefinisikan sebagai jaringan dari hewan baik yang berupa bagian dari
karkas, organ dan kelenjar dan semua produk hasil dari pengolahan jaringan tersebut
yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya
jaringan ikat, epitel, syaraf, pembuluh darah, lemak (Soeparno, 2005), ligamentum dan
tendon (Romans dan Zigler, 1974 yang disitasi oleh Nuhriwangsa, 2003)
Drumstick Dada
Paha gending( thigh) Punggung
(sayap)
Gambar 1 Bagian karkas dari ayam (Judge et al., 1989)
Daging dada (Gambar 2) merupakan otot yang terbesar pada karkas dengan berat
sekitar 8% dari berat tubuh, terdiri dari otot Pectoralis superficialis dan supracoricoideus
(Soeparno, 2005). Otot dada ini sering digunakan untuk sampel guna menilai kualitas
daging unggas secara keseluruhan (Cahaner et al., 1986 yang disitasi oleh Nuhriwangsa,
Gambar 2 Bagian otot dada (Swatland, 1984 yang disitasi oleh Soeparno(2005))
2.3. Kualitas Karkas dan Daging
Menurut Soeparno, (2005) Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor
sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat
mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis
kelamin, umur dan pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral) dan
stress. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain
meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH, karkas dan daging,
bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon, antibiotik, lemak
intramuskular, atau marbling, metode penyimpanan preservasi, macam otot daging dan
lokasi pada suatu otot daging.
Menurut Winarno (1993) bahwa Ternak sebelum dipotong sebaiknya diistirahatkan
dalam waktu maksimal dimana dapat menghasilkan daging yang bermutu tinggi. Hal ini
sangat berhubungan erat dengan tinggi rendahnya cadangan glikogen dalam otot, yang
enzim-enzim mengubah glikogen menjadi asam laktat dalam otot sehingga sangat akan
menentukan pH otot. Apabila ternak saat akan dipotong tenang dan cukup waktu
istirahatnya, maka kadar glikogen otot akan tetap tinggi sehingga kadar asam laktat
terbentuk dengan baik dan menghasilkan pH 5,1-6,1 yang secara kualitas baik. Selain hal
tersebut, perlakuan istirahat terhadap ternak sesaat dipotong juga berguna untuk
memudahkan pengeluaran kotoran dari jeroan.(Buckle et al., 1985)
Warna merah pada urat daging disebabkan oleh mioglobin yaitu pigmen yang
mempunyai sifat mirip dengan haemoglobin darah. Kandungan mioglobin tergantung
pada jenis dan jenis urat daging ternak tersebut.
Berdasarkan pandangan tersebut, pakan juga memberikan kontribusi terhadap
baik-buruknya kualitas karkas dari ayam buras, karena dengan zat-zat makanan yang diserap
oleh tubuh menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan menjadi optimal. Optimalnya
pertumbuhan dan perkembangan tubuh akan menunjang produksi karkas, dimana
perkembangan dari volume tubuh menyebabkan pertambahan bobot badan menjadi tinggi
pada masa-masa pertumbuhan, sehingga memberikan dampak yang positif terhadap
bobot potong dan tentunya bobot karkas (Murtidjo, 2005).
Pada dasarnya, kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak
relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Faktor yang menentukan nilai karkas meliputi
berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas dari karkas yang bersangkutan.
Nilai karkas dapat diukur secara objektif yaitu absolut, misalnya berat karkas dan daging
dan secara subjektif, misalnya dengan pengujian organoletik, yaitu estimasi jumlah
daging yang dihasilkan dari suatu karkas.(Soeparno, 2005)
2.4. Pakan Limbah Buah Kopi Fermentasi
Untuk dapat tumbuh dan berkembang, dan berproduksi ternak memerlukan zat-zat
makanan sebagai bahan untuk pembentukan jaringan tubuh dan produk. Sumber zat-zat
untuk tercapainya pertumbuhan dan produksi yang maksimal maka zat-zat makanan yang
terkandung didalam pakan yang dikonsumsi harus memadai,. Hal ini sesuai dengan
pendapat Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa peningkatan atau penurunan
konsumsi pakan berhubungan dengan kualitas pakan yang tersedia sehingga dapat
mempengaruhi karakteristik atau kualitas karkas. Berdasarkan pandangan Hammond
(1932) yang disitasi oleh Lawrie, (2003) bahwa pertumbuhan dan produksi merupakan
sifat genetis, yaitu sifat yang diturunkan dari leluhurnya, namun untuk menunjang
pertumbuhan dengan kualitas karkas yang baik haruslah disesuaikan dengan kebutuhan
pakan dimana apabila suatu ternak dengan potensi genetis baik, tetapi kebutuhan nutrisi
sebagai bahan utamanya tidak terpenuhi, maka ternak tersebut akan tidak dapat
mengekspresikan potensi genetisnya secara penuh. Menurut Supriyatna, et al.,(2005),
bahwa perhitungan kebutuhan zat-zat makanan hanya didasarkan pada kebutuhan energy
dan protein sedangkan kebutuhan zat-zat makanan lainnya disesuaikan, yang mana
apabila menunjukkan gejala kekurangan maka ditambahkan dengan pemberian suplemen,
terutama vitamin dan mineral.
Berdasarkan Anonimous (2009) bahwa dilihat dari data dari luas daerah dan produksi
kopi yang ada, limbah kopi yaitu kulit buah kopi sangat berpotensi menjadi bahan pakan
ternak. Dan juga di dukung berdasarkan data Statistik (Badan Pusat Statistik) bahwa di
wilayah Sumatera Utara, Produksi kopi yang berasal dari Perkebunan Rakyat tahun 2010
sebesar 55376.40 ton, dan untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Jumlah produksi kopi tahun 2010 di daerah Sumatera Utara
No Kabupaten Produksi (ton) buah kopi kulit buah kopi
1 Nias 48.30 16.91 31.40
4 Tapanuli tengah 65.90 23.07 42.84
20 Padang lawas utara 307.20 107.52 199.68 21 Padang lawas 160.05 56.02 104.03
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara (Sumatera Utara dalam angka 2011)
Hal ini mengindikasikan bahwa potensi bahan pakan yang berasal dari limbah kulit
buah kopi cukup besar, yaitu 35994,66 ton.
Dalam proses tersebut menghasilkan 65% biji kopi dan 35% limbah kulit kopi dan
kulit kopi ini belum dimanfaatkan secara optimal, hal ini tampak dari menumpuknya
limbah kulit kopi baik yang berasal dari perkebunan rakyat. Bila dilihat dari zat gizi yang
terkandung didalamnya masih bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak unggas karena
masih memiliki protein 8,80% dan serat kasar 18,20%(Guntoro dan Yasa, 2003)
sedangkan Muryanto et al., (2004) kandungan protein kasarnya 10,4% dan kandungan
energy metabolisnya sebesar 3,356 Kkal/kg, selanjutnya dilaporkan bahwa kulit kopi
% namun, tidak berpengaruh nyata terhadap produktifitas ayam serta sampai penelitian
dilaporkan belum diketahui pengaruh penggunaan dengan persentase yang lebih tinggi
dan zat antinutrisi yang terdapat pada kulit buah kopi.
Sesuai dengan penelitian yang sebelumnya untuk meningkatkan kualitas dari kulit
kopi tersebut dapat dilakukan dengan proses fermentasi menggunakan Aspergilus niger.
Karena sesuai dengan yang diutarakan sebelumnya dengan perlakuan fermentasi pada
bahan pakan dapat memperbaiki kandungan nutrisi dan menurunkan kandungan serat
kasar dan zat-zat anti nutrisi yang terkandung didalamnya (Pujaningsih, 2005). Dan hal
ini sesuai dengan pendapat Buckle et al., (1987) dengan melakukan fermentasi pada
bahan yang tidak dapat memecah bahan yang tidak dapat dicerna seperti selulosa,
hemiselulosa menjadi gula sederhana, alkohol, asam dan CO2 dan dengan pH berkisar
2-8,8sehingga tingkat daya cerna terhadap bahan tersebut akan semakin tinggi terutama
pada ternak non-ruminansia.
Berdasarkan serat kasar yang terkandung didalam kulit buah kopi, dapat
disimpulkan bahwa hasil akhir dari fermentasi kulit buah kopi adalah glukosa, alcohol,
uap Air dan CO2, sehingga secara visual pelepasan molekul air dapat terlihat dengan
adanya air pada plastik yang digunakan sebagai wadah/tempat bahan fermentasi tersebut.
(Dithauki, 2011; Soeharsono, et al.,2010) sedangkan perubahan warna kulit buah kopi
yang terbentuk hasil fermentasi yaitu warna cokelat gelap hingga hitam, (Noorhamdani
dan Hidayat, 2007) dan pH yang terbentuk adalah 4 berdasarkan tinjauan lapangan. Hasil analisa proses fermentasi kulit buah kopi dengan Aspergilus niger
menunjukkan bahwa dapat meningkatkan kandungan gizi (protein dan energy) limbah
sedangkan kandungan serat kasar dapat ditekan secara nyata dan berat keringnyapun
berkurang(Guntoro dan Yasa, 2003). Untuk lebih jelas komposisi zat gizi kulit buah kopi
Tabel 2. Komposisi Zat Gizi Buah Kopi Sebelum Sesudah Fermentasi
fermentasi 8, 80 18,20 1,07 0,23 0,02
2 Fermentasi 12,43 11,05 1,05 0,34 0,07
Sumber :Guntoro dan Yasa, (2003)
Sedangkan menurut pengujian yang dilakukan oleh Loka Penelitian Kambing
Potong Sumatera Utara, Setelah kulit kopi difermentasi kandungan energinya menjadi
3.748 Kkal/kg.
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa kandungan protein kasar dan energi limbah
kulit buah kopi fermentasi meningkat, sedangkan kandungan serat kasarnya menurun
sehingga akan meningkatkan kualitas dan daya cerna dari bahan pakan tersebut,
sehubungan dengan hal tersebut, Santoso (1986) berpendapat bahwa dengan
dilakukannya fermentasi terhadap suatu bahan pakan, maka bahan pakan tersebut dapat
dipecah oleh enzim tertentu dari suatu komponen yang kompleks menjadi lebih
sederhana sehingga lebih mudah dicerna dan disintesa menjadi vitamin. Sehingga dengan
meningkatnya daya cerna, juga akan meningkatkan daya serap tubuh akan pakan tersebut,
sehingga akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan bobot badan dan tentunya
bobot karkas. Dengan naiknya bobot karkas, maka persentase karkas juga akan semakin
meningkat pula. Mugiyono et al., (1991)yang disitasi oleh Silalahi (2001)
Pengaruh konsumsi pakan terhadap pH dari daging dapat terlihat pada saat
postmortem, dimana ternak yang mengkonsumsi pakan yang bereenergi rendah akan
menghasilkam pH yang lebih tinggi dibandingkan ternak yang mengkonsumsi pakan
yang berenergi tinggi. Jika ditelaah berdasarkan pernyataan diatas bahwa dengan
pakan yang diberikan, sehingga akan meningkatkan daya serap tubuh terhadap sari-sari
makanan dan akan meningkatkan cadangan glikogen otot. Jumlah post mortem
berlangsung lebih lambat pada konsumsi pakan dengan konsentrat rendah, sehingga
menghasilkan pH yang tinggi dan lebih cepat apabila pakan yang dikonsumsi
mengandung konsentrat yang tinggi dengan menghasilkan pH yang rendah.(Lawrie,
2003)
Sedangkan pengaruh konsumsi pakan terhadap warna daging yaitu berhubungan
dengan konsentrasi mioglobin didalam otot, yang mana juga dipengaruhi kadar glikogen
didalam otot. Menurut Soeparno (2005) bahwa dengan daging yang mengandung
glikogen lebih tinggi bisanya berwarna putih sedangkan daging yang mengandung
glikogen rendah akan menghasilkan warna daging lebih merah.
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Materi Penelitian
3.1.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Universitas HKBP Nommensen
Fakultas Peternakan di Porlak Simalingkar, Desa Simalingkar A, Kota Medan, dengan
waktu observasi data 7 minggu.
3.1.2. Ternak Penelitian
Ternak yang digunakan adalah ayam buras yang sebelumnya telah dipelihara
hingga 20 minggu di porlak Simalingkar sebagai ternak penelitian yang jumlahnya 100
ekor yang telah diteliti performansnya hingga 12 minggu dan dilanjutkan untuk diteliti
performansnya hingga 20 minggu dan di sembelih pada umur 14 minggu berjumlah 20
ekor, dan 20 ekor lainnya pada umur 20 minggu untuk diteliti kualitas karkasnya.
Ransum yang diberikan pada ternak penelitian yang sesuai penelitian terdahulu
yaitu campuran dari kulit buah kopi fermentasi (KBKF), jagung, dedak, tepung ikan,
pakan komersil dan mineral, yang disusun dengan metode coba-coba. Adapun kandungan
nutrisi bahan pakan yang disusun dapat dilihat pada tabel 3 berikut :
Tabel 3. Kandungan Nutrisi Bahan Makanan Penelitian
Bahan
22,00 2.800 5,00 5,00 1,00 0,90 6.000
KBKF** 12,43 3.748 1,05 11,05 0,34 0,07 1.620
Jagung 9,00 3.168 3,50 2,90 0,01 0,25 3.000
Bungkil Kelapa
22,00 2.500 6,00 12,0
0
0,11 0,60 3.000
Dedak 11,00 2.200 8,00 4,00 0,04 1,40 2.000
Tepung Ikan
61,00 2.400 1,00 1,00 7,00 3,50 5.700
Mineral - - - - 49,00 14,00 10.000
komposisi bahan pakan dengan susunan 100%, seperti pada tabel 3 berikut :
Tabel.4. Susunan dan Kandungan Zat Gizi Ransum Penelitian Untuk Ayam Buras Umur 4-20 minggu
Bahan Pakan Susunan Ransum Penelitian (%)
T0 T1 T2 T3
Pakan Komersil 20,0 20,0 20,0 20,0
KBKF 0,0 5,0 10,0 15,0
Bungkil Kelapa 11,5 12,0 9,5 5,5
Ket : KBKF : Kulit Buah Kopi Fermentasi
3.1.3. Peralatan
Peralatan yang dibutuhkan adalah antara lain : Pisau yang tajam yang kecil dan
yang besar, Cutter, timbangan digital dan timbangan niaga, alat tulis, selotip, pH Meter,
kantong Plastik, termos pendingin dan alat pendukung lainnya.
3.2. Metode Penelitian
3.2.1. Metode Pemeliharaan Ayam Buras
Pada pelaksanaan penelitian ini, ayam buras telah dipelihara sebagi ternak
penelitian yang berjumlah 100 ekor di Kebun Percobaan Fakultas Peternakan Universitas
HKBP Nommensen Porlak Simalingkar, untuk diamati performansnya dengan pemberian
pakan kulit buah kopi yang difermentasi dengan Aspergilus niger pada umur 4-20
minggu.
Ternak akan disembelih untuk mendapatkan karkas utuh beserta
potongan-potongannya. Sebelum disembelih bobot hidup harus ditimbang dan dicatat dalam
Kg/ekor. Dan untuk menguji kualitas karkas, ternak harus disembelih dengan
menggunakan pisau yang tajam untuk mengharapkan exudasi cairan yang sempurna.
3.2.2. Rancangan Percobaan
Rancangan Percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan dimana tiap ulangan memiliki 5 ekor
buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger, dan apabila parameter tersebut
memberikan pengaruh yang nyata akan dilanjutkan pengujian dengan menggunakan uji
jarak Duncansedangkan pengaruh umur terhadap kualitas karkas ayam buras pada umur
14 minggu dan 20 minggu dilakukan dengan pengujian secara uji T, yang tiap perlakuan
dipilih 5 ekor sampel ayam buras secara acak. Perlakuan ini adalah pemberian kulit buah
kopi fermentasi dengan level yaitu :
R0 = Ransum tanpa pemberian kulit buah kopi fermentasi (0%) R1 = Pemberian 5 % kulit buah kopi fermentasi dari total ransum. R2 = Pemberian 10 % kulit buah kopi fermentasi dari total ransum. R3 = Pemberian 15 % kulit buah kopi fermentasi dari total ransum.
Tiap Perlakuan terdiri dari 25 ekor, kemudian untuk dilakukan pengujian karkas
diambil sampel 5 ekor secara undi tanpa memperhatikan berat badan dari ayam buras
tersebut. Dimana, jadwal pemotongan ini dilakukan 2 kali pada umur 14 minggu, dan
pada umur 20 minggu yang keseluruhannya akan berjumlah 40 ekor. Kemudian
disembelih bardasarkan prosedur yang telah ditetapkan, yang dijelaskan dibawah ini.
3.2.3. Pengambilan Sampel Ternak
Dari 100 ekor ternak penelitian ayam buras tersebut, diambil 40 ekor sample
ternak yang akan disembelih dengan 2 kali waktu pemotongan dimana waktu
pemotongan I pada umur 14 minggu berjumlah 20 ekor, dan pemotongan II pada umur 20
minggu berjumlah 20 ekor yang pengambilannya secara acak dan ditentukan secara undi
untuk mempermudah pengambilan data, setelah itu dilakukan penyembelihan untuk
tujuan pengambilan data kualitas karkasnya.
3.2.4. Prosedur Pelaksaan Pemotongan Ternak
Ayam buras yang akan dipotong dipuasakan selam 3 jam untuk memudahkan
pembersihan perut dan exudasi cairan, kemudian ditimbang dan dicatat bobot potongnya
dalam gram/ekor, kemudian dilanjutkan ketahap penyembelihan.
B. Penyembelihan
Ternak disembelih menggunakan pisau yang tajam pada bagian leher tepatnya
pada bagian arteri karotis, vena jungularis dan esofagus, gunanya agar tidak memberikan
efek stress kepada ternak sehingga proses exudasi cairan keluar secara keseluruhan
dengan lancar secara sempurna. Kemudian darah ditampung dan ditimbang.
C. Scalding (Perendaman)
Setelah pengeluaran cairan secara sempurna, maka tahap selanjutnya adalah
merendam ternak ayam buras yang disembelih kedalam air panas yang suhunya ±
50,55-0C – 530C selama 1-2 menit. Hal ini dilakukan untuk mencegah rusaknya kulit akibat
panas yang dapat menurunkan kualitas karkas.
D. Defeathering (Pencabutan Bulu)
Kemudian tahap selanjutnya pencabutan bulu dilakukan secara manual untuk
mencegah kerusakan kulit. Kemudian karkas dicuci.
E. Evisceration ( Pengeluaran jeroan)
Setelah dicuci kemudian dilanjutkan ke proses pengeluaran jeroan yang caranya
adalah sebagai berikut.
1. Dimulai dari pemisahan tembolok dan trakea serta kelenjar minyak dibagian
ekor.
2. Kemudian pembukaan rongga badan dengan membuat irisan dari kloaka
3. Kloaka dan visera atau jeroan dikeluarkan dan ditimbang.
4. Kemudian pemisahan organ-organ yaitu hati dan empedu, empedal dan jantung,
kemudian dipisahkan dan ditimbang
5. Paru-paru, ginjal, testes(pada ayam jantan)atau ovarium pada betina dapat
dipisahkan dari bawah columna vertebralis.
6. Kemudian dilanjutkan pemisahan kepala, kaki, dan leher dan ditimbang.
7. Kemudian karkas ditimbang (catt: paru-paru dan ginjal masuk kedalam karkas).
3.2.5. Parameter yang diukur
a. Konsumsi ransum dihitung dengan menimbang jumlah ransum yang diberikan
dikurangi dengan jumlah ransum yang tersisa.
b. Pertambahan bobot badan diukur dengan penimbangan bobot badan, kemudian bobot
badan akhir yang didapat dikurangi dengan bobot badan awal dibagi dengan lama
pemeliraan.
c. Konversi ransum dihitung dengan membagi pakan yang dikonsumsi/lama
pemeliharaan dengan pertambahan berat badan/lama pemeliharaan.
d. Bobot Potong.
Bobot potong diketahui dengan menimbang ayam buras sebelum dipotong
setelah ayam buras dipuasakan dahulu selama lebih 3 jam. Bobot potong dinyatakan
dalam gram/ekor.
e. Bobot Karkas
Berat Karkas diketahui dengan menimbang karkas ayam buras. Karkas adalah berat
bagian tubuh setelah pemotongan, dengan mengeluarkan kulit, kepala, darah, serta
organ internal. (Soeparno, 2005). ( catt: paru-paru dan ginjal masuk kedalam karkas).
f. Presentase Karkas
ayam buras yang bersangkutan kemudian dikalikan 100% (Soeparno,1994).
g. Bobot Potongan primal karkas ayam buras
Bobot potongan primal karkas dengan menimbang bagian-bagian potongan primal
karkas ayam buras, yaitu(a) kaki(leg), (b)paha ( drumsick), (c)paha gending'
(thigh), (d)Dada dengan rusuk,(e) punggung, dan (f) sayap.
h. Persentase lemak abdominal
Persentase lemak abdominal diperoleh dari perbandingan antara bobot lemak abdominal
dengan bobot potong kemudian dikalikan 100 persen (Abubakar dan Notoamidjojo,
1997 yang disitasi oleh Prayogi 2008).
i. PH Daging
Menurut Soeparno (2005) PH daging tidak dapat diukur segera setelah pemotongan,
biasanya dilakukan dalam waktu 45 menit. Sampel daging bagian dada ditimbang seberat
5 gram dihaluskan dan dicampur dengan 25 ml akuades, kemudian dikocok sampai
homogen. Kemudian kertas lakmus dicelupkan, dan dicocokkan dengan tabel yang ada di
bungkus tersebut.
j. Warna daging
Warna daging diperoleh dengan pengamatan visual, dengan bantuan panelis yang
berjumlah 20 orang dimana akan memberikan penilaian tentang warna daging yang
disembelih. Berdasarkan Skala Hedonic Menurut Fernando, 2007, bahwa warna daging
adalah 1. Merah Pudar 2. Merah muda 3. Merah cerah 4. Merah 5. Merah tua. Kemudian
dari 20 sampel yang disembelih dilakukan pengkodean dengan angka (1,2,3…………
sampai 20) dimana para panelis yang berjumlah 20 orang telah ditentukan tidak
Kemudian para panelis akan melihat secara visual warna daging tersebut dan
diterjemahkan kedalam nilai yang telah ditentukan sebagai berikut :
Tabel 5. Skala Hedonik warna daging ayam penelitian
Warna Nilai dalam
Untuk mengetahui manfaat kulit buah kopi fermentasi terhadap performans ayam buras umur
13-20 minggu selama penelitian, maka dalam menganalisis data dari penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan model matematika yang dikemukakan oleh
Sastrosupadi(1999) yaitu
Yij= µ + Ti+ ϵij
i = 1,2 ...t (perlakuan)
j = 1,2...n (ulangan)
Yij= Nilai Pengamatan pada perlakuan ke i dan ulangan ke j
µ = Nilai tengah umum
Ti = Pengaruh Perlakuan i
ϵij = Pengaruh galat Percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.
Jika hasil analisa menunjukkan perbedaan yang nyata atau sangat nyata akan dilanjutkan
dengan Uji Duncan.
Sedangkan untuk melihat pengaruh umur terhadap kualitas karkas dilakukan dengan
S=
-Sgabungan =
t =
Ket : S = keragaman T= Perlakuan n= jumlah sampel
= Rata-rata dari perlakuan t= t-hitung
STB-TA= keragaman gabungan
Keterangan
S2 = Standar Deviasi Gabungan
t = Uji Bebas yang dihitung
n = Jumlah Sample
S = Standar Deviasi dari Perlakuan = Jumlah rata-rata dari perlakuan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Konsumsi Ransum
Pengaruh Pemanfaatan kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger
terhadap Konsumsi ransum dapat tersaji pada tabel 6
Ulangan Perlakuan
T0 T1 T2 T3 Total Rataan
1 104,20 106,25 105,45 103,57 419,47 104,87
2 103,39 106,25 105,89 104,64 420,17 105,04
3 103,57 106,25 106,07 105,54 421,43 105,36
4 102,86 105,98 106,52 105,54 420,90 105,23
5 102,50 107,68 106,34 104,02 420,54 105,14
Total 516,52 532,41 530,27 523,31
Rataan 103,30C 106,48A 106,05A 104,66B 105,13
Keterangan : notasi yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Dari tabel 6 dapat dilihat bahwa rata-rata konsumsi ransum selama penelitian
adalah sebesar 105,13 gr/ek/hr. Dengan kisaran 102,50 hingga 107,68. Sedangkan rataan
konsumsi ransum Terendah ayam buras terdapat pada perlakuan tanpa pemberian kulit
buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger yaitu 102,86 gram/ekor/hari dan tertinggi
pada pemberian taraf T1(5%) sebesar 106,48 gram/ekor/hari. Hal ini lebih tinggi dari
yang dikemukakan Murtidjo, (2005) bahwa rataan konsumsi pakan ayam buras 13-20
minggu adalah 64-67 gr/ekor/hari, namun apabila dibandingkan dengan pendapat
Supridjatna et al.,(2005) bahwa konsumsi ayam buras pada 13–20 minggu pada kisaran
95-120 gr/ek/hari, yang mengindikasikan bahwa konsumsi pakan ayam buras penelitian
mendekati kisaran tersebut.
Hasil uji statistik terlihat bahwa pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan
Aspergilus niger memberikan pengaruh yang sangat nyata (P>0,01) terhadap konsumsi
ransum. Dimana hasil uji beda rataan berdasarkan Uji Jarak Duncan menunjukkan bahwa
perlakuan pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger pada T1 (5%)
tidak berbeda nyata dengan perlakuan pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan
Aspergilus niger pada T2 (10%), hal ini disebabkan karena rataan antara kedua perlakuan
tidak memiliki perbedaan yang jauh. Dimana terlihat kedua perlakuan ini lebih tinggi dari
dan aroma bahan pakan sehingga penampilan fisik dari pakan tersebut menjadi lebih
menarik, sehingga dapat meningkatkan jumlah konsumsi. Soeharsono et al .,(2010);
Buckle et al.,(1985). Namun kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dengan perlakuan
tanpa pemberian kulit buah kopi fermentasi T0(0%) dan pemberian kulit buah kopi
fermentasi pada taraf T3(15%). Hal ini disebabkan semakin tinggi pemberian kulit buah
kopi fermentasi dengan Aspergilus niger akan menyebabkan konsumsi ransum yang
semakin berkurang, namun jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian kulit
buah kopi fermentasi, konsumsi ayam buras penelitian dengan pemberian kulit buah kopi
fermentasi dengan Aspergilus niger masih lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Wahyu(2005) yang menyatakan bahwa ransum yang mengandung serat kasar yang
tinggi tidak mendapat mencapai volume yang lebih besar dari pada penampunganoleh
tembolok sehingga usaha untuk meningkatkan konsumsi ransum sesuai dengan
kebutuhan semakin terbatas.
Namun demikian pemberian kulit buah kopi masih dapat mengefesienkan bahan
pakan, karena terlihat bahwa perlakuan pemberian pakan tanpa kulit buah kopi fermentasi
dengan Aspergilus niger masih lebih rendah dibandingkan Perlakuan pemberian pakan
kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger. Selain itu Perbedaan tingkat
konsumsi ransum ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain strain ayam,
keadaan lingkungan, kualitas pakan, palatabilitas pakan, aktifitas ternak dan tingkat
energi (Muslim,1990; Anggorodi, 1985).
4.2. Pertambahan Berat Badan
Pengaruh Pemanfaatan kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger
Tabel 7. Rataan Pertambahan bobot badan ayam buras selama Penelitian
Ulangan Perlakuan
T0 T1 T2 T3 Total Rataan
1 13,04 13,21 11,16 10,63 48,04 12,01
2 13,48 13,57 12,50 11,88 51,43 12,86
3 14,11 12,77 12,95 12,32 52,15 13,04
4 13,21 11,96 11,70 10,36 47,23 11,81
5 13,66 13,84 13,93 10,71 52,14 13,04
Total 67,50 65,35 62,24 55,90
Rataan 13,50A 13,07A 12,45A 11,18B 12,55
Keterangan : notasi yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Dari tabel 7 dapat dilihat bahwa rata-rata Pertambahan berat badan selama
penelitian adalah sebesar 12,55 gr/ek/hr. Dengan kisaran 10,36 hingga 114,11. Sedangkan
rataan Pertambahan berat badan Terendah ayam buras terdapat pada perlakuan dengan
pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger taraf 15% yaitu 11,18
gr/ek/hr dan tertinggi pada pemberian tanpa kulit buah kopi fermentasi dengan
Aspergilus niger T0(0%)sebesar 106,48 gr/ekr/hr. Rataan hasil penelitian ini lebih tinggi
dibandingkan rataan pertambahan bobot badan yang dilaporkan Murtidjo (2005) yaitu
54,6 gr/ek/hr. Namun masih hasil penelitian ini masih lebih rendah dibandingkan
penelitian US dan Sulistiyoningsih (2012) yang menyatakan bahwa rataan pertambahan
berat badan ayam buras pada umur 8 minggu adalah 123 gr-243 gr.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pemberian kulit buah kopi fermentasi
terhadap pertambahan berat badan selama penelitian memberikan pengaruh yang nyata
(P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan. Dimana berdasarkan hasil Uji Jarak Duncan
bahwa perlakuan pemberian ransum tanpa kulit buah kopi fermentasi T0(0%) tidak
berbeda nyata dengan perlakuan pemberian ransum kulit buah kopi fermentasi dengan
Aspergilus niger dengan taraf T1(5%), T2(10%) namun memberikan pengaruh yang
T3(15%). Hal ini diakibatkan bahwa semakin tinggi taraf pemberian kulit buah kopi
fermentasi dengan Aspergilus niger akan menurunkan pertambahan berat badan, dimana
pada pemberian ransum kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger taraf 15%
(T3), lebih rendah yaitu 11,18 gr/ek/hr.
Bila dilihat pada pemberian ransum kopi fermentasi pada ayam buras menunjukkan
bahwa laju pertumbuhan berat badan ayam buras masih dibawah pemberian pakan tanpa
kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger dan bila dilihat dari pakan yang
dikonsumsi dengan pertambahan berat badan ternak penelitian menunjukkan bahwa
semakin tinggi level pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger maka
pertambahan berat badan ternak semakin menurun hal ini kemungkinan akibat efek
kumulatif dari anti zat nutrisi, seperti tanin dan kafein yang dapat menyebabkan
gangguan fungsional saluran pencernaan dan dapat meningkatkan aktivitas otot (Birk
1969 yang disitasi Krisnan (2005). Namun demikian, jika dicermati bahwa pemberian
kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger pada taraf T2(10%) masih memiliki
rata-rata yang tidak jauh berbeda dengan T0(0%) sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
ransum alternatif.
4.1.3. Konversi Ransum
Pengaruh Pemanfaatan kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger
terhadap konversi ransum dapat tersaji pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan konversi ransum ayam buras selama Penelitian
Ulangan Perlakuan total Rataan
T0 T1 T2 T3
1 7,95 8,04 9,45 9,73 35,17 8,79
2 7,64 7,83 8,47 8,80 32,74 8,19
3 7,30 8,32 8,19 8,54 32,35 8,09
5 7,46 7,78 7,63 9,71 32,58 8,15
Total 38,13 40,83 42,85 46,95 168,76
Rataan 7,63A 8,17B 8,57BC 9,39C 8,44
Keterangan : notasi yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa rata-rata konversi ransum selama penelitian adalah
sebesar 8,44. Dengan kisaran 7,30 hingga 10,17. Rataan konversi ransum dari penelitian
ini lebih tinggi dibandingkan rataan konversi ransum yang dilaporkan Suprijatna (2005)
yaitu 6,56 dan menurut silitonga (2002) yang disitasi oleh Anonimous (1991) yaitu 5,25.
Sedangkan rataan konversi ransum Terendah ayam buras terdapat pada perlakuan dengan
tanpa pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger taraf 0%yaitu 7,63
dan tertinggi pada pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger pada
tarafT3(15%) sebesar 9,39, yang mengindikasikan bahwa Konversi ransum akan terlihat
semakin tinggi, seiring bertambahnya taraf pemberian ransum kulit buah kopi fermentasi
dengan Aspergilus niger. Dari hasi tersebut, Kisaran yang diamati lebih tinggi dari yang
dikemukakan wahyu (2005) bahwa kisaran konversi ransum umur 13 minggu hingga 20
minggu yaitu 3,00 - 5,01 dengan ransum yang mengandung energi 3000 kkal/kg.
Sedangkan Suprijatna (2005) mengatakan bahwa konversi ransum ayam buras adalah
6,56 dengan energi metabolis 2300 kkal/kg.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pemberian kulit buah kopi fermentasi
memberikan pengaruh yang nyata (P>0,01) terhadap konversi ransum selama penelitian.
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh tiap-tiap perlakuan dilakukan Uji Jarak
Duncan dimana hasilnya menunjukkan bahwa perlakuan pemberian ransum kulit buah
kopi fermentasi dengan Aspergilus niger taraf T1(5%) tidak berbeda nyata dengan
perlakuan pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger dengan taraf
dengan Aspergilus niger T0(0%) dan T3(15%). Sedangkan perlakuan pemberian kulit
buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger pada taraf T2(10%) tidak berbeda nyata
dengn pemberian ransum pada taraf T3 (15%) namun berbeda nyata dengan perlakuan
tanpa pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger dan perlakuan
pemberian kulit buah kopi fermentasi pada taraf T1(5%). Hal ini diakibatkan oleh
perbandingan konsumsi ransum dengan pertambahan berat badan dari ternak penelitian
semakin meningkat seiring bertambahnya taraf pemberian ransum kulit buah kopi
fermentasi dengan Aspergilus niger,dimana Semakin baik mutu ransum, semakin kecil
pula konversi pakannya. Baik tidaknya mutu ransum ditentukan oleh keseimbangan zat
gizi pada ransum itu dengan yang diperlukan. Hal ini didukung oleh pendapat Anggorodi
(1985) yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya konversi ransum sangat ditentukan oleh
keseimbangan antara energi metabolisme dengan zat-zat nutrisi terutama protein dan
asam-asam amino. Selain itu faktor lain yang mempengaruhi konversi ransum adalah
kesehatan ternak, ukuran ayam, suhu lingkungan (Sarwono,1996); (Sitorus 2008)
4.4.Kualitas Karkas
Kadar laju pertumbuhan, nutrisi, umur, dan berat tubuh adalah faktor-faktor yang
mempunyai hubungan erat antara satu dengan yang lain, dan biasanya dapat secara
individu atau kombinasi mempengaruhi komposisi tubuh atau karkas. Dengan
bertambahnya umur pada ternak terjadi peningkatan pertumbuhan organ-organ dan
terutama depot lemak serta persentase komponen lainnya seperti otot dan tulang dimana
komponen – komponen tersebut merupakan yang menentukan baik-buruknya kualitas
Tabel 9 menyajikan parameter yang diamati selama penelitiaan untuk
memperlihatkan sifat kualitatif dan kuantitatif karkas pada umur 14 dan 20 minggu
dimana menurut Murtidjo (2005) bahwa pada umur 14 minggu dan umur 20 minggu
memiliki perbedaan yang mencolok pada beberapa komponen karkas.
Tabel 9. Pengaruh kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger terhadap Berat
hidup, berat karkas, persentase karkas, berat potongan primal karkas, persentase lemak abdominal, pH daging, dan warna daging.
Parameter yang diamati Umur 14 Minggu Umur 20 Minggu
Berat Hidup(g) 980,20 ±126,80 a 1452,50 ± 195,87 a
Berat Karkas(g) 557,31±223,58 a 833,65±130,48 a
Warna daging 1,65±0,56 a 1,59±0,43 a
Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,01),
*Khusus warna daging :1)Merah Pudar , 2) Merah Muda, 3) Merah Cerah, 4) Merah, 5) Merah Tua
4.4.1. Berat hidup
Rataan berat hidup pada umur 14 minggu adalah sebesar 980,20 ±126,80. Rataan
hasil penelitian ini hampir mendekati laporan Kusmayadi (2004) yang mengemukakan
bahwa rataan berat hidup ayam pada saat umur 14 minggu adalah 1.221,67±41,93 gram,
sedangkan rataan berat hidup ayam buras penelitian ini cukup rendah dari rataan berat
ayam broiler pada umur 8 minggu dengan pakan yang berasal dari kulit buah markisa
fermentasi dengan Aspergilus niger oleh Sembiring (2005) yaitu 1793 gram. Hal ini
diduga akibat perbedaan genetic dan dengan perlakuan yang berbeda biarpun sebenarnya
dilihat bahwa rata-rata berat hidup pada umur 20 minggu adalah sebesar 1452±195,87.
Rataan hasil penelitian ini lebih tinggi dari laporan Murtidjo (2005) yang mengemukakan
bahwa rataan berat ayam pada saat umur 20 minggu adalah 1.270 gram, sedangkan rataan
berat hidup ayam buras penelitian ini hampir mendekati dari rataan berat ayam buras
pada umur 20 minggu yang dikemukakan oleh Astuti, et al.,(1978) yang disitasi oleh
Erwanto (1997) yaitu 1495 gr.
Berdasarkan hasil uji T tidak ada perbedaan berat hidup antara umur 14 minggu
dengan umur 20 minggu, hal ini dipengaruhi oleh perbedaan rataan berat hidup antara
umur 14 minggu dan 20 minggu yang kecil yaitu 472 gr/ekor atau 0,472 kg/ekor, hal ini
sesuai dengan pendapat Murtidjo (2005) bahwa pada umur 14 minggu dan umur 20
minggu laju pertumbuhan ayam buras sudah rendah yang rataan berat hidup antara kedua
umur tersebut hanya 200 g/ekor atau 0,2 kg/ekor.
4.4.2. Berat Karkas
Rataan berat karkas pada umur 14 minggu adalah sebesar 557,31±223,58 gr.
Rataan hasil penelitian ini lebih rendah dari laporan kusmayadi (2004) yang
mengemukakan bahwa rataan berat karkas ayam pada saat umur 14 minggu adalah
908,49±33,12 gr/ekor, dan juga lebih tinggi dari yang dikemukakan Hapsari (2004)
dimana rataan berat karkas ayam umur 14 minggu adalah 722,95 gr. Sedangkan rata-rata
berat karkas pada umur 20 minggu adalah sebesar 833,65 gr. Rataan hasil penelitian ini
lebih rendah dari laporan Iskandar (2009) yang mengemukakan bahwa rataan berat
karkas ayam pada saat umur 20 minggu adalah 1366 gr/ekor, dan juga lebih tinggi dari
yang dikemukakan Murtidjo (2005) dimana rataan berat karkas ayam umur 20 minggu
Berdasarkan hasil uji T rerata berat karkas pada umur 14 minggu tidak berbeda
nyata (P<0,05) dengan Berat karkas umur 20 minggu, hal ini dipengaruhi perbedaan berat
karkas yang kecil antara umur 14 minggu dan 20 minggu. Selain itu tidak terjadi
perbedaan yang nyata antara kedua umur akibat berat hidup yang juga memberikan
pengaruh yang tidak nyata antara kedua umur tersebut, dimana hal ini sesuai dengan
menurut Soeparno (2005) bahwa berat karkas juga dipengaruhi oleh berat hidup. Selain
itu berat karkas pada umur 20 minggu rataan berat karkasnya tidak jauh berbeda dengan
umur 14 minggu, hal ini sesuai dengan pendapat McMeekan, 1940 yang disitasi Soeparno
(2005) bahwa perkembangan otot terhambat karena terbatasnya ukuran serabut otot pada
umur yang berbeda. Keterbatasan ini tetap tidak dapat dilampaui karena pada umur
tertentu pertumbuhan akan terhenti, meskipun ternak yang dipelihara mengkonsumsi
pakan yang berkualitas tinggi.
4.4.3. Persentase Karkas
Rataan persentase karkas pada umur 14 minggu adalah sebesar 57,21±2,52 %.
Hasil penelitian ini terlihat lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian
Kusumayadi (2004) yang menyatakan bahwa persentase karkas 14 minggu adalah
64,28±0,79%, perbedaan ini terjadi diyakini akibat perbedaan genetis dari ayam buras
penelitian serta taraf pemberian kopi sebesar 0,4 % dengan energi metabolis ransum
sebesar 2600 kkal/kg. Sedangkan persentase karkas pada umur 20 minggu adalah
sebesar 57,38±3,63 %. Hal ini lebih rendah dari yang dikemukakan oleh Iskandar et al.,
(1997): Triyantini et al,.(1997) dimana bahwa persentase karkas ayam buras adalah 62,89
Berdasarkan hasil uji T rerata persentase karkas pada umur 14 minggu tidak
berbeda nyata (P<0,05) dengan persentase karkas umur 20 minggu, hal ini dipengaruhi
perbedaan perbandingan berat karkas dengan berat hidup yang kecil antara umur 14
minggu dan 20 minggu. Hal ini sesuai dengan pendapat Sembiring (2005) yang
menyatakan bahwa berat hidup dan berat karkas merupakan 2 hal yang menentukan
persentase karkas dimana semakin tinggi berat hidup dan berat karkas, maka persentase
karkas semakin tinggi pula. Faktor lain yang menyebabkan hal tersebut yaitu tidak
adanya perbedaan yang nyata antara kedua umur terhadap berat hidup dan berat karkas
yang juga memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap persentase karkas. Hal ini
juga didukung oleh penelitian yang diadakan Kusmayadi (2004) dan Abubakar (2004)
bahwa persentase karkas pada umur 14 minggu dan 20 minggu tak jauh berbeda yaitu
±64%.
4.4.4. Berat Potongan Primal Karkas
A. Leg
Rataan berat leg pada umur 14 minggu adalah190,65±33,88. Hal ini lebih rendah
dari yang dikemukakan oleh Kusmayadi(2004) bahwa rataan berat leg ayam buras berada
pada kisaran 301,2 - 367,2 gr/ekor, namun kisaran ayam buras penelitian ini, hampir
mendekati berat leg yang dikemukakan oleh Nikolova (2009) yaitu 412, 86 gr. Kemudian
rata-rata berat leg pada umur 20 minggu adalah 257,90±45,88. Hal ini lebih tinggi dari
yang dikemukakan oleh Mansyoer(1985) yang disitasi Septriani (2004) bahwa rataan
berat leg ayam buras yaitu 268,79 gr/ekor, namun kisaran ayam buras penelitian ini,
hampir mendekati berat leg yang dikemukakan oleh Iskandar (2003) yang disitasi oleh
Berdasarkan hasil uji T rerata Berat leg pada umur 14 minggu tidak berbeda
nyata (P<0,05) dengan Berat leg umur 20 minggu, hal ini dipengaruhi perbedaan berat
karkas yang kecil antara umur 14 minggu dan 20 minggu. Selain itu Hal ini juga dapat
dipengaruhi oleh respon genetis dan nutrisi yang berhubungan dengan umur tidak sejalan
karena biarpun genetis unggul apabila kandungan nutrisi tidak terserap sepenuhnya oleh
tubuh akan memberikan efek yang dapat menurunkan berat leg seiring bertambahnya
umur. Hal ini sesuai dengan pendapat Berg dan Butterfield (1976) Yang disitasi
Soeparno (2005) bahwa bukan hanya nutrisi dan umur mempengaruhi pertumbuhan
tubuh namun juga genetis dan lingkungan.
B. Drumstick
Rataan berat Drumstick pada umur 14 minggu adalah 97,60±16,86. Hal ini lebih
rendah dari yang dikemukakan oleh Septriani (2004) bahwa rataan berat Drumstick ayam
buras yaitu 224 gr/ekor, dan ayam buras penelitian ini, lebih rendah dari berat Drumstick
yang dikemukakan oleh Nikolova (2009) yaitu 211,59 gr. Sedangkan rata-rata berat
Drumstick pada umur 20 minggu adalah 133,45±33,74. Namun berat Drumstick ini
hampir mendekati berat Drumstick yang dikemukakan Hapsari yaitu 132,44.
Berdasarkan hasil uji T rerata Berat Drumstick pada umur 14 minggu berbeda
nyata (P<0,01) dengan Berat Drumstick umur 20 minggu, hal ini disebabkan karena
perkembangan tiap-tiap komponen utama karkas tiap individu berbeda-beda hal ini sesuai
dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa tiap-tiap individu ternak memiliki variasi pola
pertumbuhan komponen utama karkasnya, dan komponen utama karkas sangat
dilakukan dapat memaksimalkan sifat-sifat genetis yang dimiliki dan akan berkembang
sesuai umur.
C. Paha Gending (Thigh)
Rataan berat paha gending pada umur 14 minggu adalah 93,15±16,23. Hal ini
lebih rendah dari yang dikemukakan oleh Hapsari (2004) bahwa rataan berat paha
gending umur 14 minggu ayam buras yaitu 130,93 gr/ekor, dan ayam buras penelitian
ini, juga lebih tinggi dari berat paha gendingyang dikemukakan oleh Kusumayadi (2004)
yaitu 161,213 gr/ekor. Sedangkan rata-rata berat paha gending pada umur 20 minggu
adalah 136,20±23,68 gr/ekor. Namun berat paha gending ini lebih tinggi berat paha
gending yang dikemukakan Abubakar (2004) yaitu 184,51.
Berdasarkan hasil uji T rerata Berat Dada pada umur 14 minggu berbeda nyata
(P<0,01) dengan Berat Dada umur 20 minggu, hal ini disebabkan karena perkembangan
tiap-tiap komponen utama karkas tiap individu berbeda-beda hal ini sesuai dengan
pendapat Lawrie (2003) bahwa perbandingan komposisi urat daging tiap-tiap individu
akan bervariasi sesuai dengan meningkaaya umur, sehingga biarpun Berat leg tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata namun berat Dada menunjukkan perbedaan yang
nyata antara umur 14 minggu dan 20 minggu.
D. Berat Dada
Rataan berat Dada pada umur 14 minggu adalah 144,25±18,47. Hal ini lebih
rendah dari yang dikemukakan oleh Hapsari (2004) bahwa rataan berat Dada umur 14
minggu ayam buras yaitu 169,82 gr/ekor, dan ayam buras penelitian ini, juga lebih tinggi
dari berat Dadayang dikemukakan oleh Nikolova(2009) yaitu 430,71 gr/ekor. Sedangkan