• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Pelayanan KTP-EL di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir (Studi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Kebijakan Pelayanan KTP-EL di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir (Studi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir )"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemerintah menerapkan e-Government yang bertujuan untuk mewujudkan

pemerintahan yang demokratis, transparan, bersih, adil, akuntabel, bertanggung jawab,

responsif, efektif dan efisien. e-Government memanfaatkan kemajuan komunikasi dan

informasi pada berbagai aspek kehidupan, serta untuk peningkatan daya saing dengan

negara-negara lain. Seperti yang tercantum dalam Undang Undang No. 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektonik. e-Government menerapkan sistem

pemerintahan dengan berbasis elektronik agar dapat memberikan kenyamanan,

meningkatkan transparansi, dan meningkatkan interaksi dengan masyarakat, serta

meningkatkan pelayanan publik.

Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan bagi setiap

warga negara dan penduduk atas barang, jasa, atau pelayanan administratif yang

disediakan oleh pemenrintah. Berbagai metode yang digunakan oleh pemerintah agar

kemudian orientasi dari pelayanan public bisa kemudian dilaksanakan dengan prima dan

bisa menyentuh secara langsung kepada rakyat. (Dewi Sheila, 2013:1)

Implementasi e-Government dalam pelayanan publik dengan penggunaan teknologi dan informasi yang saat ini sedang dilaksanakan dalam bidang pemerintahan

adalah KTP-el. Melihat dari jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar, Pemerintah

(2)

KTP-el adalah kartu tanda penduduk elektronik sebagai identitas penduduk

resmi negara Indonesia yang berbasis NIK (Nomor Induk Kependudukan). Inisiasi

KTP-el dimulai tahun 2009 dan mulai diterapkan secara nasional pada bulan Februari

2011. KTP-el diprakarsai mengingat sudah banyak negara di dunia yang menggunakan

sistem serupa, oleh karena itu Indonesia berusaha mengembangkan sistem administrasi

pemerintahan dengan menerapkan KTP-el. Fungsi KTP-el adalah:

1) Sebagai identitas jati diri.

2) Berlaku secara nasional, sehingga tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk

pengurusan izin, pembukaan rekening bank, dan sebagainya.

3) Mencegah KTP ganda dan pemalsuan KTP.

4)Terciptanya keakuratan data penduduk untuk mendukung program

pembangunan.

Penyelenggaraan administrasi kependudukan sebagaimana diamanatkan dalam

Undang Undang No. 23 Tahun 2006 adalah terwujudnya Tertib Database

Kependudukan, Tertib Penerbitan Nomor Induk Kependudukan (NIK), Tertib Dokumen

Kependudukan, untuk mewujudkan tujuan utama penyelenggaraan administrasi

kependudukan tersebut, perlu penerapan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang Berbasis

NIK Secara Nasional (KTP Elektronik) untuk setiap penduduk wajib KTP. Pemanfaatan

e-KTP diharapkan dapat berjalan lancar karena memiliki fungsi dan kegunaan yang

sangat membantu pemerintah dan masyarakat yang bersangkutan dalam hal pemberian

(3)

Pelaksanaan KTP-el dipandang sangat relevan dengan rencana pemerintah dalam

upaya menciptakan pelayanan publik yang berkualitas dan berbasis teknologi untuk

mendapatkan hasil data kependudukan yang lebih tepat dan akurat. KTP-el merupakan

KTP nasional yang sudah memenuhi semua ketentuan yang diatur dalam Undang

Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Peraturan Presiden

No. 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan

secara nasional, dan Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2010 tentang perubahan atas

Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2009.

Pemerintah perlu melaksanakan program tersebut dengan sebaik-baiknya,

sehingga nantinya akan mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dari

lembaga pemerintah dan swasta karena KTP-el merupakan electronic KTP yang dibuat

dengan sistem komputer, sehingga dalam penggunaannya nanti diharapkan lebih mudah,

cepat dan akurat. Pemerintah membuat kebijakan program KTP-el baik bagi

masyarakat, bangsa dan negara dimaksudkan agar terciptanya tertib administrasi. Selain

itu diharapkan agar menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti mencegah dan

menutup peluang adanya KTP ganda atau KTP palsu yang selama ini banyak

disalahgunakan oleh masyarakat dan menyebabkan kerugian bagi negara. Untuk

mendukung terwujudnya database kependudukan yang akurat, khususnya yang

berkaitan dengan data penduduk wajib KTP yang identik dengan data penduduk pemilih

pemilu (DP4), sehingga DPT pemilu yang selama ini sering bermasalah tidak akan

(4)

Pemerintah Pusat telah menetapkan 5 (lima) tahapan agar menjamin keakuratan

data dari setiap warga sehingga KTP-el tersebut tidak dapat diperbanyak atau

digandakan. Berikut 5 (lima) tahap dalam pembuatan KTP-el, yaitu:

1. Pembacaan biodata; warga datang berdasarkan waktu yang telah ditentukan

dengan membawa surat pengantar yang telah diberikan oleh pihak RT/RW

setempat.

2. Foto; Warga diharuskan melakukan foto diri terlebih dahulu. Foto yang

dilakukan sebaiknya memakai pakaian yang rapi, karena foto KTP-el ini hanya

dilakukan satu kali saja dan tidak bisa diganti dalam jangka waktu 5 (lima tahun)

kecuali kartu tersebut rusak atau hilang sebelum masa perpanjangan.

3. Perekaman tanda tangan; Warga diwajibkan melakukan tanda tangan untuk

kemudian direkam ke dalam komputer dan disimpan untuk identitas warga.

4. Scan sidik jari; Scan sidik jari ini dilakukan dengan kelima jari warga,

jikawarga mengalami kecacatan pada jari, maka dapat dilakukan dengan jari

yang ada saja.

5. Scan retina mata; Tahap ini dilakukan untuk menjamin keakuratan dari warga

tersebut karena scan jari tidak dapat menjamin keakuratan KTP-el, bisa saja

ketika dilakukan tahap scan jari, warga tersebut memakai jari orang lain. Untuk

itu dilakukan scan retina karena retina mata tidak dapat digantikan oleh orang

(5)

Faktanya masih banyak penerapan KTP-el tidak berjalan dengan lancar, berikut

terdapat masalah terkait tidak lancarnya penerapan program e-KTP yang terjadi

diberbagai daerah diantaranya:

1. Lanti, Yuniar (2012:11)

Implementasi Kebijakan KTP-el di Kecamatan Singkil Kota Manado.

Jumlah penduduk di Kota Manado 41.866 jiwa, yang sudah meneriman KTP-el

28.233 jiwa dan 12.649 jiwa yang belum melakukan perekaman. Pelaksanaan

KTP-el masih terlaksana sekitar 75% dikarenakan oleh beberapa factor

diantaranya kelalaian dalam perekaman, masih ada masyarakat yang belum

mendapat undangan pembuatan KTP-el, adanya sebagian dari masyarakat

Kecamatan Singkil sedang berada diluar kota, dan beberapa masyarakat yang

kehilangan NIK.

2. Abu Bakar, Raja Shah (2012:18-19)

Implementasi Kebijakan KTP-el di Kecamatan Bukit Bestari Kota Tanjung

Pinang.

Adapun masalah yang didapat terkait implementasi kebijakan KTP-el adalah

masih kurangnya sosialisasi tentang penerapan KTP-el kepada masyarakat

Kecamatan Bukit Bestari Kota Tanjung Pinang, masih kurangnya sarana dan

prasarana dalam keberhasilan implementasi kebijakan, dan masih kurangnya

staff yang ahli dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.

3. Rahmaningsih, Eni (2010:13-14)

(6)

Jumlah penduduk kecamatan Pontianak Utara sebanyak 148.044 jiwa.

Pengimplementasian kebijakan KTP-el masih belum berjalan dengan lancar

karena masih ada penduduk yang belum melakukan perekaman sekitar 23,15%,

masih banyak warga yang telah wajib KTP tetapi belum terdata, kurangnya

informasi terkait penerapan kebijakan KTP-el, dan masih terbatasnya alat untuk

proses pembuatan KTP-el membuat proses tersebut menjadi terlambat

dikarenakan jumlah penduduk yang begitu besar.

4. Thoifur Arif, Ahmad dan Hambali (2011:71-72)

Implementasi Kebijakan Program KTP-el di Kecamatan Purwosari Kabupaten

Pasuruan.

Adapun masalah yang terdapat terkait penerapan kebijakan KTP-el meliputi

masih banyaknya warga yang telah wajib KTP tetapi belum terdata, SDM yang

kurang optimal dan siap, kurangnya informasi yang didapat warga terkait

pengetahuan tentang KTP-el tersebut, pemerintah Kabupaten Pasuruan kurang

melakukan koordinasi dan komunikasi yang baik dengan Kecamatan Purwosari,

dan operator yang menangani program KTP-el kurang konsisten dalam

menjalankan tugas yang diberikan.

5. Ireine, Purnawati (2010:6-7)

Implementasi Kebijakan Pelayanan KTP-el di Kecamatan Amurang Barat

Kabupaten Minahasa Selatan.

Terdapat 1.200 jiwa warga Kecamatan Amurang Barat yang belum terdata untuk

perekaman KTP-el, kemampuan SDM dalam menangani pembuatan KTP-el

(7)

pegawai operator kepada masyarakat, kurangnya fasilitas yang mendukung

pembuatan KTP-el, kurangnya sosialisasi sehingga menyebabkan informasi

yang didapat warga terkait pelaksanaan KTP-el, dan adanya ketidakdisiplinan

yang dilakukan oleh pegawai operator dalam pelaksanaan program KTP-el.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis sangat tertarik melakukan

penelitian untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan implementasi pelayanan KTP-el

yang dilakukan pegawai Kabupaten Samosir kepada masyarakat wilayah Kabupaten

Samosir. Adapun judul yang diangkat peneliti adalah “Implementasi Kebijakan

Pelayanan KTP-el Di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir.”

1.2 Fokus Masalah

Dalam penelitian kualitatif perlu dibuat batasan masalah yang berisi fokus atau

pokok permasalahan yang diteliti. Ini bertujuan untuk memperjelas dan mempertajam

pembahasan. Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui dan mendeskripsikan

bagaimana penerapan kebijakan pelayanan KTP-el Dalam Pelayanan Publik Di Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir.

1.3 Rumusan Masalah

Perumusan sangat penting agar diketahui arah jalannya suatu penelitian dan

untuk lebih memudahkan penelitian nantinya. Hal ini senada dengan pendapat “Agar

penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka penulis merumuskan

masalahnya sehingga jelas dari mana harus memulai, ke mana harus pergi dan dengan

(8)

Berdasarkan uraian di atas maka penulis dalam melakukan penelitian ini

merumuskan masalah “Bagaimana implementasi kebijakan pelayanan KTP-el Di

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil?”

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dituliskan di atas maka tujuan yang ingin

dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Implementasi

Kebijakan Pelayanan KTP-el di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten

Samosir.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan memberi manfaat:

1. Secara subyektif, bermanfaat bagi peneliti dalam melatih dan

mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah, dan sistematis dalam

mengembangkan kemampuan penulis dalam karya ilmiah.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan

yang berguna bagi instansi terkait.

3. Secara akademis, peneliti diharapkan dapat memberikan kontribusi dan

sebagai bahan perbandingan bagi mahasiswa yang ingin melakukan

penelitian dibidang yang sama.

1.6 Kerangka Teori

Dalam rangka menyusun penelitian ini dan untuk mempermudah penulis

didalam menyelesaikan penelitian ini, maka dibutuhkan suatu landasan berfikir yang

dijadikan pedoman untuk menjelaskan masalah yang sedang disorot. Pedoman tersebut

(9)

ditegakkan agar penelitian ini mempunyai dasar yang kokoh, dan buka sekedar

perbuatan coba-coba.

1.6.1 Kebijakan Publik

Menurut William N Dunn (2003:10) kebijakan publik dalam arti historis yang

paling luas merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial dimulai

pada satu tonggak sejarah ketika pengetahuan secara sadar digali untuk dimungkinkan

dilakukannya pengujian secara eksplisit dan reflektif kemungkinan menghubungkan

pengetahuan dan tindakan.

Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam

kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang

mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh

warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya

yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang

mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).

Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan

publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya

sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu

yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi

isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati

oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi

(10)

Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik

tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.

Thomas R. Dye (2005:10) menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah apa saja

yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan, apabila pemerintah

memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuan dan kebijakan negara tersebut

harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan semata-mata pernyataan keinginan

pemerintah atau pejabatnya. Di samping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh

pemerintah juga termasuk kebijakan negara. Hal ini disebabkan “sesuatu yang tidak

dilakukan” oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besarnya dengan

“sesuatu yang dilakukan” oleh pemerintah.

Kebijakan Publik merupakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi

orang-orang banyak pada tataran strategis atau yang bersifat garis besar yang dibuat oleh

pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik tersebut, maka

kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yaitu mereka yang menerima

mandat dari publik atau orang banyak, pada umumnya melalui suatu proses pemilihan

untuk bertindak atas nama rakyat banyak.

Kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan

oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama dari kebijakan publik dalam negara modern

yaitu pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang dapat dilakukan oleh

negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang-orang

banyak. Menyeimbangkan peran negara yang memiliki kewajiban dalam menyediakan

(11)

menyeimbangkan berbagai kelompok di dalam masyarakat dengan berbagai

kepentingan, serta untuk mencapai amanat konstitusi.

Tahap-tahapmenurut William Dunn adalah sebagai berikut:

Gambar 1.1 Tahap Kebijakan Publik a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)

Penyusunan agenda (Agenda Setting) adalah sebuah fase dan proses yang sangat

strategis dalam realitas kebijakan publik. Sebelum kebijakan ditetapkan dan

dilaksanakan, pembuat kebijakan perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan

memilih masalah-masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas.

Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan akan dikumpulkan sebanyak mungkin

untuk diseleksi. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut

sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah

isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas

dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya

publik yang lebih daripada isu lain. Dalam agenda setting juga sangat penting untuk

menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue

(12)

problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan

pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Penyusunan agenda kebijakan

seharusnya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga

keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi,

esensi, dan keterlibatan stakeholder.

b. Formulasi

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para

pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari

pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai

alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu

masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan

masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil

untuk memecahkan masalah.

c. Adopsi/Legitimasi(Policy Adoption)

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar

pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan

rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah.Namun warga negara harus

percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah. Dukungan untuk rezim cenderung

berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang

membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola

melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar

(13)

d. Implementasi

Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut kemudian

dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan seringkali menemukan berbagai kendala.

Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan secara terencana dapat saja berbeda di

lapangan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang sering mempengaruhi pelaksanaan

kebijakan.

Kebijakan yang telah melewati tahap-tahap pemilihan masalah tidak serta merta

berhasil dalam implementasi. Dalam rangka mengupayakan keberhasilan dalam

implementasi kebijakan, maka kendala-kendala yang dapat menjadi penghambat harus

dapat diatasi sedini mungkin.

e. Penilaian/ Evaluasi

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang

menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi

dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional.

Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan

dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa

meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan

untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak

kebijakan.

1.6.2 Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan

(14)

kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung

mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat

atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Rangkaian implementasi kebijakan dapat

diamati dengan jelas yaitu dimulai dari program, ke proyek dan ke kegiatan. Model

tersebut mengadaptasi mekanisme yang lazim dalam manajemen, khususnya

manajemen sektor publik. Kebijakan diturunkan berupa program program yang

kemudian diturunkan menjadi proyek-proyek, dan akhirnya berwujud pada

kegiatan-kegiatan, baik yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat maupun kerjasama

pemerintah dengan masyarakat.

Van Meter dan Van Horn (dalam Budi Winarno, 2008:146-147) mendefinisikan

implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan dalam keputusan-keputusan

sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah

keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun

dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan besar dan kecil yang

ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan yang dilakukan oleh organisasi publik

yang diarahkan untuk mencapai tujuantujuan yang telah ditetapkan. Adapun makna

implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) sebagaimana

dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008: 65), mengatakan bahwa:

Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program

dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi

kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah

(15)

usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata

pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi

kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau

diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Jadi implementasi merupakan suatu

proses kegiatan yang dilakukan oleh berbagai aktor sehingga pada akhirnya akan

mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran sendiri

kebijakan itu.

1.6.3 Model Implementasi Kebijakan

1.6.3.1 Model Implementasi Edward III

Edward III (dalam Subarsono, 2008: 90-92) berpandangan bahwa implementasi

kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:

1. Faktor Komunikasi

Proses penyampaian pesan, ide dan gagasan dari satu pihak kepada pihak lain yang

dilakukan dalam implementasi kebijakan electronic Kartu Tanda Penduduk (KTP-el) di

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir. Sehingga dapat

diketahui apakah pelaksanaan kebijakan berjalan dengan efektif dan efisien tanpa ada

yang dirugikan. Implementasi yang efektif baru akan terjadi apabila para pembuat

kebijakan dan implementor mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, dan hal itu

(16)

2. Faktor Sumber Daya

Pelaksana yang bertanggung jawab untuk melaksanakan Implementasi kebijakan

elektronik Kartu Tanda Penduduk (KTP-el) di Dinas Kependudukan dan Pencatatan

Sipil Kabupaten Samosir. Jika para personil yang mengimplementasikan kebijakan

kurang bertanggung jawab dan kurang mempunyai sumber-sumber untuk melakukan

pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif.

3. Faktor Disposisi (pelaksana)

Kecenderungan-kecenderungan sikap positif pelaksana untuk melaksanakan kebijakan

yang menjadi tujuan dalam implementasi kebijakan electronic Kartu Tanda Penduduk

(KTP-el) di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir. Menurut

Edward III, jika ingin berhasil secara efektif dan efisien, para implementor tidak hanya

harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan dan mempunyai kemampuan untuk

mengimplementasikan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai

kemauan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.

4. Faktor struktur birokrasi

Struktur organisasi, pembagian wewenang dalam implementasi kebijakan electronic

Kartu Tanda Penduduk (KTP-el) di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Kabupaten Samosir. Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu

kebijakan sudah mencukupi dan para implementor mengetahui apa dan bagaimana cara

melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk melakukannya, implementasi

kebijakan bisa jadi masih belum efektif, karena terdapat ketidakefisienan sturktur

(17)

banyak orang. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung

kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi yang

baik. Menurut Edward III terdapat 2 karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja

struktur birokrasi kearah yang lebih baik yaitu dengan melakukan Standart Operating

Prosedures (SOP) dan fragmentasi.

a. Berdasarkan Permendagri No. 35 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan

Standar Operasional Prosedur Administrasi Pemerintahan: Standard Operating Prosedures (SOP) adalah mekanisme, sistem dan prosedur pelaksana kebijakan, pembagian tugas pokok, fungsi kewenangan, dan tanggung jawab dalam implementasi

kebijakan electronic Kartu Tanda Penduduk di Dinas Kependudukan dan Pencatatan

Sipil Kabupaten Samosir.

b. Fragmentation (penyebaran tanggung jawab) adalah penyebaran tanggung jawab atas bidang kebijakan antara beberapa unit organisasi oleh pelaksana dalam

implementasi kebijakan electronik Kartu Tanda Penduduk di Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir.

Struktur Birokrasi menurut Edwards (dalam Budi Winarno, 2008: 203) terdapat

dua karakteristik utama, yakni Standard Operating Procedures (SOP) dan Fragmentasi:

“SOP atau prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar berkembang sebagai

tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana

serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang

kompleks dan tersebar luas. Sedangkan fragmentasi berasal dari tekanan-tekanan diluar

(18)

pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi

organisasi birokrasi pemerintah.”

1.6.3.2 Model Implementasi Merilee S.Grindle

Model implementasi kebijakan selanjutnya dikemukakan oleh Grindle

ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalahbahwa

setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan hasilnya

ditentukan oleh implementability. (Nugroho, 2008: 445). Menurutnya keberhasilan

implementasi kebijakan dapat dilihat dari dua hal yaitu:

1. Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan

kebijakan sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi

kebijakannya.

2. Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan melihat dua

faktor, yaitu:

a. Dampak atau efeknya pada masyarakat secara individu dan

kelompok

b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok

sasaran dan perubahan yang terjadi.

Keberhasilan implementasi kebijakan juga sangat ditentukan oleh tingkat

implementability kebijakan itu sendiri, yaitu yang terdiri dari Content of Policy dan

(19)

1. Content of Policy menurut Grindle adalah

a. Kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi, berkaitan dengan berbagai

kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan, indikator ini

berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak

kepentingan, dan sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh

terhadap implementasinya.

b. Jenis manfaat yang bisa diperoleh. Pada poin ini Content of Policy berupaya

untuk menunjukan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat

beberapa jenis manfaat yang menunjukan dampak positif yang dihasilkan oleh

pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.

c. Derajat perubahan yang ingin dicapai. Setiap kebijakan mempunyai target

yang hendak dan ingin dicapai. Adapun yang ingin dijelaskan pada poin ini adalah

bahwa seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu

implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.

d. Letak pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan

mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini

harus dijelaskan di mana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang hendak

diimplementasikan.

e. Pelaksana program. Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus

didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi

keberhasilan suatu kebijakan. Hal ini harus terdata atau terpapar dengan baik pada

(20)

f. Sumber-sumber daya yang digunakan. Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus

didukung oleh sumber-sumber daya yang mendukung agar pelaksanaanya berjalan

dengan baik.

2. Context of Policy menurut Grindle adalah

a. Kekuasaan, kepentingan-kepentingan dan strategi dari aktor yang terlibat.

Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan atau kekuasaan,

kepentingan-kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para aktor guna

memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan. Bila hal ini tidak

diperhitungkan dengan matang, besar kemungkinan program yang hendak

diimplementasikan akan jauh panggang dari api.

b. Karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa. Lingkungan di mana suatu

kebijakan dilaksanakan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian

ini ingin dijelaskan karakteristik dari lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu

kebijakan.

c. Tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana. Hal lain yang dirasa

penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari

para pelaksana. Maka yang hendak dijelaskan pada poin ini adalah sejauh mana

kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.

Pelaksanaan kebijakan yang ditentukan oleh isi atau konten dan lingkunganatau

konteks yang diterapkan, maka akan dapat diketahui apakah para pelaksanakebijakan

(21)

diketahui apakah suatu kebijakan dipengaruhi oleh suatu lingkungan, sehingga tingkat

perubahan yang diharapkan terjadi.

Keunikan dari model Grindle terletak pada pemahamannya yang komprehensif

akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima

implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor

implementasi, serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.

1.6.3.3 Model Implementasi Mazmanian dan Sabatier

Menurut Mazmanian dan Sabatier (dalam Subarsono, 2011: 94)

mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel:

1. Variabel Independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan

dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman obyek, dan

perubahan seperti apa yang dikehendaki.

2. Variabel Intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan

proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan,

dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarkis

diantara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan

pejabat pelaksana dan keterbukaaan kepada pihak luar. Sedangakan variabel diluar

kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator

kondisi sosio-ekonomi dan teknomogi, dukungan publik, sikap dan risorsis dari

konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas

(22)

3. Variabel Dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan,

yaitu pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan

pelaksana, kepatuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut dan

akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut

ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.

1.6.3.4 Model Implementasi Donald S.Van Meter dan Carl. E. Van Horn

Implementasi menurut Van Meter dan Vanhorn dalam buku The Policy

Implementation Process: A Conceptual Framework, menjelaskan bahwa:

“Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu

individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang

diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan

kebijakan” (Meter dan Vanhorn, 1975:447).

Berdasarkan pengertian implementasi di atas Van Meter dan Van Horn

(1975:462-478) mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan

suatu implementasi yang disebut dengan A Model of The Policy Implementation, yaitu:

1. Sasaran (Standar) dan Tujuan Kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya

jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang ada di

level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal

(bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit

(23)

2. Sumber daya

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan

memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang

terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap

tertentu dari keseluruhan proses implementasi menurut adanya sumber daya manusia

yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah

ditetapkan secara politik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumber

daya itu nihil, maka sangat sulit untuk diharapkan.Tetapi di luar sumber daya manusia,

sumber daya lain yang perlu diperhitungkan juga ialah sumber daya finansial dan

sumber daya waktu. Karena mau tidak mau ketika sumber daya manusia yang kompeten

dan kapabel telah tersedia sedangkan pencairan dana melalui anggaran tidak tersedia,

maka menjadi persoalan pelik untuk merealisasikan apa yang hendak dituju oleh

kebijakan publik tersebut. Demikian halnya dengan sumber daya waktu, saat sumber

daya manusia giat bekerja dan pencairan dana berjalan dengan lancar tetapi terbentur

dengan persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hal itu pun dapat menjadi penyebab

ketidakberhasilan implementasi kebijakan.

3. Karakteristik Agen Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi non

formal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting

karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh

ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Misalnya implementasi

(24)

secara radikal, maka agen pelaksana proyek itu haruslah berkarakteristik keras dan

ketat pada aturan serta sanksi hukum. Sedangkan bila kebijakan publik itu tidak terlalu

merubah perilaku dasar manusia maka dapat saja agen pelaksana yang diturunkan tidak

sekeras dan tidak setegas pada gambaran yang pertama. Selain itu cakupan atau luas

wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak

menentukan agen pelaksana. Maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan,

Van Meter dan Van Horn mengemukakan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh

terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan yakni:

a. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan

b. Tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan sub unit dan proses dalam

badan-badan pelaksana

c. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan diantara

anggota legislative dan eksekutif)

d. Vitalitas suatu organisasi

e. Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka, yang didefinisikan sebagai

jaringan kerja komunikasi horizontal dan vertical secara bebas serta

tingkat kebebasan yang secara relative tinggi dalam komunikasi dengan individu

diluar organisasi

f. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan “pembuat keputusan atau

(25)

4. Komunikasi antar organisasi aktivitas pelaksana

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik.

Semakin baik komunikasi dan koordinasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu

proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk

terjadi. Dan begitu pula sebaliknya.

5. Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik

Hal lain yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan publik

dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn adalah sejauhmana

lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah

ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi

penyebab dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Oleh karena itu, upaya untuk

mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan lingkungan

eksternal. Van Meter dan Van Horn juga mengajukan hipotesis bahwa lingkungan

ekonomi, sosial, dan politik dari yuridiksi atau organisasi pelaksana akan mempengaruhi

karakter badan-badan pelaksana, kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan

pencapaian itu sendiri. Kondisi-kondisi lingkungan sangat berpengaruh pada keinginan

dan kemampuan yuridiksi atau organisasi dalam mendukung struktur, vitalitas, dan

keahlian yang ada dalam badan-badan administrasi maupun tingkat dukungan politik

yang dimiliki. Kondisi lingkungan juga akan berpengaruh pada

kecenderungan-kecenderungan para pelaksana. Jika masalah-masalah yang dapat diselesaikan oleh

suatu program begitu berat dan para warga negara swasta serta kelompok-kelompok

(26)

para pelaksana menolak program tersebut. Van Meter dan van Horn lebih lanjut

menyatakan bahwa kondisi lingkungan mungkin menyebabkan para pelaksana suatu

kebijakan tanpa mengubah pilihan-pilihan pribadi mereka tentang kebijakan itu. Namun

akhirnya variabel-variabel lingkungan ini dipandang mempunyai pengaruh langsung

pelayanan publik yang dilakukan. Dengan kata lain, kondisi-kondisi lingkungan

mungkin memperbesar atau membatasi pencapaian, sekalipun

kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan kekuatan-kekuatan lain dalam model ini juga

mempunyai pengaruh terhadap implementasi program.

6. Disposisi/Kecenderungan dari para pelaksana/impelementor

Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak

mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal

ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil

formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang

mereka rasakan. Melainkan kebijakan yang akan implementor laksanakan adalah

kebijakan “dari atas ke bawah(top down) yang sangat mungkin para pengambil

keputusannya tidak mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan,

keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.

1.6.4 Administrasi Kependudukan

1.6.4.1 Pengertian Administrasi Kependudukan

Berdasarkan Undang Undang No. 24 pasal 1 tahun 2013 Administrasi

(27)

penertiban dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran penduduk, catatan

sipil, pengelolaan informasi aminduk serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan

publik dan pembangunan sektor lain.

1.6.4.2 Tujuan Administrasi Kependudukan

1. Tertib Database Kependudukan

a. Terbangunnya database kependudukan yang akurat di tingkat

Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat;

b. Database kependudukan Kabupaten/ Kota tersambung (online) dengan

Provinsi dan Pusat dengan menggunakan Sistem Informasi Administrasi

Kependudukan (SIAK);

c. Database kependudukan Depdagri dan daerah tersambung (online) dengan

instansi pengguna.

2. Tertib Penerbitan NIK

a. NIK diterbitkan setelah penduduk mengisi biodata penduduk per keluarga

(F-1.01) dengan menggunakan SIAK;

b. Tidak adanya NIK ganda;

c. Pemberian NIK kepada semua penduduk harus selesai akhir tahun 2011.

3. Tertib Dokumen Kependudukan (KTP, KK, AKTA CAPIL)

a. Prosesnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

(28)

1.6.4.3 Ruang Lingkup Administrasi Kependudukan

1. Pendaftaran Penduduk a. Pencatatan biodata

b. Pencatatan Atas Pelaporan Peristiwa Kependudukan, meliputi:

1. Penerbitan NIK

2. Perubahan alamat

3. Pindah dalam wilayah Indonesia

4. Pindah antar Negara

5. Penduduk pelintas batas

6. Pendataan penduduk rentan aminduk

7. Pelaporan penduduk yang tidak mampu mengantar sendiri

2. Pencatatan Sipil

a. Pencatatan Atas Pelaporan Peristiwa Penting, meliputi:

1. Kelahiran

2. Lahir mati

3. Perkawinan

4. Pembatalan Perkawinan

5. Perceraian

6. Pembatalan Perceraian

7. Kematian

8. Pengangkatan Anak

9. Pengakuan anak

10. Pengesahan anak

(29)

12. Perubahan status kewarganegaraan

13. Peristiwa penting lainnya

14. Pelaporan penduduk yang tidak mampu mengantar sendiri

1.6.4.4 Perubahan Mendasar dalam UU No.24 tahun 2013/ Adminduk

1. Masa berlaku KTP-el (KTP elektronik)

• Semula 5 (lima) tahun diubah menjadi berlaku seumur hidup sepanjang tidak ada

perubahan elemen data dalam KTP (Pasal 64 ayat 7 huruf a Undang Undang No.

24 Tahun 2013).

• KTP-el yang sudah diterbitkan sebelum berlakunya Undang Undang No. 24

Tahun 2013 ini, ditetapkan berlaku seumur hidup (Pasal 101 point c Undang

Undang No. 24 Tahun 2013).

2. Penggunaan Data Kependudukan Kementerian Dalam Negeri

• Data Kependudukan Kementerian Dalam Negeri yang bersumber dari data

kependudukan kabupaten/kota, merupakan satu-satunya data kependudukan

yang digunakan untuk semua keperluan: alokasi anggaran (termasuk untuk

perhitungan DAU), pelayanan publik, perencanaan pembangunan, pembangunan

demokrasi, penegakan hukum, dan pencegahan kriminal (Pasal 58 Undang

Undang No. 24 Tahun 2013).

3. Pencetakan Dokumen/ Personalisasi KTP-el

• Pencetakan dokumen/personalisasi KTP-el yang selama ini dilaksanakan

(30)

Sipil Kabupaten/Kota pada Tahun 2014 (Pasal 8 ayat 1 huruf c Undang Undang

No. 24 Tahun 2013).

4. Penerbitan Akta Kelahiran yang Pelaporannya melebihi Batas Waktu 1 (satu) Tahun

• Semula penerbitan tersebut memerlukan penetapan Pengadilan Negeri, diubah

cukup dengan Keputusan Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Kabupaten/Kota. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal

30 April 2013.

5. Penerbitan Akta Pencatatan Sipil

• Semula dilaksanakan di tempat terjadinya Peristiwa Penting, diubah menjadi

penerbitannya di tempat domisili penduduk.

6. Pengakuan dan Pengesahan Anak

• Dibatasi hanya untuk anak yang dilahirkan dari perkawinan yang telah sah

menurut hukum agama tetapi belum sah menurut hukum negara (Pasal 49 ayat

2). Pengesahan anak yang selama ini hanya dengan catatan pinggir diubah

menjadi Akta Pengesahan Anak (Pasal 49 ayat 3 Undang Undang No. 24 Tahun

2013).

7. Pengurusan dan Penerbitan Dokumen Kependudukan Tidak Dipungut Biaya (Gratis)

• Larangan untuk tidak dipungut biaya semula hanya untuk penerbitan KTP-el,

diubah menjadi untuk semua dokumen kependudukan seperti KK, KTP-el, Akta

Kelahiran, Akta Perkawinan, Akta Kematian, Akta Perceraian, Akta Pengakuan

(31)

8. Pencatatan Kematian

• Pelaporan pencatatan kematian yang semula menjadi kewajiban penduduk,

diubah menjadi kewajiban RT atau nama lain (Kepling) untuk melaporkan setiap

kematian warganya kepada Instansi Pelaksana (Pasal 44 ayat 1 Undang Undang

No. 24 Tahun 2013).

• Pelaporan tersebut dilakukan secara berjenjang melalui RW atau nama lain,

Desa/Kelurahan dan Kecamatan.

9. Stelsel Aktif

• Semula stelsel aktif diwajibkan kepada penduduk, diubah menjadi stelsel aktif

diwajibkan kepada pemerintah melalui petugas.

10. Petugas Registrasi

• Petugas Registrasi membantu Kepala Desa atau Lurah dan Instansi Pelaksana

dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (Pasal 12 ayat 1 Undang

Undang No. 24 Tahun 2013). Petugas Registrasi diangkat dan diberhentikan

oleh Bupati/Walikota. Petugas Registrasi harus PNS, diubah diutamakan PNS

(Pasal 12 ayat 1 Undang Undang No. 24 Tahun 2013).

11. Pengangkatan Pejabat Struktural pada Unit Kerja Administrasi Kependudukan

• Pejabat struktural pada unit kerja yang menangani administrasi kependudukan di

provinsi, diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri atas usulan

(32)

12. Pendanaan Program dan Kegiatan Adminduk dibebankan pada APBN • Pendanaan untuk penyelenggaraan program dan kegiatan administrasi

kependudukan, baik di provinsi maupun kabupaten/kota dianggarkan dalam

APBN (Pasal 87A Undang Undang No. 24 Tahun 2013)

13. Penambahan Sanksi

• Setiap orang yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan

manipulasi data kependudukan dan/atau elemen data penduduk dipidana dengan

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp. 75.000.000 (Pasal 94 Undang Undang No. 24 Tahun 2013).

1.6.5 Konsep Pelayanan Publik

1.6.5.1 Pengertian Pelayanan Publik

Undang Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mendefinisikan

pelayanan publik sebagai berikut: pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian

kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau

pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Sedangkan Lewis dan Gilman (2005:22) mendefinisikan pelayanan publik

sebagai berikut: pelayanan publik adalah kepercayaan publik. Warga negara berharap

pelayanan publik dapat melayani dengan kejujuran dan pengelolaan sumber penghasilan

secara tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Pelayanan publik yang

(33)

etika pelayanan publik sebagai pilar dan kepercayaan publik sebagai dasar untuk

mewujudkan pemerintah yang baik.

Pelayanan publik menurut Wasistiono (Hardiyansyah 2011 : 11) adalah

pemberian jasa baik oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah ataupun pihak

swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan

dan atau kepentingan masyarakat.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah segala bentuk jasa

pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya

menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi pemerintah di pusat, di daerah,

dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam

rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan. Menurut (Juliantara,

2005:10) tujuan pelayanan publik adalah memuaskan atau sesuai dengan keinginan

masyarakat/pelanggan pada umumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas

pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Kualitas/mutu

pelayanan adalah kesesuaian antara harapan dan keinginan dengan kenyataan. Dan

hakekat dari pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat

yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.

1.6.5.2 Dimensi Pelayanan Publik

Fitzsimmons dalam Sedarmayanti (2004:15) mengemukakan bahwa kualitas

pelayanan merupakan sesuatu yang kompleks, sehingga untuk menentukan sejauh mana

(34)

1. Reliability (Handal), kemampuan untuk memberikan secara tepat dan benar, jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen/pelanggan.

2. Responsiveness (Pertanggungjawaban), kesadaran atau keinginan untuk membantu konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat.

3. Assurance (Jaminan), pengetahuan atau wawasan, kesopansantunan, kepercayaan diri dari pemberi layanan, serta respon terhadap konsumen.

4. Empathy (Empati), kemauan pemberi layanan untuk melakukan pendekatan, memberi perlindungan, serta berusaha untuk mengetahui keinginan dan

kebutuhan konsumen.

5. Tangibles (Terjamah), penampilan para pegawai dan fasilitas fisik lainnya, seperti peralatan atau perlengkapan yang menunjang pelayanan.

1.6.5.3 Standart Pelayanan Publik

Menurut Undang Undang RI No. 25 tahun 2009 Penyelenggaraan pelayanan

publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya

kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang

dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi

dan atau penerima pelayanan:

1) Prosedur pelayanan

Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan

termasuk pengadaan.

2) Waktu penyelesaian

Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai

dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan.

(35)

Biaya atau tarif pelayanan termasuk rinciannya yang dititipkan dalam

proses pemberian pelayanan.

4) Produk Pelayanan

Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah

ditetapkan.

5) Sarana dan prasarana

Penyedia sarana dan prasarana pelayanan yang memadai moleh penyelenggara

pelayanan publik.

6) Kompetensi petugas pemberi pelayanan

Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat

berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan perilaku yang

dibutuhkan.

1.6.6 Konsep KTP-el

1.6.6.1 Pengertian KTP-el

Menurut Undang Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan, definisi dari KTP-el atau kartu tanda penduduk elektronik adalah

dokumen kependudukan yang memuat system keamananan atau pengendalian baik dari

sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis pada pada database

kependudukan nasional.

Penduduk hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP yang tercantum Nomor

Induk Kependudukan (NIK). NIK merupakan identitas tunggal setiap penduduk dan

(36)

dalam penerbitan Paspor, Surat Izin Mengemudi (SIM), Nomor Pokok Wajib Pajak

(NPWP), Polis Asuransi, Sertifikat atas Hak Tanah dan penerbitan dokumen identitas

lainnya (Pasal 13 Undang Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Adminduk). Informasi

lengkap pemegang KTP elektronik yang ada didalamnya terdiri dari:

• Nama

• Tempat/Tgl Lahir

• Jenis Kelamin

• Alamat (RT/RW, Kel/Desa, Kecamatan)

• Agama

• Status Pekerjaan

• Kewarganegaraan

• Berlaku Hingga

• Foto

• Tanda Tangan

• NIK

1.6.6.2 Fungsi KTP-el

Fungsi e-KTP adalah:

1) Sebagai identitas jati diri.

2) Berlaku secara nasional, sehingga tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk

pengurusan izin, pembukaan rekening bank, dan sebagainya.

3) Mencegah KTP ganda dan pemalsuan KTP. Sehingga memberi rasa aman dan

kepastian hukum bagi penduduk.

4) Untuk mendukung terwujudnya database kependudukan yang akurat,

(37)

lagi, dan semua Warga Negara Indonesia yang berhak memilih terjamin hak

pilihnya.

1.6.6.3 Perbedaan KTP Kab (1978), KTP Nasional 2007, dan KTP-el 2011 KTP Kabupaten (1978)

Gambar 1.2 KTP Kabupaten (1978)

Karakteristik Teknologi Verifikasi/Validasi

1. Blanko kertas dan laminasi plastic 2. Foto dilekatkan

(dilem)

3. Tanda tangan/cap jempol

4. Berlaku ditiap kabupaten/kota

1. Stempel asli

2. Nomor serial

khusus

3. Gulloche Patterns pada blanko

4. Hanya untuk

keperluan identitas diri

1. Pengawasan dan

(38)

KTP Nasional 2007

Gambar 1.3 KTP Nasional 2007

Karakteristik Teknologi Verifikasi/Validasi

1. Foto dicetak pada kartu

6. Data dibaca atau ditulis dengan 5. Scannin foto dan

tanda tangan/cap jempol

1. Pengawasan dan

(39)

KTP-el 2011

Gambar 1.4 KTP-el 2011

Karakteristik Teknologi Verifikasi/Validasi

1. Foto dicetak pada kartu

2. Data tercetak

dengan computer. 3. Berlaku nasional 4. Tanda tangan/cap

jempol

1.6.6.4 Dasar Hukum Pembuatan KTP-el

Adapun yang menjadi landasan hukum Pelayanan KTP-el yakni:

1. Undang Undang Dasar pasal ayat 3 tentang hal-hal mengenai warga Negara

dan penduduk diatur dengan Undang Undang

2. Undang Undang No. 24 tahun 2004 tentang Perubahan UU No.23 tahun

(40)

3. Undang Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

4. Peraturan Presiden No. 7 tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 tahun

2006 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 102 tahun 2012

5. Peraturan Presiden No. 25 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara

Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil

6. Peraturan Presiden No.26 tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis NIK

secara nasional sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden

No. 126 tahun 2012

7. Peraturan Presiden No.112 tahun 2013 tentang Perubahan ke IV atas

Peraturan Presiden No.26 tahun 2009

8. Undang-Undang No. 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan

1.6.6.5 Format KTP-el

Struktur KTP-el terdiri dari sembilan layer yang akan meningkatkan

pengamanan dari KTP konvensional.

transparan pada dua layer teratas. Chip ini memiliki antena didalamnya yang akan

mengeluarkan

pendeteksi KTP-el sehingga dapat diketahui apakah KTP tersebut berada di tangan

orang yang benar atau tidak. Untuk menciptakan KTP-el dengan sembilan layer, tahap

pembuatannya cukup banyak, diantaranya:

(41)

2. Pick and pressure, yaitu menempatkan chip di kartu

3. Implanter, yaitu pemasangan antenna (pola melingkar berulang menyerupai spiral)

4. Printing, yaitu pencetakan kartu

5. Spot welding, yaitu pengepresan kartu dengan aliran listrik 6. Laminating, yaitu penutupan kartu dengan plastik pengaman

KTP-el dilindungi dengan keamanan pencetakan seperti relief

text, microtext, filter image, invisible ink dan warna yang berpendar di bawah sinar

internasional NISTIR 7123 dan Machine Readable Travel Documents ICAO 9303 serta

EU Passport Specification 2006. Bentuk KTP elektronik sesuai dengan

dengan format seukura

1.6.6.6 Keunggulan dan Kelemahan KTP-el

Adapun keunggulan dari penggunaan KTP-el bagi masyarakat adalah:

1. Identitas jati diri tunggal

2. Tidak dapat dipalsukan

3. Tidak dapat digandakan

4. Dapat dipakai sebagai kartu suara dalam

5. Biaya paling murah, lebih ekonomis daripada biometrik yang lain

6. Bentuk dapat dijaga tidak berubah karena gurat-gurat sidik jari akan kembali ke

bentuk semula walaupun kulit tergores

(42)

Sedangkan kelemahan dari penggunaan KTP-el bagi masyarakat adalah:

Dalam pelaksanaannya, penggunaan KTP-el terbukti masih memiliki kelemahan.

Misalnya tidak tampilnya tanda tangan sipemilik di permukaan KTP. Tidak tampilnya

tanda tangan di dalam KTP-el tersebut telah menimbulkan kasus tersendiri bagi

sebagian orang. Misalnya ketika melakukan transaksi dengan lembaga

el tidak diakui karena tidak adanya tampilan tanda tangan. Ada beberapa kasus

pemegang KTP-el tidak bisa bertransaksi dengan pihak bank karena tidak adanya tanda

tangan. Tanda tangan yang tercetak dalam chip itu tidak bisa dibaca bank karena tak

punya alat (card reader). Akhirnya pihak pemegang KTP-el terpaksa harus meminta

rekomendasi dari Kepala Dinas Kependudukan dan

bank.

1.6.6.7 Syarat Pembuatan KTP-el

Seiring dengan telah ditetapkannya

merupakan Perubahan Kedua atas Permendagri No. 9 Tahun 2011 tentang Pedoman

Penerbitan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara Nasional. Berikut

beberapa syarat yang harus dibawa pada saat akan membuat KTP-el:

1. Setiap penduduk yang telah mencapai usia 17 tahun sudah atau pernah kawin

wajib mengurus pembuatan KTP.

2. Mengisi formulir permohonan penerbitan KTP-el.

3. Melampirkan NIK dan fotocopy kartu keluarga (KK) penduduk yang

(43)

1.6.6.8 Prosedur Pembuatan KTP-el

Berdasarkan Permendagri No. 8 Tahun 2016 yang merupakan Perubahan Kedua

atas Permendagri No. 9 Tahun 2016 tentang Pedoman Penerbitan KTP Berbasis Nomor

Induk Kependudukan secara nasional. Berikut tata cara pembuatan e-KTP:

a. Penduduk melapor kepada petugas di tempat pelayanan KTP-el, dengan

mengisi formulir permohonan dan membawa persyaratan berupa:

1) NIK; dan

2) Fotokopi Kartu Keluarga.

b. Petugas di tempat pelayanan KTP-el memproses dengan tata cara:

1) Merekam isi formulir permohonan KTP-el ke dalam database

kependudukan;

2) Melakukan verifikasi data penduduk secara langsung;

3) Melakukan pengambilan dan perekaman pas photo, tanda

tangan, sidik jari penduduk, dan iris mata;

4) Membubuhkan tanda tangan dan stempel tempat pelayanan

KTP-el pada Formulir Permohonan;

5) Formulir permohonan yang dimaksud sebagai bukti telah

dilakukan verifikasi, pengambilan dan perekaman pas photo, tanda

tangan, sidik jari, dan iris mata penduduk;

6) Melakukan penyimpanan data dan biodata penduduk ke dalam

database di tempat pelayanan KTP-el;

7) Data yang disimpan dalam database dikirim melalui jaringan

komunikasi data ke server Automated Fingerprint Identification

(44)

8) Data penduduk disimpan dan dilakukan proses identifikasi

ketunggalan jati diri seseorang;

9) Hasil identifikasi sidik jari penduduk dilakukan

apabila: a) identitas tunggal, data dikembalikan ke tempat

pelayanan KTP-el;dan

b) identitas ganda, dilakukan klarifikasi dengan tempat

pelayanan KTP-el.

10) Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten/Kota

melakukan personalisasi data yang sudah diidentifikasi ke dalam

blangko KTP-el;

11) Setelah dilakukan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

Kabupaten/Kota mendistribusikan KTP-el ke tempat pelayanan

KTP-el;

12) Menerima KTP-el dan melakukan veriflkasi melalui

pemadanan sidik jari penduduk;

13) Hasil verifikasi sidik jari penduduk:

a) apabila datanya sama, maka KTP-el diberikan kepada

penduduk;

b) apabila datanya tidak sama, maka KTP-el tidak diberikan

kepada penduduk.

14) Jika terdapat data yang tidak sama sebagaimana dimaksud ,

Petugas di tempat pelayanan KTP-el mengembalikan KTP-el ke

Kementerian Dalam Negeri melalui Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil Kabupaten/Kota untuk dimusnahkan.

c. Penduduk dapat mengambil KTP-el apabila membawa

(45)

d. Database kependudukan dikonsolidasikan dan disimpan dalam

database kependudukan Kementerian Dalam Negeri.

1.7 Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil)

1.7.1 Visi dan Misi Disdukcapil Kabupaten Samosir

Visi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir adalah :

Visi dijabarkan lebih lanjut ke dalam misi yang akan menjadi tanggung

jawab Visi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Samosir. Dengan

pernyataan misi diharapkan seluruh anggota organisasi dan pihak yang

berkepentingan dapat mengetahui dan mengenal keberadaan serta peran instansi

pemerintah dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan. Oleh karena itu Misi

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Samosir dirumuskan sebagai

berikut :

Misi Meningkatkan Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipilsebagai institusi pelayanan administrasi kependudukan. Pelayanan

Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir berperan

sebagai pelaksana fungsi pemerintahan dalam bidang administrasi kependudukan

yaitu mampu menghasilkan produk pelayanan yang cepat, tepat dan akurat. “ Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang

berkualitas tahun 2015-2020”

(46)

Kuantitas SDM yang berkualitas menjadi kunci keberhasilan proses pelayanan

administrasi kependudukan. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia merupakan

peningkatan kapasitas individu dalam mengemban beban tugas masing-masing

dalam organisasi.

1.7.2 Susunan Organisasi dan Tata Kerja Disdukcapil Kabupaten Samosir

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Samosir dibentuk

berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Samosir No. 22 Tahun 2007 tentang

Organisasi dan Tata kerja Dinas-dinas Kabupaten Samosir, terdiri dari :

a) Pimpinan yaitu : Kepala Dinas

b) Sekretaris :

1) Sub bagian Umum, Keuangan dan Kepegawaian;

2) Sub bagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan.

c) Bidang Pelayanan Pendaftaran Penduduk, terdiri dari :

1) Seksi Identitas Penduduk;

2) Seksi Pindah Datang;

3) Seksi Pendataan Penduduk.

d) Bidang Pelayanan Pencatatan Sipil, terdiri dari :

1) Seksi Pencatatan Kelahiran;

2) Seksi Pencatatan Perkawinan dan Perceraian,

(47)

e) Bidang Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan dan

Pemanfataan Data, terdiri dari:

1) Seksi Informasi Admnistrasi Kependudukan;

2) Seksi Pengolahan dan Penyajian Data Kependudukan.

3) Seksi Kerjasama dan Inovasi Pelayanan

f) Kelompok Jabatan Fungsional;

g) Unit Pelaksana Teknis Dinas.

1.7.3 Tupoksi Disdukcapil Kabupaten Samosir

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir dalam

melaksanakan pelayanan administrasi kependudukan terhadap masyarakat membuat

suatu uraian tugas dan fungsi. Maksud dibuatnya suatu tugas dan fungsi agar pelayanan

yang diberikan bisa memenuhi sasaran pelayanan yang memuaskan bagi masyarakat dan

menghasilkan hasil kinerja yang terarah dan berhasil guna. Tugas pokok Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir adalah penyusunan dan

pelaksanaan kebijakan daerah dibidang Administrasi Kependudukan.

Untuk melaksanakan tugas pokok dimaksud, Dinas Kependudukan dan Pencatatan

Sipil Kabupaten Samosir mempunyai fungsi :

1. Pengumpulan, pengelolaan dan pengendalian data yang berbentuk database

serta analis data untuk penyusunan program kegiatan;

2. Perencanaan strategis pada bidang Kependudukan dan Pencatatan Sipil;

(48)

4. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan urusan umum bidang

Kependudukan dan Pencatatan Sipil;

5. Pembinaan dan pelaksanaan tugas bidang Kependudukan dan Pencatatan Sipil;

6. Pelaksanaan, pengawasan, pengendalian serta evaluasi dan pelaporan

penyelenggaraan bidang Kependudukan dan Pencatatan Sipil;

7. Pelaksanaan standart pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan pada bidang

Kependudukan dan Pencatatan Sipil;

8. Pelayanan pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi

kependudukan dan penyerasian perkembangan penduduk;

9. Pengkoordinasian integrasi dan sinkronisasi kegiatan bidang administrasi

kependudukan dan penyerasian perkembangan penduduk di lingkungan

pemerintah daerah;

10.Pembinaan kepada penduduk tentang Kependudukan dan Pencatatan Sipil;

11.Pelaksanaan kerjasama dengan lembaga Pemerintah dan lembaga lainnya;

12.Koordinasi dengan instansi terkait dalam hal kebijakan kependudukan, tertib

administrasi kependudukan dan analis dampak kependudukan;

13.Pelaksanaan Sistem Administrasi Kependudukan (SIAK);

14.Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data kependudukan

15.Perlindungan data pribadi penduduk dalam proses dan hasil pendaftaran

penduduk serta pencatatan sipil pada database kependudukan;

16.Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran

penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan

(49)

17.Pengawasan dan pengendalian atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk,

pencatatan sipil, pengelolaan informasi admministrasi kependudukan dan

penyesuaian perkembangan penduduk.

1.7.4 Ruang Lingkup Pelayanan

a. Pelayanan Pendaftaran Penduduk, yang meliputi penerbitan:

1. Kartu Keluarga (KK)

2. Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-L)

3. Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS)

4. Surat Keterangan Tinggal Tetap (SKTT)

5. Surat Keterangan Pindah WNI

6. Surat Keterangan Tinggal Tetap WNA

7. Surat Keterangan Tinggal Terbatas WNA

8. Surat Keterangan Pindah Luar Negeri (SKPLN)

9. Keterangan Pindah Luar Negeri (KPLN)

10. Surat Keterangan Datang Luar Negeri (SKDLN)

b. Pelayanan Pencatatan Sipil, yang meliputi penerbitan:

1. Akta Kelahiran

2. Akta Kematian

3. Akta Perkawinan

4. Akta Perceraian

5. Akta Pengangkatan Anak

(50)

7. Akta Pengakuan Anak

8. Akta Pengesahan Anak

c. Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan dan Pemanfaatan Data, yang

meliputi:

1. System informasi administrasi kependudukan

2. Pengelolaan dan penyajian data administrasi kependudukan

3. Kerjasama dan inovasi

1.8 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan alat berpikir peneliti dalam penlitian, untuk

mengetahui bagaimana alur berpikir peneliti dalam menjelaskan permasalahan

penelitian sehingga perlu dibuat suatu bentuk kerangka pemikiran. Dalam penelitian ini

yang menjadi fokus penelitian adalah Implementasi Kebijakan Pelayanan KTP-el di

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir. Adapun kerangka

(51)

.35/2010 (Pembahasan

(52)

1.9 Operasional Konsep

Karena penelitian kualitatif bukanlah suatu penelitian yang bersifat mengukur

suatu variabel maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan operasional konsep

sebagai pedoman dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian mengenai

Implementasi Kebijakan Pelayanan KTP-el di Dinas Kependudukan dan Pencatatan

Sipil Kabupaten Samosir, peneliti memakai teori Van Metter dan Van Horn sebagai

pedoman dalam melakukan penelitian. Implementasi Kebijakan Pelayanan KTP-el di

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Samosir dilihat dari:

a. Sasaran (standar) dan Tujuan Kebijakan

Keberhasilan suatu kebijakan dilihat dari ukuran kebijakan atau tujuan

kebijakan apabila terlalu ideal untuk dilaksanakan di level warga, maka agak

sulit merealisasikan kebijakan public hingga titik yang dapat dikatakan

berhasil.

b. Sumber daya

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari

kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia, meliputi:

1. Manusia: Ketersediaan SDM dalam proses implementasi kebijakan

pelayanan KTP-el.

2. Finansial: Ketersediaan sumber daya financial untuk merealisasikan apa

yang hendak dituju oleh kebijakan public tersebut.

3. Sarana dan prasarana: Ketersediaan sarana dan prasarana untuk

melancarkan proses pembuatan KTP-el.

(53)

1. Kompetensi dan ukuran staff suatu badan: Kemampuan implementor

dalam melaksanakan pelayanan KTP-el sesuai dengan peraturan yang

berlaku yaitu petunjuk teknis dan petunjuk pelaksana.

2. Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”: Bagaimana jaringan kerja

komunikasi horizontal dan vertical secara bebas serta tingkat kebebasan

yang secara relative tinggi dalam komunikasi dengan individu diluar

organisasi.

3. Kaitan formal dan informal: Bagaimana hubungan formal dan informal

suatu badan dengan pembuat keputusan atau pelaksana keputusan.

d. Komunikasi antar organisasi aktivitas pelaksana

Koordinasi implementor dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses

implementasi baik internal maupun eksternal.

e. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik

Sejauh mana lingkungan eksternal social, ekonomi dan politik turut

mendorong keberhasilan kebijakan yang telah ditetapkan.

f. Disposisi (sikap) dari para pelaksana

Mencakup:

1. Respon implementor terhadap kebijakan apakah menerima, netral, atau

menolak.

2. Apa yang mempengaruhi kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan

kebijakan antara lain pengetahuan, pemahaman, dan pendalaman terhadap

(54)

3. Intensitas implementor terhadap kebijakan: nilai yang dimiliki

(55)

1.10 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, focus masalah, rumusan

masalah , tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori,

defenisi konsep, dan sistematika penulisan.

BAB II METODE PENELITIAN

Bab ini terdiri dari jenis penelitian, lokasi penelitian, informan

penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang gambaran lokasi penelitian berupa

sejarah singkat, visi dan misi, tugas dan fungsi serta struktur organisasi.

BAB IV PENYAJIAN DATA

Bab ini memuat hasil pengumpulan data di lapangan. Dalam bab

ini akan dicantumkan semua data yang diperoleh di lapangan.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat analisis data yang diperoleh saat penelitian

dilakukan dan memberikan interpretasi terhadap masalah yang

diteliti.

BAB VI PENUTUP

Gambar

Gambar 1.1 Tahap Kebijakan Publik
Gambar 1.2 KTP Kabupaten (1978)
Gambar 1.4 KTP-el 2011
Gambar 1.5 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Data hasil dari kuesioner yang diperoleh dengan wawancara langsung pada customer, kemudian diolah dan dirangkum untuk dijadikan dasar dalam membuat Permintaan

Pemilu dalam negara demokrasi Indonesia merupakan media atau sarana yang diberikan oleh Negara untuk pergantian pemegang kekuasaan baik dieksekutif maupun

Penaksir yang dibahas merupakan kombinasi penaksir rasio dan penaksir regresi pada sampling acak sederhana menggunakan median dan koefisien skewness, yang merupakan review

Untuk balok atau plat satu arah dengan tebal karena nilai yang tertera dalam daftar lendutannya harus dihitung dan ukuran tersebut dapat digunakn apabila.. lendutan memenuhi

kegiatan ekonomi serta segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan ekonomi di dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan tuntunan akhlaqul karimah secara bertahap dan

“...untuk mendukung terwujudnya lingkungan pemukiman yang memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keandalan bangunan, suatu lingkungan pemukiman yang tidak

Untuk mendapatkan bahan komposit anti radar yang mempunyai daya serap tinggi yaitu sebagai material penyerap gelombang radar pada frekuensi 2-18 GHz yang nantinya

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul: PENGARUH RESIKO KREDIT, RESIKO PASAR, DAN RESIKO LIQUIDITAS TERHADAP PEMBIAYAAN MURABAHAH DI PERBANKAN