• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU BATAK DAN SUKU MINANGKABAU (STUDI DI KOTA MEDAN) ULFA SUNDARI ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU BATAK DAN SUKU MINANGKABAU (STUDI DI KOTA MEDAN) ULFA SUNDARI ABSTRACT"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM PEWARISAN DALAM PERKAWINAN ANTARA SUKU BATAK DAN SUKU MINANGKABAU (STUDI DI KOTA MEDAN)

ULFA SUNDARI

ABSTRACT

The problems of allocation of an inheritance will never cease when they are analyzed based on the system of kinship which is practiced either by a certain traditional community or by the community that follows the bonds of matrimony with different kinship such as in interracial marriage. The research used descriptive analytic method which described, explained, and analyzed inheritance system in the intermarriage between a Bataknese and a Minangkabaunese.

The result of the research showed that the existence of various kinds of ethnic groups in Indonesia had caused intermarriages with different kinship so that the allocation of inheritance from parents to their children would change.

The allocation of inheritance in the community that practices patrilineal system has changed in which the allocation of inheritance in the intermarriage of the patrilineal community usually uses individual inheritance system of the Adat Law although some of them use inheritance system based on the Islamic Law. The allocation of inheritance in the community that practices matrilineal system, although the parties concerned come from matrilineal kinship system, when there is intermarriage, the kinship system is not used. The allocation of inheritance is done according to the agreement of the heirs as what is practiced in the patrilineal system. This system has also been changed in the inheritance allocation system which is done either according to the mutual agreement or to the Islamic Law.

Keywords: Inheritance System in Bataknese and Minangkabaunese I. Pendahuluan

Pengertian warisan adalah soal dan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih pada orang lain yang masih hidup.1 Dengan demikian, hukum waris itu memuat ketentuan- ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada ahli warisnya. Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses penerusan serta pengoperan barang-barang harta benda berwujud dan barang yang tidak berwujud benda

1Wirjono, Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1991. hlm 12.

(2)

(immateriale goerderen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya.2

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dan orang-orang yang ditinggalkan tersebut diatur oleh hukum waris. Jadi, hukum

waris itu dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya.3

Banyaknya masalah yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat terutama hal-hal yang berhubungan dengan adat istiadat serta kebiasaan masyarakat.

Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya, dan adat istiadat yang berbeda mengalami hal tersebut dengan beragamnya etnis budaya yang ada. Masyarakat adat membentuk hukum dari kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.

Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik. Masalahnya adalah, antara lain apakah ada persamaan antara hukum waris adat yang dianut walaupun mereka yang menetap di luar daerah asalnya.4

Teori-teori yang berkembang dalam ilmu pengetahuan terutama dalam hukum kekerabatan dan waris adat sering diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat. Namun antara teori yang ada dengan fakta dilapangan sering kali terjadi ketidaksinkronan antara teori dan prakteknya tidak sesuai, meski dalam beberapa hal memang sesuai tetapi banyak juga yang sama sekali tidak

berhubungan.

Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang cara penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari generasi ke generasi. Dengan demikian, hukum waris itu

mengandung tiga unsur, yaitu: adanya harta peninggalan atau harta warisan,

2 Ibid.

3 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, Tinta Emas, Jakarta, 1974. hlm 9.

4Soeyono Soekanto, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1966. hlm 7.

(3)

adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima

bagiannya.5

Walaupun pengertian hukum waris masih terdapat berbagai pendapat yang beragam namun Eman Suparman, menyimpulkan bahwa

"Hukum waris itu merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara atau proses peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau para ahli warisnya".6

Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan.

Berkaitan dengan sistem penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan.7

Namun demikian disana sini terutama dikalangan masyarakat di pedesaan masih banyak juga yang masih bertahan pada sistem keturunan dan kekerabatan

adatnya yang lama, sehingga apa yang dikemukakan Hazairin masih nampak kebenarannya. Ia menyatakan bahwa “Hukum waris adat mempunyai

corak tersendiri dari alam fikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilinial, matrilineal, parental atau bilateral”.8

Dengan catatan bahwa pemahaman terhadap bentuk-bentuk masyarakat adat kekerabatan itu tidak berarti bahwa sistem hukum waris adat untuk setiap bentuk kekerabatan yang sama akan berlaku sistem hukum waris adat yang sama.

Masalahnya dikarenakan didalam sistem keturunan yang sama masih terdapat perbedaan dalam hukum yang lainnya, misalnya perbedaan dalam sistem perkawinan, masyarakat adat Batak dan masyarakat adat Lampung (beradat pepadun) menganut sistem keturunan yang patrilinial, tetapi di kalangan orang Batak berlaku adat perkawinan manunduti yaitu mengambil istri dari satu sumber

5 Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat, Mandar Maju, Bandung, 1992. hlm 21.

6Ibid

7M. Idris Ramulyo, “Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i dan Wasiat Wajib di Mesir tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu menurut Islam”. Majalah Hukum dan Pembangunan No. 2 Thn. XII Maret 1982, FHUI, Jakarta, 1982, hlm 155.

8 Hazairin, Op.Cit., hlm 9.

(4)

yang searah (dari kerabat hula-hula) sedangkan dikalangan orang Lampung berlaku adat perkawinan ngejuk ngakuk (ambil-beri) yaitu mengambil istri dari sumber yang bertukar, satu masa kerabat wanita memberi, dimasa yang lain kerabat penerima semula menjadi pemberi kembali.

Menurut hukum adat Batak jika tidak mempunyai keturunan lelaki berarti keturunan itu putus, sedangkan menurut hukum adat Lampung keturunan yang putus dapat diganti. Begitu pula pewarisan menurut hukum adat Batak berlaku pembagian hata warisan menjadi milik perseorangan, sedangkan di Lampung (beradat pepadun) berlaku sistem pewarisan mayorat.9

Selanjutnya dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi informasi menyebabkan mobilitas masyarakat yang begitu tinggi tidak lagi mengenal batas wilayah, agama, suku bahkan wilayah negara. Hal ini lah yang kemudian memungkinkan terjadinya perkawinan campuran antara orang yang berasal dari wilayah yang berbeda, agama yang berbeda, suku yang berbeda bahkan dari kebudayaan yang berbeda antara negara dan sistem kekerabatan termasuk masyarakat yang menganut sistem pewarisan yang berbeda pula.

Berdasarkan dari hasil penelitian awal ternyata ditemukan pula adanya perkawinan antara masyarakat yang berbeda sistem kekerabatannya. Dalam hal ini misalnya perkawinan antara masyarakat adat Batak yang menganut sistem kekerabatan patrilineal dengan masyarakat adat Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilineal.

Banyaknya terjadi perkawinan antara masyarakat adat Batak yang menganut sistem kekerabatan patrilineal dengan masyarakat adat Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilineal seperti yang dikemukakan sebelumnya adalah diduga akibat kemajuan teknologi informasi, transportasi dan kemajuan dari budaya masyarakat itu sendiri. Adanya perkawinan dari sistem kekerabatan yang berbeda ini tentunya terbuka peluang untuk terjadinya perselisihan atau sengketa khususnya dalam hal pembagian warisan apabila salah seorang dari perkawinan antar suku tersebut meninggal dunia. Dengan kata lain,

9 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. hlm 24.

(5)

perkawinan tersebut dari pasangan suami isteri yang berbeda sistem kekerabatan yang berbeda ini dapat menimbulkan persoalan di bidang hukum waris.

II. Metode Penelitian

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji mengatakan penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu yang diperlukan untuk proses penulisan, cara-cara yang dapat ditempuh apabila menemui kesulitan dalam proses penelitian.10 Penelitian ini dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu”.11

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena menggambarkan gejala- gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum yang berkaitan dengan sistem pewarisan dalam perkawinan antara suku Batak dan suku Minangkabau.

Berdasarkan rumusan permasalahan, maka penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis untuk melihat kenyataan secara langsung dalam praktek mengenai Sistem Pewarisan Campuran dalam Masyarakat Adat yang menganut sistem Patrilinial dengan Masyarakat Adat yang menganut sistem Matrilinial. Namun tidak terlepas dari pendekatan yuridis normatif yang diarahkan kepada analisis bahan kepustakaan sebagai data sekunder, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari

10Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2001. hlm 22.

11 Ibid., hlm 42.

(6)

aspek normatif.12 Studi dokumen dalam penelitian hukum meliputi penelitian terhadap bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Setiap bahan hukum ini diperiksa ulang validitas dan reabilitasnya karena akan mempengaruhi hasil penelitian.13 Termasuk dalam hal ini ketentuan hukum adat mengenai system pewarisan akibat perkawinan campuran. Penelitian yuridis normatif ini mengutamakan penelitian kepustakaan (library research).14 Dari spesifikasi penelitian di atas diketahui bahwa metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis yang merupakan “penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan (data sekunder) atau penelitian hukum kepustakaan dan penelitian hukum sosiologis (empiris) yang merupakan penelitian yang dilakukan langsung di masyarakat atau meneliti data primer”.15 III. Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Pembagian Harta Warisan Dalam Masyarakat yang Menganut Sistem Kekerabatan Patrilinial Pada Suku Batak

Masyarakat Batak berakar pada sistim kekerabatan Patrilineal dan mengikat anggota-anggotanya dalam hubungan triadik, yang disebut Dalian Na Tolu yaitu hubungan antar lineage yang berasal dari kelompok kekerabatan tertentu dalam satu clain (marga). Peta genelogis dan sejarah orang Batak hanya dapat ditelusuri melalui garis laki-laki. Anak perempuan tidak tercatat dalam peta tersebut.16 Sehingga pembagian harta warisan hanya diberikan kepada anak laki- laki saja.

12Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm 29.

13Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1997. hlm 38.

14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006. hlm 141

15Ediwarman, Monograf Metode Penelitian Hukum Edisi Peralihan I, Medan, ttp, 2008, hal 17.

16Sulistyowati Irianto, dalam Sihombing, T.M, Falsafah Batak (Tentang Kebiasaan- Kebiasaan Adat Istiadat), Balai Pustaka, Jakarta, 2000, hlm. 8.

(7)

Berdasarkan sistim kekerabatan patrilineal di Batak yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki. Apabila yang meninggal tidak meninggalkan anak laki-laki, maka bagian warisan itu jatuh pada kakek (ayah dari yang meninggal) atau kakek tidak ada, maka warisan jatuh kepada saudara laki-laki sedangkan wanita tidak mendapat hak mewaris .17

Konsep yang menyatakan anak perempuan tidak dianggap sebagai ahli waris berkaitan dengan konsep raja parhata maksudnya ahli waris selalu mengacu kepada anak laki-laki karena anak laki-laki yang dipandang mempunyai tanggung jawab besar untuk meneruskan keturunan ayahnya dan anak perempuan dianggap akan menjadi anggota clain suaminya.18

Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris di Tanah Patrilineal, terdiri atas:

a) Anak laki-laki

Anak laki-laki, yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh harta kekayaan. Baik harta pencaharian maupun harta pusaka. Jumlah harta kekayaan pewaris dibagi sama di antara para ahli waris. Misalnya pewaris mempunyai tiga orang anak laki-laki, maka masing-masing anak laki-laki akan mendapat bagian dari seluruh harta kekayaan termasuk harta pusaka. Apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, yang ada hanya anak perempuan dan isteri, maka harta pusaka tetap dapat dipakai, baik oleh anak-anak perempuan maupun oleh isteri seumur hidupnya, setelah itu harta pusaka kembali kepada asalnya atau kembali kepada "pengulihen".

b) Anak angkat

Dalam masyarakat Batak, anak angkat merupakan ahli waris yang kedudukannya sama seperti halnya anak sah, namun anak angkat ini hanya menjadi ahli waris terhadap harta pencaharian/ harta bersama orang tua angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka, anak angkat tidak berhak.

c) Ayah dan Ibu serta saudara-saudara sekandung si pewaris.

Apabila anak laki-laki yang sah maupun anak angkat tidak ada, maka yang menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung si pewaris yang mewaris bersama-sama.

d) Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.

Apabila anak laki-laki yang sah, anak angkat, maupun saudara sekandung pewaris dan ayah-ibu pewaris tidak ada, maka yang tampil sebagai ahli waris adalah keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.

e) Persekutuan adat

17Gultom Rajamarpodang, D.J, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak; Armanda, Medan, 1992, hlm 11.

18Sulistyowati Irianto, Op Cit., hlm.10

(8)

Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada, maka harta warisan jatuh kepada persekutuan adat. Ketentuan hukum adat waris di Tanah Batak menentukan, bahwa hanya keturunan laki-laki yang berhak untuk mewarisi harta pusaka. Yang dimaksud dengan harta pusaka atau barang adat, yaitu barang-barang adat yang tidak bergerak dan juga hewan atau pakaian- pakaian yang harganya mahal. Barang adat atau harta pusaka ini adalah barang kepunyaan marga atau berhubungan dengan kuasa kesain, yaitu "bagian dari kampung secara fisik".19 Barang-barang adat meliputi: tanah kering (ladang), hutan, dan kebun milik kesain.

Rumah atau jabu mempunyai potongan rumah adat, jambur atau sapo tempat menyimpan padi dari beberapa keluarga dan juga bahan-bahan untuk pembangunan, seperti ijuk, bambu, kayu, dan sebagainya yang dihasilkan hutan marga atau kesain.

B. Pembagian Harta Warisan dalam Masyarakat yang Menganut Sistem Kekerabatan Matrilinial Pada Suku Minangkabau

Dalam masyarakat matrilinial hubungan darah yang diutamakan garis keturunan ibu, kedudukan pihak isteri lebih utama daripada kedudukan suami.

Keutamaan itu dapat dilihat dalam hal, perkawinan meskipun asabah berperan sebagai wali nikah, laki-laki dijemput oleh perempuan (suami ikut keluarga isteri). Dalam hal kekuasaan orangtua, saudara laki-laki isteri mempunyai kekuasaan utama terhadap anak-anak (kekuasaan paman terhadap

anak kemanakan). Dalam kewarisan saudara laki-laki isteri berperan sebagai mamak kepala waris. Dan dalam perwalian, saudara laki-laki isteri lebih berperan

sebagai wali terhadap anak kemanakannya. Contoh masyarakat ini adalah Minangkabau.

M. Masoed Abidin mengatakan bahwa sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang

terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klan dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam sukunya sebagaimana yang berlaku dalam sistem

19Soerjono Soekanto, Kamus Hukum Adat. Alumni, Bandung, 1978, hlm. 121.

(9)

patrilineal. Oleh karena itu, waris dan sako-pusaka diturunkan menurut garis ibu pula.20

Pada dasarnya sistem masyarakat adat matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang,tanah pusaka dan tanah ladang. Bahkan dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta menurut Islam, harta pusaka kaum tetap dilindungi dengan istilah “pusako tinggi”, sedangkan harta yang boleh dibagi dimasukkan sebagai

“pusako randah”.

Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban

perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan,

sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya.

Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak.21

Tsuyoshi Kato dalam disertasinya yang dikutip M. Masoed Abidin menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri orang- orang Minang walaupun mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang sekalipun. Sistem matrilineal tampaknya belum akan meluntur sama sekali, walau kondisi-kondisi sosial lainnya sudah banyak yang berubah. Untuk dapat menjalankan sistem itu dengan baik, maka mereka yang akan menjalankan sistem itu haruslah orang Minangkabau itu sendiri. Untuk dapat menentukan seseorang itu orang Minangkabau atau tidak, ada beberapa ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai orang Minangkabau.

Selanjutnya, apabila ditelaah mengenai pewarisan harta pewarisan dalam hukum adat waris Minangkabau diketahui bahwa, harta kaum dalam masyarakat Minangkabau yang akan diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak terdiri atas:

1) Harta pusaka tinggi

20M. Masoed Abidin, Sistim Kekeluargaan Matrilineal, http://hmasoed.wordpress.com , Diakses Agustus, 2012

21 Ibid.

(10)

Harta pusaka tinggi harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, baik yang berupa tembilang basi yakni harta tua yang diwarisi turun temurun dari mamak kepada kemenakan, maupun tembilang perak, yakni harta yang diperoleh dari hasil harta tua, kedua jenis harta pusaka tinggi ini menurut hukum adat akan jatuh kepada kemenakan dan tidak boleh diwariskan kepada anak.

2) Harta pusaka rendah

Harta pusaka rendah merupakan harta yang dikuasasi secara turun temurun dari satu generasi.

3) Harta Pencaharian

Harta pencaharian merupakan harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko. Harta pencaharian ini bila pemiliknya meninggal dunia akan jatuh kepada jurainya sebagai harta pusaka rendah. Untuk hartapencaharian ini sejak tahun 1952 ninik-mamak dan alim ulama telah sepakat agar harta warisan ini diwariskan kepada anaknya. Perihal ini masih ada pendapat lain, yaitu "bahwa harta pencaharian harus diwariskan paling banyak 1/3 (sepertiga) dari harta pencaharian untuk kemenakan".22 4) Harta Suarang

Harta Suarang ini dalam pelaksanaannua terdapat beberapa penyebutan di antaranya, Harta Pasuarangan, Harta Basarikatan, Harta Kaduo-duo, atau Harta Salamo Baturutan, yaitu seluruh harta benda yang diperoleh secara bersama-sama oleh suami-isteri selama masa perkawinan.

Tidak termasuk ke dalam harta suarang ini, yakni harta bawaan suami atau harta tepatan isteri yang telah ada sebelum perkawinan berlangsung.

Dengan demikian jelaslah bahwa harta pencaharian berbeda dengan harta suarang.

Menurut hukum adat Minangkabau ahli waris dapat dibedakan antara:

1) Waris bertali darah

Waris bertali darah merupakan ahli waris kandung atau ahli waris sedarah yang terdiri atas waris satampok (waris setampuk), waris sejangka (waris sejengkal), dan waris saheto (waris sehasta). Masing- masing ahli waris yang termasuk waris bertali darah ini mewaris secara bergiliran. Artinya, selama waris bertali darah setampuk masih ada, maka waris bertali darah sejengkal belum berhak mewaris.

Demikian pula ahli waris seterusnya selama waris sejengkal masih ada, maka waris sehasta belum berhak mewaris.

2) Waris bertali adat

Waris bertali adat yaitu waris yang sesama ibu asalnya yang berhak memperoleh hak warisnya bila tidak ada sama sekali waris bertali darah. Setiap nagari di Minangkabau mempunyai nama dan pengertian tersendiri untuk waris bertali adat, sehingga waris bertali adat ini dibedakan sebagai berikut :

22Mansur Dt. Nagari Basa, Hukum Waris Tanah dan Peradilan Agama, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Padang: Sri Dharma,1968, hlm.137.

(11)

- menurut caranya menjadi waris: waris batali ameh, waris batali suto, waris batali budi, waris tambilang basi, waris tembilang perak.

- menurut jauh dekatnya terdiri atas: waris di bawah daguek, waris didado, waris di bawah pusat, waris di bawah lutut.

- menurut datangnya, yaitu : waris orang datang, waris air tawar, waris mahindu.

C. Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Dalam Perkawinan Antara Suku Batak dengan Suku Minangkabau.

Berkaitan dengan hukum adat waris Tanah Batak yang hanya mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris, maka melalui putusan Mahkamah Agung tanggal 1 November 1961 No.179 K/Sip/l961 telah terjadi upaya ke arah proses persamaan hak antara kaum wanita dan kaum pria di Tanah Karo, meskipun di sana-sini putusan Mahkamah Agung ini banyak mendapat tantangan, namun tidak sedikit pula pihak-pihak yang justru menyetujui hal tersebut.

Di bawah ini berturut-turut akan dipaparkan tentang beberapa pendapat dan kesimpulan yang dikemukakan oleh penulis buku “Hukum Perdata Adat Batak dalam rangka Pembentukan Hukum Nasional”, yaitu:

a) Hukum waris adalah sebagian dari adat, karena itu tidak dapat dipisahkan atau dinilai tersendiri dengan tidak memperhatikan faktor- faktor lain;

b) Selama kita masih menghormati keragaman adat-istiadat yang hidup dalam masyarakat, tidaklah tepat diadakan penilaian yang sama tentang hukum waris di seluruh Indonesia sebab kenyataan adat Batak, Minangkabau, Jawa, Bali, dan lain-lain itu berbeda-beda;

c) Adat istiadat yang masih dipegang teguh sebagai jiwa sesuatu masyarakat dan mampu menciptakan kesejahteraan dalam masyarakat tersebut, tidak perlu diubah secara radikal sebab sesuatu yang tidak sesuai akan berubah sendiri karena pengaruh lingkungan atau zaman;

d) Dalam adat di Tanah Karo, hak dan kewajiban, tugas dan kedudukan pria berbeda dengan wanita, bukan berarti kaum wanita lebih rendah dari kaum pria sebab pada dasarnya jiwa dan tujuan perlakuan orang tua bagi anak laki-laki dan perempuan dalam masalah waris, yaitu:

1) anak laki-laki sebagai ahli waris keluarga (marga) mewarisi harta benda yang menjadi tanda/lambing keluarga, terutama tanah dan benda-benda tidak bergerak lainnya;

2) anak perempuan mendapat pembagian yang adil untuk kepentingan sediri dan rumah tangganya kemudian;

3) Kemajuan zaman, kebutuhan hidup, dan sifat-sifat benda serta harta pusaka sekarang, pada waktu yang akan datang, dan pada masa yang lampau sangat jauh berbeda sehingga harus ada penyesuaian pengertian tentang hal tersebut;

4) Anggapan, bahwa anak perempuan secara mutlak tidak berhak atas warisan orang tuanya, dewasa ini tidak sesuai lagi sehingga dianggap perlu penyesuaian;

5) Anggapan, bahwa hak waris anak laki-laki sama dengan hak waris anak perempuan juga tidak sesuai dengan jiwa dan tujuan

(12)

adat di Tanah Karo, sehingga tidak baik untuk dipaksakan karena dapat merusak adat dan kebudayaan daerah tersebut.23

Mengenai Sistem Pewarisan Pembagian Warisan pada masyarakat dengan Sistem Kekerabatan Patrilineal ini Runtung juga memberikan pendapatnya bahwa:

Sistem pewarisan pada masyarakat adat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal sangat dipengaruhi oleh sistem perkawinannya.

Dimana dalam sistem kekerabatan ini dikenal dengan sistem pembayaran uang jujur, yang berakibat pada dua hal yaitu : beralihnya si istri dari klan orang tuanya kepada klan suaminya, dan penarikan garis keturunan yang didasarkan pada garis ayah (kebapaan) konsekuensi yuridis dari sistem perkawinan ini terhadap hukum waris adalah bahwa tidak dikenal adanya harta bersama dalam perkawinan, dan apabila suami meninggal dunia janda dan anak perempuan tidak termasuk kepada ahli waris.24

Dalam masyarakat yang mengenai sistem hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, kondisi tersebut diatas mengalami pergeseran mengikuti perkembangan masyarakatnya. Pergeseran tersebut antara lain disebabkan karena faktor-faktor kemajuan tingkat pendidikan, kemajuan teknologi informasi, dan kemajuan teknologi transportasi yang mendorong tingkat mobilitas penduduk yang cukup tinggi.

Berdasarkan putusan yang dijadikan yurisprudensi MARI diketahui terdapat 4 ini menegaskan sekurang-kurangnya 4 hal yaitu :

a. Mempertegas adanya harta bersama suami-istri dalam perkawinan;

b. Mempertegas bahwa janda sebagai ahli waris;

c. Mempertegas bahwa adanya persamaan hak mewaris anak laki-laki dan perempuan;

d. Menyatakan bahwa janda hanya berhak mewarisi harta warisan mendiang suaminya yang berasal dari harta berasama;

Demikian pula halnya dengan perasamaan hak mewaris anak laki-laki dan perempuan juga dapat dilihat pada beberapa yurisprudensi MARI, yaitu

1. Putusan MARI No. 179 K/Sip/1961 tgl. 23 Oktober 1961 “Mahkamah Agung menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, juga di Tanah Karo, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama-sama berhak atas harta warisan da;am arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama denagn bagian anak perempuan”.

2. Putusan MARI No. 415 K/Sip/1970 tgl 30 Juni 1970 “Pambeanan (penyerahan tanpa melepaskan hak milik) harus dianggap sebagai usaha untuk memperlunakkan hukum adat dimasa sebelum Perang Dunia II, dimana seorang anak perempuan tiada mempunyai hak waris.

Hukum adat didaerah Tapanuli juga telah berkembang kearah pemberian hak yang sama kepada anak perempuan seperti anak laki-laki, perkembangan mana sudahdiperkuat pula dengan suatu yurisprudensi tetap mengenai hukum waris didaerah tersebut”

23Ibid, Hal 54-55

24Runtung , Hukum Waris dan Pembagian Warisan pada Masyarakat yang Menganut Sistem Kekerabatan Patrilineal, Bahan Kuliah, Magister Kenotariatan, USU, Medan 2010.

(13)

3. Putusan MARI No. 1589 K/Sip/1974 tgl. 9 Februari 1978 “sesuai dengan yurisprudensi terhadap anak di Tapanuli juga di Lombok adilnya anak perempuan dijadikan ahli waris, sehingga dalam perkara ini penggugat untuk kasasi sebagai satu-satunya anak mewarisi seluruh peninggalan dari bapaknya”.25

Pergeseran pewarisan dalam sistim kemasyarakatan Patrilineal khususnya orang tuanya berbeda suku telah mengalami perubahan pemberian pewarisan dengan memberikan warisan kepada anak-anak perempuan di karenakan beberapa hal yaitu :

a. Agama

Agama sangat mempengaruhi perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam pewarisan secara hukum adat Batak khususnya hukum adat Batak Toba.

b. Kebudayaan

Kebudayaan, dalam hal ini orang Batak telah terasimilasi dengan sistim pewarisan masyarakat Jawa umumnya memakai sistim pewarisan Parental.

Dengan demikian akibat hukum pewarisan anak-anak dari pernikahan orang tuanya yang tidak satu suku baik anak laki-laki maupun perempuan sama-sama dapat menjadi ahli waris. Namun warisan seluruh yang berupa marga hanya dapat diteruskan anak laki-laki.

Demikian pula halnya apabila terjadi perkawinan berbeda suku antara warga masyarakat yang berasal dari masyarakat dari sistem kekerabatan matrilineal dengan sistem kekerabatan lainnya tentunya tidak mungkin dapat mengikuti ketentuan adat kekerabatan matrilineal sehingga dalam hal pewarisan dari harta benda dalam perkawinan juga tidak mengikuti ketentuan dalam kekerabatan matrilineal.

Kondisi ini juga terlihat dalam perkembangan jaman di dalam masyarakat adat matrilineal, di mana dengan adanya perkawinan beda suku maka telah terjadi pergeseran sistim pewarisan di dalam masyarakat Minang yang menganut sistem kekerabatan Matrilineal. Sistim pewarisan yang semula memakai sistim pewarisan Matrilineal juga dengan sendirinya berubah menjadi sistim pewarisan Parental.

Dalam bentuk sistim ini, baik itu anak perempuan maupun anak laki-laki berhak mendapatkan warisan. Mengenai kedudukan anak dalam perkawinan dianggap sama dan memilik hak yang sama pula.

25 Ibid.

(14)

Apabila orangtuanya meninggal dunia maka ia berhak atas warisan dari harta peninggalan orangtuanya bersama dengan saudara laki-laki. Warisan diberikan kepada anak perempuan dan anak laki-laki, karena mengikuti hukum nasional yang tidak membedakan antara anak laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya anak laki-laki dan perempuan punya nilai yang sama dihadapan penciptaNya hanya saja sistim budaya (suku) yang justru mengkonstruksikan perbedaan gender di tengah keluarga dan masyarakat.

Lembaga perkawinan sebagai suatu bentuk hubungan hukum dalam masyarakat tidak hanya menghasilkan keturunan saja sebagai generasi penerus dari sebuah keluarga, tetapi juga terdapat adanya harta dalam perkawinan baik yang berupa harta bawaan dari para pihak maupun harta yang diperoleh dalam perkawinan atau yang di sebut dengan harta Gonogini.

Namun dengan perkembangan jaman di dalam masyarakat adat Batak dan hal ini di dukung dengan adanya perkawinan beda suku maka telah terjadi pergeseran sistim pewarisan di dalam masyarakat Batak yang menganut sistem kekerabatan patrilineal. Sistim pewarisan yang semula memakai sistim pewarisan Patrilineal berubah menjadi sistim pewarisan Parental. Dalam bentuk sistim ini, tidak hanya anak laki-laki, anak perempuan pun mendapatkan warisan. Mengenai kedudukan anak perempuan dimana orang tuanya menikah beda suku mengatakan bahwa sekarang kedudukan perempuan dan anak laki-laki adalah sama sesuai dengan perumpamaan orang Batak menganut sistem kekerabatan patrilineal, ia dompat marmeme anak, do marmeme boru, sian na martua debata yang artinya bahwa anak laki-laki dan anak perempuan diperlakukan sama, sama-sama diberi susu dan kasih sayang tanpa ada diperlakukan yang berbeda.26

Pada umumnya masyarakat yang menganut Sistem Kekerabatan Patrilineal di perantauan dalam melaksanakan pembagian warisan dilakukan dengan musyawarah mufakat antara keluarga. Begitu juga dalam pembagian warisan dimana kedua orang tuanya berbeda suku (pria Batak dan Wanita Minangkabau atau sebaliknya) menggunakan musyawarah mufakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibu Nelmayanti Boru Purba mengatakan pembagian warisan

26Rahmat Simanjuntak, Warga Keturunan Masyarakat Adat yang menganut Sistem Kekerabatan Patrilineal, Wawancara, Juni 2012

(15)

dilaksanakan secara musyawarah mufakat, dengan semua keluarga datang berkumpul dan membicarakan mengenai warisan dan warisannya berupa rumah, yang apabila saya meninggal, maka harta warisan suaminya akan dijual dan hasil penjualan tersebut akan dibagikan sama rata kepada semua.27

Perubahan kebudayaan yang hanya memberikan warisan kepada anak laki- laki menjadikan pemberian warisan kepada anak perempuan disebabkan karena adanya pergeseran nilai-nilai kebudayaaan di dalam masyarakat Batak terutama yang menikah beda suku. Pergeseran pembagian warisan yang mengarah sistim pewarisan parental. Anak-anak yang beda suku telah tertanam kebudayaan adat setempat dan adanya pola pemikiran yang modern tentang pembagian warisan.

Menurut ibu Nelmayanti boru purba, sikap masyarakat adat yang menganut sistem kekerabatan patrilinial seperti halnya masyarakat batak dengan tidak membedakan antara anak laki-laki dan perempuan atau pemberian warisan kepada anak perempuan didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:28

a. Bahwa sebagai seorang manusia mereka memiliki kedudukan yang sama dimata Tuhan. Didasari hal itu, maka juga harus diakui keberadannya dan dihormati hak dan kewajibannya sebagai manusia.

b. Tidak adanya perbedaan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan keduanya diperlakukan sama.

c. Apabila orangtuanya meninggal dunia maka ia berhak atas warisan dari harta peninggalan orangtuanya bersama dengan saudara laki-laki.

Warisan diberikan kepada anak perempuan dan anak laki-laki, karena mengikuti hukum nasional yang tidak membedakan antara anak laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya anak laki-laki dan perempuan punya nilai yang sama dihadapan penciptaNya hanya saja sistem budaya (suku) yang justru mengkontruksikan perbedaan gender di tengah keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa pembagian harta warisan pada perkawinan antara suku Batak dengan suku Minangkabau dalam masyarakat

yang menganut sistem kekerabatan patrilinial telah mengalami perubahan, di

27Nelmayanti Boru Purba, Warga Keturunan Masyarakat Adat yang menganut Sistem Kekerabatan Patrilineal, Wawancara, Juni 2012

28Nelmayanti Boru Purba, Warga Keturunan Masyarakat Adat yang menganut Sistem Kekerabatan Patrilineal, Wawancara, Juni 2012

(16)

mana dalam pewarisan hukum waris yang dijalankan pada masyarakat yang melakukan perkawinan antara masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal pada umumnya menggunakan sistem pewarisan individual Hukum Adat, namun ada juga yang menggunakan sistem pewarisan berdasarkan Hukum Islam dengan sistem individual bilateral. Dengan kata lain, dalam perkawinan antar suku dalam hal pewarisan kepada anak-anak sebagai keturunan dari pernikahan orang tuanya yang tidak satu suku baik anak laki-laki maupun perempuan sama-sama dapat menjadi ahli waris dan berhak atas warisan dari orang tuanya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Hukum yang mengatur tentang pembagian warisan perkawinan antara masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilinial dengan masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilinial telah mengalami perubahan.

Perubahan hukum waris yang dijalankan oleh masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilinial dan matrilinial pada umumnya saat ini menggunakan sistem pewarisan individual, dengan berdasarkan pada ketentuan Hukum waris Islam (faraidh) bagi pasangan yang memeluk agama Islam. Dengan kata lain, dalam perkawinan antar sistem kekerabatan ini, apabila terjadi pewarisan maka kepada anak-anak sebagai keturunan dari pernikahan orang tuanya yang tidak satu suku, baik anak laki-laki maupun perempuan, sama- sama dapat menjadi ahli waris dan berhak atas warisan dari orang tuanya.

2. Pelaksanaan pembagian harta warisan dalam perkawinan antara suku Batak dengan suku Minangkabau tidak lagi dilakukan dengan sistem kekerabatan dari mana ia berasal tetapi dilakukan terlebih dahulu dengan kesepakatan dari para ahli waris. Atas dasar kesepakatan ini, dari hasil penelitian ditemukan pelaksanaan pembagian warisan dilakukan dengan jalan:

a. Para pihak/pasangan berbeda sistem kekerabatan yang beragama Islam menggunakan ketentuan hukum waris Islam (faraidh) sesuai dengan Al- quran dan sunnah.

b. Para pihak membagi seimbang diantara ahli waris.

(17)

B. Saran

1. Disarankan kepada masyarakat adat yang melakukan perkawinan antar sistem kekerabatan yang menggunakan ketentuan perkawinan secara nasional agar tidak lagi membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan khususnya dalam hal pewarisan sebab anak laki-laki dan perempuan di mata Tuhan adalah sama.

2. Disarankan kepada pengambil kebijakan agar dapat membuat suatu unifikasi hukum waris agar dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat khususnya bagi ahli waris.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku Teks

Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mualamat (Hukum Perdata Islam), FH- UII, 1993, Yogyakarta, 1993.

Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996.

Asshiddiqie, Jimly, Tata Urut Peraturan Perundang-undangan dan Problematika Peraturan Daerah, makalah, 2005.

Anwar Dessy, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Abditama, Surabaya, 2001.

Basa Mansur Dt. Nagari, Hukum Waris Tanah dan Peradilan Agama, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Padang: Sri Dharma,1968.

Djumairi Achmad. Hukum Perdata II. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo.

Semarang, 1990.

Dherana Tjokorda Raka, Beberapa Segi Hukum Adat Waris Bali; Majalah Hukum No. 2 Tahun Kedua, Jakarta: Yayasan Penelitian dan Pengembangan Hukum (Law Center), 1975.

Friedmann W, Legal Teori, alih bahasa Mohammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan Problem Keadilan, cet. I, CV. Rajawali, Jakarta, 1990.

Hadikusuma Hilman, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999 ---, Pengantar Hukum Adat, Mandar Maju, Bandung, 1992.

Hartono, Sunarjati, Dari Hukum Antar Golongan Ke Hukum Antar Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.

Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tintamas, Jakarta, 1968.

Heddy Ahimsa-Putra.”Jodoh Orang Batak Karo: Ditentukan atau Tidak ?”, dalam Masyarakat Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jilid XIII.

1986, No. 2.

---, Hukum Kewarisan Bilateral, Tinta Emas, Jakarta, 1974.

Ichtijanto, H., Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Djuhana S. Pradja (Pengantar), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, Rosda Karya, Bandung, 1994.

(18)

Irianto Sulistyowati, dalam Sihombing, T.M, Falsafah Batak (Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat), Balai Pustaka, Jakarta, 2000.

Klassen J. G dan JE Eggens, Hukum Waris Bagian I, (disadur oleh Kelompok Belajar Esa).

Kusumaatmadja, Mochtar, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986.

---, Mochtar, Konsep-Konsep Pembangunan Hukum dalam Pembangunan, Alumni-Bandung, 2002.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994.

Masri Singarimbun, dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989.

Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.

Mertokusumo Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001.

Nawawi, Perkawinan Campuran (Problematika dan solusinya), Widyaiswara Madya, Balai Diklat Keagamaan, Palembang, 2005.

Nuruddin Amiur & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004.

Poerwadarminta W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994.

Prawirohamidjijo R. Soetojo, hlm.35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta, 2002.

Projodikoro, Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1991.

Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984.

Rajamarpodang Gultom, D.J, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak;

Armanda, Medan, 1992.

Ramulyo, M. Idris, “Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i dan Wasiat Wajib di Mesir tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu menurut Islam”. Majalah Hukum dan Pembangunan No. 2 Thn. XII Maret 1982, FHUI, Jakarta, 1982.

Rasjidi Lili, Dasar-dasar Filsafat Hukum, cet. VII, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Runtung, Hukum Waris dan Pembagian Warisan pada Masyarakat yang Menganut Sistem Kekerabatan Patrilineal, Bahan Kuliah, Magister Kenotariatan, USU, Medan 2009.

Saptono Ade, Rumah Tangga “Jamin”, Konstruksi Orang Jawa, Minang, atau Negara ?, Seminar Internasional “Progressive Development Of Marriage Law”, Universitas Pancasila, Jakarta, 2010.

Setiyowati Wahyuni, Hukum Perdata I (Hukum Keluarga). F.H. Universitas 17 Agustus (UNTAG). Semarang 1997.

Sing Ko Tjay, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga, Itikad Baik, Semarang, 1981.

Singarimbun Masri, dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989.

Soekanto, Soeyono, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1966.

---, Pokok-pokok Sosiologi, LP3S, Jakarta, 1986.

(19)

---, dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

---, Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2006.

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982.

Sunggono Bambang, Metodelogi Penelitian, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Suparman Eman, Hukum Waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW), Rafika Aditama, Bandung, 2005.

Surachmad Winarno, Dasar dan Teknik Penelitian Research Pengantar, Bandung, Alumni, 1982.

Suryabrata Sunadi, Metode Penelitian, Raja Grafindo, Jakarta, 1998.

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Andi Offset, Yogyakarta, 1989.

Suwondo Nani, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1985.

Ter Haar terjemahan Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980.

Thalib Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1981.

Tjokroamidjojo Bintoro dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988.

Winardi, Pengantar Metodologi Research, Bandung Alumni, 1989.

Wuisman J.J.J. M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Penyunting:

M. Hisyam), FE UI, Jakarta, 1996.

Yunus Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973.

B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, tentang Peraturan Pelaksana Undang– Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

C. Internet

http://id.wikipedia.org/wiki/Matrilineal, diakses 10 Oktober 2011, jam 23.20 WIB.

http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat, diakses 10 Oktober 2011, 23.28 WIB http://www.kamusbesar.com/43450/pewarisan, diakses 10 Oktober 2011, jam

23.33 WIB.

Referensi

Dokumen terkait

13 Sangat diharapkan dalam hal proses kreatif fotografer dalam menciptakan karya seni fotografi dengan objek “Busana Tari Bali dalam fashion photography”

Microsoft PowerPoint atau Microsoft Office PowerPoint adalah sebuah program komputer untuk presentasi yang dikembangkan oleh Microsoft di dalam paket aplikasi

Penelitian ini dirancang untuk menguji pengaruh antar variabel independen yaitu karakteristik auditor dan kompetensi auditor terhadap variabel dependen yaitu kemampuan

Lima jalan diantaranya dipilih sebagai kawasan penelitian karena keberadaannya yang dekat dengan area perkuliahan serta memiliki komposisi tanaman jalur hijau jalan

Etika (ilmu akhlak) bersifat teoritis sementara moral, susila, akhlak lebih bersifat praktis. Artinya moral itu berbicara soal mana yang baik dan mana yang

Dalam kesempatan ini, Integrasia Utama Training Center (IUTC) yang bekerjasama dengan Center for Remote Sensing Institut Teknologi Bandung (CRS ITB) menyusun program

Beberapa kelebihan metode demonstrasi yaitu perhatian siswa dapat dipusatkan pada hal-hal yang dianggap penting oleh guru sehingga hal-hal yang penting dapat diamati

Suster Marie Bonaventura (Incheon) dan Suster Maria Lusi (Pekalongan) dengan senang hati telah menerima untuk tinggal di rumah induk sesudah menyelesaikan kursus bahasa