• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Kerja Berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain T1 312008001 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Kerja Berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain T1 312008001 BAB I"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Alasan Pemilihan Judul

Adapun alasan mengapa Penulis memiliki judul; “Hubungan Kerja

berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan

Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain”, perlu untuk dikemukakan oleh

Penulis sebagai berikut di bawah ini.

Pertama, Hubungan Kerja adalah suatu hubungan antara Pengusaha dengan Pekerja yang timbul dari Perjanjian Kerja yang diadakan untuk waktu tertentu maupun waktu yang tidak tertentu.1 Dengan demikian dalam Hubungan Kerja ada perjanjian atau suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.2 Sedangkan Perjanjian Kerja pada hakikatnya adalah suatu kontrak, yaitu perjanjian antara Pekerja yang menerima syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.3

1 Sendjun H. Manulang, S.H., Pokok Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia (Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 2011), hlm. 63. Hakikat (the nature) Hubungan Kerja dalam definisi Manulang tersebut berbeda dengan pengertian Hubungan Kerja dalam UU Ketenagakerjaan (UU No. 13 tahun 2003), Pasal 1 Angka (15). Hubungan Kerja adalah hubungan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh berdasarkan Perjanjian Kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

2 Djumadi, S.H., Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),

hlm.9.

3

(2)

Dalam ketentuan pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, hakikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dapat diketahui melalui pengertian atau definisi bahwa PKWT adalah perjanjian kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk Pekerja tertentu.4

Perjanjian Kerja berdasarkan jangka waktu tertentu yang dapat diadakan untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun.5 Meskipun pada prinsipnya PKWT itu adalah suatu Hubungan Kerja atau perhubungan hukum antara Pekerja dengan Pemberi Kerja atau suatu kontrak, mengingat antara lain telah diakui secara jelas dalam Undang – Undang Pasal 56 Ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

“Perjanjian Kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu”,

namun masih ada saja banyak pihak di dalam masyarakat yang memersoalkan eksistensi perhubungan hukum PKWT tersebut.6

Dalam Perjanjian Kerja yang pada hakikatnya adalah suatu kontrak (a contract) tersebut, setidak-tidaknya berunsur, baik Pekerja maupun Pemberi Kerja,

4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No.: KEP 100/MEN/VI/2004

tanggal 21 Juni 2004 Pasal 1 Angka (1).

5 F.X. Djumialdji S.H., M.Hum, Perjanjian Kerja (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005), hlm. 23.

Sedangkan menurut KEPMENAKER No. KEP 100/MEN/VI/2004, Pasal 8 Ayat (1) j.o. Ayat (2), PKWT dengan Pekerja/Buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun, serta tidak dapat dilakukan pembaharuan.

6 Lihat uraian mengenai pihak-pihak dalam masyarakat yang memersoalkan eksistensi PKWT,

(3)

masing–masing mempunyai hak dan kewajiban.7 Kewajiban Pekerja pada umumnya tersimpul dalam hak Pemberi Kerja. Seperti juga hak Pekerja tersimpul dalam kewajiban Pemberi Kerja. Dus, ada perikatan bagi Pekerja dan perikatan bagi Pemberi Kerja. Misalnya, Pekerja mempunyai kewajiban untuk melaksanakan pekerjaan, maka Pemberi Kerja mempunyai hak atas pelaksanaan pekerjaan dan memerintah si Pekerja tersebut.8 Dalam kaitan dengan itu, peraturan Pemberi Kerja atau peraturan–peraturan perburuhan ada yang dibuat secara sepihak oleh Pemberi Kerja. Akibatnya, Pemberi Kerja pada dasarnya dapat memasukkan apa saja yang Pemberi Kerja inginkan. Pemberi Kerja dapat mencantumkan kewajiban Pekerja semaksimal–maksimalnya dengan hak yang seminimal–minimalnya, sepanjang hal itu tidak dipaksakan kepada Pekerja.9

Penulis tertarik untuk menggambarkan pemikiran pihak-pihak yang memertanyakan institusi hukum PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, sekaligus membuat gambaran dari perpektif ilmu hukum atau postur prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum yang mengatur PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Terutama, dalam pandangan Penulis, apa yang disebut sebagai Hubungan Kerja Berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu

7

Lihat Catatan Kaki Penulis dalam Catatan Kaki no. 1, supra.

8 Abdul Rachmad Budiono, S.H., M.H., Hukum Perburuhan di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1995), hlm. 47.

(4)

Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain adalah suatu perjanjian atau suatu kontrak yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang berbeda dengan Perjanjian yang hanya Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) saja dan Perjanjian yang hanya Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain saja.10

Kedua, bekerja kepada orang lain dalam hal ini maksudnya adalah bekerja dengan bergantung pada orang lain, si pemberi perintah dan menerima upah. Karena itu Pekerja harus tunduk dan patuh pada orang lain Pemberi Kerja yang memberikan perintah tersebut.11 Pola hubungan hukumnya bersifat di bawah perintah dan memerintah (sub ordinasi). Pekerja menerima perintah dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya Pemberi Kerja yang memberi perintah atau menyuruh melakukan sesuatu. Apakah ada kemungkinan suatu badan hukum yang menerima pekerjaan dari perusahaan pemberi kerja berstatus atau berkedudukan sebagai Pekerja atau orang yang menerima perintah? Pertanyaan ini belum pernah dipikirkan oleh para pengamat

10

Inilah yang membedakan antara Skripsi ini dengan skripsi-skripsi yang pernah ditulis. Dalam skripsi-skripsi terdahulu, para penulis skripsi-skripsi terdahulu itu hanya membicarakan, setelah meneliti Hubungan Hukum yang bernama Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) saja. Atau mereka hanya membahas atau menggambarkan outsourcing yang mereka samakan dengan Hubungan Kerja Berdasarkan Perjanjian Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain saja. Sedangkan dalam skripsi ini, Penulis berpendapat (suatu thesis sentence) bahwa Hubungan Kerja Berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain adalah suatu pola hubungan hukum yang berdiri sendiri, dan yang Penulis sebutkan dalam uraian hasil penelitian sebagai suatu pola hubungan hukum sui generis atau hybrid. Inilah orisinalitas dari Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Penulis.

11 H. Zainal Asikin, S.H., SU., AsasAsas Hukum Perburuhan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

(5)

dalam bidang kontrak ketenagakerjaan. Hal ini merupakan ide atau gagasan asli Penulis yang tergambar dalam suatu pertanyaan.

Tujuan pengaturan hukum ketenagakerjaan seperti antara lain dipaparkan di atas itu sendiri adalah untuk kepentingan Pekerja itu sendiri. Pekerja akan lebih mengenal dan memahami kharateristik atau sifat-sifat hak–hak dan kewajiban– kewajiban sebagai Pekerja. Bila hak-hak para Pekerja dipenuhi oleh pihak Pemberi Kerja, maka Pekerja itu dapat menyampaikan dan menanyakan secara langsung kepada Pemberi Kerja mengenai hak-haknya yang belum diterima atau belum dipenuhi, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atau, dapat menempuh upaya hukum yang sesuai dalam jalurnya yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan yurisdiksi pengadilan.

Selain itu, tujuan pengaturan ketenagakerjaan juga untuk kepentingan masyarakat/warga yang ingin menjadi Pekerja, adalah suatu pemberian informasi-informasi mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban mengenai jaminan dan perlindungan hukum dari Pemerintah/Negara yang harus dilaksanakan sebagaimana dituntut oleh hukum (the dictate of the law).

(6)

telah ditetapkan di dalam ketentuan undang–undang, bahkan Pemerintah tidak selalu memihak kepada Pemberi Kerja yang bertentangan dengan ketentuan hukum.12

Semua hal yang telah dikemukakan di atas adalah antara lain, bentuk kepastian hukum dan keadilan, bagi kehidupan para Pekerja yang merupakan hasil dikte hukum. Mereka (Pekerja) akan dapat memenuhi secara layak standar hidup sesuai dengan ketentuan hukum. Kehidupan antara para Pekerja dengan Pemberi Kerja menjadi harmonis serta adanya rasa memiliki perusahaan. Perusahaan akan lebih pesat perkembangannya dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan.13

Namun demikian, masih ada saja banyak pihak di dalam masyarakat yang memersoalkan eksistensi perhubungan hukum PKWT tersebut di atas.14 Sehingga seperti telah dikemukakan di atas, Penulis tertarik untuk menggambarkan pemikiran pihak–pihak itu memertanyakan institusi hukum yang berlaku tersebut. Sekaligus, membuat gambaran dari perpektif ilmu hukum atau postur prinsip–prinsip dan kaedah–kaedah hukum yang mengatur PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain yang menjadi soal atau polemik dalam masyarakat tersebut dan yang jauh lebih menarik, menurut pendapat Penulis, seperti telah dikemukakan di depan, merupakan suatu jenis perhubungan hukum tersendiri yang berbeda dari

12 Dr. H.R. Abdussalam, SIK., M.H., Hukum Ketenagakerjaan (Jakarta: Restu Agung, 2009) hlm. 7.

13 Ibid.

14 Memang apabila diamati dengan saksama, persoalan yang ada sebatas pada persoalan perjanjian

(7)

PKWT saja atau perjanjian penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain saja yang sudah cukup banyak dibahas oleh para penulis-penulis skripsi terdahulu.

Ketiga, Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain adalah penyerahan sebagian pekerjaan dari Perusahaan Pemberi Pekerjaan kepada Perusahaan Penerima Pemborongan Pekerjaan atau Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis. Biasanya Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain bertujuan antara lain untuk memperkecil biaya produksi atau untuk memusatkan perhatian kepada hal utama dari perusahaan tersebut. Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain merupakan institusi yang sah menurut hukum dan diakui dalam undang-undang Ketenagakerjaan di Indonesia.

Pengaturan mengenai Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain juga telah diakui dengan jelas dalam Undang–Undang No. 13 tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan. Dinyatakan pada Pasal 64, bahwa “perusahaan dapat

menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa Pekerja yang dibuat secara

tertulis”.

Meskipun demikian mekanisme Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain juga, selain PKWT sebagaimana telah dipaparkan di atas, masih juga dipertanyakan oleh sejumlah kelompok masyarakat.

Keempat, dalam kaitan atau seiring sejalan dengan kegiatan/aktifitas

(8)

Perusahaan Lain, dalam hukum, ada asas yang sangat fundamental menuntun kehidupan ketatanegaraan, bahwa Undang–Undang tidak boleh diganggu gugat. Namun masih ada saja banyak pihak di dalam masyarakat yang memersoalkan eksistensi perhubungan hukum PKWT tersebut.

Penulis tertarik untuk menggambarkan pemikiran pihak–pihak itu memertanyakan institusi hukum yang berlaku tersebut, sekaligus membuat gambaran dari perpektif ilmu hukum atau postur prinsip–prinsip dan kaedah–kaedah hukum yang mengatur PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain yang menjadi soal atau polemik dalam masyarakat tersebut, dan yang menurut Penulis merupakan suatu kontrak sui generis (hybrid).

1.2.Latar Belakang Masalah

Hukum meningkatkan kebahagiaan masyarakat secara keseluruhan dengan cara antara lain melarang perbuatan–perbuatan yang mendatangkan sengsara.15 Sebagaimana halnya dengan sumber hukum pada umumnya, pengaturan mengenai ketenagakerjaan mempunyai sumber yang tidak jauh berbeda. Khusus dalam membicarakan masalah sumber hukum perburuhan16 ini, perlu digarisbawahi adanya

15 Sama dengan Catatan untuk Catatan Kaki no. 14, supra. Hukum adalah sumber kebahagiaan, lihat

Buku Jeferson Kameo SH., LLM., Ph.D. Kontrak sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

16 Istilah hukum perburuhan sebetulnya sudah ketinggalan zaman (jadul) atau lapuk ditelan jaman. Saat

(9)

sumber hukum perburuhan yang datangnya dari subyek dalam perhubungan hukum perburuhan itu (the parties to contract), yakni pihak Pekerja dan Serikat Pekerja serta badan yang bersangkutan dengan masalah perburuhan itu sendiri khususnya dalam proses penyelesaian perselisihan perburuhan.

Dalam industrialisasi dan pembangunan ekonomi sebagai satu strategi dari bangsa Indonesia yang didikte oleh hukum (the dictate of the law) untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, manusia–manusia warga negara mempunyai tenaganya dan keahlian atau keterampilan untuk upah bagi kesejahteraan diri sendiri atau masyarakat. Golongan manusia warga negara yang demikian itu disebut dengan Pekerja. Dalam hal ini, Negara mau tidak mau harus terlibat dan bertanggung jawab terhadap soal perburuhan/ketenagakerjaan demi menjamin agar Pekerja dapat terlindungi hak-haknya dalam bingkai hukum.

Meskipun Penulis berpendapat bahwa hukum adalah sumber kebahagiaan (the law as a source of happines), dalam hubungan perburuhan/ketenagakerjaan antara Pekerja dan Pemberi Kerja, masih ada saja pihak yang berpendapat bahwa Pekerja seringkali dianggap berada pada posisi yang lemah. Karenanya sistem hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang mengatur hubungan hukum ketenagakerjaan di Negara ini adalah sistem hukum perburuhan/ketenagakerjaan yang melindungi (protektif) terhadap Pekerja, sekaligus tidak meninggalkan Pemberi Kerja.

(10)

Dalam hubungan antara Pekerja dan Pemberi Kerja, secara yuridis Pekerja haruslah bebas. Prinsip hukum yang mengatur setiap hubungan hukum, tidak seorang pun boleh diperbudak.17 Semua bentuk dan jenis perbudakan, peruluran dan perhambaan tidak mendapat tempat dalam suatu hubungan yang didasarkan atas prinsip kemerdekaan atau kebebasan berkontrak. Hanya saja, masih ada anggapan bahwa Pekerja itu tidak bebas. Pihak yang mengemukakan pandangan yang mencerminkan anggapan seperti itu mengatakan bahwa Pekerja adalah orang yang tidak mempunyai bekal hidup yang lain selain tenaganya dan terkadang terpaksa18 menerima hubungan kerja dengan Pemberi Kerja meskipun memberatkan untuk Pekerja itu sendiri.

Anggapan yang sudah umum atau sering muncul itu juga mengatakan bahwa penekanan terhadap efisien secara berlebihan untuk semata–mata meningkatkan investasi guna mendukung pembangunan ekonomi melalui kebijakan upah murah berakibat pada hilangnya keamanan kerja (job security) bagi Pekerja Indonesia. Ancaman kehilangan pekerjaan itu, kata pihak–pihak itu, berangkat dari asumsi bahwa sebagian besar Buruh/Pekerja tidak akan lagi menjadi Pekerja tetap, tetapi menjadi Pekerja kontrak yang akan berlangsung seumur hidupnya. Hal inilah yang oleh sebagian kalangan dimaksud, disebut sebagai satu bentuk perbudakan zaman

17

Dalam hukum yang Penulis sebut sebagai sumber kebahagiaan itu, misalnya, ada asas bahwa para pihak harus bebas (freedom of contract). Lihat uraian lebih lanjut dalam Bab II Skripsi ini, dalam Sub Judul 2.7. Post.

18

(11)

modern. Pada titik inilah mulai nampak apa yang telah Penulis kemukakan di depan sebagai satu kubu yang memertanyakan institusi hukum PKWT yang berlaku tersebut. Menurut pendapat Penulis, mungkin saja pihak-pihak yang beranggapan demikian belum terlalu memahami apa itu kontrak.

Sebagian kalangan dalam masyarakat tersebut beranggapan bahwa status sebagai Pekerja kontrak19 (PKWT), pada kenyataannya berarti juga hilangnya hak– hak, tunjangan–tunjangan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang mempunyai status sebagai Pekerja tetap (PKWTT). Dengan demikian, amat potensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan Pekerja Indonesia. Padahal, Pekerja, kata sebagian kalangan dalam masyarakat tersebut, merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia. Pada akhirnya apabila metoda yang memungkinkan Pekerja kontrak (PKWT)20 yang dituding dapat menghilangkan hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja dan sosial yang hanya dinikmati oleh pekerja tetap (PKWTT) maka itu sama artinya dengan akan menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia pada

19 Kekurang pemahaman tentang kontrak, dapat menyebabkan orang merendahkan kontrak secara

tidak sengaja (kemungkinan). Padahal UU tentang Ketenagakerjaan yang adalah suatu kontrak telah begitu detail memberikan perlindungan kepada macam-macam hak Pekerja.

20 Penulis tidak sependapat dengan pihak yang menyamakan hanya PKWT, atau jenis Perjanjian Kerja

(12)

umumnya, demikian pandangan pihak-pihak yang sudah umum ada dalam masyarakat tersebut.21

Masih juga merupakan anggapan umum sebagian masyarakat, bahwa Pekerja dalam PKWT, juga dilihat hanya semata–mata sebagai komoditas atau barang dagangan di sebuah pasar tenaga kerja. Pekerja dibiarkan sendirian menghadapi ganasnya kekuatan pasar dan kekuatan modal, yang akhirnya akan timbul kesenjangan sosial yang semakin menganga antara yang kaya dan yang miskin dan tidak menutup kemungkinan kelak anak cucu Pekerja itu akan menjadi budak di negeri sendiri dan diperbudak oleh bangsa sendiri dan hal ini sangat jelas bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”, kata pihak–pihak tersebut.22

Masih dalam rangka menggambarkan pihak-pihak yang memertanyakan PKWT, kenyataan masih saja ada anggapan umum sebagian masyarakat apabila di dalam PKWT Pekerja ditempatkan sebagai faktor produksi semata, maka begitu mudah Pekerja dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika

21 Dalam analisis pada Bab III Sub Judul 3.4. Penulis temukan bahwa ternyata PKWT itu identik

dengan pemborongan pekerjaan dan tegas, menurut undang-undang dilakukan oleh pihak yang berbadan hukum, bukan Buruh. Sehingga asumsi bahwa Pekerja itu lemah bisa jadi keliru.

22 Padahal, melalui analisis yang mendalam, Penulis menemukan, seperti telah dikemukakan dalam

(13)

tidak lagi dibutuhkan. Komponen upah sebagai salah satu dari biaya–biaya (cost) bisa tetap ditekan seminimal mungkin.

Hal yang menarik adalah bahwa disamping memertanyakan PKWT, pada saat yang bersamaan pihak-pihak sebagaimana telah dikemukakan di atas juga memertanyakan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain oleh para pihak yang memertanyakan PKWT itu disamakan dengan outsourcing. Menurut pandangan yang umum di sejumlah kalangan itu, inilah akibat dilegalkannya sistem kerja

“pemborongan pekerjaan” (outsourcing).

(14)

Outsourcing,23 dan perjanjian kerja waktu tertentu, jelas tidak menjamin adanya job security, tidak adanya kelangsungan pekerjaan karena seorang pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat hubungan kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi ditempat tersebut, akibatnya pekerja akan mencari pekerjaan lain, sehingga kontinuitas, pekerjaan menjadi persoalan bagi pekerja yang di outsourcing dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Apabila job security tidak terjamin, jelas hal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) UUD

1945 yaitu “hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak”, kata pandangan umum

yang ada di kalangan masyarakat tertentu tersebut.

Bagi sejumlah kalangan itu, outsourcing yang sudah diatur dua macam outsourcing dalam Pasal 64, yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh pemborong dan outsourcing mengenai pekerjanya yang dilakukan oleh perusahaan jasa penyedia tenaga pekerja.24Outsourcing yang pertama konstruksi hukumnya yaitu ada main contractor yang mensubkan pekerjaan pada sub contractor. Subcontractor untuk melakukan pekerjaan yang di subkan oleh maincontractor yang membutuhkan pekerja. Di situlah subcontractor merekrut

23 Istilah outsourcing bukan istilah hukum, sebab tidak dikenal dalam UU Ketenagakerjaan. Sehingga

pihak yang berperang dengan istilah itu seperti berperang dalam “bayangan”. Meskipun demikian,

istilah outsourcing juga digunakan dalam putusan Pengadilan di Indonesia. Lihat Putusan No. No. 153 K/PDT.SUS/2010 antara Serikat Buruh Nestle Panjang melawan PT. Nestle Indonesia. Sebagian pihak menyebut outsourcing dengan alih daya. Lihat misalnya Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 tanggal 6 Januari 2012.

24 Perusahaan-perusahaan (Agen) yang menyediakan tenaga kerja atau penyalur tenaga kerja.

(15)

pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang disubkan oleh maincontractor. Sehingga ada hubungan kerja antara subcontractor nya dengan pekerjanya. Dalam perpektif kalangan dalam masyarakat tersebut, apabila dikaitkan dengan konstitusi, jelas hal tersebut memaksakan adanya hubungan kerja antara Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja dengan Pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur–unsur Hubungan Kerja yaitu dengan adanya perintah, pekerjaan dan upah. Dengan demikian Pekerja hanya dianggap sebagai barang saja, bukan sebagai subyek hukum.25 Akibat dari outsourcing dan PKWT Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja pada dasarnya menjual manusia kepada user, dengan sejumlah uang dan mendapatkan keuntungan dengan menjual manusia, kata para pihak itu. Tidak ada hal seperti itu dalam kontrak.

Menurut kalangan dalam masyarakat tersebut, manusia harus dilindungi sebagai manusia yang seutuhnya. Bekerja seharusnya adalah untuk memberikan kehidupan yang selayaknya tetapi ketika Pekerja hanya sebagai bagian produksi dan terutama dengan kontrak-kontrak26 yang dibuat, maka hanya sebagai salah satu bagian dari produksi, sehingga perlindungan sebagai manusia menjadi lemah.

Meskipun sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa masih banyak pihak di dalam masyarakat yang mempertanyakan eksistensi PKWT dan Penyerahan

25

Perlu dikemukakan di sini bahwa dalam istilah Inggris Hukum, Subyek hukum itu memang benda (property) atau hak. Mungkin yang dimaksud oleh para pihak tersebut dengan pihak adalah the party to contract. The party to contract adalah orang (legal person). Penjelasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam buku Jeferson Kameo SH., LL.M., Ph.D. dengan judul Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

26 Tidak ada kontrak yang boleh dibuat dengan sengaja dalam rangka menempatkan satu pihak dalam

(16)

Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, namun pihak Pemerintah sendiri membantah rasionalisasi dibalik gugatan pihak–pihak di dalam masyarakat tersebut. Berikut di bawah ini, bagaimana sudut pandang Pemerintah (eksekutif dan DPR).

Pemerintah berpendapat bahwa Hubungan Kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, yang umum dikenal dengan outsourcing, sebagaimana diatur dalam Pasal 59 serta Pasal 64 Undang–Undang Ketenagakerjaan adalah dalam rangka memberikan kesempatan bagi seluruh warga negara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945; juga dalam rangka memberikan perlakuan yang adil dan layak bagi semua warga negara dalam hubungan kerja guna mendapatkan imbalan yang setimpal dengan pekerjaan yang dilaksanakannya.

(17)

Selanjutnya Pemerintah berpendapat bahwa para pekerja mengembangkan keterampilan tersebut untuk menambah daya saing dalam meraih lapangan pekerjaan. Sebelum mendapatkan pekerjaan tetap, dengan adanya outsourcing akan membantu Pekerja yang belum bekerja untuk disalurkan kepada perusahaan–perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja dari perusahaan outsourcing tersebut. Selain hal tersebut, Peraturan perundang–undangan Ketenagakerjaan yang sudah mengatur jenis dan sifat pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu, serta segala aturan–aturan dalam menerapkan sebuah Pekerjaan untuk Waktu Tertentu, dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain. Pemerintah menilai bahwa pandangan sejumlah kalangan di dalam masyarakat yang menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 Undang–Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah menimbulkan kerugian hak adalah tidak benar.

Sejalan dengan pandangan Pemerintah sebagimana telah dipaparkan di atas, dalam polemik itu, DPR beranggapan bahwa tidak ada kerugian konstitusional atau kerugian yang bersifat potensial akan terjadi dengan berlakunya Pasal 59 dan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan. Bagi para pihak Dewan Perwakilan Rakyat, anggapan kalangan dalam masyarakat bahwa para Pekerja tidak spesifik (khusus) dan aktual mengenai kerugian konstitusional akibat pemberlakuan PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain dalam UU Ketenagakerjaan.

(18)

produksi, perusahaan dapat mempekerjakan Pekerja outsourcing melalui Perusahaan Penyedia Jasa.

Pada bagian lain, menurut DPR Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang lazim disebut dengan pekerja kontrak, mendasarkan diri pada Pasal 59 Ayat (1) huruf (a), huruf (b), huruf (c), dan huruf (d) serta Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6), Ayat (7) dan Ayat (8) Undang–Undang Ketenagakerjaan, kesepakatan yang dibuat untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu adalah hanya untuk pekerjaan yang mempunyai sifat, jenis dan kegiatan akan selesai dalam waktu tertentu.

Sehingga menurut DPR, hal itu dapat dikategorikan sebagai Pekerjaan Waktu Tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali selesai yang dilakukan sekali tiap bulan. Kontroversi antara sebagian Masyarakat versus pihak Pemerintah (eksekutif dan DPR) itu perlu diteliti dikaitkannya dengan prinsip–prinsip dan kaedah–kaedah hukum yang mengatur mengenai PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain tersebut.

Itulah uraian mengenai latar belakang Penulis melakukan penelitian dan pada akhirnya menulis suatu Skripsi Kesarjanaan yang rumusan masalahnya akan dikemukakan di bawah ini.

1.3.Perumusan Masalah

(19)

1.4.Tujuan Penelitian

Sedangkan tujuan penelitian dan Penyusunan Karya Tulis ini adalah mengetahui bagaimana prinsip–prinsip dan kaedah–kaedah hukum yang mengatur mengenai perjanjian kerja waktu tertentu dan penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain.

1.5.Metode Penelitian

Adapun metode yang Penulis pergunakan untuk penelitian dan Penyusunan Karya Tulis ini adalah penelitian hukum. Yang dimaksud dengan Penelitian Hukum adalah mencari dan menemukan kembali (research) prinsip–prinsip hukum dan kaedah–kaedah hukum yang mengatur mengenai Hubungan Kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain, yang menurut Pendapat Penulis (thesis sentence), bahwa PKWT dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain tersebut pada hakikatnya adalah suatu kontrak sui generis (hybrid).

(20)

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah berkekuatan hukum tetap, antara lain; putusan No. 153 K/PDT.SUS/2010 antara Serikat Buruh Nestle Panjang melawan PT. Nestle Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi variasi jumlah bakteri coliform pada sistem sungai permukaan Daerah Tangkapan Air Pindul secara temporal, (2)

Sebagai anggota Organisasi Kerjasama Negara Islam (OKI), Indonesia termasuk dalam pengekspor produk fesyen Muslim terbesar ke-3 di dunia, saat ini pemerintah terus

Dana Alokasi Umum Alokasi dasar Belanja pegawai Alokasi berdasarkan celah fiskal Kebutuhan fiskal Kapasitas Fiskal Indeks Penduduk Indeks Luas Wilayah Indeks Kemahalan

Kajian ini telah menggunakan tempurung kelapa sawit sebagai bahan api bagi meningkatkan pengetahuan dan kepakaran mengenai penggunaan sumber biojisim tempatan serta

Alternatif lain, perusahaan bisa menggunakan supplier Y yang juga unggul pada kriteria quality dan cost, namun kinerja supplier Y tidak sesuai pada kriteria delivery sehingga

Penggunaan Media Pembelajaran Alat Peraga terhadap Hasil Belajar Matematika Materi Kubus dan Balok pada Siswa Kelas VIII MTs Negeri Aryojeding. Pengaruh ( Contextual

“ Upaya Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar IPA Melalui Model Discovery Learning pada Siswa Kelas V SDN Madyogondo 2 Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang Tahun

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan antara lain; (1) terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran antara mahasiswa yang belajar bahan ajar problem