BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang baik selalu berhubungan dengan penelitian yang sudah
dilakukan. Terdapat penelitian – penelitian terdahulu yang ada hubungannya
dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang dapat dijadikan sebagai
pembanding. Adapun penelitian yang menjadi pembanding, yaitu :
Penelitian yang dilakukan Afriani Simanjuntak (2013) berjudul “Strategi Bertahan Hidup Penghuni Pemukiman Kumuh (Studi Kasus di Bantaran Rel Kereta Api Kelurahan Tegal Sari Mandala II Medan). Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi dan menganalisis karakteristik kemiskinan serta strategi
yang dilakukan untuk beretahan hidup di pemukiman kumuh bantaran rel kereta
api kelurahan Tegal Sari Mandala II Medan. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif yang bersifat deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan kemiskinan yang terjadi karena faktor
individual dan struktural yang kerap menjerat dalam lingkaran kemiskinan.
Hambatan – hambatan stuktural yang menjerat di perkotaan membuat mereka
untuk mengambil pilihan bekerja dalam lingkup strata sosial rendah di perkotaan.
Motif warga di kawasan pemukiman kumuh adalah karena daerah strategis untuk
memelihara hewan ternak yaitu babi. Letak yang strategis tidak terlepas dari letak
kelurahan Tegal Sari Mandala II yang jauh dari pusat kota. Sementara strategi
lebih banyak anggota keluarga untuk bekerja, memulai usaha kecil – kecilan,
memulung barang – barang bekas, menyewakan kamar, menggadaikan barang,
meminjam uang dari bank atau lembaga keuangan lain.
Penelitian lain dilakukan oleh Waston Malau (2014) berjudul “Analisis Kehidupan Ekonomi dan Sosial Budaya Penduduk di Daerah Slum (Slum Area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kehidupan ekonomi dan sosial budaya serta
strategi adaptasi penduduk di daerah slum (slum area) di kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan. Jenis penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen dan studi
lapangan dengan menggunakan observasi dan wawancara mendalam.
Hasil penelitian menunjukkan ciri-ciri pemukiman kumuh di kelurahan
Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan antara lain rumah yang
dibangun secara berdempetan dan tidak teratur ; dinding rumah terbuat dari tepas,
papan/tripleks dan sebagian terbuat dari setengah batu bata tanpa plester dan
setegah papan/tripleks ; atap rumah terbuat dari seng dan rumbia ; lantai rumah
menggunakan semen kasar dan ada sebagian masih menggunakan tanah liat ;
lingkungan pemukiman terlihat jorok ; kurangnya fasilitas penerangan, air bersih
dan MCK. Sementara strategi bertahan hidup yang dilakukan antara lain : mencari
pekerjaan sampingan, menambah jam kerja, meminjam uang, mengutang di
warung, mengurangi kuantitas dan kualitas makanan, menghemat atau
mengurangi pengeluaran.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Anita stafitri (2013) berjudul
Masyarakat Kota Medan)”. Penelitin ini bertujuan Untuk mengetahui dampak dari terjadinya kesenjangan sosial di Kota Medan. Jenis penelitian adalah
penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen dan
studi lapangan dengan menggunakan observasi dan wawancara mendalam.
Hasil penelitian menunjukkan kesenjangan sosial yang terjadi dikarenakan
pola hidup kehidupan, keadaan bangunan rumah, pola asuh, pendidikan,
pekerjaan, penghasilan dan yang paling radikal perbedaannya adalah secara
finansial dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari; Munculnya
eksklusivisme secara besar-besaran, karena memiliki uang yang banyak;
Munculnya sifat individualisme yang sangat kuat, dikarenakan kehidupan
masyarakat yang memiliki kesenjangan sosial; Semakin meningkatknya angka
kriminalitas, karena perbedaan yang sangat radikal mengakibatkan terjadinya
kecemburuan sosial.
Penelitian lain yang dilakukan oleh dharma prakasa (2013) berjudul
“Strategi berthan hidup masyarakat nelayan pantai depok di Desa Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul Yogyakarta”. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Sumber data
yang diperoleh melalui kata-kata dan tindakan, sumber tertulis serta foto.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi bertahan hidup yang
dilakukan adalah dengan melakukan diversifikasi pekerjaan, baik yang terkait
dengan kegiatan kenelayanan maupun di luarnya. Melakukan diversifikasi
pekerjaan tergantung pada sumbersumber daya yang tersedia di desa-desa
nelayan tersebut. Ada beragam peluang pekerjaan yang dapat dilakukan
ikan, di antaranya adalah sebagai petani, penjual jasa, dan bangunan,
Dengan melakukan diversifikasi pekerjaan, bagi nelayan memiliki makna
yang sangat berarti bagi kelangsungan ekonomi rumah tangganya. Hal ini
terkait dengan ketidakteraturan dan ketidakstabilan penghasilan mereka dari
hasil melaut. Selain deversifikasi di atas, mereka juga melakukan mencari
penghasilan tambahan, mendahulukan kebutuhan pokok, dan menekan
pengeluaran
Penelitian lain yang dilakukan oleh Dewi Fitria Rahmawati (2013)
berjudul “Strategi Survival Petani tambak Di tengah Bencana Industri Lumpur Lapindo Desa Penatarsewu, Kecamatan tanggulangin Kabupaten Sidoarjo”.
Penelitian ini menggunakan Penelitian yang dilakukan ini termasuk dalam
penelitian kualitatif, denganmenggunakan Metode Studi Kasus. Penelitian ini
berupaya melihat, mendeskripsikan dan memahami fenomena yang terjadi pada
masyarakat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pembuangan limbah bencana
industri lumpur Lapindo dilakukan melaluiSungai Porong, Sungai Ketapang dan
badan-badan air disekitarnya.Kondisi tersebut jelas akan mencemari ekosistem air
atau sungai yang ada,dan menimbulkan dampak lingkungan bagi masyarakat
terutama bagimereka petani tambak; Dengan kondisi tersebut, maka petani
tambak yang ada di DesaPenatarsewu melakukan strategi survival untuk
mempertahankan kehidupannya mereka;
2.2.1 Definisi Strategi Adaptasi
Pada zaman lampau dalam beradaptasi, manusia-lah yang harus
menyesuaikan diri dengan lingkungannya, seperti dengan pola curah hujan dan
vegetasi alam, dan sampai taraf tertentu dengan siklus biologis dan kebutuhan
hewan piaraan mereka. Seringkali perubahan alam itu menyebabkan mereka
melakukan migrasi musiman agar mereka tetap dapat bertahan hidup (Roger M
Keesing,1999, hal. 138 – 139).
Dalam bukunya Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing Usman Pelly (1994) menuliskan bahwa strategi adaptasi adalah cara-cara yang dipakai oleh pendatang baru (perantau) untuk
mengatasi rintangan-rintangan yang mereka hadapi dan untuk memperoleh suatu
kesimbangan positif dengan kondisi-kondisi latar belakang perantauan. Lebih
lanjut ia menuliskan bahwa strategi-strategi adaptasi tidak hanya ditentukan oleh
kesediaan atau keengganan dari masyarakat tuan rumah untuk menerima para
perantau dan mengijinkan mereka untuk ikut menikmati sumber daya daerah dan
berperan dalam pemerintahannya.
Strategi tersebut mungkin mereka rencanakan untuk membantu mereka
dalam mencapai suatu tujuan tertentu yang telah terdapat dalam sistem nilai yang
diajarkan oleh tradisi daerahnya masing-masing (misi budaya) dengan tetap
memperhatikan kendala-kendala yang mungkin diberikan oleh masyarakat tuan
rumah.
untuk mengatasi berbagi permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Strategi
penanganan masalah ini pada dasarnya merupakan kemampuan segenap anggota
keluarga dalam mengelola segenap aset yang dimilikinya.
2.2.2 Jenis-jenis Strategi Adaptasi dan Tujuan
Menurut Edi Suharto (2009:31) menyatakan strategi bertahan hidup (coping strategies) dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga
kategori yaitu:
1. Strategi aktif, yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga
untuk (misalnya melakukan aktivitasnya sendiri, memperpanjang jam
kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitarnya
dan sebagainya) .
2. Strategi pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya, biaya
untuk sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya).
3. Strategi jaringan, misalnya menjalin relasi, baik formal maupun informal
dengan lingkungan sosialnya, dan lingkungan kelembagaan ( misalnya:
meminjam uang dengan tetangga, mengutang di warung, memanfaatkan
program kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau bank, dan
sebagainya).
Petani dan lahan merupakan dua sisi yang saling berhubungan dan tidak
dapat dipisahkan. Lahan merupakan sarana yang dimiliki petani untuk beraktifitas
dalam mempertahankan keberlangsungan kehidupan keluarganya, dengan
terbatasnya lahan yang petani miliki maka mereka harus menyesuaikan diri
hubungan yang erat, sebagai aset penting yang dimiliki oleh mereka. Masyarakat
pedesaan merupakan masyarakat yang pekerja keras dan dinamis. Nilai kerja
merupakan perilaku manusia yang dapat terjadi sebagai bagian dari sistem norma
masyarakat. Maka dengan mudah mereka dapat beradaptasi dengan keadaan. Hal
itu terjadi karena individu bebas memilih alternatif tertentu secara rasional untuk
mencapai tujuan.
Dalam kehidupannya, manusia hidup dengan alam secara timbal balik,
yakni bagaimana manusia beradapatasi dengan alam agar dapat bertahan demi
keberlangsungan hidupnya dengan mengalihkan energi dari alam pada dirinya.
Adaptasi merupakan sifat sosial dari setiap manusia yang akan muncul akibat
adanya kebutuhan tujuan, dan hasrat para individu.
Adaptasi menurut Soerjono Soekanto (dalam Rabanta,2009:18),
mengemukakan tentang adaptasi dalam beberapa batasan adaptasi sosial:
1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan .
2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.
3. Proses perubahan-perubahan menyesuaikan dengan situasi yang berubah.
4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan
lingkungan dan sistem.
6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi ilmiah.
Dari batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses
penyesuaian individu, kelompok terhadap norma-norma, perubahan agar dapat
penyesuaian tersebut Aminuddin (dalam Rabanta, 2009:18) menyebutkan bahwa
penyesuaian dilakukan demi tujuan-tujuan tertentu, diantaranya:
1. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan
2. Menyalurkan ketegangan sosial
3. Mempertahankan kelangsungan keluarga/unit sosial
4. Bertahan hidup
Sementara itu menurut pendapat Nancy B. Graves (1974) dalam
melakukan adaptasi terhadap apa yang mereka hadapi di wilayah rantau,
masyarakat urban mempunyai beberapa variabel yang dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan mereka dalam adaptasi, yaitu sebagai berikut:
1. Variabel kognitif yang dapat berupa pengetahuan, kepercayaan terhadap
sesuatu, dan harapan mereka terhadap berbagai kemungkinan dan peluang
yang akan mereka dapatkan di perantauan
2. Variabel motivasi yaitu berupa kebutuhan untuk mencapai sesuatu dan
memberikan masa depan untuk anak-anak mereka di masa yang akan
dating
3. Variabel kepribadian seperti sikap yang fleksibel (lentur) dalam
menghadapi masalah, optimism, kedisiplinan waktu dan sikap berani
mengambil resiko.
Selain itu dalam masyarakat urban terdapat berbagai macam strategi
adaptasi yang mereka lakukan dalam menghadapi dunia barunya. Seorang
laki-laki akan mempunyai strategi yang berbeda dengan seorang perempuan. Seorang
sedangkan perempuan akan lebih bersifat pasif, termasuk dalam membantu
sesamanya. Strategi adaptasi yang mereka gunakan terdiri dari dua bagian, yaitu:
1. Strategi internal yang terdiri dari reframing (mengubah pendangan bahwa mereka mampu mengatasi permasalahannya) dan pengharapan pasif
(pasrah atau tawakkal).
2. Strategi eksternal yang terdiri dari dukungan spiritual, dukungan sosial dan
pencarian bantuan.
Dalam suatu penelitian terhadap masyarakat pedesaan dan perkotaan,
dapat diketahui bahwa masyarakat pedesaan banyak menggunakan lima strategi
tersebut di atas dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Namun demikian
kedua masyarakat tersebut sama-sama sering menggunakan reframing, dukungan spiritual dan sosial dalam melakukan strategi adaptasinya. Masyarakat perkotaan
kurang banyak menggunakan strategi pengharapan pasif dan lebih sering
menggunakan pencarian bantuan, baik kepada teman atau keluarga, dalam strategi
adaptasinya (Ramona Marotz Baden, 1986).
Strategi yang diterapkan masyarakat miskin tidak lepas dari masalah
kebutuhan hidup atau berkisar tentang masalah perut:
“Dalam tesis Karl Marx menulis bahwa “soal kedamaian dunia itu terletak pada masalah perut. Setiap perut manusia kenyang dan senang, maka dunia dengan sendirinya akan damai” (Suara Hidayatullah, 2007).
Jika menunggu kedamaian sampai perut manusia kenyang, suatu hal yang
mustahil untuk diwujudkan. Perut manusia tidak akan kenyang sekalipun seluruh
harta di dunia dihabiskan. Tesis Marx menjadi sebuah renungan bahwa
kelangsungan hidup berkisar pada masalah perut atau pemenuhan kebutuhan
ekonomi yang serba terbatas akan memaksa manusia untuk melakukan strategi
untuk bertahan hidup (life survive).
Kemiskinan dalam kehidupan manusia pada belahan duniapun senantiasa
tidak terlepas dari kebutuhan hidup dan strategi bertahan hidup, baik masyarakat
perkotaan maupun masyarakat yang tinggal dipedesaan. Masyarakat akan bereaksi
dengan rangsangan-rangsangan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Segala upaya dengan menggunakan cara, metode, dan pengalaman manusia
merupakan salah satu usaha demi kelangsungan hidup.
“Menurut Partini dkk (1988) strategi sering dilakukan untuk menyisati kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup, terutama dalam keadaan mendesak atau mendadak. Strategi dengan melakukan pinjaman, menjual barang-barang simpanan seperti perhiasan, menggadaikan barang, dengan usaha lembur. Starategi ini sering dilakukan untuk kebutuhan mendadak seperti dalam keadaan sakit, membayar sewa rumah, kekurangan dalam kebutuhan hidup sehari-hari dan lain-lain”. (Juwanita,2004:29).
Pemenuhan kebutuhan hidup tidak akan lepas bagaimana stategi yang
diterapakan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Sehubungan dengan ini, George
Corner (1980) mengemukakan bahwa:
“Strategi-strategi kelangsungan hidup berputar sekitar akses sumber daya dan pekerjaan. Dalam perebutan ini kelompok-kelompok miskin bersaing; bukan hanya dengan yang kaya, akan tetapi diantara mereka sendiri”. (DC Contes dan Sharir, 1980: 87.
Segala usaha, daya dan potensi yang dimiliki oleh setiap orang, tentunya
bersaing dalam memenuhi kebutuhan hidup agar tetap survive. Strategi kelangsungan hidup yang digunakanpun berbeda sesuai dengan daya dan juga
kesempatan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dapat
dikatakan bahwa faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap kelangsungan
selain itu faktor lingkungan tidak dapat dilepaskan. Masyarakat harus
menggunakan, berpartisipasi, dan menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan
lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar dapat tetap hidup.
2.3 Pemukiman Kumuh
Pemukiman kumuh adalah suatu pemukiman yang kondisi fisik dan
hunian dan tata ruangnya mengungkapkan kondisi kurang mampu atau miskin
dari para penghuninya. Penataan ruang hunian dan pemukiman yang semrawut
yang disebabkan oleh penggunaan ruang yang tinggi tingkat kepadatan volume
maupun frekuensinya, dan serba kotor atau tidak terawat dengan baik. Disamping
itu, pemukiman kumuh juga kurang memadai dalam hal fasilitas-fasilitas umum,
seperti air bersih , pembuangan air limbah, sampah, jalan, dan berbagai fasilitas
untuk kegiatan sosial orang dewasa dan tempat bermain bagi anak-anak.
Pemukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya pemukiman
berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya pemukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana
lingkungan. Perumahan menitik beratkan pada fisik atau benda mati, yaitu houses
dan land settlement. Pemukiman memberikan kesan tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga
pemukiman menitik beratkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda
mati yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan pemukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya,
Pemukiman kumuh merupakan sebuah satuan kehidupan atau komoditi
yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas sosial dan budaya yang jelas.
Sedangkan batas-batas fisik pemukiman kumuh dengan pemukiman biasa di kota
terwujud secara :
(1) Jelas batas-batasnya, yaitu sebagai sebuah pemukiman liar, karena
merupakan sebuah pemukiman tersendiri yang terpisah dari pemukiman
biasa.
(2) Samar-samar batas-batas fisiknya, karena kekumuhan tersebut tersebar di
antara rumah-rumah dan wilayah yang tidak kumuh yang merupakan
bagian dari sebuah RT atau RW
(3) Jelas tetapi samar-samar batas-batasnya, karena pemukiman kumuh
tersebut merupakan sebuah komoditi yang terwujuh sebagai sebuah RT
atau RW dari sebuah kelurahan yang ada setempat (Menno, 1994).
Ciri-ciri pemukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh
(Suparlan;1984:188) adalah:
1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangannya
mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam
penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga
mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan
ekonomi penghuninya.
4. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup
yaitu terwujud sebagai: (a) Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik
negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar; (b) Satuan
komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RukunTetangga,
atau sebuah Rukun Warga; (c) Sebuah satuan komuniti tunggal yang
terwujud sebagai sebuah Rukun Tetangga atau Rukun Warga atau bahkan
terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian liar;
5. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen,
warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang
beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat
pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas
kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
6. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja
di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor
informil (Kurniasih, 2007).
Sementara itu pandangan lain mengenai ciri pemukiman kumuh
disampaikan Sinulingga (2005), menurutnya ciri kampung/pemukiman kumuh
terdiri dari:
a. Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/ha. Pendapat para ahli
perkotaan (MMUDP,90) menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu
kawasan telah mencapai 80 jiwa/ha maka timbul masalah akibat kepadatan
ini, antara perumahan yang dibangun tidak mungkin lagi memiliki
b. Jalan-jalan sempit tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena
sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap
rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain.
c. Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat
jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah
akan tergenang oleh air.
d. Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya
yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah,
ataupun ada juga yang membuangnya ke sungai yang terdekat.
e. Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur
dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan.
f. Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada
umumnya tidak permanen dan malahan banyak yang darurat.
g. Kondisi a sampai f membuat kawasan ini sangat rawan terhadap penularan
penyakit.
h. Pemilikan hak atas lahan sering tidak legal, artinya status tanahnya masih
merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa.
Sementara itu dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Pemukiman, yang menyatakan bahwa:
Jadi pemukiman kumuh adalah lingkungan hunian atau tempat
tinggal/rumah beserta lingkungannya, yang berfungsi sebagai rumah tinggal dan
sebagai sarana pembinaan keluarga, tetapi tidak layak huni ditinjau dari tingkat
kepadatan penduduk, sarana dan prasarananya, fasilitas pendidikan, kesehatan
serta sarana dan prasarana sosial budaya masyarakat.
2.3.1. Faktor Penyebab Munculnya Kawasan Kumuh
Hariyanto (2007) pemukiman liar atau hunian liar di wilayah perkotaan
muncul di negara-negara sedang berkembang karena serbuan para pendatang dari
wilayah pedesaan yang berada di sekeliling kota yang bersangkutan. Adanya
serbuan ini disebabkan oleh adanya perbedaan yang mencolok antara taraf
kesejahteraan hidup di desa dengan taraf kesejahteraan hidup di kota.
Bermukimnya pendatang-pendatang dari wilayah pedesaan ataupun
wilayah-wilayah di sekeliling sebuah kota hanya dapat terjadi kalau kehadiran mereka itu
di kota adalah fungsional dalam struktur-struktur kegiatan pemenuhan kebutuhan
–kebutuhan yang ada di kota tersebut. Karena dengan berfungsinya para
pendatang tersebut dalam struktur-struktur pemenuhan perkotaan maka mereka itu
dapat hidup dari imbalan jasa yang mereka terima dan mereka itu dibutuhkan
untuk menghidupi berjalannya sistem-sistem atau sebagian dari sistem-sistem
perkotaan yang bersangkutan.
Salah satu dari struktur-struktur pemenuhan kebutuhan perkotaan yang
dilayani pemenuhan kebutuhan-kebutuhan oleh para pendatang ini adalah
kegiatan pelayanan menggunakan tenaga kasar sebagai buruh bangunan. Sebagai
harus dipenuhi, yang walaupun tersedia dalam sektor-sektor formal, tetapi tidak
terjangkau oleh pendapatan mereka sebagai buruh. Yang terjadi adalah munculnya
berbagai kegiatan pelayanan, yang bersifat informal atau yang tidak secara formal
ada dalam peraturan pemerintahan kota, untuk melayani kebutuhan-kebutuhan
para pendatang dari pedesaan yang bekerja di kota. Sistem-sistem pelayanan
tersebut mencakup kebutuhan-kebutuhan penginapan, makan, minum, kesehatan,
pakaian, hiburan, dan berbagai pelayanan yang terkait dengan itu. Sistem-sistem
pelayanan ini dilakukan oleh para pendatang dari desa, sejenis dengan
buruh-buruh bangunan tersebut, atau pendatang-pendatang dari desa yang khusus datang
ke kota untuk itu.
Para pendatang dari pedesaan yang melayani kebutuhan-kebutuhan para
buruh bangunan tersebut juga memerlukan fasilitas dan sarana perkotaan untuk
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup mereka., sama dengan kaum buruh
bangunan seperti tersebut di atas. Salah satu di antara pemenuhan kebutuhan yang
harus dipenuhi adalah tempat untuk istirahat dan tidur, atau tempat tinggal dan
bermukim. Cara yang paling murah adalah dengan menempati tanah-tanah kosong
yang ada dalam wilayah kota, milik negara atau kota yang bersangkutan.
Penempatan atau pendudukan mereka atas wilayah-wilayah kota secara liar,
sebenarnya hanya mungkin terjadi kalau ada orang atau oknum yang merasa
mempunyai kekuasaaan dan diakui kekuasaannya untuk memberi izin bagi
penempatan secara liar tersebut. Di sinilah sebetulnya titik yang menentukan dari
asal muasalnya tumbuh dan berkembangnya pemukiman liar, seperti digambarkan
termasuk gelandangan dalam pengertian iini dapat dilihat sebagai konsekwensi
perkembangan kota.
Perkembangan kota yang dihasilkan dari konsekwensi ciri-ciri perkotaan
dari kota, di negara-negara berkembang tidak dibarengi secara sejajar dengan
perkembangan lembaga-lembaga pemerintahan kota yang mengatur berbagai
bentuk dan corak sistem pelayanan, serta tidak dibarengi dengan secara bersamaan
naiknya tingkat pendapatan dari para warga kota yang bersangkutan secara sama
atau merata. Dampaknya adalah yang terutama munculnya kegiatan-kegiatan
sektor informal, atau kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan yang tidak
terjangkau oleh sistem-sistem pelayanan yang formal dalam bidang jasa, uang,
dan barang, yang dengan demikian sebenarnya sektor informal dan hunian liar
tersebut telah membebani kota degan berbagai limbah yang dihasilkan oleh
hunian liar dan oleh kegiatan-kegiatan sektor informal, sedangkan pemasukan
uang ke pemerintahan kota melalui pajak tidak memadai karena pengaturannya
yang kurang jelas. Pengaturannya yang kurang jelas telah memungkinkan oknum
dari lembaga-lembaga pemerintahan kota untuk bertindak menarik pajak atas
nama pemerintahan kota untuk kepentingan sendiri, baik yang dilakukan secara
langsung ataupun dilakukan melalui orang atau sejumlah orang lainnya.
Dengan kata lain hunian liar ada dan berkembang bersamaan dengan
kegiatan-kegiatan sektor informal dan sektor-sektor kehidupan ekonomi lapisan
bawah dari masyarakat perkotaan. Mereka ini ada dan lestari karena fungsional
dalam berbagai struktur kehidupan ekonomi yang formal maupun yang informal.
Jadi , hunian liar bila dilihat dalam suatu kerangka sistem merupakan unsur yang
tingkat-tingkat tertentu dari proses-proses yang berlaku dalam sistem tersebut.
Karena itu, walaupun fungsional, tetapi juga bertentangan dengan fungsi dari
berbagai unsur lainnya yang ada dalam sistem perkotaan; atau bahkan dapat
dikatakan merugikan kalau dilihat secara ekonomi, kesejahteraan hidup warga
kota, dan fungsi kota sebagai pusat perkembangan kebudayaan dan peradaban dari
sebuah negara.
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan faktor penyebab munculnya
kawasan kumuh (slum dan squatter) dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu faktor yang bersifat langsung dan faktor yang bersifat tidak langsung (Hariyanto, 2007).
Faktor – faktor tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1. Faktor Yang Bersifat Langsung
Faktor-faktor yang bersifat langsung yang menyebabkan munculnya
kawasan kumuh adalah faktor fisik (kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan).
Faktor lingkungan perumahan yang menimbulkan kekumuhan meliputi kondisi
rumah, status kepemilikan lahan, kepadatan bangunan, koefisien Dasar Bangunan
(KDB), dll, sedangkan faktor sanitasi lingkungan yang menimbulkan
permasalahan meliputi kondisi air bersih, MCK, pengelolaan sampah,
pembuangan air limbah rumah tangga, drainase, dan jalan.
Kondisi lingkungan perumahan yang menyebabkan timbulnya kekumuhan
adalah keadaan rumah yang mencerminkan nilai kesehatan yang rendah,
kepadatan bangunan yang tinggi, koefisien dasar bangunan (KDB) yang tinggi,
serta status lahan yang tidak jelas (keberadaan rumah di daerah marjinal) seperti
daerah marjinal berpotensi terkena banjir pada saat musim hujan. Dengan
demikian nilai kekumuhan tertinggi pada saat musim penghujan.
Sedangkan faktor sanitiasi lingkungan yang menyebabkan kekumuhan
seperti kurangnya sarana air bersih yang terlihat dari banyaknya masyarakat yang
memanfaatkan air dari sumber yang tidak bersih sehingga berpotensi
menimbulkan penyakit akibat mengkonsumsi air yang tidak sehat, rendahnya
penggunaan MCK serta banyaknya masyarakat yang membuang hajat secara tidak
sehat, sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran organic dan peningkatan
bakteri coli, yang akan menimbulkan dampak lanjutan berupa gangguan kesehatan
masyarakat.
Belum adanya pengelolaan sampah yang baik menjadi salah satu unsur
penentu timbulnya kekumuhan. Akibat tidak adanya sistem pengelolaan sampah
dan kurangnya sarana pembuangan sampah mengakibatkan terjadinya
penumpukan sampah di pekarangan. Tidak berfungsinya sistem jaringan drainase
juga merupakan salah satu penyebab munculnya kawasan kumuh. Kondisi ini
menimbulkan tambahan prolematika lingkungan antara lain terjadinya banjir
(genangan) akibat penyumbatan sungai dan saluran air (drainase).
Faktor terakhir yang dinilai memiliki dampak langsung terhadap
timbulnya lingkungan kumuh adalah pembuangan limbah rumah tangga dan
kondisi jaringan jalan. Rendahnya kualitas sistem pembuangan air limbah rumah
2. Faktor Yang bersifat Tidak Langsung
Faktor-faktor yang bersifat tidak langsung adalah faktor-faktor yang secara
langsung tidak berhubungan dengan kekumuhan tetapi faktor-faktor ini
berdampak terhadap faktor lain yang terbukti menyebabkan kekumuhan.
Faktor-faktor yang dinilai berdampak tidak langsung terhadap kekumuhan adalah Faktor-faktor
ekonomi masyarakat, sosial dan budaya masyarakat.
Faktor ekonomi yang berkaitan dengan kekumuhan yaitu taraf ekonomi
masyarakat (pendapatan masyarakat), pekerjaan masyarakat. Penghasilan yang
rendah menyebabkan masyarakat tidak memiliki dana untuk membuat kondisi
rumah yang sehat, pengadaan MCK, tempat sampah dan lain-lain yang terkait
dengan sarana lingkungan rumah yang sehat. Pengahasilan yang rendah juga
mengakibatkan sebagian masyarakat membangun rumah tidak permanen di
bantaran sungai, Rel KA, dll. Dengan demikian taraf ekonomi secara tidak
langsung berpengaruh terhadap terjadinya kekumuhan. Demikian juga halnya
dengan pekerjaan masyarakat. Pekerjaan masyarakat yang kurang layak
menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah, sehingga kemampuan untuk
membuat rumah yang layak huni dan sehatpun menjadi rendah.
Faktor kedua yang berpengaruh tidak langsung terhadap kekumuhan
adalah kondisi sosial kependudukan yang meliputi jumlah anggota keluarga,
tingkat pendidikan, dan tingkat kesehatan. Jumlah anggota keluarga yang besar
dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah menyebabkan rendahnya
kemampuan dan pengetahuan masyarakat terhadap permasalahan lingkungan yang
akhirnya mendorong kesadaran yang rendah terhadap upaya menciptakan
kesehatan lingkungan menyebabkan masyarakat melakukan aktivitas membuang
hajat dan sampah yang berdampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan dirinya.
Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi munculnya kawasan kumuh
yaitu faktor budaya yang berhubungan dengan masalah kebiasaan dan adat
istiadat. Selain faktor sosial seperti tingkat pendidikan, faktor kebiasaan juga
menjadi pendorong munculnya kawasan kumuh. Faktor kebiasaan ini juga yang
menyebabkan masyarakat merasa lebih enak membuang hajat di saluran air dan
kebun sekalipun tidak sehat, dibanding membuang hajat di WC umum. Untuk itu
beberapa WC umum yang dibangun oleh pemerintah berada dalam kondisi
terlantar tidak dimanfaatkan oleh masyarakat.
Selain itu faktor adat istiadat seperti ”makan tidak makan yang penting kumpul” juga merupakan salah satu penyebab munculnya kawasan kumuh, walaupun bersifat tidak langsung. Namun adat istiadat seperti ini mendorong
orang untuk tetap tinggal dalam suatu lingkungan perumahan walaupun tidak
layak huni yang penting dekat dengan saudara, tanpa mau berusaha mencari
2.3.2 Akibat Slum untuk Kota
Menurut Simanjuntak (2004) bagi kota, maka slum itu tentunya dianggap
merusak keindahan kota. karena perkampungan-perkampungan “plastik” itu
kelihatannya akan sangat merusak pandangan, apalagi kalau bertumpuk disekitar
kantor-kantor besar atau toko modern. Kadang-kadang perkampungan miskin ini
bisa menimbulkan bahaya misalnya bisa terjadi kebakaran toko-toko atau
jembatan (seperti jembatan di Jalan Perdana Medan tempo hari). Menurut para
ahli sosiologi, orang-orang kelompok slum itu bisa juga menjadi sarang penjahat
Disamping itu bisa jadi terjadi ketidaksenangan orang-orang kota yang
sedang santai di restoran-restoran, dengan datangnya peminta-minta dalam
kondisi kurang menyedapkan pandangan mata dan penciuman, sehingga bisa saja
suatu restoran jadi tidak banyak pengunjungnya karena anggota banyak slum itu
banyak keluar masuk untuk meminta sisa-sisa makanan.
Beberapa akibat lain ialah terutama bagi kota-kota yang banyak mendapat
kunjungan tamu-tamu luar negeri yang berstatus turis. Keserasian perasaan
mereka akan menjadi terganggu dengan berkeliarannya penguni perkampungan
tersebut untuk mencari nafkah dan banyak akibat lain lagi.
Dalam rangka menuju kota metropolitan, adanya efek lompat katak atau perpindahan penduduk ke daerah pinggiran sesungguhnya merupakan hal yang
wajar, karena bagaimanapun kota yang mulai besar, daerah pusat kotanya pasti
tidak lagi bisa diharapkan untuk menampung pertumbuhan penduduk yang kian
padat. Yang sekarang menjadi persoalan adalah jika efek lompat katak yang terjadi melulu hanya di bidang permukiman saja . Benar bahwa di berbagai kota
besar untuk sebagian lahan pinggiran kota telah berubah fungsi menjadi pusat
industri atau perkantoran, tetapi dalam banyak hal sesungguhnya disana lebih
banyak muncul wilayah-wilayah permukiman baru. Menjamurnya berbagai
perumahan di pinggiran kota adalah beberapa contoh yang menunjukkan efek
buruk dari proses perpindahan penduduk yang melulu hanya dalam bentuk
permukiman. Dikatakan efek buruk di sini karena berbagai daerah pinggiran itu
hanya berfungsi sebagai “tempat tidur” saja, sementara untuk semua aktivitas
kerja, belanja, atau mencari hiburan, sebagain besar penduduk di wilayah
2.3.3 Parameter dan Kriteria Penilaian Kawasan Kumuh
Menurut Hariyanto (2007) dalam melakukan penilaian terhadap kawasan
kumuh terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan yang didasarkan pada
beberapa komponen yaitu komponen fisik, komponen sanitasi lingkungan;
komponen sosial kependudukan; komponen sosial budaya, dan komponen
ekonomi. Lebih jelasnya parameter tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini:
1. Komponen Fisik
a. Penggunaan Lahan (Land Use), parameter yang diteliti : tata guna lahan untuk berbagai peruntukan, mencakup penggunaan untuk fungsi lindung
seperti sempadan pantai, sempadan sungai, dan daerah konservasi;
penggunaan untuk fungsi budidaya seperti permukiman dan aktivitas
lainnya.
b. Keadaan Permukiman, parameter yang diteliti : jumlah rumah, jenis rumah, kondisi rumah, jumlah penghuni, kepadatan bangunan, KDB, dan
status kepemilikan lahan. Contoh : tata bangunan yang sangat tidak teratur,
umumnya bangunan-bangunan yang tidak permanen dan bangunan
darurat; tidak adanya suasana ”privacy (pribadi)” bagi pemilik rumah, karena jumlah ruang di rumah tinggalnya terbatas jika dibandingkan
dengan jumlah penghuninya.
c. Kondisi Fisik Lingkungan, parameter yang diteliti kualitas udara dan pencahayaan matahari. Kualitas udara yang tidak baik (kualitas udara menurun) dan pencahayaan matahari yang kurang yang biasanya
seperti ini akan menyebabkan udara di dalam rumah tak dapat mengalir
dengan baik, akibatnya akan menggangu kesehatan penghuni rumah
tersebut;
2. Komponen Sanitasi Lingkungan
a. Kecukupan sumber air bersih, dasar penentuan nilai adalah persentase jumlah keluarga yang memanfaatkan sungai sebagai sumber air bersih.
b. Pemanfaatan MCK oleh Warga, dasar penentuan nilainya adalah persentase penduduk yang telah menanfaatkan jamban sebagai tempat
membuang hajat dalam satuan wilayah tertentu (satuan wilayah desa).
c. Pembuangan air limbah, dasar penentuan nilai dalam kriteria ini adalah kebiasaan penduduk membuang air limbah yang diukur dalam persen
penduduk yang membuang limbah berupa air kotor rumah tangga
kepekarangan rumahnya dalam satuan wilayah tertentu (satuan wilayah
desa).
d. Kondisi saluran air, kondisi saluran air (drainase) diukur dalam persentase saluran drainase dalam kondisi mengalir dalam satu satuan wilayah
tertentu.
e. Penumpukan dan Upaya pengelolaan sampah, kondisi persampahan di hitung dari banyaknya lokasi penumpukkan sampah dalam satu wilayah
tertentu.
g. Kondisi jalan lingkungan, kondisi jalan lingkungan diukur dalam persentase jalan lingkungan yang berada pada kondisi sedang dan buruk
dalam satu satuan wilayah tententu (satuan wilayah desa/kelurahan).
h. Kondisi penerangan dan komunikasi, kondisi penerangan dan komunikasi diukur dalam persentase KK yang mendapatkan pelayanan penerangan dan
komunikasi.
3. Komponen Sosial Kependudukan
a. Jumlah penduduk, diukur dari banyaknya jumlah penduduk yang tinggal dalam satu kawasan atau wilayah.
b. Komposisi penduduk, melihat jumlah penduduk berdasarkan struktur usia (belum produktif, produktif, dan tidak produktif) dan mata status
pekerjaan (bekerja, setengah pengangguran atau pengangguran) .
c. Kepadatan penduduk, melihat kepadatan penduduk yang diukur dari jumlah penduduk dibagi dengan ketersediaan lahan (daya tampung).
d. Pendidikan penduduk, tujuannya untuk melihat sejauh mana tingkat pendidikan penduduk dalam kawasan tersebut. Sehingga akan diketahui
berapa besar pengetahuan dan pemahaman penduduk terhadap lingkungan
permukiman yang sehat dan layak huni.
e. Kesehatan penduduk, tujuannya untuk melihat sejauh mana kekuatan yang dimiliki penduduk dari tingkat kesehatannya yang dapat diukur dari jenis
penyakit yang pernah diderita, jumlah penduduk yang terkena penyakit,
4. Komponen Sosial Budaya
a. Kebiasaan penduduk, diukur dari banyaknya jumlah penduduk yang melakukan kebiasaan-kebiasaan yang dapat mendorong munculnya
kawasan kumuh seperti : kebiasaan membuang sampah disembarang
tempat, kebiasaan membuang hajat di sungai, pekarangan atau tempat
terbuka lainnya, kebiasaan penduduk mengkonsumsi air yang tidak bersih
dan higienis, dll
b. Adat istiadat, yaitu kultur budaya masyarakat yang dapat mendorong terciptanya kawasan kumuh seperti : makan tidak makan yang penting
kumpul, dll.
5. Komponen Ekonomi
a. Tingkat Pendapatan, diukur dari besarnya pendapatan yang diterima tiap KK dalam setiap bulannya.
b. Aktivitas ekonomi atau mata pencaharian penduduk, diukur dari besarnya jumlah penduduk yang bekerja dalam suatu bidang tertentu (PNS, buruh
tani, industri, dll).
c. Sarana atau fasilitas penunjang kegiatan ekonomi, bertujuan untuk melihat berapa besar fasilitas ekonomi yang dapat melayani masyarakat
dalam kawasan tersebut.
6. Kriteria Penilaian Kawasan Kumuh
Dari penjelasan-penjelasan diatas, kemudian dilakukan penentuan status
kawasan kumuh berdasarkan tingkat kekumuhan. Dalam hal ini, status kawasan
kumuh dibagi dalam 5 kelas, yaitu :
K1 = Kurang kumuh
K2 = Cukup Kumuh
K3 = Kumuh
K4 = Sangat kumuh
Untuk jelasnya mengenai penetapan kriteria kawasan kumuh dapat dilihat
pada lampiran 1.
2.3.4 Standart Hidup Layak
Pemukiman kumuh sangat erat kaitannya dengan standart hidup yang
layak. Masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh memiliki standart hidup
layak yang masih rendah. Pemerintah Indonesia mengatur standart hidup layak
dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2012. Peraturan ini secara
detail mengatur kebutuhan hidup layak warga negara Indonesia seperti: (1)
Makanan dan Minuman: mengkonsumsi setiap hari diantara bahan-bahan Telur
ayam, telur ayam ras, ikan segar baik, daging sedang, beras sedang,
kacang-kacangan, tempe/tahu baik, susu bubuk sedang, gula pasir sedang, Minyak goreng
curah, sayuran baik, buah-buahan (setara pisang/pepaya), Karbohidrat lain (setara
tepung terigu) sedang, teh atau kopi celup, bumbu-bumbuan;(2) Kebutuhan
Sandang: Celana panjang/ Rok/Pakaian muslimKatun/sedang; Celana pendek
katun/sedang; ikat pinggang kulit sintetis, polos, tidak branded; Kemeja lengan
pendek/blouse setara katun/1potong; Kaos oblong/ bra sedang; celana dalam
sedang; sarung/kain panjang sedang; sepatu kulit sintetis; kaos kaki katun,
Polyester, Polos; Perlengkapan pembersih sepatu (Semir sepatu sedang dan sikat
sepatu sedang; sandal jepit karet; handuk mandi; Perlengkapan ibadah (Sajadah
KHL; Dipan/ tempat tidur; Perlengkapan tidur (Kasur busa, bantal, sprei dan
sarung bantal); Meja dan kursi; Lemari pakaian Kayu sedang; Sapu Ijuk sedang;
Perlengkapan makan (Piring makan polos, Gelas minum polos, dan sendok garpu
sedang, Ceret aluminium, Wajan aluminium, Panci aluminium, Sendok
masak Alumunium); Rice Cooker; Kompor dan perlengkapannya (Kompor,
Selang dan regulator, Tabung Gas); Ember plastk; Gayung plastikSedang; Listrik
900 watt; Bola lampu hemat energy; Air Bersih Standar PAM; Sabun cuci
pakaian; Sabun cuci piring; Setrika250 watt; Rak portable plastic; Pisau dapur;
Cermin30 x 50 cm; (4) Pendidikan: Bacaan/radio Tabloid/Ballpoint/pensil; dan
(5) Kesehatan: Sarana Kesehatan (Pasta gigi, Sabun mandi, Sikat gigi Produk
local, Shampo); Pembalut atau alat cukur; Deodoran; Obat anti nyamukBakar;
Potong rambut di tukang cukur; Sisir biasa.
Konsumsi pangan yang diatur dalam peraturan menteri ini berkaitan erat
dengan kecukupan gizi masyarakat Indonesia. Apabila masih terdapat masyarakat
yang tidak mengkonsumsi makanan tersebut dalam waktu yang lama, maka
masyarakat dapat dikategorikan hidup belum layak. Kebutuhan dasar lain seperti
perlengkapan sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan harus bisa dipenuhi
masyarakat agar dapat hidup dengan layak.
2.4 Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di
tengah-tengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Dalam
konteks masyarakat Indonesia, masalah kemiskinan juga merupakan masalah
karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama, melainkan pula karena hingga
kini belum bisa dientaskan dan bahkan kini gejalanya semakin meningkat sejalan
dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia
(Alfian,2000:13). Dengan kekayaan alam yang melimpah dan potensi
pemanfaatan nyaris tanpa batas, tidak berlebihan kiranya jika mengharapkan
penghidupan yang layak. Sandang, pangan, maupun papan tersedia dalam jumlah
cukup dan harga terjangkau. Penghasilan pun mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan lainnya.
Masyarakat miskin adalah suatu kondisi dimana fisik masyarakat yang
tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai,
dengan kualitas perumahan dan pemukiman yang jauh di bawah standart
kelayakan serta mata pencaharian yang tidak menentu yang mencakup seluruh
multidimensi, yaitu dimensi politik, dimensi social, dimensi lingkungan, dimensi
ekonomi dan dimensi asset (P2KP, Pedoman Umum, 2004:1).
Definisi kemiskinan dengan menggunakan kebutuhan dasar seperti
diterapkan oleh Departemen Sosial, kemiskinan adalah ketidakmampuan individu
dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS, 2013). Yang
dimaksud dengan kebutuhan pokok dalam definisi ini meliputi kebutuhan akan
makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan, dan pendidikan.
Seperti juga apa yang dikatakan oleh Selo Soemardjan (1980), yang
dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh
suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut
menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka
yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya. Mereka itu, walaupun merupakan
mayoritas terbesar dari masyarakat, dalam realita tidak mempunyai kekuatan
apa-apa untuk mampu memperbaiki nasib hidupnya.
2.4.1 Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh
faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset
produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang
cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Selanjutnya
Sumodiningrat mengatakan bahwa munculnya kemiskinan struktural disebabkan
karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan
bermacam-macam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak
seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama
menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula sehingga
menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Menurut Kartasasmita (1996)
hal ini disebut “accidental poverty”, yaitu kemiskinan karena dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan
masyarakat.
Sebab-sebab kemiskinan struktural antara lain:
1. Kurangnya demokrasi, sehingga mengurangi partisipasi.
2. Kurangnya akses dan kontrol terhadap sumber daya.
3. Ketimpangan akumulasi dan distribusi aset produktif baik lahan maupun
modal.
5. Pengikisian peran pemerintah dalam meminimalkan ketimpangan sosial
dan swastanisasi yang berlebihan.
6. Eksploitasi sumber daya alam yang berdampak pada orang miskin.
7. Kebijakan-kebijakan yang menyebabkan monopolisasi ekonomi dan
polarisasi masyarakat.
Kemiskinan struktural berkaitan dengan aspek struktur dari suatu lembaga,
yang dimaksud dengan struktur ialah pola-pola organisasi sosial yang mantap,
luas, stabil dan mampu untuk meneruskan diri (self reproducing). Suatu institusi atau lembaga diartikan sebagai satu rangkaian hubungan antar manusia yang
teratur dan disahkan secara sosial, yang menentukan hak, kewajiban, dan sifat
hubungannya dengan orang lain. Lembaga ini penting dalam menjamin
kelangsungan dan kepastian dalam interaksi sosial dalam masyarakat. Dalam
kaitannya dengan persoalan kemiskinan, pemerintah adalah salah satu pihak
lembaga yang menjadi bagian struktural dalam upaya penanggulangan kemiskinan
dan upaya pembangunan masyarakat secara lokal, nasional dan global.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki hubungan politik dan
admnistrasi dalam berbagai aspek termasuk pada upaya pembangunan dan
penanggulangan kemiskinan di masyarakat Indonesia. Masyarakat sebagai
kumpulan individu dan kelompok memiliki peran dan terlibat dalam struktural
kelembagaan, apakah itu sebagai penikmat program pemberdayaan, dan ikut
dalam upaya perencanaan dan penanggulangan kemiskinan.
Studi penelitian yang dilakukan oleh Sondakh (2009) menyimpulkan
bahwa kemiskinan struktural adalah suatu kondisi yang dialami suatu golongan
dapat ikut serta menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya
tersedia bagi mereka. Secara teoritis, kemiskinan struk-tural dapat diartikan
sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab
utamanya bersumber dari struktur sosial yang berlaku di sekitarnya sehingga
mereka yang termasuk ke dalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk
mengubah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki hidupnya.
Struktur sosial yang berlaku tersebut membuat mereka terkurung pada
suasana kemiskinan secara turun -temurun dalam jangka waktu yang lama.
Sejalan dengan itu, mereka hanya mungkin keluar dari penjara kemelaratan
melalui suatu proses perubahan struktur yang mendasar. Pada umumnya
kemiskinan struktural terjadi di masyarakat saat kehadiran perbedaan yang
mencolok antara masyarakat yang hidup dalam keterbatasan dengan mereka yang
hidup dalam kemewahan, walaupun jumlah masyarakat miskin itu lebih banyak
jumlahnya dalam kenyataannya mereka tidak mampu memperbaki nasibnya
karena ketidakberdayaan dan tidak memiliki kekuatan sedangkan mereka yang
minoritas yakni masyarakat kaya berhasil memonopoli dan mengontrol hampir
semua aspek kehidupan yang berkaitan dengan modal-modal penting terutama di
bidang ekonomi dan politik.
Untuk melihat kemiskinan struktural, beberapa karakter dari kemiskinan
struktural adalah minim terjadinya mobilitas sosial secara vertikal, orang yang
miskin akan tetap hidup dalam kondisi keterbatasan, sedangkan orang kaya akan
terus menikmati kekayaannya. Menurut pendekatan struktural, hal itu terjadi
dikarenakan kungkungan struktural sosial yang menyebabkan mereka kekurangan
mereka. Struktur sosial yang berlaku membuat suatu pola dan corak rintangan
membuat mereka dihalangi untuk maju. Contohnya saja saat pendapatan mereka
rendah tidak memungkinkan mereka untuk menikmati fasilitas pendidikan,
padahal layanan pendidikan berpeluang untuk membantu masyarakat keluar dari
persoalan kemiskinan.
Ciri lain dari kemiskinan struktural adalah lahirnya ketergatungan antara
pihak yang kuat dan yang lemah atau antara yang kaya dan yang miskin.
Ketergantungan tersebut berdampak pada kemerosotan kemampuan orang miskin
untuk melakukan tawar menawar dalam hubungan sosial yang mengalami
ketimpangan antara pemilik tanah dan penggarap, antara majikan dan buruh.
Buruh itu tidak memiliki kemampuan untuk menetapkan upah, pedagang kecil
tidak bisa mendapatkan harga yang layak atas barang yang hendak dijual. Intinya
mereka yang miskin tersebut tidak mampu berbuat banyak menghadapi eksploitasi
dan proses marginalisasi yang dialaminya karena mereka tidak memiliki alternatif
pilihan untuk menentukan nasibnya menjadi lebih baik.
Ciri masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural selain sulit diajak
untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan, mereka juga sulit melakukan
perubahan, menolak mengikuti perkembangan dan tidak mau berusaha untuk
memperbaiki tingkat kehidupannya, Akibat sikap tersebut berdampak pada
pendapatan mereka yang minim. Jika menggunakan garis kemiskinan absolut,
mereka bisa dikategorikan sebagai penduduk miskin, walaupun mereka merasa
tidak miskin dan tidak mau dikatakan miskin.
Kemiskinan budaya juga bisa diartikan sebagai kemiskinan yang dialami
daya dan harusnya bisa digunakan dalam pemanfaatan yang bertujuan untuk
perbaikan taraf dan kualitas hidup mereka. Namun mereka tidak memiliki ilmu
pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa wirausaha dan motivasi sosial yang
diperlukan untuk menggali kekayaan alam lingkungannya dan demi kepentingan
masyarakatnya.
Menyimpulkan kondisi masyarakat miskin dalam pandangan kemiskinan
struktural dapat disederharnakan dengan melihat pola ketergantungan, pola
kelemahan, dan eksploitasi masyarakat miskin yang dilakukan oleh pihak di
luarnya, baik di tingkat lokal, nasional dan tingkat yang lebih tinggi lagi.Untuk
menanggulangi persoalan kemiskinan struktural tidak ampuh jika hanya
mengandalkan bantuan sejenis charity (amal) ataupun philanthropy
(kedermawanan), dan penyediaan fasilitas kredit dan fasilitas ekonomi yang lain.
Struktur sosial adalah titik sentral dalam upaya mengatasi persoalan
masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural, yang harus dilakukan adalah
mengubah struktur sosial, struktur sosial yang selama ini membuat mereka hidup
dalam ketergantungan dan terus dieksploitasi oleh masyarakat minoritas yang
menempati struktur sosial tertinggi dan mampu mengontrol serta menguasai
berbagai aset penting yang ada di masyarakat.
Adapun struktur kelembagaan yang terkait diantaranya pemerintah pusat
dan daerah di masa demokratisasi dan desentralisasi dalam hubungan politis dan
administratif perlu berkomitmen dalam memaksimalkan keragaman dan kapasitas
daerah yang beraneka ragam, berkoordinasi dan harus singkron dalam upaya
pembangunan masyarakat walaupun waktu dan prosesnya tidak sebentar,
untuk meningkatkan potensi wilayah dan potensi masyarakat di daerahnya
masing-masing.
2.4.2 Kemiskinan Kultural dan Budaya Masyarakat Miskin
Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok
masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di
mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan.
Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam
pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat
kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang
dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir (1997:
21) bahwa masyarakat miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin,
boros dan lain-lainnya.
2.5 Urbanisasi dan Perkembangan Kota
2.5.1 Pengertian Urbanisasi
Istilah Urbanisasi adalah istilah yang banyak dikenal dalam dunia ilmu
pengetahuan baik di Indonesia, maupun di negeri lain. Istilah tersebut tidak hanya
dikenal, tetapi juga dialami oleh penduduk kota dan desa terutama di negara yang
sedang berkembang. Urbanisasi merupakan gejala, atau proses yang sifatnya
multi-sektoral, baik ditinjau dari sebab maupun akibat yang ditimbulkan.
Permasalahan nampak sederhana namun sifatnya sangat kompleks
(Kantsebovskaya, 1976).
Pengertian lain dari Urbanisasi itu sendiri adalah berpindahnya
meningkatkan taraf hidup mereka dan mengadu nasib di kota (Soekanto, 1997).
Perpindahan penduduk dari desa ke kota (migrasi desa-kota) merupakan suatu
faktor utama yang mendorong pesatnya pertumbuhan kota-kota di negara sedang
berkembang. Dorongan kemiskinan di desa dan daya tarik pendapatan tinggi di
kota mengakibatkan gejala pertama dan urbanisasi berlebih, yakni: sejumlah besar
orang (yang belum pernah terjadi sebelumnya) menyerbu ke kota sehingga kota
menjadi terlalu besar dan tumbuh terlalu pesat.
Di dalam proses selanjutnya, timbullah masalah-masalah sosial yang
sangat besar. Akhirnya, pertumbuhan penduduk yang pesat ini disertai dengan
peningkatan penggunaan teknologi padat menimbulkan dua gejala lain, yakni
meningkatnya penggangguran dan setengah pengangguran di kota dan
berkurangnya proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor industri modern.
Urbanisasi merupakan salah satu proses yang tercepat diantara
perubahan-perubahan sosial di seluruh dunia. Belum lama berselang urbanisasi dan
pertumbuhan kota dipandang sebagai suatu indicator modernisasi dan kemajuan.
Daniel Lerner (1958) masih dapat menyatakan, bahwa urbanisasi merupakan
modernisasi dan pembangunan :”Adalah perpindahan penduduk dari pedalaman
ke pusat-pusat kota yang menstimulasi kebutuhan dan menyediakan syarat-syarat
yang dibutuhkan untuk “tinggal –landas “ ke arah partisipasi yang lebih meluas.
Kota-kota menghasilkan alat-alat mesin untuk modernisasi .” Dewasa ini para ahli
menjadi kurang optimis terhadap urbanisasi . Kota-kota tidak lagi dipandang
sebagai pusat-pusat perubahan dan kemajuan, tetapi sebagai daerah-daerah krisis.
Dengan mengesampingkan semua definisi-definisi kebudayaan dan
statistik-statistik kependudukan yg kasar, maka pembedaan-pembedaan berikut ini perlu.
Urbanisasi pertama-tama merujuk pada keadaan persentase penduduk yang
tinggal di daerah perkotaan dalam suatu negara. Kedua, ia merujuk pada suatu
proses, yakni peningkatan pada jumlah penduduk kota. Kebanyakan statistik
tentang penduduk kota merujuk pada peningkatan absolut dalam jumlah orang
yang tinggal di kota (Manning,1985).
Urbanisasi di negara Indonesia mengalami peningkatan yang cukup
berarti, sehingga kecenderungan semakin meluasnya problema sosial ekonomi di
berbagai kota di Indonesia dapat mengakibatkan problema nasional dan menjadi
masalah sosial bagi negara Indonesia.
2.5.2 Sebab dan Akibat dari Urbanisasi
Sebab-sebab dari adanya urbanisasi ini berbagai negara memang agak
berlainan namun secara umum dapat dikatakan adalah karena ketimpangan
keruangan (spatial imbalance) termasuk di dalamnya ketimpangan penduduk dan ekonomi. Firman (2005) menyebutkan sebab-sebab urbanisasi di Indonesia
adalah:
1. Sebagai akibat dari pertambahan penduduk alami di kota.
2. Sebagai akibat dari perpindahan penduduk desa ke kota.
3. Berkembangnya daerah tepian kota.
Menurut Firman (2005) beberapa akibat dari urbanisasi ini dapat dilihat,
misalnya :
a) Kepadatan penduduk kota yang menimbulkan masalah kesehatan
lingkungan, masalah perumahan dan masalah sampah yang sangat erat
b) Pertambahan penduduk kota yang menimbulkan masalah kesempatan
untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan memadai, masalah
pengangguran dan masalah gelandang. Hal ini tidak terlepas dari hukum
dan kependudukan yang mengatur tentang masalah - masalah
kependudukan.
c) Masalah lalu lintas, kemacetan jalan dan masalah parkir yang menghambat
kelancaran kota.
d) Industrialiasi di kota yang menimbulkan polusi udara, polusi air dan
kebisingan.
2.5.3 Masalah-Masalah yang Terjadi di Perkotaan Akibat Urbanisasi
Dampak urbanisasi yang biasanya menjadi perhatian adalah masalah
kemiskinan kota. Potret ini umumnya terekam melalui wajah perkotaan, dengan
sudut-sudut pemukiman kumuh. Kemiskinan dan kualitas lingkungan yang rendah
adalah hal yang mesti dihilangkan, tetapi tidak dengan menggusur masyarakat
yang telah bermukim lama di lokasi tersebut. Menggusur hanyalah memindahkan
kemiskinan dari lokasi lama ke lokasi baru dan kemiskinan tidak berkurang. Bagi
orang yang tergusur, malahan penggusuran ini akan semakin menyulitkan
kehidupan mereka karena mesti beradaptasi dengan lokasi permukiman yang baru.
Peremajaan kota ini menciptakan kondisi fisik perkotaan yang lebih baik,
tetapi sarat dengan masalah sosial. Kemiskinan hanya berpindah saja dan
masyarakat miskin yang tergusur semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan
karena akses mereka terhadap pekerjaan semakin sulit. Hal ini, dikarenakan
buruh kasar dan memperoleh penghasilan minim. Akibatnya, mereka hanya
mampu tinggal di kawasan kumuh dengan segala permasalahannya.
Urbanisasi yang terjadi di perkotaan telah menciptakan masalah-masalah
baru dalam proses pengembangan perkotaan. Masalah yang secara garis besar
meliputi aspek sosial, ekonomi, dan budaya ini diakibatkan oleh perbedaan yang
mendasar tentang desa dan kota. Akibat urbanisasi ini dapat dipahami beberapa
karakteristik yang muncul tentang penduduk perkotaan. Mereka yang
berurbanisasi masih menganut pengaruh tradisional lingkungan lama mereka.
Perbauran antara karakter tradisional dan modern inilah yang umumnya
terjadi di perkotaan, dan secara tidak langsung memberikan efek negatif dengan
munculnya masalah-masalah perkotaan yang kompleks. Selain dampak yang pasti
terasa seperti semakin padatnya penduduk kota, masalah-masalah lain seperti
pengangguran, kemiskinan, dan kriminalitas perkotaan, yang akan menghambat
perkembangan kota itu sendiri (Yunus, 2002; 93).
Fenomena urbanisasi tersebut yang terjadi di kota-kota besar
mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan ruang kota, yaitu permasalahan
penyediaan perumahan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. Permasalahan
sebagai akibat dari urbanisasi terasa sekali dalam hal kebutuhan akan perumahan
berikut lahan perumahannya. Kekurangan akan perumahan (backlog) dan lahan perumahan serta makin meningkatnya harga lahan perumahan menjadi semakin
sulit untuk ditanggulangi.
Bersamaan dengan itu perkampungan kota semakin meluas dan
memperburuk keadaannya. Belum lagi kekurangan akan prasarana dan sarana,
tidak mencukupi. Sistem administrasi kota pun kurang siap menghadapi semua
keadaan yang dirasakan berkembang mendadak dan sangat cepat itu.
Migrasi penduduk besar-besaran masuk kota ini juga membawa
konsekuensi peningkatan kebutuhan akan sandang, pangan, papan. Perkembangan
kebutuhan akan lahan kota untuk kegiatan ekonomi ini berbarengan dengan
perkembangan kebutuhan akan fasilitas-fasilitasnya. Lingkup permasalahan yang
ditimbulkan oleh urbanisasi sebagai fenomenanasional perlu diperhatikan,
diantisipasi, dan diambil langkah-langkah yang mendasar baik pada tingkat lokal,
regional, maupun nasional (Soefaat, 1999; 36).
2.6 Kerangka Pemikiran
Faktor kelahiran dan urbanisasi mengakibatkan pertumbuhan penduduk
yang padat didaerah perkotaan sehingga mengakibatkan munculnya sejumlah
permasalahan didaerah perkotaan. Salah satu diantara permasalahan tersebut
adalah lahan pemukiman yang terbatas, sehingga mengakibatkan munculnya
pemukiman kumuh. Analisis terhadap kehidupan ekonomi (pekerjaan,
pendapatan, pengeluaran, kepemilikan rumah, peralatan rumah tangga, alat
transportasi) dan kehidupan sosial budaya (pendidikan, organisasi sosial, interkasi
sosial, latar belakang budaya) warga pemukiman kumuh perlu dilakukan untuk
mendapatkan gambaran tentang strategi adaptasi warga pemukiman kumuh untuk
mengatasi permasalahan kemiskinan yang dialaminya. Penjelasan mengenai
Sumber: Diadaptasi dari penelitian Afriani Simanjuntak (2013) berjudul “Strategi Bertahan Hidup Penghuni Pemukiman Kumuh (Studi Kasus di Bantaran Rel Kereta Api Kelurahan Tegal Sari Mandala II Medan)
Gambar 2.1. Kerangka Penelitian KEMISKINAN
KUMUH
INDIVIDUAL STRUKTURAL
2.7 Defenisi Operasional
Adapun defenisi operasional dalam penelitian ini adalah:
Tabel 2.1 Defenisi Operasional
Variabel
Strategi jaringan
Strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk (misalnya melakukan aktivitasnya sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitarnya dan sebagainya).
Mengurangi pengeluaran keluarga ( misalnya, biaya untuk sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya).
Menjalin relasi, baik formal maupun informal dengan lingkungan sosialnya, dan lingkungan kelembagaan (misalnya: meminjam uang dengan tetangga, mengutang di warung, memanfaatkan program kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau bank, dan sebagainya). Pemukina
- Jalan-jalan sempit tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain.
- Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air.
- Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah, ataupun ada juga yang membuangnya ke sungai yang terdekat.
- Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan.
- Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh. - Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan
karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar;
- Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RukunTetangga, atau sebuah Rukun Warga;
- Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah Rukun Tetangga atau Rukun Warga atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian liar;
- Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. - Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang
bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informal
- Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada umumnya tidak permanen dan malahan banyak yang darurat. - Hak atas lahan sering tidak legal, artinya status tanahnya masih