• Tidak ada hasil yang ditemukan

Preparasi Serbuk dan Sintering Magnet Permanen Barium Heksaferit dengan Aditif FeMn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Preparasi Serbuk dan Sintering Magnet Permanen Barium Heksaferit dengan Aditif FeMn"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Magnet

Magnet adalah suatu benda yang mempunyai medan magnet dan mempunyai gaya tolak menolak dan tarik menarik terhadap benda-benda teretentu. Efek tarik menarik dan tolak menolak pada magnet disebut dengan magnetisme. Kata magnet berasal dari bahasa Yunani yaitu Magnitis Lithos yang berarti batu Magnesian. Magnesian adalah nama sebuah wilayah Yunani pada masa lalu, dimana teradapat batu magnet yang ditemukan sejak zaman dulu di wilayah tersebut (Zailani, 2014).

Magnet merupakan suatu fenomena yang sangat menarik untuk dikaji, karena pada material magnet dapat ditarik atau ditolak tanpa adanya sentuhan secara langsung. Hal tersebut sudah diketahui sejak ratusan tahun yang lalu. Akan tetapi mekanisme dan prinsip yang mendasarinya mulai dimengerti secara ilmiah pada abad ke 18, yaitu oleh fisikawan belanda Hans Cristian Oersted membuat suatu eksperimen yang menerangkan adanya efek-efek magnet yang dialiri arus listrik (Muklisin, 2013).

(2)

(1 weber/m2 = 1 tesla) yang mempengaruhi luasan satu meter persegi (Anonim, 2014).

Magnet terbaik umumnya mengandung besi metalik. Namun, ternyata bahwa unsur lain pun menampilkan sifat magnetik; selain itu, material bukan logam pun dapat memiliki sifat magnet. Dalam teknologi modern kini banyak digunakan magnet logam maupun magnet keramik. Selain itu dimanfaatkan pula unsur lain untuk meningkatkan kemampuan magnetik sehingga memenuhi persyaratan (Van Vlack, 1984).

2.2 Sifat-Sifat Magnet

Sifat-sifat yang terdapat dalam benda magnetik diantaranya :

2.2.1 Koersivitas

Koersivitas digunakan untuk membedakan hard magnet atau soft magnet. Semakin besar gaya koersivitasnya maka semakin tinggi sifat magnetnya. Bahan dengan koersivitas tinggi berarti tidak mudah hilang kemagnetannya. Untuk menghilangkan kemagnetannya diperlukan intensitas magnet H yang besar. Tidak seperti bahan soft magnet yang mempunyai medan magnet B sebesar oM, dalam magnet permanen. Magnetisasi bukan merupakan fungsi linier yang sederhana dari rapat fluks karena nilai dari medan magnet H yang digunakan dalam magnet permanen secara umum jauh lebih besar dari pada dalam bahan soft magnet (Young Joon, 2008).

2.2.2 Remanensi atau Ketertambatan

Remanen atau ketertambatan adalah sisa medan magnet B dalam proses magnetisasi pada saat medan magnet H dihilangkan, atau remanensi terjadi pada saat intensitas medan magnetik H berharga nol dan medan magnet B menunjukkan harga tertentu. Bagaimanapun juga koersivitas sangat dipengaruhi oleh nilai remanensinya. Oleh karena itu besar nilai remanensi yang dikombinasikan dengan besar koersivitas pada magnet permanen menjadi sangat penting (Jiles, 1996).

2.2.3 Saturasi Magnetisasi

(3)

saturasi magnetisasinya lebih besar dari pada soft magnet. Kerapatan dari bahan ferit lebih rendah dibandingkan logam-logam lain dengan ukuran yang sama. Oleh karenanya nilai saturasi dari bahan ferit relatif rendah, hal ini menguntungkan untuk dapat dihilangkan. Nilai kerapatan ferit dapat dilihat pada Table 1.

Tabel 1 Nilai kerapatan dari beberapa jenis Ferrite (Allan, 2011).

No. Ferrite

6 MnZn (high permeability) 4,29 7 MnZn (recording head) 4,7 - 4,75

2.2.4 Medan Anisotropi

(4)

Selain itu, ada juga yang disebut juga dengan hard magnetic dimana diperlukan suatu energi yang merubah verktor dari sumbu mudah ke sumbu keras (hard axis).

2.2.5 Temperatur Curie (Tc)

Temperatur Curie (Tc) didefinisikan sebagai temperatur kritis dimana fase magnetik bertransisi dari konfigurasi struktur magnetik yang teratur menjadi tidak

teratur (Silitonga, 2016).

2.3 Bahan Magnetik

Bahan magnetik adalah suatu bahan yang memiliki sifat kemagnetan dalam komponen pembentuknya. Berdasarkan perilaku molekulnya di dalam medan magnetik luar, bahan magnetik terdiri atas tiga kategori, yaitu diamagnetik, paramagnetik, dan ferromagnetik.

2.3.1 Bahan Diamagnetik

Bahan diamagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis masing– masing atom/molekulnya adalah nol, tetapi medan magnet akibat orbit dan spin elektronnya tidak nol. Bahan diamagnetik tidak mempunyai momen dipol magnet permanen. Jika bahan diamagnetik diberi medan magnet luar, maka elektron - elektron dalam atom akan mengubah gerakannya sedemikian rupa sehingga menghasilkan resultan medan magnet atomis yang arahnya berlawanan dengan medan magnet luar tersebut. Sifat diamagnetik bahan ditimbulkan oleh gerak orbital elektron. Karena atom mempunyai elektron orbital, maka semua bahan bersifat diamagnetik. Suatu bahan dapat bersifat magnet apabila susunan atom dalam bahan tersebut mempunyai spin elektron yang tidak berpasangan.

Dalam bahan diamagnetik hampir semua spin elektron berpasangan, akibatnya bahan ini tidak menarik garis gaya. Permeabilitas bahan iniμ < 0 dengan

suseptibilitas magnetik bahanμ χm < 0. Nilai bahan diamagnetik mempunyai orde -10 -5 m3/kg. Contoh bahan diamagnetik yaitu: bismut, perak, emas, tembaga dan seng.

2.3.2 Bahan Paramagnetik

(5)

molekul acak, sehingga resultan medan magnet atomis masing-masing atom saling meniadakan. Di bawah pengaruh medan eksternal, mereka mensejajarkan diri karena torsi yang dihasilkan. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen magnetik spin yang menjadi terarah oleh medan magnet luar.

Gambar 1. Arah domain-domain dalam bahan paramagnetik sebelum diberi medan magnet luar.

Bahan ini jika diberi medan magnet luar, elektron-elektronnya akan berusaha sedemikian rupa sehingga resultan medan magnet atomisnya searah dengan medan magnet luar. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen magnetik spin yang menjadi terarah oleh medan magnet luar.

Gambar 2. Arah domain dalam bahan paramagnetik setelah diberi medan magnet luar.

Dalam bahan ini hanya sedikit spin elektron yang tidak berpasangan, sehingga bahan ini sedikit menarik garis-garis gaya. Dalam bahan paramagnetik, medan B yang dihasilkan akan lebih besar dibanding dengan nilainya dalam hampa udara. Suseptibilitas magnet dari bahan paramagnetik adalah positif dan berada dalam Rentang 10-5 sampai 10-3 m3/Kg, sedangkan permeabilitasnya adalah > 0.

Contoh bahan paramagnetik: alumunium, magnesium dan wolfram.

2.3.3 Bahan Ferromagnetik

(6)

bahan-bahan ferromagnetik ini mengarahkan gaya-gaya yang kuat pada atom disebelahnya. Sehingga dalam daerah ruang yang sempit, momen ini disearahkan satu sama lain sekalipun medan luarnya tidak ada lagi. Daerah ruang tempat momen dipol magnetik disearahkan, tetapi arah penyearahnya beragam dari daerah sehingga momen magnetik total dari kepingan mikrokopi bahan ferromagnetik ini adalah nol dalam keadaaan normal (Tipler, 2001).

Gambar 3. Momen magnetik dari sifat ferromagnetik

Bahan ini juga mempunyai sifat remanensi, artinya bahwa setelah medan magnet luar dihilangkan, akan tetap memiliki medan magnet, karena itu bahan ini sangat baik sebagai sumber magnet permanen. Permeabilitas bahan μ >> 0 dengan

suseptibilitas bahan μ χm >> 0. Contoh bahan ferromagnetik: besi, baja. Sifat

kemagnetan bahan ferromagnetik akan hilang pada temperatur Currie. Temperatur Currie untuk besi lemah adalah 770°C dan untuk baja adalah 1043°C.

Sifat bahan ferromagnetik biasanya terdapat dalam bahan ferit. Ferit merupakan bahan dasar magnet permanen yang banyak digunakan dalam industri-industri elektronika, seperti dalam loudspeaker, motor-motor listrik, dinamo dan KWH-meter (Afza, 2011).

2.3.4 Bahan Anti Ferromagnetik

(7)

(a) (b)

Gambar 4. Arah domain dan kurva bahan Anti Ferromagnetik, (a) Sebelum diberi medan luar, (b) Setelah diberi medan luar.

2.3.5 Bahan Ferrimagnetik

Pada bahan yang bersifat dipol yang berdekatan memiliki arah yang berlawanan tetapi momen magnetiknya tidak sama besar. Bahan ferrimagnetik memiliki nilai susepbilitas tinggi tetapi lebih rendah dari bahan ferromagnetik, beberapa contoh dari bahan ferrimagnetik adalah ferrite dan magnetite (Mujiman, 2004).

Gambar 5. Momen magnet dari sifat ferrimagnetik

2.4 Jenis Magnet Permanen

(8)

Gambar 6. Arah partikel pada magnet isotropi dan anisotropi (a) Arah partikel acak (Isotrop)

(b) Arah partikel searah (Anisotrop) (Masno G, dkk, 2006).

2.5 Kurva Histerisis

Kurva histerisis pada bahan merupakan bentuk disipasi energi yang terjadi selama proses pembentukan kurva B-H. Besarnya energi yang didisipasikan pada frekuensi rendah umumnya dipengaruhi oleh porositas, ukuran grain dan impuritasBentuk umum kurva medan magnetB sebagai fungsi intensitas magnet H terlihat pada gambar 7 kurva B (H) seperti ini disebut kurva induksi normal.

Gambar 7. kurva induksi normal

(9)

Sesudah mencapai saturasi ketika intensitas magnet H diperkecil hingga mencapai H = 0, ternyata kurva B tidak melewati jalur kurva semula. Pada harga H = 0, medan magnet atau rapat fluks B mempunyai harga Br ≠ 0 seperti ditunjukkan pada kurva histerisis pada gambar 8.

Gambar 8. Kurva histerisis

Harga Br ini disebut dengan induksi remanen atau remanensi bahan. Remanen atau ketertambatan adalah sisa medan magnet B dalam proses magnetisasi pada saat medan magnet H dihilangkan, atau remanensi terjadi pada saat intensitas medan magnetik H berharga nol dan medan magnet B menunjukkan harga tertentu.

Setelah harga intensitas magnet H = 0 atau dibuat negatif (dengan membalik arus lilitan), kurva B(H) akan memotong sumbu pada harga Hc. Intensitas Hc inilah yang diperlukan untuk membuat rapat fluks B = 0 atau menghilangkan fluks dalam bahan. Intensitas magnet Hc ini disebut koersivitas bahan. Koersivitas digunakan untuk membedakan hard magnet atau soft magnet. Semakin besar gaya koersivitasnya maka semakin keras sifat magnetnya. Bahan dengan koersivitas tinggi berarti tidak mudah hilang kemagnetannya (Ika Mayasari, 2012).

Untuk menghilangkan kemagnetannya diperlukan intensitas magnet H yang besar. Bila selanjutnya harga diperbesar pada harga negatif sampai mencapai saturasi dan dikembalikan melalui nol, berbalik arah dan terus diperbesar pada harga H positif hingga saturasi kembali, maka kurva B(H) akan membentuk satu lintasan tertutup yang disebut kurva histeresis. Bahan yang mempunyai koersivitas tinggi kemagnetannya tidak mudah hilang. Bahan seperti itu baik untuk membuat magnet permanen (Ika Mayasari, 2012).

Kurva histerisis merupakan acuan dalam mengidentifikasi sifat magnet suatu material magnetik. Dari kurva histerisis kita dapat membedakan antara material soft

(10)

magnetic memiliki medan koersif yang lemah, sedangkan hard magnetic memiliki medan koersif yang kuat.

Gambar 9. Kurva histerisis (smallman and bishop, 2000)

Gambar 9 menunjukkan kurva histerisis untuk soft magnetic materials pada gambar (a) dan hard magnetic materials pada gambar (b). H adalah medan magnetik yang diperlukan untuk menginduksi medan berkekuatan B dalam material. Setelah medan H ditiadakan, dalam specimen tersisa magnetisme residual Br, yang disebut residual remanen dan diperlukan medan magnet Hc yang disebut gaya koersif, yang harus diterapkan dalam arah berlawanan untuk meniadakannya.

Material magnetik lunak (soft magnetic material) hanya memerlukan sedikit medan magnet untuk membuatnya menjadi magnet. Material ini mempunyai koersivitas rendah dan sekali medan magnetnya hilang, kerapatan fluks akan menjadi nol. Rangkaian arus bolak-balik atau searah dapat digunakan untuk membangkitkan medan magnet atau menghasilkan suatu gaya. Nilai koersivitas untuk bahan soft

magnet yaitu <1kA/m (<12,566 Oe). (Slusarek B, 2001). Soft magnetic materials dapat mengalami magnetisasi dan tertarik ke magnet lain, namun sifat magnetiknya hanya akan bertahan apabila magnet berada dalam suatu medan magnetik. Soft magnetic materials tidak mengalami magnetisasi yang permanen.

(11)

memiliki nilai koersivitas >100kA/m (>1256,6 Oe) (Slusarek B, 2001). Material magnetik keras dapat diaplikasikan pada electroacoustic, seperti pada loudspeaker, mikropon, atau earphone (Bement, A.L., et al. 1985).

2.6 Barium Heksaferit

Berdasarkan rumus kimia dan struktur kristalnya, heksaferit dikelompokkan menjadi 5 tipe, yaitu : tipe-M (BaFe12O19 ), tipe-W (BaMe2 Fe16O27 ), tipe-X (Ba2 Me2

Fe28O46 ), tipe-Y (Ba2 Me2 Fe12O22 ), tipe-Z (Ba3Me2 Fe24O41 ) dan tipe-U (Ba4 Me2

Fe36O60 ) (Özgüri dkk,2009). Barium heksaferite memiliki rumus kimia BaO.6Fe2O3

(BaFe12O19). Sel komplek Barium heksaferit tersusun atas 2 sistem kristal yaitu

struktur kubus-pusat-sisi (face-centered-cubic) dan heksagonal mampat (hexagonal-close-packed) seperti terlihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Struktur kristal BaFe12O19 dimana ion Ba diwakili dalam warna hijau, ion Fe warna biru, dan O warna merah

Material magnet oksida BaFe12O19 merupakan jenis magnet keramik yang

banyak dijumpai disamping material magnet SrFe12O19. Seperti pada jenis oksida

lainnya, material magnet tersebut memiliki sifat mekanik yang sangat kuat dan tidak mudah terkorosi. Barium heksaferit (BaO.6Fe2O3) yang memiliki paramete kisi a =

5,8920 Angstrom, dan c = 23,1830 Angstrom. Sebagai magnet permanen, material BaFe12O19 memiliki sifat kemagnetan dengan tingkat kestabilan tinggi terhadap

(12)

2.7 Ferromangan (FeMn)

Mangan merupakan unsur dasar dalam paduan baja mangan struktural dan austenitic [Šalak, A., et al. 2001]. Sebagai paduan, mangan dapat meningkatkan kekuatan, ketangguhan, pengerasan, kemampuan kerja dan abrasi resistensi dari produk besi, khususnya baja. Sekitar 90 - 95 dari keseluruhan jumlah mangan yang diproduksi di dunia digunakan dalam produksi besi dan baja dalam bentuk paduan seperti ferromangan dan siliconmangan (Çardakli, İ. S. 2010).

Ferromangan dibedakan atas kandungan karbon yaitu high carbon

ferromanganese (maks. 7% C), medium carbon ferromanganese (maks. 1-1,5% C), dan low carbon ferromanganese (maks. 0,5% C). Ferromangan pada industri merupakan paduan multikomponen dengan melting temperature 1200-1250°C (Selecka, 2009).

Pada penelitian ini FeMn yang digunakan adalah FeMn HC (high carbon). FeMn jenis ini pada umumnya dibuat dengan menggunakan blast furnace (Mardias, J. 2016).

2.8 Mechanical Milling

Mechanical Milling atau dipendekkan milling adalah suatu penggilingan mekanik dengan suatu proses penggilingan bola dimana suatu serbuk yang ditempatkan dalam suatu wadah penggilingan di giling dengan cara dikenai benturan bola – bola berenergi tinggi. Proses ini merupakan metode pencampuran yang dapat menghasilkan produk yang sangat homogen (F. Izuni, 2012).

(13)

Wet Milling. Dalam metode dry milling proses milling untuk menghindari terjadinya proses oksidasi dilakukan pemberian gas innert seperti argon atau nitogen. Sedangkan dalam wet milling untuk menghindari terjadinya oksidasi maka selama proses milling diberi campuran toulene.

Adapun parameter yang memengaruhi proses milling antara lain adalah :

2.8.1 Tipe Milling

Tipe - tipe milling berbeda dari peralatan milling yang digunakan untuk menghaluskan ukuran partikel serbuk. Perbedaannya terletak pada kapasitasnya, efisiensi milling, dan kecepatan putar jar milling. Tipe – tipe milling tersebut, antara lain : Rotary Ball Mill, High Energy Milling, SPEX Shaker Milling, Ball Mill Planetary, Attritor Mill. Namun pada penelitian ini tipe milling yang digunakn untuk menghaluskan partikel serbuk NdFeB adalah Ball Mill.

Ball Mill adalah salah satu jenis mesin penggiling yang digunakan untuk menggiling suatu bahan material menjadi bubuk yang sangat halus. Mesin ini sangat umum digunakan untuk proses mechanical milling. Secara umum prinsip kerjanya yaitu dengan cara mengahancurkan campuran serbuk melalui mekanisme pembenturan bola – bola giling yang bergerak mengikuti pola gerakan wadahnya yang berbentuk elips tiga dimensi inilah yang memungkinkan pembentukan partikel – partikel serbuk berkala mikrometer sampai nanometer akibat tingginya frekuensi tumbukan. Tingginya frekuensi tumbukan yang terjadi antara campuran serbuk dengan bola – bola giling disebabkan karena wadahnya yang berputar dengan kecepatan tinggi yaitu lebih dari 800 rpm. (Nurul T. R. Agus S , 2007).

2.8.2 Bahan Baku

(14)

lebih cepat selama proses penggilingan basah dari pada penggilingan kering. Kerugian dari penggilingan basah adalah meningkatnya kontaminasi serbuk (C .Suryanarayana, 2001).

2.8.3 Bola Giling

Fungsi bola gilling dalam proses penggilingan adalah sebgai penghancur serbuk atau digunakan sebagai pengecil ukuran partikel serbuk NdFeB. Oleh karena itu, material pembentuk bola giling harus memiliki kekerasan yang tinggi agar tidak terjadi kontaminasi saat terjadi benturan dan gesekan antara serbuk , bola dan wadah penggilingan. Ukuran bola yang dapat digunakan dalam prose milling ini bermacam – macam. Pemilihan ukuran bola bergantung pada ukuran serbuk yang akan dipadu. Bola yang akan digunakan harus memilki diameter yang lebih besar dibandingkan dengan diameter serbuknya.

Rasio berat bola serbuk / ball powder ratio (BPR) adalah variabel yang penting dalam proses milling, rasio berat – serbuk mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap waktu yang dibutuhkan untuk mencapai fasa tertentu dari bubuk yang di milling. Semakin tinggi BPR semakin pendek waktu yang dibutuhkan. Hal ini dikarenakan peningkatan berat bola tumbukkan persatuan waktu meningkat dan konsekuensinya adalah banyak energi yang ditransfer ke partikel sebuk dan proses milling berjalan lebih cepat.

2.8.4 Wadah Penggilingan

Wadah penggilingan merupakan media yang akan digunakan untuk menahan gerakan bola – bola giling dan serbuk ketika proses penggilingan berlangsung. Akibat yang ditimbulkan dari proses penahan gerak bola – bola giling dan serbuk tersebut adalah terjadinya benturan antara bola – bola giling, serbuk dan wadah penggilingan sehingga menyebabkan terjadinya proses penghancuran serbuk (C. Suryanarayana , 2001 ).

2.8.5 Kecepatan Milling

Besar kecepatan maksimum tiap tipe milling akan berbeda, ketika perputaran ball

(15)

dihasilkan juga besar. Tapi jika kecepatan melebihi kecepatan kritis maka akan terjadi pinned pada dinding bagian dalam sehingga bola – bola tidak jatuh sehingga tidak menghasilkan gaya impact yang optimal. Hal ini akan berpengaruh ke waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang diinginkan. (Suryanarayana , 2003).

2.8.6 Waktu Milling

Waktu milling merupakan salah satu parameter yang penting utuk milling pada serbuk. Pada umumnya waktu dipilih untuk mencapai posisi tepatnya antara pemisahan dan pengelasan partikel serbuk untuk memudahkan mamadukan logam. Variasi waktu yang diperlukan tergantung pada tipe milling yang digunakan, pengaturan milling, intensitas milling BPR, dan temperatur pada milling. Pada umumnya dihitung waktu yang diambil untuk mencapai kondisi yang tepat, yaitu jangka pendek untuk energi milling yang tinggi, dan jangka waktu lama ketika dengan energi milling yang rendah. Waktu yang dibutuhkan lebih sedikit untuk BPR dengan nilai – nilai yang tinggi dan waktu yang lama untuk BPR dengan nilai rendah (Suryanarayana , 2003).

2.9 Karakterisasi Material Magnet

Karakterisasi material magnet dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat dan kemampuan material. Pada penelitian ini dilakukan pengujian sifat fisis, mikrostruktur, dan sifat magnetik.

2.9.1 Sifat Fisis 2.9.1.1 Densitas

Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material atau sering didefinisikan sebagai perbandingan antara massa (m) dengan volume (v) dalam hubungannya dapat dituliskan sebagai berikut (M. Ristic, 1979) :

(1)

dengan :

ρ = Densitas (gram/cm3)

(16)

Ada dua macam densitas yaitu : true density dan bulk density (metode archemedes). True density adalah kerapatan dari serbuk yang diukur dengan alat piknometer. Densitasnya dapat dihitung dengan rumus:

(2)

Dengan :

ρs = true density sampel (g/cm3)

m1 = massa piknometer kosong (g)

m2 = massa piknometer diisi media cair (g)

m3 = massa piknometer diisi serbuk (g)

m4 = massa piknometer diisi sampel serbuk dan media cair (g)

ρmedia cair = densitas media cair (g/cm3)

True density campuran dapat dihitung secara teoritis dengan persamaan :

( ) (3)

dengan :

ρx, ρy = Densitas sampel (g/cm3)

%wtx , %wty = komposisi sampel (wt%)

Bulk density merupakan densitas sampel yang berdasarkan volume sampel termasuk dengan rongga atau pori. Pengujian Bulk density dilakukan untuk megukur benda padatan yang besar dengan bentuk yang beraturan maupun yang tidak beraturan.Pada pengujian Bulk density menggunakan metode Archimedes. Bulk density dapat dihitung dengan persamaan (Lisjak, 2006):

(4)

dengan :

ρs = bulk density sampel (g/cm3)

mk = massa kering sampel (g)

mb = massa basah sampel (g)

(17)

2.9.2 Mikrostruktur

2.9.2.1 PSA (Particle Size Analyzer)

Particle Size Analyzer berfungsi menentukan ukuran partikel dan distribusinya dari sampel yang representative. Distribusi ukuran partikel dapat diketahui melalui grafik sebaran ukuran partikel yang dihasilkan. Ukuran tersebut dinyatakan dalam jari-jari untuk partikel yang berbentuk bola. Penentuan ukuran dan distribusi partikel dengan PSA dapat dilakukan dengan:

1. Difraksi sinar kaser untuk partikel dari ukuran submicron sampai dengan Millimeter.

2. Counter particle untuk mengukur dan menghitung partikel yang berukuran micron sampai dengan millimeter.

3. Penghamburan sinar untuk mengukur partikel yang berukuran mikro sampai nanometer.

Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA biasanya menggunakan metode basah. Metode ini dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan metode kering ataupun pengukuran partikel dengan metode ayakan dan analisa gambar. Terutama untuk sampel-sampel dalam orde nanometer dan submicron yang biasanya memliki kecenderungan aglomerasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga partikel tidak saling teraglomerasi (menggumpal).

Gambar 11. Gambar Hasil Karakterisasi PSA

(18)

ditunjukkan pada Gambar 12, D50 median, telah didefinisikan sebagai diameter dimana setengah dari populasi terletak di bawah nilai ini. Demikian pula, 90 persen dari distribusi terletak di bawah D90, dan 10 persen dari populasi terletak di bawah D10 seperti terlihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Grafik nilai pada D10, D50, dan D90

Keunggulan penggunaan Particle Size Analyzer (PSA) untuk mengetahui ukuran partikel adalah :

1. Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA lebih akurat jika dibandingkan dengan pengukuran partikel dengan alat lain seperti XRD ataupun SEM. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle. 2. Hasil pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga dapat

menggambarkan keseluruhan kondisi sampel. Rentang pengukuran diatas 0,02 -500 m.

2.9.2.2XRD (X-Ray Diffraction)

Sinar X merupakan gelombang elektromagnetik yang dapat digunakan untuk mengetahui struktur Kristal dan fasa suatu material.Bila sinar x dengan panjang gelombang diarahkan kesuatu permukaan Kristal dengan sudut datang sebesar ,maka sebagian sinar dihamburkan oleh bidang atom dcalam Kristal.Berkas sinar x yang dihamburkan dalam arah-arah tertentu akan menghasilkan puncak-puncak difraksi yang dapat diamati dengan peralatan X-Ray Diffraction (Cullity,1978).

(19)

yang terdifraksi. Pengujian ini merupakan aplikasi langsung dari pemakaian sinar-X untuk menentukan jarak antar atom dalam kristal.

Gambar 13. Difraksi Bidang Atom (Cullity,1978)

Gambar 13 menunjukkan suatu berkas sinar X dengan panjang gelombang , jatuh pada sudut θ pada sekumpulan bidang atom berjarak d. Sinar yang dipantulkan dengan sudut θ hanya dapat terlihat jika berkas dari setiap bidang yang berdekatan, dan menempuhkan jarak sesuai dengan perbedaan kisi yaitu sama dengan panjang gelombang n .

Menurut syarat terjadinya difraksi, beda lintasan merupakan kelipatan bilangan bulat dari panjang, sehingga hal tersebut dirumuskan W.L.Brag

n =2dsin θ (5)

dengan :

n = orde difraksi (n = bilangan bulat 1,2,3…) = panjang gelombang sinar-X (mm) d = jarak antar bidang (mm)

θ = sudut difraksi (o)

Untuk mengetahui fasa dan struktur material yang diamati dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu dengan cara membandingkan nilai d yang terukur dengan nilai d pada data standart. Data d standart dapat diperoleh melalui Joint Commitee On Powder Difraction Standart ( JCPDS ) atau dengan metode Hanawalt file.

2.9.2.3SEM – EDS ( Scanning Electron Microscope - Energy Dispersive Spectroscopy )

(20)

dikeluarkan. Secondary Electron berasal pada 5-15 nm dari permukaan sampel dan memberikan informasi topografi dan untuk tingkat yang kurang, pada variasi unsur dalam sampel. Back Scattered Electron terlepas dari daerah sampel yang lebih dalam dan memberikan informasi terutama pada jumlah atom rata-rata dari sampel. Peristiwa tumbukan berkas sinar elektron, yaitu ketika memberikan energi pada sampel, dapat menyebabkan emisi dari sinar-X yang merupakan karakteristik dari atom-atom sampel. Energi dari sinar-X digolongkan dalam suatu tebaran energi spektrometer dan dapat digunakan untuk identifikasi unsur - unsur dalam sampel ( Martinez, 2010 ).

Energy Dispersive X-ray Spectroscopy ( EDX atau EDS ) adalah salah satu

teknik analisis untuk menganalisis unsur atau karakteristik kimia dari spesimen. Karakterisasi ini bergantung pada penelitian dari interaksi beberapa eksitasi sinar X dengan spesimen. Kemampuan untuk mengkarakterisasi sejalan dengan sebagian besar prinsip dasar yang menyatakan bahwa setiap elemen memiliki struktur atom yang unik, dan merupakan ciri khas dari struktur atom suatu unsur, sehingga memungkinkan sinar X untuk mengidentifikasinya. Untuk merangsang emisi karakteristik sinar-X dari sebuah spesimen, sinar energi tinggi yang bermuatan partikel seperti elektron atau proton, atau berkas sinar X, difokuskan ke spesimen yang yang akan diteliti. Selanjutnya sebuah atom dalam spesimen yang mengandung elektron dasar di masing-masing tingkat energi atau kulit elektron terikat pada inti. Sinar yang dihasilkan dapat mengeksitasi elektron di kulit dalam dan mengeluarkannya dari kulit, sehingga terdapat lubang elektron di mana elektron itu berada sebelumnya.

(21)

2.9.3 Uji Sifat Magnet menggunakan Vibrating Sample Magnetometer

(VSM)

Semua bahan mempunyai momen magnetik jika ditempatkan dalam medan magnetik. Momen magnetik per satuan volume dikenal sebagai magnetisasi. Secara prinsip ada dua metoda untuk mengukur besar magnetisasi ini, yaitu metoda induksi (induction method) dan metoda gaya (force method). Pada metoda induksi, magnetisasi diukur dari sinyal yang ditimbulkan/ diinduksikan oleh cuplikan yang bergetar dalam lingkungan medan magnet pada sepasang kumparan. Sedangkan pada metoda gaya pengukuran dilakukan pada besamya gaya yang ditimbulkan pada cuplikan yang berada dalam gradien medan magnet. VSM (Vibrating Sample Magnetometer) merupakan salah satu alat ukur magnetisasi yang bekerja berdasarkan metoda induksi.

Pada metoda ini, cuplikan yang akan diukur magnetisasinya dipasang pada ujung bawah batang kaku yang bergetar secara vertikal dalam lingkungan medan magnet luar H. Jika cuplikan termagnetisasi, secara permanen ataupun sebagai respon dari adanya medan magnet luar, getaran ini alan mengakibatkan perubahan garis gaya magnetik. Perubahan ini akan menginduksikan/ menimbulkan suatu sinyal tegangan AC pada kumparan pengambil (pick-up coil atau sense coil) yang ditempatkan secara tepat dalam sistem medan magnet ini. Selanjutnya sinyal AC ini akan dibaca oleh rangkaian pre-amp dan Lock-in amplifier. Frekuensi dari Lock-in

amplifier diset sarna dengan frekuensi getaran sinyal referensi dari pengontrol getaran cuplikan. Lock in amplifier ini akan membaca sinyal tegangan dari kumparan yang sefasa dengan sinyal referensi. Kumparan pengambil biasanya dirangkai berpasangan dengan kondisi arah lilitan yang berlawanan.

(22)

2.9.4 Uji Kekerasan ( Hardness Vickers )

Kekerasan merupakan kemampuan bahan untuk tahan terhadap penggoresan, pengikisan (abrasi), indentasi atau penetrasi. Sifat ini berkaitan dengan tahan aus (wear resistance). Kekerasan juga mempunyai korelasi dengan kekuatan. Ada beberapa cara pengujian kekerasan yang standart dan digunakan untuk menguji kekerasan suatu material, yaitu pengujian Brinnel, Rockwell, Vickers, dan lain-lain. Prinsip dasar pengujian kekerasan Vickers menggunakan indentor intan yang berbentuk piramid beralas bujur sangkar dan sudut puncak antara dua sisi yang berhadapan 136o. Tapak tekannya tentu akan berbentuk bujur sangkar dan yang diukur adalah panjang kedua diagonalnya lalu diambil rata-ratanya. Angka kekerasan Vickers dihitung dengan menggunakan persamaan :

(6)

dimana :

HV : Hardness Vickers (kgf/mm2)

F : beban yang digunakan (kgf atau Newton) d : panjang diagonal rata-rata (mm)

Gambar

Tabel 1 Nilai kerapatan dari beberapa jenis Ferrite (Allan, 2011).
Gambar 1. Arah domain-domain dalam bahan paramagnetik sebelum diberi medan
Gambar 3. Momen magnetik dari sifat ferromagnetik
Gambar 4. Arah domain dan kurva bahan Anti Ferromagnetik, (a) Sebelum diberi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebagaimana yang diketahui bahwa Ilmu Hukum mengenal dua jenis penelitian, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Menurut Peter Mahmud Marzuki, 53

[r]

Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan sintesis senyawa 2,3-dibromo propanol menggunakan bahan awal gliserol hasil isolasi produk samping biodiesel untuk

87 Dalam hal kedudukan hukum terhadap motif songket , motif songket dalam undang-undang hak cipta nomor 28 tahun 2014 dalam pasal 40 huruf j menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

[r]

The fiction writer can suggested a theme through the main characters in the story.. How does the main

Polusi

Menurut penulis Basuki Tjahaja Purnama sebagai seorang Pelaksana Tugas Gubernur dalam menggunakan media sosial Twitter telah menjalankan fungsi komunikasi dengan cukup