• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN BAWASLU DALAM MENJAGA NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA YANG AKAN MENGIKUTI PEMILIHAN KEPALA DAERAH JURNAL ILMIAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEWENANGAN BAWASLU DALAM MENJAGA NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA YANG AKAN MENGIKUTI PEMILIHAN KEPALA DAERAH JURNAL ILMIAH"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN BAWASLU DALAM MENJAGA NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA YANG AKAN MENGIKUTI

PEMILIHAN KEPALA DAERAH JURNAL ILMIAH

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Uuntuk Mencapai derajat S-1 Pada

Program Studi Ilmu Hukum

Oleh :

FATHUL KHAIRUL ANAM D1A016088

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

MATARAM 2021

(2)
(3)

KEWENANGAN BAWASLU DALAM MENJAGA NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA YANG AKAN MENGIKUTI

PEMILIHAN KEPALA DAERAH FATHUL KHAIRUL ANAM

D1A016088

Fakultas Hukum Universitas Mataram ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bagaimanakah kewenangan Bawaslu dalam menjaga netralitas ASN dan sejauh mana batasan-batasan perbuatan Politik Praktis bagi Aparatur Sipil Negara dalam pemilihan kepala daerah. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.

Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu melalui pendekatan Peraturan Perundang – Undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Jenis dan sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil dari penelitian yaitu Kewenangan Bawaslu dalam menjaga netralitas ASN yang akan mengikuti Pilkada adalah terbatas sejak pada tahapan setelah pendaftaran ASN sebagai calon kepala daerah di Komisi Pemilihan Umum barulah Bawaslu memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas-aktivitas pelanggaran Netralitas ASN.Bahwa dasar hukum pengaturan Aparatur Sipil Negara yang akan mengikuti Pemilihan Kepala Daerah belum diatur secara jelas atau belum menjamin akan kepastian hukum.

Kata Kunci : Kewenangan Bawaslu, Netralitas Aparatur Sipil Negara, Pilkada

THE AUTHORITY OF BAWASLU IN MAINTAINING THE NEUTRALITY OF THE STATE CIVIL APPARATUS THAT WILL FOLLOW

THE ELECTION OF LOCAL HEAD ABSTRACT

The purpose of this study is to find out how the authority of Bawaslu in maintaining the neutrality of ASN and the extent of the limitations of practical political actions for state civil servants in the election of regional heads. The type of research used is normative legal research. The research approach used is through the Legislative - Invitation approach, conceptual approach and case approach. The types and sources of legal materials used are primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials.The results of the research are that the authority of Bawaslu in maintaining the neutrality of ASN who will take part in the Pilkada is limited since the stage after the registration of ASN as a candidate for regional head at the General Election Commission then Bawaslu has the authority to supervise activities that violate the neutrality of ASN. That the legal basis for regulating the State Civil Apparatus that will participate in the Regional Head Election has not been clearly regulated or has not guaranteed legal certainty.

Keywords: Authority of Bawaslu, Neutrality of State Civil Apparatus, Pilkada

(4)

I. PENDAHULUAN

Penyelenggaraan pemilihan umum dan Pemilihan kepala daerah merupakan syarat berjalannya demokrasi yang ideal dalam suatu negara demokrasi khususnya di Indonesia. Pemilihan kepala daerah dalam pengaturan penyelenggaraannya memberikan ruang bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi sebagai kepala daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, yaitu berbunyi:

Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.

Akan tetapi pada perkembangannya tidak semua warga negara secara konstitusional dapat menjadi kepala daerah. Terdapat pembatasan hak politik terhadap Aparatur Sipil Negara (disebut ASN) diantaranya dilarang menjadi bagian dari anggota atau pengurus partai politik, karena akan menyebabkan diberhentikannya menjadi ASN sebagaimana diatur dalam Pasal 87 Ayat (4) Huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menyatakan pelarangan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Selain itu, bagi ASN yang akan mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah juga harus mengundurkan diri sebagai ASN, hal ini diatur pula dalam ketentuan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang berbunyi yaitu:

(5)

Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon.

Ketentuan tersebut menyebabkan dilema terhadap ASN yang akan mengikuti Pemilihan kepala daerah karena harus menjaga netralitasnya jika tidak ingin diberhentikan. Berkaitan dengan keterlibatan ASN yang akan menjadi peserta Pemilihan kepala daerah juga harus mundur dari sebagai ASN sejak mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah.

Menurut Pasal 93 Huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan bahwa “Bawaslu melakukan pencegahan dan penindakan terhadap (1) pelanggaran Pemilu dan (2) sengketa proses Pemilu” sehingga membedakan antara pelanggaran pemilu, sengketa proses pemilu, dan perselisihan hasil pemilu. Pembagian ini sebenarnya tak lepas dari tahapan-tahapan pemilu yang secara umum terbagi atas tahapan sebelum pemilu, tahapan pada saat pemilu, dan tahapan pasca pemilu.

Penyelesaian perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi, misalnya, adalah tahapan yang dilalui setelah hari pemungutan dan perhitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum selesai. 1

Pada pelaksanaannya ASN yang akan mengikuti Pemilihan Kepala Daerah, dalam tahapan sebelum ditetapkan sebagai calon kepala daerah tentu akan mendekatkan diri atau berkoalisi dengan partai politik dan mendeklarasikan dirinya sebagai bagian dari proses pencalonan yang harusnya dijamin keberlangsungannya. Sejak

1Agus Riwanto ed, Serial Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019Perihal Penegakan Hukum Pemilu, BAWASLU, Jakarta, 2019, hlm.145

(6)

dikeluarkannya putusan MK Nomor 46/PUU-XIII/2015 yang dimuat dalam Undang- Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, tidak menjamin hak-hak ASN yang akan mengikuti Pilkada sebelum ditetapkan sebagai calon peserta kepala daerahmerupakan pelanggaran terhadap netralitas ASN yang diawasi oleh lembaga pengawas dalam tahapan Pemilihan Kepala Daerah, yakni Bawaslu. Sehingga pada tahap pencalonan batasan perbuatan atau kegiatan politik praktis bagi ASN penting ada pengaturannya, maka diperlukan mekanisme dan aturan pencalonan yang lebih demokratis dan memberi kepastian hukum bagi ASN yang akan mengikuti Pilkada.

Selanjutnya, berdasarkan observasi penyusun terhadap masalah yang dihadapi pada Pilkada Serentak 2020 di Nusa Tenggara Barat, khususnya Kabupaten Lombok Utara terdapat salah satu bakal calon wakil bupati yang berasal dari ASN dalam penjaringan bakal calon Wakil Bupati Kabupaten Lombok Utara, mendeklarasikan dirinya juga berkoalisi dengan Partai Gerindra dan Golkar. Bakal calon tersebut berprofesi sebagai ASN dosen di Universitas Mataram, dilaporkan Bawaslu karena kewenangannya ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dengan dugaan terlibat politik praktis, melanggar netralitas, dan melanggar kode etik serta prilaku ASN sehingga membuatnya gagal ditetapkan menjadi calon Wakil Bupati pada Pilkada Serentak 2020 di Kabupaten Lombok Utara.

(7)

II. PEMBAHASAN

Pasal 4 Ayat (1) Peraturan BAWASLU Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Pengawasan Netralitas Pegawai ASN, Anggota TNI & Anggota POLRI, menjelaskan Pengawas Pemilu melakukan pengawasan netralitas Pegawai ASN, Anggota TNI & Anggota Polri terhadap :

a. Keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu selama masa Kampanye, dan,

b. Kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta Pemilu sebelum, selama dan sesudah masa kampanye.

Bahwa Bawaslu berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang,Pasal 30 berwenang :

a) Panwas kabupaten/kota bertugas dan berwenang mengawasi tahapan penyelengaraan Pemilihan yang meliputi : Pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan,

b) Menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan Perundang-Undangan mengenai Pemilihan,

c) Menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran Pemilihan dan sengketa Pemilihan yang tidak mengandung unsur tindak pidana,

d) Meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang.

Menurut Ahmad S. Mahmud, Kewenangan Bawaslu dalam konteks Pilkada, memang terdapat kendala dalam pengawasan Netralitas ASN, berkaitan dengan kewenangannya terbatas dan sebatas pada tahapan kampanye saja. Disebabkan keterbatasannya, terdapat banyak peristiwa terkait netralitas ASN yang tidak dapat ditindaklanjuti, seperti terdapat ASN yang turut terlibat dalam tahapan pra pencalonan

(8)

dan pendaftaran peserta Pemilukada, yang terjadi diluar penetapan calon dan masa kampanye.2 Dalam hal ini, menurut Muhamad Taufan, dugaan Bawaslu terhadap pelanggaran netralitas ASN dalam hal menunjukkan keberpihakannya atau tidak netral sebelum penetapan calon bukanlah menjadi kewenangan Bawaslu, artinya pelanggaran mengenai netralitas ASN dalam konteks Pilkada adalah ketika sudah ada calon atau penetapan calon kepala daerah, sehingga Bawaslu tidak bertindak diluardari kewenangannya.3 Sehingga dari sisi rumusan delik materil yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, tidak memberikan kewenangan dalam penindakan terhadap ASN yang tidak netral diluar dari sebelum penetapan calon kepala daerah, karena pengaturan delik formil mengenai mekanisme atau tata cara bawaslu dalam melaksanakan kewenangaanya kaitannya dengan penyelenggaraan fungsi pengawasan dalam konteks netralitas ASN di Pilkada adalah ketika penetapan Calon peserta Pilkada sebagai batasan kewenangan yang mestinya dilakukan oleh Bawaslu.

Aparatur Sipil Negara sebagaimana Pasal 2 Huruf (f) Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, yang menyatakan bahwa Penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan pada asas

“netralitas”.Pasal 87 ayat 4 Huruf b, menyatakan bahwa “PNS diberhentikan dengan tidak hormat karena menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik”. Pasal 119 dan Pasal 123 ayat 3, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU- XIII/2014 tanggal 6 Juli 2015, “PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi

2https://www.jaripedenews.com/blog/pengawasan-netralitas-asn-berwenangkah-bawaslu/ diakses pada tanggal 6 September 2021, pukul 10.33 Wita

3https://www.google.com/amp/s/telisik.id/amp/detail/bawaslu-dinilai-tergesa-gesa-klarifikasi-asn diakses pada tanggal 6 September 2021, pukul 11.16 Wita

(9)

Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak ditetapkan sebagai calon peserta pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota” PNS yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut dijatuhi sanksi hukuman disiplin.

Selanjutnya, dalam Pasal 71 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menyebutkan bahwa “Pejabat Negara, Pejabat Daerah, Pejabat Aparatur Sipil Negara, Anggota TNI/Polri, Dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon”. Dalam hal etika terhadap diri sendiri PNS wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan. Maka PNS dilarang melakukan perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dengan partai politik

Berdasarkan Pasal 15 Ayat (1), menyatakan bahwa terhadap pelanggaran tersebut pada Ayat 1 dikenakan sanksi moral. Berdasarkan Pasal 16, menyatakan bahwa

“atas rekomendasi Majelis Kode Etik (MKE) PNS yang melakukan pelanggaran kode etik selain dikenakan sanksi moral, dapat dikenakan tindakan administratif sesuai dengan peraturan Perundang- Undangan”.

Artinya, selain Nilai-nilai Dasar yang menjadi patokan bertindak bagi ASN dalam menjalankan tugasnya, ada batasan yang kemudian menjadi ketentuan yang tidak boleh dilanggar. Artinya itulah yang membatasi kebebasan ASN karena, status dan jabatannya dalam melakukan perbuatan-perbuatan terntu yang diatur dalam peraturan

(10)

Perundang-Undangan. Peraturan tersebut terutama memuat larangan bagi ASN yang dihadapkan pada persoalan Pemuilihan Kepala Daerah. Sehingga, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (15) Huruf a sampai dengan d, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 bahwasanya melarang ASN untuk memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:

a. Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,

b. Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye,

c. Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye, dan/atau d. Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap

pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Sikap, tingkah laku, dan perbuatan Pegawai Negeri Sipil haruslah mencerminkan etika dalam melaksanakan tugas dan pergaulan hidup sehari-hari. Etika ASN diatur pada Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa :

Dalam pelaksanaan tugas kedinasan dan kehidupan sehari-hari setiap Pegawai Negeri Sipil wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam bernegara, dalam penyelenggaraan Pemerintahan, dalam berorganisasi, dalam bermasyarakat, serta terhadap diri sendiri dan sesama Pegawai Negeri Sipil yang diatur dalalam Peraturan Pemerintah ini.

Selanjutnya, Pasal 11 Huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil menyatakan bahwa “dalam hal etika terhadap diri sendiri PNS wajib menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan”. Maka ASN dilarang melakukan

(11)

perbuatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan yang mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dengan partai politik.

Sebagaimana dipertegas oleh Surat Kemenpan RB Nomor: B/71/M.SM.00.00/2017PNS menyebutkan bahwa :

1) PNS dilarang melakukan pendekatan terhadap partai politik terkait rencana pengusulan dirinya ataupun orang lain sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,

2) PNS dilarang memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya ataupun orang lain sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,

3) PNS dilarang mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,

4) PNS dilarang menghadiri deklarasi bakal calon/bakal pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan atau tanpa menggunakan atribut bakal pasangan calon/atribut partai politik,

5) PNS dilarang mengunggah, menanggapi (seperti like, komentar, dan sejenisnya) atau menyebarluaskan gambar/foto bakal calon/bakal pasangan calon Kepala Daerah, visi misi bakal calon/bakal pasangan calon Kepala Daerah, maupun keterkaitan lain dengan bakal calon/bakal pasangan calon Kepala Daerah melalui media online maupun media sosial,

6) PNS dilarang melakukan foto bersama dengan bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan mengikuti simbol tangan/gerakan yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan,

7) PNS dilarang menjadipembicara/narasumber pada kegiatan pertemuan partai politik.

Dengan demikian, secara konstitusional ASN memiliki hak politik, hal ini dimuat juga dalam Pasal 7 Huruf t yang mengisyaratkan pengunduran diri bagi ASN yang akan ikut berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah yang mengandung makna bahwasanya dijaminnya peroses politik praktis bagi ASN yang akan mengikuti pilkada sampai dengan ditetapkannya memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah, sesungguhnya setelah mencermati Pasal-Pasal yang memuat mengenai netralitas ASN bahwa sebenarnya hal inilah yang menimbulkanasas netralitaskehilangan maknanya

(12)

yang mesti dijunjung keberlakukannya oleh ASN dan bagaimana jika ternyata ASN tersebut tidak memenuhi syarat sebagai calon tentu juga hal inilah yang menyebabkan telah terkontaminasinya ASN dengan politik praktis.

Sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih ataupun dipilih dalam Pilkada, Sehingga dalam hal tindakan yang boleh dilakukan oleh ASN dalam konteks tahapan Pilkada, yakni jika ASN ingin maju sebagai calon kepala daerah itas yang melanggar asas netralitas yang telah diatur dalam Undang-Undang ASN.Maka batasan tindakan ASN yang boleh dilakukan adalah tidak melakukan aktiv Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan Menteri PANRB, Tjahjo Kumolo bahwa “ bukan berarti ASN tidak punya hak politik sama sekali, akan tetapi hak politiknya terbatas dibilik suara, sehingga dalam penegakan netralitas ASN perlu pemahaman dan kesadaran ASN itu sendiri atas hak pilih yang dimilikinya, bilik suara menjadi tempat dimana segala ekspresi partisan dan ekspresi politik untuk memilih orang yang dihendaki sebagai pemimpin dapat disalurkan”.4 Artinya tindakan yang boleh dilakukan ASN pilihannya adalah menyatakan pengunduran diri jika akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah karena tindakan ASN berdsarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Aparatur Sipil Negara mengikat secara etik.

Penegasan yang sama juga dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 10 Tahun 2005 yang kemudian disampaikan bahwa “Pegawai Negeri Sipil yang akan didaftarkan menjadi Calon Kepala Daerah atau calon Wakil Kepala Daerah Wajib mengajukan surat pernyataan pengunduran diri dari

4https://menpan.go.id/site/berita-terkini/pilkada-2020-menteri-asn-hanya-di-bilik-suara diakses pada tanggal 4 sebtember 2021, pukul 19.36.

(13)

jabatan negeri yang dibuat dengan contoh model B6 A-K-KWK Lampiran III Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005”, sebagaimana disebutkan dalam lampiran I Peraturan Keapala Badan Kepegawaian ini. Walaupun Undang-Undang ASN telah disahkan tetapi ketentuan dan mekanismePNS yang maju sebagai kepala daerah masih mengacu pada perka BKN Nomor 10 Tahun 2005.

Aktivitas pelanggaran netralitas asn dalam konteks pilkada dalam hal ini, adalah sejak dari masa sebelum penetapan pasangan calon sampai dengan masa setelah penetapan calon, diantara sejumlah kategori aktivitas asn yang melanggar netralitas ASN adalah didasarkan pada dua indikator penting yang menjadi tolak ukur penerapannya, diantaranya yaitu:5

1) Tidak terlibat, memiliki arti keberpihakan untuk menjadi tim sukses salah satu kandidat didalam pelaksanaan kampanye, seperti tidak menjadi peserta kampanye mengenakan atribut ASN atau parta politik.

2) Tidak memihak, memiliki arti tidak mendukung atau menguntungkan salah satu pasangan calon seperti mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan, meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkup unit kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat, serta memakai fasilitas negara yang terkait jabatan dalam rangka pemenangan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah ketika masa kampanye.

Perihal deskriminasi profesi ASN, dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 itu terjadi, padahal ASN sebagai birokrat yang terbiasa bekerja dengan tugas pokok dan fungsi yang jelas dalam menjalankan pemerintahan dapat merebut hati masyarakat Pemilih. Tentu, berdasarkan kondisi yang demikian maka elite politik yang memiliki kewenangan dalam menyusun Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku

5Bagus Sarnawa, Pergeseran Aturan Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Pemilihan Umum, Media Hukum, Vol. 25 No 2 Desember 2018. Hlm.182

(14)

mencegah ASN menduduki jabatan-jabatan publik dibatasi dengan pola perlakuan yang sedemikian rupa dengan mengharuskan ASN yang akan menjadi kandidat Kepala Daerah atau pejabat Negara tertentu untuk mengundurkan diri dari statusnya sebagai ASN yang menyebabkan deskriminasi dan perlakuan yang tidak sama terhadap Profesi ASN yang memiliki spirit membangun bangsa dan negara melalui infrastruktur Demokrasi yang ada, yakni Pilkada. Sehingga konsistensi terhadap hak konstitusional ASN perlu untuk diatur dengan ketentuan yang baik, sehingga tidak mendeskriminasikan ASN dalam mekanisme yang ditempuh dalam proses pencalonan sebagai Kepala Daerah, agar tidak kehilangan Sumber daya yang berkualitas dalam pembangunan daerah atau bangsa umunya.

(15)

III. PENUTUP

Simpulan

1. Kewenangan Bawaslu dalam menjaga netralitas ASN yang akan mengikuti Pilkada adalah terbatas sejak pada tahapan setelah pendaftaran ASN sebagai calon kepala daerah di Komisi Pemilihan Umum barulah Bawaslu memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas-aktivitas pelanggaran Netralitas ASN. Oleh karena itu, pada tahapan sebelum pendaftaran sebagai calon kepala daerah Bawaslu tidak berwenang untuk mengawasi ASN dalam proses mempersiapkan dirinya untuk mengikuti Pilkada.

2. Batasan perbuatan politik praktis bagi ASN yang akan mengikuti pemilihan kepala daerah adalah seperti melakukan pendekatan terhadap partai politik terkait rencana pengusulan dirinya ataupun orang lain sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah, dilarang memasang baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain, dilarang mendeklarasikan dirinya, menghadiri deklarasi bakal calon, mengunggah atau menanggapi atau menyebarluaskan gambar atau foto bakal calon, visi misi, maupun keterkaitan lain bakal calon atau pasangan calon kepala daerah melalui media online atau media sosial, melakukan foto bersama dengan bakal calon, dan dilarang menjadi pembicara atau narasumber pada kegiatan pertemuan partai politik dalam tahapan Pemilihan Kepala Daerah.

(16)

Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka saran yang penyusun berikan sebagai berikut:

1. Perlunya penegasan mengenai kewenangan Bawaslu dalam menjaga Netralitas ASN yang akan mengikuti Pilkada, sehingga pengawasan Bawaslu dalam tahapan Pilkada tidak bertindak diluar dari kewenangannya dalam Pemilihan Kepala Daerah yaitu terbatas sejak pada tahapan setelah pendaftaran ASN sebagai calon kepala daerah di Komisi Pemilihan Umum barulah Bawaslu memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas-aktivitas pelanggaran Netralitas ASN.

2. Perlunya pengaturan lebih lanjut terhadap pasal 7 Ayat (2) huruf t Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah, dan Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang menyebutkan bahwasanya bagi ASN yang akan mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah mengundurkan diri sebagai ASN sejak ditetapkan sebagai calon. Maka ASN yang akan mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah haruslah diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana tentang mekanisme dan tata cara yang menjamin ASN sampai pada tahapan ditetapkan sebagai calon kepala daerah.

(17)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Agus Riwanto ed, Serial Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 Perihal Penegakan Hukum Pemilu, BAWASLU, Jakarta, 2019

Bagus Sarnawa, Pergeseran Aturan Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Pemilihan Umum, Media Hukum, Vol. 25 No 2 Desember 2018

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Nomor 182 Tahun 2017).

Indonesia, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Nomor 130 Tahun 2016)

Indonesia, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran Negara Nomor 6 Tahun 2014)

Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Nomor4437)

Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota

Indonesia, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020

Indonesia, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen PAN RB) No. B/71/M.SM.00.00/2017 Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004

Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010

INTERNET

https://www.jaripedenews.com/blog/pengawasan-netralitas-asn-berwenangkah- bawaslu/ diakses pada tanggal 6 September 2021, pukul 10.33 Wita.

(18)

https://www.google.com/amp/s/telisik.id/amp/detail/bawaslu-dinilai-tergesa- gesa-klarifikasi-asn diakses pada tanggal 6 September 2021, pukul 11.16 Wita.

https://menpan.go.id/site/berita-terkini/pilkada-2020-menteri-asn-hanya-di- bilik-suara diakses pada tanggal 4 sebtember 2021, pukul 19.36 Wita.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini yaitu kewenangan POLRI sebelum dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 89/XIII-PUU/2015 memiliki dasar hukum yang walaupun

Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Siti Nurcholidah. Upaya untuk menjaga profesionalisme ASN salah satunya adalah pemberlakukan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) merupakan dasar hukum dibentuknya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sebagai lembaga

Permohonan tersebut kemudian menghasilkan Putusan MK Nomor 71/PUU- XIV/2016 yang amar putusannya menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun

Kebijakan netralitas politik ASN Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 dalam Perspektif Perlindungan HAM, bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil

Hasil penulisan artikel ilmiah ini adalah apa yang menjadi dasar rasio legis Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015

Setelah ditetapkannya Undang- Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua terhadap Undang- Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Darah, menyebutkan, Pasal 236C menyebutkan;