• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Strategi Bertahan Hidup Penghuni Pemukiman Kumuh Di Sepanjang Bantaran Rel Kereta Api Di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Strategi Bertahan Hidup Penghuni Pemukiman Kumuh Di Sepanjang Bantaran Rel Kereta Api Di Kelurahan Bantan Kecamatan Medan Tembung Kota Medan"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang baik selalu berhubungan dengan penelitian yang sudah

dilakukan. Terdapat penelitian – penelitian terdahulu yang ada hubungannya

dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang dapat dijadikan sebagai

pembanding. Adapun penelitian yang menjadi pembanding, yaitu :

Penelitian yang dilakukan Afriani Simanjuntak (2013) berjudul “Strategi Bertahan Hidup Penghuni Pemukiman Kumuh (Studi Kasus di Bantaran Rel Kereta Api Kelurahan Tegal Sari Mandala II Medan). Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi dan menganalisis karakteristik kemiskinan serta strategi

yang dilakukan untuk beretahan hidup di pemukiman kumuh bantaran rel kereta

api kelurahan Tegal Sari Mandala II Medan. Penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif yang bersifat deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan kemiskinan yang terjadi karena faktor

individual dan struktural yang kerap menjerat dalam lingkaran kemiskinan.

Hambatan – hambatan stuktural yang menjerat di perkotaan membuat mereka

untuk mengambil pilihan bekerja dalam lingkup strata sosial rendah di perkotaan.

Motif warga di kawasan pemukiman kumuh adalah karena daerah strategis untuk

memelihara hewan ternak yaitu babi. Letak yang strategis tidak terlepas dari letak

kelurahan Tegal Sari Mandala II yang jauh dari pusat kota. Sementara strategi

(2)

lebih banyak anggota keluarga untuk bekerja, memulai usaha kecil – kecilan,

memulung barang – barang bekas, menyewakan kamar, menggadaikan barang,

meminjam uang dari bank atau lembaga keuangan lain.

Penelitian lain dilakukan oleh Waston Malau (2014) berjudul “Analisis Kehidupan Ekonomi dan Sosial Budaya Penduduk di Daerah Slum (Slum Area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kehidupan ekonomi dan sosial budaya serta

strategi adaptasi penduduk di daerah slum (slum area) di kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan. Jenis penelitian ini adalah penelitian

kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen dan studi

lapangan dengan menggunakan observasi dan wawancara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan ciri-ciri pemukiman kumuh di kelurahan

Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan antara lain rumah yang

dibangun secara berdempetan dan tidak teratur ; dinding rumah terbuat dari tepas,

papan/tripleks dan sebagian terbuat dari setengah batu bata tanpa plester dan

setegah papan/tripleks ; atap rumah terbuat dari seng dan rumbia ; lantai rumah

menggunakan semen kasar dan ada sebagian masih menggunakan tanah liat ;

lingkungan pemukiman terlihat jorok ; kurangnya fasilitas penerangan, air bersih

dan MCK. Sementara strategi bertahan hidup yang dilakukan antara lain : mencari

pekerjaan sampingan, menambah jam kerja, meminjam uang, mengutang di

warung, mengurangi kuantitas dan kualitas makanan, menghemat atau

mengurangi pengeluaran.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Anita stafitri (2013) berjudul

(3)

Masyarakat Kota Medan)”. Penelitin ini bertujuan Untuk mengetahui dampak dari terjadinya kesenjangan sosial di Kota Medan. Jenis penelitian adalah

penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen dan

studi lapangan dengan menggunakan observasi dan wawancara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan kesenjangan sosial yang terjadi dikarenakan

pola hidup kehidupan, keadaan bangunan rumah, pola asuh, pendidikan,

pekerjaan, penghasilan dan yang paling radikal perbedaannya adalah secara

finansial dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari; Munculnya

eksklusivisme secara besar-besaran, karena memiliki uang yang banyak;

Munculnya sifat individualisme yang sangat kuat, dikarenakan kehidupan

masyarakat yang memiliki kesenjangan sosial; Semakin meningkatknya angka

kriminalitas, karena perbedaan yang sangat radikal mengakibatkan terjadinya

kecemburuan sosial.

Penelitian lain yang dilakukan oleh dharma prakasa (2013) berjudul

“Strategi berthan hidup masyarakat nelayan pantai depok di Desa Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul Yogyakarta”. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Sumber data

yang diperoleh melalui kata-kata dan tindakan, sumber tertulis serta foto.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi bertahan hidup yang

dilakukan adalah dengan melakukan diversifikasi pekerjaan, baik yang terkait

dengan kegiatan kenelayanan maupun di luarnya. Melakukan diversifikasi

pekerjaan tergantung pada sumbersumber daya yang tersedia di desa-desa

nelayan tersebut. Ada beragam peluang pekerjaan yang dapat dilakukan

(4)

ikan, di antaranya adalah sebagai petani, penjual jasa, dan bangunan,

Dengan melakukan diversifikasi pekerjaan, bagi nelayan memiliki makna

yang sangat berarti bagi kelangsungan ekonomi rumah tangganya. Hal ini

terkait dengan ketidakteraturan dan ketidakstabilan penghasilan mereka dari

hasil melaut. Selain deversifikasi di atas, mereka juga melakukan mencari

penghasilan tambahan, mendahulukan kebutuhan pokok, dan menekan

pengeluaran

Penelitian lain yang dilakukan oleh Dewi Fitria Rahmawati (2013)

berjudul “Strategi Survival Petani tambak Di tengah Bencana Industri Lumpur Lapindo Desa Penatarsewu, Kecamatan tanggulangin Kabupaten Sidoarjo”.

Penelitian ini menggunakan Penelitian yang dilakukan ini termasuk dalam

penelitian kualitatif, denganmenggunakan Metode Studi Kasus. Penelitian ini

berupaya melihat, mendeskripsikan dan memahami fenomena yang terjadi pada

masyarakat.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pembuangan limbah bencana

industri lumpur Lapindo dilakukan melaluiSungai Porong, Sungai Ketapang dan

badan-badan air disekitarnya.Kondisi tersebut jelas akan mencemari ekosistem air

atau sungai yang ada,dan menimbulkan dampak lingkungan bagi masyarakat

terutama bagimereka petani tambak; Dengan kondisi tersebut, maka petani

tambak yang ada di DesaPenatarsewu melakukan strategi survival untuk

mempertahankan kehidupannya mereka;

(5)

2.2.1 Definisi Strategi Adaptasi

Pada zaman lampau dalam beradaptasi, manusia-lah yang harus

menyesuaikan diri dengan lingkungannya, seperti dengan pola curah hujan dan

vegetasi alam, dan sampai taraf tertentu dengan siklus biologis dan kebutuhan

hewan piaraan mereka. Seringkali perubahan alam itu menyebabkan mereka

melakukan migrasi musiman agar mereka tetap dapat bertahan hidup (Roger M

Keesing,1999, hal. 138 – 139).

Dalam bukunya Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing Usman Pelly (1994) menuliskan bahwa strategi adaptasi adalah cara-cara yang dipakai oleh pendatang baru (perantau) untuk

mengatasi rintangan-rintangan yang mereka hadapi dan untuk memperoleh suatu

kesimbangan positif dengan kondisi-kondisi latar belakang perantauan. Lebih

lanjut ia menuliskan bahwa strategi-strategi adaptasi tidak hanya ditentukan oleh

kesediaan atau keengganan dari masyarakat tuan rumah untuk menerima para

perantau dan mengijinkan mereka untuk ikut menikmati sumber daya daerah dan

berperan dalam pemerintahannya.

Strategi tersebut mungkin mereka rencanakan untuk membantu mereka

dalam mencapai suatu tujuan tertentu yang telah terdapat dalam sistem nilai yang

diajarkan oleh tradisi daerahnya masing-masing (misi budaya) dengan tetap

memperhatikan kendala-kendala yang mungkin diberikan oleh masyarakat tuan

rumah.

(6)

untuk mengatasi berbagi permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Strategi

penanganan masalah ini pada dasarnya merupakan kemampuan segenap anggota

keluarga dalam mengelola segenap aset yang dimilikinya.

2.2.2 Jenis-jenis Strategi Adaptasi dan Tujuan

Menurut Edi Suharto (2009:31) menyatakan strategi bertahan hidup (coping strategies) dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga

kategori yaitu:

1. Strategi aktif, yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga

untuk (misalnya melakukan aktivitasnya sendiri, memperpanjang jam

kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitarnya

dan sebagainya) .

2. Strategi pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya, biaya

untuk sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya).

3. Strategi jaringan, misalnya menjalin relasi, baik formal maupun informal

dengan lingkungan sosialnya, dan lingkungan kelembagaan ( misalnya:

meminjam uang dengan tetangga, mengutang di warung, memanfaatkan

program kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau bank, dan

sebagainya).

Petani dan lahan merupakan dua sisi yang saling berhubungan dan tidak

dapat dipisahkan. Lahan merupakan sarana yang dimiliki petani untuk beraktifitas

dalam mempertahankan keberlangsungan kehidupan keluarganya, dengan

terbatasnya lahan yang petani miliki maka mereka harus menyesuaikan diri

(7)

hubungan yang erat, sebagai aset penting yang dimiliki oleh mereka. Masyarakat

pedesaan merupakan masyarakat yang pekerja keras dan dinamis. Nilai kerja

merupakan perilaku manusia yang dapat terjadi sebagai bagian dari sistem norma

masyarakat. Maka dengan mudah mereka dapat beradaptasi dengan keadaan. Hal

itu terjadi karena individu bebas memilih alternatif tertentu secara rasional untuk

mencapai tujuan.

Dalam kehidupannya, manusia hidup dengan alam secara timbal balik,

yakni bagaimana manusia beradapatasi dengan alam agar dapat bertahan demi

keberlangsungan hidupnya dengan mengalihkan energi dari alam pada dirinya.

Adaptasi merupakan sifat sosial dari setiap manusia yang akan muncul akibat

adanya kebutuhan tujuan, dan hasrat para individu.

Adaptasi menurut Soerjono Soekanto (dalam Rabanta,2009:18),

mengemukakan tentang adaptasi dalam beberapa batasan adaptasi sosial:

1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan .

2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.

3. Proses perubahan-perubahan menyesuaikan dengan situasi yang berubah.

4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.

5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan

lingkungan dan sistem.

6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi ilmiah.

Dari batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses

penyesuaian individu, kelompok terhadap norma-norma, perubahan agar dapat

(8)

penyesuaian tersebut Aminuddin (dalam Rabanta, 2009:18) menyebutkan bahwa

penyesuaian dilakukan demi tujuan-tujuan tertentu, diantaranya:

1. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan

2. Menyalurkan ketegangan sosial

3. Mempertahankan kelangsungan keluarga/unit sosial

4. Bertahan hidup

Sementara itu menurut pendapat Nancy B. Graves (1974) dalam

melakukan adaptasi terhadap apa yang mereka hadapi di wilayah rantau,

masyarakat urban mempunyai beberapa variabel yang dapat mempengaruhi

pengambilan keputusan mereka dalam adaptasi, yaitu sebagai berikut:

1. Variabel kognitif yang dapat berupa pengetahuan, kepercayaan terhadap

sesuatu, dan harapan mereka terhadap berbagai kemungkinan dan peluang

yang akan mereka dapatkan di perantauan

2. Variabel motivasi yaitu berupa kebutuhan untuk mencapai sesuatu dan

memberikan masa depan untuk anak-anak mereka di masa yang akan

dating

3. Variabel kepribadian seperti sikap yang fleksibel (lentur) dalam

menghadapi masalah, optimism, kedisiplinan waktu dan sikap berani

mengambil resiko.

Selain itu dalam masyarakat urban terdapat berbagai macam strategi

adaptasi yang mereka lakukan dalam menghadapi dunia barunya. Seorang

laki-laki akan mempunyai strategi yang berbeda dengan seorang perempuan. Seorang

(9)

sedangkan perempuan akan lebih bersifat pasif, termasuk dalam membantu

sesamanya. Strategi adaptasi yang mereka gunakan terdiri dari dua bagian, yaitu:

1. Strategi internal yang terdiri dari reframing (mengubah pendangan bahwa mereka mampu mengatasi permasalahannya) dan pengharapan pasif

(pasrah atau tawakkal).

2. Strategi eksternal yang terdiri dari dukungan spiritual, dukungan sosial dan

pencarian bantuan.

Dalam suatu penelitian terhadap masyarakat pedesaan dan perkotaan,

dapat diketahui bahwa masyarakat pedesaan banyak menggunakan lima strategi

tersebut di atas dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Namun demikian

kedua masyarakat tersebut sama-sama sering menggunakan reframing, dukungan spiritual dan sosial dalam melakukan strategi adaptasinya. Masyarakat perkotaan

kurang banyak menggunakan strategi pengharapan pasif dan lebih sering

menggunakan pencarian bantuan, baik kepada teman atau keluarga, dalam strategi

adaptasinya (Ramona Marotz Baden, 1986).

Strategi yang diterapkan masyarakat miskin tidak lepas dari masalah

kebutuhan hidup atau berkisar tentang masalah perut:

“Dalam tesis Karl Marx menulis bahwa “soal kedamaian dunia itu terletak pada masalah perut. Setiap perut manusia kenyang dan senang, maka dunia dengan sendirinya akan damai” (Suara Hidayatullah, 2007).

Jika menunggu kedamaian sampai perut manusia kenyang, suatu hal yang

mustahil untuk diwujudkan. Perut manusia tidak akan kenyang sekalipun seluruh

harta di dunia dihabiskan. Tesis Marx menjadi sebuah renungan bahwa

kelangsungan hidup berkisar pada masalah perut atau pemenuhan kebutuhan

(10)

ekonomi yang serba terbatas akan memaksa manusia untuk melakukan strategi

untuk bertahan hidup (life survive).

Kemiskinan dalam kehidupan manusia pada belahan duniapun senantiasa

tidak terlepas dari kebutuhan hidup dan strategi bertahan hidup, baik masyarakat

perkotaan maupun masyarakat yang tinggal dipedesaan. Masyarakat akan bereaksi

dengan rangsangan-rangsangan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Segala upaya dengan menggunakan cara, metode, dan pengalaman manusia

merupakan salah satu usaha demi kelangsungan hidup.

Menurut Partini dkk (1988) strategi sering dilakukan untuk menyisati kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup, terutama dalam keadaan mendesak atau mendadak. Strategi dengan melakukan pinjaman, menjual barang-barang simpanan seperti perhiasan, menggadaikan barang, dengan usaha lembur. Starategi ini sering dilakukan untuk kebutuhan mendadak seperti dalam keadaan sakit, membayar sewa rumah, kekurangan dalam kebutuhan hidup sehari-hari dan lain-lain”. (Juwanita,2004:29).

Pemenuhan kebutuhan hidup tidak akan lepas bagaimana stategi yang

diterapakan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Sehubungan dengan ini, George

Corner (1980) mengemukakan bahwa:

Strategi-strategi kelangsungan hidup berputar sekitar akses sumber daya dan pekerjaan. Dalam perebutan ini kelompok-kelompok miskin bersaing; bukan hanya dengan yang kaya, akan tetapi diantara mereka sendiri”. (DC Contes dan Sharir, 1980: 87.

Segala usaha, daya dan potensi yang dimiliki oleh setiap orang, tentunya

bersaing dalam memenuhi kebutuhan hidup agar tetap survive. Strategi kelangsungan hidup yang digunakanpun berbeda sesuai dengan daya dan juga

kesempatan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dapat

dikatakan bahwa faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap kelangsungan

(11)

selain itu faktor lingkungan tidak dapat dilepaskan. Masyarakat harus

menggunakan, berpartisipasi, dan menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan

lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar dapat tetap hidup.

2.3 Pemukiman Kumuh

Pemukiman kumuh adalah suatu pemukiman yang kondisi fisik dan

hunian dan tata ruangnya mengungkapkan kondisi kurang mampu atau miskin

dari para penghuninya. Penataan ruang hunian dan pemukiman yang semrawut

yang disebabkan oleh penggunaan ruang yang tinggi tingkat kepadatan volume

maupun frekuensinya, dan serba kotor atau tidak terawat dengan baik. Disamping

itu, pemukiman kumuh juga kurang memadai dalam hal fasilitas-fasilitas umum,

seperti air bersih , pembuangan air limbah, sampah, jalan, dan berbagai fasilitas

untuk kegiatan sosial orang dewasa dan tempat bermain bagi anak-anak.

Pemukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya pemukiman

berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya pemukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana

lingkungan. Perumahan menitik beratkan pada fisik atau benda mati, yaitu houses

dan land settlement. Pemukiman memberikan kesan tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga

pemukiman menitik beratkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda

mati yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan pemukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya,

(12)

Pemukiman kumuh merupakan sebuah satuan kehidupan atau komoditi

yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas sosial dan budaya yang jelas.

Sedangkan batas-batas fisik pemukiman kumuh dengan pemukiman biasa di kota

terwujud secara :

(1) Jelas batas-batasnya, yaitu sebagai sebuah pemukiman liar, karena

merupakan sebuah pemukiman tersendiri yang terpisah dari pemukiman

biasa.

(2) Samar-samar batas-batas fisiknya, karena kekumuhan tersebut tersebar di

antara rumah-rumah dan wilayah yang tidak kumuh yang merupakan

bagian dari sebuah RT atau RW

(3) Jelas tetapi samar-samar batas-batasnya, karena pemukiman kumuh

tersebut merupakan sebuah komoditi yang terwujuh sebagai sebuah RT

atau RW dari sebuah kelurahan yang ada setempat (Menno, 1994).

Ciri-ciri pemukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh

(Suparlan;1984:188) adalah:

1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.

2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangannya

mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.

3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam

penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga

mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan

ekonomi penghuninya.

4. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup

(13)

yaitu terwujud sebagai: (a) Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik

negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar; (b) Satuan

komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RukunTetangga,

atau sebuah Rukun Warga; (c) Sebuah satuan komuniti tunggal yang

terwujud sebagai sebuah Rukun Tetangga atau Rukun Warga atau bahkan

terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian liar;

5. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen,

warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang

beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat

pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas

kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.

6. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja

di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor

informil (Kurniasih, 2007).

Sementara itu pandangan lain mengenai ciri pemukiman kumuh

disampaikan Sinulingga (2005), menurutnya ciri kampung/pemukiman kumuh

terdiri dari:

a. Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/ha. Pendapat para ahli

perkotaan (MMUDP,90) menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu

kawasan telah mencapai 80 jiwa/ha maka timbul masalah akibat kepadatan

ini, antara perumahan yang dibangun tidak mungkin lagi memiliki

(14)

b. Jalan-jalan sempit tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena

sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap

rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain.

c. Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat

jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah

akan tergenang oleh air.

d. Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya

yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah,

ataupun ada juga yang membuangnya ke sungai yang terdekat.

e. Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur

dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan.

f. Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada

umumnya tidak permanen dan malahan banyak yang darurat.

g. Kondisi a sampai f membuat kawasan ini sangat rawan terhadap penularan

penyakit.

h. Pemilikan hak atas lahan sering tidak legal, artinya status tanahnya masih

merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa.

Sementara itu dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang

Perumahan dan Pemukiman, yang menyatakan bahwa:

(15)

Jadi pemukiman kumuh adalah lingkungan hunian atau tempat

tinggal/rumah beserta lingkungannya, yang berfungsi sebagai rumah tinggal dan

sebagai sarana pembinaan keluarga, tetapi tidak layak huni ditinjau dari tingkat

kepadatan penduduk, sarana dan prasarananya, fasilitas pendidikan, kesehatan

serta sarana dan prasarana sosial budaya masyarakat.

2.3.1. Faktor Penyebab Munculnya Kawasan Kumuh

Hariyanto (2007) pemukiman liar atau hunian liar di wilayah perkotaan

muncul di negara-negara sedang berkembang karena serbuan para pendatang dari

wilayah pedesaan yang berada di sekeliling kota yang bersangkutan. Adanya

serbuan ini disebabkan oleh adanya perbedaan yang mencolok antara taraf

kesejahteraan hidup di desa dengan taraf kesejahteraan hidup di kota.

Bermukimnya pendatang-pendatang dari wilayah pedesaan ataupun

wilayah-wilayah di sekeliling sebuah kota hanya dapat terjadi kalau kehadiran mereka itu

di kota adalah fungsional dalam struktur-struktur kegiatan pemenuhan kebutuhan

–kebutuhan yang ada di kota tersebut. Karena dengan berfungsinya para

pendatang tersebut dalam struktur-struktur pemenuhan perkotaan maka mereka itu

dapat hidup dari imbalan jasa yang mereka terima dan mereka itu dibutuhkan

untuk menghidupi berjalannya sistem-sistem atau sebagian dari sistem-sistem

perkotaan yang bersangkutan.

Salah satu dari struktur-struktur pemenuhan kebutuhan perkotaan yang

dilayani pemenuhan kebutuhan-kebutuhan oleh para pendatang ini adalah

kegiatan pelayanan menggunakan tenaga kasar sebagai buruh bangunan. Sebagai

(16)

harus dipenuhi, yang walaupun tersedia dalam sektor-sektor formal, tetapi tidak

terjangkau oleh pendapatan mereka sebagai buruh. Yang terjadi adalah munculnya

berbagai kegiatan pelayanan, yang bersifat informal atau yang tidak secara formal

ada dalam peraturan pemerintahan kota, untuk melayani kebutuhan-kebutuhan

para pendatang dari pedesaan yang bekerja di kota. Sistem-sistem pelayanan

tersebut mencakup kebutuhan-kebutuhan penginapan, makan, minum, kesehatan,

pakaian, hiburan, dan berbagai pelayanan yang terkait dengan itu. Sistem-sistem

pelayanan ini dilakukan oleh para pendatang dari desa, sejenis dengan

buruh-buruh bangunan tersebut, atau pendatang-pendatang dari desa yang khusus datang

ke kota untuk itu.

Para pendatang dari pedesaan yang melayani kebutuhan-kebutuhan para

buruh bangunan tersebut juga memerlukan fasilitas dan sarana perkotaan untuk

pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka., sama dengan kaum buruh

bangunan seperti tersebut di atas. Salah satu di antara pemenuhan kebutuhan yang

harus dipenuhi adalah tempat untuk istirahat dan tidur, atau tempat tinggal dan

bermukim. Cara yang paling murah adalah dengan menempati tanah-tanah kosong

yang ada dalam wilayah kota, milik negara atau kota yang bersangkutan.

Penempatan atau pendudukan mereka atas wilayah-wilayah kota secara liar,

sebenarnya hanya mungkin terjadi kalau ada orang atau oknum yang merasa

mempunyai kekuasaaan dan diakui kekuasaannya untuk memberi izin bagi

penempatan secara liar tersebut. Di sinilah sebetulnya titik yang menentukan dari

asal muasalnya tumbuh dan berkembangnya pemukiman liar, seperti digambarkan

(17)

termasuk gelandangan dalam pengertian iini dapat dilihat sebagai konsekwensi

perkembangan kota.

Perkembangan kota yang dihasilkan dari konsekwensi ciri-ciri perkotaan

dari kota, di negara-negara berkembang tidak dibarengi secara sejajar dengan

perkembangan lembaga-lembaga pemerintahan kota yang mengatur berbagai

bentuk dan corak sistem pelayanan, serta tidak dibarengi dengan secara bersamaan

naiknya tingkat pendapatan dari para warga kota yang bersangkutan secara sama

atau merata. Dampaknya adalah yang terutama munculnya kegiatan-kegiatan

sektor informal, atau kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan yang tidak

terjangkau oleh sistem-sistem pelayanan yang formal dalam bidang jasa, uang,

dan barang, yang dengan demikian sebenarnya sektor informal dan hunian liar

tersebut telah membebani kota degan berbagai limbah yang dihasilkan oleh

hunian liar dan oleh kegiatan-kegiatan sektor informal, sedangkan pemasukan

uang ke pemerintahan kota melalui pajak tidak memadai karena pengaturannya

yang kurang jelas. Pengaturannya yang kurang jelas telah memungkinkan oknum

dari lembaga-lembaga pemerintahan kota untuk bertindak menarik pajak atas

nama pemerintahan kota untuk kepentingan sendiri, baik yang dilakukan secara

langsung ataupun dilakukan melalui orang atau sejumlah orang lainnya.

Dengan kata lain hunian liar ada dan berkembang bersamaan dengan

kegiatan-kegiatan sektor informal dan sektor-sektor kehidupan ekonomi lapisan

bawah dari masyarakat perkotaan. Mereka ini ada dan lestari karena fungsional

dalam berbagai struktur kehidupan ekonomi yang formal maupun yang informal.

Jadi , hunian liar bila dilihat dalam suatu kerangka sistem merupakan unsur yang

(18)

tingkat-tingkat tertentu dari proses-proses yang berlaku dalam sistem tersebut.

Karena itu, walaupun fungsional, tetapi juga bertentangan dengan fungsi dari

berbagai unsur lainnya yang ada dalam sistem perkotaan; atau bahkan dapat

dikatakan merugikan kalau dilihat secara ekonomi, kesejahteraan hidup warga

kota, dan fungsi kota sebagai pusat perkembangan kebudayaan dan peradaban dari

sebuah negara.

Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan faktor penyebab munculnya

kawasan kumuh (slum dan squatter) dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu faktor yang bersifat langsung dan faktor yang bersifat tidak langsung (Hariyanto, 2007).

Faktor – faktor tersebut dijelaskan sebagai berikut :

1. Faktor Yang Bersifat Langsung

Faktor-faktor yang bersifat langsung yang menyebabkan munculnya

kawasan kumuh adalah faktor fisik (kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan).

Faktor lingkungan perumahan yang menimbulkan kekumuhan meliputi kondisi

rumah, status kepemilikan lahan, kepadatan bangunan, koefisien Dasar Bangunan

(KDB), dll, sedangkan faktor sanitasi lingkungan yang menimbulkan

permasalahan meliputi kondisi air bersih, MCK, pengelolaan sampah,

pembuangan air limbah rumah tangga, drainase, dan jalan.

Kondisi lingkungan perumahan yang menyebabkan timbulnya kekumuhan

adalah keadaan rumah yang mencerminkan nilai kesehatan yang rendah,

kepadatan bangunan yang tinggi, koefisien dasar bangunan (KDB) yang tinggi,

serta status lahan yang tidak jelas (keberadaan rumah di daerah marjinal) seperti

(19)

daerah marjinal berpotensi terkena banjir pada saat musim hujan. Dengan

demikian nilai kekumuhan tertinggi pada saat musim penghujan.

Sedangkan faktor sanitiasi lingkungan yang menyebabkan kekumuhan

seperti kurangnya sarana air bersih yang terlihat dari banyaknya masyarakat yang

memanfaatkan air dari sumber yang tidak bersih sehingga berpotensi

menimbulkan penyakit akibat mengkonsumsi air yang tidak sehat, rendahnya

penggunaan MCK serta banyaknya masyarakat yang membuang hajat secara tidak

sehat, sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran organic dan peningkatan

bakteri coli, yang akan menimbulkan dampak lanjutan berupa gangguan kesehatan

masyarakat.

Belum adanya pengelolaan sampah yang baik menjadi salah satu unsur

penentu timbulnya kekumuhan. Akibat tidak adanya sistem pengelolaan sampah

dan kurangnya sarana pembuangan sampah mengakibatkan terjadinya

penumpukan sampah di pekarangan. Tidak berfungsinya sistem jaringan drainase

juga merupakan salah satu penyebab munculnya kawasan kumuh. Kondisi ini

menimbulkan tambahan prolematika lingkungan antara lain terjadinya banjir

(genangan) akibat penyumbatan sungai dan saluran air (drainase).

Faktor terakhir yang dinilai memiliki dampak langsung terhadap

timbulnya lingkungan kumuh adalah pembuangan limbah rumah tangga dan

kondisi jaringan jalan. Rendahnya kualitas sistem pembuangan air limbah rumah

(20)

2. Faktor Yang bersifat Tidak Langsung

Faktor-faktor yang bersifat tidak langsung adalah faktor-faktor yang secara

langsung tidak berhubungan dengan kekumuhan tetapi faktor-faktor ini

berdampak terhadap faktor lain yang terbukti menyebabkan kekumuhan.

Faktor-faktor yang dinilai berdampak tidak langsung terhadap kekumuhan adalah Faktor-faktor

ekonomi masyarakat, sosial dan budaya masyarakat.

Faktor ekonomi yang berkaitan dengan kekumuhan yaitu taraf ekonomi

masyarakat (pendapatan masyarakat), pekerjaan masyarakat. Penghasilan yang

rendah menyebabkan masyarakat tidak memiliki dana untuk membuat kondisi

rumah yang sehat, pengadaan MCK, tempat sampah dan lain-lain yang terkait

dengan sarana lingkungan rumah yang sehat. Pengahasilan yang rendah juga

mengakibatkan sebagian masyarakat membangun rumah tidak permanen di

bantaran sungai, Rel KA, dll. Dengan demikian taraf ekonomi secara tidak

langsung berpengaruh terhadap terjadinya kekumuhan. Demikian juga halnya

dengan pekerjaan masyarakat. Pekerjaan masyarakat yang kurang layak

menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah, sehingga kemampuan untuk

membuat rumah yang layak huni dan sehatpun menjadi rendah.

Faktor kedua yang berpengaruh tidak langsung terhadap kekumuhan

adalah kondisi sosial kependudukan yang meliputi jumlah anggota keluarga,

tingkat pendidikan, dan tingkat kesehatan. Jumlah anggota keluarga yang besar

dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah menyebabkan rendahnya

kemampuan dan pengetahuan masyarakat terhadap permasalahan lingkungan yang

akhirnya mendorong kesadaran yang rendah terhadap upaya menciptakan

(21)

kesehatan lingkungan menyebabkan masyarakat melakukan aktivitas membuang

hajat dan sampah yang berdampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan dirinya.

Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi munculnya kawasan kumuh

yaitu faktor budaya yang berhubungan dengan masalah kebiasaan dan adat

istiadat. Selain faktor sosial seperti tingkat pendidikan, faktor kebiasaan juga

menjadi pendorong munculnya kawasan kumuh. Faktor kebiasaan ini juga yang

menyebabkan masyarakat merasa lebih enak membuang hajat di saluran air dan

kebun sekalipun tidak sehat, dibanding membuang hajat di WC umum. Untuk itu

beberapa WC umum yang dibangun oleh pemerintah berada dalam kondisi

terlantar tidak dimanfaatkan oleh masyarakat.

Selain itu faktor adat istiadat seperti ”makan tidak makan yang penting kumpul” juga merupakan salah satu penyebab munculnya kawasan kumuh, walaupun bersifat tidak langsung. Namun adat istiadat seperti ini mendorong

orang untuk tetap tinggal dalam suatu lingkungan perumahan walaupun tidak

layak huni yang penting dekat dengan saudara, tanpa mau berusaha mencari

2.3.2 Akibat Slum untuk Kota

Menurut Simanjuntak (2004) bagi kota, maka slum itu tentunya dianggap

merusak keindahan kota. karena perkampungan-perkampungan “plastik” itu

kelihatannya akan sangat merusak pandangan, apalagi kalau bertumpuk disekitar

kantor-kantor besar atau toko modern. Kadang-kadang perkampungan miskin ini

bisa menimbulkan bahaya misalnya bisa terjadi kebakaran toko-toko atau

jembatan (seperti jembatan di Jalan Perdana Medan tempo hari). Menurut para

ahli sosiologi, orang-orang kelompok slum itu bisa juga menjadi sarang penjahat

(22)

Disamping itu bisa jadi terjadi ketidaksenangan orang-orang kota yang

sedang santai di restoran-restoran, dengan datangnya peminta-minta dalam

kondisi kurang menyedapkan pandangan mata dan penciuman, sehingga bisa saja

suatu restoran jadi tidak banyak pengunjungnya karena anggota banyak slum itu

banyak keluar masuk untuk meminta sisa-sisa makanan.

Beberapa akibat lain ialah terutama bagi kota-kota yang banyak mendapat

kunjungan tamu-tamu luar negeri yang berstatus turis. Keserasian perasaan

mereka akan menjadi terganggu dengan berkeliarannya penguni perkampungan

tersebut untuk mencari nafkah dan banyak akibat lain lagi.

Dalam rangka menuju kota metropolitan, adanya efek lompat katak atau perpindahan penduduk ke daerah pinggiran sesungguhnya merupakan hal yang

wajar, karena bagaimanapun kota yang mulai besar, daerah pusat kotanya pasti

tidak lagi bisa diharapkan untuk menampung pertumbuhan penduduk yang kian

padat. Yang sekarang menjadi persoalan adalah jika efek lompat katak yang terjadi melulu hanya di bidang permukiman saja . Benar bahwa di berbagai kota

besar untuk sebagian lahan pinggiran kota telah berubah fungsi menjadi pusat

industri atau perkantoran, tetapi dalam banyak hal sesungguhnya disana lebih

banyak muncul wilayah-wilayah permukiman baru. Menjamurnya berbagai

perumahan di pinggiran kota adalah beberapa contoh yang menunjukkan efek

buruk dari proses perpindahan penduduk yang melulu hanya dalam bentuk

permukiman. Dikatakan efek buruk di sini karena berbagai daerah pinggiran itu

hanya berfungsi sebagai “tempat tidur” saja, sementara untuk semua aktivitas

kerja, belanja, atau mencari hiburan, sebagain besar penduduk di wilayah

(23)

2.3.3 Parameter dan Kriteria Penilaian Kawasan Kumuh

Menurut Hariyanto (2007) dalam melakukan penilaian terhadap kawasan

kumuh terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan yang didasarkan pada

beberapa komponen yaitu komponen fisik, komponen sanitasi lingkungan;

komponen sosial kependudukan; komponen sosial budaya, dan komponen

ekonomi. Lebih jelasnya parameter tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini:

1. Komponen Fisik

a. Penggunaan Lahan (Land Use), parameter yang diteliti : tata guna lahan untuk berbagai peruntukan, mencakup penggunaan untuk fungsi lindung

seperti sempadan pantai, sempadan sungai, dan daerah konservasi;

penggunaan untuk fungsi budidaya seperti permukiman dan aktivitas

lainnya.

b. Keadaan Permukiman, parameter yang diteliti : jumlah rumah, jenis rumah, kondisi rumah, jumlah penghuni, kepadatan bangunan, KDB, dan

status kepemilikan lahan. Contoh : tata bangunan yang sangat tidak teratur,

umumnya bangunan-bangunan yang tidak permanen dan bangunan

darurat; tidak adanya suasana ”privacy (pribadi)” bagi pemilik rumah, karena jumlah ruang di rumah tinggalnya terbatas jika dibandingkan

dengan jumlah penghuninya.

c. Kondisi Fisik Lingkungan, parameter yang diteliti kualitas udara dan pencahayaan matahari. Kualitas udara yang tidak baik (kualitas udara menurun) dan pencahayaan matahari yang kurang yang biasanya

(24)

seperti ini akan menyebabkan udara di dalam rumah tak dapat mengalir

dengan baik, akibatnya akan menggangu kesehatan penghuni rumah

tersebut;

2. Komponen Sanitasi Lingkungan

a. Kecukupan sumber air bersih, dasar penentuan nilai adalah persentase jumlah keluarga yang memanfaatkan sungai sebagai sumber air bersih.

b. Pemanfaatan MCK oleh Warga, dasar penentuan nilainya adalah persentase penduduk yang telah menanfaatkan jamban sebagai tempat

membuang hajat dalam satuan wilayah tertentu (satuan wilayah desa).

c. Pembuangan air limbah, dasar penentuan nilai dalam kriteria ini adalah kebiasaan penduduk membuang air limbah yang diukur dalam persen

penduduk yang membuang limbah berupa air kotor rumah tangga

kepekarangan rumahnya dalam satuan wilayah tertentu (satuan wilayah

desa).

d. Kondisi saluran air, kondisi saluran air (drainase) diukur dalam persentase saluran drainase dalam kondisi mengalir dalam satu satuan wilayah

tertentu.

e. Penumpukan dan Upaya pengelolaan sampah, kondisi persampahan di hitung dari banyaknya lokasi penumpukkan sampah dalam satu wilayah

tertentu.

(25)

g. Kondisi jalan lingkungan, kondisi jalan lingkungan diukur dalam persentase jalan lingkungan yang berada pada kondisi sedang dan buruk

dalam satu satuan wilayah tententu (satuan wilayah desa/kelurahan).

h. Kondisi penerangan dan komunikasi, kondisi penerangan dan komunikasi diukur dalam persentase KK yang mendapatkan pelayanan penerangan dan

komunikasi.

3. Komponen Sosial Kependudukan

a. Jumlah penduduk, diukur dari banyaknya jumlah penduduk yang tinggal dalam satu kawasan atau wilayah.

b. Komposisi penduduk, melihat jumlah penduduk berdasarkan struktur usia (belum produktif, produktif, dan tidak produktif) dan mata status

pekerjaan (bekerja, setengah pengangguran atau pengangguran) .

c. Kepadatan penduduk, melihat kepadatan penduduk yang diukur dari jumlah penduduk dibagi dengan ketersediaan lahan (daya tampung).

d. Pendidikan penduduk, tujuannya untuk melihat sejauh mana tingkat pendidikan penduduk dalam kawasan tersebut. Sehingga akan diketahui

berapa besar pengetahuan dan pemahaman penduduk terhadap lingkungan

permukiman yang sehat dan layak huni.

e. Kesehatan penduduk, tujuannya untuk melihat sejauh mana kekuatan yang dimiliki penduduk dari tingkat kesehatannya yang dapat diukur dari jenis

penyakit yang pernah diderita, jumlah penduduk yang terkena penyakit,

(26)

4. Komponen Sosial Budaya

a. Kebiasaan penduduk, diukur dari banyaknya jumlah penduduk yang melakukan kebiasaan-kebiasaan yang dapat mendorong munculnya

kawasan kumuh seperti : kebiasaan membuang sampah disembarang

tempat, kebiasaan membuang hajat di sungai, pekarangan atau tempat

terbuka lainnya, kebiasaan penduduk mengkonsumsi air yang tidak bersih

dan higienis, dll

b. Adat istiadat, yaitu kultur budaya masyarakat yang dapat mendorong terciptanya kawasan kumuh seperti : makan tidak makan yang penting

kumpul, dll.

5. Komponen Ekonomi

a. Tingkat Pendapatan, diukur dari besarnya pendapatan yang diterima tiap KK dalam setiap bulannya.

b. Aktivitas ekonomi atau mata pencaharian penduduk, diukur dari besarnya jumlah penduduk yang bekerja dalam suatu bidang tertentu (PNS, buruh

tani, industri, dll).

c. Sarana atau fasilitas penunjang kegiatan ekonomi, bertujuan untuk melihat berapa besar fasilitas ekonomi yang dapat melayani masyarakat

dalam kawasan tersebut.

6. Kriteria Penilaian Kawasan Kumuh

Dari penjelasan-penjelasan diatas, kemudian dilakukan penentuan status

kawasan kumuh berdasarkan tingkat kekumuhan. Dalam hal ini, status kawasan

kumuh dibagi dalam 5 kelas, yaitu :

(27)

K1 = Kurang kumuh

K2 = Cukup Kumuh

K3 = Kumuh

K4 = Sangat kumuh

Untuk jelasnya mengenai penetapan kriteria kawasan kumuh dapat dilihat

pada lampiran 1.

2.3.4 Standart Hidup Layak

Pemukiman kumuh sangat erat kaitannya dengan standart hidup yang

layak. Masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh memiliki standart hidup

layak yang masih rendah. Pemerintah Indonesia mengatur standart hidup layak

dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2012. Peraturan ini secara

detail mengatur kebutuhan hidup layak warga negara Indonesia seperti: (1)

Makanan dan Minuman: mengkonsumsi setiap hari diantara bahan-bahan Telur

ayam, telur ayam ras, ikan segar baik, daging sedang, beras sedang,

kacang-kacangan, tempe/tahu baik, susu bubuk sedang, gula pasir sedang, Minyak goreng

curah, sayuran baik, buah-buahan (setara pisang/pepaya), Karbohidrat lain (setara

tepung terigu) sedang, teh atau kopi celup, bumbu-bumbuan;(2) Kebutuhan

Sandang: Celana panjang/ Rok/Pakaian muslimKatun/sedang; Celana pendek

katun/sedang; ikat pinggang kulit sintetis, polos, tidak branded; Kemeja lengan

pendek/blouse setara katun/1potong; Kaos oblong/ bra sedang; celana dalam

sedang; sarung/kain panjang sedang; sepatu kulit sintetis; kaos kaki katun,

Polyester, Polos; Perlengkapan pembersih sepatu (Semir sepatu sedang dan sikat

sepatu sedang; sandal jepit karet; handuk mandi; Perlengkapan ibadah (Sajadah

(28)

KHL; Dipan/ tempat tidur; Perlengkapan tidur (Kasur busa, bantal, sprei dan

sarung bantal); Meja dan kursi; Lemari pakaian Kayu sedang; Sapu Ijuk sedang;

Perlengkapan makan (Piring makan polos, Gelas minum polos, dan sendok garpu

sedang, Ceret aluminium, Wajan aluminium, Panci aluminium, Sendok

masak Alumunium); Rice Cooker; Kompor dan perlengkapannya (Kompor,

Selang dan regulator, Tabung Gas); Ember plastk; Gayung plastikSedang; Listrik

900 watt; Bola lampu hemat energy; Air Bersih Standar PAM; Sabun cuci

pakaian; Sabun cuci piring; Setrika250 watt; Rak portable plastic; Pisau dapur;

Cermin30 x 50 cm; (4) Pendidikan: Bacaan/radio Tabloid/Ballpoint/pensil; dan

(5) Kesehatan: Sarana Kesehatan (Pasta gigi, Sabun mandi, Sikat gigi Produk

local, Shampo); Pembalut atau alat cukur; Deodoran; Obat anti nyamukBakar;

Potong rambut di tukang cukur; Sisir biasa.

Konsumsi pangan yang diatur dalam peraturan menteri ini berkaitan erat

dengan kecukupan gizi masyarakat Indonesia. Apabila masih terdapat masyarakat

yang tidak mengkonsumsi makanan tersebut dalam waktu yang lama, maka

masyarakat dapat dikategorikan hidup belum layak. Kebutuhan dasar lain seperti

perlengkapan sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan harus bisa dipenuhi

masyarakat agar dapat hidup dengan layak.

2.4 Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di

tengah-tengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Dalam

konteks masyarakat Indonesia, masalah kemiskinan juga merupakan masalah

(29)

karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama, melainkan pula karena hingga

kini belum bisa dientaskan dan bahkan kini gejalanya semakin meningkat sejalan

dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia

(Alfian,2000:13). Dengan kekayaan alam yang melimpah dan potensi

pemanfaatan nyaris tanpa batas, tidak berlebihan kiranya jika mengharapkan

penghidupan yang layak. Sandang, pangan, maupun papan tersedia dalam jumlah

cukup dan harga terjangkau. Penghasilan pun mencukupi untuk memenuhi

kebutuhan lainnya.

Masyarakat miskin adalah suatu kondisi dimana fisik masyarakat yang

tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai,

dengan kualitas perumahan dan pemukiman yang jauh di bawah standart

kelayakan serta mata pencaharian yang tidak menentu yang mencakup seluruh

multidimensi, yaitu dimensi politik, dimensi social, dimensi lingkungan, dimensi

ekonomi dan dimensi asset (P2KP, Pedoman Umum, 2004:1).

Definisi kemiskinan dengan menggunakan kebutuhan dasar seperti

diterapkan oleh Departemen Sosial, kemiskinan adalah ketidakmampuan individu

dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS, 2013). Yang

dimaksud dengan kebutuhan pokok dalam definisi ini meliputi kebutuhan akan

makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan, dan pendidikan.

Seperti juga apa yang dikatakan oleh Selo Soemardjan (1980), yang

dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh

suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut

menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.

(30)

terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka

yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya. Mereka itu, walaupun merupakan

mayoritas terbesar dari masyarakat, dalam realita tidak mempunyai kekuatan

apa-apa untuk mampu memperbaiki nasib hidupnya.

2.4.1 Kemiskinan Struktural

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh

faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset

produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang

cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Selanjutnya

Sumodiningrat mengatakan bahwa munculnya kemiskinan struktural disebabkan

karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan

bermacam-macam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak

seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama

menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula sehingga

menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Menurut Kartasasmita (1996)

hal ini disebut “accidental poverty”, yaitu kemiskinan karena dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan

masyarakat.

Sebab-sebab kemiskinan struktural antara lain:

1. Kurangnya demokrasi, sehingga mengurangi partisipasi.

2. Kurangnya akses dan kontrol terhadap sumber daya.

3. Ketimpangan akumulasi dan distribusi aset produktif baik lahan maupun

modal.

(31)

5. Pengikisian peran pemerintah dalam meminimalkan ketimpangan sosial

dan swastanisasi yang berlebihan.

6. Eksploitasi sumber daya alam yang berdampak pada orang miskin.

7. Kebijakan-kebijakan yang menyebabkan monopolisasi ekonomi dan

polarisasi masyarakat.

Kemiskinan struktural berkaitan dengan aspek struktur dari suatu lembaga,

yang dimaksud dengan struktur ialah pola-pola organisasi sosial yang mantap,

luas, stabil dan mampu untuk meneruskan diri (self reproducing). Suatu institusi atau lembaga diartikan sebagai satu rangkaian hubungan antar manusia yang

teratur dan disahkan secara sosial, yang menentukan hak, kewajiban, dan sifat

hubungannya dengan orang lain. Lembaga ini penting dalam menjamin

kelangsungan dan kepastian dalam interaksi sosial dalam masyarakat. Dalam

kaitannya dengan persoalan kemiskinan, pemerintah adalah salah satu pihak

lembaga yang menjadi bagian struktural dalam upaya penanggulangan kemiskinan

dan upaya pembangunan masyarakat secara lokal, nasional dan global.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki hubungan politik dan

admnistrasi dalam berbagai aspek termasuk pada upaya pembangunan dan

penanggulangan kemiskinan di masyarakat Indonesia. Masyarakat sebagai

kumpulan individu dan kelompok memiliki peran dan terlibat dalam struktural

kelembagaan, apakah itu sebagai penikmat program pemberdayaan, dan ikut

dalam upaya perencanaan dan penanggulangan kemiskinan.

Studi penelitian yang dilakukan oleh Sondakh (2009) menyimpulkan

bahwa kemiskinan struktural adalah suatu kondisi yang dialami suatu golongan

(32)

dapat ikut serta menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya

tersedia bagi mereka. Secara teoritis, kemiskinan struk-tural dapat diartikan

sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab

utamanya bersumber dari struktur sosial yang berlaku di sekitarnya sehingga

mereka yang termasuk ke dalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk

mengubah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki hidupnya.

Struktur sosial yang berlaku tersebut membuat mereka terkurung pada

suasana kemiskinan secara turun -temurun dalam jangka waktu yang lama.

Sejalan dengan itu, mereka hanya mungkin keluar dari penjara kemelaratan

melalui suatu proses perubahan struktur yang mendasar. Pada umumnya

kemiskinan struktural terjadi di masyarakat saat kehadiran perbedaan yang

mencolok antara masyarakat yang hidup dalam keterbatasan dengan mereka yang

hidup dalam kemewahan, walaupun jumlah masyarakat miskin itu lebih banyak

jumlahnya dalam kenyataannya mereka tidak mampu memperbaki nasibnya

karena ketidakberdayaan dan tidak memiliki kekuatan sedangkan mereka yang

minoritas yakni masyarakat kaya berhasil memonopoli dan mengontrol hampir

semua aspek kehidupan yang berkaitan dengan modal-modal penting terutama di

bidang ekonomi dan politik.

Untuk melihat kemiskinan struktural, beberapa karakter dari kemiskinan

struktural adalah minim terjadinya mobilitas sosial secara vertikal, orang yang

miskin akan tetap hidup dalam kondisi keterbatasan, sedangkan orang kaya akan

terus menikmati kekayaannya. Menurut pendekatan struktural, hal itu terjadi

dikarenakan kungkungan struktural sosial yang menyebabkan mereka kekurangan

(33)

mereka. Struktur sosial yang berlaku membuat suatu pola dan corak rintangan

membuat mereka dihalangi untuk maju. Contohnya saja saat pendapatan mereka

rendah tidak memungkinkan mereka untuk menikmati fasilitas pendidikan,

padahal layanan pendidikan berpeluang untuk membantu masyarakat keluar dari

persoalan kemiskinan.

Ciri lain dari kemiskinan struktural adalah lahirnya ketergatungan antara

pihak yang kuat dan yang lemah atau antara yang kaya dan yang miskin.

Ketergantungan tersebut berdampak pada kemerosotan kemampuan orang miskin

untuk melakukan tawar menawar dalam hubungan sosial yang mengalami

ketimpangan antara pemilik tanah dan penggarap, antara majikan dan buruh.

Buruh itu tidak memiliki kemampuan untuk menetapkan upah, pedagang kecil

tidak bisa mendapatkan harga yang layak atas barang yang hendak dijual. Intinya

mereka yang miskin tersebut tidak mampu berbuat banyak menghadapi eksploitasi

dan proses marginalisasi yang dialaminya karena mereka tidak memiliki alternatif

pilihan untuk menentukan nasibnya menjadi lebih baik.

Ciri masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural selain sulit diajak

untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan, mereka juga sulit melakukan

perubahan, menolak mengikuti perkembangan dan tidak mau berusaha untuk

memperbaiki tingkat kehidupannya, Akibat sikap tersebut berdampak pada

pendapatan mereka yang minim. Jika menggunakan garis kemiskinan absolut,

mereka bisa dikategorikan sebagai penduduk miskin, walaupun mereka merasa

tidak miskin dan tidak mau dikatakan miskin.

Kemiskinan budaya juga bisa diartikan sebagai kemiskinan yang dialami

(34)

daya dan harusnya bisa digunakan dalam pemanfaatan yang bertujuan untuk

perbaikan taraf dan kualitas hidup mereka. Namun mereka tidak memiliki ilmu

pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa wirausaha dan motivasi sosial yang

diperlukan untuk menggali kekayaan alam lingkungannya dan demi kepentingan

masyarakatnya.

Menyimpulkan kondisi masyarakat miskin dalam pandangan kemiskinan

struktural dapat disederharnakan dengan melihat pola ketergantungan, pola

kelemahan, dan eksploitasi masyarakat miskin yang dilakukan oleh pihak di

luarnya, baik di tingkat lokal, nasional dan tingkat yang lebih tinggi lagi.Untuk

menanggulangi persoalan kemiskinan struktural tidak ampuh jika hanya

mengandalkan bantuan sejenis charity (amal) ataupun philanthropy

(kedermawanan), dan penyediaan fasilitas kredit dan fasilitas ekonomi yang lain.

Struktur sosial adalah titik sentral dalam upaya mengatasi persoalan

masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural, yang harus dilakukan adalah

mengubah struktur sosial, struktur sosial yang selama ini membuat mereka hidup

dalam ketergantungan dan terus dieksploitasi oleh masyarakat minoritas yang

menempati struktur sosial tertinggi dan mampu mengontrol serta menguasai

berbagai aset penting yang ada di masyarakat.

Adapun struktur kelembagaan yang terkait diantaranya pemerintah pusat

dan daerah di masa demokratisasi dan desentralisasi dalam hubungan politis dan

administratif perlu berkomitmen dalam memaksimalkan keragaman dan kapasitas

daerah yang beraneka ragam, berkoordinasi dan harus singkron dalam upaya

pembangunan masyarakat walaupun waktu dan prosesnya tidak sebentar,

(35)

untuk meningkatkan potensi wilayah dan potensi masyarakat di daerahnya

masing-masing.

2.4.2 Kemiskinan Kultural dan Budaya Masyarakat Miskin

Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok

masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di

mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan.

Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam

pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat

kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang

dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir (1997:

21) bahwa masyarakat miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin,

boros dan lain-lainnya.

2.5 Urbanisasi dan Perkembangan Kota

2.5.1 Pengertian Urbanisasi

Istilah Urbanisasi adalah istilah yang banyak dikenal dalam dunia ilmu

pengetahuan baik di Indonesia, maupun di negeri lain. Istilah tersebut tidak hanya

dikenal, tetapi juga dialami oleh penduduk kota dan desa terutama di negara yang

sedang berkembang. Urbanisasi merupakan gejala, atau proses yang sifatnya

multi-sektoral, baik ditinjau dari sebab maupun akibat yang ditimbulkan.

Permasalahan nampak sederhana namun sifatnya sangat kompleks

(Kantsebovskaya, 1976).

Pengertian lain dari Urbanisasi itu sendiri adalah berpindahnya

(36)

meningkatkan taraf hidup mereka dan mengadu nasib di kota (Soekanto, 1997).

Perpindahan penduduk dari desa ke kota (migrasi desa-kota) merupakan suatu

faktor utama yang mendorong pesatnya pertumbuhan kota-kota di negara sedang

berkembang. Dorongan kemiskinan di desa dan daya tarik pendapatan tinggi di

kota mengakibatkan gejala pertama dan urbanisasi berlebih, yakni: sejumlah besar

orang (yang belum pernah terjadi sebelumnya) menyerbu ke kota sehingga kota

menjadi terlalu besar dan tumbuh terlalu pesat.

Di dalam proses selanjutnya, timbullah masalah-masalah sosial yang

sangat besar. Akhirnya, pertumbuhan penduduk yang pesat ini disertai dengan

peningkatan penggunaan teknologi padat menimbulkan dua gejala lain, yakni

meningkatnya penggangguran dan setengah pengangguran di kota dan

berkurangnya proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor industri modern.

Urbanisasi merupakan salah satu proses yang tercepat diantara

perubahan-perubahan sosial di seluruh dunia. Belum lama berselang urbanisasi dan

pertumbuhan kota dipandang sebagai suatu indicator modernisasi dan kemajuan.

Daniel Lerner (1958) masih dapat menyatakan, bahwa urbanisasi merupakan

modernisasi dan pembangunan :”Adalah perpindahan penduduk dari pedalaman

ke pusat-pusat kota yang menstimulasi kebutuhan dan menyediakan syarat-syarat

yang dibutuhkan untuk “tinggal –landas “ ke arah partisipasi yang lebih meluas.

Kota-kota menghasilkan alat-alat mesin untuk modernisasi .” Dewasa ini para ahli

menjadi kurang optimis terhadap urbanisasi . Kota-kota tidak lagi dipandang

sebagai pusat-pusat perubahan dan kemajuan, tetapi sebagai daerah-daerah krisis.

Dengan mengesampingkan semua definisi-definisi kebudayaan dan

(37)

statistik-statistik kependudukan yg kasar, maka pembedaan-pembedaan berikut ini perlu.

Urbanisasi pertama-tama merujuk pada keadaan persentase penduduk yang

tinggal di daerah perkotaan dalam suatu negara. Kedua, ia merujuk pada suatu

proses, yakni peningkatan pada jumlah penduduk kota. Kebanyakan statistik

tentang penduduk kota merujuk pada peningkatan absolut dalam jumlah orang

yang tinggal di kota (Manning,1985).

Urbanisasi di negara Indonesia mengalami peningkatan yang cukup

berarti, sehingga kecenderungan semakin meluasnya problema sosial ekonomi di

berbagai kota di Indonesia dapat mengakibatkan problema nasional dan menjadi

masalah sosial bagi negara Indonesia.

2.5.2 Sebab dan Akibat dari Urbanisasi

Sebab-sebab dari adanya urbanisasi ini berbagai negara memang agak

berlainan namun secara umum dapat dikatakan adalah karena ketimpangan

keruangan (spatial imbalance) termasuk di dalamnya ketimpangan penduduk dan ekonomi. Firman (2005) menyebutkan sebab-sebab urbanisasi di Indonesia

adalah:

1. Sebagai akibat dari pertambahan penduduk alami di kota.

2. Sebagai akibat dari perpindahan penduduk desa ke kota.

3. Berkembangnya daerah tepian kota.

Menurut Firman (2005) beberapa akibat dari urbanisasi ini dapat dilihat,

misalnya :

a) Kepadatan penduduk kota yang menimbulkan masalah kesehatan

lingkungan, masalah perumahan dan masalah sampah yang sangat erat

(38)

b) Pertambahan penduduk kota yang menimbulkan masalah kesempatan

untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai, masalah

pengangguran dan masalah gelandang. Hal ini tidak terlepas dari hukum

dan kependudukan yang mengatur tentang masalah - masalah

kependudukan.

c) Masalah lalu lintas, kemacetan jalan dan masalah parkir yang menghambat

kelancaran kota.

d) Industrialiasi di kota yang menimbulkan polusi udara, polusi air dan

kebisingan.

2.5.3 Masalah-Masalah yang Terjadi di Perkotaan Akibat Urbanisasi

Dampak urbanisasi yang biasanya menjadi perhatian adalah masalah

kemiskinan kota. Potret ini umumnya terekam melalui wajah perkotaan, dengan

sudut-sudut pemukiman kumuh. Kemiskinan dan kualitas lingkungan yang rendah

adalah hal yang mesti dihilangkan, tetapi tidak dengan menggusur masyarakat

yang telah bermukim lama di lokasi tersebut. Menggusur hanyalah memindahkan

kemiskinan dari lokasi lama ke lokasi baru dan kemiskinan tidak berkurang. Bagi

orang yang tergusur, malahan penggusuran ini akan semakin menyulitkan

kehidupan mereka karena mesti beradaptasi dengan lokasi permukiman yang baru.

Peremajaan kota ini menciptakan kondisi fisik perkotaan yang lebih baik,

tetapi sarat dengan masalah sosial. Kemiskinan hanya berpindah saja dan

masyarakat miskin yang tergusur semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan

karena akses mereka terhadap pekerjaan semakin sulit. Hal ini, dikarenakan

(39)

buruh kasar dan memperoleh penghasilan minim. Akibatnya, mereka hanya

mampu tinggal di kawasan kumuh dengan segala permasalahannya.

Urbanisasi yang terjadi di perkotaan telah menciptakan masalah-masalah

baru dalam proses pengembangan perkotaan. Masalah yang secara garis besar

meliputi aspek sosial, ekonomi, dan budaya ini diakibatkan oleh perbedaan yang

mendasar tentang desa dan kota. Akibat urbanisasi ini dapat dipahami beberapa

karakteristik yang muncul tentang penduduk perkotaan. Mereka yang

berurbanisasi masih menganut pengaruh tradisional lingkungan lama mereka.

Perbauran antara karakter tradisional dan modern inilah yang umumnya

terjadi di perkotaan, dan secara tidak langsung memberikan efek negatif dengan

munculnya masalah-masalah perkotaan yang kompleks. Selain dampak yang pasti

terasa seperti semakin padatnya penduduk kota, masalah-masalah lain seperti

pengangguran, kemiskinan, dan kriminalitas perkotaan, yang akan menghambat

perkembangan kota itu sendiri (Yunus, 2002; 93).

Fenomena urbanisasi tersebut yang terjadi di kota-kota besar

mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan ruang kota, yaitu permasalahan

penyediaan perumahan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. Permasalahan

sebagai akibat dari urbanisasi terasa sekali dalam hal kebutuhan akan perumahan

berikut lahan perumahannya. Kekurangan akan perumahan (backlog) dan lahan perumahan serta makin meningkatnya harga lahan perumahan menjadi semakin

sulit untuk ditanggulangi.

Bersamaan dengan itu perkampungan kota semakin meluas dan

memperburuk keadaannya. Belum lagi kekurangan akan prasarana dan sarana,

(40)

tidak mencukupi. Sistem administrasi kota pun kurang siap menghadapi semua

keadaan yang dirasakan berkembang mendadak dan sangat cepat itu.

Migrasi penduduk besar-besaran masuk kota ini juga membawa

konsekuensi peningkatan kebutuhan akan sandang, pangan, papan. Perkembangan

kebutuhan akan lahan kota untuk kegiatan ekonomi ini berbarengan dengan

perkembangan kebutuhan akan fasilitas-fasilitasnya. Lingkup permasalahan yang

ditimbulkan oleh urbanisasi sebagai fenomenanasional perlu diperhatikan,

diantisipasi, dan diambil langkah-langkah yang mendasar baik pada tingkat lokal,

regional, maupun nasional (Soefaat, 1999; 36).

2.6 Kerangka Pemikiran

Faktor kelahiran dan urbanisasi mengakibatkan pertumbuhan penduduk

yang padat didaerah perkotaan sehingga mengakibatkan munculnya sejumlah

permasalahan didaerah perkotaan. Salah satu diantara permasalahan tersebut

adalah lahan pemukiman yang terbatas, sehingga mengakibatkan munculnya

pemukiman kumuh. Analisis terhadap kehidupan ekonomi (pekerjaan,

pendapatan, pengeluaran, kepemilikan rumah, peralatan rumah tangga, alat

transportasi) dan kehidupan sosial budaya (pendidikan, organisasi sosial, interkasi

sosial, latar belakang budaya) warga pemukiman kumuh perlu dilakukan untuk

mendapatkan gambaran tentang strategi adaptasi warga pemukiman kumuh untuk

mengatasi permasalahan kemiskinan yang dialaminya. Penjelasan mengenai

(41)

Sumber: Diadaptasi dari penelitian Afriani Simanjuntak (2013) berjudul “Strategi Bertahan Hidup Penghuni Pemukiman Kumuh (Studi Kasus di Bantaran Rel Kereta Api Kelurahan Tegal Sari Mandala II Medan)

Gambar 2.1. Kerangka Penelitian KEMISKINAN

KUMUH

INDIVIDUAL STRUKTURAL

(42)

2.7 Defenisi Operasional

Adapun defenisi operasional dalam penelitian ini adalah:

Tabel 2.1 Defenisi Operasional

Variabel

Strategi jaringan

Strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk (misalnya melakukan aktivitasnya sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitarnya dan sebagainya).

Mengurangi pengeluaran keluarga ( misalnya, biaya untuk sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya).

Menjalin relasi, baik formal maupun informal dengan lingkungan sosialnya, dan lingkungan kelembagaan (misalnya: meminjam uang dengan tetangga, mengutang di warung, memanfaatkan program kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau bank, dan sebagainya). Pemukina

- Jalan-jalan sempit tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain.

- Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air.

- Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah, ataupun ada juga yang membuangnya ke sungai yang terdekat.

- Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan.

- Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh. - Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan

karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar;

- Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RukunTetangga, atau sebuah Rukun Warga;

- Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah Rukun Tetangga atau Rukun Warga atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian liar;

- Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. - Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang

bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informal

- Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada umumnya tidak permanen dan malahan banyak yang darurat. - Hak atas lahan sering tidak legal, artinya status tanahnya masih

Gambar

Gambar 2.1.  Kerangka Penelitian
Tabel 2.1 Defenisi Operasional

Referensi

Dokumen terkait

Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan

Hingga akhir waktu penjelasan yang telah ditentukan tidak ada pertanyaan yang diajukan oleh peserta, sehingga dianggap peserta telah membaca, memahami dan menyepakati keseluruhan

[r]

Eksplorasi Fungi Perombak di Bawah Tegakan Macaranga indica dan Hibiscus macrophyllus pada Areal Restorasi Resort Sei Betung Taman Nasional Gunung

□ Mengingkari penyakit yang diderita □ Menyalahkan hal-hal diluar dirinya.. Jelaskan

Aplikasi Business Intelligence memanfaatkan investasi dalam data dan sistem untuk menyediakan informasi yang mudah digunakan, yang dapat mendukung pengambilan

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa variabel PDRB, investasi, jumlah penduduk dan pendapatan perkapita masyarakat berpengaruh terhadap besarnya PAD

Dengan perhitungan Fuzzy RPN, mode kegagalan paling kritis pada koridor III adalah jalur yang belum steril dari pengguna kendaraan pribadi (0,742), sedangkan pada