• Tidak ada hasil yang ditemukan

BROVEN EKAYANTA ( ) DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BROVEN EKAYANTA ( ) DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK LINGKUNGAN KEBIJAKAN INDONESIA DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM (IMPLEMENTASI PERATURAN PRESIDEN NO 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR KEHUTANAN DAN

LAHAN GAMBUT)

Skripsi

FREDICK BROVEN EKAYANTA (120906037)

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

Fredick Broven Ekayanta (120906037)

POLITIK LINGKUNGAN KEBIJAKAN INDONESIA DALAM

MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM (IMPLEMENTASI PERATURAN PRESIDEN NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR KEHUTANAN DAN LAHAN GAMBUT)

Rincian isi skripsi: xi + 110 halaman, 8 tabel, 1 gambar, 22 buku (dari tahun 1983-2014), 5 jurnal, 5 skripsi dan tesis, 11 media cetak, 5 situs internet

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kebijakan Indonesia dalam merespon perubahan iklim, yakni Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).

Kemudian menganalisis bagaimana kebijakan ini diimplementasinya khusus pada sektor kehutanan dan lahan gambut. RAN-GRK menargetkan pada 2020 Indonesia berhasil menurunkan emisi 26% atau 41% (dengan bantuan internasional). Dari target tersebut, sektor kehutanan dan lahan gambut berkontribusi sebesar 87,6%.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kebijakan publik, teori politik lingkungan dan teori ekonomi politik. Teori kebijakan publik digunakan untuk melihat bagaimana RAN-GRK merupakan respon pemerintah untuk menghadapi persoalan iklim dan ditujukan demi kepentingan masyarakat.

Teori politik lingkungan berkaitan dengan bagimana interaksi antara manusia dengan sumber daya alam yang harus memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Sementara teori ekonomi politik melihat dari sudut pandang bahwa pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan ekonomi manusia.

Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka yang berasal dari pemerintah maupun lembaga non pemerintah.

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa implementasi aksi mitigasi di lapangan masih terkendala banyak hal seperti anggaran yang tidak rasional dan

(3)

proporsional, penegakan hukum yang kurang tegas, komitmen yang belum menyeluruh, hingga kondisi sosial politik yang belum mendukung. Komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam penurunan emisi global tidak didukung dengan implementasi di lapangan. Faktanya di sektor kehutanan dan lahan gambut, kebakaran hutan dan lahan gambut atau deforestasi masih terus terjadi.

Alhasil diperkirakan Indonesia tidak akan mampu memenuhi target penurunan emisinya pada 2020 mendatang.

Kata kunci: perubahan iklim, kebijakan publik, kehutanan dan lahan gambut

(4)

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

Fredick Broven Ekayanta (120906037)

INDONESIA GREEN POLITIC POLICY TOWARD CLIMATE CHANGE (IMPLEMENTATION OF PRESIDENT REGULATION NUMBER 61 YEAR 2011 ABOUT NATIONAL ACTION PLAN REDUCTION OF GREENHOUSE GAS SECTOR OF FORESTRY AND PEATLAND)

Content: xi + 110 pages, 8 tables, 1 graphic, 22 books (publication from 1983- 2014), 5 journals, 5 theses, 11 newspapers, 5 internet sites

ABSTRACT

This research describes Indonesia policy toward climate change, President Regulation Number 61 Year 2011 about National Action Plan Reduction of Greenhouse Gas (RAN-GRK). Then analyzes the implementation of this regulation on forestry and peatland sector. RAN-GRK target in 2020 Indonesia will reduce emissions for 26% or 41% (with international help). From this target, forestry and peatland has contribution till 87,6%.

The theories in this research are public policy theory, green politic theory, and economy politic theory. Public policy is used to explain that RAN-GRK is the Indonesia government response to climate change and for common interest. Green politic theory related to interaction between human and natural resources that has to pay attention to natural preservation. Meanwhile economy politic theory views from natural resources exploiting perspective to fulfill human needs. The research use library research with the government or non-government data.

The research conclude that the mitigation action has several problem such as irrational and unproportional budget, irresolute law enforcement, the commitment is not total, and unsupporting social politic condition. Indonesia‟s commitment to contributing in global emmision reduction is not shown in implementation. The fact forest and land fire or deforestation still happens. The research estimates Indonesia might be fail to complete the 2020 target.

Keywords: climate change, public policy, forest and peatland

(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Pengesahan

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh:

Nama : Fredick Broven Ekayanta NIM : 120906037

Judul : Polik Lingkungan Kebijakan Indonesia dalam Menghadapi Perubahan Iklim (Implementasi Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut)

Dilaksanakan pada:

Hari :

Tanggal :

Pukul :

Tempat : Majelis Penguji Ketua

Nama : ( )

NIP :

Penguji Utama

Nama : ( )

NIP :

Penguji Tamu

Nama : ( )

NIP :

(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Fredick Broven Ekayanta NIM : 120906037

Departemen : Ilmu Politik

Judul : Politik Lingkungan Kebijakan Indonesia dalam Menghadapi Perubahan Iklim (Implementasi Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut)

Menyetujui:

Ketua Departemen Ilmu Politik, Dosen Pembimbing

Dra T Irmayani, M.Si Husnul Isa Harahap

NIP. 196806301994032001 NIP. 198212312010121001

Mengetahui:

Wakil Dekan I,

Husni Thamrin, S.Sos, M.SP NIP. 197203082005021001

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan pada Allah SWT yang senantiasa memberi petunjuk dan membuka pikiran sehingga skripsi berjudul “Politik Lingkungan Kebijakan Indonesia dalam Menghadapi Perubahan Iklim (Implementasi Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca) “ini terselesaikan.

Perubahan iklim saat ini sudah menjadi salah satu isu mayor dalam hubungan internasional. Karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan masa depan bumi yang lebih layak huni di masa depan. Sebagai bentuk komitmen untuk aksi mitigasi terhadap dampak perubahan iklim, Indonesia memiliki Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).

Sektor kehutanan dan lahan gambut menjadi prioritas utama dalam aksi ini. Selain berfungsi sebagai penyerap karbon terbesar, kehutanan dan lahan gambut pun berpotensi menjadi penyumbang terbesar emisi. Indonesia sendiri merupakan negara dengan hutan tropis yang sangat luas, terbesar ketiga di dunia.

Penulis sampaikan terima kasih atas bantuan dari berbagai pihak berupa bimbingan, petunjuk, saran, data hingga dukungan. Terima kasih kepada kedua orang tua, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU, Kepala Departemen Ilmu Politik Dra T Irmayani, M.Si, dosen penasihat akademik penulis Bapak Dr Warjio, MA, dosen pembimbing Bapak Husnul Isa Harahap, M.Si, seluruh dosen di Departemen Ilmu Politik USU, serta semua teman-teman.

Penulis menyadari masih ada berbagai kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat dinantikan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang memerlukannya.

Medan, Agustus 2016

Fredick Broven Ekayanta

(8)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Abstrak ... ii

Halaman Pengesahan ... v

Halaman Persetujuan ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi... viii

Daftar Tabel dan Gambar ... xi

BAB I: Pendahuluan 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Permasalahan Penelitian... 14

1.4 Tujuan Penelitian ... 14

1.5 Manfaat Penelitian ... 15

1.6 Kerangka Teori... 16

1.6.1 Politik Lingkungan ... 16

1.6.2 Teori Kebijakan Publik ... 19

1.6.3 Teori Ekonomi Politik ... 23

1.6.4 Studi Terdahulu ... 25

1.7 Metode Penelitian... 29

1.7.1 Jenis Penelitian ... 30

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data ... 30

1.7.3 Teknik Analisis Data ... 31

(9)

1.8 Sistematika Penulisan... 32

BAB II: Kebijakan Indonesia dalam Menghadapi Perubahan Iklim 2.1 Perkembangan UNFCCC dan Keterlibatan Indonesia ... 35

2.2 Dasar-dasar Keluarnya RAN-GRK ... 44

2.3 RAN-GRK dalam Sistem Perencanaan Pembangunan ... 52

2.4 Kondisi Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut Indonesia dalam Konteks Perubahan Iklim ... 57

BAB III: Implementasi Perpres No 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut 3.1 Pengkoordinasian Antarlembaga dalam RAN-GRK ... 65

3.2 Keterlibatan Daerah dalam Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca ... 73

3.3 Hasil Evaluasi RAN-GRK Periode 2011-2015 ... 81

3.3.1 Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan ... 83

3.3.2 Rehabilitasi Hutan dan Lahan ... 87

3.3.3 Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Hutan Rakyat .. 88

3.3.4 Pemberantasan Illegal Logging ... 89

3.3.5 Pencegahan Deforestasi ... 91

3.3.6 Pemberdayaan Masyarakat... 92

3.4 Target Penurunan Emisi dalam RAN-GRK Sulit Tercapai ... 94

BAB IV: Penutup 4.1 Kesimpulan ... 102

4.2 Saran ... 104

Daftar Pustaka ... 105 Daftar Lampiran:

Lampiran 1. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

(10)

Lampiran 2. Kegiatan Inti RAN-GRK Bidang Kehutanan dan Lahan Gambut Lampiran 3. Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2014

Lampiran 4. Rekapitulasi Pelaporan dan Evaluasi Penurunan RAD-GRK Bidang Kehutanan Tahun 2010-2014

Lampiran 5. Luas Kawasan Hutan dan Perairan Per Provinsi Tahun 2014 Lampiran 5. Angka Deforestasi Dalam dan Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Periode 2010-2014

Lampiran 6. Sebaran Titik Panas (Hotspot) di Seluruh Indonesia Per Provinsi Tahun 2014

Lampiran 7. Luas Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2014

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Target Penurunan Emisi GRK Per Bidang ... 67

Tabel 3.2 Kerangka Institusi Pendukung Pelaksana RAN-GRK ... 68

Tabel 3.3 Kegiatan Utama dalam RAN-GRK... 69

Tabel 3.4 Target Penurunan Emisi GRK Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut ... 71

Tabel 3.5 Daftar Dokumen RAD-GRK ... 76

Tabel 3.6 Daftar Emisi Provinsi dalam RAD-GRK ... 77

Tabel 3.7 Aksi Mitigasi Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut Riau ... 78

Tabel 3.8 Rekapitulasi Emisi RAD-GRK Kehutanan dan Lahan Gambut Tahun 2010-2015 ... 81

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 RAN-GRK dalam Sistem Perencanaan Pembangunan.. ... .. 53

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lingkungan hidup merupakan barang umum (commons), dimana ia dimiliki semua orang namun tidak menjadi milik siapapun. Akhirnya eksploitasi berlebihan terhadap komoditas bebas yang dimiliki bersama tersebut terjadi.

Tingkah laku manusia ini menunjukkan sifat manusia yang menyia-nyiakan lingkungan hidup. Garret Hardin dalam bukunya The Tragedy of the Commons menyebut hal ini sebagai ‘the tragedy of commons’.1

Salah satu isu lingkungan hidup yang memberikan pengaruh signifikan terhadap sistem kehidupan di bumi ini dan telah menjadi perhatian banyak pihak saat ini ialah perubahan iklim (climate change). Ilmuwan Inggris Sir David King bahkan mengatakan bahwa isu perubahan iklim lebih mengkhawatirkan daripada isu terorisme.2

Menurut laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), aktivitas manusia memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap masalah lingkungan yang paling penting di abad ini, yaitu pemanasan global (global warming). IPCC menegaskan bahwa pemanasan sistem iklim global benar terjadi dan dapat dibuktikan dari observasi peningkatan temperatur rata-rata udara dan laut di dunia, serta perluasan salju dan es yang mencair dan mengakibatkan

1 Makmur Keliat, Agus Catur Aryanto, dkk. 2014. Tanggung Jawab Negara.. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung, 2014. hal. 125

2 Deni Bram, Mumu Muhajir, dkk. 2013. Dinamika Wacana Perubahan Iklim dan Keterkaitannya dengan Hukum dan Tenurial di Indonesia: Sebuah Kajian Kepustakaan. Jakarta: Epistema Institue, 2013. hal. 1

(13)

peningkatan volume air laut. Dari penjelasan sains, pemanasan global dapat terjadi karena adanya peningkatan kandungan gas rumah kaca dalam atmosfer.

Gas rumah kaca tersebut, seperti misalnya karbon dioksida dan metana, menyebabkan panas matahari yang seharusnya direfleksikan bumi keluar dari atmosfer, terperangkap dalam lapisan atmosfer dan kembali ke bumi.

Berkurangnya lahan hijau yang dapat menyerap gas-gas rumah kaca di bumi menyebabkan peningkatan kandungan gas rumah kaca dalam atmosfer dan menghalangi refleksi panas matahari yang seharusnya kembali ke atmosfer.

Peningkatan suhu bumi dipercaya menjadi sumber utama dari masalah lingkungan yang terjadi pada abad-21.3

Isu tentang perubahan iklim ini diperkenalkan kepada khalayak ramai oleh Bill McKibben, seorang penulis dan aktivis lingkungan hidup melalui bukunya The End of Nature yang terbit pada tahun 1989.4 Secara sederhana perubahan iklim dipahami sebagai fenomena global yang dipicu kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan alih guna lahan.5 Menurut Mike Hulme, perubahan iklim bukanlah sebuah masalah yang menunggu untuk dipecahkan. Perubahan iklim lebih merupakan soal fenomena lingkungan, budaya, dan politik, yang mendesak kita untuk menajamkan kembali corak berpikir tentang cara kita menjalankan kehidupan. Perubahan iklim adalah

3 Ibid hal. 127

4 Susan Goldberg. 2015. Liputan serta Sampul. National Geographic Indonesia Edisi November

5 Daniel Murdiyarso. 2004. Protokol Kyoto: Implikasinya Bagi Negara Berkembang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hal 1

(14)

fenomena yang mungkin baru akan terjadi berpuluh tahun lagi, tetapi ia memaksa kita untuk memikirkannya sekarang juga.6

Perubahan iklim merupakan kenyataan konkret yang memperparah bencana alam. Pemanasan global yang diakibatkan emisi gas rumah kaca ini menyebabkan kenaikan permukaan air laut dan mengancam jutaan orang yang tinggal di daerah pesisir.7 Bumi rata-rata menghangat 0,85 derajat Celsius sejak akhir abad ke-19. Sebagian besar pemanasan terjadi sejak 1960. Beberapa wilayah dimana sebagian besar terletak di dekat Antartika sebenarnya mendingin sejak 1960, sementara beberapa bagian Arktika menghangat hingga 9 derajat Celsius.

Siklus iklim alami menyebabkan pemanasan terjadi secara tidak merata dan teratur, tetapi tidak menyebabkan tren pemanasan itu sendiri, yang mengalahkan efek pendinginan akibat abu gunung berapi. Dalam setengah abad terakhir, pemanasan ini berbanding lurus dengan lonjakan emisi karbon dari dunia kita yang terindustrialisasi dengan cepat.8

IPCC mengkaji bahwa implikasi dari perubahan iklim akan menghasilkan beberapa kemungkinan terhadap bumi. Ada enam kemungkinan yang berbeda, dalam kata lain prediksi atas apa yang akan terjadi pada masa depan, tergantung dari beberapa faktor seperti pertumbuhan ekonomi, kelangkaan sumber daya alam, peningkatan populasi, pengembangan teknologi rendah karbon, dan perbaikan kesenjangan antar wilayah. Kemungkinan terbesarnya, pemasanan global akan

6 Majalah Prisma Vol 29 No 2 Edisi April 2010, hal 71

7 Corinne Breuze. 2015. “Mencapai Kesepakatan Iklim Universal dan Ambisius.” Kompas. Edisi 1 Agustus.

hal. 7

8 Steven Moshner, Robert Rohde. 2015. “Inilah Tantangannya.” National Geographic Indonesia. Edisi November. hal. 30-31

(15)

terus terjadi, suhu bumi akan naik antara 1,1 hingga 2,9 derajat Celsius.

Sementara permukaan air laut akan meningkat antara 18 hingga 38 sentimeter pada akhir abad.9

Menurut Bank Dunia, dua pertiga dari akumulasi gas karbondioksida di atmosfer terkait dengan penggunaan bahan bakar fosil berasal dari dan dihasilkan oleh negara-negara industri maju. Negara-negara berkembang menyumbang sepertiga dari emisi gas karbondioksida yang berasal dari bahan energi, meskipun kecenderungan dan laju peningkatan konsumsi dan intensitas penggunaan energi berbasis bahan bakar fosil di negara berkembang ternyata juga meningkat cukup pesat. Dalam hal pemanfaatan energi berbahan bakar fosil secara global, sektor pembangkit tenaga listrik adalah penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar (26%), disusul sektor industri (19%), transportasi (13%), dan bangunan gedung- gedung (8%). Sisanya berasal dari emisi alih guna lahan hutan, pertanian, dan limbah sampah.10

Ada dua cara atau kunci utama untuk menanggulangi perubahan iklim, yaitu “mitigasi” dan “adaptasi”.11 Pertama, mitigasi untuk mencegah, menghentikan, menurunkan atau setidaknya membatasi pelepasan emisi gas buangan, gas pencemar udara (gas rumah kaca) di atmosfer. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara mengurangi penggunaan sumber daya energi yang banyak menghasilkan emisi karbon dioksida. Upaya mitigasi juga bisa dilakukan dengan cara menambah, memperkuat atau memperluas sistem bumi yang berfungsi

9 Anthony Giddens. 2009. The Politics of Climate Change. Cambridge: Polity Press. hal. 21

10 Op.cit. Majalah Prisma Vol 29. hal. 6

11 Ibid. hal. 6-7

(16)

sebagai penyerap dan penyimpan karbon secara alami, yaitu hutan dan lautan agar emisi gas rumah kaca yang terlepas di udara dapat ditangkap, diserap dan disimpan kembali di dalam pepohonan, hutan, lahan gambut, dan dalam kondisi tertentu, laut. Tujuan utama dari upaya mitigasi adalah untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu dan membahayakan sistem iklim bumi.

Kedua adalah adaptasi untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan yang terjadi. Bagaimanapun juga, dampak perubahan iklim tak mungkin bisa dihindari, apalagi dicegah. Upaya adaptasi yang bisa dilakukan adalah dengan langkah-langkah antisipasi kapan dan di mana akan terjadi, kemudian memperkirakan apa, bagaimana, dan seberapa besar dampaknya, serta bagaimana mengurangi risiko dan menanggulangi dampak itu secara dini dan efektif sehingga tidak mengakibatkan bencana atau risiko kerugian lebih besar.

Karena itu, langkah pertama adaptasi adalah dengan mengetahui “di mana” lokasi dan “siapa” kelompok masyarakat yang tinggal dan hidup di kawasan atau daerah tertentu yang sangat rentan (vulnerable) terhadap gangguan alam dan perubahan iklim. Kerangka program adaptasi efektif umumnya memiliki empat unsur penting, yaitu (1) perkiraan dan peta kerawanan/kerentanan sosial dan lingkungan untuk mengetahui kondisi dan memperkirakan risiko dampak; (2) upaya peningkatan kesadaran masyarakat dan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan, khususnya di daerah dan sektor rawan bencana, agar mampu mengantisipasi, merencanakan program dan menanggulangi dampak perubahan

(17)

iklim yang akan terjadi; (3) penyusunan atau reformasi kebijakan publik serta penguatan lembaga-lembaga publik yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan mengelola sumber daya alam dan lingkungan secara lestari, serta mampu menanggulangi masalah perubahan iklim secara efektif; dan (4) membangun sistem ekonomi dan strategi pembangunan rendah karbon yang memberi insentif bagi investasi prasarana dan program efisiensi energi, pengelolaan hutan lestari, dan pengembangan sumber-sumber energi terbarukan.

Pada bulan Juni tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil dilaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development/UNCED), telah disepakati yang bersifat mengikat secara hukum (legally binding) tentang Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) yang mulai berlaku sejak 21 Maret 1994. KTT Bumi tersebut telah ditandatangani oleh 154 wakil negara. Sejak tahun 1995, para pihak telah bertemu setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference on Parties, COP) guna menerapkan dan mengimplementasikan kerangka kerja tersebut. COP adalah kelembagaan yang mendukung proses negosiasi dibawah payung UNFCCC.12

Hingga saat ini COP sudah dilaksanakan 21 kali. COP-1 berlangsung tahun 1995 di Berlin, Jerman yang kemudian menghasilkan Berlin Mandate.

COP-3 diselenggarakan tahun 1997 di Kyoto, Jepang yang kemudian

12 Modul: Kebijakan Nasional Perubahan Iklim. 2013. Jakarta: The Nature Conservancy. hal. 7

(18)

menghasilkan Kyoto Protocol. COP-11 diselenggarakan tahun 2005 di Montreal, Kanada, kemudian menghasilkan Montreal Action Plan yang merupakan kesepakatan yang bertujuan untuk memperpanjang Kyoto Protocol setelah berakhir 2012 dan mengosiasikan pengurangan lebih jauh emisi gas rumah kaca.

Indonesia sendiri pernah menjadi tuan rumah ketika COP-13 pada tahun 2007 dilaksanakan di Bali, yang menghasilkan Bali Action Plan.

Adapun COP-21 dilaksanakan pada Desember 2015 yang berlangsung di Paris, Perancis. COP-21 ini menghasilkan Kesepakatan Paris (Paris Agreement), yang diharapkan menggantikan posisi Protokol Kyoto yang telah mengalami penurunan eksistensinya dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca global yang mengikat semua negara. Draf kesepakatan tersebut mencakup komponen mitigasi, adaptasi, pendanaan, pengembangan dan transfer teknologi, pengembangan kapasitas, dan transparansi informasi dalam aksi adaptasi dan mitigasi global selama ini. Pada COP-21 ini pula setiap negara, termasuk Indonesia, harus menyampaikan Intended Nationally Determined Contribution (INDC) sebagai bentuk komitmennya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 dalam langkah mitigasi perubahan iklim. Penyampaian INDC tersebut menjadi bagian penting untuk mengukur sejauh mana setiap negara pihak telah, sedang dan akan melaksanakan kebijakan-kebijakan nasional dalam rangka emisi gas rumah kaca.13

13 Lisbet Sihombing. 2015. “Komitmen Indonesia pada COP-21 UNFCCC”. Jurnal Info Singkat Hubungan Internasional. Vol VII No 23 Desember 2015. hal.6

(19)

Indonesia termasuk salah satu negara yang terlibat sejak pertama kali dibentuknya UNFCCC. Indonesia sendiri sudah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim dalam Undang Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNFCCC. Dalam konsideran UU tersebut disebutkan salah satunya bahwa Indonesia mempunyai peranan strategis dalam struktur iklim geografis dunia karena sebagai negara tropis ekuator yang mempunyai hutan tropis basah terbesar di dunia dan negara kepulauan yang memiliki laut terluas di dunia mempunyai fungsi sebagai penyerap gas rumah kaca yang besar. Oleh karena itu Indonesia perlu ikut aktif mengambil bagian bersama-sama dengan anggota masyarakat internasional lainnya dalam upaya mencegah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Selain itu Indonesia juga telah meratifikasi Protokol Kyoto dalam UU No 17 Tahun 2004.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia sangat rentan.

Kenaikan permukaan laut mengancam 42 juta orang Indonesia yang tinggal di wilayah dengan ketinggian kurang dari 10 meter dari atas permukaan laut.

Kenaikan permukaan air laut setinggi 50 sentimeter saja akan memperparah penurunan muka tanah yang sudah terjadi di Teluk Jakarta dan secara permanen akan menggenangi bagian utara Jakarta dan Bekasi.14 Indonesia sendiri merupakan pemilik pantai terpanjang nomor dua di dunia. Kawasan pantai amat rentan terhadap perubahan iklim karena ancaman kenaikan muka air laut. Ketua Dewan Pengarah Pengendalian Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmaja

14 Op.cit. Corinne

(20)

memprediksi sampai akhir abad ini diperkirakan 1.500 pulau kecil di Indonesia akan tenggelam.15

Pemerintah Republik Indonesia telah menghasilkan beberapa peraturan dan kebijakan mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Beberapa peraturan yang berkaitan langsung dengan perubahan iklim antara lain adalah:16

 Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK)

 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional

 Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan

Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

 Permenhut No P.68 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan

Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)

 Permenhut No P.30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)

 Permenhut No P.36 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha

Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

15 “Indonesia Mau Keadilan: Dokumen Penurunan Emisi yang Diniatkan Menunggu Masukan.” Kompas.

Edisi 3 September 2015. hal.13

16 Op.cit. Modul: Kebijakan Nasional Perubahan Iklim. hal.25

(21)

 Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+

 Permenhut No P.20 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan

 Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2013 tentang Perubahan atas

Keputusan Presiden No 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+)

Dari fakta-fakta yang diuraikan diatas peneliti tertarik untuk membahas tentang kebijakan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim yang dituangkan dalam Perpres No 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.

1.2 Rumusan Masalah

Di Indonesia masalah lingkungan ibarat bola salju yang menggelinding dari puncak gunung. Semakin lama semakin besar dan sulit diatasi. Betapa tidak, berjuta Ha hutan tiap tahunnya harus ditebang hanya untuk kepentingan segelintir orang, dengan mengorbankan ribuan bahkan jutaan orang yang harus mati karena eksploitasi perusahaan tambang, jutaan Ha tanah akan terampas dan sebagainya yang berdampak langsung maupun tidak langsung dari aktivitas tersebut.17

17 Rosita Uli Sihombing. 2013. “Dewasa Berpolitik, Bijak Berlingkungan.” Majalah Suara Bumi. Th IX Edisi 4 Juli-Agustus. hal. 20

(22)

Posisi geografis Indonesia sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim sehingga dikeluarkan peraturan yang mengatur tentang upaya penanggulangan melalui mitigasi perubahan iklim. Dalam COP-13 UNFCCC di Bali pada 2007 telah disepakati Bali Action Plan yang berisi REDD sebagai salah satu aksi mitigasi nasional/internasional yang perlu ditingkatkan. Dari hal tersebut Indonesia mengeluarkan Perpres No 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). RAN-GRK ini difokuskan pada lima sektor penyumbang gas emisi rumah kaca, yaitu kehutanan dan lahan gambut; pertanian; energi dan transportasi; industri; dan pengolahan limbah.

Dari data Kementerian Lingkungan Hidup, pada 2004 sektor penghasil emisi karbon adalah alih fungsi lahan dan kehutanan (36%), kebakaran gambut (26%), energi (22%), limbah (9%), pertanian (5%), dan industri (2%). Selama empat dekade terakhir hutan alam permanen telah berkurang dalam skala yang sangat besar. Kawasan hutan dengan “kondisi kritis” juga meluas dengan sangat cepat, termasuk meluasnya kawasan hutan tanpa tutupan hutan sama sekali. Lahan kritis pun menjadi tantangan yang cukup besar untuk dikelola serta merupakan kawasan rawan kebakaran terutama pada setiap musim kemarau. Perubahan dan dinamika perubahan lahan di Indonesia didorong oleh kegiatan-kegiatan seperti pemanenan kayu, perluasan lahan pertanian, dan kebakaran hutan khususnya di lahan gambut.18

18 Pedoman Pelaksanaan RAN-GRK. 2011 Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. hal. 46

(23)

Bidang kehutanan dan lahan gambut diperkirakan memiliki potensi terbesar untuk menurunkan emisi GRK dengan biaya terendah.19 Hutan dalam konteks perubahan iklim dapat mengambil peran, baik sebagai penyerap dan penyimpan karbon dioksida (sink) maupun sebagai pengemisi karbon dioksida (source). Intervensi manusia dapat membuat kondisi suatu hutan menjadi net sink atau sebagai net source. Kontribusi penebangan hutan atau deforestasi terhadap emisi global – sebesar 17% menurut catatan IPCC 2007 – menunjukkan bahwa intervensi manusia terhadap sumber daya hutan berkontribusi negatif pada upaya mitigasi perubahan iklim.20

Indonesia memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Republik Demokratik Kongo. Namun menurut World Resource Institute, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72%. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985- 1997 tercatat 1,6 juta Ha per tahun, pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta Ha per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia.21 Meskipun usaha reforestasi sudah dilakukan dalam satu dekade terakhir, luas lahan hutan masih mengalami penurunan, dari 104.747.566 Ha pada tahun 2000, menjadi 98.242.002 Ha pada tahun 2011. Hal ini sangat disayangkan karena hutan tropis merupakan ekosistem yang kaya akan

19 Ibid. hal. 24

20 Op.cit. Majalah Prisma Vol 29. hal. 61

21 Popi Tubulele. 2014. “Kebakaran Hutan di Indonesia dan Proses Penegakan Hukumnya Sebagai Komitmen dalam Mengatasi Dampak Perubahan Iklim”. Jurnal Supremasi Hukum. Vol 3 No 2 Desember. hal.126-127

(24)

keberagaman hayati dan memberikan ecosystem services yang besar bagi rakyat Indonesia.22

Emisi dari deforestasi di negara berkembang, termasuk Indonesia, akan terus meningkat karena pertumbuhan penduduk, keperluan pembangunan, dan seterusnya. Terutama apabila tidak ada intervensi kebijakan (policy approaches dan positive incentives) yang memungkinkan negara berkembang mengurangi deforestasi dengan tetap menjamin keberlanjutan pembangunan negara berkembang. Adapun akar masalah yang menjadi pemicu kerusakan dan pengurangan luas hutan, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional adalah diakibatkan adanya permintaan pasar dunia yang tinggi atas produk hasil hutan. Indonesia pernah menjadi eksportir kayu lapis dan kayu gergaji terbesar pada awal tahun 1990-an.

Strategi yang dilakukan sektor kehutanan dan lahan gambut adalah:

menekan laju deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi GRK;

meningkatkan penanaman untuk meningkatkan penyerapan GRK; meningkatkan upaya pengamanan kawasan hutan dari kebakaran dan pembalakan liar dan penerapan sustainable forest management; melakukan perbaikan tata air (jaringan) dan blok-blok pembagi, serta menstabilkan elevasi muka air pada jaringan tata air rawa; mengoptimalisasikan sumber daya lahan dan air tanpa melakukan deforestasi; menerapkan teknologi pengelolaan lahan dan budidaya

22 Op.cit. Makmur. hal.130

(25)

pertanian dengan emisi GRK serendah mungkin dan mengabsorbsi karbon dioksida secara optimal.23

1.3 Permasalahan Penelitian

Areal hutan Indonesia yang mencapai 2/3 luas wilayah (132,4 juta Ha dari 187,8 juta Ha) berpotensi menjadi penyerap dan penyimpan karbon yang signifikan. Namun, ia juga menjadi penyumbang emisi sejalan dengan perkembangan penduduk dan keperluang pembangunan serta aktivitas manusia yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari. Sudah diterapkan berbagai kebijakan dan dukungan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, menyelematkan hutan yang masih tersisa dan merehabilitasi/merestorasi hutan yang telah rusak. Perpres No 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca telah disahkan pada 28 Oktober 2011 dan mulai 2012 pedoman penyusunan rencana aksi di daerah mulai disusun dan disosialisasikan. Dari rumusan diatas, penulis mengangkat permasalahan penelitian sebagai berikut: “Bagaimana implementasi Perpres No 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca khususnya sektor kehutanan dan lahan gambut dalam rangka menghadapi perubahan iklim pada tahun 2011-2015?”

1.4 Tujuan Penelitian

23 Laporan Kegiatan Koordinasi. 2011. Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.

(26)

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan kebijakan Indonesia terhadap perubahan iklim.

2. Untuk menganalisis bagaimana implementasi Perpres No 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dalam rangka menghadapi perubahan iklim pada sektor kehutanan dan lahan gambut.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Mengasah kemampuan peneliti dalam melakukan sebuah proses penelitian yang bersifat ilmiah dan memberikan pengetahuan baru bagi peneliti sendiri.

2. Secara teoritis, penelitian ini merupakan salah satu kajian ilmu politik yang membahas tentang tantangan-tantangan yang akan dihadapi Indonesia dalam menerapkan kebijakan terhadap perubahan iklim, sehingga dapat memberi kontribusi dalam ilmu politik dalam bentuk kajian politik lingkungan. Hasil penelitian juga dapat memberi kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam ilmu politik, serta menjadi referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik FISIP USU.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi kepada pemerintah dan masyarakat mengenai tantangan-tantangan dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia serta dapat menjadi bahan kajian akademisi sebagai pembelajaran politik lingkungan.

(27)

1.6 Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan bagian yang sangat penting karena di dalam kerangka teori akan dimuat teori-teori yang relevan dalam menjelaskan permasalahan yang sedang diteliti. Kerangka teori ini sebagai landasan berpikir atau titik tolak dalam penelitian. Oleh sebab itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan diri dari sudut mana masalah penelitian akan ditelaah.24

1.6.1 Politik Lingkungan

Dalam perkembangan politik internasional, isu lingkungan hidup selalu dianggap sebagai masalah low politics yang minor dan hanya menjadi perhatian ahli di bidangnya. Berdasarkan beberapa literatur, perhatian terhadap masalah lingkungan hidup dalam politik global mulai meningkat secara signifikan sejak awal tahun 1970an dan 1980an. Kemunculan masalah lingkungan kemudian mulai menarik perhatian publik dan media sehingga meningkatkan status isu-isu lingkungan dalam politik dunia. Peningkatan perhatian ini merupakan respon dari masalah eksploitasi lapisan bumi yang menyebabkan kelangkaan beberapa sumber daya alam.25

Suara-suara protes yang awalnya hanya dari kalangan minoritas pecinta lingkungan seperti ilmuwan, aktivis dan kelas menengah, kini telah mampu membawa isu ini manjadi perhatian masyarakat internasional. Hal ini bisa dilihat

24 H Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal. 39-40

25 Op.cit. Makmur. hal.134

(28)

dari realisasi konferensi Lingkungan Hidup PBB untuk pertama kalinya pada tahun 1972 di Stockholm yang membahas Hukum Internasional Lingkungan.

Sejak saat itu, kerjasama Internasional dalam permasalahan lingkungan hidup dimulai oleh negara-negara maju dan berkembang. Bahkan, konferensi ini juga membuka debat internasional mengenai permasalahan lingkungan hidup.26

Aktivis gerakan lingkungan hidup pun terus tumbuh dan berkembang, khususnya di kawasan Eropa dan Amerika. Mereka mengecam modernitas, dengan produk industrialisasinya, sebagai salah satu penyebab terjadinya permasalahan lingkungan yang semakin akut. Sebagai contoh, kelemahan utama dari cara hidup masyarakat industri dengan etos ekspansi adalah cara hidup yang tidak sustainable dari saat ini dan saat yang akan datang.27

Ada beberapa ilmuwan yang memberikan defenisi berbeda tentang politik lingkungan (ecology politic), diantaranya adalah Gary Paterson, Blaike dan Brookfield, dan Rocheleau.28 Menurut Paterson, politik lingkungan adalah pendekatan yang menggabungkan masalah lingkungan dengan politik ekonomi untuk mewakili suatu pergantian tensi yang dinamik antara lingkungan dan manusia, dan antara kelompok yang bermacam-macam di dalam masyarakat dalam skala individu lokal pada transnasional secara keseluruhan. Menurut Blaike dan Brookfield, politik lingkungan adalah suatu bingkai untuk memahami kompleksitas saling berhubungan antara masyarakat lokal, nasional, politik

26 Apriwan. 2011. “Teori Hijau: Alternatif dalam Perkembangan Teori Hubungan Internasional”. Jurnal Multiversa. Vol 2 No 1. Hal 35

27 Ibid

28 Herman Hidayat. 2005. Politik Lingkungan Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta:

Yayasan Obor. hal. 9

(29)

ekonomi global dan ekosistem. Dan menurut Rocheleau, politik lingkungan adalah sebagai kecenderungan untuk melihat mendalam dinamika lingkungan dan memfokuskan atas suatu sistem manusia.29

John Barry melihat bahwa politik lingkungan yang disebutnya juga dengan politik hijau didasarkan pada tiga prinsip utama, yakni sebuah teori distribusi (intergerenasional) keadilan, sebuah komitmen terhadap proses demokratisasi, dan usaha untuk mencapai keberlangsungan ekologi. Di samping itu, A Dobson mempunyai dua defenisi karakteristik dari politik lingkungan. Pertama adalah menolak pandangan antroposentrisme. Pandangan antroposentrisme berpendapat bahwa nilai moral berpusat pada manusia. Bertentangan dengan antroposentrisme ini adalah ekosentrisme. Kedua adalah perlunya batasan pertumbuhan, yang merupakan penyebab munculnya krisis lingkungan secara alami. Pandangan politik lingkungan ini merupakan pengalaman dari pertumbuhan ekonomi secara eksponensial selama dua abad terakhir, yang merupakan penyebab dari kerusakan lingkungan yang ada sekarang ini.30

Jon Schubart menyatakan bahwa politik lingkungan mencoba untuk menelusuri empat hal, yakni: (1) bagaimana struktur sosial dan alam saling menentukan, dan bagaimana keduanya membentuk akses terhadap sumber daya alam; (2) bagaimana konsep alam dan masyarakat yang telah dikonstruksikan menentukan interaksi manusia dengan lingkungan; (3) koneksi antara akses

29 Ibid.

30 Op.cit Apriwan. Hal 45-46

(30)

terhadap dan kontrol atas sumber daya dan perubahan lingkungan; (4) hasil sosial dari perubahan lingkungan.

Diantara seluruh aktor yang terlibat dalam usaha pengaturan dampak lingkungan, termasuk organisasi non pemerintah (NGO) dan organisasi internasional, negara masih menjadi aktor yang paling penting dalam politik lingkungan. Negara masih relevan sebagai aktor yang penting dalam masalah lingkungan karena terlibat langsung dalam negosiasi dan tawar-menawar pembentukan rezim atau peraturan internasional, masih menjadi penentu isu atau agenda di tingkat global, dan dapat berperan sebagai pendukung pelaksanaan solusi masalah lingkungan bagi satu sama lain, misalnya melalui peran sebagai donor dan mempengaruhi kebijakan di negara lain. Dengan kemampuannya sebagai satu-satunya pemegang kedaulatan, negara masih merupakan satu-satunya penentu dalam penyelesaian masalah lingkungan.31

1.6.2 Teori Kebijakan Publik

David Easton mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.32 Maka implikasinya adalah dengan

31 Op.cit. Makmur. hal.134-135

32 Hessel Nogi S Tangkilisan. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta: YPAPI. hal. 2

(31)

adanya pemerintah yang berkuasa, akan ada kebijakan yang mengikat bagi masyarakatnya.

Sementara Thomas Dye mendefenisikan kebijakan publik sebagai apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (whatever governments choose to do or not to do).33 Lebih lanjut, Lubis berpendapat bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat.34 Adapun Anderson mendefenisikan kebijakan publik sebagai tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau jumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi.35 Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan publik merupakan instrumen yang dimiliki oleh pemerintah untuk melakukan sesuatu atas respon terhadap persoalan tertentu demi kepentingan masyarakat.

Menurut Charles O Jones, kebijakan publik terdiri dari beberapa komponen, seperti (1) goal, yaitu tujuan yang ingin dicapai; (2) plan, yaitu pengertian yang lebih spesifik untuk mencapai tujuan; (3) decision, tindakan- tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program; dan (4) effect, akibat-akibat yang akan timbul akibat kebijakan yang diambil (baik disengaja ataupun tidak).36

33 AG Subarsono. 2009. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal. 1

34 Solly Lubis. 2007. Kebijakan Publik. Bandung: Penerbit Mandar Maju. hal. 9

35 Suharno. 2004. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Yogyakarta: UNY. hal. 19

36 Op.cit. Hessel. hal. 3

(32)

William N Dunn mengungkapkan ada lima tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan, yaitu penyusunan agenda (perumusan masalah), formulasi kebijakan (peramalan), adopsi kebijakan (rekomendasi), implementasi kebijakan (pemantauan), dan penilaian kebijakan (penilaian).37

Implementasi kebijakan adalah aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output atau outcomes bagi masyarakat. Tahap implementasi kebijakan dapat dicirikan dan dibedakan dengan tahap pembuatan kebijakan.

Pembuatan kebijakan di satu sisi merupakan proses yang memiliki logika bottom- up, dalam arti proses kebijakan diawali dengan penyampaian aspirasi, permintaan atau dukungan dari masyarakat. Sedangkan implementasi kebijakan di sisi lain di dalamnya memiliki logika top-down, dalam arti penurunan alternatif kebijakan yang abstrak atau makro menjadi tindakan konkret atau mikro.38

Adapun Nurdin Usman menuliskan bahwa implementasi kebijakan bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem.

Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapa tujuan kegiatan.39 Maka dapat disimpulkan bahwa implementasi sebuah kebijakan merupakan sebuah proses eksekusi berupa aksi atau tindakan yang sebelumnya telah disusun secara sistematis dan terencana dengan tujuan untuk mencapai target atas kebijakan yang telah ditetapkan.

37 William N Dunn. 2013. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal. 26-27

38 Samodra Wibawa. 1994. Kebijakan Publik. Jakarta: Intermedia. hal. 2

39 Nurdin Usman. 2002. Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum. Jakarta. Hal 70

(33)

Ketika sebuah kebijakan publik sudah diimplementasikan, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kinerjanya. Menurut Meter dan Horn40, hal tersebut diantaranya adalah:

1. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.

2. Sumber daya harus memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non-manusia.

3. Hubungan antar organisasi harus saling mendukung dan mampu berkordinasi dengan baik.

4. Karakteristik agen pelaksana, yang mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan hubungan yang terjadi dalam birokrasi.

5. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi, dimana diantaranya menyangkut sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberi dukungan bagi implementasi kebijakan, sifat opini publik, dan apakah elite politik mendukung atau tidak implementasi tersebut.

6. Disposisi implementor yang mencakup tiga hal penting, yaitu: a) respon pelaksana kebijakan yang akan memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; b) kognisi, yakni pemahaman terhadap kebijakan;

dan c) preferensi nilai yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan.

40 Op.cit. Subarsono. hal. 99-101

(34)

1.6.3 Teori Ekonomi Politik

Ekonomi politik secara umum didefenisikan sebagai studi interaksi antara politik dan ekonomi. Secara khusus ekonomi politik mengacu pada analisis ekonomi terhadap proses-proses pengambilan keputusan dan implementasinya.

Istilah ekonomi politik (political economy) pertama kali oleh penulis Perancis Antoine de Montchetien (1957-1621) dalam bukunya berjudul Treatise on Political Economy. Dalam bahasa Inggris, istilah ekonomi politik muncul lewat publikasi Sir James Stewart (1712-1789) pada tahun 1767 dengan judul Inequiry into the Principles of Political Economy. Pada awal abad pencerahan ketika itu para ahli mengembangkan ide perlunya negara untuk mendorong kegiatan ekonomi/bisnis agar perekonomian bisa tumbuh. Saat itu pasar dianggap masih belum berkembang sehingga pemerintah memiliki tanggung jawab untuk membuka wilayah baru perdagangan, memberi perlindungan (pelaku ekonomi) dari kompetisi, dan menyediakan pengawasan untuk produk yang bermutu.

Namun pada akhir abad 18 pandangan itu ditentang karena pemerintah dianggap sebagai badan yang menghalangi untuk memperoleh kesejahteraan. Perdebatan diantara ahli ekonomi politik itu akhirnya memunculkan beberapa aliran atau mahzab dalam tradisi pemikiran ekonomi politik.41

Pada awalnya, ekonomi politik dimaksudkan untuk memberikan saran mengenai pengelolaan masalah-masalah ekonomi kepada para penyelenggara

41 Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga.

(35)

negara. Hal ini sesuai dengan pemaknaan ekonomi politik pada waktu itu sebagai pengelolaan masalah-masalah ekonomi negara. Selanjutnya, ekonomi politik lebih diartikan sebagai analisis ekonomi terhadap proses politik. Para pakar mempelajari institusi politik sebagai entitas yang bersinggungan dengan pengambilan keputusan ekonomi politik yang berusaha mempengaruhi pengambilan keputusan dan pilihan publik, baik untuk kepentingan kelompoknya maupun untuk kepentingan masyarakat luas.42

Sebagai suatu disiplin ilmu, ekonomi politik lahir dari pemikiran- pemikiran untuk menemukan sinergi, mengisi kekosongan yang tidak dijumpai dalam satu disiplin ekonomi dan disiplin politik. Jadi, disiplin ilmu ekonomi politik dimaksudkan untuk membahas keterkaitan antara berbagai aspek, proses dan institusi politik dengan kegiatan ekonomi seperti produksi, investasi, pembentukan harga, perdagangan, konsumsi, dan lain-lain. Ekonomi politik biasanya didekati dari format dan pola hubungan antara pemerintah, swasta, masyarakat, partai politik, organisasi, lembaga konsumen, dan sebagainya.

Pembahasan ekonomi politik tidak dapat dipisahkan dari suatu kebijakan publik, mulai dari proses perancangan, perumusan, sistem organisasi, dan implementasinya.43

Dalam kaitannya dengan isu politik lingkungan, ilmu ekonomi dianggap sebagai kutub yang berlawanan. Para ahli ekonomi berkeyakinan bahwa sumber daya alam diperlukan sebanyak-banyaknya untuk mengakomodasi keperluan

42 Ibid. hal. 9

43 Bustanul Arifin dan Rachbini Didik J. 2001. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. Jakarta: PT Grasindo.

hal. 2-3

(36)

manusia sedangkan para pemerhati lingkungan memaknai pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan koridor dan tingkat kecukupan akan sumber daya sampai pada kurun waktu yang tak terhingga.44

Kekayaan sumber daya alam dipahami sebagai modal penting dalam penyelenggaraan pembangunan. Atas nama pembangunan, optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam diarahkan pada pengejaran target pertumbuhan ekonomi, demi peningkatan pendapatan dan devisa negara. Dalam praktiknya terkadang pemanfaatan sumber daya alam dilakukan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam.

Implikasi yang akan ditimbulkan dari praktik-praktik pemanfaatan sumber daya alam yang mengedepankan pencapaian pertumbuhan ekonomi semata adalah timbulnya kerusakan dan degradasi kuantitas maupun kualitas sumber daya alam, seperti kerusakan hutan secara masif, kerusakan terumbu karang, penemaran limbah, perubahan bentang alam, kerusakan tanah serta hilangnya keanekaragaman hayati diatasnya.

1.6.4 Studi Terdahulu

Lusia Dewi Kharismawardani dalam skripsinya tahun 2011 membahas tentang komitmen Jerman sebagai salah satu negara industri maju di dunia dalam mengatasi perubahan iklim dengan mengurangi angka emisi karbonnya.45 Dalam mengimplementasikan komitmen ini, Jerman mengacu pada European Climate

44 Op.cit Majalah Suara Bumi. hal. 30

45 Lihat Lusia Dewi Kharismawardani. 2011. Komitmen Jerman dalam Implementasi ECPC Pasca COP-15 UNFCCC di Kopenhagen.. Jakarta: Ilmu Hubungan Internasional, UPN Veteran Jakarta

(37)

Change Programme (ECCP) yang merupakan hasil dari COP-15 UNFCCC di Kopenhagen, Denmark pada 2009. Dalam membuat kebijakan lingkungannya, Pemerintah Federal Jerman menggunakan 3 prinsip dasar yang digunakan, yaitu:

1. Prinsip pencegahan, semua program dan kebijakan yang dibuat adalah sebagai pedoman bagi masyarakat untuk menghindari tindakan-tindakan yang memicu adanya polusi dan kerusakan lingkungan.

2. Prinsip sanksi, prinsip ini menjelaskan bahwa semua pihak yang terlibat dalam pencemaran lingkungan memiliki tanggung jawab penuh dalam usaha memperbaiki kerusakan lingkungan yang ada.

3. Prinsip kerja sama, dalam kebijakan yang dibuat menegaskan bahwa ada kerja sama antara pemerintah, para pelaku industri, dan seluruh masyarakat untuk secara aktif mencari solusi terbaik dari permasalahan lingkungan yang ada.

Hal ini juga menjelaskan bahwa setiap pribadi pun memiliki tugas terhadap usaha pelestarian lingkungan.

Pada COP-15 UNFCCC juga dilakukan negosiasi mengenai pembuatan mekanisme untuk menurunkan tingkat emisi yang diakibatkan oleh deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus/REDD+). Diketahui deforestasi telah memberi kontribusi sebesar 20% dari emisi gas rumah kaca sebagai penyebab dari perubahan iklim.

Pada Oktober 2008 disepakati perjanjian internasional untuk perubahan iklim yang mengakomodir pembiayaan kehutanan yang tidak hanya untuk mengurangi emisi secara signifikan, tetapi juga mendukung pengurangan kemiskinan dan

(38)

membantu keanekaragaman hayati dan fungsi hutan lainnya. Selain deforestasi, degradasi hutan juga berkontribusi secara signifikan karena adanya alih fungsi hutan yang bahkan mencapai angka 60%-90% asap dari kebakaran hutan sebagai penyebab utama perubahan iklim.

Dalam bidang kehutanan Jerman memiliki program kerja sama dengan Indonesia bernama FORCLIME (Forest and Climate Change Programme).

FORCLIME mendukung pemerintah Indonesia untuk melindungi hutan serta memelihara kemampuan hutan untuk menyediakan barang dan jasa hutan secara lestari agar bermanfaat bagi masyarakat. Tujuan FORCLIME adalah memberikan kontribusi terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan meningkatkan kehidupan masyarakat miskin pedesaan. Unsur-unsur pokok dalam program ini adalah dukungan bagi perbaikan struktur operasional dan tata kelola hutan dalam pengelolaan hutan secara lestari, seperti kesatuan pengelolaan hutan (KPH) dan pengaturan pengelolaan kolaboratif untuk kawasan konservasi.

Selain FORCLIME, Jerman dan Indonesia juga mempunyai program kerja sama bernama MRPP (Merang REDD+ Pilot Project). MRPP adalah proyek kerja sama teknis yang pendanaannya didukung oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup Jerman (BMU) melalui Kementerian Kehutanan Republik Indonesia pada Januari 2009 hingga Desember 2011. Pengimplementasi proyek ini adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan bekerja sama dengan Deutsche Gessellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ).

(39)

MRPP mendukung pembentukan lembaga Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan mendukung kegiatan kesiapan memasuki mekanisme REDD+ pada tingkat lokal. Di Sumatera Selatan, hutan rawa gambut adalah lokasi yang menjanjikan untuk MRPP karena tutupan lahan hutan yang masih alami dan penyimpanan stok karbon serta keanekaragaman hayati yang besar. Proyek ini juga mencegah perambahan hutan untuk pertanian, yang pada akhirnya akan menguntungkan bagi keanekaragaman hayati serta membaiknya kualitas perairan dan perbaikan untuk desa sekitar.

Sementara Hendrik Manullang dalam skripsinya tahun 2010 membahas tentang analisis terhadap REDD (mekanisme pencegahan pemanasan global melalui penyerapan karbon hutan dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan) sebagai program penyelamatan hutan Indonesia.46 Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa dengan REDD, Indonesia bisa menjawab kritik dunia terhadap persoalan emisi karbon dari kebakaran hutan dan pembukaan hutan sekaligus demi mengurangi emisi karbon dan mengatasi permasalahan pemanasan global. Selain itu, melalui REDD pemerintah berharap akan adanya dana kompensasi atas tindakan menyelamatkan hutan Indonesia. Mekanisme REDD juga dipandang bisa memberikan kemajuan ilmu pengetahuan dan transfer teknologi dari negara maju ke Indonesia.

REDD disepakati dalam COP-13 UNFCCC di Bali. Dalam pertemuan tersebut REDD tertuang dalam Bali Road Map. Dalam Bali Road Map dijelaskan

46 Lihat Hendrik Manullang. 2010. Politik Lingkungan: Analisis REDD Sebagai Program Penyelamatan Hutan Indonesia.. Medan: Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara

(40)

bahwa REDD merupakan mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberi insentif yang positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD bersifat sukarela (voluntary) dan tetap menghormati kedaulatan negara (sovereignty). Negara maju sepakat memberikan dukungan untuk capacity building, transfer teknologi di bidang metodologi dan institusional.

Ada beberapa aktor dibalik REDD pada COP-13 UNFCCC di Bali, yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, negara-negara Annex-1 (industri maju), pemerintah Indonesia, dan lembaga swadaya masyarakat atau non- government organizations.

1.7 Metode Penelitian

Berangkat dari uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka dasar teori diatas, penelitian ini memiliki tujuan metodologis yaitu deskriptif (melukiskan, menggambarkan). Penelitian ini bersifat kualitatif karena berangkat dari generalisasi empiris atau realitas-realitas sosial sejarahnya. Realitas-realitas tersebut dideskripsikan dan dianalisi secara komprehensif, holistik, dan komparatif. Aspek yang bersifat fenomenal dan historis juga dideskripsikan dan ditelaah secara kritis hingga melahirkan satu generalisasi yang bersifat ideografis.

Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah memuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Jenis penelitian ini tidak sampai

(41)

mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Karenanya pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak melakukan pengujian hipotesis seperti yang dilakukan pada penelitian eksplanatif berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori.47

1.7.1 Jenis Penelitian

Studi ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian kualitatif ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan metode deskriptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku dapat diamati.48

Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses penjaringan informasi dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis.

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data

Data-data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui teknik dokumentasi.

Data-data yang bersumber dari dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh baik

47 Sanafiah Faisal. 1995. Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

hal. 20

48 Mohammad Nasir. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. hal. 105

(42)

pemerintah maupun lembaga non pemerintah, serta beragam media (buku, jurnal, buletin, majalah, surat kabar, skripsi, dan sebagainya) yang relevan dengan topik penelitian. Dokumen yang digunakan peneliti adalah Modul: Kebijakan Nasional Perubahan Iklim (The Nature Concervancy), Impelementasi RAN-GRK, Pedoman Pelaksanaan RAN-GRK, Satu Tahun RAN-GRK, Pedoman Penyusunan RAD- GRK, Laporan Pelaksanaan Perpres No 61/2011 (Kementerian PPN/Bappenas), Perubahan Iklim dan REDD+ (Kementerian Kehutanan), Statistik Kehutanan dan Lingkungan Hidup 2014 (Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup), Sisi Lain Perubahan Iklim (UNDP Indonesia), Potret Kehutanan Indonesia 2009-2013 (Forest Watch Indonesia), dan Indeks Tata Kelola Hutan, Lahan dan REDD+

(UN-REDD, UNDP). Setelah dihimpun kemudian dipilah melalui proses pembacaan yang cermat dan pencatatan dalam rangka untuk menemukan data- data pokok yang dinilai sebagai bahan utama penelitian yang akan mempermudah penulis dalam melakukan langkah-langkah (proses) penelitian selanjutnya.

Adapun sumber data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data tertulis dalam buku, dokumen, surat kabar, jurnal, atau media lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian yang sedang dibahas.

1.7.3 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis kualitatif, dilakukan pada data yang tidak dapat dihitung, bersifat non-grafis atau dapat berwujud kasus-kasus (sehingga tidak

(43)

dapat disusun ke dalam struktur klasifikatoris). Data yang dikumpulkan bersifat deskriptif dalam bentuk kata-kata atau gambar. Artinya penelitian ini membutuhkan pengutamaan penghayatan dan berusaha memahami faktor peristiwa dalam situasi tertentu. Lalu kemudian setelah data tersusun dan sistematis, akan dilakukan analisis data yang selanjutnya menghasilkan suatu kesimpulan terhadap data yang diteliti sesuai dengan apa yang dihasilkan oleh penelitian.

Karena menggunakan data sekunder, peneliti akan menggunakan analisis data sekunder dalam penelitian ini. Menurut Fielding dan Gilbert, analisis sekunder adalah bentuk riset yang makin populer setelah kini tersedia makin banyak data yang berkualitas tinggi yang mencakup banyak topik. Analisis data yang dikumpulkan oleh orang atau organisasi lain disebut analisis sekunder, sedangkan analisis primer adalah Anda menganalisis data yang Anda kumpulkan sendiri.49

1.8 Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran mengenai isi pokok dari penelitian ini, maka penulis akan mempermudah dengan membagi sistematika kedalam empat bagian sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

49 J Fielding dan N Gilbert. 2000. Understanding Social Statistics. London: Sage. hal. 4-5

(44)

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan dibahas, tujuan mengapa penelitian ini dilakukan, manfaat yang akan didapat melalui penelitian ini, metode penelitian, kerangka dan konsep teori yang akan menjadi landasan pembahasan masalah, serta sistematika penulisan penelitian.

BAB II : KEBIJAKAN INDONESIA DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM

Bab ini berisi tentang gambaran tentang objek penelitian, yaitu mengenai kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Indonesia terkait isu perubahan iklim.

BAB III : IMPLEMENTASI PERPRES NO 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA SEKTOR KEHUTANAN DAN LAHAN GAMBUT

Bab ini berisi analisis tentang bagaimana implementasi Perpres No 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Emisi Rumah Kaca (RAN-GRK) khususnya pada sektor kehutanan dan lahan gambut.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang merupakan hasil hasi dari skripsi, yang diperoleh dari penelitian.

(45)

BAB II

KEBIJAKAN INDONESIA DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM

Indonesia telah beberapa kali mengalami musim kemarau sangat panjang pada 1982-1983, 1987, 1991, 1997-1998 dan 2002-2003 yang menyebabkan gagal panen, puluhan ribu hektar harus dipusokan, produksi gabah turun ratusan juta ton, sehingga merugikan petani Indonesia. Musim kemarau panjang tersebut juga mengakibatkan kebakaran hutan, di antaranya yang terbesar pada 1991 dan 1997.

Dampaknya bukan hanya di sektor kehutanan saja, tetapi juga merugikan sektor transportasi, perdagangan, hingga pariwisata. Menurut para pakar, musim kemarau panjang yang mulai sering terjadi ini disebabkan oleh fenomena El Nino, yaitu naiknya suhu di Samudera Pasifik sampai 31 derajat Celcius yang membawa gelombang panas dan kekeringan. Selain itu, juga terjadi curah hujan tinggi yang disebabkan oleh fenomenan La Nina, kebalikan El Nino, yakni gejala menurunnya suhu permukaan Samudera Pasifik yang membawa angin kencang dan awan hujan ke Australia dan Asia bagian selatan, termasuk Indonesia.50

Realitas di atas menggambarkan bahwa tanda-tanda dampak pemasanan global sudah mulai terlihat dan dirasakan oleh Indonesia. Oleh karena itu, negara dalam hal ini Pemerintah Indonesia perlu mengeluarkan kebijakan untuk menyikapi fenomena ini. Karena masalah ini adalah permasalahan global, PBB

50 Ismid Hadad. 2010. “Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelajutan”. Majalah Prisma Vol 29 No 2 Edisi April 2010. Hal 15-16

Referensi

Dokumen terkait

 Mendiskusikan informasi yang diperolah dari berbagai sumber tentang dampak persatuan dan kesatuan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kerja sama dan percaya diri.

[r]

[r]

[r]

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana bentuk pertunjukan Kesenian Dames Group Laras Budaya di Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga, serta

operasional pada penelitian ini yaitu tingkat penggunaan pembelajaran ICT (Information and Communication Technology)1. Tingkat penggunaan pembelajaran ICT (Information and

Yang dimaksud dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan adalah bahan hukum publik yang bertanggung jawab kepada presiden dan berfungsi

Partisipasi anggaran diperkirakan dapat mempengaruhi moral, sikap, motivasi kerja, dan kepuasan kerja (Lopez, 2007), untuk itu agar tujuan anggaran dari suatu organisasi