• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Akhlak Perspektif al-imam Al-Ghazali Abdulloh Sadjad Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Pacitan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pendidikan Akhlak Perspektif al-imam Al-Ghazali Abdulloh Sadjad Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Pacitan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

110

Pendidikan Akhlak Perspektif al-Imam Al-Ghazali Abdulloh Sadjad

abdullohsadjad@gmail.com

Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Pacitan ABSTRAK

Pendidikan mempunyai pengertian yang tidak hanya terbatas pada pendidikan formal yang kebanyakan dipahami oleh masyarakat, oleh sebab itu pendidikan adalah salah satu hal yang diwajibkan oleh agama maupun negara. Pendidikan mempunyai dua pengertian, yakni pengertian pendidikan dalam arti umum dan pendidikan dalam arti khusus. Pendidikan dalam arti khusus adalah bimbingan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya, sedangkan pendidikan dalam arti umum adalah suatu proses untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup kognitif, psikomotor dan afektif dalam rangka mencapai kepribadian individu yang lebih baik. Akhlak dapat diartikan sebagai budi pekerti, watak, tabiat. Dalam bahasa sehari-hari ditemukan pula istilah etika ataupun moral, yang diartikan sama dengan akhlak, walaupun sebenarnya yang sama antara istilah-istilah tersebut adalah pembahasannya, yaitu tentang baik dan buruk. Budi pekerti merupakan perpaduan dari hasil ratio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia. Konsep pendidikan akhlak menurut Al- Ghazali yaitu meningkatkan kualitas moral serta mengatasi degradasi moral atau degradasi akhlak manusia yang semakin hari semakin menurun. Dengan adanya konsep pendidikan akhlak di era globalisasi ini, diharapkan mampu menjadi motivasi terkhusus dalam lembaga pendidikan, dan umumnya dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Konsep yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits harus muncul sebagai kekuatan moral dan memberikan stimulus, sehingga menumbuhkan pemahaman agama yang dinamis dan kreatif bukannya pasif. Konsep pendidikan akhlak harus diberdayakan agar dapat memberikan respon terhadap globalisasi.

Kata Kunci: Pendidikan akhlak, Perspektif al-imam Al=Ghazali

(2)

111 Pendahuluan

Pendidikan merupakan sebuah proses yang pasti dijalani oleh setiap manusia, bahkan pendidikan dalam makna yang lebih luas sudah dijalani manusia dari sebelum manusia itu lahir dan melihat dunia.1 Dalam hal ini menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai pengertian yang tidak hanya terbatas pada pendidikan formal yang kebanyakan dipahami oleh masyarakat, oleh sebab itu pendidikan adalah salah satu hal yang diwajibkan oleh agama maupun negara. Pendidikan mempunyai dua pengertian, yakni pengertian pendidikan dalam arti umum dan pendidikan dalam arti khusus. Pendidikan dalam arti khusus adalah bimbingan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya, sedangkan pendidikan dalam arti umum adalah suatu proses untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup kognitif, psikomotor dan afektif dalam rangka mencapai kepribadian individu yang lebih baik.2

Pendidikan bukanlah sekedar memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi maksudnya ialah “mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa keutamaan, membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran”.3 Pendidikan akhlak adalah jiwa dari pendidikan Islam. Islam telah memberi kesimpulan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah ruh (jiwa) pendidikan Islam, dan mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan.4 Hal ini tidak berarti bahwa pendidikan jasmani, akal, ilmu sains, atau pun segi- segi praktis lainnya tidak penting, tetapi lebih kepada memperhatikan segi-segi pendidikan akhlak sebagaimana segi-segi lainnya.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan arus globalisasi pada zaman sekarang ini berdampak pada munculnya kebebasan, sehingga hal tersebut dianggap sebagai penyebab terjadinya dekadensi akhlak. Akhlak dianggap salah satu solusi konkret dari persoalan tersebut, dari sinilah pendidikan akhlak harus dijadikan agenda utama yang harus diusahakan melalui jalur pendidikan formal maupun non formal untuk menanggulangi dan membentengi generasi muda penerus bangsa dari kerusakan akhlak. Peristiwa yang terjadi saat ini memberikan gambaran mengenai gambaran tersebut. Sopan santun anak pada zaman sekarang sangat

1 Abdul Hamid Al-Hasyimi, Mendidik Ala Rosulullah, (Jakarta: Pustaka Azam, 2001), 109.

2 Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2012), 54.

3 Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, At-Tarbiyyah al-Islãmiyyah; Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam, (terj.). (Bandung: Pustaka Setia, 2003), 13

4 Ibid, 13.

(3)

112

minim, tidak hanya pada orang tua dirumah, guru di sekolah, juga pada lingkungan masyarakat.

Pembentukan akhlak harus dilakukan sedini mungkin, karena upaya penerapan akhlak yang mulia dalam kehidupan sehari-hari seharusnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses pendidikan akhlak anak, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Akhlak yang mulia sebagaimana dikemukakan para ahli bukanlah terjadi dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama lingkungan keluarga, pendidikan dan masyarakat pada umumnya. Nilai pendidikan akhlak banyak sekali ditemui dalam berbagai literatur, termasuk dalam literatur kitab klasik. Banyak karya-karya para ulama klasik yang memiliki penjelasan mengenai akhlak, salah satu ulama’ yang namanya begitu masyhur karya- karyanya dalam bidang akhlak adalah al-Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali. Beliau dikenal sebagai seorang teolog, filsuf dan sufi, juga memiliki perhatian khusus terutama dalam permasalahan akhlak.

Al-Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak. Akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian terlebih dahulu.5 Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor- faktor yang saling berhubungan, yaitu pebuatan baik dan buruk, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cenderung kepada keburukan. Akhlak bukan merupakan “perbuatan”

dan “kekuatan”, bukan ma’rifah (mengetahui dengan mendalam). Namun akhlak itu adalah hal (keadaan atau kondisi) dimana jiwa mempunyai potensi yang bisa memunculkan dari padanya menahan atau memberi. Jadi akhlak itu adalah ibarat dari “keadaan jiwa dan bentuknya yang bathiniyyah”.6

Definisi Pendidikan dan Akhlak

Dalam Islam sekurang-kurangnya terdapat tiga istilah yang digunakan untuk menandai konsep pendidikan, yaitu al-tarbiyah, al-ta’lim dan al-ta’dib. Istilah al-tarbiyah berakar pada tiga huruf, yaitu huruf ra’, ba’ dan ya’. Ketiganya menghasilkan setidaknya tiga akar kata. Pertama, kata raba yarbu yang berarti bertambah atau tumbuh.7 Kedua, kata rabiya

5 Sa’id Hawwa, Tazkiyatun Nafs, (Jakarta: Pena Pudi Aksara, 2005), 4.

6 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum al-din, (Bandung: Marza, 2016), 4.

7 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 469.

(4)

113

yarba berarti tumbuh dan berkembang.8 Ketiga, rabba yarubbu yang berarti mengasuh, mendidik, memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga dan memelihara.9 Kata al-Rabb, juga memiliki akar kata yang sama dengan al-tarbiyah. Al-Tarbiyah sendiri artinya adalah hubungan yang terbangun dalam mengembangkan kewajiban atau membangun pembiasaan yang bertahap, dan selalu meningkatkan hasil dari hubungan tersebut.10

Istilah lain yang digunakan adalah al-ta’lim. Al-Ta’lim merupakan masdar dari kata

‘allama yu’allimu dengan lam yang diberi tasydid. Kata ‘allama sendiri maknanya adalah memberi pelajaran, memberitahu, mengajar, atau mendidik. Ta’lim adalah proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan, dan hati. Sedangkan al-ta’dib akar katanya adalah addaba yuaddibu. Maknanya adalah sopan atau berbudi. Al-Ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat tingkatannya serta tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmani, intelektual maupun rohani seseorang. Dengan pengertian ini, maka al-ta’dib mencakup pengertian ilmu dan amal.

Akhlak dapat diartikan sebagai budi pekerti, watak, tabiat.11 Dalam bahasa sehari- hari ditemukan pula istilah etika ataupun moral, yang diartikan sama dengan akhlak, walaupun sebenarnya yang sama antara istilah-istilah tersebut adalah pembahasannya, yaitu tentang baik dan buruk. Budi pekerti merupakan perpaduan dari hasil ratio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia. Kata akhlaq itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang merupakan jamak dari kata khuluq yang mempunyai arti tabiat, budi pekerti, al-‘ādah (kebiasaan), al-murū’ah (keperwiraan, kekesatriaan, kejantanan), ad-dīn (agama) dan al-ghadlab (kemarahan).12 Menurut al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali (1058-1111 M) dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, bahwa akhlak adalah sebuah bentuk ungkapan yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan yang gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.13

8 Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith, Mesir: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyyah, 2004, 326.

9 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir..., 469.

10 Dr. Abdul Karim Bakkar, Haula al-Tarbiyyah al-Ta’lim, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2011), 12.

11 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), 25.

12 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir..., 364.

13 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum al-din, Juz III, (Bandung: Mirza, 2016), 45.

(5)

114

Akhlak menurut istilah menurut beberapa pakar dalam bidang akhlak sebagai berikut :

a) Abu al-Hasan al-Mas’udi (895-956 M)

Akhlak adalah sebuah ibarat atau dasar untuk mengetahui baiknya hati dan panca indra, dan akhlak sebagai hiasan diri kita dan bertujuan untuk menjauhkan dari perkara yang jelek, dan buah dari akhlak adalah bersih hati dan panca indranya di dunia, lebih-lebih beruntung di akhirat kelak nanti.

b) Muhyiddin Ibn Arabi (1165-1240 M)

Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorong manusia untuk berbuat tanpa melalui pertimbangan dan pilihan terlebih dahulu. Keadan tersebut pada seseorang boleh jadi merupakan tabiat atau bawaan dan boleh jadi juga merupakan kebiasaan melalui latihan dan perjuangan.

c) Ibrahim Anis (1906-1977 M)

Akhlak adalah ilmu yang objeknya membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia, dapat disifatkan dengan baik dan buruknya.14 d) Ibn Maskawaih (932-1030 M)

Khuluq (akhlak) adalah keadaan jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu.15

e) Ali bin Muhammad al-Jurjani (1340-1413 M)

Akhlak adalah istilah bagi sesuatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berpikir dan merenung.16

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah tabiat atau sifat seseorang, yaitu keadaan jiwa yang telah terlatih sehingga telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan diangan-angan lagi. Jika akhlak memang sudah ada dalam jiwa seseorang maka yang perlu atau yang dibutuhkan adalah pengelolaan terhadap akhlak tersebut yang nantinya akan menimbulkan akhlak yang baik yang sesuai ajaran Rasulullah saw. Tidak mungkin ada akhlak yang baik selama seseorang tidak pernah mau untuk menjadikannya akhlak yan g baik yang sesuai dengan al-qur’an dan hadits selama tidak mau melatihnya.

14 Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith, 202.

15 Ibn Miskawaih, Tahzibul Akhlak, (Mesir: Matba’ah Muhammad Ali Sabih, 1959), 1 8 3 .

16 Asy-Syarīf Ali bin Muhammad Al-Jurjani, At-Ta’rifāt, (Jeddah: Al-Haramain, t.t.), 101.

(6)

115

Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak yang sesuai dengan agama tidak akan tertanam di dalam jiwa, selama tidak membiasakan semua kebiasaan yang baik dan selamat tidak meninggalkan semua yang buruk. Jika selama tidak merutinkan untuk melakukan semua itu sebagai rutinitas, maka seseorang akan berhasrat melakukan amal-amal yang baik sehingga melakukannya dengan tanpa beban. Selain itu, akan timbul rasa benci dan merasa tidak nyaman dengan perbuatan-perbuatan yang buruk.17

Sumber dan Sasaran Akhlak

Akhlak seorang Muslim merujuk pada dua sumber utama ajaran Islam. Sumber pertama yaitu akidah yang diwahyukan Allah swt kepada Rasulullah saw yang kemudian disampaikan kepada manusia. Al-Qur’an sebagai dasar dan sumber utama dalam etika dan tingkah laku. Al-Qur’an memberikan petunjuk pada jalan kebenaran, mengarahkan kepada pencapaian kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Adapun sumber kedua adalah keteladanan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw kepada umatnya, seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 21. Kedua dasar itulah yang menjadi landasan seseorang untuk menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi substansi akhlak dalam al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sikap seseorang dalam menjelaskan perintah Allah swt baik yang berhubungan dengan-Nya (hablun minAllāh) maupun yang berhubungan dengan sesama manusia (hablun min al-nās).

Karena akhlak bersumber dari dua sumber utama dalam Islam, maka definisi akhlak dalam Islam berbeda dengan moral atau etika yang ada dalam masyarakat. Etika atau moral dalam masyarakat berkembang bahkan dapat berubah secara prinsip pada saat masyarakat menghendaki akan adanya perubahan. Akan tetapi akhlak Islam tidak akan pernah berubah secara prinsip karena dasar yang digunakan adalah sudah ditentukan oleh Allah sampai kapanpun juga. Dalam Islam secara garis besar akhlak manusia mencakup tiga sasaran, yaitu terhadap Allah swt, terhadap sesama manusia dan terhadap lingkungannya.

a. Akhlak Terhadap Allah swt

Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah swt. Pertama, Karena Allah swt merupakan pencipta manusia.

Kedua, Karena Allah swt adalah Tuhan yang memberikan perlengkapan pancaindera, berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari,

17 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum al-din, Juz IV, (Bandung: Mirza, 2016), 400.

(7)

116

disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia. Ketiga, Karena Allah swt telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia seperti bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan sebagainya.

Dan keempat, Allah swt yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan.18

Menurut Quraish Shihab, akhlak manusia terhadap Allah swt bertitik tolak dari pengakuan dan kesadarannya bahwa tiada Tuhan selain Allah swt yang memiliki segala sifat terpuji dan sempurna.19 Dari pengakuan dan kesadaran itu akan lahir tingkah laku dan sikap sebagai berikut. Pertama, mengagungkan Allah swt dan memuji-Nya. Kedua, bertawakal (berserah diri) kepada Allah swt setelah berbuat atau berusaha terlebih dahulu. Dan Ketiga, berbaik sangka kepada Allah swt, bahwa yang datang dari Allah swt kepada makhluk-Nya hanyalah kebaikan.

b. Akhlak Terhadap Sesama Manusia

Akhlak manusia terhadap sesamanya meliputi sasaran sebagai berikut.

Pertama, Akhlak terhadap orang tua. Diantaranya meliputi memelihara keridhaan orang tua; berbakti kepada orangtua, seperti mentaati dan melayaninya;

memelihara etika pergaulan dengan kedua orang tua, seperti merendahkan diri dan berkata lemah lembut kepada mereka serta tidak menyakiti mereka, baik dengan perbuatan maupun perkataan. Kedua, Akhlak terhadap kaum kerabat.

Akhlak yang paling utama terhadap kaum kerabat ialah mengadakan hubungan silaturahmi dan berbuat baik terhadap mereka, seperti mencintai mereka serta turut merasakan suka dan duka mereka.

Ketiga, Akhlak terhadap tetangga. Diantara akhlak terhadap tetangga ialah tidak menyakiti tetangganya, baik dengan perbuatan maupun perkataan;

berbuat ihsan (kebaikan) kepada tetangga. Diantaranya ialah melakukan ta’ziah ketika tetangganya mendapat musibah, tahniah ketika tetangganya mendapatkan kegembiraan, menjenguknya ketika sakit, menolongnya ketika dimintai tolong,

18 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 147.

19 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan Media Utama, 2000), 261.

(8)

117

memberinya pinjaman ketika dimintai pinjaman, dan tidak mendirikan bangunan yang menghalangi sirkulasi udara rumah tetangganya tanpa seizinnya.

c. Akhlak Terhadap Lingkungan

Yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia kepada khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam.

Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses- proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi.

Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, “Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri.”

Binatang, tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah swt dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang muslim untuk menyadari bahwa semua adalah umat Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.

Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat perintah Rasulullah saw berupa larangan untuk mencabut atau menebang pepohonan dan tumbuhan.

Dengan demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah swt, sehingga mereka harus dapat bersahabat. Jadi sasaran pendidikan akhlak tidak hanya akhlak terhadap Allah swt atau hubungan vertikal akan tetapi akhlak terhadap sesama manusia atau hubungan horisontal bahkan lebih jauh lagi terhadap lingkungan yaitu segala sesuatu yang berada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa.

(9)

118 Faktor Pembentukan Akhlak

Dalam berbagai literatur, kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang yang didahului oleh kesadaran dan pemahaman akan menjadikan akhlak seseorang. Adapun gen hanya sebagai faktor penentu saja. Orang tua disisni adalah yang mempunyai hubungan genetis, yaitu orang tua kandung, atau orang tua dalam arti lebih luas, yaitu orang dewasa yang berada disekeliling anak dan memberi peran yang berarti dalam kehidupan anak.20 Faktor genetis juga diakui keberadaannya dalam Islam. Salah satu contohnya adalah pengakuan Islam tentang alasan memilih calon istri atas dasar keturunan. Boleh jadi orang yang menikahi wanita karena pertimbangan keturunan disebabkan oleh adanya keinginan memperoleh kedudukan dan kehormatan sebagaimana kedudukan si perempuan. Atau bisa juga karena ingin memiliki keturunan yang mewarisi sifat-sifat orang tua istrinya. 21

Pendapat lain menyebutkan bahwa unsur terpenting dalam pembentukan akhlak adalah pikiran. Karena pikiran yang ada didalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola pikir yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang tertanam sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras sesuai hukum alam.22 Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak. Dari sekian banyak faktor, para ahli menggolongkannya dalam dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.23

1. Faktor Internal

Terdapat banyak hal yang mempengaruhi faktor internal ini, antara lain:

a. Insting atau Naluri

Naluri merupakan tabiat yang dibawa sejak lahir yang merupakan suatu pembawaan yang asli. Pengaruh naluri pada seseorang sangat tergantung pada penyalurannya. Naluri dapat menjerumuskan manusia kepada kehinaan, tetapi juga dapat mengangkat kepada derajat yang tinggi, jika naluri disalurkan pada hal yang baik dengan tuntunan kebenaran. Karakter berkembang

20 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2011), 17-18.

21 Abdullah Munir, Pendidikan Karakter; Membangun Karakter Anak Sejak dari Rumah, (Yogyakarta:

Pustaka Insan Madani, 2010), 6.

22 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan... , 17.

23 Heri Gunawan, Pendidikan Islam; Kajian Teoritis Pemikiran Tokoh, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2014), 19-22.

(10)

119

berdasarkan kebutuhan menggantikan insting kebinatangan yang hilang ketika manusia berkembang tahap demi tahap.24

b. Kebiasaan

Salah satu faktor penting dalam tingkah laku manusia adalah kebiasaan, karena sikap dan perilaku yang menjadi akhlak sangat erat sekali dengan kebiasaan. Yang dimaksud dengan kebiasaan adalah perbuatan yang selalu diulang-ulang sehingga mudah untuk dikerjakan. Faktor kebiasaan ini memegang peran yang sangat penting dalam membentuk dan membina akhlak.

c. Kehendak atau Kemauan (Iradah)

Kemauan adalah usaha untuk melangsungkan segala ide dan segala yang dimaksud, walau disertai dengan berbagai rintangan dan kesukaran- kesukaran, namun sekali-kali tidak mau tunduk kepada rintangan-rintangan tersebut. Salah satu kekuatan yang berlindung dibalik tingkah laku adalah kehendak atau kemauan keras (‘azam). Itulah yang menggerakkan dan merupakan kekuatan yang mendorong untuk sungguh-sungguh berperilaku (berakhlak).

d. Suara Batin dan Suara Hati

Di dalam diri manusia terdapat suatu kekuatan yang sewaktu-waktu memberikan peringatan jika tingkah laku manusia berada diambang bahaya dan keburukan, kekuatan tersebut adalah suara batin dan suara hati. Suara batin berfungsi memperingatkan bahayanya perbuatan buruk dan berusaha untuk mencegahnya, disamping untuk melakukan hal baik. Suara hati dapat terus dididik dan dituntun untuk menaiki jenjang kekuatan rohani.

2. Faktor Eksternal a. Pendidikan

Pendidikan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter seseorang, sehingga baik dan buruknya akhlak seseorang tergantung pada pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan agama perlu dimanefestasikan melalui berbagai media, baik pendidikan formal di

24 Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta, Prenada Media Group, 2011), 110.

(11)

120

sekolah, pendidikan informal di keluarga dan pendidikan non formal di masyarakat.

b. Lingkungan

1) Lingkungan yang bersifat kebendaan

Alam yang melindungi manusia merupakan faktor yang mempengaruhi dan menentukan tingkah laku manusia. Lingkungan alam ini dapat mematahkan dan mematangkan pertumbuhan bakat yang dibawa seseorang.

2) Lingkungan yang bersifat kerohanian

Seseorang yang hidup dalam lingkungan yang baik secara langsung atau tidak langsung dapat membentuk kepribadiannya menjadi baik, begitu pula sebaliknya, seseorang yang hidup dalam lingkungan yang kurang mendukung dalam pembentukan akhlaknya, maka setidaknya dia akan terpengaruh lingkungan tersebut.25

Konsep Pendidikan Akhlak

Pendidikan akhlak seseorang berkaitan dengan moral dan kepribadian. Upaya mendidik terkait dengan pemberian motivasi kepada anak untuk belajar dan mengikuti ketentuan norma dan aturan yang telah menjadi kesepakatan bersama.26 Pembentukan akhlak yang berlandaskan dari Al-Qur’an dah al-Hadits merupakan bagian dari ajaran Islam agar terbentuk menjadi manusia yang seutuhnya, dan dapat berpegangan teguh pada apa yang telah diwariskan oleh Rasulullah saw.

Pendidikan tidak hanya mempunyai tujuan akhir menjadikan manusia ahli dalam bidang pengetahuan dunia saja. Tetapi menurut Al-Ghazali manusia itu harus mempunyai tujuan akhir untuk mencapai kesempurnaan akhirat pula. Konsep pendidikan akhlak yang ditawarkan Al-Ghazali bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadits untuk mengatasi masalah dekadensi moral dikalangan masyarakat yang semakin meningkat. Atas dasar ini Al-Ghazali menawarkan konsep pemecahan masalah moral tersebut dengan menggunakan pendekatan atau langkah-langkah pensucian batin serta menggunakan metode-metode yang tepat dalam

25 M. Imam Pamungkas, Akhlak muslim Modern; Membangun Karakter Generasi Muda, (Bandung, Marja, 2013), 29-30.

26 Ridwan Abdullah Sani, Muhammad Kadri, Pendidikan Karakter; Mengembangkan Karakter Anak yang Islami, (Jakarta, Bumi Aksara 2016), 7.

(12)

121

pembentukan akhlak yang sesuai atau akhlak yang Islami yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits.27

Al-Ghazali menyatakan manusia mempunyai bermacam-macam akhlak, antara lain:

1. Sifat Ketuhanan (Sifat Nubuwiyah), seperti sombong, bangga, sok hebat, suka dipuji dan disanjung, mulia, kaya, suka membanggakan diri dan suka mencari ketinggian diatas manusia seluruhnya sehingga seakan-akan ia yang berkehendak mengatakan “Aku Tuhanmu Yang Maha Tinggi”. Dan demikian menimbulkan berbagai dosa besar yang dilupakan oleh manusia dan tidak dihitungnya dosa yang dilakukan.

2. Sifat Syaithaniyyah, yaitu segala yang menimbulkan sifat dengki zalim, daya upaya, tipu, menyerah dengan kerusakan dan perbuatan yang munkar. Dan termasuk didalamnya perbuatan bid’ah dan sesat.

3. Sifat Kebinatangan, seperti sifat rakus, yang dimiliki oleh hewan babi, selalu ingin memuaskan perut dan kemaluannya. Kemudian menjadi implementasi perbuatan zina, homo seksual, mencuri, makan harta anak yatim dan selalu memikirkan duniawi untuk memenuhi hawa nafsunya.

4. Sifat Kebinatang-buasan, darinya menimbulkan perbuatan egois, dengki, iri, suka marah, berkata kasar, suka bertengkar dan suka menghambur-hamburkan harta yang bukan di jalan Allah.28

Sifat-sifat demikian berangsur-angsur ada pada diri manusia (fitrahnya). Maka sifat kebinatangan yang pertama-tama yang menonjol. Kemudian yang kedua dengan diiringi sifat kebinatang-buasan. Apabila keduanya sudah terkumpul, lalu keduanya menguasai akal untuk tipu daya dan daya upaya, sehingga beranjak menjadi sifat Syaithaniyyah. Terakhir menonjol dengan sifat-sifat ketuhanan, yaitu angkuh, merasa mulia, mencari kebesaran dan merasa lebih tinggi dari semua makhluk lainnya.29

Dari pemaparan diatas, disimpulkan bahwa manusia itu memiliki fitrah dan akhlak yang baik. Akan tetapi manusia itu sendiri pula yang merusak fitrahnya dengan berbagai macam akhlak tidak tepuji yang dibentuk dalam dirinya, sehingga menimbulkan perbuatan- perbuatan yang tidak baik. Maka hendaknya manusia menyadari bahwa tidak ada yang paling

27 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta, Rajawali Pers, 2013), 305.

28 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, Ihya’ Ulum al-din, Juz III, (Bandung: Mirza, 2016), 26-27.

29 Ibid, 17.

(13)

122

baik dan sempurna kecuali dengan berakhlak yang mulia. Dan hendaknya manusia mempunyai sifat zuhud (kesederhanaan) agar terjauh dari sifat keduniaan.

Akhlak yang diperoleh dengan proses pendidikan atau latihan salah satunya adalah dengan mujahadah dan riyadlah, yaitu mendorong jiwa dan hati untuk terus mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak yang dicari. Misalnya, jika ingin menanam akhlak pemurah dalam diri, maka jalannya adalah dengan memberi beban pada dirinya dengan sering-sering memberikan harta atau bersedekah. Dengan membiasakan dan mewajibkan diri dengan melakukan hal tersebut, sehingga memupuk watak dan tabiat pemurah.

Metode ini senada dengan Ahmad Amin, bahwa untuk membentuk kebiasaan harus ada keinginan pada sesuatu dan diterimanya keinginan itu, kemudian keinginan dan penerimaan tersebut diulang-ulang secukupnya. Untuk menghindarkan diri dari sebuah kebiasaan, harus menolak keinginan berbuat, dan setiap keinginan tersebut timbul harus tidak diterima. Dengan demikian kebiasaan itu dapat dimatikan dengan jalan mengabaikan, sebagaimana dapat dihidupkan dengan menimbulkan keinginan dan menerimanya.30

Sedangkan menurut Rachmat Djatnika, menjelaskan perkataan Ahmad Amin, bahwa akhlak ialah kebiasaan berkehendak (adatu al-iradat).31 Bahwa yang dimaksud dengan kata al-‘adah adalah perbuatan yang selalu diulang-ulang dengan syarat ada kecenderungan hati pada hal tersebut, sehingga mudah mengerjakannya dengan spontan. Sedangkan yang dimaksud dengan iradah adalah menangnya keinginan manusia setelah dia bimbang.

Apabila iradah ini dilanggengkan, sering diulang-ulang dengan cukup intensif, maka akan melahirkan kebiasaan dan kultur yang baik. Berbuat tanpa memikirkan dan mempertimbangkan lagi hal-hal yang jelas baik. Iradah yang telah terbiasa inilah yang disebut akhlak.

Riyadlah (pelatihan) harus secara kontinyu dan konsisten dilatih. Betapapun sedikitnya latihan yang dilakukan, selama berkesinambungan, niscaya akan membawa hasil yang mengagumkan. Air yang menetes secara kontinyu dan tak mengenal lelah, setelah berpuluh tahun, akhirnya dapat membuat lubang kecil pada batu cadas. Melatih diri agar qalbu bermuatan kesadaran Ilahiyah bukanlah perkara yang gampang. Dibutuhkan

30 Ahmad Amin, Al-Akhlak, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 27.

31 Ibid, 62.

(14)

123

ketekunan, kesinambungan, dan yang paling penting adalah perasaan cinta yang mendalam kepada Allah swt.32

Penulis menilai bahwa konsep pendidikan akhlak al-Ghazali tidak bisa dilepaskan dengan kehidupannya menjadi seorang sufi. Sehingga dalam konsep proses pendidikan akhlak juga tidak dapat dilepaskan dari perilaku seorang sufi yang identik dengan tidak mengambil dunia kecuali sebatas keperluan pokok. Hal ini tampak jelas dalam syarat- syaratnya mujāhadah-nya yang antara lain membuang tutup dan penghalang yang ada diantara seseorang dengan kebenaran. Yaitu harta, pangkat kedudukan, taklid (asal ikut) dan maksiat. Penghalang-penghalang tersebut harus dijauhkan dan dikeluarkan jika ingin mendapatkan hasil yang memuaskan.

Sebetulnya al-Ghazali tidak melarang seseorang untuk punya harta tetapi jangan terikat. Kedua, dalam pelaksanaannya, harta bukannya tidak diperlukan bahkan harus dicari untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini diungkapkan sendiri oleh al-Ghazali bahwa diantara benteng dalam melakukan mujāhadah adalah berkhalwat (menyepi). Ia menyebutkan bahwa orang yang mengasingkan diri itu tidak lepas dari orang harus mengurusinya, mulai dari makanannya, minumannya dan yang mengatur segala urusannya.33

Komponen sufisme seperti zuhud, khalwah dan ‘uzlah dalam banyak kasus di belantara zaman modern ini, masih saja tidak kehilangan relevansinya sama sekali. Zuhud didefinisikan sebagai sikap meninggalkan ketergantungan hati pada harta benda (materi), meskipun tidak berarti antipati terhadapnya. Seorang zahid bisa saja mempunyai kekayaan yang berlimpah, akan tetapi tidak memenuhi ruang hati. Bahkan zuhud justru dipraktekkan dengan berkumpul dan bermasyarakat sebagaimana lazimnya, untuk amr ma’ruf dan nahyu munkar. Lebih jauh lagi ulama sepakat zuhud atau ‘uzlah dapat dilaksanakan hanya sekadar dengan hati dan perasaan, sehingga meskipun seseorang –misalnya– sedang berada di tengah-tengah keramaian sebuah pasar, di dalam hatinya ia tetap merasa menyendiri untuk mencari Tuhannya.

32 Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence), (Jakarta: Gema Insani Press, 200), 69.

33 Ibid, 74.

(15)

124 Kesimpulan

Konsep pendidikan akhlak menurut Al-Ghazali yaitu meningkatkan kualitas moral serta mengatasi degradasi moral atau degradasi akhlak manusia yang semakin hari semakin menurun. Dengan adanya konsep pendidikan akhlak di era globalisasi ini, diharapkan mampu menjadi motivasi terkhusus dalam lembaga pendidikan, dan umumnya dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Konsep yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits harus muncul sebagai kekuatan moral dan memberikan stimulus, sehingga menumbuhkan pemahaman agama yang dinamis dan kreatif bukannya pasif. Konsep pendidikan akhlak harus diberdayakan agar dapat memberikan respon terhadap globalisasi.

Tujuan pendidikan akhlak tentu untuk mencapai ridho Allah swt yang menentukan kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan manusia berakhlak tiada lain hanya untuk beramal sholeh dan beribadah kepada Allah swt. Maka dalam pembentukan akhlak, digunakan tahapan-tahapan, yaitu: (1) Takhalli, merupakan langkah pertama yang harus dijalani seseorang, yaitu usaha mengkosongkan diri dari perilaku yang tercela; (2) Tahalli, merupakan upaya menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku dan akhlak terpuji; dan (3) Tajalli, merupakan pemantapan dan pendalaman materi yang telah sampai pada fase tahalli, berusaha mengerahkan seluruh panca indera bergerak ke satu fokus, yakni hanya dari Allah, untuk Allah, dan kepada Allah swt.

Adapun metode-metode dalam pendidikan akhlak setidaknya ada dua. Pertama, dengan riyadlah dan mujahadah atau pelatihan, yaitu dengan membiasakan diri latihan melakukan amal saleh. Kedua, melakukan perbuatan baik yang dikerjakan dengan berulang- ulang secara konsisten dan memohon karunia dan hidayah Allah swt. Bagaimanapun, tanpa pertolongan dan hidayah Allah swt, manusia tidak bisa melakukan perbuatan-perbuatan terpuji sehingga membentuk akhlak yang mulia.

(16)

125 Daftar Pustaka

Al-Abrasyi, Muhammad ‘Athiyah. At-Tarbiyyah al-Islãmiyyah; Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam, (terj.). (Bandung: Pustaka Setia, 2003)

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ Ulum al-din. (Bandung: Marza, 2016)

Al-Hasyimi, Abdul Hamid. Mendidik Ala Rosulullah. (Jakarta: Pustaka Azam, 2001) Al-Jurjani, Ali bin Muhammad. At-Ta’rifāt. (Jeddah: Al-Haramain, t.t.)

Amin, Ahmad. Al-Akhlaq. (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)

Andayani, Abdul Majid dan Dian. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2011)

Anis, Ibrahim. al-Mu’jam al-Wasith. (Mesir: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyyah, 2004) Bakkar, Abdul Karim. Haula al-Tarbiyyah al-Ta’lim. (Damaskus: Dar al-Qalam, 2011) Gunawan, Heri. Pendidikan Islam; Kajian Teoritis Pemikiran Tokoh. (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2014)

Hawwa, Sa’id. Tazkiyatun Nafs. (Jakarta: Pena Pudi Aksara, 2005)

Kadri, Ridwan Abdullah Sani dan Muhammad. Pendidikan Karakter; Mengembangkan Karakter Anak yang Islami. (Jakarta, Bumi Aksara 2016)

Miskawaih, Ibn. Tahdzibu al-Akhlaq. (Mesir: Matba’ah Muhammad Ali Sabih, 1959)

Munawir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap. (Surabaya:

Pustaka Progresif, 1997)

Munir, Abdullah. Pendidikan Karakter; Membangun Karakter Anak Sejak dari Rumah.

(Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2010)

Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. (Jakarta, Rajawali Pers, 2013)

(17)

126

Pamungkas, M. Imam. Akhlak Muslim Modern; Membangun Karakter Generasi Muda.

(Bandung, Marja, 2013)

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1985) Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. (Bandung: Alfabeta, 2012)

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat.

(Bandung: Mizan Media Utama, 2000)

Tasmara, Toto. Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence). (Jakarta: Gema Insani Press, 200)

Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan. (Jakarta, Prenada Media Group, 2011)

Referensi

Dokumen terkait

Larutan dari serbuk pewarna dengan penambahan maltodekstrin 5% memiliki intensitas warna merah yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan maltodekstrin 10%

SMA, tetapi lebih difokuskan pada upaya memberikan diskripsi atau gambaran tentang efektifitas penyelenggaraan pendidikan kesetaraan program paket C setara SMA di

Mojoagung Jombang tidak mengandung unsur riba didalamnya, memberikan pembiayaan kepada nasabah yang mempunyai usaha yang tidak dilarang oleh syariah, membiayai seluruh atau

ABSTRAK Tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan Tugas Akhir ini adalah dapat membuat video feature interaktif tentang wisata di Kota Surabaya.. Video ini menggunakan

Pada formula satu digunakan essence orange dan sunset yellow sehingga menghasilkan warna oranye dan bau jeruk. Pada formula 2 digunakan essence strawberry dan

Pembelajaran tematik yang selama ini dilakukan pada SD kelas rendah, secara konseptual dapat dikembangkan untuk lebih menekankan pada upaya menumbuhkan kemampuan siswa

Hubungan kedua variabel ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Soeparlan Pranoto (2003) yang berpendapat seperti ini “Salah satu faktor internal yang

Pada penelitian ini tidak ada hubungan langsung antara lemak dengan daya tahan jantung paru karena konsumsi lemak terlebih dahulu akan mempengaruhi kadar trigliserida darah,