1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara legal perempuan memiliki hak dan kesempatan yang
sama dalam memperoleh pekerjaan. Pada pasal 27ayat 2 UUD
1945 mengatakan bahwa “Tiap warga Negara berhak atas
pekerjaan yang layak dan penghidupan yang layak”. Demikian pula,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “setiap orang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa,
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat
memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan”. Berdasarkan kerangka legal di atas,
peluang kaum perempuan berprestasi dalam pembangunan dan
pemenuhan kebutuhan rumah tangga pun terbuka lebar dan hal
tersebut mencerminkan bahwa, tidak ada perbedaan hak antara
pria dan wanita untuk memperoleh pekerjaan.
Berbeda dengan kerangka legal tersebut di atas, (Kapita
1976), menyebutkan bahwa pada masyarakat Sumba ada
2
dan laki-laki. (Solfia, 2008),bahkan melihat tradisi masyarakat
Sumba khususnya penganut Marapu memberi hak atau kekuasaan
kepada pihak laki untuk membuat pembagian kerja antara
laki-laki dan perempuan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam upacara keagamaan, upacara perkawinan, dan upacara
kematian. Solfia (2008) selanjutnya, mengatakan bahwa pada adat
Marapu laki-laki merupakan subjek yang membuat keputusan bagi
banyak aspek dari peranan perempuan. Perempuan dalam
masyarakat Sumba merupakan pihak yang sangat rentan, karena
perannya hanya sebagai objek (pelaksana) bagi laki-laki sebagai
subjek (pemberi mandat /perintah) dan dianggap pamali apabila
perempuan melangkahi laki-laki. Oleh karena itu pada masyarakat
Sumba perempuan hanya diberi kesempatan bekerja di rumah saja
untuk menjalankan kewajibannya sebagai perempuan atau istri,
walaupun perempuan diberi kesempatan terlibat dalam ranah
publik, keterlibatan tersebut hanya di pandang oleh laki-laki sebagai
penembah penghasilan dalam keluarga.
Kemajuan jaman dan perkembangan teknologi memberi
dampak pada perubahan pandangan masyarakat saat ini. Banyak
perempuan tidak hanya mencari nafkah tambahan tetapi juga
penopang pokok ekonomi keluarga. Berdasarkan Data Badan
Pusat Statistik (BPS) jumlah angkatan kerja perempuan pada tahun
3
juta orang pada tahun 2009, dan meningkat hingga 48,440 juta
pada tahun 2011. Data dari BPS menunjukkan jumlah wanita
pekerja di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.
Di Sumba Barat sendiri Pada tahun 2003 angkatan kerja
Kabupaten Sumba Barat tercatat sebesar 174.749 jiwa, terdiri dari
169.748 orang bekerja dan 5.001 yang mencari pekerjaan.
Sementara non-angkatan kerja tercatat sebesar 42.743 jiwa. Badan
Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 mencatat bahwa jumlah
perempuan yang bekerja di Sumba Barat adalah 4.956. Data
tersebut menunjukan bahwa perempuan Sumba tidak hanya
berperan sebagai ibu di dalam keluarga, namun juga berperan
sebagai wanita karir dalam pekerjaannya.
Walaupun demikian, pada kebudayaan Sumba, posisi
perempuan tetap dibatasi dengan tugasnya yaitu memasak,
melahirkan dan menjaga anak-anaknya, sedangkan yang
bertanggung jawab untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarga
adalah laki-laki dan biasanya tidak ada perempuan Sumba yang
menentang. Hal ini dipertimbanagkan karena adanya tuntutan adat
belis yaitu dimana laki-laki sudah membayar perempuan dengan
mahal sehingga apapun yang diperintahkan laki-laki perempuan
harus turuti. Oleh karena itu walaupun banyak masyarakat Sumba
4
terutama yang berkaitan dengan peran laik-laki dan perempuan
sehingga, menimbulkan pertanyaan akan kejelasan dan kepastian
akan peran perempuan dalam masyarakat yang semakin modern
ini.
Suatu keadaan yang menuntut kejelasan dan kepasti akan
peran wanita bekerja didefinisikan Kaltz dan Kahn (dalam
Irawat,2008), sebagai konflik peran (roles conflict) dalam keluarga
yaitu gabungan dua atau lebih peran yang diharapkan, sehingga
pemenuhan peran yang satu akan menghalangi peran yang
lainnya. Konflik yang dialami perempuan bekerja di Sumba yaitu
berupa tuntutan atas perannya sebagai istri dan ibu rumah tangga
(peran domestik), sebagai perempuan yang bekerja (peran publik).
Faktor –faktor yang menimbulkan konflik peran ganda
diantaranya, tidak adanya dukungan dari suami, lingkungan kerja
yang kurang nyaman, memiliki anak yang masih membutuhkan ASI
eksklusif, serta khawatir dan frustasi karena harus dapat membagi
waktu untuk keluarga dan pekerjaan. Hal ini juga menjadikan
alasan pada ibu yang bekerja untuk tidak menyusui bayinya secara
eksklusif. Ibu yang bekerja akan menemui kendala tentang
pengaturan waktu antara menyusui dan pekerjaan. Sehingga, hal
tersebut akan mengakibatkan wanita bekerja yang berperan
5
terhadap perannya sebagai ibu rumah tangga karena tidak banyak
waktu yang diluangkan untuk keluarga (Setiasih, 2005).
Setiap bayi mempunyai hak asasi untuk memperoleh ASI,
terkait dengan hak tumbuh kembang anak. Pemberian ASI ekslusif
direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) sampai usia 6 bulan, dengan tetap menyusui bersama dengan makanan
pendamping yang tepat hingga dua tahun atau lebih. Akan tetapi,
data World Health Organization (2011), juga menunjukkan kurang dari 40% bayi tidak mendapatkan ASI secara ekslusif. Sedangkan di
Indonesia menurut Riskesdas (2010), bayi yang menyusui hanya
15,3%. dan di Sumba Barat. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Olivia (2012), ditemukan sebanyak 35 balita di kota
Waikabubak tidak mendapatkan ASI eksklusif dan faktor yang
mempengaruhi tidak diberikannya ASI ekslusif pada balita
diantaranya produksi ASI ibu tidak lancar, putting susu tidak keluar
dan faktor ibu sibuk bekerja.
Anak yang tidak diberi ASI eksklusif mempunyai
kemungkinan lebih besar menderita kekurangan gizi dan obesitas
serta lebih mudah terjangkit penyakit kronis seperti kanker, jantung,
diabetes (Amiruddin dkk, 2006). Permasalahan gizi pada balita
merupakan hal yang sangat penting untuk dicermati secara serius
6
perkembangan bayi. Kekurangan gizi pada bayi dapat menimbulkan
beberapa efek negatif seperti lambatnya pertumbuhan badan,
rawan terhadap penyakit, menurunnya tingkat kecerdasan, dan
terganggunya mental bahkan kekurangan gizi yang serius dapat
menyebabkan kematian (Santoso,2004).
Dukungan berkelanjutan untuk mempertahankan menyusui
dapat diberikan dalam berbagai cara. Secara tradisional, dukungan
diberikan oleh keluarga. Dengan demikian, keluarga harus dapat
beradaptasi dengan baik dalam pemenuhan kebutuhan ASI anak
(WHO, 2012). Dalam kondisi yang demikian peneliti ingin
mengetahui bagaimana gambaran adaptasi yang digunakan
keluarga dalam menghadapi konflik beban peran tersebut.
1.2 Fokus Penelitian
Untuk menjawab permasalahan penelitian ini, maka
pertanyaan penelitian yang dirumuskan oleh peneliti yaitu:
“bagaimana gambaran adapatasi keluarga terhadap beban peran
publik dan peran domestik ibu yang menyusui di kota Waikabubak,
Sumba”
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan penelitian,
7
gambaran adaptasi keluarga terhadap beban peran publik dan
peran domestik ibu yang menyusui di kota Waikabubak, Sumba”
1.4 Signifikan dan Keunikan
Penelitian ini sangat diperlukan mengingat di Kota
waikabubak, Sumba Barat belum ada penelitian yang membahas
mengenai gambaran adapatasi keluarga terhadap beban peran
peran publik dan peran domestik, ibu yang menyusui. Adapun
laporan yang dilaporkan mengenai kurangnya pemberian ASI
ekslusif pada bayi, dan minimnya pengetahuan ibu mengenai
pemberian ASI ekslusif.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapakan dapat menambah informasi
dan pengetahuan terutama bagi keluarga dan ibu menyusui
terhadap permasalahan yang terjadi di keperawatan
komunitas dan pediatrik terkait dengan pemenuhan ASI
anak.
1.5.2 Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
8
mengenai beban peran ibu yang menyusui dalam
keluarga
b. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis
dalam bidang keperawatan komunitas, keperawatan
keluarga, keperawatan maternitas dan pediatrik
c. Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang
ingin meneliti lebih jauh mengenai adapatasi
keluarga terhadap beban peran publik dan peran