commit to user 6 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Beban Kerja Mental
a. Pengertian
Beban kerja merupakan keadaan pekerja dimana pekerja dihadapkan pada tugas yang harus diselesaikan pada waktu tertentu yang ditanggung tenaga kerja sesuai dengan jenis pekerjaannya (Suma’mur, 2014). Menurut Hart dan Staveland dalam Tarwaka (2013) beban kerja muncul dari interaksi antara tuntutan tugas lingkungan kerja dimana digunakan sebagai tempat kerja, keterampilan, perilaku, dan persepsi dari pekerja.
Beban kerja mental merupakan selisih antara tuntutan beban kerja dari suatu tugas dengan kapasitas maksimum beban mental seseorang dalam kondisi termotivasi (Meshkati dan Hancock, 2011).
Granjean dalam Tarwaka (2013) menjelaskan beban kerja mental yang berlebihan akan mengakibatkan adanya stres kerja. Setiap aktivitas mental akan selalu melibatkan unsur presepsi, intrepetasi dan proses mental dari suatu informasi yang diterima oleh organ sensoris untuk diambil suatu keputusan atau proses mengingat informasi yang lampau.
Beban kerja mental yang berat dapat mengakibatkan pekerja mengalami gangguan atau penyakit akibat kerja. Apabila beban kerja
commit to user
lebih besar dari kemampuan tubuh, maka akan terjadi rasa tidak nyaman, kelelahan, kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit, dan produktivitas menurun. Beban kerja mental yang berlebih akan mengakibatkan kelelahan dan reaksi-reaksi emosional seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan mudah marah (Prihatini, 2007).
Kelelahan kerja dan stres psikologis merupakan akibat beban kerja mental yang berlebihan (Rinda dkk, 2011).
b. Faktor yang mempengaruhi beban kerja mental
Beban kerja mental menurut Simanjuntak dan Situmorang (2010) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
1) Jenis aktivitas dan situasi kerja
Jenis aktivitas pekerjaan dengan tingkat stres yang tinggi dan menuntut banyak perhatian, akan menyebabkan meningkatnya beban kerja mental pada pekerja (Simanjuntak dan Situmorang, 2010). Tenaga kerja yang melakukan rutinitas aktivitas kerja yang monoton dengan waktu yang lama dapat menyebabkan beban psikis (Farhamsyah, 2017).
Situasi kerja juga dapat mempengaruhi tingginya beban kerja mental. Kurangnya interaksi antara pekerja dengan pekerja lain dapat menyebabkan beban psikis pada pekerja (Warm dkk, 2008).
2) Waktu penyelesaian yang tersedia
Tubuh memiliki waktu kerja maupun istirahat sehingga
commit to user
akan berpengaruh terhadap kondisi fisik, dan pada akhirnya berpengaruh juga terhadap kondisi psikis atau sebaliknya (Simanjuntak dan situmorang, 2010). Waktu kerja harus disesuaikan baik terhadap tuntutan tugas maupun tanggung jawab di luar pekerjaan (Prihatini, 2007).
3) Faktor individu
Beban kerja mental dipengaruhi oleh faktor individu yaitu tingkat motivasi, keahlian, kelelahan, dan kejenuhan. Tingkat intensitas beban kerja fisik yang terlampau tinggi memungkinkan pemakaian energi yang berlebihan. Sebaliknya tingkat intensitas beban mental yang terlampau tinggi akan menimbulkan kebosanan dan kejenuhan yang disebut dengan kelelahan psikis (Simanjuntak dan situmorang, 2010).
c. Penilaian beban kerja mental
Penilaian beban kerja mental dengan menggunakan metode metode indeks beban tugas dari National Aeronautics & Space Administration – NASA (NASA Task Load Index-TLX). NASA-TLX
adalah metode rating multi-dimensional yang mampu mengukur secara keseluruhan beban kerja mental berdasarkan bobot rata-rata dari 6 subskala yaitu mental demand, physical demand, temporal demand, own performance, effort dan frustation. Metode ini memiliki tingkat sensitivitas yang baik karena pengukurannya ditinjau dari 6 subskala dan secara menyeluruh (Maretno dan Haryono, 2015).
commit to user
Prosedur penerapan metode NASA-TLX menurut Eko dan Gunawan (2015) terdiri dari 2 tahapan, yaitu pembobotan dan pemberian rating. NASA-TLX terdiri dari 6 dimensi yaitu :
1) Kebutuhan Mental (Mental Demand)
Aktivitas mental yang dibutuhkan untuk berfikir, memutuskan, menghitung, melihat, mengingat, dan mencari.
Aktivitas kerja yang mudah atau menuntut, sederhana atau kompleks, menuntut atau ditoleransi.
2) Kebutuhan Fisik (Physical Demand)
Aktivitas fisik yang dibutuhkan untuk mendorong, menarik, mengubah, mengendalikan alat, mengaktifkan alat.
Aktivitas kerja yang tenang atau melelahkan.
3) Kebutuhan Waktu (Temporal Demand)
Jumlah tekanan yang berkaitan dengan waktu yang dirasakan selama pekerjaan berlangsung. Apakah pekerjaan perlahan dan santai atau cepat dan melelahkan.
4) Performansi (Performance)
Seberapa besar tingkat keberhasilan didalam pekerjaan dan seberapa puas dengan hasil pencapaian kerja yang dilakukan.
5) Usaha (Effort)
Seberapa besar usaha yang dikeluarkan secara mental dan fisik yang dibutuhkan untuk mencapai level performansi.
commit to user 6) Tingkat Frustasi (Frustation Level)
Seberapa besar rasa tidak aman, putus asa, tersinggung, stres, dan terganggu dibandingkan rasa aman, puas, cocok, nyaman, dan kepuasan diri yang dirasakan selama mengerjakan pekerjaan tersebut.
Tabel 2.1. Skor Beban Kerja Mental Berdasarkan NASA-TLX
Kategori Beban Kerja Nilai
Rendah 0-9
Sedang 10-29
Agak Tinggi 30-49
Tinggi 50-79
Sangat Tinggi 80-100
Sumber : Hart dan Staveland dalam Hendrawan dkk, 2013 2. Stres Kerja
a. Pengertian
Stres merupakan keadaan dimana seseorang mengalami ketegangan karena adanya kondisi-kondisi yang mempengaruhi dirinya.
Stres merupakan respon seseorang terhadap adanya tantangan fisik dan mental yang datang dari dalam atau luar dirinya (Nasrudin, 2010).
Menurut Hans Selye dalam Riggio (2013) stres terjadi pada lingkungan yang mengancam. Stres bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Waluyo, 2013).
Stres kerja merupakan stressor kerja yang dapat menyebabkan gejala individu berupa gejala fisiologis, psikologis, dan perilaku. Sumber stres merupakan suatu tuntutan yang dapat mengakibatkan stres kerja
commit to user
(Waluyo, 2013). Menurut Hans Selye dalam Riggio (2013) stres kerja disebabkan oleh lingungan kerja.
b. Jenis stres
Menurut Quick dalam Waluyo (2013) terdapat dua jenis stres antara lain:
1) Stres Positif (Eustress)
Eustress merupakan hasil stres yang bersifat positif, sehat,
dan bersifat membangun. Stres positif sangat diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang tinggi.
2) Stres negatif (Distress)
Distress merupakan stres yang bersifat negatif, tidak sehat,
dan bersifat merusak. Pada umumnya stres negatif mengarah kepada timbulnya penyakit fisik atau mental, atau perilaku tidak wajar.
c. Faktor penyebab stres
Menurut Hadipoetro (2014) faktor pembangkit stres dibagi menjadi 6 (enam) yaitu :
1) Faktor intrinsik a) Tuntutan fisik
Kondisi fisik dapat menjadi pembangkit stres. Misalnya kebisingan dapat menjadi sumber stres yang akan menyebabkan ketidakseimbangan psikologis seseorang.
b) Tuntutan tugas
Beban kerja yang terlalu sedikit ataupun yang terlalu banyak akan menjadi pembangkit stres pada seseorang. Beban
commit to user
kerja yang sedikit akan membuat orang merasa tidak mampu melakukan suatu tugas dengan potensi yang dimiliki. Sedangkan beban kerja yang berlebih akan menyebabkan orang bekerja dalam waktu yang lama.
2) Peran dalam organisasi a) Konflik peran
Konflik peran akan timbul apabila seorang pekerja mengalami pertentangan dengan tugas-tugas serta tanggung jawab yang dimiliki.
b) Ketidak jelasan peran
Stres akan timbul apabila seorang pekerja tidak mendapat informasi yang cukup mengenai tugasnya.
3) Pengembangan karir a) Job Insecurity
Stres akan timbul apabila seorang pekerja melaksanakan pekerjaan baru dan meninggalkan pekerjaan lama. Hal tersebut akan membuat seorang pekerja akan sulit untuk menyesuaikan kembali.
b) Over dan Under-Promotion
Akibat dari Over dan Under-Promotion yaitu dapat menurunkan produktivitas, kehilangan rasa percaya diri, meningkatkan kesensitifan dan ketegangan, serta ketidakpuasan kerja.
commit to user 4) Hubungan dalam pekerjaan
Hubungan yang tidak baik akan menyebabkan peningkatan ketegangan dalam bekerja, meningkatkan tekanan darah, serta meningkatnya ketidakpuasan kerja.
5) Lingkungan di luar pekerjaan
Stres dapat timbul dari luar pekerjaan seperti isu keluarga, krisis keluarga, dan kesulitan keuangan. Akibat yang dapat terjadi yaitu meningkatnya konflik dan kelelahan mental, menurunnya motivasi dan produktivitas, meningkatnya konflik pernikahan.
6) Struktur dan iklim organisasi
Stres dapat timbul karena sejauh mana pekerja dapat terlihat atau berperan serta support sosial. Akibat yang timbul dari masalah struktur dan iklim organisasi yaitu menurunnya motivasi dan produktivitas serta dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja.
Faktor penyebab stres yang berasal dari individu pekerja yaitu : 1) Usia
Umur merupakan faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya stres kerja. Permenakertans No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menjelaskan bahwa usia minimal untuk bekerja adalah 18 tahun. Usia madya menurut Elizabeth Hurlock dalam Ratih dan Suwandi (2013) sama dengan usia setengah baya sebagai masa usia antara umur 40–60 tahun. Usia madya atau dewasa tengah adalah masa stres. Penyesuaian secara radikal pada pola hidup yang
commit to user
disertai dengan perubahan fungsi fisik dan kemampuan ingatan akan berdampak pada sulitnya penyesuaian diri sehingga menyebabkan stres pada individu. Usia madya merupakan masa jenuh. Kategori stres pada usia madya terdiri dari stres somatik, stres budaya, stres ekonomi dan stres psikologis. Menurut Anoraga dalam Ratih dan Suwandi (2013) semakin tua umur seseorang, semakin tinggi kemungkinan terjadinya stres kerja, mengingat bertambahnya umur seseorang semakin kompleks persoalan yang dihadapinya. Selain itu, bisa terjadi penurunan tingkat adaptasi oleh seseorang di lingkungan kerja. Semakin tua umur semakin pendek waktu tidur, sehingga keluhan mental pun lebih banyak dialami pekerja yang sudah tua daripada pekerja masih muda. Hasil penelitian Ratih dan Suwandi (2013) menunjukkan pada umur 41–60 tahun paling banyak mengalami stres kerja. Kategori umur menurut Depkes RI (2009) adalah :
a) Remaja : 12-25 tahun b) Dewasa : 26-45 tahun c) Lanjut Usia : 46-65 tahun
2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin berpengaruh terhadap stres kerja. Akibat pembangunan nasional banyak wanita yang terlibat dalam dunia kerja. Hal tersebut menimbulkan peran ganda wanita yaitu sebagai
commit to user
wanita karier dan ibu rumah tangga, sehingga pekerja wanita lebih mudah mengalami stres dari pada pekerja laki-laki (Anoraga, 2009).
Hasil penelitian Ismafiaty (2011) didapatkan 66.7% pekerja yang mengalami stres kerja memiliki jenis kelamin perempuan, hal ini karena perempuan lebih menggunakan perasaannya dalam menghadapi suatu masalah.
3) Masa Kerja
Masa kerja menurut Permenakertrans No 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah merupakan lamanya pengalaman melaksanakan pekerjaan tertentu yang dinyatakan dalam satuan tahun yang dipersyaratkan dalam suatu jabatan. Masa kerja yang baru maupun masa kerja yang lama dapat menjadi pemicu terjadinya stres kerja serta dengan adanya tambahan dari beban kerja yang berat (Fahamsyah, 2017). Rutinitas kerja yang selalu monoton dapat menimbulkan kebosanan yang disertai dengan lingkungan kerja yang terbatas membuat tenaga kerja menjadi jenuh (Munandar, 2014).
Hasil penelitian Fahamsyah (2017) didapatkan bahwa pekerja yang mengalami stres kerja yang memiliki masa kerja lebih dari 10 tahun. Tenaga kerja telah melakukan rutinitas pekerjaan monoton dengan waktu yang lama sehingga munculnya rasa bosan serta kejenuhan yang akan menimbulkan stres kerja. Handoko (2010) mengklasifikasikan masa kerja menjadi 2 yaitu :
a) Masa kerja baru : 3 tahun
commit to user b) Masa kerja lama : > 3 tahun 4) Shift kerja
Hasil penelitian yang dilakukan Firmana dan Haryono (2011) diketahui pada shift I yang mengalami stres ringan sebesar 30 karyawan (42,3%) dan stres sedang sebesar 10 karyawan (14,1%) sedangkan pada shift II yang mengalami stres ringan sebesar 15 orang (21,1%) dan stres sedang sebesar 16 orang (22,5%). Hasil ini menunjukkan bahwa shift kerja II lebih berisiko untuk terjadinya stres sedang dibandingkan shift kerja I.
5) Kepribadian
Orang yang introvert bereaksi lebih negatif dan menderita ketegangan lebih besar daripada yang berkepribadian ekstrovert.
Kepribadian yang fleksibel mengalami ketegangan yang lebih besar dalam situasi konflik, dibandingkan dengan yang berkepribadian rigid. Orang yang agresif, dan overaktif, mempunyai kemungkinan yang besar untuk mendapatkan kecelakaan (Hadipoetro, 2014).
6) Kemampuan
Apabila seseorang merasa tidak mampu memecahkan masalah yang penting, maka akan mengakibatkan stres. Sebaliknya jika orang tersebut mampu menghadapinya, maka motivasinya akan meningkat dan menimbulkan stres positif (Hadipoetro, 2014).
commit to user d. Gejala stres
Menurut Terry Beehr dan John Newman dalam Waluyo (2013) terdapat tiga gejala stres yaitu :
1) Gejala psikologis
Menurut Waluyo (2013) gejala psikologis stres kerja meliputi kecemasan, ketegangan, mudah tersinggung, rasa marah, kebencian, perasaan frustasi, sensitif, depresi, merasa terkucilkan, penurunan fungsi intelektual, kehilangan konsentrasi, kelelahan mental, kehilangan spontanitas, menurunkan rasa percaya diri.
2) Gejala fisiologis
Gejala fisiologis stres kerja yaitu meningkatnya tekanan darah, denyut jantung, meningkatnya sekresi dari hormon adrenalin atau non adrenalin, gangguan lambung, gangguan pernapasan, sakit kepala, ketegangan otot, sakit pada punggung bagian bawah, gangguan tidur, dan rusaknya fungsi imun tubuh (Hadipoetro, 2014).
3) Gejala perilaku
Menurut Waluyo (2013) gejala perilaku stres kerja yaitu absen dari pekerjaan, menunda dan menghindari pekerjaan, menurunnya produktivitas dan prestasi, meningkatnya penggunaan obat-obatan dan minuman keras, perilaku sabotase dalam pekerjaan, perilaku makan yang tidak normal sebagai pelampiasan, meningkatnya kriminalitas, menurunnya kualitas hubungan
commit to user
interpersonal dengan keluarga dan teman, serta kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.
e. Penanganan Stres Kerja
Menurut Hadipoetro (2014) terdapat dua pendekatan dalam penanganan stres kerja yaitu :
1) Pendekatan Individual
Pendekatan individual cukup efektif dalam menangani stres kerja, dalam hal ini terkait dengan pengelolaan waktu, latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu yang baik maka seorang pekerja dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa. Dengan latihan fisik dapat meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima dalam menghadapi tuntutan tugas yang berat.
2) Pendekatan Organisasional
Strategi yang dapat dilakukan managemen untuk mengurangi stres kerja yaitu melalui seleksi dan penempatan, penetapan tujuan, mendesai kembali pekerjaan, pengambilan keputusan partisipatif, komunikasi organisasional, dan program kesejateraan. Melalui strategi tersebut akan menyebabkan pekerja memperoleh pekerjaan sesuai dengan kemampuannya.
f. Penilaian Stres Kerja
Penilaian stres kerja dengan menggunakan kuesioner dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan stres individu dalam
commit to user
kelompok kerja yang cukup banyak. Pengukuran stres kerja dengan kuesioner dari Health Safety Executive (2003) dapat dihitung dengan metode skoring. Penilaian stres secara subjektif melalui pengisian kuesioner dengan 5 skala likert dri 35 daftar pertanyaan. Penempatan skor tergantung dari setiap pertanyaan yang diajukan. Dimana rentang jawaban skoring dimulai dari “tidak pernah” sampai dengan “selalu”
(Tarwaka 2013).
Tabel 2.2. Klasifikasi Tingkat Risiko Stres Akibat Kerja Berdasarkan Total Skor Individu
Total Skor Stres Individu
Tingkat Risiko
Stres
Kategori Stres
Tindakan Perbaikan
140-175 0 Rendah Belum diperlukan adanya kontrol untuk perbaikan.
105-139 1 Sedang Mungkin diperlukan kontrol terhadap gejala stres dikemudian hari
70-104 2 Tinggi Diperlukan kontrol terhadap stres di tempat kerja segera.
355-69 3 Sangat
Tinggi
Diperlukan kontrol terhadap stres secara menyeluruh sesegera mungkin.
Sumber : HSE dalam Tarwaka, 2013
3. Hubungan Beban Kerja Mental dan Stres Kerja
Beban kerja yang berat yang dialami dalam jangka panjang akan mempengaruhi kesehatan tenaga kerja baik fisik dan mental, sehingga adanya respon dari situasi di sekitar tempat kerja menjadi bahaya atau ancaman seperti rasa takut, cemas, rasa bersalah, marah, sedih, putus asa dan stres (Chen et all, 2010).
Santoso dalam Fahansyah (2017) menyatakan bahwa setiap beban kerja mental harus disesuaikan dengan kemampuan tubuh seseorang.
commit to user
Apabila beban kerja mental yang lebih besar daripada kemampuan tubuh maka akan terjadi rasa tidak nyaman (tahap awal), kelelahan (overstress), cedera, kecelakaan, rasa sakit, penyakit dan produktivitas menurun (tahap akhir).
Beban kerja mental mengakibatkan otak bagian impuls saraf hipotalamus akan memicu rangsangan saraf otonom, yang dibagi menjadi saraf simpatik dan parasimpatik. Saraf parasimpatik akan menjadi tertekan, saraf simpatik akan diaktifkan, dan kemudian akan merangsang medula adrenal Epinefrin (> 90%) dan Norepinephrine (> 10%) yang mungkin mempengaruhi organ jantung (Joachim, 2008). Efek yang timbul dari aktivitas simpatik adalah vasokonstriksi pembuluh darah, tekanan darah meningkat, perubahan denyut nadi. Perubahan denyut jantung yang tinggi akan mengakibatkan stres keja yang terjadi juga lebih tinggi (Paritala, 2009).
Beban kerja mental yang terlalu tinggi akan menyebabkan pemakaian energi yang berlebihan, sehingga memicu terjadinya kelelahan, baik kelelahan mental maupun kelelahan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya overstress (Tarwaka, 2013)
commit to user e. Kepribadian
f. Kecakapan B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Sumber : Chen et all (2010), Paritala (2009), Joachim (2008), Tarwaka (2013), Hadipoetro (2014).
Keterangan :
: Di teliti
: Tidak di teliti
C. Hipotesis
Ada hubungan antara beban kerja mental dengan stres kerja pekerja ground handling PT Gapura Angkasa di Bandara Adisutjipto Yogyakarta.
Beban Kerja Mental
Faktor Eksternal a. Faktor Intrinsik b. Peran dalam
Organisasi c. Pengembangan
Karir
d. Hubungan dalam Pekerjaan
e. Lingkungan luar Pekerjaan
f. Struktur dan Iklim Organisasi
Impuls Saraf Hipotalamus
Saraf Otonom (Simpatik dan Parasimpatik)
Medula Adrenalin
Stres Kerja Gejala Fisiologis Faktor Internal
a. Usia b. Jenis
Kelamin c. Masa Kerja d. Shift kerja