• Tidak ada hasil yang ditemukan

Leksikon Kuliner Melayu Tanjung balai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Leksikon Kuliner Melayu Tanjung balai"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS

Penelitian ini bertitik tolak dari perspektif ekolinguistik. Menurut Mbete (2009:2),“ dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan, bersama organisme-organisme lainnya.” Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan paduan teori linguistik dan ekologi, sebagaimana dinyatakan oleh Fill (1993:126) dalam Lindo dan Simonsen (2000:40) bahwa ekolinguistik merupakan sebuah payung bagi semua penelitian mengenai bahasa yang ditautkan dengan ekologi “ecolinguistics is an umbrella term for ... all approaches in which the study of language (and language) is in any way combined with ecology.” Sejumlah teori linguistik yang digunakan dalam

penelitian ini mencakup teori sosiolinguistik, semantik, dan leksikon.

Pada bab ini juga akan diuraikan konsep, kerangka teori, dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian “LeksikonKuliner MelayuTanjungbalai: Kajian Ekolingusitik”.

2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Leksikon

(2)

kamus atau kosakata. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Surbakti (2012:11) dalam temuannya tentang konsep ekologi kesungaian.

Leksikon didefenisikan sebagai “kosakata, komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa”. KBBI (2008:805).Chaer (2007:5) mengatakan bahwa istilah leksikon berasal dari kata Yunani Kuno yang berarti ‘kata’, ‘ucapan’, atau ‘cara berbicara’. Kata leksikon seperti ini sekerabat dengan leksem, leksikografi, leksikograf, leksikal, dan sebagainya. Sebaliknya, istilah kosakata adalah istilah terbaru yang muncul ketika kita sedang giat-giatnya mencari kata atau istilah tidak berbau barat.

Selanjutnya Sibarani (1997:4) membedakan leksikon dari perbendaharaan kata, yaitu “leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantis, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau sesuatu bahasa”.

2.1.2 Bahasa dan Lingkungan

(3)

(3)alam dikonstruksi bahasa; dan (4) bahasa saling berhubungan dengan alam-keduanya saling mengontruksi, tetapi jarang yang berdiri sendiri (ekolinguistik).

Lingkungan bahasa atau ekologi bahasa adalah ruang hidup, tempat hidup bahasa-bahasa. Bahasa yang hidup ada pada guyub tutur dan secara nyata hadir dalam komunikasi dan interaksi kegiatan baik lisan maupun tulisan. Ekologi adalah ilmu tentang lingkungan hidup sedangkan linguistik adalah ilmu tentang bahasa. Kerangka pandang ekologi, bandingkan misalnya ekolinguistik, menjadi parameter yang membedakannya dengan cabang makrolinguistik lainnya (seperti sosiolingistik, psikolinguistik, neurolinguistik, atau antropolinguistik), adalah (1) interelasi (interrelationship), (2) lingkungan (environment), dan (3) keberagaman (diversity) (Haugen dalam Fill and Muhlhausler, 2001:1).

Berdasarkan kerangka pandang itu, bahasa-bahasa dapat dikaji, di dalami dan dimaknai secara khusus. Lingkungan hidup bahasa meniscayakan adanya keberagaman dan kesalinghubungan dengan pemahaman bahwa di suatu lingkungan atau kawasan memang hidup bahasa, namun bahasa hidup dalam guyub tutur. Adalah kenyataan bahwa di suatu lingkungan hidup, secara khusus lingkungan hidup manusia dalam suatu jejaring dan kebersaam sosial, hidup beragam bahasa pula. Hal ini sejalan dengan pendapat Safir dalam Fill dan Muhlhausler (eds) (2001:14), menyebutkan tiga bentuk lingkungan:

1. Lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi sebuah negara (baik pantai, lembah dataran tinggi, maupun pegunungan, keadaan cuaca dan jumlah curah hujan).

(4)

3. Lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar etika, bentuk organisasi politik dan seni.

2.1.3 Warisan Kuliner Melayu

Kamus Besar Bahasa Indonesia memakai ‘warisan’ sebagai : sesuatu yang diwariskan, seperti harta, nama baik, harta pusaka, sedangkan kuliner adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pangan dan makanan mulai dari bahan-bahan mentah sampai pada proses pengolahan dan penyajian. Menurut Steven Labensky dalam Webster’s New World Dictionary Culinary of Arts adalah “segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas memasak dalam hal penyiapan bahan-bahan pangan, pengolahan dan penyajian”.

Menurut Yuyun dan Rudy (2006) bahwa kuliner adalah cermin jujur, setiap bangsa tidak sekedar lahir dan di alami secara politik akan tetapi dihayati dengan perasaan yang begitu khas dan unik. Dalam sisi yang lain, kuliner adalah wujud pencapaian estetika tentang bagaimana bangsa dalam rentang waktu sejarah tertentu terbangun dengan semangat dan cita rasa, karena itu terdapat suatu ungkapan yang mengatakan bahwa sekali-sekali jangan pernah mengatakan telah mengenal sebuah bangsa, jika belum mengenal kulinernya. Ungkapan ini berlaku bagi negara termasuk Indonesia, yang dikenal sebagai negara kepulauan yang memiliki beraneka ragam suku, budaya dan adat istiadat.

(5)

masyarakat seresam (resam=aturan-aturan adat yang menyertai kehidupan) dan Melayu adalah nama suku dalam resam Melayu yang tidak diketahui lagi asal-usul sukunya sebelum menyatu dengan Melayu.

Pada dasarnya dalam pengolahan masakan Melayu, bahan yang paling utama digunakan terdiri atassantan kelapa, cabe, dan beras. Hidangan masyarakat suku Melayu sangat terkenal mampu membangkitkan selera, bukan saja dari rasa enak tetapi dari segi pedas dan juga penggunaan rempah-rempahnya. Makanan Melayu sering digambarkan sebagai masakan pedas dan beraroma karena memanfaatkan melting pot rempah-rempah dan tanaman hidup (Surya, 2010).

Pengolahan masakan Melayu menggabungkan bahan segar, seperti serai, daun jeruk, daun kemangi, pala, kunyit, dan jahe. Tidak ketinggalan rempah-rempah kering tradisional seperti jintan dan ketumbar digunakan bersama-sama dengan rempah seperti lada, kapulaga, dan jintan serta bumbu rempah-rempah alami.

Bumbu memiliki peran penting dalam mengolah masakan Melayu karena berfungsi meningkatkan rasa makanan. Kombinasi bumbu rempah-rempah segar dan kering biasanya ditumbuk bersama-sama di dalam lesung untuk membuat bubuk halus dan dimasak dalam minyak dengan ditambahkan santan segar sebagai bahan utama dalam segala jenis gulai atau masakan lemak.

2.1.4 Nilai Budaya dan Kearifan Lingkungan 2.1.4.1 Nilai Budaya

(6)

mengamanatkan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Dalam konteks ini, pemerintah menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia. Pada era globalisasi, pemerintah berkewajiban melindungi dan melayani masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya agar tidak tergerus oleh nilai-nilai budaya global yang tidak sesuai dengan karakter dan jati diri bangsa.

Kebudayaan menurut Mahsun (2005: 2) terdiri atas nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik, dan tercermin dalam perilaku manusia. Sejalan dengan itu Haviland (1999: 333) mengemukakan pendapatnya bahwa kebudayaan adalah seperangkat peraturan atau norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, dan apabila dilaksanakan oleh para anggotanya, maka akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh seluruh anggota masyarakat tersebut.

(7)

pula nilai-nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya.

Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktivitas sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada nilai-nilai atau sistem nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri, artinya nilai-nilai itu sangat banyak memengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik secara invidual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut. Suatu nilai apabila sudah membudaya di dalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkah laku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya budaya gotong royong, dan lain-lain. Jadi, secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu.

Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Teori Ekolinguistik

Ekolinguistik adalah kajian interdisipliner yang mengkaitkan ekologi dan linguistik diawali pada tahun 1970-an ketika Einar Haugen (1972) menciptakan

(8)

tentang interaksi bahasa dan lingkungannya. Dalam konteks ini, Haugen

menggunakan konsep lingkungan bahasa secara metaforis, yakni lingkungan

dipahami sebagai masyarakat pengguna bahasa, sebagai salah satu kode bahasa.

Bahasa berada hanya dalam pikiran penuturnya, dan oleh karenanya bahasa hanya

berfungsi apabila digunakan untuk menghubungkan antarpenutur, dan

menghubungkan penutur dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial ataupun

lingkungan alam. Dengan demikian, ekologi bahasa ditentukan oleh orang-orang

yang mempelajari, menggunakan, dan menyampaikan bahasa tersebut kepada orang

lain (Haugen, 2001:57).

(9)

dalam linguistik berkembang dengan pesat, baik di bidang pragmatik, analisis wacana, linguistik antropologi, linguistik teoretis, pengajaran bahasa, dan berbagai cabang linguistik lainnya (Fill dan Muhlhausler, 2001:1).

Walaupun kajian tentang interelasi bahasa dan lingkungannya telah muncul sejak tahun 1970-an, pendekatan teoretis dan model analisis dalam kajian ekolinguistik baru diformulasikan pada tahun 1990-an, ketika Jorgen Chr Bang dan Jorgen Door (1993) mengenalkan teori dialektikal ekolinguistik. Melalui Kelompok Penelitian Ekologi, Bahasa, dan Ideologi (ELI/the Ecology, Language, and Ideology Research Group) yang berpusat di Universitas Odense, Denmark, Bang dan Door mengenalkan kerangka teoretis ekolinguistik dialektikal. Kerangka teoretis ini menarik untuk dicermati mengingat ekolinguistik yang sebelumnya merupakan istilah payung (umbrella term) dari berbagai pendekatan teori linguistik (Bundsgaard dan Steffensen, 2000:9), ternyata dapat memiliki kerangka teoretis tersendiri, yakni teori linguistik dialektikal atau ekolinguistik dialektikal. Kebaruan dari kerangka teoretis ini terletak di antaranya pada penggunaan konsep praksis sosial sebagai lingkungan bahasa, yang mengacu pada tiga dimensi, yakni dimensi ideologis, dimensi sosiologis, dan dimensi biologis.

(10)

masyarakat, baik terhadap sesama masyarakat maupun terhadap lingkungan alam di sekitarnya. Dalam teori dialektikal, praksis sosial mencakup tiga dimensi praksis sosial, yakni

1. Dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat misalnya ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan ideologi pasar sehingga perlu dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah dan wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi ada upaya untuk tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan jenis ikan atau tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan kuat,

2. Dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan wujud praktik sosial yang bermakna, dan

3. Dimensi biologis, berkaitan dengan adanya diversivitas (keanekaragaman) biota danau (atau laut, ataupun darat) secara berimbang dalam ekosistem, serta dengan tingkat vitalitas spesies dan daya hidup yang berbeda antara satu dengan yang lain; ada yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan “menyantap” yang lemah dan kecil, ada yang kecil dan lemah sehingga terpinggirkan dan termakan. Dimensi biologis itu secara kegiatan terekam secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa sehingga entitas-entitas itu tertandakan dan dipahami. (Lindo dan Bundsgaard, 2000:10-11)

(11)

maupun bahasa ekologi. Kombinasi keduanya menghasilkan kajian ekolinguistik. Ekologi bahasa mempelajari dukungan pelbagai sistem bahasa yang diperkenalkan bagi kelangsungan makhluk hidup, seperti halnya dengan faktor-faktor yang memengaruhi kediaman (tempat) bahasa-bahasa dewasa ini.

Haugen (1970), lihat Mbete (2009:11-12), mengatakan bahwa ruang lingkup linguistik dalam payung ekologi bahasa diutarakan oleh Haugen berikut ini: (1) linguistik historis komparatif; (2) linguistik demografi; (3) sosiolingustik; (4) dialinguistik; (5) dialektologi; (6) filologi; (7) linguistik preskriptif; (8) glotopolitik; (9) etnolinguistik, linguistik antropologi atau linguistik kultural (cultural linguistics); dan (10) tipologi. Dari uraian tersebut kajian ini adalah kajian preskriptif (leksikon) dan linguistik antropologi. Berdasarkan pembagian Haugen tersebut, penelitian ini ada terkait dengan ruang kaji sosiolinguistik dan linguistik perspektif.

Dalam lingkup kajian ekolinguistik, bahasa yang hidup dan digunakan menggambarkan, mewakili, melukiskan (mempresentasikan secara simbolik-kegiatanl) realitas di lingkungan, baik lingkungan ragawi maupun lingkungan buatan manusia (lingkungan sosial-budaya). Hal tersebut mengimplikasikan bahasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan lingkungan ragawi dan sosialnya, sebagaimana dinyatakan Liebert (2001) dalam Mbete (2009:7) bahwa “... perubahan bahasa ... mempresentasikan perubahan ekologi.” Proses perubahan pada bahasa tersebut berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, tanpa disadari oleh penuturnya, dan tidak dapat dihindari.

(12)

karakter lingkungan ragawi dan karakteristik sosial serta budaya masyarakat penuturnya. Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001:2) menarik kesimpulan bahwa dalam lingkup ekolinguistik, hubungan bahasa dan lingkungannya ada pada tataran leksikon saja, bukan, misalnya, pada tataran fonologi atau morfologi.

Sehubungan dengan dasar konsep teori di atas maka sejumlah segi yang dapat dibedah dan dikaji di dalamnya mencakupi.

1. Leksikon-leksikon bermakna dan berfungsi referensial, yakni khazanah leksikon yang referensi nyatanya dapat dilacak, dijejaki, dibuktikan secara empirik atau kasat mata, karena dapat ditemukan dilapangan, atau juga kendati masih diingat (dalam kognisi warga masyarakat di sekitarnya) oleh penuturnya, baik tua maupun muda, namun sesungguhnya biota atau makhluk hidup yang diwadahi dalam bahasa lokal itu, sudah terancam keberadaannya, populasinya kian mengecil, bahkan ada yang sudah punah.

(13)

meskipun sebagiannya “tinggal ingatan” orang tua-tua, namun sudah tidak ada lagi di daerah tersebut.

3. Pertanyaan lebih kritis lagi dapat diajukan pula sebagai fokus kajian lebih dalam yakni, mengapa sejumlah flora dan fauna yang menurut cerita atau tuturan generasi tua, sudah tidak ada lagi dalam realita di lingkungan daerah tersebut? Selain penghilangan karena perburuan atau penangkapan, pencemaran karena menggunakan racun misalnya, semuanya itu dapat disingkap dalam kajian ini. Sebaliknya juga, apa saja yang tetap terpelihara, sehingga populasi flora dan fauna di daerah tersebut tetap ada dan terjaga.

2.2.2 Ekolinguistik dan Ekologi

Ekologi bahasa menurut Haugen, adalah

Language ecology may be defined as the study of interactions between any given language and its environment (Haugen, 1997, dalam Peter, 1996:57).

Ekologi bahasa dapat didefinisikan sebagai studi tentang interaksi antarbahasa yang ada dengan lingkungannya (terjemahan penulis) Fill (1993:126) dalam Lindo & Bundsgaard (eds.) (2000)

mendefinisikan ekolinguistik sebagai berikut.

Ecolinguistics is an umbrella term for ‘[...] all approaches in which the study of language (and language) is in any way combined with ecology’.

Ekolinguistik merupakan payung istilah terhadap ‘[...] semua pendekatan studi bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikombinasikan dengan ekologi (terjemahan penulis)

(14)

Ecolinguistics (n.) In linguistics, an emphasis-reflecting the nation of ecology in biological studies-in which the interaction between language and the cultural environment is seen as central; also called the ecology of language, ecological linguistics, and sometimes green lingusitics. An ecolinguistic approach highlights the value of linguistic diversity in the world, the importance if individual and community linguistic rights, anf the role of languange attitudes. Language awareness language variety, and language change in fostering a culture of communicative peace.

Ekolingustik (nomina) dalam linguistik, suatu penekanan yang mencerminkan gagasan ekologi dalam studi biologis-dimana interaksi antara bahasa dan lingkungan budaya dipandang sebagai inti; juga disebut dengan ekologi bahasa. Linguistik ekologi dan kadang-kadang linguistik hijau. Pendekatan ekolinguistik menyoroti nilai keragaman linguistik di dunia, pentingnya hak linguistik dari individu dan masyarakat, peranan dari sikap bahasa, kesadaran bahasa, ragam bahasa, dan perubahan bahasa dalam membina budaya perdamaian yang komunikatif).

Sementara itu, istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos, yang berarti house, man’s immediate surroundings. Ricklefs (1976:1) dalam bukunya The Economy of Nature A Textbook in Basic Ecology mendefinisikan ekologi

sebagai berikut

Ecology is the study of plants and animals, as individuals and together in populations and biological communities, in relation to their environments – the physical, chemical, and biological characteristics of their surroundings.

Ekologi merupakan studi yang mempelajari tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewanan sebagai individu dan secara bersamaan dalam populasi dan komunitas biologis dalam kaitannya dengan lingkungannya – fisik, kimia, dan karakteristik biologis lingkungannya (terjemahan penulis)

Disamping itu, Haeckel (1870) dalam Ricklefs (1976:2) menerangkan

(15)

ecology is the study of all the complex interrelations referred to by Darwin as the conditions of the struggle for existence.”

terkait ekologi, ‘beliau menulis “kita artikan pokok ilmu pengetahuan mengenai ekonomi alam – penelitian hubungan mutlak dari hewan baik lingkungan organik maupun non-organik; termasuk secara keseluruhan, keramahtamahannya dan hubungan inimcal dengan hewan-hewan tersebut dan tanaman-tanaman dengan ehich yang datang dalam kontak secara langsung atau tidak langsung – dalam kata lain, ekologi adalah studi keseluruhan hubungan intra yang kompleks yang dirujuk Darwin sebagai kondisi perebutan eksistensi” (terjemahan penulis)

Dengan demikian, kajian ekolinguistik lebih melihat tautan ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya (linguistik). Lingkungan tersebut adalah lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelbagai bahasa dalam sebuah masyarakat. Situasi dwi/ multi bahasa inilah yang mendorong adanya interaksi bahasa. Lingkungan ragawi dengan pelbagai kondisi sosial sangat memengaruhi penutur bahasa secara psikologis dalam penggunaan bahasanya.

2.2.3 Semantik Leksikal

(16)

dalam Palmer (1976:37) membagi kata atas kata penuh (full words), kata tugas, dan partikel (form words). Kata penuh mengandung makna tersendiri. Kata ini bebas konteks kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya, nomina, kegiatan, adjektiva, dan adverbia. Kata tugas merupakan bentuk bebas yang terikat konteks kalimat. Kata ini mengandung makna apabila berada dalam kalimat. Contohnya, pronomina, numeralia, interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi, interjeksi. Partikel merupakan bentuk terikat yang melekat pada kata dasar dan terikat pada konteks kalimat.

Semantik berkaitan dengan semiotik. Dalam semantik, kata disebut lambang (symbol) sedangkan dalam semiotik lambang itu sendiri disebut tanda (sign) (Pateda 2001:25). Sebagai pengguna bahasa, masyarakat dikelilingi oleh tanda. Tanda-tanda itu mengandung makna. Dalam semiotik natural ditelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam (Pateda, 2001:31). Misalnya, kelapa yang digongseng (disangrai) sudah berwarna kecoklatan menandakan bahwa kelapa tersebut sudah masak dan dapat diangkat dari tempat pemasakan.

2.2.4Semantik Kognitif

(17)

harus melampaui batas antara berbagai macam tingkatan analisis (Saeed 1997: 300). Misalnya, penjelasan tentang pola gramatikal tidak dapat hanya dianalisis melalui prinsip sintaksis yang abstrak, tetapi juga melalui sisi makna yang dikehendaki pembicara dalam konteks tertentu penggunaan bahasa (Saeed 1997: 300).

Penganut semantik kognitif berpendapat bahwa manusia tidak memiliki akses langsung terhadap realitas, dan oleh karena itu, realitas sebagaimana tercermin dalam bahasa merupakan produk pikiran manusia berdasarkan pengalaman mereka berkembang dan bertingkah laku (Saeed 1997: 300). Dengan kata lain, makna merupakan struktur konseptual yang dikonvensionalisasi (Saeed 1997: 300) dan bahasa merupakan cara eksternalisasi dari seluruh mekanisme yang terdapat dalam otak (Jaszczolt 2002: 345). Proses konseptualisasi ini, menurut penganut semantik kognitif, sangat dipengaruhi oleh metafora sebagai cara manusia memahami dan membicarakan dunia. Selain itu, dalam semantik kognitif juga ditelaah proses konseptual pembicara, meliputi viewpoint shifting, figure-ground shifting, dan profiling (Saeed 1997: 302).

2.3 Penelitian Relevan

2.3.1 Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik (Sukhrani, 2010)

(18)

penutur bahasa Gayo pria dan wanita dari masing kelompok usia masih mengenal dan sering mendengar maupun menggunakan leksikon nomina bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan kedanauan Lut Tawar, (2) leksikon kedanauan Lut Tawar yang diteliti tingkat pemahamannya lebih didominasi nomina karena begitu beragam dan kayanya Lut Tawar akan nama biota dalam dan sekitar danau dan nama alat tangkap ikan, dan (3) Leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar sebagian besar masih dikenal dan digunakan dalam berkomunikasi. Faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah karena biodiversitas lingkungan sekitar danau, penutur dari masing-masing kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam, dan oenutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian.

Penelitian Sukhrani memberikan kontribusi terhadap penelitian ini dalam hal teori-teori ekolinguistik oleh Haugen. Perbedaan penelitian Sukhrani dengan penelitian ini adalah penelitian Sukhrani membahas mengenai nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawarsedangkan penelitian ini tidak terbatas pada nomina melainkan nomina, kegiatan, dan ajektivamengenai leksikon kuliner MTB.

2.3.2Pengetahuan dan Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik (Rasna, 2010)

(19)

eksploratif. Informasi diperoleh dengan teknik wawancara untuk memperoleh data pengetahuan tanaman obat tradisional dengan bantuan kuesioner terstruktur.

Hasil penelitian menyimpulkan secara ekolinguistik adanya penyusutan bentuk leksikal tumbuhan/ tanaman obat para remaja sehingga para remaja tidak lagi mengenal bentuk leksikal sekapa(gadung), kusambi, nagasari, kundal, antasari, bahkan tidak semua remaja tahu beluntas. Hal ini terjadi akibat: (a) adanya perubahan sosiokultural, (b) perubahan sosioekologis secara fisik, dan (c) faktor sosioekonomis.

Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah memberikan contoh bagaimana menganalisis kajian ekolinguistik pada tumbuhan (flora). Perbedaan penelitian Rasna dengan penelitian ini adalah penelitian Rasna membahas mengenai tanaman obat yang dikaji dalam kajian ekolinguistik sedangkan penelitian ini membahas mengenai leksikon kuliner MTB.

2.3.3 Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik (Yusradi Usman, 2010)

Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik yang dilakukan oleh Yusradi Usman pada tahun 2010 menggunakan metode penelitian kualitatif. Topik dan karakteristik masalah yang dirumuskan dengan penelitian kaji tindak (action research).

(20)

gemasih(kasih sayang), mutentu (kerja keras), amanah (amanah), genap mupakat (musyawarah), alang tulung (tolong menolong), dan bersikemelen (kompetitif). Hubungan darah perkawinan, belah (klan), terjadinya kecelakaan, perkelahian, membantu seseorang, dan mengadopsi anak merupakan perangkai sosial yang membentuk tutur dalam masyarakat Gayo. (2) klasifikasi, bentuk, dan fungsi tutur; tutur dalam masyarakat Gayo diklasifikasikan menjadi 1) patut atau muperdu (bentuk tutur yang sudah baku); 2) museltu (terbentuk akibat faktor tertentu); 3) mantut (peralihan tutur ke bentuk yang sebenarnya/ seharusnya); 4) uru-uru (tindak betutur didorong akibat ikut-ikutan); 5) gasut (pemakaian tutur yang kerap berubah-ubah. (3) penyusutan tutur; perubahan sosio-ekologis yang terjadi didataran tinggi tanoh Gayo sangat mempengaruhi penyusutan tutur. Terlebih di Takengon yang dikenal dengan pluralitas etnik yang lebih dari delapan etnik. Keragaman situasi itu membuat terjadinya kontak antar etnik, bahasa, dan budaya. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi masyarakat Gayo baik secara psikologis maupun secara sosial khususnya dalam bertutur. (4) bentuk tutur baru (variasi tutur); empat hal yang terjadi perihal tutur, yaitu a) tetap, b) jarang, dan c) tidak dipakainya lagi tutur, serta d) terciptanya bentuk tutur baru.

(21)

2.3.4 Ketahanan Khazanah Lingual Pertanian Guyub Tutur Bahasa Bima dalam Perspekstif Ekolinguistik Kritis (Umiyati, 2011)

Penelitian ketahanan khazanah lingual pertanian guyub tutur bahasa Bima dilakukan dengan menghimpun leksikon-leksikon, teks-teks tentang lingkungan hidup, wacana-wacana, dokumen-dokumen, publikasi seta publikasi serta hasil interview. Penelitian ini dilakukan di dua desa dan dua kelurahan yang tersebar di dua kebupaten, yaitu Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu.

Hasil penelitian ini menyimpulkan ketahanan khazanah lingual pada ranah pertanian masih sangat terjaga, ditandai dengan kemunculan sejumlah leksikon khas ranah pertanian dalam sejumlah metafora dan ungkapan-ungkapan yang lahir dari kearifan lokal setempat. Dalam pandangan ekolinguistik pandangan green grammar dijadikan sebagai bentuk struktur yang ideal untuk menyelaraskan

kalimat/ klausa yang ada pada guyub tutur ini dengan alam.

(22)

2.3.5Pergeseran Leksikon Kuliner Melayu Serdang Terhadap Remaja Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai (Sinar, T, S, 2011)

Penelitian ini bertujuan menemukan dan mendeskripsikan leksikon kuliner nomina bahasa Melayu Serdang, untuk diwariskan sebagai pengetahuan dan pemahaman generasi muda dan mengenai leksikon kuliner nomina Kesultanan Serdang dan memberikan informasi yang merujuk kepada pentingnya keterpeliharaan lingkungan Kesultanan Serdang sehingga masyarakat masa kini yang bermukin disekitarnya bertanggung jawab dalam pemeliharaan lingkungan.

Saat ini generasi muda Melayu Serdang sudah mulai tidak mengenal lagi pangan kuliner Melayu Serdang, dan lebih mengenal kuliner yang modern saat ini yang cepat saji dan praktis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan dan metode kuantitatif dan kualitatif dengan instrumen untuk pengumpulan data dilakukan di Kecamatan Perbaungan yang berada dalam lingkungan Kesultanan Serdang masa lalu di Kabupaten Serdang Bedagai.

Penelitian ini menemukan beberapa pangan kuliner yang sudah mulai tidak dikenal lagi seperti: anyang kepah, botok kampong, bubur lambuk, bubur sup, gulai darat atau terung sembah, gulai pisang emas, gulai kacang hijau dengan daun buas-buas, gulai lambuk kemuna, gulai telur terubuk, pekasam

kepah, pekasam maman, rendang santan telur terubuk, emping padi, senat, sambal lengkong, sambal tempoyak durian, sambal terasi asam sundai, sambal belacan asam binjei, kue danagi, halwa masekat, lubuk haji pantai surga,

(23)

Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah memberikan kemudahan dalam hal informasi berbagai jenis kuliner khususnya kuliner Melayu. Perbedaan penelitian Sinar dengan penelitian ini adalah penelitian Sinar membahas mengenai leksikon kuliner Melayu Serdang, sedangkan penelitian ini membahas mengenai leksikon kuliner MTB.

2.3.6 Analisis dan Kebermaknaan Bahan Bubur Pedas Sebagai Warisan Kuliner Melayu Stabat dan Tanjungbalai (Sartika dan Siti Wahidah, 2013)

(24)

uraian pengetahuan dan pandangan narasumber tentang analisis bahan bubur pedas sebagai warisan kuliner Melayu Stabat dan Tanjungbalai.

(25)

Perbedaan penelitian Sartika dan Siti Wahidah dengan penelitian ini adalah penelitian Sartika dan Siti Wahidah membahas mengenai kebermaknaan bahan bubur pedas yang merupakan salah satu kuliner MelayuTanjungbalai sedangkan penelitian ini membahasmengenai leksikon kuliner MTB.

2.3.7 Keterkaitan Metafora dengan Lingkungan Alam pada Komunitas Bahasa Aceh Di Desa Trumon Aceh Selatan: Kajian Ekolinguistik (Nuzwaty, 2014)

Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan penelitian yaitu pertama, menganalisis dan mendeskripsikan keterkaitan metafora dengan lingkungan alam pada komunitas bahasa di Desa Trumon. Kedua, menganalisis dan mendeskripsikan klasifikasi metafora. Ketiga, menganalisis dan menemukan karakteristik metafora dikaitkan dengan lingkungan alam Desa Trumon. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kolaborasi dari teori ekolinguistik dengan tiga dimensi sosial praksis, parameter ekolinguistik (keberagaman, keterhubungan, lingkungan), dan teori metafora konseptual kognitif linguistik.

(26)

inderawi pengguna bahasa tersebut. Karakteristik metafora yang digunakan di Desa Trumon merupakan metafora konseptual yang terbentuk secara konseptual alamiah dari unsur-unsur bahasa dan kognitif manusia melalui tiga dimensi sosial praksis dan dapat pula digambarkan dalam hubungan ontologi dan epistemik.

Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan adalah memberikan kemudahan dalam hal informasi mengenai tiga dimensi sosial praksis. Perbedaan penelitian Nuzwaty dengan penelitian ini adalah penelitian Nuzwaty membahas mengenai keterkaitan metafora dengan lingkungan alam, sedangkan penelitian ini membahas mengenai leksikon kuliner MTB.

2.3.8 Khazanah Ekoleksikal, Sikap, dan Pergeseran Bahasa Melayu Serdang: Kajian Ekolinguistik (Faridah, 2014)

Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan penelitian yaitu untuk (1) menganalisis khazanah leksikal BMS, (2) menganalisis perubahan lingkungan dan pilihan bahasa, (3) membuktikan hubungan antara pengetahuan dan sikap penutur, dan (4) menganalisis sikap bahasa dan pergeseran bahasa serta faktor-faktor penyebab terjadi pergeseran. Metode yang digunakan dalam metode kualitatif dan kuantitatif. Teori yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji khazanah leksikal dari disiplin ilmu Ekolinguistik adalah interrelasi, interaksi, interdepedensi, keberagaman dan lingkungan.

(27)

tersebut disebabkan oleh faktor ecoregion yang mendukung pada saat itu, (4) terdapat hubungan yang tidak signifikan antara pengetahuan dan sikap diantara para penutur dari kalangan usia muda, (5) kedudukan BMS mengalami pergeseran dalam penggunaannya di masyarakat da terdapat delapan faktor penyebab.

Referensi

Dokumen terkait

|jejakseribupena.com, Soal dan Solusi Simak UI Matematika Dasar, 2011

Keluarga yang broken home adalah salah satu aspek yang membuat anak akan menjadi liar, nakal dan tidak bisa diatur, begitu juga peran Guru yang tidak baik disekolah akan membuat

Dalam penelitian ini data primernya adalah lingkungan belajar, fasilitas belajar dan keaktivan organisasi ekstrakurikuler pramuka siswa yang diperoleh dari

Dijelaskan, hal lain yang juga telah disiapkan panitia adalah kegiatan outbond yang difokuskun pada keterampilan kepemimpinan, jurnalistik, kewirausahaan dan keagamaan,

Bahan memiliki kekuatan yang baik sehingga tahan lama sesuai dengan. umur

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa sesorang siswa yang memiliki tingkat modernitas yang tinggi yang di tandai dengan kesadaran diri sebagai subyek ( baik dalam

Pada sub bab sebelumnya, pembebanan terpusat pada titik-titik nodal. Pada kondisi struktur yang sebenarnya, pembebanan tidak hanya merupakan beban-beban terpusat

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Makgosa dan Mohube (2007) yang menemukan bahwa teman sebaya berpengaruh terhadap perilaku konsumsi atas ba- rang