• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pain Self Efficacy, Intensitas Nyeri dan Perilaku Nyeri pada Pasien Low Back Pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Pain Self Efficacy, Intensitas Nyeri dan Perilaku Nyeri pada Pasien Low Back Pain di RSUD Dr. Pirngadi Medan"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Nyeri

2.1.1 Pengertian Nyeri

Nyeri merupakan fenomena multidimensional sehingga sulit didefenisikan (Black & Hawks,2009). Menurut Potter & Perry (2009) nyeri adalah pengalaman personal dan subyektifdan tidak ada dua individu yang mengalami kesamaan rasa nyeri dan respon yang sama pada individu. Mc Caffery (1999 dalam Black & Hawks, 2009) nyeri sebagai hal yang subjektif dan hanya individu yang mengalami nyeri tersebut yang akurat dalam mendefenisikan nyeri.Nyeri didefenisikan sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan bersifat subyektif berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial yang menggambarkan kondisi kerusakan (International Association for the Study of Pain (IASP), dalam Hariyanto & Sulistyowati, 2015).

2.1.2 Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi nyeri dan kondisi patologis.

2.1.2.1 Berdasarkan durasi nyeri

2.1.2.1.1 Nyeri akut

(2)

memiliki sedikit kerusakan jaringan serta respon emosional (Potter & Perry, 2009). Nyeri akut biasanya disebabkan oleh trauma, bedah, atau inflamasi (Prasetyo, 2010). Durasi nyeri akut berkaitan dengan faktor penyebab dan umumnya dapat diperkirakan (Price, 2005). Nyeri akut dapat diredakan dan perlahan-lahan akan menghilang ketika kelainan yang mendasarinya disembuhkan (Robinson & Saputra, 2016).

2.1.2.1.2 Nyeri kronis

(3)

kehilangan semangat, dan gangguan kemampuan berkonsentrasi. Nyeri kronis ini sering mempengaruhi semua aspek kehidupan penderitanya, menimbulkan distress, kegalauan emosi, dan mengganggu fungsi fisik dan sosial (Price, 2005). Pasien dengan nyeri kronis mungkin menunjukkan suasana hati depresif dan memperlihatkan perilaku individu dengan penyakit kronis. Seiring berjalannya waktu dan berlanjutnya manifestasi, kondisi ini menjadi lebih kompleks dan faktor lain yang memengaruhi manifestasi,perilaku,gejala klien dengan nyeri kronis (Black & Hawks, 2009).

Nyeri kronis dapat dibagi menjadi 3 kategori : 1. Nyeri kronis intermitten

Nyeri kronis intermitten (hilang- timbul) yaitu nyeri yang muncul pada periode tertentu, di waktu yang lain, klien tidak merasakan nyeri. Contohnya sakit kepala migrain dan nyeri abdomen intermitten yang dihubungkan dengan gangguan sindrom iritasi bowel (Black & Hawks, 2009).

2. Nyeri maligna kronis

Nyeri maligna kronis disebabkan oleh berkembangnya penyakit yang mengancam jiwa atau berhubungan dengan terapi. Nyeri kanker merupakan jenis nyeri maligna kronis (Lemone, 2015).

3. Nyeri nonmaligna kronis

(4)

2.1.2.2Berdasarkan lokasi nyeri 2.1.2.2.1 Nyeri superficial

Ada dua macam bentuk nyeri superficial. Bentuk yang pertama adalah nyeri dengan onset yang tiba-tiba dan mempunyai kualitas yang tajam dan bentuk kedua adalah nyeri dengan onset yang lambat disertai rasa terbakar. Nyeri

superficial dapat dirasakan pada seluruh permukaan kulit klien. Trauma

gesekan,suhu yang terlalu panas dapat menjadi penyebab timbulnya nyeri superficial ini (Prasetyo, 2010). Contohnya klien dengan luka sayatan dengan mudah menunjukkan lokasi nyeri (Black & Hawks, 2009).

2.1.2.2.2 Nyeri somatik dalam

Nyeri somatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri sering tidak jelas. Nyeri dirasakan lebih difus (menyebar) berbeda dengan nyeri superficial yang mudah untuk dilokalisir (Price, 2005).

2.1.2.2.3 Nyeri visceral

(5)

visceral yaitu apendisitis akut, cholecytitis, penyakit kardiovaskuler, renal kolik uretra dan lain-lain (Prasetyo, 2010).

2.1.3 Penanganan Nyeri

Untuk mengatasi nyeri beberapa penanganan nyeri yang dapat dilakukan adalah dengan farmakologis maupun non farmakologis.

2.1.3.1Farmakologis

Penatalaksanaan farmakologis merupakan penanganan nyeri dengan menggunakan agen farmakologis. Analgesik merupakan metode penanganan nyeri yang paling umum dan efektif. Analgesik adalah medikasi yang dikembangkan untuk meredakan nyeri. World Health Organization (WHO) merekomendasikan petunjuk untuk penanganan nyeri dalam bentuk tangga analgesik yang membantu perawatan klien dengan nyeri (Black & Hawks, 2009). Penggunaan analgesik ditentukan oleh tingkat keparahan dari nyeri yang dirasakan. Untuk nyeri ringan maka disarankan penggunaan non-opiod (Prasetyo, 2010). Non-opiod mencakup asetaminofen dan obat anti-inflamasi nonsteroid (nonsteroid anti-inflammatory drugs/NSAID) disarankan sebagai langkah utama. Jika nyeri berlanjut dilakukan

(6)

dengan atau tanpa non-opiod. Medikasi adjuvan (pembantu) dapat dtambahkan dibagian langkah manapun pada tahap (Black & Hawks, 2009).

2.1.3.2Non farmakologis

Penanganan non farmakologis digunakan untuk meredakan nyeri terutama ketika dikombinasikan dengan obat-obat farmakologi. Penanganan non farmakologis mencakup terapi modalitas fisik dan perilaku kognitif. Terapi modalitas fisik memberikan kenyamanan, meningkatkan mobilitas dan membantu respon fisiologis. Terapi perilaku kognitif bertujuan untuk mengubah persepsi dan perilaku klien terhadap nyeri,menurunkan ketakutan dan memberikan klien kontrol diri yang lebih (Black & Hawks, 2009).

2.1.3.2.1 Stimulasi kutaneus

Stimulasi kutaneus adalah stimulasi pada kulit membantu untuk mengurangi nyeri. Masase/pijatan, mandi dengan air hangat, kantong es dan stimulasi elektrik pada saraf transkuteneus menstimulasi kulit untuk mengurangi persepsi nyeri. Stimulasi kutaneus memberikan klien dan keluarga rasa kontrol terhadap nyeri dan pengobatan dirumah. Penggunaan yang tepat dari stimulasi kutaneus membantu mengurangi ketegangan otot yang meningkatkan nyeri (Potter & Perry, 2009).

2.1.3.2.2 Distraksi

(7)

Misalnya, pasien yang menggunakan rekaman musik untuk distraksi dapat dinyanyikan disertai lagu,ketukkan irama dengan jari atau kaki,nyalakan musik (Lemone, 2015). Menonton acara-acara yang bersifat humor atau acara yang disukai oleh klien akan menjadi teknik distraksi yang dapat mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri yang dialami (Prasetyo, 2010).

2.1.3.2.3 Relaksasi

Relaksasi adalah suatu tindakan membebaskan mental dan fisik dari ketegangan dan stres, sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Prasetyo, 2010), mengurangi efek stres terhadap nyeri, dan meningkatkan persepsi pengendalian nyeri. Contoh tindakan relaksasi yang dapat dilakukan untuk menurunkan nyeri adalah napas dalam dan relaksasi progresif. Teknik napas dalam efektif dilakukan ketika klien berbaring atau duduk dengan nyaman,tetap berada di lingkungan yang tenang. Klien memejamkan mata kemudian menarik nafas dalam dengan pelan,menahan beberapa detik dan menghembuskan secara perlahan (Lemone, 2015). Relaksasi progresif mengajarkan klien untuk secara bertahap mengencangkan kemudian merelaksasi beberapa kelompok otot, dimulai secara sistemik dari satu area tubuh ke area berikutnya (Black & Hawks, 2009). Klien diajarkan merapatkan satu kelompok otot (seperti otot wajah), menahan tegangan selama beberapa detik dan merelaksasikan kelompok otot secara lengkap, mengulangi aktivitas tersebut ke seluruh tubuh (Lemone, 2015).

2.1.3.2.4 Terapi kognitif

(8)

rasakan. Pikiran yang negatif tentang nyeri akan memfokuskan perhatian seseorang terhadap aspek yang tidak menyenangkan dan membuat nyeri yang dirasakan bertambah buruk (DiMetteo, 1991 dalam Pasaribu, 2016). Keyakinan klien terhadap efektivitas intervensi yang didapat memengaruhi derajat turun atau redanya nyeri yang dirasakan. Kepercayaan diri yang ditampilkan mengenai potensi efektifitas dari intervensi yang diberikan akan memberikan efek yang signifikan pada kemampuan klien untuk mendapatkan hasil positif dari proses atau menurunkan nyeri (Black & Hawks, 2009). Pemberian intervensi terapi kognitif ini adalah meningkatkan cara berfikir klien dengan mengarahkan klien untuk memahami masalah yang dihadapinya. Klien diyakinkan bahwa ia memiliki kemampuan untuk berperilaku normal Tailor (1995dalam Pasaribu, 2016).Tehnik kognitif ini salah satunya dengan meningkatkan self efficacy (Brannon & Jeist, 2007 dalam Pasaribu, 2016).

2.1.3.3Pembedahan

(9)

2.1.4 Intensitas Nyeri

2.1.4.1 Pengertian Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual (Hariyanto & Sulistyowati, 2015). Setiap pasien akan memiliki perilaku yang berbeda terhadap nyeri karena intensitas nyeri dan toleransi setiap orang terhadap rasa nyeri sangat beragam (Robinson & Saputra, 2016). Pengukuran nyeri dengan pendekatan obyektif yang paling mungkin adalah dengan menggunakan respons fisiologik tubuh dan perilaku terhadap nyeri. Penilaian terhadap klinis nyeri dapat digunakan untuk mengkaji persepsi nyeri seseorang (Hariyanto & Sulistyowati, 2015).

2.1.4.2Jenis Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri (tingkat keparahan) dapat dibagi menjadi: 2.1.4.2.1 Nyeri ringan

Nyeri yang timbul dengan intensitas yang ringan. Individu secara objektif mampu berkomunikasi dengan baik. Skala nyeri pada nyeri ringan adalah ≤ 4. Pengukuran nyeri dengan menggunakan skala numerik (Backonja et al, 2010 dalam Simamora, 2015).

2.1.4.2.2 Nyeri sedang

(10)

berkisar antara 5-6 dalam skala nyeri numerik (Backonja at al, 2010 dalam Simamora, 2015).

2.1.4.2.3 Nyeri berat

Nyeri berat adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang berat. Pada nyeri berat secara objektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tetapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang. Skala nyeri di atas 7 dengan skala nyeri numerik (Backonja et al, 2010 dalam Simamora, 2015).

2.1.4.3Intensitas nyeri pasien low back pain

Low back pain adalah kondisi tidak mengenakkan atau nyeri kronis

(11)

menunjukkan peningkatan terhadap intensitas nyeri dan perilaku nyeri pasien (Keefe & Block, 1982,. Keefe et al., 2001 dalam Burns et al., 2011).

2.1.4.4 Pengukuran Intensitas Nyeri

Numerical Pain Rating Scale (NPRS) digunakan untuk mengukur

intensitas nyeri. Skala terdiri dari 11 poin yang mana 0 menunjukkan “tidak ada nyeri” dan 10 menunjukkan “nyeri sangat berat”, penilaian dari 1-4 disamakan dengan nyeri ringan, 5-6 untuk nyeri sedang, dan 7-10 untuk nyeri berat (McCafferey & Beebe,1993 dalam Phonna, 2015).

2.1.5 Perilaku Nyeri

2.1.5.1 Pengertian Perilaku Nyeri

(12)

postur tubuh, ekspresi wajah, perkataan, berbaring, mengkonsumsi obat, mencari pengobatan, dan pencarian kompensasi. Perilaku nyeri merupakan tindakan berkomunikasi dari ketidaknyamanan (misalnya meringis,penurunan aktivitas) yang memiliki peran penting dalam mengurangi fungsi tingkat individu dan memperburuk kondisi nyeri (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006).

Perilaku nyeri dapat berupa: (1)Respon verbal, meliputi mengeluh, mendesah, merintih dan mengadukan nyeri yang dialami, (2)Respon non verbal, meliputi wajah tegang, keresahan, sudut mulut dilengkungkan ke bawah, terlihat sedih, terlihat ketakutan, bibir berkerut, dan dagu bergetar, (3)Sikap badan dan isyarat meliputi menggosok-gosok bagian tubuh yang nyeri, immobilisasi dan menyeringai, (4)Perilaku yang berbeda dengan keadaan normal meliputi beristirahat .dan berbaring secara berlebihan (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007)

Menurut Keefe& Smith (2002 dalam Harahap, 2006) pendeskripsian dari kelima parameter perilaku nyeri adalah : (1) guarding yang mana mengacu kepada penjagaan area tubuh yang sakit, (2) braching yang mana mengacu pada kekakuan tubuh yang tidak normal, menyela atau pergerakan yang kaku, (3) rubbing yang mana mengacu pada sentuhan atau rabaan pada bagiantubuh yang sakit, (4) grimacing yang mana mengacu pada guratan wajah dalam mengekspresikan rasa

(13)

2.1.5.2Jenis Perilaku Nyeri

Perilaku nyeri kronik secara khusus adalah dasar bahwa sedikitnya ada 2 jenis perilaku nyeri yaitu respondent behavior dan operant behavior.

2.1.5.2.1 Respondent behavior

Respondent behavior adalah respon yang timbul akibat adanya stimulus yang spesifik. Pada perilaku ini terlihat jelas hubungan antara stimulus dan respon. Respon reflektif merupakan respon yang secara otomatis dapat terjadi walaupun diinginkan atau tidak. Respon ini dikontrol oleh stimulus nociceptif yang spesifik, contoh perilaku nyeri reflektif ini adalah sensasi terbakar yang berhubungan dengan injuri pada kulit ataupun pada otot (Kast, 1998 dalam Harahap, 2006).

2.1.5.2.2 Operant behavior

Operant behavior tidak selalu berhubungan dengan rangsangan yang

spesifik. Operant behavior terjadi secara langsung dan otomatis terhadap rangsangan sama seperti perilaku responden. Tipe perilaku nyeri ini tidak dikontrol oleh rangsangan dan bahkan saat rangsangan tersebut tidak adekuat tetapi pasien menerima pengaruh dari lingkungan seperti (keberadaan pasangan, perawat dan keadaan lingkungan) maka perilaku nyeri akan terlihat (Kats, 1998 dalam Harahap, 2006).

2.1.5.3Faktor- faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nyeri 2.1.5.3.1 Usia

(14)

diantara kelompok ini dapat memengaruhi seseorang bereaksi terhadap nyeri (Hariyanto &Sulistyowati, 2015). Cara lansia merespon nyeri dapat berbeda dengan orang yang berusia lebih muda. Lansia cenderung mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat dalam waktu yang lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan (Smeltzer & Bare, 2001 dalam Pasaribu, 2016). 2.1.5.3.2 Jenis kelamin

Studi klinis menunjukkan bahwa wanita mengalami ambang nyeri yang lebih rendah dan mengalami intensitas nyeri yang lebih tinggi dibandingkan pria (Toomey, 2008 ; Wilson, 2006 dalam Lemone, 2015). Ketika wanita mengalami menstruasi mengakibatkan kadar estrogen berfluktuasi yang memengaruhi intensitas nyeri yang dirasakan. Siklus yang memfasilitasi respon nyeri berbeda antara pria dan wanita,terutama sistem modulatori opiod. Karena perbedaan ini, wanita dan pria dapat merespons secara berbeda terhadap analgesik opiod seperti morfin (Wilson, 2006 dalam Lemone, 2015).

2.1.5.3.3Intensitas nyeri

(15)

kronis menemukan bahwa intensitas nyeri memiliki hubungan yang signifikan berkorelasi positif dengan perilaku nyeri (Harahap, 2006).

2.1.5.3.4 Self efficacy

Self efficacy memengaruhi individu berespon terhadap nyeri. Self efficacy

merujuk pada keyakinan seseorang dapat mengelola situasi tertentu (Bandura, 1995). Jensen et al (1999 dalam Harahap, 2006) menemukan bahwa perilaku nyeri pasien memiliki hubungan yang signifikan dengan pasien yang memiliki keyakinan diri.

2.1.5.3.5Pengaruh budaya

Setiap respon individu terhadap nyeri sangat dipengaruhi oleh budaya. Pengaruh budaya memengaruhi perilaku nyeri, ekspresi nyeri standar yang tepat dan tidak tepat. Pada umunya respon budaya terhadap nyeri dibagi menjadi dua kategori, yaitu toleransi dan sensitif (Andrew & Boyle, 2008 dalam Lemone, 2015). Misalnya, jika budaya pasien mengajarkan bahwa individu harus menoleransi nyeri dengan sabar, pasien mungkin terlihat diam dan menolak (atau tidak meminta) obat nyeri. Jika norma budaya menganjurkan emosional yang terbuka dan sering, pasien mungkin menangis dengan bebas dan terlihat nyaman ketika meminta obat nyeri (Lemone, 2015).

2.1.5.3.6Makna nyeri

(16)

2.1.5.3.7Ansietas

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas dapat meningkatkan persepsi nyeri dan sebaliknya nyeri dapat menyebabkan ansietas. Selain itu, tensi otot yang umumnya disertai dengan ansietas dapat membuat sumber nyeri itu sendiri (Lemone, 2015).

2.1.5.3.8Keletihan, kurang tidur dan depresi

Nyeri mengganggu kemampuan individu untuk tidur dan tetap terjaga sehingga menimbulkan keletihan. Sebaliknya, keletihan dapat menurunkan toleransi nyeri. Pada individu yang depresi secara klinis, serotonin menurun, mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri. Sebaliknya, individu yang tidak depresi secara klinis juga benar, ketika ada nyeri depresi terjadi (Lemone, 2015).

2.1.5.3.9Pengalaman masa lalu

Setiap orang belajar dari pengalaman nyeri. Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya, sehingga individu tersebut lebih mudah menginterpretasikan sensasi nyeri. Sebaliknya apabila seseorang tidak pernah merasakan nyeri makan persepsi pertama nyeri dapat menggangu koping terhadap nyeri (Hariyanto & Sulistyowati, 2015).

2.1.5.3.10 Gaya koping

(17)

ketidakmampuan koping baik sebagian maupun keseluruhan (Hariyanto & Sulistyowati, 2015).

2.1.5.3.11 Dukungan keluarga dan sosial

Faktor lain yang bermakna memengaruhi respon nyeri adalah kehadiran orang-orang terdekat dan bagaimana sikap mereka terhadap seseorang yang mengalami nyeri (Hariyanto & Sulistyowati, 2015).

2.1.5.4Perilaku nyeri pada pasien low back pain

Pasien yang mengalami LBP lebih dari 3 bulan, 80 % akan terus mengalami nyeri. Ketika pasien berada dalam beberapa tingkat nyeri, perilaku tertentu yang terkait dengan nyeri akan terjadi. Pasien yang mengalami nyeri pasti akan memperlihatkan beberapa perilaku yang dapat di observasi. Perilaku ini adalah cara pasien berkomunikasi dengan lingkungan bahwa mereka sedang mengalami nyeri (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2006). Pasien dengan LBP kronis memiliki dampak terhadap kualitas hidup dan status kesehatan pasien (Institute of Medicine, 2011 dalam Starkweather, 2014). Pasien dengan LBP kronis ketika melakukan aktivitas sehari-hari menunjukkan peningkatan terhadap intensitas dan perilaku nyeri pasien (Keefe & Block, 1982,. Keefe et al., 2001 dalam Burns et al., 2011).

2.1.5.5Pengukuran Perilaku Nyeri

Instrumen yang digunakan untuk mengukur perilaku nyeri adalah Pain Behavior Observation Protocol (PBOP), pertama kali dikemukakan oleh Keefe

(18)

adalah : (1) guarding (terjaga), mengacu pada kekakuan yang abnormal, merasa terganggu atau pergerakan yang kaku, (2)braching (menahan nyeri), mengacu pada pergerakan yang statis pada dukungan terhadap anggota tubuh semakin meluas dan distribusi berat yang tidak normal, (3) rubbing (menggosok bagian yang nyeri), mengacu pada menyentuh atau memegang bagian tubuh yang terpengaruh nyeri, (4) grimacing (meringis), mengacu pada ekspresi wajah yang dapat dilihat yang meliputi mengerutkan kening, mata menyempit, merapatkan bibir, sudut mulut tertarik ke belakang, dan (5) sighing (mendesah), yang mengacu pada pernafasan atau menghela nafas.Instrumen ini menggunakan skala(Harahap, 2007 dalam Pasaribu, 2016). Instrumen ini menggunakan skala Likert (0 = tidak ada nyeri, 1 = sering, 2 = selalu). Nilai total perilaku nyeri merupakan penjumlahan dari kelima parameter perilaku nyeri tersebut diatas. Skor tertinggi (10) mengidentifikasikan level perilaku nyeri yang tinggi.

2.2 Self Efficacy

2.2.1 Pengertian Self Efficacy

Self efficacy adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya dalam

(19)

Manusia dengan self efficacyyang lebih tinggi berupaya mengerjakan tugas yang sulit, tetap tenang dan tidak cemas, dan mengelola pikiran mereka dalam pola analitis, sebaliknya self efficacy yang rendah dapat gagal dalam upaya menjalankan aktivitas, cemas, mudah menyerah ketika menghadapi situasi yang sulit, serta gagal berpikir dan berperilaku secara tenang dan analitis (Cervone &Pervin, 2012). Mereka menafsirkan reaksi stres dan ketegangan sebagai tanda- tanda kerentanan terhadap kehidupan. Dalam kegiatan yang melibatkan kekuatan dan stamina, mereka yang lelah, pegal-pegal dan nyeri adalah sebagai tanda kelemahan fisik (Ewart, 1992 dalam Bandura, 1995). Suasana hati juga berpengaruh terhadap self efficacy. Suasana hati yang positif meningkatkan persepsi self efficacy, sedangkan putus asa dapat membuat self efficacy menjadi rendah (Ewart, 1992 dalam Bandura, 1995).

2.2.2 Proses self efficacy

Menurut Bandura (1995), keberadaan self efficacy pada diri seseorang akan berdampak pada empat proses, yaitu:

2.2.2.1Proses kognitif

Pengaruh self efficacy pada proses kognitif dapat timbul dalam berbagai format. Banyak perilaku manusia yang diatur dalam pemikiran sebelumnya dalam mewujudkan tujuan. Pengaturan tujuan individu dipengaruhi oleh penaksiranindividu terhadap kapabilitas yang dimilikinya.

2.2.2.2Proses motivasi

(20)

mengarahkan tindakannya melalui berbagai latihan. Mereka percaya terhadap apa yang mereka lakukan dan selalu mengantisipasi adanya hasil tindakan prospektif. 2.2.2.3Proses afektif

Seseorang percaya terhadap pengaruh kapabilitasnya dalam mengatasi stress dan depresi dalam menghadapi ancaman atau situasi yang sulit. Dengan adanya self efficacy, seseorang akan lebih mampu mengatasi segala persoalan yang mengancam keberadaannya.

2.2.2.4Proses selektif

Melalui kepercayaan diri terhadap kapabilitas yang dimilikinya, maka seseorang cenderung bertindak selektif atau melakukan pemilihan terhadap pancapaian tujuan hidupnya. Manusia akan memilih pemecahan masalah dan pencapaian tujuan yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

2.2.3 Sumber- sumber self efficacy

Bandura (1995) menjelaskan bahwa self-efficacy individu didasarkan padaempat hal, yaitu:

2.2.3.1Pengalaman keberhasilan(mastery experience)

(21)

jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau pengaruh dari keadaan luar.

2.2.3.2 Pengalaman individu lain (vicarious experience)

Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan dan kesuksesan sebagai sumber self efficacy nya. Self efficacy juga dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. Pengamatan individu akan keberhasilan individu lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan self efficacy individu tersebut pada bidang yang sama. Individu melakukan persuasi terhadap dirinya dengan mengatakan jika individu lain dapat melakukannya dengan sukses, maka individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk melakukanya dengan baik.

Pengamatan individu terhadap kegagalan yang dialami individu lain meskipun telah melakukan banyak usaha menurunkan penilaian individu terhadap kemampuannya sendiri dan mengurangi usaha individu untuk mencapai kesuksesan. Ada dua keadaan yang memungkinkan self efficacy individu mudah dipengaruhi oleh pengalaman individu lain, yaitu kurangnya pemahamanindividu tentang kemampuan orang lain dan kurangnya pemahaman individu akan kemampuannya sendiri.

2.2.3.3Persuasi sosial (social persuasion)

Social Persuasionberhubungan dengan dorongan. Informasi tentang

kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan suatu tugas.

(22)

Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan keadaan fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatuhal yang tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderungdihindari. Informasi dari keadaan fisik seperti jantung berdebar dan gemetar menjadi isyarat bagi individu bahwa situasi yang dihadapinyaberada di atas kemampuannya. 2.2.4 Dimensi dan Aspek Self Efficacy

Dimensi Self Efficacy menurut Bandura (1994 dalam Aritonang, 2010) yaitu:

2.2.4.1 Magnitude

Magnitude menunjuk pada tingkat kesulitan tugas yang diyakini oleh

individu terhadap tingkat kesulitan tugas yang bisa dikerjakan. 2.2.4.2Strength

Strength menunjuk pada kuat atau lemahnya keyakinan individu terhadap

tingkat kesulitan tugas yang bisa dikerjakan. Self efficacy yang rendah mudah ditiadakan oleh pengalaman yang sulit, sedangkan orang yang mempunyai keyakinan yang kuat akan mempertahankan usahanya walaupun mengalami kesulitan.

2.2.4.3Generality

Generalitymenunjuk apakah keyakinan self efficacy hanya berlangsung

(23)

Outcome expectacy adalah harapan terhadap kemungkinan hasil dari

perilaku dimana jika individu menunjukkan perilaku tersebut, maka mengandung harapan akan memperoleh hasil dari perilakunya.

2.2.4.5Expectation efficacy

Expectation efficacy adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya dapat

menghasilkan perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai hasil. Hal ini berarti bahwa seseorang dapat saja percaya bahwa suatu tindakan dapat menghasilkan kinerja namun merasa dirinya mampu melakukan tindakan tersebut. Seseorang yang percaya bahwa dirinya mampu melakukan tindakan mencapai prestasi tersebut akan lebih bekerja keras dan tekun dalam melaksanakan tugasnya.

2.2.5 Pain Self Efficacy

Self efficacy menurut bandura didefenisikan sebagai penilaian orang

tentang kemampuan mereka untuk mengatur dan melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu tindakan yang ingin dicapai. Bandura berpendapat bahwa self efficacy merupakan dasar dalam motivasi manusia, kesejahteraan dan prestasi individu, terutama karena tingkat motivasi pada manusia dan tindakan yang lebih didasarkan pada apa yang mereka percaya daripada hal yang benar secara objektif (Sinfia et al., 2009).

(24)

sehari-hari dikaitkan dengan kinerja dalam melakukan kegiatan tersebut. Self efficacy berkontribusi pada motivasi pasien dalam strategi mengatasi nyeri secara

positif seperti penguatan otot, relaksasi dan melangkah (Sinfia et al., 2009).

Pain self-efficacy merupakan variabel psikologisyang telah terbukti

berhubungan dengan ketiga aspekfungsi biopsikososial. Pain self efficacy adalah kepercayaan individu dalam kemampuannya untuk mentolerir rasa sakit, mengatasi rasa sakit, dan berpartisipasidalam kegiatan sehari-hari meskipun mengalami nyeri. Khususnya individu dengan pain self efficacy lebih tinggi cenderung untuk melaporkantingkat yang lebih tinggi dari fungsi biopsikososial dan perilaku nyeri yang rendah. Peneliti telah menunjukkan bahwa peningkatan pain self efficacy untuk mengontrol nyeri meningkatkan penggunaan strategi

koping, yang menghasilkan mengurangi tingkat kecacatan. Sebaliknya, pain self efficacyyang lebih rendah berhubungan dengan rendahnya dukungan sosial dan

kecemasan dan gejala depresi yang tinggi. Penelitian juga telah mendukung pengaruh positif pain self efficacy pada tingkat keparahan penyakit dan fungsi fisik.Secara keseluruhan, pain self efficacy mempengaruhi fungsi biopsikososial pada pasien sakit kronis. Fungsi biopsikososial merupakan faktor penting dalam memprediksi tingkat keparahan nyeri danpain self efficacy untuk memahami perkembangan kesulitan pasien dengan low back pain dan ketika merancang dan pelaksanaan program rehabilitasi (Koenig et al., 2014).

Self efficacy mempunyai banyak instrument dalam menilai kegiatan tertentu

(25)

mengembangkan pain self efficacy questionnaire yang meminta responden menunjukkan nyeri yang mereka alami ketika menilai self efficacy responden. Kegiatan mengacu kepada pain self efficacy questionnaire dan bersifat umum (misalnya pekerjaan digaji atau tidak, dan kegiatan sosial) juga menemukan instrument lain, untuk membuat alat ukur dapat digunakan responden secara luas. Nicholas menunjukkan bahwa pain self efficacy questionnaire adalah skala unidimensional dan menggunakan analisis faktor exploratory serta reliabilitas untuk skala yang tinggi (Sinfia et al., 2009).

Korelasi negatif telah ditemukan antara jumlah pain self efficacy questionnaire dan pengaruh yang kuat pada nyeri dalam kehidupan sehari-hari.

Pain self efficacy questionnaire telah divalidasi dan digunakan pada pasien

dengan nyeri kronis dalam pengaturan klinis dan beberapa Negara dengan hasil yang memuaskan (Sinfia et al., 2009).

2.2.5.1Pain self efficacy pada pasien low back pain

Pain self efficacy adalah kepercayaan individu dalam kemampuannya

(26)

penurunan penggunaan obat-obatan nyeri, dan status pekerjaan lebih baik (Dewan et al., 1988;. Dolce et al., 1986;. Lackner & Carosella, 1999;Rudy, Lieber, Boston, Gourley, & Baysal, 2003 dalam McGuigan., 2008).

2.2.5.2Pengukuran Pain Self Efficacy

Self efficacy dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Pain Self

Efficacy Questionnaire (PSEQ) yang didesain oleh Nicholas pada tahun

1989.Pain Self Efficacy Questionnaire (PSEQ) adalah kuesioner yang menilai kepercayaan pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari meskipun mengalami nyeri. Kuesioner ini berisi 10 item menggunakan skala differensial semantik dengan skor antara 0 sampai dengan 6. Pasien diminta untuk menunjukkan pada skala seberapa yakin pasien mampu melakukan hal yang disebutkan dalam setiap pernyataan pada kuesioner. Kuesioner ini tidak melihat apakah pasien dapat melakukan hal-hal tersebut tetapi melihat seberapa yakin mereka dapat melakukannya walaupun ia mengalami nyeri.

2.3 Low Back Pain

2.3.1 Pengertian Low Back Pain(LBP)

Low Back Pain (LBP) adalah kondisi yang tidak mengenakkan atau nyeri

(27)

Faktor resiko LBP meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, etnis, merokok, pekerjaan, paparan getaran, angkat beban yang berat yang berulang-ulang, membungkuk, duduk lama, geometri kanal lumbal spinal dan faktor psikososial (Bimariotejo, 2009 dalam Phonna, 2015). Laki-laki dan perempuan memiliki faktor resiko sama, tetapi pada usia lebih dari 60 tahun dilaporkan wanita lebih tinggi angka kejadiannya. Usia merupakan faktor yang memperberat terjadinya nyeri punggung bawah dimana berhubungan dengan penurunan fungsi-fungsi tubuh terutama tulang sehingga tidak lagi elastis seperti saat muda. Data epidemiologi menyatakan faktor risiko memegang peranan penting pada LBP (Wheeler, 2009 dalam Septi, 2011).

2.3.2 Penyebab Low Back Pain

(28)

dengan LBP kronik biasanya mengalami ketergantungan terhadap beberapa jenis analgesik (Noor, 2013).

2.3.3 Klasifikasi Low Back Pain

Menurut Bimariotejo (2009 dalam Phonna, 2015), berdasarkan perjalanan kliniknya LBP terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

2.3.3.1 Acute Low Back Pain

Acute low back pain ditandai dengan rasa nyeri yangmenyerang secara

tiba-tiba dan rentang waktunya hanya sebentar, antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Rasa nyeri ini dapat hilang atau sembuh. Acute low back pain dapat disebabkan karena luka traumatik seperti kecelakaan mobil atau terjatuh, rasa nyeri dapat hilang sesaat kemudian. Kejadian tersebut selain dapat merusak jaringan, juga dapat melukai otot, ligamen dan tendon. Pada kecelakaan yang lebih serius, fraktur tulang pada daerah lumbal dan spinal dapat masih sembuh sendiri.

2.3.3.2 Chronic Low Back Pain

Rasa nyeri pada chronic low back pain bisa menyerang lebih dari 3 bulan. Rasa nyeri ini dapat berulang-ulang atau kambuh kembali. Fase ini biasanya memiliki onset yang berbahaya dan sembuh pada waktu yang lama. Chronic low

back pain dapat terjadi karena osteoarthritis, rheumatoidarthritis, proses

(29)

2.3.4 Patofisiologi Low Back Pain

Tulang belakang merupakan struktur yang kompleks, dibagi ke dalam bagian anterior dan bagian posterior. Bentuknya terdiri dari serangkaian badan silindris vertebra, yang terartikulasi oleh diskus intervertebral dan diikat bersamaan oleh ligamen longitudinal anterior dan posterior. Konstruksi punggung yang unik memungkinkan terjadinya fleksibilitas dan memberikan perlindungan terhadap sumsum tulang belakang. Otot-otot abdominal berperan pada aktivitas mengangkat beban dan sarana pendukung tulang belakang. Adanya masalah struktur dan peregangan berlebihan pada sarana pendukung ini akan berakibat pada nyeri punggung (Noor, 2013).

Adanya perubahan degenerasi diskus invertebralis akibat usia menjadi fibrokartilago yang padat dan tidak teratur merupakan penyebab nyeri punggung biasa, dimana L4-L5 dan L5-S1 menderita stres mekanis dan menekan sepanjang akar saraf tersebut (Noor, 2013). Salah satu mekanisme untuk mencegah kerusakan atau lesi yang lebih berat ialah spasme otot yang membatasi pergerakan. Spasme otot ini menyebabkan iskemia dan sekaligus menyebabkan munculnya titik picu (trigger points), yang merupakan salah satu kondisi nyeri (Meliala dkk, 2003 dalam Nasution 2014).

2.4 Hubungan pain self efficacy dengan intensitas nyeri

Self efficacy adalah keyakinanseseorang akan kemampuannya dalam

(30)

intensitas nyeri. Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan oleh individu (Hariyanto & Sulistyowati, 2015). Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan dengan angka yang menggambarkan skor dari nyeri yang dirasakan(McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007).

Pain self efficacy adalah kepercayaan individu dalam kemampuannya untuk

mentolerir rasa sakit, mengatasi rasa sakit, dan berpartisipasidalam kegiatan sehari-hari meskipun mengalami nyeri (Koenig et al., 2014). Individu dengan self effiacy tinggi tetap tenang dan tidak cemas ketika menghadapi situasi sulit dan mengelola pikiran mereka dalam pola analitis. Self efficacy juga mempengaruhi bagaimana individu mengatasi kekecewaan dan tekanan dalam mencapai tujuan hidupnya (Cervone & Pervin, 2012). Individu dengan self efficacy tinggi dapat mengelola dan mengatasi rasa nyeri yang dialami sehingga mempengaruhi intensitas nyeri yang dirasakan. Pasien yang memiliki pain self efficacy yang tinggi akan menunjukkan intensitas nyeri yang rendah dan sebaliknya pasien dengan pain self efficacy rendah akan menunjukkan intensitas nyeri yang tinggi. 2.5 Hubungan pain self efficacy dengan perilaku nyeri

(31)

Adanya self efficacy dapat mempengaruhi perilaku nyeri. Self efficacy adalah rasa kepercayaan seseorang bahwa dia dapat menunjukkan perilaku yang dituntut dalam situasi yang spesifik. Self efficacy lebih mengarahkan pada penilaian individu akan kemampuannya dalam hal ini untuk mengontrol perilaku nyeri yang dialaminya

(Bandura, 1994 dalam Pasaribu, 2016). Hubungan pain self efficacy dengan

perilaku nyeri merupakan hubungan berbanding terbalik. Pasien dengan pain self

efficacy yang tinggi biasanya ditandai dengan rendahnya tingkat stress dan

kecemasan sehingga dapat menurunkan perilaku nyeri. Sedangkan pasien dengan pain self efficacy yang rendah dapat mengakibatkan perilaku nyeri yang tinggi

(Pasaribu, 2016).

2.6 Hubungan intensitas nyeri dengan perilaku nyeri

(32)

dapat dilihat dan diobservasi. Perilaku ini adalah cara pasien berkomunikasi dengan lingkungan bahwa mereka sedang mengalami nyeri (Fordyce, 1976 dalam Harahap,2006).

(33)

Daftar Istilah

Low back pain (LBP) : Nyeri di daerah punggung antara sudut bawah kosta

(tulang rusuk) sampai lumbosakral (sekitar tulang ekor), disertai adanya kekakuan pada bagian bawah punggung.

Self efficacy : Keyakinanseseorang akan kemampuannya dalam

mengatur dan melaksanakan perilaku yang dituntut dalam situasi yang spesifik.

Pain self efficacy : Kepercayaan individu dalam kemampuannya untuk

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu kedatangan As Ops Polri ke Bali untuk membantu Polda Bali mengenai dana kontinjensi yang dimiliki oleh Polda Bali, dalam operasi kemanusiaan yang dilaksanakan oleh Polda

Pembuatan Aplikasi Rekapitulasi Absensi ini dimulai dari gambaran umum SMK Kharismawita, kemudian perancangan database yang membahas ERD, guna mengetahui entitas dan atribut apa

Sehubungan dengan rujukan tersebut diatas, bersama ini dikirimkan Laporan Harian Kamtibmas Polda Sumsel tanggal 17 Oktober 2016 (sebagaimana terlampir).. Demikian untuk

Dalam Penilisan Ilmiah ini diharapkan penulis dapat membantu dan menyempurnakan sistem yang sedang berjalan, sehingga kemungkinan pengolahan data DVD pada penyewa maupun

Sehubungan dengan rujukan tersebut diatas, bersama ini dikirimkan Laporan Harian Kamtibmas Polda Sumsel tanggal 18 Agustus 2016 (sebagaimana terlampir).. Demikian untuk

Selain itu dengan adanya cache server squid ini para praktikan yang ada tidak bisa sembarangan mengakses halam-halaman situs yang negatif, karena dengan program squid yang telah

1x40 menit Buku BSE, lingkungan, dadu, mata uang, kartu bridge, kartu bernomor Mendiskusikan untuk menentukan ruang sampel suatu percobaan dengan mendata titik sampelnya.

ikan badut akan memakan parasit yang menempel pada tentakel.. anemon, sedangkan anemon akan melindungi ikan badut dari