• Tidak ada hasil yang ditemukan

Subalternitas Perempuan Dalam Cerita Pendek Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Subalternitas Perempuan Dalam Cerita Pendek Jawa"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Wiwien Widyawati Rahayu.

Subalternitas Perempuan Dalam Cerita Pendek Jawa

Subalternitas Perempuan Dalam Cerita Pendek Jawa

The Subalternity of Women in Javanese Short Stories Wiwien Widyawati Rahayu

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia

wiwien.fib@ugm.ac.id

I N F OR M A SI A R TI KE L A B STR A K

Riwayat Artikel Diterima: 6 November 2021

Direvisi: 15 April 2022 Disetujui: 18 April 2022

Kata Kunci cerita pendek Jawa harmoni

kesadaran perempuan subalternitas

Abstract

The placement ofJavanese women as subaltern figures is done through domestication, minority, and discrimination factors. Due to their efforts to escape from this position, women are often considered to be fighting against the culture that surrounds them.. The construction of the resistance is narrated in five Javanese short stories in Djaka Lodang, a weekly magazine, which is the source of the data.

Therefore, this study aims to determine the forms of subalternity; why the subalternity still exists, what shackles surround it; how women afford to break free from the shackles; what forms of negotiation women do in social practice; and the reasons of choosing the negotiation. The literature study was carried out by taking an inventory and identifying material objects as data sources, reading the texts heuristically and hermeneutically to classify data based on themes. Then, analyzing data in accordance with subalternity indicators according to Spivak. Finally, this study shows that even though female characters experience subalternity, both by themselves and by others, it does not mean that Javanese women are placed or place themselves as sufferer objects . Self-negotiation with the surrounding culture is an option as a solution to create harmony by not ignoring happiness as an embodiment of equality.

Abstrak

Pemosisian perempuan Jawa sebagai sosok yang tersubalternkan dilakukan dengan cara membenturkannya dengan faktor domestifikasi, minoritas, dan diskriminasi. Upaya untuk membebaskan dari posisi tersebut menjadikan perempuan seringkali dianggap melakukan perlawanan terhadap budaya yang melingkupinya. Konstruksi perlawanan tersebut ternarasikan dalam kelima cerita pendek Jawa di Majalah Mingguan Djaka Lodang yang menjadi sumber data. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan mengetahui bentuk-bentuk subalternitas; mengapa subalternitas tersebut masih terjadi, belenggu apa yang melingkupinya; bagaimana upaya baik yang dilakukan perempuan untuk dapat lepas dari belenggu tersebut; bentuk negosiasi seperti apa yang dilakukan perempuan di praktik sosial; dan mengapa negosiasi tersebut yang dipilih. Studi pustaka diterapkan dengan melakukan inventarisasi dan identifikasi objek material sebagai sumber data, pembacaan heuristik dan hermeneutik untuk

(2)

http://dx.doi.org/10.31503/madah.v13i1.425

1. Pendahuluan

Tuntutan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki mengalami dinamika seiring dengan perkembangan jaman. Sedikit demi sedikit karya sastra sudah menarasikan upaya kesetaraan tersebut (Aisyah & Widodo, 2019; Susila, 2019). Hal ini terjadi karena ketidakadilan gender berdampak pada semua aspek kehidupan (Makaryk, 1993). Dinamika diskusi sudah tidak lagi perebutan masalah domestik dan publik (Hornby, 2010). Akan tetapi, topik diskusi merambah pada kesetaraan radikal (Rancière, 2015), adanya narasi perempuan yang terabaikan, dan upaya baik yang dilakukan pengarang Jawa baik laki-laki maupun perempuan untuk membuktikan bahwa narasi yang disampaikan tidak lagi bersifat paradok, berlawanan antara yang tergambarkan dan wacana yang tersembunyi (Udasmoro, 2017). Dengan demikian maka kompetensi pengarang dipertaruhkan untuk dapat mendukung upaya memosisikan konsep jenis kelamin, baik sebagai kodrat maupun sebagai budaya (Widati, 2009, hlm. 83-96).

Upaya tersebut telah tercermin dalam produk karya sastra berupa cerita pendek Jawa atau sering disebut dengan Crita cêkak yang terbit di majalah berbahasa Jawa Djaka Lodhang tahun 2020. Cêrkak berbentuk padat dengan jumlah kata, konflik, dan ide yang lebih sedikit daripada novel yang ditulis dalam Bahasa Jawa, yang berisi gambaran realitas atau cerminan masyarakat Jawa dengan berbagai faktor sosial dan kulturalnya. Di dalam cêrkak yang akan dikaji, yaitu Salah Dalan (SD), karya Jasmine Astuti; Kasunyatan (K) karya Tatiek Poerwa Kalingga; Kêmbang Kêcubung (KK) karya Mbah Met; Lêmbu Pêtêng (LP) karya Prima Supriyadi; Salah Tampa (ST) karya Nini Klenyem tergambar perempuan yang disubalternkan.

Permasalahan sehari-hari dipilih untuk dijadikan topik. Hal ini membuktikan bahwa subalternitas masih terus terjadi di tengah masyarakat. Kesederhanaan bernarasi menjadi suatu cara atau upaya pengarang agar pembaca dapat menangkap pesan dengan mudah.

Pola-pola kepengarangan di dalam cerita pendek Jawa yang ada di majalah mingguan berbahasa Jawa Djaka Lodang tersebut tergambarkan, hal ini dimungkinkan sebagai bukti bahwa narasi tersebut merupakan upaya baik penerbit/media sebagai ujud negosiasi dalam praktik sosial penerbitan yang dimungkinkan masih terhegemoni penguasa dalam ruang dan waktu yang melingkupinya. Seperti yang terjadi di Kurdi pada saat media belum dapat membantu perjuangan perempuan Kurdi, mereka berfungsi untuk menarasikan gerakan perempuan yang terpaksa diam di negara mereka (Şimşek & Jongerden, 2021, hlm.

1023-1045). Media memiliki andil sebagai “penyambung lidah” pengarang dalam menyuarakan wacana untuk didengar pembaca sekaligus juga memberdayakan pembaca dalam struktur budaya yang melingkupinya.

Penelitian mengenai subaltern perempuan sudah dikaji di beberapa karya sastra berbahasa Indonesia, diantaranya menyimpulkan bahwa perempuan

mengklasifikasi data sesuai tema, selanjutnya menganalisis data sesuai dengan indikator subalternitas dalam pandangan Spivak.

Pada akhirnya, penelitian ini membuktikan bahwa, meski tokoh perempuan mengalami subalternitas, baik oleh dirinya sendiri maupun orang lain tetapi tidak berarti perempuan Jawa diposisikan maupun memposisikan diri sebagai objek penderita. Negosiasi diri dengan budaya yang melingkupi menjadi pilihan sebagai solusi agar tercipta harmoni dengan tidak mengabaikan kebahagiaan sebagai ujud kesetaraan.

(3)

Wiwien Widyawati Rahayu.

Subalternitas Perempuan Dalam Cerita Pendek Jawa

tersubalternkan disebabkan karena para perempuan tersebut diperlakukan secara marginal (Bahardur, 2017; Lestari, Suwandi, & Rohmadi, 2019; Susilastri, 2020).

Selain itu, perempuan yang mendapat pelabelan pada dirinya serta mendapat status sosial sebagai kaum miskin juga dikategorikan sebagai perempuan yang tersubalternkan (Bahardur, 2017; Lestari dkk., 2019). Sementara itu, hasil penelitian yang berobjek karya sastra Timur Tengah membuktikan adanya budaya patriarki menyebabkan perempuan sering digambarkan sebagai objek yang tertindas, atau menjadi korban (Hearty, 2015) juga termasuk dalam pandangan tersebut.

Subaltern adalah mereka yang berada pada posisi nondominan dan mendapatkan perlakuan diskriminatif dari kelompok-kelompok mainstream yang memiliki kekuasaan (Kartika, 2011). Kaum yang selalu tertekan (Khairunisa & Liliani, 2019) atau dalam subaltern menurut Antonio Gramsci adalah kelompok inferior, tidak berdaya, dan hidup dalam keadaan termajinalkan. Selanjutnya, dalam relasinya dengan kajian yang hendak dilaksanakan, subaltern dimaknai Spivak sebagai mereka- mereka yang mengalami penindasan, maksudnya orang-orang yang tidak dapat berbicara sehingga suaranya tidak bisa dicari. Hal ini dipertegas bahwa subaltern adalah posisi tanpa identitas (Morton, 2008). Bukti yang menunjukkan bahwa perempuan Jawa tertindas secara kultural antara lain adanya pernyataan ora ilok

‘tidak pantas’ melakukan suatu tindakan yang hanya ditujukan kepada perempuan, adanya ajaran-ajaran dan kriteria perempuan yang disukai laki-laki, tidak sebaliknya.

Perempuan hanya sebagai objek. Dari hal tersebut maka perempuan Jawa dimaknai sebagai sosok perempuan yang terus berjuang dengan segenap modal diri sebagai sumber daya yang dimiliki untuk dapat survive bernegosiasi di praktik sosial dengan terus melakukan refleksi agar dapat beradaptasi dengan cepat (Giddens, 2016).

Bersumber dari latar belakang tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk menjawab problematika yang terangkai sebagai berikut, 1) Apa saja bentuk subalternitas yang terjadi pada perempuan Jawa yang tergambarkan di dalam cêrkak Jawa?; 2) Mengapa subalternitas tersebut masih terjadi, belenggu apa yang melingkupinya?; 3) Bagaimana upaya baik yang dilakukan perempuan untuk dapat lepas dari belenggu tersebut?; 4) Bentuk negosiasi seperti apa yang dilakukan perempuan di praktik sosial?; 5) Mengapa negosiasi tersebut yang dipilih?. Dengan pencapaian tujuan tersebut maka kebaruan penelitian yang dilakukan adalah pada pendekatan kritis sebagai metode untuk memandang cara penarasian tokoh perempuan dalam upaya bernegosiasi di praktik sosial yang masih dibungkus budaya Jawa yang masih diugemi ‘diterapkan, dipatuhi’ meski tersubalternkan.

2. Metode

Penelitian ini menerapkan studi pustaka dengan pendekatan kualitatif. Tahap pertama yang dilakukan, yaitu inventarisasi cerita pendek yang ada di majalah mingguan berbahasa Jawa Djaka Lodang sejak bulan Juni sampai dengan Desember 2020. Djaka Lodang adalah majalah berbahasa Jawa yang terbit di Yogyakarta oleh PT. Djaka Lodang Pers anggota SPS No. 66/1971/14/B/2002 dengan SIUUP: SK Menpen No. 2109/SK/MENPEN/SIUUP/C4/1986 tertanggal 22 Maret 1986.

Pendirinya H. Kusfandi (almarhum) dan Drs. H. Abdullah Purwodarsono. Alamat redaksi majalah ini berada di Jl. Patehan Tengah No. 35 Telpon 0274-372950 Kota Yogyakarta. Setelah kami kumpulkan, cerita pendek tersebut kami identifikaasi dengan cara membacanya satu persatu, berulang kali, maju mundur secara heuristik dan hermeneutik (Teeuw, 2017). Hal ini dilakukan agar isi dan maknanya mudah

(4)

http://dx.doi.org/10.31503/madah.v13i1.425

dipahami (Yasmin, Udasmoro, & Sajarwa, 2020), serta mendapatkan gambaran isi dan tema dari tiap cerita pendek tersebut. Di samping itu juga untuk memudahkan proses reduksi dan pengodean data. Dari ke- 28 (dua puluh delapan) judul cerita pendek Jawa tersebut akhirnya peneliti mendapatkan lima (5) judul cerita pendek yang mengandung aspek-aspek subalternitas. Selanjutnya, data kualitatif yang teridentifikasi disajikan dalam dua bentuk, bahasa sumber (bahasa Jawa) dan bahasa sasaran (bahasa Indonesia) sebagai hasil terjemahan (Poerwadarminta, 1939;

Prawiroatmodjo, 1981). Hal ini ditempuh sebagai iktikad baik peneliti agar pembaca luas juga dapat menangkap pesan yang terkandung di dalamnya. Adapun keenam sumber data terpilih tersebut tertuang dalam tabel 1 berikut ini.

Tabel 1

Daftar Judul Cerita Pendek Jawa “Cêrkak” sebagai Sumber Data ID

Judul Pengarang Nomor

terbit Bahasa Jawa Bahasa Indonesia

SD “Salah Dalan” “Salah Jalan” Jasmine Astuti No. 01, 6 Juni

K “Kasunyatan” “Realitas” Tatiek Poerwa

Kalingga No. 06. 11 Juli

KK “Kembang

Kecubung” “Bunga Kecubung” Mbah Met No. 12, 22 Agustus LP “Lembu Peteng” “Sapi Hitam” Prima

Supriyadi No. 13, 29 Agustus ST “Salah Tampa” “Salah Terima” Nini Klenyem No. 20, 17

Oktober Analisis wacana kritis (AWK) Fairclough (1998) diterapkan dalam penelitian ini karena adanya prinsip utama di dalamnya, antara lain bahwa fokus utama AWK tertuju pada masalah sosial, adanya relasi kekuatan/kekuasaan itu merupakan sebuah wacana, wacana membentuk masyarakat dan budaya, wacana melakukan kerja ideologi, wacana itu historis, keterkaitan antara teks dan masyarakat itu termediasi, analisis wacana bersifat interpretatif dan eksplanatoris, dan wacana adalah sebuah bentuk tindakan sosial.

3. Hasil dan Pembahasan

Hasil dari interpretasi terhadap sumber data ditemukan narasi yang menunjukkan indikator subalternitas. Hal tersebut tersaji dalam tabel 2, sebagai berikut ini.

(5)

Wiwien Widyawati Rahayu.

Subalternitas Perempuan Dalam Cerita Pendek Jawa

Tabel 2

Aspek Subalternitas Perempuan dalam Cerita Pendek Jawa “Cêrkak”

ID Indikator Subalternitas Perempuan

Tidak dapat

berbicara Abai dengan kata hati

Mendapatkan

stigma Merasa tidak

berdaya Menjadi

korban

SD v v v v

K v v v

KK v

LP v v v

ST v

Pembahasan terhadap temuan tersebut akan dilakukan satu persatu yang akan terinci dalam sub bab berikut.

3.1 Tidak Dapat Berbicara

Di dalam cêrkak “Salah Dalan” (SD) ditemukan dua indikasi adanya tokoh yang tidak dapat berbicara. Hal ini terjadi karena Ranti dinarasikan sebagai istri dan ibu yang suaminya dipenjara akibat kasus narkoba. Ia harus tetap berjuang menghidupi diri dan ketiga anaknya. Persoalan muncul ketika apa yang ditutupinya selama dua tahun terkuak, yang ditandai dengan kepanikan dengan mempertanyakan kembali ketidakjujurannya, disembunyikannya dari keluarganya bahkan juga dengan anak- anaknya.

“O, Gusti… Apa kang dibundhêli rong taun iki wiwit kêbukak. Apa aku blaka karo kêdadeyan sabênêre sasuwene bapake ra mulih-mulih? Piye Iki?” (Halaman 26, kolom pertama, paragraf ke-8).

‘O, Tuhan … apa yang sudah diikat rapat, disembunyikan dua tahun ini mulai terbuka, terkuak. Apa aku harus berkata jujur mengenai kejadian sebenarnya perihal ayahnya yang tidak pulang-pulang? Bagaimana ini?’

Kebohongan demi kebohongan dia coba atur supaya semuanya seolah-olah berjalan seperti tidak ada masalah. Strategi berbohong pun sudah diatur sedemikian rupa untuk menyiasati jawaban atas pertanyaan seputar keberadaan suaminya tersebut.

Pêrkara iki ditutup rapêt. Aja nganti ana kang mangêrtèni kalêbu sêdulur- sêdulur ênom utawa sanak-sadulure simbok swargi ... Kabar têkane pulisi intèl lan nggawa kanthi tangan diborgol bojone cêpêt sumêbar sadesa. Ranti golèk ukara kanggo nutupi kêdadèyan sêjatine mênawa bojone pindhah kerja mênyang Kalimantan. Dene yèn ana wong takon ‘bojomu kok ratau bali?’ arêp diwangsuli yèn nyambut gawe ning Sumatêra. (Halaman 26, kolom ke-3, paragraf ke-6).

‘Masalah ini ditutup rapat. Jangan sampai ada yang mengetahui termasuk saudara-saudara lebih muda atau kerabat dari almarhumah Simbok … kabar akan datangnya polisi intel dan membawa dengan tangan yang diborgol suaminya cepat menyebar se desa. Ranti mencari cara untuk menutupi kejadian yang sebenarnya dengan mengatakan jika suaminya pindah kerja ke

(6)

http://dx.doi.org/10.31503/madah.v13i1.425

Kalimantan. Jikalau nanti ada orang yang bertanya ‘ suamimu kok tidak pernah pulang?’ akan dijawab jika bekerja di Sumatera.’

Subaltern yang dialami Ranti karena ia berusaha memperjuangkan harga diri keluarga. Ia tidak mau, keluarga yang sudah dibangunnya dengan kepercayaan kepada suaminya porak poranda. Ia juga tidak mau anak-anaknya menjadi cibiran teman-teman sekolahnya. Kebohongan demi kebohongan ditempuhnya. Ia merasa bahwa upaya baik ini ditempuh dalam rangka melindungi perasaan orang banyak, terutama anaknya, serta menghargai aib suaminya. Tetapi ia lupa bahwa komunikasi yang baik menjadi salah satu hal penting yang perlu dilakukan agar emosi anak terbangun dan terjaga. Mengingat keluarga merupakan tempat berlangsungnya sosialisasi dan transformasi nilai-nilai moral, etika, dan sosial yang intensif dan berkesinambungan di antara anggotanya dari generasi ke generasi (Geertz, 1985). Ia tidak memungkiri bahwa hidup dengan segala kekangan batin juga bukanlah sesuatu yang nyaman. Dengan sadar ia menyalahkan dirinya sendiri karena tidak merasa curiga dengan apa yang dilakukan suaminya di Surabaya. Hal ini dimungkinkan terjadi karena Ranti hidup di lingkungan Jawa yang terikat oleh norma kehidupan karena sejarah, tradisi, dan agama (Adhtiya, 2015). Ia menyadari bahwa pelanggaran norma yang dilakukan suaminya disebabkan oleh tidak dipatuhinya lagi norma yang berlaku dalam keluarga dan masyarakat sehingga berdampak pada keluarganya (Achmad, 2018; Endraswara, 2010). Ranti digambarkan menjadi perempuan tangguh yang berjuang menjaga keluarganya. Ia sendiri menjadi sosok yang terbungkam.

Dalam narasi yang berbeda, indikator “tidak dapat berbicara” juga terjadi pada Cêrkak “Kasunyatan” (K) karya Tatiek Poerwa Kalingga.

“Mas Adi, aku sarujuk mênawa Dinda dadi sisihanmu apa mênèh saiki wis bobot.

Aku bisa nampa Mas, aku ngrumangsani ora bisa mènèhi turun, Om kalihan Bulik kula suwun nyarujuki pêrkawis mênika. Saestu kasunyatan ingkang kêdah dipun tampi, Dinda badhe dados Dinda ingkang sami kalihan wingi uni.”

(Halaman 27, kolom ketiga, paragraf 2)

‘Mas Adi, aku setuju jika Dinda menjadi pasanganmu apalagi dia sekarang sudah mengandung. Aku bisa menerima Mas, aku merasa tidak bisa memberikan keturunan, Om dan Bulik aku minta untuk menyetujui masalah ini. Sebenar-benarnya kenyataan yang harus diterima, Dinda akan tetap menjadi Dinda yang sama seperti kemarin.’

Dalam cêrkak ini, peristiwa subaltern perempuan dengan jelas dialami oleh tokoh Atika. Tokoh Atika sendiri adalah anak dari kakak laki-laki Pak Hermawan, ayah Dinda. Sebagai istri Adi, Atika memang menyadari dan legawa kalau dirinya tidak bisa memberikan keturunan. Hingga akhirnya terbukti bahwa suaminya, Adi, berselingkuh dengan adik sepupunya bahkan sampai menghamilinya, yaitu Dinda.

Seperti yang tertulis dalam cuplikan cerita berikut,

“Mumpung wontên Dhik Tika, kula badhe jujur mênawi sêjatosipun Dinda mênika gadhah masalah ingkang magêpokan kaliyan priya. Kula nglênggana lêpat, mênika kasunyatan ingkang kêdah kula adhêpi. Kasunyatan ingkang botên sagêd uwal saking pribadi kula, Dinda bobot amargi tumindak kula Om,

(7)

Wiwien Widyawati Rahayu.

Subalternitas Perempuan Dalam Cerita Pendek Jawa

Bulik, Dhik Tika. Pramila wêkdal mênika ugi kula suwun Dinda kêparêng botên kêparêng badhe ngampingi gêsang kula,” kandhane Adi tatag ing ngarêpe bojone. (Halaman 27, kolom ke-3, paragraf ke-1)

‘Mumpung ada dhik Tika, aku akan jujur menyampaikan bahwa,

“sesungguhnya Dinda mempunyai masalah berkaitan dengan laki-laki. Aku mengakui bersalah, ini kenyataan yang harus aku hadapi. Kenyataan yang tidak dapat lepas dari kehidupan pribadiku, Dinda mengandung akibat perbuatan saya Om, Tante, Dhik Tika. Karenanya, saat ini juga, Dinda diijinkan atau tidak akan mendampingi hidup saya”, demikian perkataan Adi di depan istrinya.

Kejanggalan terjadi ketika secara serta merta bahkan tanpa disertai reaksi marah, Atika menyetujui hubungan Adi dan Dinda. Saat itu, Atika juga mengatakan bahwa dia mengerti jika dia tidak dapat memberi keturunan. Lalu seakan kurang, Atika justru meminta Pak Hermawan dan Ibu Hermawan untuk menyetujui hubungan Adi dan Dinda. Seperti yang tertulis dalam penggalan cêrkak berikut,

Pak Hèrmawan lan garwane ora bisa kumêcap, nanging Atika kang mangsuli,

“Mas Adi, aku sarujuk mênawa Dinda dadi sisihanmu apa manèh saiki wis bobot.

Aku bisa nampa Mas, aku ngrumangsani ora bisa mènèhi turun. Om kaliyan Bulik kula suwun nyarujuki pêrkawis mênika. Saèstu kasunyatan ingkang kêdah dipuntampi, Dinda badhe dados Dinda ingkang sami kaliyan wingi uni.”

(Halaman 27, kolom ke-3, paragraf ke-2).

Pak Hermawan dan istrinya tidak dapat berkata-kata, karenanya Atika yang menjawab, “Mas Adi, saya setuju Dinda menjadi istrimu terlebih kondisinya sudah hamil. Saya dapat menerima, saya menyadari tidak dapat memberikan keturunan”. “Om dan Bulik saya mohon memahami masalah ini. Benar-benar kenyataan yang harus diterima, Dinda akan (tetap tidak berubah) menjadi Dinda seperti yang dahulu”.

Melalui beberapa analisis tersebut, terbukti bahwa tokoh Atika mensubalternkan dirinya sendiri. Hal ini menimbulkan beberapa persepsi bahwa Atika mungkin beranggapan adalah hal yang wajar jika suaminya memperoleh pengganti karena dirinya tidak dapat memberikan keturunan sehingga dianggap tidak sempurna. Hal ini dimungkinkan juga karena adanya pandangan yang membelenggunya tentang bagaimana perempuan Jawa seharusnya, yang mampu macak ‘merias diri’, masak ‘memasak’, dan manak ‘melahirkan anak’ (Kuntjara, 1997).

Meski seharusnya tidak dapat mempunyai keturunan tidak sepenuhnya kesalahan Atika. Ketidakmampuan menyampaikan perasaan yang sesungguhnya, merupakan ketidakberdayaan. Perihal keturunan adalah takdir yang dikehendaki oleh Tuhan, dan seharusnya suami Atika, Adi, tidak sepatutnya berbuat hal demikian. Atika digambarkan menjadi sosok yang sangat sabar, lapang dada, ditandai dengan pernyataannya yang telah dikutipkan. Meski tidak dipungkiri, tidak ada satupun perempuan yang tidak merasa kecewa jika suaminya bermain hati di belakang, apalagi sampai berbuat hal yang sangat melanggar norma agama. Atika kecewa, itu sudah pasti. Negosiasi diri yang dilakukannya, diamnya Atika sangat mungkin justru

(8)

http://dx.doi.org/10.31503/madah.v13i1.425

dipengaruhi atas hadirnya jabang bayi yang telah dikandung Dinda. Naluri seorang perempuan, seorang Ibu, lebih mengemuka. Bukan lagi pada perselingkuhan suaminya.

3.2 Abai dengan Kata Hati

Kata hati sebagai hal yang tidak kita sadari hadirnya, seringkali kita abaikan.

Padahal ia dapat menjadi sinyal, reminder, atas apa yang akan menimpa kita. Hal ini dapat ditemui dalam cêrkak, yaitu “Salah Dalan” (SD) karya Jasmine Astuti (Djaka Lodang, No. 01, 6 Juni 2020).

Kudune, nalika Reza ora ngidini dolan Surabaya wis curibya, ana bab kang ora kêna dimangêrtèni bojo alias bab kang nyalawadi. Hhhhhm! Tangane ngêpêl ngantêmi sirah, hhhhh!! bodho tênan aku iki. (Halaman 27, kolom pertama, paragraf pertama larik terakhir).

‘seharusnya, ketika Reza tidak mengizinkan(nya) pergi ke Surabaya (ia) sudah curiga, (sampai) ada sesuatu yang tidak dapat diketahui istri padahal sesuatu yang menyalahi aturan. Hhhhm! Tangannya terkepal memukul kepala, hhhh!

Bodoh sekali aku ini.’

Kesadaran diri yang terlambat diakui Ranti, tokoh perempuan dalam cêrkak ini, dengan menyebut, “bodho tenan aku iki” merupakan ekspresi penyesalan melalui umpatan, makian yang paling buruk atau rendah. Mesti tampak merendahkan diri, makian adalah sebuah ungkapan yang bisa dilihat sebagai penyaluran dari suatu emosi dan merupakan reaksi dari seorang penutur yang menggunakan kata-kata tabu dalam cara yang non teknis dan bersikap emotif (Karjalainen, 2002, hlm. 20).

3.3 Mendapatkan Stigma atau Anggapan Tertentu

Stigma tidak dapat memiliki keturunan, sangat menyudutkan perempuan melalui narasi yang ada. Seolah-olah sumber ketidakmampuan hanya ada di perempuan. Hal ini semakin melegalkan adanya perselingkuhan suaminya sebagai dampak situasi kondisi tersebut. Seperti dikutipkan dalam cêrkak “Kasunyatan” (K) karya Tatiek Poerwa Kalingga (Djaka Lodang, No. 06, 11 Juli 2020)

… Aku bisa nampa Mas, aku ngrumangsani ora bisa mènèhi turun. …. (Halaman 27, kolom ke-3, paragraf ke-2).

‘… Saya dapat menerima (memahami) Mas, saya merasa tidak bisa memberikan keturunan. …’

Perempuan ideal di konteks masyarakat Indonesia dikonstruksi sebagai istri yang mengabdi kepada suami dan mampu memberikan keturunan dalam rumah tangga. Meski belenggu konstruk tersebut melekat kuat di lingkungan keluarganya, kesadaran Atika untuk terus meyakinkan dirinya bahwa dirinya sangat bodoh ketika tidak peka atas situasi kondisi perselingkuhan suaminya menunjukkan ekspresi kemarahan.

Selanjutnya, dalam cêrkak “Salah Dalan” (SD) narasi terkait stigma sebagai berikut.

(9)

Wiwien Widyawati Rahayu.

Subalternitas Perempuan Dalam Cerita Pendek Jawa

“Pak, ngêndikanipun Rina niku anak lêmbu pêtêng nggih?” (Halaman 26, kolom ke-2, paragraf ke-6)

‘Pak, katanya Rina itu anak lêmbu pêtêng (anak yang tidak jelas) ya?’

Sebutan lêmbu pêtêng, menegaskan ketidakjelasan asal usul dirinya, dalam hal ini, siapa ayah dan suaminya. Mengingat di konteks ini yang mengalami subalternitas, Rina dan Bu Niti. Kondisi yang tidak jelas berdampak pada proses pernikahan yang mensyaratkan ayah kandung sebagai wali. Sehingga, wali hakim menjadi solusinya.

“Bu Niti, untuk menikahkan anak anda saudara minta saya menjadi wali hakim?” Ngono ngêndikane pênghulu kanthi cara mlayu. “Injih Pak,” ngono wangsulane Bu Niti (Halaman 26, kolom pertama, paragraf kelima).

‘”Bu Niti, untuk menikahkan anak anda saudara minta saya menjadi wali hakim?” begitu kata penghulu dengan cepat.’

Dalam cêrkak “Salah Tampa” (ST) karya Nini Klenyem (Djaka Lodang, No.20, 17 Oktober 2020).

… Piye ya saupama Rini sing ayu kuwi tak pèk bojo apa kira-kira gêlêm? Coba wae tak wènèhane apa-apa minangka piwalêse sok ngirim-ngirimi lawuh lan sayur ning aku karo kanggo mancing. (Halaman 27, kolom ke-2 sampai ke-3, paragraf pertama)

‘… Bagaimana jika seumpama Rini yang cantik itu kujadikan istri apakah kira- kira dia bersedia? Coba saja kuberi apa-apa sebagai balasan dari dia yang biasa mengirimi lauk dan sayur padaku untuk memancing.’

… Oh paling mung isin yèn muni gêlêm. (Halaman 27, kolom ke-3, paragraf ke- 3).

‘… Oh mungkin hanya malu untuk mengatakan mau.’

Narasi tersebut membuktikan tidak adanya komunikasi baik antara Haryanto, kekasih Rini, dengan ayahnya. Sehingga kesalahpahaman terjadi ketika Rini diberi amanah merawat ayahnya selama dia melanjutkan pendidikan. Kenekadan Rini menerima permintaan Haryanto untuk merawat ayahnya merupakan hal yang seringkali menjadi bumerang dalam praktik berelasi antara dua manusia yang sedang menjalin hubungan. Perempuan menjadi sosok yang sangat percaya dengan kekasihnya, tanggung jawab merawat dibebankan kepadanya meski status belum jelas. Peluang perempuan menjadi objek sungguh di depan mata. Disinilah stigma bahwa perempuan mudah dibujuk/dirayu menjadi perhatian.

3.4 Merasa Tidak Berdaya

Kategori merasa tidak berdaya diambil karena di dalam subaltern, perempuan yang disubalternkan akan merasa tidak mampu untuk melawan keadaan yang menimpanya.

Dalam cêrkak “Salah Dalan” karya Jasmine Astuti (Djaka Lodang, No.01, 6 Juni 2020)

(10)

http://dx.doi.org/10.31503/madah.v13i1.425

“O, Gusti… apa kang dibundhêli rong taun iki wiwit kêbukak. Apa aku blaka karo kêdadèan sabênêre sasuwene bapake ra mulih-mulih? Piye iki?” (Halaman 26, kolom pertama, paragraf 8).

‘O, Tuhan … apa yang sudah diikat rapat dua tahun ini mulai terbuka. Apa aku berkata jujur mengenai kejadian sebenarnya perihal ayahnya yang tidak pulang- pulang? Bagaimana ini?’

Dalam cêrkak “Kasunyatan” karya Tatiek Poerwa Kalingga (Djaka Lodang, No.06, 11 Juli 2020)

Pak Hèrmawan lan garwane ora bisa kumêcap, nanging Atika kang mangsuli, “Mas Adi, aku sarujuk mênawa Dinda dadi sisihanmu apa manèh saiki wis bobot. Aku bisa nampa Mas, aku ngrumangsani ora bisa mènèhi turun. Om kaliyan Bulik kula suwun nyarujuki pêrkawis mênika. Saèstu kasunyatan ingkang kêdah dipuntampi, Dinda badhe dados Dinda ingkang sami kaliyan wingi uni.” (Halaman 27, kolom ke-3, paragraf ke-2).

‘Pak Hermawan dan istrinya tidak bisa berkata sepatah katapun, tetapi Atika memberikan jawaban, “Mas Adi, aku setuju jika Dinda menjadi pasanganmu apalagi dia sekarang sudah mengandung. Aku bisa menerima Mas, aku merasa tidak bisa memberikan keturunan, Om kalihan Bulik aku minta untuk menyetujui masalah ini.

Sebenar-benarnya kenyataan yang harus diterima, Dinda akan tetap menjadi Dinda yang sama seperti kemarin.’

Dalam cêrkak “Kembang Kecubung” karya Mbah Met (Djaka Lodang, No. 12, 22 Agustus 2020)

“Ngapa ta, sampeyan, ki?” aloke, sawise cêcêpanku, daklèrèni. (Lanjutan bagian terakhir)

‘kenapa sih kamu itu?’ katanya langsung, setelah ciumanku kuhentikan.’

“Kapan?” aloke, karo mbrabak. (Lanjutan bagian terakhir)

‘kapan?’ ucapnya dengan mata berkaca-kaca.’

Dalam cêrkak “Lembu Peteng” karya Prima Supriyadi (Djaka Lodang, No. 13, 29 Agustus 2020).

… Atine niti lêkas gorèh, Jono ninggal glanggang colong playu ora tanggung jawab.

Niti bingung lan mumêt mikirake awake, mêrga awake wis beda, awake wis owah amarga wis ngandhut bayi kasile lambangsari karo Jono kang ora tanggung jawab.

Rasane ora adil, anane saiki Niti mung kudu wani ngadhêpi kasunyatan nanggung dhewe, nanggung rasanan tonggo têparo, nanggung dhewe marang bayi kang dikandhut, nanggung dhewe dosa kang dilakoni bêbarêngan karo Jono. (Halaman 27, larik ke-3, paragraf terakhir).

‘Hatinya Niti mulai goyah, Jono meninggalkan masalah namun lari tidak bertanggung jawab. Niti bingung dan pusing memikirkan dirinya, karena tubuhnya

(11)

Wiwien Widyawati Rahayu.

Subalternitas Perempuan Dalam Cerita Pendek Jawa

sudah berbeda, tubuhnya sudah berbeda karena sudah mengandung bayi hasil hubungannya dengan Jono yang tidak bertanggung jawab. Rasanya tidak adil, adanya sekarang Niti hanya harus berani menghadapi kenyataan menanggung sendiri, menanggung omongan buruk dari tetangga, menanggung sendiri bayi yang dikandungnya, menanggung sendiri dosa yang dilakukan bersama dengan Jono.’

Ketidakberdayaan yang ditandai dengan munculnya rasa malu perempuan atas kejadian yang menimpa rumah tangganya menjadi latar terjadinya upaya-upaya memanipulasi situasi kondisi tersebut. Perempuan menjadi lupa bahwa, solusi yang dipilih akan menjadi bumerang yang tiap saat akan menyerang dengan lebih keras.

Pemahaman yang ambigu atas belenggu budaya mitos rumah tangga Jawa mengakar kuat berdampak pada penafsiran yang tidak tepat.

3.5 Menjadi korban

Dalam cêrkak “Lêmbu Pêtêng” karya Prima Supriyadi (Djaka Lodang, No.13, 29 Agustus 2020).

Atine Niti lekas goreh. Jono ninggal glanggang colong playu ora tanggung jawab. Niti bingung lan mumet mikirake awake, merga awake wis beda, awake wis owah amarga ngandhut bayi kasile tambangsari karo Jono kang ora tanggung jawab.

(Halaman 27. Kolom ketiga, paragraf ke-5, baris ke-2).

‘Hatinya Niti mulai goyah, Jono meninggalkan masalah namun lari tidak bertanggung jawab. Niti bingung dan pusing memikirkan dirinya, karena tubuhnya sudah berbeda, tubuhnya sudah berbeda karena sudah mengandung bayi hasil hubungannya dengan Jono yang tidak bertanggung jawab.’

Di dalam narasi tersebut tergambarkan bagaimana Jono tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Sangat jelas tergambar bahwa Niti menjadi korban. Kesadaran atas perbuatan yang dilakukannya dan ketidakadilan yang menimpanya sebagai jalan untuk tindakan selanjutnya. Dia harus berani bertanggung jawab dengan menghadapi kenyataan.

Seperti ternarasikan dalam teks berikut.

Rasane ora adil, anane saiki Niti mung kudu wani ngadêpi kasunyatan nanggung dhewe, nanggung dhewe marang bayi kang dikandhut, nanggung dhewe dosa kang dilakoni bêbarengan karo Jono. (Halaman 27, kolom ketiga, paragraf ke-5, baris ke- 9).

‘Rasanya tidak adil, adanya sekarang Niti hanya harus berani menghadapi kenyataan menanggung sendiri, menanggung omongan buruk dari tetangga, menanggung sendiri bayi yang dikandungnya, menanggung sendiri dosa yang dilakukan bersama dengan Jono.’

Ketangguhan menerima dan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan Niti menjadi salah satu contoh bagaimana seharusnya perempuan bertindak.

(12)

http://dx.doi.org/10.31503/madah.v13i1.425

4. Simpulan

Cerita pendek Jawa yang menjadi objek material penelitian menjadi upaya baik membangun kesadaran perempuan untuk terus berjuang bernegosiasi menuju kesetaraan yang diharapkannya. Kesadaran diri menjadi hal utama agar dapat mewujudkan hal itu. Strategi pengarang mengangkat isu-isu sederhana yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari menjadi topik menarik agar karya sastra yang dihasilkan dibaca dan dipahami maknanya. Disamping juga untuk membuktikan bahwa subalternitas masih banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari di sekitar perempuan.

Belenggu budaya tetap menonjol dalam penceritaan, yang dengannya justru menjadi hal menarik. Kenapa begitu, karena di tiap daerah, ruang, budaya berbeda.

Dengan demikian tawaran yang diberikan kepada pembaca melalui narasi yang dibangun pengarang adalah kemampuan adaptasi, penyesuaian, agar tidak terjadi kegagapan dalam menyikapi situasi yang sangat mungkin tidak diharapkan atau tidak sesuai harapan. Adaptasi menjadi hal yang terus dimampukan pengarang melalui proses membaca cerita pendek Jawa. Ketuntasan penyelesaian masalah ditunjukkan dengan pengambilan keputusan yang kadang di luar nalar. Hal ini justru menjadi bahan perenungan terus menerus di benak perempuan. Dengan demikian, meski cerita pendek Jawa sederhana dalam penarasiannya tetapi mengandung makna yang dalam.

Tuntutan harmoni dalam hidup dan kehidupan menjadi tujuan utama yang hendak disampaikan pengarang melalui karya yang dihasilkan. Cara pandang berbeda pada saat membaca karya sastra Jawa khususnya cerita pendek menjadi peluang pembaca, perempuan dalam memahami upaya baik yang menjadi pilihan solusi alternatif. Sehubungan hal itu, membongkar kembali cerita pendek Jawa dengan cara yang berbeda menjadi hal yang patut dipertimbangkan.

Daftar Pustaka

Achmad, S. W. (2018). Etika Jawa: Pedoman luhur dan prinsip hidup orang Jawa.

Adhtiya, Y. (2015). Keluarga di Masyarakat Jawa dalam Perspektif Cultural Studies (UIN

Walisongo). UIN Walisongo, Semarang. Diambil dari

http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/4309/

Aisyah, S. N., & Widodo, W. (2019). Citra Perempuan dan Bias Gender dalam Novel Juminem Dodolan Tempe Karya Tulus Setiyadi. Sutasoma : Jurnal Sastra Jawa, 7(1). doi:

10.15294/sutasoma.v7i1.31478

Bahardur, I. (2017). Pribumi Subaltern dalam Novel-novel Indonesia Pascakolonial.

Gramatika STKIP PGRI Sumatera Barat, 4(1). doi: 10.22202/jg.2017.v3i1.1876

Endraswara, S. (2010). Etika hidup orang Jawa: Pedoman beretiket dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Yogyakarta; Jagakarsa, Jakarta: Narasi : Distributor, Suka Buku.

Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London:

Longman.

Geertz, H. (1985). Keluarga Jawa. Jakarta: Penerbit PT Grafiti Pers.

Giddens, A. (2016). Teori strukturasi: Dasar-dasar pembentukan struktur sosial masyarakat.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Diambil dari http://opac.library.um.ac.id/oaipmh/

../index.php?s_data=bp_buku&s_field=0&mod=b&cat=3&id=42694

(13)

Wiwien Widyawati Rahayu.

Subalternitas Perempuan Dalam Cerita Pendek Jawa

Hearty, F. (2015). Keadilan Jender: Perspektif Feminis Muslim dalam Sastra Timur Tengah.

Diambil 25 September 2021, dari Universitas Indonesia Library website:

http://lib.ui.ac.id

Hornby, A. S. (2010). Oxford advanced learner’s dictionary of current English. Oxford: Oxford University Press.

Kartika, B. A. (2011). Eksploitasi Concubinage dan Subjek Subaltern: Hegemoni atas Perempuan Indonesia dalam Tinjauan Kritis Pascakolonial dan Feminisme Novel De Winst Karya Afifah Afra. ATAVISME, 14(1), 51–64. doi:

10.24257/atavisme.v14i1.102.51-64

Khairunisa, P. M., & Liliani, E. (2019). Kedudukan Sublatern Tokoh Perempuan Pribumi dalam Novel Bunga Roos dari Tjikembang Karya Kwee Tek Hoay (Kajian Poskolonialisme).

Undefined. Diambil dari https://www.semanticscholar.org/paper/Kedudukan- Subaltern-Tokoh-Perempuan-Pribumi-Dalam-Khairunisa-

Liliani/0703f552db59fd06f2d76cd99a7aa84600961c53

Kuntjara, E. (1997). Challenging the Tradition of Javanese Women. Asian Journal of Women’s Studies, 3(3), 77–100. doi: 10.1080/12259276.1997.11665802

Lestari, W. D., Suwandi, S., & Rohmadi, M. (2019). Kaum Subaltern dalam Novel-Novel Karya Soeratman Sastradihardja: Sebuah Kajian Sastra Poskolonial (Subaltern in Novels by Soeratman Sastradihardja: A Post-Colonial Literature Study). Widyaparwa, 46(2), 178–

188. doi: 10.26499/wdprw.v46i2.175

Makaryk, I. R. (1993). Encyclopedia of contemporary literary theory: Approaches, scholars, terms. Toronto: University of Toronto Press.

Morton, S. (2008). Gayatri Spivak: Ethics, subalternity and the critique of postcolonial reason.

Cambridge: Polity.

Poerwadarminta, W. J. S. (1939). Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters.

Prawiroatmodjo, S. (1981). Bausastra Jawa-Indonesia. Jilid II, Jilid II,. Jakarta: Gunung Agung.

Rancière, J. (2015). Dissensus: On Politics and Aesthetics. Bloomsbury Publishing Plc. doi:

10.5040/9781474249966

Şimşek, B., & Jongerden, J. (2021). Gender Revolution in Rojava: The Voices beyond Tabloid Geopolitics. Geopolitics, 26(4), 1023–1045. doi: 10.1080/14650045.2018.1531283 Susila, T. U. (2019). Citra Perempuan dan Ketidakadilan Gender dalam Novel Candhikala

Kapuranta Karya Sugiarta Sriwibawa (Other, UNNES). UNNES. Diambil dari http://lib.unnes.ac.id/35402/

Susilastri, D. (2020). Resistensi Perempuan Subaltern dalam Cerpen “Mince, Perempuan dari Bakunase” Karya Fanny J. Poyk. BIDAR: Jurnal Ilmiah Kebahasan & Kesastraan, 10(1), 22–36.

Teeuw, A. (Andries). (2017). Sastra dan ilmu sastra: Pengantar teori sastra. Diambil 18 Oktober 2021, dari Universitas Indonesia Library website: http://lib.ui.ac.id

Udasmoro, W. (2017). Dari doing ke undoing gender: Teori dan praktik dalam kajian feminisme. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

(14)

http://dx.doi.org/10.31503/madah.v13i1.425 Widati, S. (2009). Feminisme dalam Sastra Jawa Sebuah Gambaran Dinamika Sosial.

ATAVISME, 12(1), 83–96.

Yasmin, S. A., Udasmoro, W., & Sajarwa, S. (2020). Women, Mothers, and Monsters in Leïla Slimani’s Novel “Dans Le Jardin de l’Ogre.” Lensa: Kajian Kebahasaan, Kesusastraan, Dan Budaya, 10(2), 179–189. doi: 10.26714/lensa.10.2.2020.179-189

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan menganalisis struktur ukuran, hubungan panjang berat, dan faktor kondisi ikan cakalang ( Katsuwonus pelamis ) yang didaratkan di PPI Labuan Bajo

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dengan motivasi berprestasi pada siswa SMP H. Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan positif

QHJDUD \DQJ EHUEHQWXN IHGHUDO 1DPXQ GHPLNLDQ WLGDN VHODPDQ\D QHJDUD \DQJ EHUEHQWXN NHVDWXDQ VLVWHP SDUOHPHQQ\D XQLNDPHUDO GDQ QHJDUD \DQJ EHUEHQWXN IHGHUDO VLVWHP SDUOHPHQQ\D

Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, sebagai Penjabat Walikota Metro tidak mempunyai kewenangan tanpa seijin tertulis dari Menteri Dalam Negeri untuk

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja media komunikasi yang digunakan PKPA, pesan apa yang disampaikan melalui media komunikasi PKPA, penggunaan

Metode Perkiraan Laju Aliran Puncak (Debit Air) sebagai Dasar Analisis Sistem Drainase di Daerah Aliran Sungai Wilayah Semarang Berbantuan SIG.. Jurnal Teknologi

Analisis Penyebab Kecacatan Produk Bordir Komputer Menggunakan Metode Fault Tree Analysis (FTA) dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) di CV.BATARI

Berdasakan hasil uji data dan analisis data, dapat dinyatakan bahwa alokasi penggunaan dana Otonomi Khusus Pemerintah Aceh baik melalui otonomi khusus provinsi