• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pidana Mati Sumbangan Pemikiran Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pidana Mati Sumbangan Pemikiran Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PIDANA MATI : SUMBANGAN PEMIKIRAN DALAM RANGKA PEMBAHRUAN HUKUM

PIDANA INDONESIA

1

Oleh : I B Surya Dharma Jaya

2

1.Pendahuluan

Kejahatan merupakan perbuatan anti sosial karena menimbulkan kerugian bagi

masyarakat. Kejahatan menyebabkan rusaknya ketertiban dan ketentraman yang

menjadi harapan setiap orang. Oleh karenanya telah dilakukan berbagai upaya untuk

menanggulangnginya, termasuk dengan menggunakan sarana penal. Penggunaan

sarana penal adalah upaya penanggulangan kejahatan dengan pengenaan pidana pada

pelaku tindak pidana. Berbagai jenis sanksi pidana telah diupayakan dipergunakan dalam

penanggulangan tersebut, diantaranya adalah pidana mati sebagai pidana yang terberat

dan paling kontroversial.

Pidana mati dianggap sebagai pidana yang paling menakutkan dan dipandang memiliki

kemampuan untuk mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan, tapi ternyata

keberadaaannya tidak menyurutkan terjadinya perbuatan yang diancam tersebut.

Keadaan ini membuat masyarakat sangsi akan kemampuannya, sehingga beberapa

negara kemudian menghapuskan pidana mati tersebut dalam ketentuan hukum

pidananya, walaupun kemudian beberapa negara memasukkannnya kembali dengan

berbagai pertimbangan.

3

Persoalan pidana mati juga muncul di Indonesia, pro dan kontra pidana mati semakin

menguat seiring dengan kebijakan hukum pidana yang menghendaki dilakukannya

pembaharuan hukum pidana.

4

Pidana mati oleh sebagaian masyarakat dipandang tidak

efektif . Eksekusi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang dilakukan

baru-baru ini, tidak mengurangi terjadinya kejahatan narkorika.

5

Demikian pula

meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap HAM, telah menimbulkan anggapan

1

Makalah disampaikan dalam Seminar tentang “Pidana Mati dalam Pembaharuan hukum Pidana Indonesia”, 25 Januari 2016 di FH Udayana.

2

I B Surya Dharma Jaya adalah Dosen Fakultas Hukum universitas Udayana. 3

Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2013),hlm. 228. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat seperti, Alabama, Arizona, Arkansas, California, Colorado pernah melakaukan penundaan pelaksanaan hukuman mati, namun setelah sekitar 2-3 tahun kemudian menghidupkannya kembali. Selanjutnya disebut Barda nawawi I

4

Pembahruan hukum pidana nasional adalh usaha untuk membentuk hukum pidana baru yang sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini dan mampu mengantisipasi masa datang.

5

(3)

bahwa hukuman mati semata-mata hanya mengurangi perasaan kemanusiaan umat

manusia. Masyarakat tidak menghendaki adanya pidana mati karena dianggap

melanggar hak yang paling mendasar yaitu, hak untuk hidup .

Namun demikian tidak seluruh masyarakat dapat menerima pendapat tersebut, mereka

merasa pidana mati masih memberikan jaminan atas rasa aman. Keinginan masyarakat

untuk menghapuskan pidana mati karena dipandang hanya mengumbar nafsu balas

dendam, dan sama sekali tidak memiliki tujuan. tidak seluruhnya benar. Sebagian

masyarakat memandang keberadaan pidana mati merupakan sarana untuk memberikan

perlindungan pada masyarakat.

6

Filosofi pembalasan berbenturan dengan filosofi Rehabilitasi yang berkembang dewasa

ini. Pidana mati secara teoritis juga menjadi persoalan. Perkembangan hukum pidana

telah meninggalkan filosofi pembalasan yang dianggap sebagai dasar teori retributif

yang menjadi pembenaran pidana mati, selain tujuan pemusnahan (incapasitation).

Dewasa ini berkembang filosofi rehabilitasi yang berakar pada pemikiran humanis,

lebih bersifat individualis. Penganut paham rehabilitasi menghendaki dihapuskannya

berbagai bentuk pidana yang kejam, sebagian dari mereka juga disebut sebagai kaum

abolisionis. Penganut Teori rehabilitasi dengan tegas menolak keberadaan pidana mati

dan cenderung menghendaki dihapuskannya pidana mati.

Uraian di atas menunjukkan bahwa keberadaan pidana mati dalam hukum pidana

dewasa ini sangat fenomenal, sehingga perlu dikritisi. Berbagai pemikiran tentang

pidana mati terutama berkaitan dengan kebijakan hukum pidana Indonesia yang

menginginkan dibentuknya hukum pidana baru perlu dipertimbangkan, sehingga sistem

pemidanaan yang dibentuk nantinya sesuai dengan kondisi dan filosofi bangsa

Indonesia. Hal ini terutama sejak RKUHP menentukan pidana mati sebagai salah satu

pidana pokok yang bersifat khusus.

2.Sejarah dan Perkembangan pidana mati

Pidana mati sudah dikenal dalam perundang-undangan semenjak jaman Nabi Musa,

jaman Yunani, jaman Romawi , Jerman dan Kanonik. Demikian pula berbagai ajaran

keagamaanpun dipandang mengenal hukuman mati. Al Kitab , Al Qur’an mengenal

hukuman mati. Demikian pula dalam ajaran Hindu melalui buku Manawa Dharmasastra

mengenal pula hukuman mati.

7

6

Sahetapy, Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, (Bandung : Alumni, 1979), hlm.112.

7

(4)

Pidana mati merupakan pidana yang paling tua usianya dan paling kontroversial di

dunia. Pidana mati merupakan pidana yang paling kejam, karena dari sejarah

perkembangannya diketahui pelaksanaannya sangat mengerikan. Kejamnya pidana mati

dapat diketahui dari pelaksanaannya pada jaman Nero berkuasa, banyak orang-orang

Kristen yang dipidana mati dengan jalan dibakar ditiang gantungan.

8

Selain itu dikenal pula berberbagai bentuk pelaksanaan lain, seperti ditusuk,

dimasukkan dalam air mendidih, dikubur hidup-hidup, ditarik dengan kereta, disalib,

dipukul sampai hancur, ditenggelamkan, dibakar hidup-hidup, dan sebagainya.

9

Hal ini

menunjukkan bahwa pidana mati merupakan bagian dari hukum pidana klasik yang

lebih menekankan pada filosofi pembalasan.

Pembalasan sebenarnya bukan satu-satunya tujuan yang dikenal pada masa itu,

berbagai tujuan lain seperti pemusnahan, pencegahan, dan perbaikan terpidana telah

dikenal, namun dalam porsi yang sangat terbatas.

10

Sampai kemudian perkembangan

pidana mati dengan cara yang kejam telah mulai dikurangi pada jaman

Constitutio

Criminalis Carolina

.

Penentang keras pidana mati adalah C. Becaria, dalam bukunya yang berjudul “

Dei delitti

e delle Pene”

menekankan perlunya dikurangi kekejaman pemidanaan. Alasan utama

penjatuhan pidana adalah untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan untuk

mencegah seseorang melakukan kejahatan. Pencegahan tidak akan dihasilkan dari

pidana yang berat tetapi dari pidana yang patut (appropriate), tepat (prompt), dan pasti

(inevitable).

11

Beccaria meragukan bahwa negara memiliki hak untuk menjatuhkan

pidana mati.

12

Tulisan Beccaria ini pengaruhnya semakin kuat setelah perang dunia II

yang dilanjutkan dengan kehadiran

Universal Declaration of Human Rights

. Dengan

munculnya instrumen yang sangat berpengaruh di dunia ini semakin memberikan

kekuatan pada kaum abolisionis dan menyebabkan banyak negara kemudian

menghapuskan pidana mati dalam hukum pidananya.

13

Dewasa ini mulai pertengahan abad ke-20 terlihat perkembangan pemidanaan

mengarah pada dua tujuan yang berbeda. Di Eropa cenderung mengarah pada

penghapusan pidana mati dan meningkatkan peran pemidanaan yang dilakukan di luar

tembok penjara (

non custodial sentence

) Tujuan pemidanaan yang dikembangkan

adalah pencegahan, rehabilitasi dan tindakan (

treatment

). Namun beberapa negara

justru cenderung mengatur pemidanaan dengan lebih keras. Beberapa negara Islam

8

Ibid. hal. 461) 9

Sahetapy, Op.Cit., hlm. 72. 10

Lewis Lyons, The History of Punishment, (Guilford, London : The Lyons Press : 2003), hlm. 9. 11

Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 29.

12 Ibid. 13

(5)

lebih keras menerapkan hukum Shariah daripada sebelumnya.

14

Sementara itu di

Amerika Serikat banyak negara bagian mulai menghapuskan pidana mati, namun

demikian beberapa negara kembali menerapkannya.

15

Amerika Serikat sebagai negara besar yang menjadi panutan dunia untuk HAM

mengalami pasang surut dalam upayanya menanggulangi kejahatan dengan sarana

pidana mati, walaupun negara-negara bagian di Amerika sudah menyetujui American

Convention on Human Rights pada tahun 1969 dan telah mulai memberlakukannya pada

tahu 1978.

Ketentuan mengenai hukuman mati dalam

American Convention on Human Rights

dapat

ditemukan pada Pasal 4 yang menentukan tentang diakuinya hak hidup yang dilindungi

oleh undang-undang, dan tiada seorangpun dapat dirampas kehidupannya dengan

sewenang-wenang. Dalam konvensi ini juga ditentukan bahwa pidana mati tidak dapat

dijatuhkan pada pelaku tindak pidana politik, dan pada mereka yang berusia di atas 70

tahun. Hal yang sangat penting adalah ada larangan bagi negara yang telah

menghapuskan pidana mati untuk menerimannya kembali dalam ketentuan hukumnya.

Perjalanan untuk menghapuskan pidana mati di Amerika Serikat dinamikannya dapat

dilihat dari preseden yang terjadi.

Mahkmah Agung Amerika Serikat pada tahun 1972

dalam kasus

Furman v Georgia

mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa

pidana mati tidak bertentangan dengan konstitusi (

the punishment of death pealty does

not violate the constitution

) , atau tepatnya tidak bertentangan dengan amandemen

ke-8.

16

Namun demikian tidak seluruh pengadilan dapat menerimanya, sebagain besar

pengadilan berpandangan bahwa pidana mati melanggar amandemen ke-8 tesebut. Hal

seperti ini juga dikatakan oleh hakim stewart yang mengatakan bahwa “The death

sentences are cruel and unusual in the same way that being struck by lighting is cruel

and unusual...the (Eight Amandement) cannot tolerate the infliction of sentence of

death under legal systems that permit this unique penalty to be so wantonly and

freakishly imposed”.

17

Akhirnya Mahkamah Agung Amerika Serikat melalui putusannya

atas kasus

Gregg v. Georgia yang dilakukan dengan voting tujuh melawan dua pada

tahun 1976 menentukan bahwa bahwa undang-undang Georgia menghapuskan

14

Lewis Lyons, Loc.Cit. 15

Lewis Lyons, Loc.Cit. 16

Ellen Alderman, Caroline Kennedy, In Our Defense (The Bill of Rights In Action), (New York : Avons Books, 1992), hlm. 299-300. The Eight Amandemen “Excessive bail shall not be required, nor excessive fines imposed, nor cruel and unusual punishments inflicted”.

(6)

kesewenang-wenangan dan unsur-unsur ketidak pastian dari putusan yang berkaitan

dengan kasus Furman yang telah inkonstitusional.

18

Namun demikian sampai sekarang di Amerika Serikat pidana mati masih tetap

menyisakan persoalan.

Optional protocol American Convention on Human Rights

ini

secara tegas melarang negara untuk menjatuhkan hukuman mati. Tetapi berdasarkan

protokol ini juga pidana mati masih dapat dijatuhkan terhadap beberapa bentuk

kejahatan dalam keadaan tertentu. Kejahatan yang dimaksud adalah

kejahatan-kejahatan yang dianggap serius dalam lingkup militer yang dilakukan pada saat perang.

Optional protocol

ini mulai terbuka untuk penandatanganan dan peratifikasian sejak

1990.

Sekarang

sebagian negara bagian (19 negara bagian) telah menghapuskan pidana mati, 31 negara bagian masih tetap megenal pidana mati dalam hukum pidananya, walaupun hanya 7 negara yang tetap menerapkan hingga tahun 2014. Negara seperti New Mexico, Connecticut, Maryland, dan Nebraska telah menghapuskan pidana mati pada 2009, 2012, 2013, dan 2015. Sementara itu beberapa negara yang masih mengatur pidana mati menentukan cara-cara yang lebih manusiawi dalam hal eksekusinya. Sebagian besar negara yang masih mengatur pidana mati menentukan eksekusi dilakukan dengan cara suntik mati (lethal injection), selain Gas Chamber, kursi listrik (Electrocustion), tembak mati, 19

Sementara negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa telah menghapuskan pidana mati. Negara-negara tersebut tunduk pada The Charter of Fundamental Rights of European Union, dan The European Convention on Human Rights of The Counsil of Europe. Dalam Pasal 2 Convention for The Protection of Human Rights and Fundamental Freedom tahun 1950 menentukan penghapusan pidana mati sebagai bagian dari hak untuk hidup.20Dua organisasi besar eropa tersebut dengan tegas menyatakan penghapusan pidana mati. Hal ini kemudian didukang dengan protokol tambahan yang mendukung penghapusan pidana mati, yaitu Protokol 6 yang dikeluarkan tahun 1983. Protokol ini masih membolehkan diberlakukannya pidana mati di masa perang. Namun lahirnya Protokol 13 tahun 2002 Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa menentukan pidana mati tidak dapat diberlakukan dalam keadaan apapun.

Pelaksanaan dari konvensi ini beserta protokol-protokolnya berada di bawah

pengawasan

European Court of Human Rights

yang berkedudukan di Strasbourg.

Putusan-putusan Pengadilan HAM Eropa sangat mendukung penghapusan pidana mati.

Isu pidana mati selalu dikaitkan dengan larangan penyiksaan, demikian pula dalam

18

Ibid. 19

Cornell Law School, “Death Penalty Worldwide”, www.DeathPenaltyWorldwide.org/country-search-post-cfm.

20

(7)

kebijakan ekstradisinya, masyarakat eropa selalu menekankan negara terkait untuk tidak

menjatuhkan pidana mati sebagai prasyarat perjanjian.

21

Perkembangan HAM di Eropa juga ditandai dengan masuknya negara-negara Eropa Timur menjadi bagian dari Uni Eropa telah juga memperbanyak negara yang melarang pidana mati. Rusia termasuk juga negara yang baru secara defacto menghapuskan pidana mati. Sampai sekarang Eropa boleh dikatakan sebagai kawasan bebas pidana mati, minus Belarusia.22

Gerakan hapusnya pidana mati mendapat dukungan kuat di benua Australia, dan juga dibenua lainnya seperti Afrika dan Asia. Berbeda dengan Australia yang mengikuti tren negara-negara Eropa secara tegas menentang pidana mati. Sementara itu negara-negara di Asia dan Afrika walaupun sudah menerima berbagai instrumen HAM, masih tetap menganggap hukuman mati sebagai salah satu sarana penting dalam penanggulangan kejahatan, terutama berkaitan dengan kejahatan-kejahatan yang serius.23

Dari perkembangan pdana mati yang diuraikan di atas maka nampak bahwa pidana mati dihadapkan dengan hak untuk hidup. Hal ini menurut Barda Nawawi tidaklah tepat karena sama dengan menghadapkan hak kebebasan pribadi yang tidak dapat dihadapkan secara diametral dengan pidana penjara yang berupa perampasan kemerdekaaan.24Jadi penolakan hukuman mati berdasarkan HAM seharusnya juga diikuti dengan penolakan terhadap berbagai hukuman lain, terutama pidana penjara karena bertentangan juga dengan HAM.

Pendapat Barda Nawawi tersebut secara rasional dapat diterima, namun pertanyaan masyarakat tentang eksistensi pidana mati bila dikaitkan dengan Pasal 3 Declaration of Human Right , “Everyone has the right to life, liberty and security of person”, tetap menarik untuk didiskusikan. Pasal 3 DUHAM dengan tegas menentukan bahwa hak hidup merupakan hak mutlak, yaitu hak yang tidak dikesampingkan. Apakah hal ini berarti bahwa pidana mati harus dihapuskan? Untuk menjawab hal ini perlu diperhatikan Ketentuan International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR) dalam Pasal 6 ayat (1) yang menentukan, “Every human being has the right to life”. Selanjutnya Pasal 6 ayat (2) menentukan, “No one shall be arbitrarily deprivide of his life”. Kedua ketentuan ini tidak dapat dipisahkan karena Pasal 6 ayat (2) merupakan kelanjutan dari Pasal 6 ayat (1), sehingga makna dari kedua pasal ini adalah setiap orang memiliki hak untuk hidup dan hak tersebut tidak dapat dirampas dengan sewenang-wenang. Pasal 6 ayat (2) selanjutnya juga menentukan bahwa pidana mati tetap dimungkinkan untuk kasus-kasus yang rerius (the most serious crime). Hal ini didukung pula dengan instrumen internasional lainnya, yaitu The Safeguardes guaranteeing Protection of The Rights of Those Facing The Death Penalty (Resolusi PBB 1984/50) yang menentukan bahwa di negara-negara yang belum menghapus hukuman mati, hukuman mati hendaknya hanya diancamkan pada kejahatan-kejahatan yang serius, dengan pembatasan pada kejahatan yang berupa penggunaan senjata api atau kejahatan yang menimbulkan kerusakan berat (intentional crime with lethal weapon or

21

Papang Hidayat,” Dinamika Kontemporer Praktik Hukuman Mati Global, Eropa, dan Indonesia”, dalam Jurnal Kajian Wilayah Eropa Vol. IV No. 2 tahun 2008, hlm. 51-52.

22 Ibid. 23

Barda Nawawi I, Op.Cit., hlm.227. 24

(8)

extremely consequences). Ketentuan ini juga memberikan batasan-batasan bahwa pidana mati tidak dapat dijatuhkan pada seseorang yang pada saat kejadian belum berumur delapan belas tahun, wanita hamil, dan orang yang mendereita penyakit jiwa. Hal penting lainnya adalah sebuah penegasan berkaitan dengan asas nonretroaktif, proses peradilan yang jujur dan adil (sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 ICCPR), penghargaan terhap hak-hak terpidana mati, hak atas pengampunan dan peringanan hukuman, pemaafan, dan perubahan hukuman mati yang telah dijatuhkan, penundaan dalam proses banding, dan eksekusi terhadap pidana mati sepantasnya dilakukan dengan cara dapat mengurangi penderitaan yang timbul karenanya.

Berbagai instrumen HAM di atas tidak secara tegas melarang eksistensi pidana mati dalam hukum pidana. Perlindungan terhadap hak hidup dapat diingkari berdasarkan perbuatan yang dilakukan (kejahatan yang serius), namun pelanggran tersebut juga dibatasi hanya boleh bilamana pelaku sudah berusia di atas tujuh belas tahun dan pelaku adalah bukan orang yang menderita penyakit jiwa.

Akhirnya walaupun masih terjadi silang pendapat tentang keabsahan pidana mati dilihat

dari sisi instrumen HAM Internasional, terlihat jelas negara-negara di dunia semakin

meningalkan pidana mati, baik dalam hukum pidananya (

de jure

) ataupun berusaha

untuk tidak menerapkan walaupun masih menjadikannya bagian dari hukum pidana (

de

facto

). Hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana lebih fokus pada pelaku dan

meletakkan filosofi rehabilitasi sebagai dasar pemidanaan. Pemidanaan yang bersifat

individual meletakkan kepentingan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah korban

kejahatan menjadi terpinggirkan.

3.Kontradiksi Pidana mati dalam Hukum Pidana modern

Kecendrungan masyarakat dunia untuk menghapuskan pidana mati mendapat

dukungan dari banyak sarjana, diantaranya dari seorang peletak dasar hukum pidana

modern Beccaria. Beccaria dengan sumbangan terbesarnya yaitu konsepsi “

punishment

should fit the crime

” menentang pidana mati. Dikatakannya, bahwa tidak seorangpun

mempunyai hak alami untuk menyerahkan hidupnya sendiri. Pidana mati tidak mampu

mencegah kejahatan, pidana mati cendrung menunjukkan brutalitas dan kekerasan,

pidana mati merupakan langkah yang menyia-nyakan sumber daya manusia yang

menjadi modal negara. Pidana mati menggoncangkan sentimen moral pada umumnya.

25

Dukungan datang dari Van Hamel. Van Hamel menegaskan, bahwa negara yang kuat

tidak akan mengandalkan ancaman pidana (pidana mati) untuk mempertahankan

norma-norma yang ada. Hanya negara yang lemah yang memanfaatkan pidana mati

dalam hukum pidananya.

26

25

Muladi, Op.Cit., hlm.29. 26

(9)

Selanjutnya, Moderman mengatakan pidana mati bukanlah pidana, karena tidak

memenuhi seluruh kriteria yang disyaratkan bagi pidana. Pidana mati tidak seimbang

dengan kesalahan yang dibuat oleh pelaku; dengan dijatuhi pidana mati maka

kemungkinan memperbaiki diri dari pelaku kejahatan sudah tertutup sama sekali;

kepastian bahwa putusan hakim telah tepat dan benar, dan adil sulit untuk dijamin

sebab bagaimanapun hakim tetap seorang manusia; dengan eksekusi mati yang

dilakukan maka kemungkinan untuk meninjau kembali suatu putusan yang keliru sudah

tidak mungkin; putusan dan pelaksanaan pidana mati memiliki pengaruh yang tidak baik

bagi masyarakat.

27

Demikian pula seorang kriminolog terkenal Thorsten Sellin menyatakan bahwa pidana

mati tidak dapat dibenarkan. Pidana mati tidak adil, karena berpijak pada pembalasan.

Adanya rasa takut untuk melakukan suatu perbuatan dengan adanya ancaman pidana

mati tidak dapat dibuktikan. Apalagi diketahui masih banyak jenis pidana lain yang dapat

dimanfaatkan untuk menggantikan sasaran yang ingin dicapai melalui pidana mati. Hal

paling penting yang harus diperhatikan adalah nilai pribadi dan martabat manusia yang

harus dihargai. Di samping itu adanya kekhawatiran terjadinya kesalahan dalam

penerapan pidana mati sangat mungkin terjadi.

28

Dari Indonesia Sudarto mengatakan bahwa manusia tidak berhak mencabut nyawa

orang lain. Dikhawatirkan bahwa penjatuhan pidana mati tidak dilandasi oleh pebuktian

yang akurat, sehingga dapat menimpa seseorang yang sebenarnya tidak bersalah.

Hukuman mati tidak tepat dipergunakan untuk mencegah kejahatan, karena nafsu tidak

dapat dibendung dengan ancaman.

29

Banyak lagi pendapat yang ingin menghapuskan pidana mati dari hukum pidana, namun

banyak juga sarjana yang berpendapat bahwa pidana mati merupakan bagian dari sanksi

pidana yang menjadi simbol keadilan. Kant mengatakan bahwa pidana merupakan

cermin keadilan, tuntutan kesusilaan. Seseorang dipidana karena telah melakukan

kejahatan, setiap orang harus menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan

balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena bilaman hal itu

terjadi maka masyarakat akan dipandang sebagai ikut andil dalam kejahatan yang

merupkan pengingkaran terhadap keadilan umum.

30

Sementara itu Lombroso dan Garofalo mengatakan bahwa pidana mati merupakan

sarana mutlak yang ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak

mungkin dapat diperbaiki lagi.

31

Sudah pantas bilamana sesuatu sudah tidak berharga

27

Sahetapy, Op.Cit., hlm. 57 28

Sahetapy, Op.Cit., hlm.112-113. 2929

Ahkiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, (Jakarta : Aksara Persada, 1985), hlm. 101. 30

Muladi, Op. Cit., hlm. 11. 31

(10)

untuk dimusnahkan, demikian pula dengan seseorang yang telah melakukan kejahatan

dan dipandang tidak mungkin direhabilitasi maka sudah sepantasnya untuk dilenyapkan

(

incapasitation

).

Sarjana Indonesia Oemar Seno Adjie memiliki pendapat bahwa selama negara Indonesia

masih memperkuat diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam

bahaya, selama tatatertib masyarakat dikacaukan dan dibahayakan oleh anasir-anasir

yang tidak mengenal prikemanusian, ia masih memerlukan pidana mati.

32

Dari dua kelompok sarjana yang berbeda pandangan tersebut dapat ditarik kesimpulan

bahwa penyebab pidana mati menjadi kontradiktif adalah berkaitan dengan manfaat

dari pidana mati, kepercayaan masyarakat pada penegak hukum, dan perasaan

kemanusian.

4.Pidana mati dilihat dari teori pemidanaan

Pidana merupakan penderitaan yang dibebankan dengan sengaja pada seseorang yang

melakukan kejahatan oleh pejabat yang berwenang.

33

Menjatuhkan penderitaan pada

seseorang adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat,

meskipun itu dilakukan oleh negara sekalipun. Tetapi keberadaan negara sebagai

lembaga yang bertanggungjawab untuk mejaga ketertiban mengharuskannya

mengambil langkah-langkah yang tepat. Pidana merupakan satu pilihan yang sulit,

the

last resort

dalam menanggulangi kejahatan.Hal inilah yang menyebabkan hukum pidana

dikatakan seperti pedang bermata dua, karena selain melindungi masyarakat juga

mencederai mereka yang diduga melakukan kejahatan.

Penjatuhan derita pada seseorang agar tidak dianggap salah menurut Hyman Gross

“seharusnya memiliki pembenaran”. Pembenaran pemidanaan diletakkan pada perlunya

pemidanaan.

34

Perlu atau tidaknya pemidanaan diletakkan pada mengapa seseorang

harus dijatuhi pidana. Jadi tujuan dari pemidanaan tersebut dianggap sebagai dasar

pembenar pemidanaan. Pada dasarnya menurut Packer ada dua tujuan pemidanaan

yang didasari pada dua pandangan berbeda, yaitu pandangan Pembalasan dan

pandangan utilitarian. Pandangan pembalasan melihat bahwa pemidanaan adalah

benar karena orang harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Seseorang harus

menerima derita sebagai imbalan atas kesalahannya. Pandangan ini melahirkan teori

Retribution

. Sedangkan pandangan utilitarian menolak pemidanaan bila tidak ada

manfaatnya.

32

Ibid, hlm. 8. 33

Mardjono Rekso diputro, Bahan Bacaan Wajib Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum di Universitas Indonesia, Buku I (Jakarta : Pusat Dokumentasi Hukum Universitas Indonesia, 1983).

(11)

Pandangan utilitarian memunculkan dua aliran yaitu, Aliran Klasik dan Aliran

Behavioral

.

Aliran Klasik memberikan pembenaran pemidanaan atas dasar tujuan yang dimiliki

membuat takut calon pelanggar hukum (pemidanaan sebagai sarana penangkal). Teori

yang dihasilkan oleh pandangan ini adalah teori

deterrence

. Ada dua teori

Deterrence

,

yaitu

Utilitarian Prevention

dan

Special Deterrence

atau

Intimidation

. Sementara itu

dari Aliran

Behavioral

muncul Teori

Behavioral

. Ada dua teori Behavioral, yaitu

Behavioral Prevention : Incapacitation dan Behavioral Prevention : Rehabilitation. Teori

Behavioral : Incapasitation menentukan cara terbaik untuk menanggulangi kejahatan

adalah dengan jalan membuat pelaku tidak akan berprilaku jahat lagi. Sementara itu

teori Rehabilitasi membenarkan penjatuhan pidana dengan tujuan memperbaiki tingkah

laku manusia pelaku tindak pidana.

35

Berbagi teori yang berkembang dalam pemidanaan menurut Packer tidak seharusnya

dipisah-pisahkan secara ketat, tetapi harus terpadu. Pemidanaan tidak hanya bertujuan

untuk pencegahan tetapi sekaligus untuk pembalasan. Jadi Packer menganjurkan

pemidaan tersebut harus memiliki tujuan yang terpadu.

36

Tujuan pemidanaan bilamana dikaitkan dengan eksistensi pidana mati, maka sudah

dapat dipastikan bahwa tujuan pemidanaan dilandasi oleh teori Retributive. Mereka

yang mengikuti paham pembalasan tidak mementingkan adanya konsekuensi dari

pemidanaan. Oleh Antony Duff mereka dianggap sebagai kaum non konsekualis. Kaum

non konsekualis melihat pemidanaan sebagai respon yang tepat untuk kejahatan

(

approriete respon

), salah benarnya suatu tindakan berdasarkan pada faktor

intrensiknya, tanpa memperhitungkan konsekuensinya. Penganut paham

non-konsekualis menekankan pidana dijatuhkan oleh karena seseorang telah melakukan

kejahatan. Tekanan pada perbuatan yang telah dilakukan sebagai alasan pemidanaan

menyebabkan mereka dipandang berpikir ke belakang (

backward looking

).

37

Pidana mati tidak semata-mata dikaitkan dengan mereka yang berpandangan bahwa

pemidanaan merupakan pembalasan atas suatu kejahatan, tetapi juga merupakan

suatu upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan. Pemidanaan dikaitkan dengan

pencegahan kejahatan baik yang bersifat umum yang mengharapkan agar orang lain

tidak berani melakukan perbuatan tersebut karena konsekuensi dari perbuatan tersebut

sangat menderitakan. Demikian juga pencegahan dapat dilakukan dengan keras yaitu

dengan membuat pelaku kejahatan tidak lagi akan mampu melakukan perbuatan

tersebut (

incapasitation

). Hal ini menunjukkan bahwa pidana mati juga merupakan

bagian dari pola pikir ke depan (

forward looking

) yang meletakkan dasar pembenaran

pemidanaan pada konsekuensi positif yang dihasilkan. Mereka yang menganut cara

35 Ibdi. 36

Ibid. 37

(12)

pandang ini dalam memberikan pembenaran pemidanaan dikatakan penganut paham

konsekualis.

38

Penganut paham konsekualis juga dilebelkan pada mereka yang meletakkan

pembenaran pemidanaan sebagai upaya untuk merehabilitasi pelaku kejahatan.

Rehabilatasi terhadap pelaku kejahatan didasarkan pada cara untuk mengatasi masalah

penyakit yang diderita seseorang; orang tersebut harus dirawat (treatment), maka

dengan pembinaan tersebut pelaku kejahatan akan menyadari kesalahannya dan tidak

akan melakukan kembali perbuatannya.

39

Teori Rehabilitasi yang merupakan bagian dari

pandangan behavioral ini secara jelas menolak keberadaan pidana mati dalam hukum

pidana. Pidana mati akan menghilangkan kesempatan seseorang dibina agar menjadi

lebih baik dan tidak akan mengulangi kesalahan berikutnya.

5.Pidana Mati dalam Hukum Pidana Indonesia

Hukum pidana Indonesia sampai saat ini masih menggunakan perundang-undangan

peninggalan Belanda. KUHP merupakan terjemahan dari WvSNI (Wet Boek van

Straftrecht) yang resmi mulai berlaku di Indonesia pada 1 Januari tahun 1918. Ketentuan

ini masih tetap dipertahankan keberlakuannya berdasarkan UU No. 1 tahun 1946

dengan sebutan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau disingkat KUHP. Ketentuan

ini kemudian ditambahkan dengan UU No. 73 tahun 1958 sehingga KUHP dapat berlaku

di seluruh wilayah negara Indonesia.

KUHP sebagai salah instrumen hukum yang merupakan sarana penal dalam

penanggulangan kejahatan masih memberikan posisi penting pada jenis pidana mati.

Walaupun sebenarnya negara Belanda sebagai asal dari undang-undang ini telah

menghapuskan pidana mati mulai tahun 1870. Pidana mati tidak dihapuskan secara

menyeluruh; pidana mati masih tetap dipertahankan demi ketertiban umum, namun

dengan catatan hanya diterapkan sebagai sarana terakhir, dalam keadaan luar biasa,

dan dilaksanakan dengan kewenangan darurat.

40

Belanda kemudian menghapuskan

pidana mati untuk seluruh kejahatan pada tahun 1982.

41

Dipertahankannya pidana mati sampai sekarang di Indonesia, tidak terlepas dari

kepentingan pemerintah Belanda terhadap tanah jajahannya. Sahetapy berdasarkan

tulisan-tulisan sarjana Belanda tentang perlu tidaknya pidana mati dipertahankan di

Hindia Balanda, menyimpulkan adanya dua alasan pidana mati tersebut dipertahankan,

yaitu alasan rasial dan alasan ketertiban umum. Alasan rasial, adalah alasan yang pada

dasarnya melihat Bangsa Belanda lebih superior dibanding bangsa Pribumi. Bangsa

pribumi tidak dapat dipercaya dalam memberikan kesaksian, mudah dibeli, dan suka

38 Ibid. 39

Muladi, Op.Cit., 150. 40

Sahetapy, Op.Cit., hlm. 27. 41

(13)

berbohong. Sedangkan alasan ketertiban umum dilandasi pendapat bahwa wilayah

Hindia Beland sangat luas dan penduduknya terdiri dari berbagai ragam suku bangsa.

Tertib hukum di Hindia Belanda sangat mudah tergangu, sehingga keadaan sangat

mudah menjadi kritis dan berbahaya bila dibandingkan dengan di Belanda.

42

Pidana mati dalam KUHP merupakan bagian dari pidana pokok. Pasal 10 KUHP

meletakkan Pidana mati sebagai pidana pidana yang terberat. Pidana mati dalam KUHP

dibatasi hanya untuk tindak pidana-tindak pidana tertentu saja, yaitu :

1.

Pasal 104 KUHP : tindak pidana makar

2.

Pasal 111 ayat (2) KUHP: mengajak neg ara asing untuk menyerang Indonesia

3.

Pasal 124 ayat (3) KUHP: memberikan pertolongan pada musuh saat Indonesia

dalam keadaan perang

4.

Pasal 140 ayat (4) : membunuh kepala negara sahabat

5.

340 KUHP : pembunuhan berencana

6.

365 ayat (4) pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh dua orang atau

lebih pada waktu malam hari dengan cara membongkar dan sebagainya yang

mengakibatkan seseorangluka berat atau meninggal dunia

7.

Pasal 124 bis KUHP : Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara,

pemberontakan dan sebagainya anatara pekerja-pekerja dalam perusahaan

negara

8.

Pasal 127 dan 129 KUHP : dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan

keperluan angkatan perang

9.

Pasal 368 ayat (2) KUHP : pemerasan dengan pemberatan

10.

Pasal 444 : pembajakan yang mengakibatkan kematian

11.

Pasal 479 k ayat (2) : pembajakan pesawat udara yang mengakibatkan mati

obyek dan hancurnya pesawat udara

12.

Pasal 472 o ayat (2) merujuk pada Pasal 479 l, Pasal 479 m, Pasal 479 n yakni

perbuatan kekerasan terhadap orang/ pesawat atau menempatkan bom di

pesawat udara mengakbatkan matinya obyek atau rusaknya pesawat udara

dalam dinas.

Selain dalam KUHP dalam tindak pidana khusus juga dikenal pidana mati. Ada beberapa

tindak pidana khusus yang mengatur tentang pidana mati sebagai sanksi yang dapat

diancamkan, yaitu :

1.

Undang-undang No. 12 tahun 1951 tentang Senjata Api, dalam Pasal 1 ayat 1

2.

Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dalam Pasal 59 ayat (2)

3.

Undang-undang tentang Pengadilan HAM dalam Pasal 36, 37, 41, 42 ayat (3)

4.

Undang-undang No. 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20 tahun 2001 dalam

Pasal 2 ayat (2)

42
(14)

5.

Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam Pasal

6, 8, 9, 10, 14, 15, 16.

6.

Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dalam Pasal

113 ayat (2),

Pasal 114 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2)

Selain adanya ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan keberadaan pidana

mati juga didukung oleh lembaga peradilan. Hal ini dapat dilihat dari putusan lembaga

peradilan yang menghukum terpidana dengan pidana mati. Beberapa diantara mereka

bahkan telah dieksekusi, sperti : terpidana pelaku G-30 S PKI tahun 1965, Kusni Kasdut

dan Oesin , Hengky Tupanwael pada tahun 1970an, Kasus Tibo, Dominggus dan Marinus

tahun 2000-2001, dan terpidana Bom Bali I, yaitu Amrozi, Ali Gufron, dan Imam

Samudra.

43

Selanjutnya adalah kasus-kasus narkotika, yaitu Edith Yunita Sianturi dan

Rani Adriyani, disusul oleh Andrew Chan, Myuran Sukumuran, dan Scoth Anthony Rush

warga negara Australia yang terkait dengan kasus Bali Nine. Sekarang masih menunggu

beberapa terpidana mati terutama terkait dengan narkotika untuk dieksekusi.

Lembaga Peradilan lain yaitu Mahkamah Konstitusi juga mendukung keberadaan

hukuman mati dalam hukum Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari putusanya No. 3/PUU –

V/2007 yang menolak permohonan Scoth Anthony Rush yang menghendaki bahwa

penerapan Pasal 80 ayat (1) huruf a, Pasal Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3)

huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf, dan Pasal 3 Undang-undang

No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika bertentangan dengan Pasal 28 A dan Pasal 28 I

ayat (1) UUD 1945, karena telah merugikan hak pemohon atas hak hidup.

Diantara pertimbanganya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pidana mati

mendapat dukungan dari instrumen internasional

Convention Against Illicit traffic in

Narcotic Drugs and Psychotropic substance 1988

dalam Pasal 3 ayat 6 Konvensi,

mengajak negara-nagara peserta untuk dapat memaksimalkan efektivitas penegakan

hukum dalam kaitan dengan tindak pidana narkotika dan psikotropika dengan

memperhatikan kebutuhan untuk mencegahkejahatan dimaksud. Hal ini juga didukung

oleh ketentuan Pasal 24, “a party may adopt more strict of severe measures than those

provided by this Convention if, in its opinion, such measures are desirable or necessary

for the prevention or suppression of illicit traffic”

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa

hukuman mati masih tetap hidup di Indonesia. Indonesia menganggap bahwa hukuman

mati tidak melanggar HAM atau tidak bertentangan dengan hak hidup. Hal ini sesuai

dengan ICCPR yang masih memberikan peluang keberadaan hukuman mati sepanjang

dibutuhkan untuk menanggulangi kejahatan yang serius. Terutama berkaitan dengan

43
(15)

kejahatan narkotika yang dipersamakan dengan

the most serious crime

sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR.

6.Pidana mati dalam Ius Constituendum

KUHP yang telah berlaku lebih dari seratus tahun di Indonesia secara filosofis, sosiologis,

dan praktis sudah tidak dapat dipertahuankan lagi. KUHP merupakan peninggalan

pemerintah jaajahan Belanda sehiingga filosofi yang mendasari berbeda dengan filosofi

yang dianut oleh bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia memiliki kultur budaya sendiri

yang berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, sehingga KUHP yang mulai

berlaku pada jaman penjajahan telah tidak dapat dipertahankan karena tidak dapat

mengantisipasi berbagai perkembangan kejahatan dalam bad modern ini. KUHP adalah

merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, sehingga dengan keterbtasan kemampuan

penegak hukum akan bahasa Belanda maka dapat dipastikan substansi yang sebenarnya

ada dalam KUHP tidak dapat ditangkap dengan baik. Adanya terjemahan KUHP yang

berbeda-beda satu dengan yang lain, sehingga ada berbagai penafsiran yang

berkembang dallam menangkap makna dari istilah-istilah hukum dalam bahasa

Belanda.

44

Ketertinggalan hukum pidana ini telah memunculkan kebijakan untuk melakukan

pembaharuan. Pembaharuan hukum pidana menurut Barda Nawawi seharusnya

dilakukan dengan mengedepankan pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai.

45

Pendekatan kebijakan dalam pemidanaan mengharuskan penentuan jenis pidana

(

straaf soort

), berat ringannya pidana (

straaf maat

), dan pelaksanaan pidana (

straf

modus

) dilakukan secara rasional dengan memperhatikan kebijakan sosial, tujuan dan

fungsi serta efektivitasnya. Selain itu juga memperhatikan pendekatan nilai, baik

nilai-nalai yang hidup dalam masyarakat, nilai-nilai keagamaan, keadilan sosial, nialai-nilai

global terutama yang humanis.

Rancangan KUHP ternyata tetap mempertahankan pidana mati sebagai salah satu jenis

pidana dalam KUHP. Hal ini dapat dilihat dari Pasal

66 Rancangan Kitab Undang-undang

Hukum Pidana 2014 (RKUHP 2014),

Pidana mati merupakan pidana pokok yang

bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif”.

Dalam

Pasal 87

ditentukan,”Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk

mengayomi masyarakat”

.

44

Sudarto, Hukum dan Pembangunan. 45

(16)

Pidana mati tetap menjadi bagian dari pidana pokok, sehingga dapat dijatuhkan pada

mereka yang melakukan tindak pidana tertentu yang diancam dengan hukuman mati,

namun pidana mati dalam ketentuan ini bersifat khusus. Hal ini karena keberadaannya

diancamkan secara alternatif, artinya selalu didampingi pidana pokok yang lain (tidak

berdiri sendiri) dan baru diterapkan manakala pidana pokok yang lain dipandang tidak

mampu dipergunakan lagi untuk menanggulangi kejahatan.

46

Kekhususan pidana mati juga dapat diketahui dari pelaksanaannya. Pelaksanaan pidana

mati berdasarkan Pasal 89 RKUHP 2014 :

(1) Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh)

tahun, jika:

1.

reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;

2.

terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;

3.

kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan

4.

ada alasan yang meringankan.

(2) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi

pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan

keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan

hak asasi manusia.

(3) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki

maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Demikian pula dalam Pasal 90 RKUHP 2014 ditentukan, “Jika permohonan grasi

terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun

bukan karena terpidana melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi

pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden”.

46

Dasar perimbangan dikeluarkannya pidana mati dari komposisi pidana pokok adalah karena pidaa mati bukan merupakan sarana untuk mengatur, menertibkan dan memperbaiki individu/masyarakat. Pidana mati merupakan sarana terakhir dan suatu perkecualian. Hal ini diidentikkan dengan “amputasi dalam oprasi” dalam ilmu kedokteran yang pada hakekatnya bukan merupakan sarana penyembuhan. Pidana mati merupakan pidana yang dijatuhkan sebagai alternatif terakhir untuk mengayomi masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan juga menunjukkan bahwa lebih banyak masyarakat yang menghendaki pidana mati dipertahankan sebagai sarana terakhir melindungi masyarakat dari penjahat sadis yang sukar untuk diperbaiki (56,63 % responden mendukung).

(17)

Dari ketentuan di atas terlihat adanya hal yang berbeda dengan KUHP terkait dengan

pelaksanaan pidana mati. Terpidana dapat diberikan masa percobaan selama 10

(sepuluh) tahun, bilamana reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;

terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; kedudukan

terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan ada alasan yang

meringankan. Bilamana persyaratan tersebut terpenuhi, maka pidana mati dapat

berubah menjadi pidana seumur hidup, atau pidana paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Ketentuan ini tidak berlaku bilamana terpidana dalam masa percobaan tidak

menunjukkan sikap yang terpuji. Dalam hal ini Jaksa Agung akan memerintahkan

dilaksanakannya eksekusi.

Kekhususan lain dalam hal pelaksanaan pidana mati jaga dikenal dalam hal ditolaknya

grasi. Bilamana grasi ditolak oleh Presiden, namun dalam jangka waktu 10 tahun tidak

dilaksanakan eksekusi bukan karena melarikan diri, maka secara otomatis pidana mati

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut akan berubah menjadi pidana

seumur hidup

Kekhususan pidana mati dalam RKUHP 2014 ini tidak terlepas dari tujuan pemidanaan

yang diatur dalam Pasal 54 RKUHP 2014 :

(1) Pemidanaan bertujuan:

1.

mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi

pengayoman masyarakat;

2.

memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi

orang yang baik dan berguna;

3.

menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

4.

membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat

manusia

.

Tetap diancamkannya pidana mati dalam RKUHP 2014 diharapkan memiliki aspek

pencegahan demi melindungi masyarakat dari kejahatan yang serius. Berbagai bentuk

kejahatan yang dipandang oleh masyarakat sangat membahayakan kehidupan seperti

tindak pidana narkotika, tindak pidana terorisme,tindak pidana yang berhubungan

dengan HAM, dan beberapa tindak pidana di bidang perekonomian yang dipandang

sangat jahat.

(18)

Tujuan pemidanaan yang bersifat pencegahan dan rehabilitasi tersebut menandakan

bahwa pidana mati dalam RKUHP mendatang mengandung tujuan pemidanaan yang

integratif. Eksistensi pidana mati dalam RKUHP 2014 telah dikaji melalui pendekatan

kebijakan maupun pendekatan nilai. Hal ini terlihat dari hasil-hasil penelitian yang

dilakukan oleh para sarjana dan dilakukannya harmonisasi/ sinkronisasi/ konsistensi

pembangunan/pembaharuan hukum nasional dengan nilai-nilai atau aspirasi sosio

filosofik dan sosio kultural.

Pendekatan kebijakan menunjukkan bahwa pidana yang kejam tidak semata-mata

sebagai sarana pembalasan , tetapi juga untuk sarana pencegahan, baik agar seseorang

takut untuk melakukan kejahatan ataupun agar seseorang tidak mampu melakukan

kejahatan lagi. Namun demikian kajian ilmiah juga menunjukkan pendapat tersebut

tidak seluruhnya benar, karena ternyata masih tetap munculnya residivisme

menandakan bahwa walaupun seseorang telah dipidana tetap saja dapat melakukan

kejahatan lagi. Demikian pula adanya pidana yang kejam tidak berarti tidak ada orang

yang melakukan kejahatan tersebut.

Selain itu perkembangan aliran modern dalam hukum pidana yang melihat secara

konkrit bahwa seseorang melakukan kejahatan karena pengaruh watak pribadinya,

faktor-faktor biologis, ataupun di luar dirinya, yaitu faktor sosial kemasyarakatan.

Berkaitan dengan hal tersebut maka penanggulangan kejahatan adalah dengan jalan

memperbaiki kondisi penyebab tersebut. Hal ini yang mengarahkan bahwa seseorang

yang melakukankejahatan perlu mendapatkan

treatment

atau tindakan. Sehingga

pemidanaan tidak saja berdasarkan alasan berdasarkan berat/ringannya kejahatan yang

dilakukan, tetapi juga melihat pada pelakunya. Perhatian pada pelaku ini berkaitan

dengan mengapa kejahatan tersebut dilakukan, bagaimana dampak dari pemidanaan

yang akan dijatuhkan, dan juga adakah upaya lain/pidana lain yang lebih tepat untuk

melakukan perbaikan terhadap pelaku tindak pidana tersebut.

Sementara itu tetap dipertahankannya pidana mati yang disertai dengan pelaksanaan

yang bersifat khusus, bila dilihat dari pendekatan nilai menandakan diberikannya

terpidana kesempatan untuk direhabilitasi. Hal ini menunjukkan KUHP mendatang

menjunjung nilai keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan

individu secara bersamaan (mengangkat nilai-nailai tradisional masyarakat indonesia

yang bersifat monodualistik). Hal ini juga sesusi dengan perkembangan modern hukum

pidana yang tidak saja memperhatikan kejahatan tetapi juga memperhatikan pelaku

kejahatan dalam pemidanaan, dan korban tindak pidana (

daad,dader straftrecht and

victim

).

(19)

pada penundaan pelaksanaannya, bukan pada penjatuhannya. Jadi merupakan pidana

mati tertunda (

supended death sentence

).

47

7.Penutup

Pidana mati menjadi bagian dari sejarah pemidanaan yang tidak terpisahkan dari

berbagai bentuk pidana yang lain. Pidana mati telah menjadi pertanda bahwa hukum

pidana merupakan bagian dari instrumen hukum yang mempunyai ciri berbeda dari

hukum yang lainnya, sehingga berfungsi sebagai

the last resort

. Oleh karenanya

walaupun mendapat tantangan yang berat, adanya keinginan untuk menghapuskan

pidana mati dalam kehidupan hukum di dunia, tiidak seharusnya pidana mati tersebut

secara tergesa-gesa dihapuskan. Namun eksistensi pidana mati dalam KUHP mendatang

tidak seharusnya menutup kesempatan terpidana mati untuk mendapatkan pembinaan

dan pada akhirnyana pidana mati tersebut tidak akan dilaksanakan.

Senajutnya dalam upaya merealisasi pidana mati dalam KUHP maka sudah seharusnya

pidana mati hanya diancamkan terhadap perbuatan-perbuatan yang benar-benar tidak

dapat diterima masyarakat (menimbulkan kerugian yang luar biasa, kerugian yang

secara langsung atau tidak langsung dapat menghancurkan kehidupan masyarakat

secara luas). Demikian pula harus memperhatikan pelakunya, pelaku adalah seseorang

yang sangat sulit untuk diperbaiki dan cenderung dapat mempengaruhi orang lain untuk

melakukan kejahatan-kejahatan berikutnya.

47
(20)
(21)

Pasal 88

(1) Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu

tembak.

(2) Pelaksanaan pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di

muka umum.

(3) Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda

sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.

(4) Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana

ditolak Presiden.

Paragraf 2

Pedoman Pemidanaan

Pasal 55

(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:

(22)

2.

motif dan tujuan melakukan tindak pidana;

3.

sikap batin pembuat tindak pidana;

1.

tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan;

2.

cara melakukan tindak pidana;

3.

sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

4.

riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;

5.

pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;

6.

pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;

7.

pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau

8.

pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada

waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar

pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan

dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan

Pasal 65

(1) Pidana pokok terdiri atas:

1.

pidana penjara;

2.

pidana tutupan;

3.

pidana pengawasan;

4.

pidana denda; dan

5.

pidana kerja sosial.

(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat

ringannya pidana.

Pasal 67

(1) Pidana tambahan terdiri atas:

1.

pencabutan hak tertentu;

2.

perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;

3.

pengumuman putusan hakim;

(23)

5.

pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup

dalam masyarakat.

(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok,

sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama

dengan pidana tambahan yang lain.

(3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau

kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan

hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum

dalam perumusan tindak pidana.

(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan

pidana tambahan untuk tindak pidananya.

(5) Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana

dapat dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan

perundang-undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.

Pasal 68

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 65, Pasal 66, dan Pasal 67 diatur tersendiri dengan

Undang-Undang

Paragraf 11

Pasal 60

(1) Dalam hal suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara

alternatif maka penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih

diutamakan, jika hal itu dipandang telah sesuai dan dapat menunjang

tercapainya tujuan pemidanaan.

(24)

kedokteran yang pada hakekatnya bukan merupakan sarana penyembuhan. Pidana

mati merupakan pidana yang dijatuhkan sebagai alternatif terakhir untuk mengayomi

masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan juga menunjukkan bahwa lebih banyak

masyarakat yang menghendaki pidana mati dipertahankan sebagai sarana terakhir

melindungi masyarakat dari penjahat sadis yang sukar untuk diperbaiki (56,63 %

responden mendukung).

48

48

Referensi

Dokumen terkait

Deteksi kerusakan batang rotor (BRB) pada motor induksi berbasis bi-spectrum lebih akurat dibandingkan dengan teknik lain karena bi-spectrum memiliki sensivitas yang

Untuk mendapatkan karakteristik shadowing yang terjadi pada kanal radio, nilai pathloss dari data hasil pengukuran yang telah dihasilkan sebelumnya dikurangi

Pernikahan bagi manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan

Subyek terbanyak dalam penelitian ini adalah perempuan, yang dimana kasus hipertensi pada perempuan diatas umur 18 tahun menurut Riskesdas 2018, memiliki

Este número está dedicado al Alfabetismo transmedia, propuesta que abarcaba tanto la formación crítica para el consumo mediático como la creación de un periódico o

BIOS menyediakan antarmuka komunikasi tingkat rendah, dan dapat mengendalikan banyak jenis perangkat keras (seperti keyboard). ).Karena kedekatannya dengan perangkat keras,

1) Orang tua yang terbukti melalaikan tanggung jawabnya dalam mewujudkan kesejahteraan anak baik secara jasmani , rohani maupun sosial sehingga mengabaikan timbulnya hambatan

Dengan demikian dimensi kemanusiaan dalam bidang konsumsi adalah bahwa manusia kaya karena kekayaan yang dimilikinya tidak mempunyai hak lebih atas manusia yang lain, sebaliknya