• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ahmad Sarwat, Lc.,MA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Ahmad Sarwat, Lc.,MA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Ahmad Sarwat, Lc.,MA

(2)

2

Daftar Isi

Daftar Isi ... 2

A. Pengertian Shulh ... 4

B. Masyru’iyyah Shulh ... 8

1. Al-Qur’an ... 8

2. As-Sunnah ... 10

C. Hikmah Akad Shulh ... 13

D. Macam-macam Shulh ... 15

1. Berdasarkan Hukumnya ... 15

a. Tergugat Mengaku ... 15

b. Tergugat Menyangkal ... 15

c. Tergugat Diam ... 17

(3)

3

2. Berdasarkan Bentuknya ... 18

a. Pembebasan (Ibro’) ... 18

b. Pertukaran (Mu’awadhah) ... 20

E. Syarat Shulh ... 22

1. Terkait Mushalah ‘Anhu ... 22

a. Tidak Terkait Hak Allah ... 22

b. Merupakan Hak Milik Mushalih ... 23

2. Terkait Mushalah ‘Alaih ... 24

a. Harus Berupa Harta Mutaqawwam ... 24

b. Dimiliki Oleh Mushalih ... 24

c. Harus Jelas/Diketahui ... 24

(4)

4

A. Pengertian Shulh

Shulh secara bahasa artinya berdamai, lawan dari berselisih. Dalam istilah fiqih, shulh adalah:

ينفلتلمخا ينب ةقفاولما لى ا ابه لصوتيو ،موصلخا ينب عانزلا ابه عفتري ةدقاعم

Akad/kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa dan perselisihan dan agar tercapai mufakat antara pihak-pihak yang bersengketa.

Rukun akad shulh terdiri dari:

1) Shigah (ijab kabul)

2) Mushalih (penggugat dan tergugat)

3) Mushalah ‘anhu (objek yang disengketakan) 4) Mushaalah ‘alaih (objek pengganti)

(5)

5

Contoh kasus: Ahmad mengaku bahwa Budi pernah berhutang 10 juta kepadanya. Budi awalnya mengelak, akan tetapi setelah ditunjukkan beberapa bukti, Budi tidak lagi bisa berkelit. Akhirnya keduanya sepakat bahwa Budi cukup mengganti utangnya kepada Ahmad dengan motor miliknya senilai 7 juta. Maka, Ahmad dan Budi disebut sebagai mushalih. 10 juta hutang Budi kepada Ahmad disebut mushalah ‘anhu. Dan motor Budi sebagai pengganti hutangnya kepada Ahmad disebut mushalah ‘alaih.

Akad shulh bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan antara dua pihak dengan cara salah satu pihak di antara keduanya mengalah dengan merelakan sebagian atau seluruh haknya demi tercapainya perdamaian dan kesepakatan.

Dua orang yang sedang bersengketa ini dihadapkan pada setidaknya tiga pilihan: pertama membiarkan sengketa itu terus berlanjut dan tidak ada ujungnya, kedua mengangkat perkara ke pengadilan di mana meskipun sengketa dapat selesai di tangan hakim tetapi belum tentu kebencian dan perselisihan di antara keduanya mereda bahkan sebaliknya bisa bertambah runcing jika salah satu pihak merasa keputusan pengadilan dianggap tidak adil

(6)

6

baginya. Dan ketiga merupakan pilihan yang paling baik yaitu dengan mengadakan kesepakatan damai (shulh) dengan cara salah satu pihak mengalah demi tercapainya kata mufakat, tentu dibutuhkan hati yang lapang sehingga pihak yang mengalah dapat merelakan sebagian atau seluruh haknya agar tercapai kata mufakat.

Akad shulh pada dasarnya bukan akad yang berdiri sendiri. Akad yang terjadi bisa berbeda tergantung bagaimana cara penyelesaian sengketanya. Jika shulh-nya dilakukan dengan cara merelakan hak, baik sebagian atau seluruhnya maka akad yang terjadi adalah hibah. Jika dilakukan dengan cara mengganti hak penggugat dengan barang lain maka akadnya adalah jual-beli, jika ditukar dengan jasa akadnya ijarah dan seterusnya. Oleh karenanya aturan dan ketentuan shulh mengikuti ketentuan akad yang menyertainya.

Akad jual-beli, ijarah hibah dan lain-lain tersebut dapat disebut sebagai shulh jika diawali dengan adanya sengketa antara kedua belah pihak. Contoh: Ahmad merelakan sebagian hutang yang dipinjam oleh Budi dan pada saat ditagih Budi tidak menyangkal dan mengakui utangnya pada Ahmad, maka ini bukan shulh

(7)

7

melainkan hibah biasa karena tidak diawali dengan perselisihan/sengketa. Lain halnya jika saat ditagih Budi tidak mengakui bahwa dia punya hutang pada Ahmad, lalu karena Ahmad punya bukti akhirnya Budi mengakuinya. Setelah bernegosiasi keduanya sepakat Budi hanya wajib membayar setengah hutangnya pada Ahmad. Inilah yang dinamakan dengan shulh.

(8)

8

B. Masyru’iyyah Shulh

Shulh adalah akad yang disyariatkan dalam Islam berdasarkan beberapa landasan dalil baik al-Quran maupun sunnah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

يساانلا ا ريناب ٍح الَ رص ا روَأ ٍفو مررعام روَأ ٍةاقاد اصيب ارامَأ رنام الَ ِ ا ر مهُااور انَ رنيم ٍيْيثاك يفِ ا ريْاخ الَ ِ

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. (Q.S. an-Nisa: 114)

رعاب رنيم رتافااخ ٌةَأاررما ين

ِ ااو ٌريْاخ محرل ُّصلااو ۚ اًحرل مص اامم انَرياب ااحيل رصمي رنَأ اامي ريْالاع احاانمج الَاف ا ًضااررع ا روَأ ا ًزو مشمن ااهيل ِ

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-

(9)

9

benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka). (Q.S. An-Nisa: 128)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan jika seorang istri khawatir suaminya pergi atau berpaling darinya maka tidak mengapa dia merelakan sebagian haknya seperti nafkah berupa pakaian, tempat tinggal atau yang lainnya agar suami tidak berpaling.

Dalam hal ini istri mengalah dengan merelakan haknya demi menjaga keutuhan rumah tangga. Mengalah ini juga pernah dilakukan oleh salah seorang istri Nabi Muhammad ﷺ yaitu Saudah binti Zam’ah saat menyadari usianya sudah sepuh sehingga ia merelakan hak menginapnya dengan Rasulullah untuk diberikan pada Aisyah r.a. Dalam Sahih Muslim diriwayatkan:

رناع

،اة اشيئااع رتالااق

اام : متريَأار ًةَأاررما اباحَأ اال ا ِ رنَأ انومكَأ يفِ

ااهيخ الَ رسيم رنيم

اةادرو اس يترنيب

،اةاعرماز ينيم ٍةَأاررما

اايْيف

،ٌةاديح رتالااق اامالاف : ، رتا يبِاك رتالاعاج ااهامرواي رنيم يلو مسار يالل الّ اص مالل يهريالاع االّ اساو

،اة اشيئااعيل رتالااق اي :

الو مسار

،يالل رداق مترلاعاج ييمرواي اكرنيم

،اة اشيئااعيل ان اكَاف « ملو مسار يالل الّ اص مالل يهريالاع

،االّ اساو

مم يسرقاي

اة اشيئااعيل

(10)

10

، ي رينامرواي ااهامرواي امرواياو اةادرو اس )لّسم هاور( .

2. As-Sunnah

يدرباع منرب يْيثاك نع يهريالاع م اللَّا الّ اص ي اللَّا الو مسار انَأ يهي داج رناع يهييبَأ رناع ُّ ينِ ازممرلا ٍفرواع ينرب ويرر اعَ ينرب ي اللَّا

انومميل رسممرلااو اًمااراح الاحَأ روَأ ًلَ الَاح اماراح اًحرل مص الَ ا اينيميل رسممرلا ا ريناب ٌزيئااج محرل ُّصلا الااق االّ اساو ِ م مش الّاع

رميهيطو

اًمااراح الاحَأ روَأ ًلَ الَاح اماراح ا ًطر اش الَ ا ِ

Dari Katsir bin Abdullah bin Amru bin 'Auf Al Muzani dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Perdamaian diperbolehkan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin boleh menentukan syarat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (H.R.

Tirmidzi)

(11)

11 يدرباع نع

ينرب ي اللَّا يفِ يهريالاع م الَ اًنرياد ٍدار رداح يبَِأ انربا اضَااقات مهانَأ مها ابِرخَأ ٍ يلِاام انرب ابرعاك انَأ ٍ يلِاام ينرب يبرعاك

ملو مسار ااهاعي اسَ اتَّاح اامم متُااو رصَأ رتاعافاتررااف يديج رسامرلا يفِ االّ اساو يهريالاع م اللَّا الّ اص ي اللَّا يلو مسار يدرهاع ياللَّا

الّ اص

اتَّاح االّ اساو يهريالاع م اللَّا الّ اص ي اللَّا ملو مسار اامي ريْال ا اجاراخاف يهيترياب يفِ اومهاو االّ اساو يهريالاع م اللَّا ِ يهيتاررجمح افر يسِ اف اشاك

يداييب ارا اشَأاف ي اللَّا الو مسار اي اكريابال الااق مبرعاك اي الااق ٍ يلِاام انرب ابرعاك ىاد انَاو اكينرياد رنيم ار رط اشلا رع اض رنَأ يه

يه يضرقااف رممق االّ اساو يهريالاع م اللَّا الّ اص ي اللَّا ملو مسار الااق ي اللَّا الو مسار اي مترلاعاف رداق ٌبرعاك الااق

Dari ‘Abdullah bin Ka’b bin Malik bahwa [Ka’b bin Malik] mengabarkan kepadanya, bahwa ia menagih hutang kepada Ibnu Abu Hadrad pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam masjid hingga suara keduanya meninggi dan didengar oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang sedang berada di rumah. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian keluar menemui keduanya sambil menyingkap kain gorden kamar. Beliau memanggil Ka'b bin Malik: "Wahai Ka'b!" Ka'b bin Malik menjawab, "Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu." Beliau memberi isyarat dengan tangannya agar ia membebaskan setengah dari hutangnya. Ka'b bin Malik

(12)

12

berkata, "Wahai Rasulullah, aku sudah lakukan." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda: “Sekarang bayarlah.” (H.R. Bukhari)

Selain dalil-dalil di atas, terdapat perkataan dari Umar radhiyallahu anhu tentang dibolehkannya shulh, bahkan dalam beberapa kondisi shulh bisa menjadi cara terbaik menyelesaikan sengketa dari pada menempuh jalur hukum di pengadilan.

نئاغضلا منَيب ثروي ءاضقلا لصف ن اف ،اوحلطصي تَّح موصلخا اودر

Biarkanlah orang-orang yang bersengketa agar melakukan kesepakatan damai di antara mereka sebab keputusan pengadilan dapat menimbulkan rasa saling benci di antara mereka.

(13)

13

C. Hikmah Akad Shulh

Akad shulh disyariatkan dengan beberapa hikmah yang dapat tergambar pada poin-poin berikut:

1) Shulh adalah cara untuk membebaskan diri sepenuhnya dari tuntutan kewajiban terhadap orang lain. Dalam beberapa kasus ketika dua orang bersengketa lalu diangkat perkaranya di pengadilan dan salah satu pihak diputuskan sebagai pemenangnya belum tentu dirinya telah lepas dari tuntutan, karena keputusan hakim belum tentu benar dan pihak yang kalah merasa belum dipenuhi haknya. Sedangkan dengan cara shulh maka tuntutan tergugat telah dianggap gugur karena shulh dilakukan atas dasar suka sama suka, masing-masing ridha dengan kesepakatan yang dibuat bersama.

2) Shulh bukan hanya menyelesaikan perkara tetapi juga menyelesaikan dengan jalan damai sehingga menghilangkan kebencian antara

(14)

14

penggugat dan tergugat dan menjaga hubungan yang harmonis di antara keduanya. Tidak jarang ketika kasus sudah dibawa ke pengadilan yang ada adalah kebencian dan perseteruan antara keduanya semakin menjadi sebab salah satu pihak tidak terima dengan putusan hakim.

3) Dalam shulh yang dikedepankan adalah sisi akhlak yaitu kerendahan hati untuk mengalah demi tercapainya perdamaian dan berakhirnya perselisihan bukan soal siapa yang benar dan siapa yang salah. Jika semua orang yang sedang bersengketa dapat mengedepankan rasa kekeluargaan dan persaudaraan, rela mengalah demi tercapainya kemaslahatan bersama niscaya pengadilan akan tutup.

4) Tidak harus mengeluarkan waktu, tenaga dan biaya sebagaimana jika kasus persengketaan diangkat ke meja hijau.

(15)

15

D. Macam-macam Shulh

1. Berdasarkan Hukumnya

Dilihat dari hukumnya, shulh terbagi menjadi tiga macam. Di antara tiga itu satu hukumnya disepakati boleh, dan dua lainnya ulama berbeda pendapat antara yang membolehkan dan tidak membolehkan.

a. Tergugat Mengaku

Shulh pada kasus ini pihak tergugat mengakui gugatan yang dilayangkan oleh penggugat kepadanya contohnya Budi berhutang pada Ahmad lalu ketika ditagih Budi mengakui hutangnya tetapi enggan untuk membayar. Akhirnya Ahmad merelakan setengahnya agar Budi mau membayar. Pada kasus ini semua ulama sepakat hukumnya boleh.

b. Tergugat Menyangkal

Pada kasus kedua ini, pihak tergugat mengingkari gugatan pihak

(16)

16

penggugat. Misalnya pada kasus di atas Budi tidak mengaku pernah berhutang pada Ahmad, tetapi Ahmad bersikeras bahwa Budi pernah berhutang padanya.

Lalu akhirnya diambil keputusan Budi membayar setengah dari utang tersebut pada Ahmad meski dia tidak merasa pernah berutang agar perselisihan dapat selesai.

Pada kasus kedua ini, ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah memandang hukumnya boleh.

Sedangkan Syafi’iyyah tidak membolehkan.

• Jumhur

Menurut jumhur, shulh pada kasus di mana tergugat mengingkari gugatan, hukumnya boleh dengan syarat penggugat yakin bahwa gugatannya benar.

Maka dalam hal ini pihak tergugat mengalah dengan membayar sebagian utang yang diklaim oleh penggugat semata-mata agar dapat menyelesaikan perselisihan antara keduanya meskipun dia mengingkarinya. Jumhur berdalil dengan keumuman hadits-hadits yang menyatakan disyariatkannya shulh. Imam Abu Hanifah menyatakan:

(17)

17 ركَن لَا لّع حلصلا نوكيام زوج أ

Shulh yang paling boleh adalah shulh atas pengingkaran (tergugat).

• Syafi’iyyah

Mazhab Syafi’i mensyaratkan shulh sah dilakukan jika ada pengakuan dari pihak tergugat. Jika pihak tergugat menyangkal gugatan maka tidak bisa dilakukan shulh antara keduanya. Sebab, dengan adanya penyangkalan dari pihak tergugat boleh jadi si penggugat telah berbohong dan berarti ketika gugatan dikabulkan dia telah memakan harta haram. Dan sebaliknya bila tergugat berbohong berarti dia yang telah memakan harta haram.

Misalnya dalam kasus di atas Budi mengingkari utangnya pada Ahmad lalu agar masalah cepat selesai akhirnya Budi membayar meskipun dia tidak merasa berutang. Hal ini menurut Syafi’iyyah mirip dengan risywah (suap), si penggugat dalam kasus ini berarti telah memakan harta haram.

c. Tergugat Diam

(18)

18

Sedangkan pada kasus ketiga, pihak tergugat diam tidak mengakui atau pun mengingkari. Dalam hal ini pun ulama berbeda pendapat sebagaimana pada kasus kedua. Jumhur memandang boleh, sedangkan Syafi’iyyah tidak membolehkan karena bagi mereka diamnya tergugat adalah tanda bahwa dia mengingkari gugatan terhadapnya.

2. Berdasarkan Bentuknya a. Pembebasan (Ibro’)

Shulh dapat berupa pembebasan terhadap sebagian atau seluruh harta baik harta itu berupa barang atau hutang. Contohnya, Ahmad mengaku bahwa Budi pernah berhutang 10 juta kepadanya. Budi awalnya mengelak, akan tetapi setelah ditunjukkan beberapa bukti, Budi tidak lagi bisa berkelit. Akhirnya keduanya bernegosiasi dan sampai pada kesepakatan bahwa Budi wajib membayar setengahnya saja yaitu 5 juta saja. Dalam kasus ini Ahmad merelakan sebagian haknya yaitu setengah dari piutangnya senilai 5 juta.

Shulh jenis ini dalam mazhab Syafi’i disebut shulh hathithah

(19)

19

(pengurangan/diskon). Akad yang terjadi di sini pada hakikatnya adalah akad hibah sehingga hukumnya mengikuti hukum hibah di mana hibah dianggap sah ketika barang yang dihibahkan telah diterima oleh penerima hibah. Oleh karenanya, tidak sah jika hibah tersebut digantung dengan suatu syarat sebab menjadikan tidak adanya serah terima pada saat akad. Contoh: Ahmad berkata pada Budi, “Saya relakan setengah hutang saya, kalau bapak saya sudah pulang dari Kota.”

Adapun shulh terkait pembebasan hutang, ada beberapa permasalahan di mana para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Antara lain:

1) Mempercepat pelunasan dan mengurangi jumlah hutang

a) Jumhur berpendapat tidak boleh sebab terkait dengan riba (mengaitkan jumlah hutang dengan tempo pelunasan).

b) Sedangkan Salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah boleh dengan alasan justru itu kebalikan dari riba. Riba itu jika ada penambahan hutang karena adanya penambahan tempo pelunasan. Di

(20)

20

sini berlaku sebaliknya, bukannya tambahan tapi pengurangan, mengurangi jumlah pelunasan dan mempercepat tempo pelunasan.

2) Menambah tempo pelunasan tanpa menambah/mengurangi jumlah hutang a) Syafi’i dan Hanbali tidak sah

b) Hanafi sah

3) Menambah tempo pelunasan dan mengurangi jumlah hutang a) Hanafiyah dan Malikiyah sah

b) Syafi’iyyah sah pengurangannya, tidak sah penambahan temponya.

c) Hanabilah: tidak sah dua-duanya.

b. Pertukaran (Mu’awadhah)

Shulh juga dapat berupa pertukaran atau penggantian yaitu menukarkan kewajiban tergugat kepada penggugat dengan harta lain sesuai kesepakatan.

Misalnya Ahmad menggugat rumah yang ditinggali oleh Budi setelah

(21)

21

bernegosiasi akhirnya keduanya sepakat bahwa Budi harus mengganti rumah yang digugat tersebut dengan sebidang tanah pada Ahmad. Atau yang digugat berupa hutang misalnya Ahmad menggugat utang yang diambil Budi senilai 10 juta lalu keduanya sepakat Budi mengganti hutang tersebut dengan motor miliknya. Dalam hal ini berlaku hukum jual-beli sehingga berlaku ketentuan jual-beli padanya.

(22)

22

E. Syarat Shulh

1. Terkait Mushalah ‘Anhu a. Tidak Terkait Hak Allah

Para ulama memberi syarat bahwa mushalah ‘anhu atau objek shulh bukan sesuatu yang terkait dengan hak Allah seperti had zina, pencurian, minum khamr, qadzaf dan lain-lain. Ulama sepakat shulh tidak boleh dilakukan pada sesuatu yang terkait hak Allah. Contohnya, seorang pencuri meminta pada korbannya agar tidak dilaporkan pada polisi dengan membayar sejumlah uang.

Hal ini tidak diperbolehkan sebab hukuman bagi pencuri adalah hak Allah bukan hak manusia, tidak bisa dibatalkan oleh siapa pun.

Adapun hak pada sesama manusia boleh dilakukan shulh padanya seperti kewajiban harta baik berupa ‘ain (barang tunai) maupun dain (utang) atau kewajiban non harta seperti qishash atau ta’zir.

(23)

23

b. Merupakan Hak Milik Mushalih

Mushalah ‘anhu juga harus merupakan hak bagi mushalih (penggugat).

Jika hak itu milik orang lain tentu penggugat tidak berhak menuntut apa pun dari tergugat. Misalnya Budi dan Ahmad bersengketa terkait hutang di mana Ahmad mengklaim memiliki piutang pada Budi, lalu pamannya Ahmad yaitu Ali mendatangi Budi untuk melakukan shulh yaitu dengan kesepakatan Budi cukup membayar setengah dari utangnya pada Ahmad, tetapi uang itu kemudian masuk ke kantong pribadinya Ali. Maka shulh di sini tentu tidak boleh sebab yang punya hak adalah Ahmad bukan Ali, kecuali jika Ali diutus sebagai wakil dari Ahmad.

Contoh lain adalah pungutan liar yang ditarik oleh oknum aparat dari para pengendara yang melanggar. Agar tidak kena denda, oknum tersebut menawarkan jalan ‘damai’ pada si pengendara dengan membayar sejumlah uang yang masuk ke kantong pribadi aparat tersebut. Shulh seperti ini batil sebab memberi denda pada pelanggar adalah hak negara bukan hak aparat, aparat hanyalah wakil dari negara/pemerintah untuk menegakkan hukum.

(24)

24

2. Terkait Mushalah ‘Alaih

Mushalah ‘alaih adalah harta pengganti dari kewajiban yang dituntut oleh penggugat kepada tergugat sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan perselisihan. Mushalah ‘alaih harus memenuhi syarat-syarat berikut:

a. Harus Berupa Harta Mutaqawwam

Harta mutaqawwam adalah harta yang diakui dan legal menurut syara’

untuk dimiliki oleh seorang muslim. Maka mushalah ‘alaih tidak boleh berupa harta yang tidak boleh dimiliki oleh seorang muslim seperti khamr, babi, barang najis dan sebagainya.

b. Dimiliki Oleh Mushalih

c. Harus Jelas/Diketahui

Referensi

Dokumen terkait

Peta kendali adalah suatu alat yang secara grafis digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi apakah suatu aktivitas/proses berada dalam pengendalian mutu secara statistika atau

Bentuk wisata di Desa Punten melalui peningkatan Sumber Daya Alam (SDA) yaitu agrowisata dengan sektor wisata edukasi pertanian jeruk keprok punten sebagai pengganti wisata

[r]

Hasil analisis data kuantitatif dari validator Berdasarkan hasil analisis data yang telah disajikan, diketahui bahwa hasil penilaian dari 1 orang ahli media pada

(1) Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) tidak menetapkan persetujuan bersama dengan Bupati terhadap rancangan peraturan daerah

Berkaitan dengan efisiensi, propeller yang mampu mendorong ke luar buritan kapal lebih banyak air dengan putaran lebih rendah akan memiliki daya dorong yang lebih

urusan pribadi. Namun di sisi lain juga ada pertimbangan yang tidak kalah pentingnya, yaitu berbisnis dengan lawan jenis, tentu kurang sehat. Apalagi rekan bisnis itu seorang