BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sehubungan dengan kehadiran UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disingkat
UUPPTPPU) telah membawa perubahan khususnya dalam hal pembuktian di sidang
pengadilan. Oleh karena salah satu prinsip yang diterapkan dalam UUPPTPPU
memberi peluang dalam penegakan hukum yakni menekankan penyelidikan pada
aliran uang yang dihasilkan agar terhadap aktor intelektual dari aliran uang tersebut
dapat lebih mudah dideteksi, sebab muara aliran uang sudah tentu akan berakhir pada
aktor intelektualnya.1
Seiring dengan perkembangan pada saat ini, Indonesia telah berada dalam
teknologi elektronik yang berbasis pada lingkungan serba digital.
2
1 Bismar Nasution, “Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas Kejahatan Di Bidang
Kehutanan”, Makalah yang disampaikan pada Seminar Pemberantasan Kejahatan Hutan Melalui Penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Diselenggarakan atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Medan, tanggal 6 Mei 2004, hal. 2.
2
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, (Jakarta: Rajagrafindo Perkasa, 2005), hal. 31.
Dengan
kuantitas kejahatan konvensional yang mengarah pada penggunaan alat-alat canggih
dan dilakukan dengan modus operandi yang serba canggih pula. Edmon Makarim
mengatakan sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus
untuk mengungkap suatu kejahatan.3
Salah satu perubahan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan dalam UUPPTPPU dalam hal pembuktian dengan menggunakan
prinsip pembuktian terbalik sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 77
UUPPTPPU. Kalau dalam pembuktian secara umum menurut hukum acara pidana
pihak yang harus membuktikan adalah pihak yang mengajukan tuntutan (JPU),
4
Tegasnya dalam Pasal 77 UUPPTPPU menegaskan: ”Untuk kepentingan
pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta
kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.
maka dalam hal pembuktian terbalik, pihak yang membuktikan adalah pihak
terdakwa bukan JPU yang membuktikan kesalahan terdakwa seperti dalam hukum
acara pidana umum.
5
3
Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hal. 3.
4
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 291.
5
Sebelum diundangkan UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disingkat UUPPTPPU), Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang lama yakni UU No.15 Tahun 2002 junto UU No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPTPPU) telah menganut ketentuan pembuktian terbalik pada Pasal 35 UUPTPPU dan setelah digantikan melalui UUPPTPPU, ketentuannya diatur dalam Pasal 77.
Pembuktian terbalik atau
untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana
pencucian uang dan pembuktian tersebut dilakukan oleh terdakwa pada saat
membacakan pembelaannya yang dapat diulangi lagi pada saat memori banding dan
memori kasasi.6
Dalam hukum acara pidana selama ini dikenal asas praduga tidak bersalah
(persumption of innocence) atau asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self
incrimination).
Pembuktian merupakan bagian paling penting dalam sidang pengadilan.
Pembuktian merupakan masalah yang rentan diperdebatkan dalam setiap perkara
pemeriksaan. Melalui pembuktian dapat ditentukan nasib terdakwa apakah ia menjadi
bersalah atau tidak. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang diajukan
Jaksa Penuntut Umum (JPU), tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa, terdakwa dapat dibebaskan dari hukuman. Demikian sebaliknya,
jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan JPU, maka terdakwa dinyatakan bersalah
dan kepadanya dapat dijatuhkan hukuman atau sanksi.
7
6 Adrian Sutedi,
Op. Cit, hal. 290. Lihat juga: Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, (Bandung: Alumni, 2008), hal. 12. Menurut Lilik Mulyadi, istilah pembuktian terbalik disebut juga dengan istilah pembalikan beban pembuktian.
7
Adrian Sutedi, Loc. cit.
Asas praduga tidak bersalah yang apabila dikaitkan dengan asas
pembuktian terbalik (omkering van het bewijslast atau shifting of burde of proof/onus
tidak bertentangan. Yunus Husein mengatakan pembuktian terbalik di dalam tindak
pidana pencucian uang, bukan untuk memberikan hukum badan kepada pelaku
tindak pidana melainkan untuk merampas aset pelaku secara perdata.8
Pembuktian dalam hukum acara pidana secara umum menghendaki JPU untuk
membuktikan kesalahan terdakwa dalam persidangan, namun dalam pembuktian
terbalik menghendaki terdakwalah yang berperan aktif untuk membuktikan dirinya
tidak bersalah. Apabila tidak dapat dibuktikannya, maka terdakwa dinyatakan
bersalah melakukan tindak pidana, namun jika terdakwa dapat membuktikan bahwa
dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana, maka terdakwa tersebut dibebaskan dari
segala tuntutan hukum.9
Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan perkara perdata.
Pembuktian dalam perkara pidana lebih ketat dibandingkan dengan pembuktian
dalam perkara perdata. Pembuktian dalam perkara pidana (dalam KUHAP) mencari
kebenaran materiil sehingga hukum pidana secara umum menganut pembuktian
dengan stelsel negative, artinya untuk menjatuhkan putusan dalam perkara pidana
tidak cukup berdasarkan alat bukti saja, melainkan juga diperlukan adanya keyakinan
8
Yunus Husein, ”Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia”, Makalah disampaikan dalam ceramah Program Pascasarjana (S-2) Bidang Kajian Utama Huku m Pidana Universitas Padjadjaran, Jakarta, tanggal 8 Mei 2004, hal. 4.
9
hakim. Pihak yang harus membuktikan adalah pihak yang mengajukan tuntutan
yaitu JPU.10
Dalam hal acara pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap kasus-kasus
tindak pidana pencucian uang, digunakan pembuktian terbalik seperti yang telah
diamanatkan dalam Pasal 77 UUPPTPPU, oleh karenanya peranan hakim sangat
menentukan untuk tujuan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Hakim harus
mempunyai sifat visioner yang didasarkan kepada pemahaman bahwa pembuktian
dalam tindak pidana pencucian uang sangat sulit karena harus membuktikan tindak
pidananya sekaligus membuktikan asetnya. Tentu profesionalitas hakim sangat
diperlukan dalam praktik acara pembuktian terbalik.
11
10
Adrian Sutedi, Op. cit, hal. 288. Beban pembuktian seperti ini, berlaku di negara-negara yang menganut sistem civil law (Eropa Kontinental).
11
Adrian Sutedi, ibid, hal. 215.
Padahal dalam UUPPTPPU belum diatur sepenuhnya secara rinci tentang
acara persidangan yang menggunakan pembuktian terbalik. Selain itu, sistem ini
bertentangan dengan asas parduga tidak bersalah. Unsur yang dibuktikan oleh
terdakwa adalah harta kekayaannya bukan berasal dari kejahatan. Apabila unsur ini
tidak dapat dibuktikan oleh terdakwa, JPU tetap berkesempatan membuktikan unsur
lainnya, baik itu unsur objektifnya maupun unsur subjektifnya sepanjang masih ada
kaitannya dengan delik pencucian uang. Sementara pembuktian terbalik menekankan
Prinsip-prinsip di negara demokrasi yang mengakui rule of law, salah satu
karakter dalam pembuktian di sidang pengadilannya ialah praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) atau asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self
incrimination) yang diwujudkan dengan sistem pembuktian negatif. Sementara
pasal-pasal yang berkaitan dengan pembuktian terbalik tidak dikenal dalam sejarah
negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental.12
Dalam KUHAP dianut asas beban pembuktian yang paralel dengan asas
praduga tidak bersalah dimana JPU yang wajib membuktikan kesalahan terdakwa
dengan berbagai macam alat-alat bukti yang diajukannya di sidang pengadilan.
Sebagaimana dengan itu, Pasal 66 KUHAP menegaskan: ”Tersangka atau terdakwa
tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Kemudian pasal ini paralel dengan Pasal 66
ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf i Statuta Roma Mahkamah Pidana
Internasional yang disahkan oleh Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional pada tanggal 17 Juli 1998. Hal ini, dapat dirujuk ketentuan
dalam KUHAP, sampai sekarang belum pernah diatur pemberlakuan pembuktian
terbalik, kecuali pada tindak pidana tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang
misalnya Pasal 77 UUPPTPPU.
13
12
Indriyanto Seno Adji, Newsletter, Jurnal, Komisi Hukum Nasional, Vol. 7, No. 2, Maret-April 2007, hal. 21.
13
Lilik Mulyadi, Loc. cit.
Ditegaskan dalam Pasal 66 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional
tentang asas Praduga Tak Bersalah sebagai berikut:14
1. Setiap orang harus dianggap tak bersalah sampai terbukti bersalah di depan Mahkamah sesuai dengan hukum yang berlaku.
2. Tanggung jawab terletak pada Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan tertuduh.
3. Untuk menghukum tertuduh, Mahkamah harus merasa yakin mengenai kesalahan dari tertuduh tanpa ada keraguan yang masuk akal.
Kemudian ditegaskan dalam Pasal 67 ayat (1) huruf i Statuta Roma
Mahkamah Pidana Internasional tentang Hak-Hak Tertuduh, yaitu:15
1. Dalam menentukan setiap tuduhan, tertuduh berhak untuk diperiksa di depan umum, dengan mengingat ketentuan-ketentuan Statuta ini, terhadap suatu pemeriksaan yang dilakukan secara tidak memihak, dan terhadap jaminan-jaminan minimum berikut ini, dalam persamaan sepenuhnya:
a. Untuk mendapat informasi segera dan secara terperinci mengenai sifat, sebab dan isi tuduhan, dalam bahasa yang dimengerti dan digunakan sepenuhnya oleh tertuduh;
b. Untuk mendapat waktu dan fasilitas yang cukup guna mempersiapkan pembelaan dan untuk berkomunikasi secara bebas dengan penasihat hukum yang dipilih sendiri oleh tertuduh berdasarkan kepercayaan;
c. Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak sepantasnya;
d. Tunduk pada pasal 63, ayat 2, untuk hadir pada persidangan, guna melakukan pembelaan secara pribadi atau lewat bantuan hukum yang dipilih sendiri oleh tertuduh, untuk mendapat informasi, kalau tertuduh tidak mempunyai bantuan hukum, mengenai hal ini dan untuk mendapat bantuan hukum yang ditugaskan oleh Mahkamah dalam hal di mana kepentingan keadilan mengharuskan demikian, dan tanpa pembayaran kalau tertuduh kekurangan sarana yang mencukupi untuk membayarnya;
e. Untuk memeriksa, atau telah memeriksa, saksi-saksi terhadapnya dan untuk memperoleh kehadiran dan pemeriksaan saksi-saksi atas namanya berdasarkan kondisi yang sama sebagai saksi-saksi terhadapnya. Tertuduh
14
http://www.lbh-makassar.org/2011/06/14/statuta-roma/, diakses tanggal 28 Agustus 212
15
juga harus diberi hak untuk membuat pembelaan dan mengajukan bukti lain yang dapat diterima berdasarkan Statuta ini;
f. Untuk mendapat, bebas dari segala biaya, bantuan dari seorang penerjemah yang kompeten dan terjemahan yang diperlukan untuk memenuhi syarat-syarat keadilan, kalau ada di antara proses pengadilan atau dokumen yang diajukan kepada Mahkamah tidak dalam bahasa yang dimengerti dan digunakan sepenuhnya oleh tertuduh;
g. Tidak dipaksa untuk bersaksi atau untuk mengaku bersalah dan untuk tetap diam, dan kebungkaman atau sikap diam tersebut tidak boleh dimasukkan sebagai suatu pertimbangan dalam penentuan kesalahan atau tidak bersalah; h. Untuk membuat pernyataan lisan atau tertulis yang tidak di bawah sumpah
dalam pembelaannya; dan
i. Tidak memaksakan kepadanya setiap beban pembuktian atau setiap tanggung jawab bantahan.
2. Di samping setiap pengungkapan lain yang ditetapkan dalam Statuta ini, Penuntut Umum, segera setelah bisa dilaksanakan, mengungkapkan pembuktian pembela yang dimiliki atau di bawah penguasaan Penuntut Umum yang dipercaya memperlihatkan atau cenderung memperlihatkan tidak bersalahnya tertuduh, atau mengurangi kesalahan tertuduh, atau yang dapat mempengaruhi kredibilitas pembuktian tuduhan. Dalam hal ada keraguan mengenai penerapan ayat ini, Mahkamah harus mengambil keputusan.
Model pembuktian dalam Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf i
Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional tersebut di atas menganut asas beban
pembuktian biasa (konvensional) telah disahkan oleh Konferensi Diplomatik
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional
pada tanggal 17 Juli 1998.
Prinsip beban pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 66 KUHAP
berbeda secara ekstrim dengan prinsip pembuktian terbalik yang pengaturannya tidak
khusus.16
Pengaturan dalam Pasal 77 UUPPTPPU tidak ditegaskan jenis pembuktian
terbalik dalam tindak pidana pencucian uang, apakah pembuktian terbalik yang
dimaksud itu murni atau terbatas atau berimbang. Berbeda dengan pengaturan dalam
undang-undang korupsi dijelaskan dalam penjelasannya digunakan pembuktian
terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang. Oleh karena JPU masih tetap wajib Jika JPU dibebankan untuk membuktikan kesalahan tersangka atau
terdakwa maka prinsip ini dikenal dengan beban pembuktian biasa, sedangkan jika
beban pembuktian itu dibebankan kepada si tersangka atau terdakwa maka prinsip
demikian dikenal dengan pembuktian terbalik.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 77 UUPPTPPU merupakan suatu
penyimpangan dari ketentuan KUHAP yang menentukan bahwa JPU yang wajib
membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Namun, menurut
ketentuan Pasal 77 UUPPTPPU terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana pencucian uang. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal
tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab JPU masih tetap
berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan
pembuktian terbalik yang terbatas, karena JPU masih tetap wajib membuktikan
dakwaannya.
16
membuktikan dakwaannya itulah yang mengisyaratkan pembuktian terbalik bersifat
terbatas atau berimbang.
Masalah pembuktian terbalik secara historis sebenarnya sejak tahun 1971
hingga kini menjadi polemik yang terus diperdebatkan. Salah satu lembaga
internasional yang menentang pembuktian terbalik misalny
(ICCPR) tetap menghendaki berlakunya asas praduga
tidak bersalah sebagai bagian dari perlindungan HAM (right to remind silence).17
Hingga saat ini pemberlakuan pembuktian terbalik melalui pengaturan secara
normatif dalam bentuk undang-undang dinilai berbagai kalangan mengandung
banyak kelemahan. Misalnya seperti yang dalam pendangan Luhut M.P. Pangaribuan
(praktisi), melihat dalam praktiknya cenderung tidak digunakan oleh aparat penegak
hukum, justru beliau mempertanyakan kesiapan mental aparat penegak hukum jika
diterapkan asas pembuktian terbalik, untuk apa ada undang-undangnya.18
17
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2599/korupsi-merupakan-pelanggaran-ham-berat-, dan lihat juga di http://www.rimanews.com/read/20100824/2284/mengimplementasikan-azas-pembuktian-terbalik,
diakses tanggal 31 April 2012. ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) tetap menghargai hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri dari seorang tersangka atau terdakwa. Amanah dari ICCPR menekankan berlakunya praduga tidak bersalah (non self incrimination), yang merupakan bagian dari perlindungan HAM. Praduga tidak bersalah merupakan salah satu karakter di negara demokrasi yang menjunjung tinggi rule of law. Dalam sistem acara pidana, dalam kaitannya dengan pembuktian, non self incrimination itu karakter dari berlakunya sistem pembuktian yang disebut dengan istilah pembuktian negatif.
18
Luhut M.P. Pangaribuan, ”Sistem Pembuktian Terbalik”, Kompas, tanggal 2 April 2001, hal. 1.
Apabila sistem pembuktian terbalik dinormatifkan dan kemudian diterapkan
maka akan membawa implikasi negatif yang luar biasa. Implikasi pertama, secara
umum dapat mengembalikan hukum acara yang berlaku pada zaman yang disebut
dengan ancient regime dimana pada zaman ini hukum acara pidana dengan sistem
inkuisitoir dengan menjadikan tersangka atau terdakwa menjadi obyek. Sebab pada
masa itu, pengakuan merupakan alat bukti yang penting. Kedua, dalam situasi
rendahnya kapabilitas dan integritas aparat penegak hukum dewasa ini maka sistem
pembuktian terbalikbisa menjadi alat untuk memperkaya diri dan bentuk
penyalahgunaan penegakan hukum yang lain. Ketiga, usaha untuk meningkatkan
profesionalitas dan integritas penegak hukum akan menjadi tidak perlu apabila sistem
pembuktian terbalik diterima. Sebab dalam sistem pembuktian terbalik cukup hanya
mengandalkan perasaan hakim, maka apabila tersangka atau terdakwa itu gagal
membuktikannya maka ia akan menjadi narapidana. Luhut juga mengandaikan aparat
penegak hukum itu setingkat debt collector dalam pemberlakuan sistem pembuktian
terbalik.19
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Romli Atmasasmita (akademisi) yang
memandang pada satu sisi penggunaan pembuktian terbalik memiliki tujuan untuk
memudahkan proses pembuktian asal-usul harta kekayaan dari tindak pidana
pencucian uang, namun di sisi lain, tidak prinsip ini tidak dapat bertentangan dengan
hak asasi tersangka/terdakwa. Beliau juga menganalisia penggunaan pembuktian
19
terbalik tidak mendukung tujuan yang bersifat represif melalui proses kepidanaan,
melainkan bersifat rehabilitatif dan semata-mata untuk memulihkan aset dari hasil
tindak pidana pencucian uang melalui jalur keperdataan.20
Pembuktian terbalik khususnya dalam tindak pidana pencucian uang perlu
dikaji terlebih lebih dalam. Menurut Topo Santoso, dalam hal ini terdapat beberapa
masalah yang harus dipertanyakan yaitu: pertama, bagaimana pihak kejaksaan
membiasakan diri dari pola yang sebelumnya. Kedua, apakah perangkat penegak
hukum sudah siap dengan pembuktan terbalik. Ketiga, pembuktian terbalik
berpeluang sebagai alat pemerasan berdimensi baru, dimana semua orang dapat saja
disudutkan melakukan delik pencucian uang. Sementara pihak kejaksaan tidak
merasa bersalah dengan tuntutannya menuduh seseorang sebagai pelaku tindak
pidana pencucian uang. Orang yang dituduh melakukan tindak pidana pencucian uang
disuruh membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana pencucian uang,
sehingga dalam benak banyak sekali orang yang akan berpeluang bisa diperas karena
tuduhan.
21
Selain itu, Todung Mulia Lubis juga mengatakan hal senada jika diterapkan
asas pembuktian terbalik tidak mudah, karena baik laporan kekayaan pejabat maupun
pengusaha tidak dibuat, sehingga terasa sulit dipisahkan antara kekayaan pribadi
20
http://news.okezone.com/read/2007/04/09/1/12689/kontroversi-sistem-pembuktian-terbalik, diakses tanggal 29 April 2012.
21
dengan kekayaan-kekayaan hasil tindak pidana pencucian uang yang diperolehnya.
Dalam hal seorang pejabat negara, seharusnya disyaratkan laporan kekayaannya
sebelum menjabat dan diumumkan kekayaannya setiap tahun, sehingga bisa
diinvestigasi. Sedangkan jika ia pengusaha menjadi persoalan karena tidak mungkin
membuat laporannya untuk negara berhubungan bahwa harta yang dimilikinya
menyangkut urusan perdata.22
Bersamaan dengan persoalan-persoalan tersebut, ketentuan pembuktian
terbalik yang ditegaskan dalam Pasal 77 UUPPTPPU tidak didukung dengan
peraturan pelaksana sehingga pada satu sisi terdapat pihak yang berpendapat
pembuktian terbalik sudah wajib dilakukan oleh terdakwa sejak dimulainya
penyelidikan dan penuntutan, sementara di sisi lain ada juga pihakl yang berpendapat
wajib dilakukan oleh terdakwa hanya pada tingkat persidangan di pengadilan.23
Walapun demikian terdapat berbagai persoalan mengenai pengaturan
pembuktian terbalik, tetapi di antara kelemahan tersebut bukan berarti pembuktian
terbalik tidak dapat diterapkan. Penerapan sistem sudah dianut di Hongkong,
Malaysia, Cina dan Singapura. Misalnya saja di Hongkong, penerapan pembuktian
terbalik menurut keterangan pejabat Independent Comission Against Corruption
Hongkong cukup efektif untuk memberantas tindak pidana karena seseorang akan
takut melakukan pencucian uang sehubungan dengan sulitnya untuk memberikan
22
Ibid.
23
penjelasan yang memuaskan tentang sumber kekayaannya. Begitu pula di Cina
ketentuan pembuktian terbalik membuat Cina berhasil memberantas tindak pidana
korupsi melalui UU Pencucian Uang.24
Dalam kebijakan hukum nasional telah terjadi pergeseran yang
menormatifkan pembuktian terbaik dari tidak diatur menjadi diatur dalam
UUPPTPPU pada prinsipnya ditekankan untuk dapat merampas harta kekayaan (aset)
dari seorang terdakwa yang dikenakan tuduhan berdasarkan UUPPTPPU dan
kepadanya diwajibkan pula untuk membuktikan bahwa harta yang diperoleh bukan
dari tindak pidana pencucian uang.25
Pandangan-pandangan tersebut di atas sekaligus menjadi persoalan dalam hal
pengaturan dan pemberlakuan pembuktian terbalik khususnya untuk tindak pidana
pencucian uang termasuk penulis melihat dan menganalisa bahwa pengaturan dan
penerapan pembuktian terbalik masih bermasalah saat ini. Oleh karena pemikiran
tersebut menarik untuk dibuat penelitian tentang: ”Pengaturan Sistem Pembuktian
Terbalik Dalam Perspektif Rezim Anti Money Laundering” sebagai judul dalam
penelitian ini.
Sebenarnya sejatinya pembuktian terbalik bukan
terletak pada alat buktinya tetapi untuk membuktikan pada siapa melekatnya unsur
subjektif (pelaku) tindak pidana pencucian uang dan unsur objektif (harta kekayaan
atau aset) berdasarkan keyakinan hakim belaka.
24
Romli Atmasasmita, Seputar Indonesia, tanggal 15 Maret 2012.
25
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, tersimpul 3 (tiga)
permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimanakah asas pembuktian terbalik menurut hukum acara pidana dalam
undang-undang tindak pidana pencucian uang?
2. Bagaimanakah pengaturan sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana
pencucian uang?
3. Apakah hambatan-hambatan penerapan sistem pembuktian terbalik dalam
undang-undang tindak pidana pencucian uang?
C. Tujuan Penelitian
Sedangkan tujuan untuk melakukan penelitian terhadap permasalahan
dimaksud adalah untuk:
1. Mengetahui dan mendalami asas pembuktian terbalik menurut hukum acara
pidana dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang.
2. Mengetahui, menganalisis, dan memahami pengaturan sistem pembuktian
terbalik dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang.
3. Mengetahui hambatan-hambatan penerapan sistem pembuktian terbalik dalam
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pembaca, baik
secara teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah:
1. Manfaat secara teoritis berkontribusi terhadap paradigma berfikir dan
wawasan dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya
permasalahan pengaturan pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian
uang. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi peneliti
selanjutannya serta berkontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan
perundang-undangan tindak pidana pencucian uang.
2. Manfaat secara praktis dikhususkan bagi kalangan praktisi hukum atau aparat
penegak hukum khususnya aparat di Kepolisian, aparat di Kejaksaan, aparat
di Kehakiman, Advokat/Pengacara, dan aparat hukum di Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta praktisi lainnya yang ada kaitan
profesinya dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang. Manfaat bagi praktisi tersebut untuk mengetahui dan memahami
persoalan-persoalan dan solusi menyangkut pengaturan serta penerapan
E. Keaslian Penelitian
Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang
sama, maka sebelumnya, peneliti terlebih dahulu melakukan penelusuran di berbagai
perpustakaan termasuk di pusat perpustakaan USU dan di perpustakaan Magister
Ilmu Hukum USU. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan tersebut diperoleh judul
Tesis atas nama, pertama: tesis atas nama Irdanul Achyar dengan nomor induk
067005071 dan judul “Analisis Pengimplementasian Rezim Civil Forfeiture Dalam
Pemberantasan Money Laundering” tahun 2010 yang fokus pembahasannya
mengenai penggunaan instrumen civil forfeiture dalam pemberantasan tindak pidana
pencucian uang. Kedua: tesis atas nama Ediy Siong dengan nomor induk 087005003
dan judul “Rekaman Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Rezim Anti
Pencucian Uang” tahun 2010. Fokus pembahasannya menyangkut kedudukan
rekaman elektronik sebagai alat bukti dalam tindak pidana pencucian uang.
Namun setelah dibedakan antara pembahasan pada judul penelitian di atas
dengan permasalahan pada penelitian ini, jelas sekali perbedaannya. Pembahasan
terhadap permasalahan dalam penelitian ini memfokuskan pada pengaturan
pembuktian terbalik pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang.
Sehingga dengan perbedaan ini, dapat dikatakan bahwa judul dan permasalahan di
dalam penelitian ini, dinyatakan masih asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori
Radbruch mengatakan bahwa suatu pemikiran harus didukung oleh suatu
teori-teori hukum.26 Teori hukum digunakan sebagai kerangka teori sebagai pisau
analisis terhadap persoalan hukum. Kerangka teori merupakan pemikiran atau
butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat
menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis sehingga diperoleh suatu
penjelasan rasional yang sesuai dengan objek penelitian yang dijelaskan untuk
mendapatkan verifikasi dan data dalam mengungkapkan kebenaran.27
Dalam sistem peradilan pidana, pembuktian tentang benar tidaknya tersangka
atau terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, memegang
peranan yang sangat penting karena pembuktian merupakan bagian yang paling
menentukan dalam penjatuhan sanksi pidana atau pernyataan bersalah atau tidaknya
26
Radbruch dalam W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), hal. 2. Menurut Radbruch, teori hukum akan membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulat hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam.
27
terhadap seorang terdakwa. Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan
beberapa teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa.
Teori yang berhubungan dengan sistem pembuktian menurut perkembangan
hukum acara pidana meliputi: teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim
(conviction intime), teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam batas-batas
tertentu atas alasan yang logis (conviction raisonee), teori pembuktian menurut
undang-undang secara positif, teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang
timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif (negatief wettelijk
stelsel), hingga munculnya teori pembuktian terbalik.
Dalam teori pembuktian conviction intime yang menentukan salah tidaknya
seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian dari keyakinan hakim.
Tidak dipersoalkan dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya
dalam memutus suatu perkara pidana. Keyakinan itu boleh diambil dan disimpulkan
hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya di sidang pengadilan dan bisa juga hasil
pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dengan langsung menarik keyakinan
dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction intime
sudah barang tentu mengandung kelemahan misalnya hakim dapat menjatuhkan
hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinannya belaka tanpa
terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah
cukup bukti dengan alat-alat bukti yang lengkap.28
Sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, namun pembuktian yang
cukup itu dapat dikesampingkan oleh karena keyakinannya. Sebaliknya walaupun
kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasarkan alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa
dinyatakan bersalah yang semata-mata didasarkan pada keyakinannya. Sehingga
dapat dikatakan keyakinan hakim yang mendominasi atau yang paling menentukan
salah atau tidaknya terdakwa. Dengan keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah
cukup membuktikan kesalahan terdakwa sehingga seolah-olah menurut sistem ini
menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata.
Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem
pembuktian ini.
29
Sedangkan menurut teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam
batas-batas tertentu atas alasan yang logis (conviction raisonee), keyakinan hakim
tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa, akan
tetapi keyakinannya itu dibatasi. Jika dalam teori pembuktian conviction intime peran
dari keyakinan hakim secara leluasa tanpa batas, maka pada teori pembuktian
conviction raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang
28
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 1985), hal. 278.
29
jelas dan logis. Diwajibkan kepada hakim untuk menguraikan dan menjelaskan
argumentasi-argumentasi yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa.
Keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonee, harus dilandasi alasan
(reasoning) sementara reasoning itu harus jelas dan masuk akal sehat (reasonable)
serta benar-benar dapat diterima akal dan tidak semata-mata diputuskannya atas dasar
keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang logis.30
Pandangan dalam teori pembuktian menurut undang-undang secara positif
bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan (conviction intime)
dan pembuktian menurut undang-undang secara positif. Menurut teori pembuktian
berdasarkan undang-undang secara positif tidak diperlukan peran dari keyakinan
hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa tetapi hal yang berperan dalam
menentukan salah atau tidaknya terdakwa berpedoman pada alat-alat bukti yang
ditentukan undang-undang dan untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa
semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Ukurannya adalah asalkan
sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang,
sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan
hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, tidak menjadi
masalah yang penting jika sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang, maka hakim tidak lagi menanyakan
keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa tersebut. 31
Apabila menggunakan teori pembuktian menurut undang-undang secara
positif dibandingkan dengan teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata
(conviction intime) tampaknya teori pembuktian menurut undang-undang secara
positif lebih menilai kebenaran yuridis dibandingkan dengan sistem pembuktian
menurut keyakinan hakim semata. Sebab teori pembuktian menurut undang-undang
secara positif lebih dekat dan relevan dengan prinsip penghukuman berdasar hukum.
Keyakinan rentan dengan penyalahgunaan sehingga apabila menggunakan
kewenangan undang-undang lebih dekat dengan kebenaran.
Dalam teori pembuktian menurut undang-undang secara positif, hakim
seolah-olah bertindak sebagai robot undang-undang yang tidak memiliki hati nurani.
Sebab hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya
terdakwa. Pada satu sisi teori ini mempunyai kebaikan yakni benar-benar menuntut
hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai
dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam
undang-undang. Hakim harus mengesampingkan faktor keyakinannya dan berdiri
tegak pada nilai alat-alat bukti (objektif) tanpa mencampuradukkan dengan
keyakinannya (subjektif).
Pembuktian menurut teori undang-undang secara negatif (negatief wettelijk
stelsel) tetap menggunakan keyakinan hakim yang timbul dari penilaiannya terhadap
alat-alat bukti yang ada dalam undang. Teori pembuktian menurut
undang-undang secara negatif berada di antara teori pembuktian menurut undang-undang-undang-undang
secara positif dan teori pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction intime).
Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif nampaknya mencari jalan
tengah atau sebagai keseimbangan antara kedua teori yang saling bertolak belakang
secara ekstrem. Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif
menggabungkan teori pembuktian menurut keyakinan hakim dengan teori
pembuktian menurut undang-undang secara positif. Hasil penggabungannya
mewujudkan suatu teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif.32
Secara umum berlaku untuk semua tindak pidana kecuali ditentukan secara
khusus dalam undang-undang, hukum acara pidana di Indonesia menggunakan teori
pembuktian menurut undang-undang secara negatif ini. Penegasan penggunaan teori
ini ditegaskan dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana
(KUHAP) yaitu: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”. Dengan merujuk ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut harus ada
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang telah dicantumkan dalam Pasal 184 (yakni:
keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa).
Dua saja di antara lima alat bukti tersebut sudah terpenuhi dan ditambah
dengan keyakinan hakim, maka perkara pidana tersebut dapat diputuskan oleh
hakim.
Dalam asas pembuktian terbalik, ketentuan tersebut secara terang-terangan
disimpangi, karena hakim dapat saja menjatuhkan putusan pidana tanpa adanya alat
bukti jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Hanya
dengan adanya keyakinan hakim saja sudah cukup untuk menyatakan atau
memutuskan kesalahan terdakwa, tanpa perlu adanya alat bukti. Hal ini sama dengan
sistem dalam teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata (conviction
intime) yang telah diuraikan di atas. Penerapan ketentuan ini pada satu sisi sangat
merugikan terdakwa, namun mengingat bahwa tindak pidana pencucian uang
merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), maka untuk
membuktikan kesalahan terdakwa dalam kasus tindak pidana pencucian uang,
diperlukan hukum acara yang luar biasa dalam hal ditetapkannya ketentuan hukum
acara pembuktian terbalik.
Dinormatifkannya ketentuan hukum acara pembuktian terbalik dalam
UUPPTPPU karena pada prinsipnya yang dikejar adalah hasil-hasil tindak pidana
memperkenalkan suatu aturan yang mengatur penyitaan aset secara perdata atau
pidana dengan hukum acara khusus atau luar biasa. Model seperti ini menggunakan
sarana hukum perdata untuk merampas aset yang menjadi kerugian keuangan negara
melalui instrumen civil forfeiture dengan menggunakan hukum perdata.33
Rejim civil forfeiture bisa lebih evektif dalam mengembalikan aset yang
dicuri para pelaku dibandingkan melalui rejim pidana. Sebab rejim civil forfeiture
mempunyai kelebihan dalam mempermudah pengambilan aset melalui proses
pembuktian di persidangan. Civil forfeiture menggunakan rejim hukum perdata yang
menggunakan standar pembuktian lebih rendah dari pada standar yang dipakai dalam
hukum pidana, dimana jika pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset
yang akan dirampas adalah hasil yang berhubungan dengan tindak pidana, maka
pelaku harus membuktikannya bahwa harta itu adalah miliknya dan bukan berasal
dari suatu tindak pidana.
34
33
Tambok Nainggolan, Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar, Tesis, (Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2010), hal. 90. Lihat juga: Indri Wirdia Effendy, Perampasan Asset Milik Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Rezim Civil Forfeiture”, Tesis, (Medan: Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2011), hal. 9. Model Civil forfeiture adalah suatu model yang menggunakan pembuktian terbalik dan memfokuskan pada gugatan terhadap aset bukan mengejar pelaku sehingga aset negara dapat diselamatkan sekalipun tersangka telah melarikan diri atau meninggal dunia.
34
Sehubungan dengan hal tersebut, maka teori yang digunakan dalam
pembuktian tindak pidana pencucian uang di samping teori pembuktian yang dianut
di dalam KUHAP yaitu pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief
wettelijk stelsel) yang merupakan teori antara sistem pembuktian menurut
undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim
(conviction intime), juga digunakan teori pembuktian terbalik yang semata-mata
bertujuan untuk merampas aset atau harta kekayaan hasil tindak pidana pencucian
uang secara perdata.35
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim.
Untuk menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan
keyakinan hakim semata-mata atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian
menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan
yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang
28-29 November 2007, hal. 6. Bismar mencontohkan misalnya dalam hal pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan dari si koruptor dan membandingkan dengan jumlah aset yang dimilikinya. Jika aset tersebut melebihi dari jumlah pendapatan si koruptor, maka tugas si koruptorlah untuk membuktikan bahwa aset tersebut dia dapat melalui jalur yang sah.
35
sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan terdakwa
dibarengi dengan keyakinan hakim.36
Sebelum dianutnya pembuktian terbalik dalam UUPPTPPU, pembuktian yang
hanya mendasarkan pada keyakinan hakim pernah dianut di Indonesia yakni pada
pengadilan distrik dan kabupaten. Hakim pada masa itu menerapkan keyakinan
melulu.
Tampaknya tidak ada teori yang paling dominan di antara kedua teori
tersebut. Jika salah satu di antaranya tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian
kesalahan terdakwa. Misalnya, ditinjau dari segi cara dan alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah
cukup terbukti, tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa tersebut, maka
dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya, jika
hakim telah benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan
kejahatan yang didakwakan kepadanya, tetapi keyakinan tersebut tidak didukung
dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan alat-alat bukti yang sah dalam
undang-undang, terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, secara
umum dalam hukum acara pidana (KUHAP) kedua komponen tersebut harus saling
mendukung.
37
36
M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 279.
37
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 260.
Memang pada prinsipnya pembuktian adalah suatu proses meyakinkan
suatu perkara,38 sementara dalam hukum acara pidana hakim bersifat aktif, yaitu
hakim berkewajiban untuk memperoleh alat bukti yang cukup mampu membuktikan
tentang apa yang dituduhkan kepada terdakwa.39
Namun jika dipandang secara luas, pembuktian harus dipandang dari dua
sisi yaitu dalam arti yang luas dan terbatas. Dalam arti yang luas pembuktian dapat
membenarkan hubungan hukum, misalnya apabila hakim mengabulkan tuntutan,
maka pengabulan ini mengandung arti bahwa hakim menarik kesimpulan mengenai
apa yang didakwakan adalah benar. Berarti dalam hal ini memperkuat kesimpulan
hakim dengan syarat-syarat yang sah. Sedangkan dalam arti yang terbatas terdapat
pembuktian yang hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan JPU dalam
dakwaannya dibantah oleh terdakwa dan apa yang tidak dibantah tidak perlu
dibuktikan. Dalam arti yang terbatas inilah orang mempersoalkan hal pembagian
beban pembuktian.40
Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan harus dipandang secara
logis, konvensional, dan yiridis.
41
38
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal. 7.
39
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 32-33.
40
R. Supomo, Hukum Acara Pidana Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hal. 62-63.
Pembuktian dalam ilmu hukum diatur secara
41
komprehensif dan lugas. Meskipun demikian, namun nilai pembuktiannya tidak
dapat secara mutlak dan lebih bersifat subyektif. Kebenarannya merupakan
kebenaran yang relatif. Hal ini disebabkan karena pembuktian dalam ilmu hukum
hanyalah sebagai upaya memberikan keyakinan terhadap fakta-fakta yang
dikemukakan agar masuk akal, apa yang dikemukakan dengan fakta-fakta itu harus
selaras dengan kebenaran. Sehingga, keyakinan tentang sesuatu hal memang
benar-benar telah terjadi harus dapat diciptakan dan dapat diterima oleh pihak lainnya.
Apabila hanya dapat diciptakan tanpa diikuti atau diterima oleh pihak lain, maka
akan tidak memunyai arti sebab keterbuktiannya hanya menetapkan kebenaran
terhadap pihak-pihak yang berperkara saja. Jadi, tidak seperti bukti dalam KUHAP
yang berlaku secara umum dalam menetapkan kebenaran untuk setiap orang.42
Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya
peristiwa-peristiwa tertentu (communis opinio). Secara tidak langsung bagi hakim
karena hakim yang harus mengkonstatir peristiwa mengkualifisirnya dan kemudian
kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka, dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak, karena ada kemungkinannya bahwa pengakuan, kesaksian atau bukti tertulis itu tidak benar atau dipalsukan, maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Membuktikan secara yuridis dalam hukum acara pidana tidak sama dengan hukum acara perdata, terdapat ciri-ciri khusus sebagai yakni: pertama; dalam hukum acara perdata, yang dicari adalah kebenaran formal, yaitu kebenaran berdasarkan anggapan dari pada pihak yang berperkara. Sedangkan dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran materil, yaitu kebenaran sejati, yang harus diusakahan tercapai. Kedua; dalam hukum acara perdata, hakim bersifat passif yaitu hakim memutuskan perkara semata-mata berdasrkan hal-hal yang dianggap benar oleh pihak-pihak yang berperkara dan berdasarkan bukti-bukti yang dibawa mereka itu dalam sidang pengadilan. Jadi, hakim tidak mencampuri hak-hak induividu yang dilanggar, selama orang yang dirugikan tidak melakukan penuntutan di pengadilan
42
mengkonstituir maka konsekuensi pembuktian adalah putusan hakim yang
didasarkan atas pembuktian tersebut.43 Tujuannya untuk memperoleh kepastian
bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi guna
mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan
suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu
benar terjadi, yakni dibuktikan kebenarannya sehingga nampak adanya hubungan
antara para pihak.44
Sekalipun kebenaran pembuktian dalam ilmu hukum bersifat relatif, akan
tetapi mempunyai nilai yang cukup signifikan bagi para hakim. Karena fungsi
pembuktian berusaha memberikan kepastian tentang kebenaran fakta hukum yang
menjadi pokok perkara bagi hakim.45
43
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), (Jakarta: C.V. Mandar Maju, 2001), hal. 105.
44
A. Mukti Arto, Praktek-Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 140.
45
Bachtiar Effendi, dkk., Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 50.
Karena itu, hakim akan selalu berpedoman
dalam menjatuhkan putusannya dari hasil pembuktian.
Dalam hal pembuktian tindak pidana pencucian uang, pihak yang harus
membuktikan adalah pihak tersangka atau terdakwa. Beban pembuktian seperti ini,
pada mulanya tidak dianut di negara-negara yang menganut sistem civil law, seperti
di Indonesia baru diterapkan pada Pasal 77 UUPPTPPU telah diatur pembuktian
terbalik dimana terdakwa lah yang wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya
Walaupun demikian, pembuktian terbalik tidak sepenuhnya diwajibkan
kepada tersangka atau terdakwa untuk membuktikan hartanya bukan berasal dari
tindak pidana pencucian uang. Sebab, pengaturan pembuktian terbalik dalam Pasal 77
UUPPTPPU tidak disertai dengan penjelasan yang menjelaskan apakah murni
pembuktian terbalik atau pembuktian terbalik bersifat terbatas dan berimbang.
Bersifat terbatas dan berimbang dimaksud apabila terdakwa secara yakin dapat
membuktikan bahwa dakwaan yang ditujukan kepadanya tidak terbukti atau tidak
benar, hal ini bukan berarti terdakwa tidak melakukan tindak pidana sesuai dengan
apa yang didakwakan oleh JPU, sebab JPU masih tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya.46
2. Landasan Konsepsional
Landasan konsepsional berusaha mengintegrasikan dan mengkonstruksikan
secara internal pada pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan secara
konseptual dari bacaan dan tinjauan kepustakaan dibuat untuk menghindari duplikasi
atau multi pemahaman/penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
a. Tindak pidana pencucian uang adalah tindakan yang dilarang oleh hukum dan
dapat dikenakan sanksi bagi setiap orang, badan hukum, dan atau korporasi
yang melakukan perbuatan dengan sengaja untuk menyamarkan asal-usul
46
harta kekayaan yang diperolehnya dari tindak pidana asal (predicate crime)
sehingga seolah-olah sumber harta tersebut menjadi legal.47
b. Pembuktian adalah suatu proses beracara secara pidana maupun perdata
dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, suatu proses untuk
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil dan alat-alat bukti yang
dikemukakan dalam suatu perkara.
48
c. Alat bukti adalah alat yang menjadi acuan bagi hakim sebagai dasar untuk
memutus suatu perkara sehingga dengan mengacu atau berpegang kepada alat
bukti tersebut, hakim dapat menjatuhkan putusannya.49
d. Pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian adalah pembebanan
pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa dan wajib dibuktikan oleh
terdakwa bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana
pencucian uang.50
G. Metode Penelitian
Metode penelitian digunakan sebagai upaya ilmiah untuk memahami,
mendalami, dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu dengan cara
47
Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering di Indonesia, (Bandung: Books Terrance dan Library, 2005), hal. 18-19.
48
R. Subekti, Op. cit, hal. 7. Lihat juga: Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 1-2.
49
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, (Suarabaya: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 55.
50
mempelajari sesuatu atau beberapa gejala persoalan hukum tertentu dengan cara
menganalisisnya.51
Sumber data diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research)
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.
Sifat penelitian yuridis normatif dalam penelitian ini mengacu kepada norma-norma,
kaidah-kaidah, asas-asas, dan ketentuan yuridis yang dikhususkan dalam peraturan
perundang-undangan. Alasan penggunaan yuridis normatif ini didasarkan pada
paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep, dan data yang
berhubungan dengan prinsip pembuktian terbalik yang dikaitkan dengan
ketentuannya di dalam UUPPTPPU. Sifat penelitian adalah deskriptif analitis yaitu
mengungkapkan bahan-bahan menyangkut pembuktian terbalik baik yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan terkait, dan bahan hukum sekunder secara
analisis dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara
berbagai jenis data.
2. Sumber Data
51
untuk mendapatkan konsepsi teori, konsep-konsep, doktrin, kaidah-kaidah, asas-asas,
dan pendapat atau pemikiran dari penelitian terdahulu yang berhubungan dengan
ketentuan pembuktian terbalik sebagai objek yang ditelaah dalam penelitian ini
khususnya pembuktian terbalik dalam perkara tindak pidana pencucian uang. Oleh
sebab itu, maka data pokok yang digunakan hanya data sekunder yang meliputi:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum paling pokok meliputi: Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No.8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
(UUPPTPPU).
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
berupa pendapat atau pemikiran dari para pakar hukum terhadap bahan hukum
primer, seperti buku-buku, makalah seminar atau pertemuan ilmiah lainnya,
majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, surat kabar, dan
bahkan dokumen pribadi yang relevan dengan objek telaahan.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum hanya sebagai penunjang untuk
memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, seperti: kamus bahasa Indonesia (Ensiklopedia),
kamus bahasa Inggris, kamus bahasa Belanda, kamus bahasan hukum
Indonesia, dan kamus umum yang relevan dengan penelitian ini.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library
research) dengan menggunakan alat pengumpulan data yaitu studi
dokumen-dokumen yang relevan dengan sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana
pencucian uang. Perolehan data diperoleh dari pusat perpustakaan USU, di
Perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum USU, di perpustakaan daerah, di toko-toko
buku, bahkan dokumen-dokumen pribadi yang berkenaan dengan objek penelitian.
Data yang sudah dikumpulkan melalui studi pustaka tersebut selanjutnya akan
dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal dalam undang-undang dan ketentuan
lainnya yang mengandung kaedah-kaedah dan norma-norma serta prinsip-prinsip
pembuktian terbalik yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang diteliti
hingga disistematisasikan untuk mendapatkan klasifikasi yang selaras dan seimbang
terhadap permasalahan.
4. Analisis Data
Analisis terhadap data yang telah dikumpulkan dilakukan secara kualitatif.
Maksud dari kualitatif dalam konteks penelitian ini yaitu pemilihan teori-teori,
asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam peraturan perundang-undangan
yang menyangkut pembuktian terbalik khususnya untuk delik tindak pidana
pencucian uang dan peraturan lainnya yang relevan dengan permasalahan dalam
penelitian ini. Data yang diperoleh melalui studi pustaka tersebut selanjutnya akan
dipilah-pilah guna memperoleh relevansi terhadap permasalahan dengan data yang
klasifikasi yang selaras dan seimbang terhadap permasalahan menyangkut masalah
pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang. Data yang telah dianalisis
tersebut dipaparkan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan
hubungan antara berbagai jenis data dan disimpulkan sehingga permasalahan akan