• Tidak ada hasil yang ditemukan

this PDF file PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DAN HUMANISASI DI GORONTALO AWAL ABAD KE20 | Kulap | Edukasia : Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 2 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "this PDF file PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DAN HUMANISASI DI GORONTALO AWAL ABAD KE20 | Kulap | Edukasia : Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 2 PB"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Humanisasi di gorontalo awal abad ke-20

mursalat kulap

Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia

mursalatkulap@gmail.com

laili masithoh Hamdiyah

Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia

lailimasithohhamdiyah@gmail.com

renol Hasan

Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo, Indonesia

renoldhasan@ung.ac.id

Abstract

(2)

equality, so at the next development was born the elite of Gorontalo which ight for independence through the Islamic organizations as a form of the humanization.

Keywords : Islamic Education, Humanization, Gorontalo

abstrak

PERKEMBANGAN PENDIDIAN ISLAM DAN HUMANISASI DI GORONTALO AWAL ABAD KE-20. Penelitian ini bertujuan mengeksplanasikan perkembangan pendidikan Islam dan perannya dalam proses humanisasi di Gorontalo awal abad ke-20. Eksplanasi yang dihadirkan adalah eksplanasi sejarah, sehingga metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan langkah-langkah penelitian yakni heuristik, veriikasi sumber, interpretasi, dan historiograi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan pendidikan Islam di daerah Gorontalo pada awal abad XX sangat pesat dan dilatarbelakangi oleh 3 hal yakni pertama akses pendidikan, transportasi dan informasi yang semakin terbuka, kedua

pandangan internal dari Islam itu sendiri tentang pentingnya ilmu, dan

ketiga sebagai respon terhadap masifnya penyebaran agama Kristen oleh pemerintah kolonial Belanda. Keberadaan sekolah-sekolah Islam memberikan kontribusi besar dalam kemanusiaan. Semakin banyaknya sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi-organisasi Islam di Gorontalo, telah memberikan kesempatan kepada kelompok pribumi untuk memperoleh pendidikan. Implikasi dari semua itu adalah terbentuknya kesadaran masyarakat Gorontalo tentang arti penting persamaan derajat manusia, sehingga pada perkembangan selanjutnya lahirlah elit-elit lokal Gorontalo yang memperjuangkan kemerdekaan melalui organisasi-organisasi Islam sebagai bentuk proses humanisasi.

kata kunci : Pendidikan Islam, Humanisasi, Gorontalo

Pendahuluan a.

(3)

satu bagian yang dianggap penting di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang pada dasarnya merupakan komunitas Islam terbesar di dunia. Sehingga tidak begitu mengherankan ketika ditemukan sekolah-sekolah Islam – baik yang menggunakan kurikulum secara umum maupun yang spesiik – di sebagian besar wilayah Indonesia. Sebelum membahas lebih jauh tentang pendidikan Islam terutama dalam perspektif sejarah, perlu terlebih dahulu dijelaskan konsepsi pendidikan Islam agar bisa mendefenisikan pendidikan Islam tersebut dalam satu perspektif.

Menurut an-Nahlawy sebagaimana di kutip Huda, pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan yang bertujuan untuk melatih peserta didik agar nilai-nilai spiritual dan etika Islam senantiasa menjadi rujukan dalam sikap hidup, tindakan, dan bahkan sampai pada pendekatan dalam pengetahuan (Huda, 2015: 171). Secara pemaknaannya, ilsafat pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan pendidikan umum, hanya saja pendidikan Islam menggunakan Alquran dan sunnah sebagai dasar dan sekaligus sumber rujukan (Mustaghiroh, 2015: 95). Pendidikan Islam juga dipandang sebagai sebuah pendekatan dalam mencapai tingkatan amal dan ilmu yang paripurna. Artinya bahwa pendidikan Islam diarahkan pada penggalian potensi-potensi positif dari manusia, dan juga sebaliknya yakni penekanan terhadap potensi-potensi negatif (Rahmad dalam Rohmah, 2014: 355). Selain itu, pendidikan Islam juga berorientasi pada kemanusiaan. Iqbal sebagaimana dikutip Kurniawan dan Mahrus mengatakan bahwa pendidikan Islam berorientasi pada pembentukan insan saleh dan masyarakat saleh, menciptakan keserasian dalam kehidupan (Kurniawan dan Mahrus, 2013: 145). Pendek kata, pendidikan Islam juga berkepentingan dalam proses humanisasi.

Jika dikategorikan dalam sebuah institusi, maka pendidikan Islam dapat dirincikan menjadi 4 bagian yakni:

(4)

model Barat, yang mempergunakan metode pengajaran klasikal, dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para siswa. Ketiga, Pendidikan umum yang bernafaskan Islam ialah pendidikan Islam yang diselenggarakan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum; dan keempat, pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja (Bukhari dalam Masduki, 2015 : 263 – 264).

Dengan demikian, maka dapat dikonstruksi sebuah pemahaman bahwa pendidikan Islam merupakan sebuah proses transfer of knowledge dan juga sekaligus transfer of values yang berdasarkan pada Alquran, Sunnah, dan hadis. Hal ini bertujuan untuk memperoleh keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan amal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Pendidikan Islam juga berorientasi pada penciptaan tatanan kehidupan manusia yang berkeadaban. Secara institusional, penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia mengalami perkembangan dari sistem tradisional menjadi modern.

Dalam perspektif sejarah, pendidikan Islam di Indonesia telah dimulai sejak periode awal penyebaran Islam, meskipun sistemnya masih tradisional. Kuntowijoyo (1991: 57) mengatakan bahwa tipe awal pendidikan Islam yang ada di Indonesia adalah pondok pesantren, yang merupakan bagian dari adaptasi Islam terhadap lembaga sejenisnya pada masa sebelumnya yakni Hindu-Budha. Pesantren biasanya dimiliki oleh seorang kiai, baik pondok, masjid, dan kekayaan lainnya. Kemudian pada periode tahun 1920-an, pendidikan Islam mulai mengadopsi sistem madrasah (sistem kelas) yang sama dengan sistem yang diberlakukan pada pendidikan umum saat itu.

(5)

pendidikan Islam di Indonesia (khususnya Gorontalo) memberikan kontribusi terhadap munculnya elit lokal Gorontalo yang kemudian menjadi protagonis dalam proses humanisasi melalui organisasi-organisasi Islam. Pendidikan berbasis pada agama Islam disebarkan sampai ke lapisan masyarakat yang tidak terjamah pendidikan barat saat itu. Pendidikan (termasuk pendidikan Islam) telah menjadi instrumen penting dalam proses penyadaran diri manusia. Menurut Freire (1985: 27) bahwa pendidikan merupakan proses humanisasi dan pembebasan dari praktek-praktek penindasan. Proses awal pendidikan berada pada tahap penyadaran diri tentang adanya penindasan, dan tahap selanjutnya adalah proses perlawanan terhadap praktek penindasan tersebut.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka sangat menarik untuk mengulas bagaimana perkembangan pendidikan Islam dan juga perannya dalam proses humanisasi di Gorontalo pada periode awal abad XX? Humanisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses perjuangan pribumi Gorontalo untuk mendapatkan pengetahuan dan selanjutnya menciptakan perkembangan kemanusiaan. Perjuangan tersebut berimpak pada munculnya gerakan-gerakan untuk melepaskan diri dari praktek kolonialisme di awal abad ke-20. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian sejarah yang terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, heuristik, yang merupakan tahap pengumpulan sumber. Pada tahap ini kemampuan teori-teori yang bersifat deduktif-spekulatif yang dituangkan dan diuji secara induktif-empirik atau pragmatik (Daliman, 2012: 51). Tahap heuristik banyak menyita waktu, biaya, tenaga, pikiran, dan juga perasaan. Sehingga itu agar dapat mengatasi masalah kesulitan sumber, maka kita harus menggunakan strategi untuk dapat mengatur segala sesuatunya baik mengenai biaya maupun waktu (Sjamsudin, 2012: 67 – 68).

(6)

Pendidikan di Gorontalo, selanjutnya buku dari Apriyanto dan Pinau yang berjudul dari Gorontalo untuk Indonesia: Sejarah Heroik Patriotik 23 Januari 1942. Kemudian buku dari Deliar Noer yang berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, serta beberapa buku lainnya. Berikutnya, rujukan lain diambil dari hasil penelitian yang diterbitkan di Jurnal, diantaranya yakni tulisan dari Huda yang berjudul “Peran Pendidikan Islam Terhadap Perubahan Sosial”, dalam Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, Vol 10, No. 1, Februari, dan tulisan dari Nur tentang Relasi Gender dan Pendidikan Islam, dalam Jurnal Pendidikan Islam, Vol. III, No. 2, Desember.

Langkah kedua yaitu kritik sumber yakni upaya untuk mendapatkan otentisitas dan kredibilitas sumber dengan cara melakukan kritik. Kritik dilakukan dengan memakai kerja intelektual dan rasional dan mengikuti metodologi sejarah guna mendapatkan obyektiitas suatu kejadian (Gotschalk dkk dalam Pranoto, 2010: 35). Selanjutnya kritik sumber itu terdiri dari kritik eksternal yang mengarah pada relasi antar sumber, dan kritik internal yang mengacu pada kredibilitas sumber (Pranoto, 2010: 36 – 37). Ketiga yaitu Interpretasi yang merupakan penafsiran atau pemberian makna terhadap fakta-fakta (fact) dan bukti-bukti (evidences). Interpretasi sangat menentukan model pendekatan penelitian dan juga dalam upaya historiograi.

(7)

Pembahasan b.

Bagian pembahasan akan dibagi menjadi 2 bagian yakni pertama membahas tentang pendidikan Islam di Gorontalo awal abad ke-20, kedua, organisasi-organisasi Islam sebagai simbol perjuangan kemanusiaan.

dinamika Pendidikan islam di gorontalo awal abad XX 1.

Perkembangan pendidikan Islam pada periode awal abad XX merupakan impact dari sebuah kebijakan pemerintah kolonial Belanda saat itu yang dikenal dengan sebutan politik etis. Awal dari semua perubahan yang terjadi pada awal abad XX di Hindia-Belanda (sekarang Indonesia) secara formal kenegaraan berasal dari adanya kebijakan politik etis oleh Belanda melalui pidato ratu Belanda pada tahun 1901 yang mengatakan bahwa “negeri Belanda memiliki kewajiban untuk mengupayakan kemakmuran, perkembangan sosial dan ekonomi pribumi di Hindia-Belanda” (Hardjosatoto, 1985: 95). Implementasi politik etis tersebut melalui pengembangan industri untuk kepentingan pribumi dan memperbesar penghasilan pertanian dengan cara menambah dan memperbaiki sistem irigasi. Selain itu, masalah kelebihan penduduk menjadi perhatian sehingga perlu adanya program transmigrasi (Niel, 2009: 56 – 57). Selanjutnya, van Devender mengatakan bahwa usaha-usaha perbaikan kehidupan kaum pribumi akan sia-sia jika dalam prakteknya tidak diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia di kalangan pribumi yang memadai. Sehingganya bidang pendidikan juga harus mendapatkan perhatian (Niel, 2009: 58). Dengan demikian, maka kesempatan untuk mendapatkan akses pendidikan bagi penduduk pribumi menjadi terbuka, termasuk juga pendidikan Islam yang semakin modern.

(8)

dan sebagainya. Menurut Maksum latar belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia secara umum disebabkan oleh 2 (dua) situasi yakni adanya gerakan pembaruan Islam di Indonesia, dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan pemerintah Belanda (Amirwan, 2013: 262).

Selain pada kelompok pembaruan Islam, madrasah juga mulai diterapkan pada pendidikan Islam kelompok tradisional. Latif (2013: 218) mengatakan bahwa dengan terjadinya modernisasi sekolah-sekolah tradisional, telah berdampak pada munculnya kemampuan kelompok tradisional untuk menghadapi tantangan dari kelompok reformis-modernis. Tidak hanya itu, kemampuan beradaptasi tersebut juga berdampak pada meningkatnya jumlah siswa pesantren secara signiikan. Hal ini kemudian secara perlahan-lahan memperkecil ruang dikotomi antara kelompok reformis-modernis dengan kelompok tradisional Islam.

(9)

Menurut Polontalo sebagaimana di kutip Hasanuddin, meskipun terjadi perkembangan pesat dari madrasah-madrasah yang didirikan oleh Muhammadiyah, namun bukan berarti semuanya tanpa tantangan yang berarti. Salah satu permasalahan yang dihadapi Muhammadiyah adalah kurangnya tenaga pengajar sebab kebanyakan lulusan tenaga pengajar yang ada telah diserap pada pendidikan sekolah yang didirikan oleh Belanda. Untuk menghadapi permasalahan tersebut, Muhammadiyah Gorontalo kemudian mengajukan permohonan bantuan guru-guru agama Islam dari Yogyakarta pada tahun 1931. Dengan demikian, maka pengurus pusat Muhammadiyah mengirim utusan guru agama Islam seperti Abdur Rauf, Sutuhardjo, Harnu Dahlan, dan Abdullah Siraj. Pada tahun berikutnya yakni tahun 1932, pengurus pusat Muhammadiyah kembali mendatangkan tenaga pengajar seperti Basir Maksum dan Mohammad Dahlan. Selanjutnya pada tahun 1933 kembali mendatangkan tenaga pengajar yakni Raden Himan dan Abdul Hayat (Hasanuddin, et.al. 2012: 78 – 79).

Selain mengajukan bantuan guru-guru Islam dari Yogyakarta, Muhammadiyah cabang Gorontalo juga mengirim utusan putra-putra daerah untuk melanjutkan studi ke Yogyakarta. Ekspektasi dari program ini adalah untuk mengatasi kekurangan guru di sekolah-sekolah Muhammadiyah, dan juga untuk menciptakan kader Muhammadiyah secara berkelanjutan. Umumnya mereka ditempatkan di sekolah-sekolah seperti Kweeksernal Muhammadiyah, AMS Muhammadiyah, Wustho Kweekschool Muhammadiyah di Yogyakarta, dan HIK di daerah Solo. Pengiriman putra-putra daerah Gorontalo untuk belajar di Yogyakarta telah dimulai sejak tahun 1935 sampai dengan 1938 (Hasanuddin, et.al. 2012: 79).

(10)

pendidikan barat yang dipelopori oleh pemerintah kolonial Belanda (Hasanuddin, et.al. 2012 : 82).

Organisasi lainnya yang memberikan perhatian dalam dunia pendidikan adalah keturunan Arab di Gorontalo. Mereka mendirikan Madrasah Al Falah (awalnya bernama Madrasatul Fathil Arabiyah) yang didirikan oleh Umar Basalamah pada tahun 1929 di Gorontalo. Umumnya, murid-murid sekolah tersebut adalah warga keturunan Arab di Gorontalo. Dalam kurikulum Madrasah Al Falah, pengajarannya antara lain lughat, tarikh, iqih/ ushul iqih, imla`/khat, muradat, nahwu/sharaf, ushul hisab, dan tafsir Alquran. Tenaga pengajarnya antara lain Sayyid Muhammad bin Umar Bahmid, Sayyid Ahmad bin Alwi Almasyur, Sayyid Salim bin Umar Bahmid, Abdullah bin Umar Assagaf, dan Abdullah bin Saleh Azzubedi. Pada tahun 1936, Madrasah Al Falah telah menamatkan beberapa murid diantaranya adalah Abas Rauf, Podungge, Abud Basalamah, Salim bin Umar Basalamah, Abdul Karim Badjeber, dan Abdul Bar Helingo. Perkembangan pendidikan dari kalangan Arab mendorong terbentuknya Partai Arab Indonesia di Gorontalo pada tahun 1937 yang dipelopori oleh Abdullah Jibran (Hasanuddin et.al. 2102: 80 – 82).

Perkembangan pendidikan yang dipelopori oleh organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Jong Islamieten Bond, dan keturunan Arab telah mendorong Nahdatusysyaiyah mendirikan lembaga pendidikannya. Pada tahun 1935 organisasi tersebut mendirikan Syaiyah School Ipilo, Syaiyah School Ternate, Syaiyah School Potanga, Syaiyah Kweekschool Gorontalo yang diperuntukkan bagi calon pendidik di Madrasah Alwataniyah Gorontalo, Madrasah Al Falah Gorontalo, dan Kursus Azzakirah Potanga (Yayasan 23 Januari 1942 dan IKIP Negeri Manado, 1981: 36). Perkembangan pendidikan Islam di Gorontalo yang sebagian besar dan bahkan sepenuhnya dipelopori oleh organisasi-organisasi Islam, menjadi fondasi kuat dalam gerakan-gerakan perjuangan kemerdekaan di Gorontalo pada periode-periode selanjutnya.

(11)
(12)

Faktor kedua yang mendukung perkembangan pendidikan Islam di Indonesia (khususnya Gorontalo) adalah pandangan Islam tentang pentingnya ilmu. Islam memberikan perhatian yang istimewa terhadap ilmu pengetahuan dan juga aktivitas ilmiah. Pembuktiannya terlihat pada ayat yang pertama kali diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW adalah surah Al-‘Alaq yang berbunyi: “Bacalah, dengan [menyebut] nama Tuhanmu, yang telah menciptakan” (Kosim, 2008: 122). Selain itu, dalam pandangan Islam, tidak ada pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Dalam batas-batas tertentu, seorang muslim akan bersedia menerima kebenaran yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, bukanlah berarti kebenaran tersebut adalah hal yang mutlak. Oleh sebab itu, seorang muslim bukan hanya bersedia menerima namun juga akan memilih (Soedewo, 2007: 23).

Berdasarkan anjuran dalam Alquran tentang pentingnya ilmu pengetahuan bagi manusia tersebut, maka semangat untuk berpengetahuan umat muslim yang berada di Gorontalo pada awal abad ke-20 mengarah pada modernisasi. Hal ini dilakukan sebagai langkah adaptasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang pada era itu banyak mendapatkan pengaruh dari Belanda. Meskipun kebijakan pembukaan kesempatan pendidikan bagi pribumi mulai diterapkan pada dekade awal abad ke-20, namun dalam prakteknya terdapat diskriminasi dimana anak-anak pribumi Gorontalo yang secara genealogis merupakan keturunan bangsawan, mendapatkan prioritas utama dalam pendidikan barat. Praktek-praktek tersebut yang mengilhami elite-elite agama untuk kemudian membuka lembaga-lembaga pendidikan Islam yang diperuntukkan kepada kelompok masyarakat yang tidak termarginalisasi. Selain itu, pendidikan Islam juga bertujuan untuk memperkuat pemahaman tentang Islam, yang pada gilirannya menuju pada kesadaran untuk keluar dari praktek kolonialisme saat itu.

(13)

pendidikan Islam di Gorontalo pada awal abad ke-20 merupakan antitesis dari masifnya gerakan evangelisme (penyebaran ajaran Protestan) di Gorontalo. Tercatat pada bulan Desember tahun 1905, umat Kristen Protestan mendirikan sekolah-sekolah salah satunya yakni Christelyke Maesa School setingkat Sekolah Desa di Kampung Tenda, Kota Gorontalo. Sekolah ini didirikan oleh H.M. Makalew dan R.M.H. Modjo, dan didukung sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Belanda (Hasanuddin et.al, 2012: 76).

Memang dalam mengimplementasikan kebijakan politik etis yang salah satunya adalah perkembangan pendidikan, terdapat praktek diskriminasi dari pemerintah kolonial Belanda. Sekolah-sekolah Kristen mendapatkan perhatian khusus dan bahkan bantuan inansial yang tidak sedikit, sementara itu, sekolah-sekolah Islam justru diperlakukan sebaliknya. Bahkan pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan yang dikenal dengan ordonansi guru sebanyak 2 kali yakni pada tahun 1882 dan 1925. Peraturan itu bertujuan untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap praktik pendidikan Islam. Guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah Islam harus mendapatkan izin dari pemerintah kolonial. Bahkan pada tahun 1935 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan ordonansi sekolah liar, dan membubarkan beberapa sekolah madrasah yang tidak memiliki izin (Nata, 2011: 285). Tindakan represif dari pemerintah kolonial Belanda terhadap sekolah-sekolah Islam, serta adanya agenda gerakan evangelisme justru menjadi pemicu perkembangan pendidikan Islam dan akhirnya bertransformasi menjadi pendidikan modern secara gradual.

(14)

gerakan politik, ada juga yang berorientasi pada gerakan-gerakan sosial seperti pendidikan. Kesemuanya merupakan bagian dari perjuangan kemanusiaan.

organisasi-organisasi islam di gorontalo: simbol 2.

Perjuangan kemanusiaan

Terjalinnya komunikasi dan terbukannya jalur transportasi antara Gorontalo dengan pulau Jawa telah mempermudah proliferasi (penyebarluasan) organisasi-organisasi dari pulau Jawa ke daerah Gorontalo, termasuk organisasi Islam yakni Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Sarekat Islam yang pada awal berdirinya bernama Sarekat Dagang Islam, merupakan transformasi dari Rekso Roemekso yakni sebuah organisasi ronda yang bertugas mengawasi keamanan daerah. Kelompok ini didirikan pada tahun 1912 oleh Haji Samhudi di Surakarta. Namun saat diperiksa oleh kepolisian Hindia-Belanda, organisasi ini kemudian mengaku sebagai cabang Sarekat Dagang Islam (SDI) Bogor yang didirikan oleh Tirtoadhisoerjo (Shiraishi, 1997: 55 – 56).

Awalnya, organisasi ini adalah perkumpulan para pedagang Islam di wilayah Jawa yang dikenal dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI). Mengenai tokoh pendirinya, terdapat perdebatan yang serius antara Tirto Adi Suryo dan Samanhudi yang sama-sama mengklaim bahwa masing-masing dari mereka adalah pendiri organisasi tersebut (Niel, 2009: 136). Tirto Adi Suryo sendiri dalam tulisan Toer (1985) dikatakan sebagai tokoh pergerakan nasional yang sengaja didiskreditkan oleh Belanda karena sikap yang radikal dalam menentang Belanda.

(15)

(pemerintahan sendiri) untuk Indonesia (Mulawarman, 2015: 1–13). Pemikiran-pemikiran Cokroaminoto banyak ditemukan dalam tulisan-tulisannya. Salah satu pemikiran yang cukup dikenal sampai sekarang adalah tentang sistem kemasyarakatan yang sosial-religius dengan susunan pemerintahan yang bersendikan demokrasi dan musyawarah mufakat (Tjokroaminoto, 2010: 13). Kedatangan H.O.S. Cokroaminoto di Gorontalo pada tahun 1923 telah membantu penyebaran organisasi SI di wilayah Gorontalo, sehingga pada tahun 1928 organisasi Sarekat Islam resmi didirikan di Gorontalo (Hasanuddin dan Amin, 2012: 199). Tokoh Sarekat Islam yang terkenal di tanah Gorontalo antara lain yakni Karel Ponamon dan Jusuf Sabah (Yayasan 23 Januari 1942 dan IKIP Negeri Manado, 1981: 34). SI di daerah Gorontalo melakukan beberapa kegiatan bidang sosial diantaranya mendirikan sekolah-sekolah, asrama-asrama, serta media. Selain itu, SI yang dikemudian hari berkembang menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) juga turut dalam menggembleng pendidikan politik di masyarakat melalui pidato-pidato yang tidak jarang mengkritisi praktek kolonialisme Belanda. Pada tahun 1931 dan 1932 terjadi bentrokan dengan pemerintah Belanda di masjid Jami (sekarang menjadi masjid Baiturrahim di Kota Gorontalo), yang disebabkan oleh pidato-pidato yang keras dari tokoh-tokoh PSI (Apriyanto dan Pinau, 2013: 46). SI memang merupakan salah satu organisasi yang saat itu memiliki gerakan cukup keras menentang Belanda.

(16)

yang saat itu cukup berkembang. Muhammadiyah dengan cepat berkembang bukan hanya di daerah Gorontalo melainkan juga di wilayah sekitarnya seperti Sulawesi Tengah (Apriyanto dan Pinau, 2013: 49). Tokoh-tokoh lainnya yang turut memberikan sumbangsih dalam perkembangan Muhammadiyah antara lain Tom Olil (ketua cabang Muhammadiyah yang pertama), U.H. Buluati, I Bada, H Akase, Muhammad Dunggio, Haji Jusup Abas, dan Muhsin Muhamad (Hasanuddin dan Amin, 2012: 200).

Kegiatan Muhammadiyah yang berorientasi pada aspek sosial turut membantu dalam perkembangan organisasi itu sendiri, sebab mendapatkan simpati dari rakyat Gorontalo. Kegiatan dakwah, kemudian pengembangan pendidikan dan kesehatan untuk masyarakat Gorontalo merupakan prioritas Muhammadiyah. Dakwah yang dijalankan Muhammadiyah adalah untuk melawan praktek evangelisme Kristen oleh Belanda dan tahayul-tahayul yang masih berkembang di masyarakat. Selain itu, pendidikan Islam, pembangunan mesjid, rumah sakit, dan taman-taman pengajian terus dikembangkan. Dan pada tahun 1930 Muhammadiyah membentuk Aisyiyah (wadah kaum perempuan) yang kepengurusannya terdiri dari Marie Lamadilawo, Marie Dambea, Ida Dunda, N.J. Latifah Kamba, Hadidjah Husa, Noni Arbie, Zubaidah Dungga, dan Marie Suleman. Selanjutnya, Muhammadiyah juga mendirikan Balai Kesehatan yang terletak di Kota Gorontalo dengan binaan dari Dokter Sunaryo dari Yogyakarta. Pendirian Balai ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan palayanan kesehatan penduduk (Hasanuddin dan Amin, 2012: 200–202).

(17)

diantaranya yakni Syaiiyah School Ipilo, Syaiiyah School Potanga, Syaiiyah Kweekschool Gorontalo, Madrasah Alwathaniyah dan kursus Azzakirah Potanga (ANRI dalam Apriyanto dan Pinau, 2013: 51).

Organisasi lainnya yang juga menyebar sampai ke wilayah Gorontalo adalah Persatuan Islam (PERSIS). Organisasi ini didirikan di Bandung pada tahun 1920-an oleh Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir. Pada umumnya gerakan PERSIS kurang memberikan tekanan pada kegiatan organisasi, termasuk penyebarannya dan juga kaderisasinya. Meskipun demikian, pengaruhnya jauh lebih besar dari pada perluasan organisasinya (Noer, 1982: 96–97). PERSIS masuk ke wilayah Gorontalo melalui beberapa tokoh diantaranya adalah A.R. Ointu. Selain PERSIS, juga terbentuk organisasi Penyadar di wilayah Gorontalo. Penyadar adalah organisasi yang didirikan oleh H. Agus Salim sebagai akibat dari perbedaan pendapat dengan H.O.S. Cokroaminoto tentang sikap perjuangan yang kooperatif dan non-kooperatif dengan Belanda. Dalam upaya mendirikan organisasi ini, H. Agus Salim dibantu oleh rekannya yakni Mr. Moh. Room (Yayasan 23 Januari 1942 dan IKIP Negeri Manado, 1981: 37). Pada prinsipnya, perkembangan organisasi-organisasi Islam di Indonesia (termasuk Gorontalo) pada periode awal abad ke-20, merupakan respon perlawanan terhadap langkah-langkah pemerintah Belanda untuk mengembangkan agama Kristen.

(18)

Ismail Datau, Syam Biya, Abdullah Amu, dan Anyone Hadju. Pada pertemuan pertama mereka membentuk susunan pengurus yakni Djafar Arbie (ketua), Husain Laiya (wakil ketua), Tjan Lamato (sekretaris), Marie Mantu (bendahara). Gerakan JIB di wilayah Gorontalo tergolong cukup keras. Terlihat dari rapat umum yang diadakan di Bioskop Murni Gorontalo dimana Giu hanib membawakan ceramah tentang Islam dan cita-cita kemerdekaan, yang berujung pada tindakan represif pemerintah kolonial Belanda dimana beberapa anggota JIB dibawa ke tangsi polisi (Yayasan 23 Januari 1942 dan IKIP Negeri Manado, 1981: 37 – 38).

Selain perkumpulan-perkumpulan pemuda, di Gorontalo juga terbentuk gerakan kepanduan yang menjalankan prinsip kaderisasi. Keanggotaan gerakan kepanduan berasal dari mereka yang bersekolah di sekolah rakyat, sekolah menengah, orang dewasa, sampai ke golongan orang tua. Gerakan-gerakan kepanduan yang saat itu muncul di daerah Gorontalo adalah Sarekat Islam Afdeling Pandu (SIAP) dari Sarekat Islam, Hizbul Wathon dari Muhammadiyah, National Islamitische Padvinderij (Natipi), Jong Islamieten Bond Dames Afdeling (JIBDA) dari Jong Islamieten Bond (Habibie et.al. 2004: 39–40), serta Pandu Anshor dari Nahdatusysyaiiyah (ANRI dalam Hasanuddin dan Amin, 2012: 205). Organisasi-organisasi kepanduan tersebut memang merupakan bagian dari gerakan organisasi-organisasi Islam yang saat itu berkembang di Indonesia.

(19)

bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, karena terdapat unsur-unsur diskriminasi.

Gerakan-gerakan agama yang dilakukan pada periode awal abad ke-20 di Gorontalo seperti penjelasan di atas, merupakan implementasi dari kesadaran kemanusiaan yang diperoleh dari pendidikan, terutama pendidikan Islam. Pendidikan Islam memiliki korelasi dengan dunia politik, sehingga memicu gerakan-gerakan perlawanan terhadap status quo yang dinilai saat itu jauh dari praktek-praktek yang humanis. Supriyanto (2001: 270) mengatakan bahwa salah satu aspek penting dalam pendidikan Islam adalah aspek politik. Pendidikan Islam memberikan penjelasan tentang bagaimana hubungan antara masyarakat dan pemerintah, sistem pemerintahan, hubungan antar negara, hubungan antar organisasi, dan sebagainya. Pada titik ini terjadi perjumpaan antara pendidikan Islam dengan pembentukan kesadaran politik yang menjadi fondasi pembentukan dan perkembangan organisasi-organisasi Islam.

(20)

“.... kekuasaan harus ada dalam masyarakat, untuk menjaga eksistensinya dan mengatur sistem interaksi muamalah antar mereka. Dalam konsepnya, kekuasaan harus didasari oleh ‘ashabiyah (solidaritas), dimana sekelompok masyarakat yang mempunyai kesepakatan untuk mendirikan kekuasaan mempunyai komitmen yang sama. ‘Ashabiyah ini bukan hanya karena pertalian darah, tetapi bisa dengan perjanjian, kesamaan nasib dan latar belakang ...”

Doktrin Islam tentang kemanusiaan yang berkeadilan dan berkeadaban yang disebarkan melalui pendidikan Islam oleh berbagai organisasi Islam di Gorontalo, telah berhasil menjadi pemicu dalam gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, meskipun berbeda-beda dalam pola perjuangan, namun tetap terdapat satu konsensus tentang sebuah kemerdekaan sebagai pintu gerbang penciptaan tatanan sosial yang berperikemanusiaan. Perjuangan meraih kemerdekaan dari organisasi-organisasi Islam, organisasi kepemudaan, dan organisasi yang nasionalis di Gorontalo menemukan momentumnya dan mencapai titik kulminasi perjuangannya pada peristiwa pengambilalihan kekuasaan dari pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 23 Januari 1942. Sampai sekarang, masyarakat Gorontalo memperingati peristiwa tersebut sebagai hari kemerdekaan Gorontalo.

simpulan C.

(21)

Perkembangan pendidikan Islam di Gorontalo tidak lepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pertama, terbukanya kesempatan akses pendidikan, transportasi dan juga informasi bagi penduduk pribumi (Gorontalo). Di awal abad ke-20, terjadi perubahan arah kebijakan politik pemerintah Belanda dari konservatis menjadi humanis. Pendidikan Islam pun banyak yang bertransformasi dari sistem tradisional menjadi modern. Faktor kedua adalah pandangan Islam terkait ilmu pengetahuan. Islam menempatkan ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang berharga bagi umat manusia. Pemahaman seperti inilah yang mendorong para tokoh-tokoh Islam yang berkesempatan berinteraksi dengan wilayah Islam lainnya seperti Mesir dan Arab Saudi untuk terus mencari dan bahkan menyebarkan ilmu pengetahuan di Indonesia. Faktor ketiga adalah semakin masifnya penyebaran ajaran Protestan yang didukung oleh pemerintah Belanda. Kegiatan evangelisme dari kaum misionaris Belanda banyak menggunakan pendidikan sebagai instrumennya, sehingga itu banyak sekolah-sekolah Kristen yang didirikan dengan sokongan dana yang cukup besar dari pemerintah Belanda. Menyadari hal tersebut, organisasi-organisasi Islam semakin memperkuat dan memperluas pendidikan Islam sebagai counter terhadap kegiatan evangelisme tersebut.

(22)

daFtar Pustaa

Abdullah, Tauik. 1987. Pengantar : Islam, Sejarah, dan Masyarakat, dalam Abdullah, Tauik (ed). Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Apriyanto, Joni dan Pinau, Sri Wahyuni A. 2013. Dari Gorontalo Untuk Indonesia: Sejarah Heroik Patriotik 23 Januari 1942, Yogyakarta: Ombak.

Amirwan. 2013. Kebangkitan dan Perkembangan Madrasah di Indonesia, dalam Nizar, Samsul et.al. Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual: Pendidikan Islam di Nusantara, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Daliman, A. 2012. Metode Penelitian Sejarah, Yogyakarta: Ombak.

Esposito, John L. 1990. Islam dan Politik, Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Freire, Paul. 1985. Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: LP3ES. Habibie, Sudirman et.al. 2004. 23 Januari 1942 dan Nasionalisme

Nani Wartabone, Gorontalo: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Gorontalo.

Hardjosatoto, Suhartoyo. 1985. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia : Suatu Analisa Ilmiah, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.

Hasanuddin, et.al. 2012. Sejarah Pendidikan di Gorontalo, Yogyakarta: Kepel Press.

Hasanuddin dan Amin, Basri. 2012. Gorontalo Dalam Dinamika Sejarah Masa Kolonial, Yogyakarta: Ombak.

Huda, Mitahul. 2015. Peran Pendidikan Islam Terhadap Perubahan Sosial, dalam Edukasia : Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, Vol 10, No. 1, Februari: 165 – 188. Kartodirdjo, Sartono. 1988. Modern Indonesia: Tradition

(23)

_________. 2014. Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid II : Sejarah Pergerakan Nasional, Yogyakarta : Ombak.

Kasdi, Abdurrahman. 2015. Pendidikan Sejarah dalam Perspektif Pemikiran Ibnu Khaldun, dalam Edukasia : Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, Vol. 10, No. 1, Februari : 1 – 16.

Kosim, Mohammad. 2008. Ilmu Pengetahuan Dalam Islam (Perspektif Filosois-Historis), dalam Tadrîs, Vol 3, No. 2 : 121 – 140.

Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Penerbit Mizan.

Kurniawan, Syamsul dan Mahrus, Erwin. 2013 (cet. Ke-2). Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Yogyakarta : AR-RUZZ MEDIA.

Latif, Yudi. 2013. Genealogi Intelegensia : Pengetahuan dan Kekuasaan Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX, Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: PT. RajaGraindo Persada.

Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah. 2010. 1 Abad Muhammadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Masduki. 2015. Pendidikan Islam dan Kemajuan Sains: Historisitas Pendidikan Islam Yang Mencerahkan, dalam Jurnal Pendidikan Islam, Volume IV, Nomor 2, Desember : 261-275.

Mulawarman, Aji Dedi. 2015. Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto, Yogyakarta: Galang Pustaka. Mustaghiroh, Hikmatul. 2015. Rekonstruksi Filsafat Pendidikan

Islam, dalam Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, Vol. 10, No. 1, Februari: 89 – 104.

(24)

Niel, Robert van. 2009 (cetakan kedua). Munculnya Elite Modern Indonesia, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya bekerjasama dengan Yayasan-Yayasan Ilmu Sosial.

Noer, Deliar. 1982. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900– 1942, Jakarta: LP3ES.

Padmo, Soegijanto. 2013. Transportasi dan Komunikasi, dalam Abdullah, dan A.B. Lapian (eds). Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid V: Masa Pergerakan Kebangsaan, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve.

Pranoto, Suhartono Wiryo. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Pringgodigdo, A.K. 1994. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat.

Rohmah, Nur. 2014. Relasi Gender dan Pendidikan Islam, dalam Jurnal Pendidikan Islam, Vol. III, No. 2, Desember: 345– 364.

Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912 – 1926, (terjemahan Hilmar Farid), Jakarta: Pustaka Utama Graiti.

Sjamsudin, Helius. 2012. Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak.

Soedewo. 2007. Islam dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Penerbit Darul Kutubil Islamiyah.

Supriyanto. 2001. Pendidikan Islam dan Politik, dalam Nata, Abuddin dan Azra, Azyumardi (eds). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia bekerja sama dengan IAIN Jakarta.

Surjomihardjo, Abdurrachman. 2002. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Stoddard, Lothrop. 1966. Dunia Baru Islam, Jakarta: Panitia Penerbit Menko Kesedjahteraan Indonesia.

(25)

Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia bekerja sama dengan IAIN Jakarta Tjokroaminoto, H.O.S. 2010 (cetakan kedua). Islam dan

Sosialisme, Bandung: Sega Arsy.

Toer, Pramoedya Ananta. 1985. Sang Pemula, Jakarta: Hasta Mitra.

Vickers, Adrian. 2011. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Insan Madani.

(26)

Referensi

Dokumen terkait

Pembelajaran , (Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, FIP, UPI, 2008).. dan dapat dibuat sendiri oleh guru. Buku berukuran besar ini biasanya digunakan untuk

 Dalam Verifikasi dan Validasi Data Individu Peserta Didik, peserta didik memiliki tugas untuk memastikan kebenaran data yang diisikan pada aplikasi Dapodik dan mengajukan

 Antara yang berikut, manakah tidak  menerangkan penambahan kadar tindak  balas antara natrium tiosul#at dengan asid  hidroklorik apabila eksperimen di!alankan  pada

Dampak dari aplikasi ke-1 menekan keperidian serangga pen- datang (generasi migran), aplikasi ke-2 bekerja me- matikan nimfa turunan dari generasi migran, sehingga populasi yang

Ketika seseorang memiliki masalah kemudian muncul situasi atau kondisi yang tidak nyaman, kemudian muncul reaksi kecemasan, maka pada awalnya reaksi emosi yang

Hal ini dibuktikan dari tingkat depresi pada subjek 1 dan 2 pada saat baseline kedua lebih rendah daripada tingkat depresi pada saat baseline awal, sehingga membuktikan bahwa

Berdasarkan grafik tersebut menunjukkan bahwa, hasil belajar siswa pada siklus I diperoleh nilai rata-rata kelas sebesar 84.7 dengan ketuntasan klasikal sebesar

Al-Zarqani menyebutkan; Asbab al-nuzul adalah suatu peristiwa yang terjadi yang dengan peristiwa atau kejadian tersebut menyebabkan turunnya ayat, atau suatu peristiwa