HANDOUT
KEGIATAN PERKULIAHAN SEMESTER GANJIL FAKULTAS ADAB DAKWAH DAN USHULUDDIN
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON TAHUN AKADEMIK 2016/2017
A. IDENTITAS MATA KULIAH
1. Nama Mata Kuliah : Bimbingan Ibadah Haji dan Umroh 2. Kode Mata Kuliah :
3. Semester/SKS : VII/2 SKS 4. Jurusan/Fakultas : BKI/
5. Jenis Mata Kuliah : Wajib/Pilihan
6. Prasyarat :
7. Dosen : Muhadditsir Rifa‟i, M.Pd.I B. BAGIAN ISI
Pertemuan Ke IV: Macam-macam Haji Tujuan Pembelajaran:
Macam-macam Haji
Haji Ifrodh dan keutamaannya
Haji Qiron dan keutamaannya
Haji Tamattu‟ dan keutamaannya
Badal Haji Uraian Singkat Materi:
Macam-Macam Haji
Para Ulama Madzhab sepakat bahwa haji ada 3 macam, yaitu: tamattu’, qiran, dan ifrad.
1. Haji Ifrad
Haji ifrad ialah melakukan haji saja. yaitu seorang berniat melakukan haji saja tanpa umrah pada bulan-bulan haji, dengan mengucapkan niat ihram haji di miqat, “Labbaika hajjan”. Sama dengan haji qiran; setelah sampai di Mekkah, lalu melakukan thawaf qudum dan sa’i (untuk sa’i boleh ditunda sampai setelah melakukan thawaf ifadhah pada tanggal 10 Dzulhijjah). Setelah sa’i tidak halal baginya melakukan hal-hal yang diharamkan ketika ihram, jadi dia tetap dalam keadaan ihram sampai tanggal 10 Dzulhijjah. Bagi yang akan umrah wajib atau sunnah maka setelah menyelesaikan hajinya, dapat melaksanakan umrah dengan
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON FAKULTAS ADAB DAKWAH DAN USHULUDDIN
Alamat: Jln. Perjuangan By Pass Sunyaragi Telp./Faks (0231) 481264/489926 Cirebon Website: www.web.iaincirebon.ac.id /Addin. E-mail: [email protected]
miqat dari Tan‟im, Ji‟ranah, Hudaibiyah atau dareah tanah halal lainnya. Cara ini tidak dikenakan dam.
Haji ifrad yaitu ibadah haji dengan cara melaksanakan ibadah haji dahulu kemudian ibadah umroh, dan diselingi tahallul.
Pelaksanaan :
a) Ihram dari miqat untuk haji
b) Ihram lagi dari miqat untuk umroh c) Tidak membayar dam
Para ulama madzhab dalam hal ini sepakat bahwa arti ifrad ialah melakukan haji terlebih dahulu, dan setelah selesai dari amalan-amalan haji ia melakukan ihram untuk umrah, dan kemudian melakukan amalan-amalan umrah.
2. Haji Qiran
Haji qiran ialah mengerjakan haji dan umrah di dalam satu niat dan satu pekerjaan sekaligus. Yaitu seorang berniat melakukan haji saja tanpa umrah pada bulan-bulan haji, dengan mengucapkan di miqat,“Labbaika hajjan wa „umrotan”.
Setelah sampai di Mekkah, lalu melakukan thawaf qudum dan sa’i (untuk sa’i boleh ditunda sampai setelah melakukan thawaf ifadhah pada tanggal 10 Dzulhijjah). Setelah sa’i tidak halal baginya melakukan hal-hal yang diharamkan ketika ihram, jadi dia tetap dalam keadaan ihram sampai tanggal 10 Dzulhijjah.
Cara ini juga wajib membayar dam nusuk. Pelaksanaan dam sama dengan pada haji tamattu’.
Pelaksanaan :
a) Ihram dari miqat untuk Umroh b) Ihram lagi dari miqat untuk Haji c) Membayar Dam
d) Disunatkan Tawaf Qudum.
Dalam Hal ini Imam Madzhab sepakat bahwasannya mengartikan Qiran adalah berihram untuk haji dan umrah secara bersamaan, dengan mengatakan.
“Labbaikallohumma Bihajjin wa „Umratin”
3. Haji tamattu’.
Haji tamattu’ ialah melakukan umrah terlebih dahulu pada musim haji, kemudian melaksanakan ibadah haji. Yaitu dengan cara berniat untuk mengambil umrah haji ketika sampai di miqat sebelum memasuki kota Makkah dengan ucapan,
“Allahumma labbaika „umratan mutamatti‟an biha ilal hajj”. Setelah sampai di
Makkah, lalu melaksanakan umrah dengan cara yang sama seperti tata cara umrah.
Setelah melakukan umrah sampai selesai melakukan tahalul, halal baginya segala sesuatu yang tadinya diharamkan ketika ihram, sampai tanggal 8 Dzulhijjah baru kemudian berihram kembali untuk menyempurnakan amalan-amalan haji yang tersisa. Ia melaksanakan seluruh manasik umrah, kemudian melaksanakan manasik haji dengan sempurna pula.
Bila menggunakan cara ini, maka yang bersangkutan diwajibkan membayar dam nusuk (berupa menyembelih seekor kambing, kalau tidak mampu berpuasa 10 hari yaitu 3 hari di Makkah atau di Mina dan 7 hari di tanah air), apabila puasa 3 hari di Makkah tidak dapat dilaksanakan karena suatu hal maka harus diqadha sesampainya di kampung halaman dengan ketentuan puasa yang tiga hari dengan tujuh hari dipisahkan 4 hari.
Dalam hal ini para Imam madzhab sepakat bahwa arti tamattu’ ialah melakukan amalan-amalan umroh terlebih dahulu pada bulan-bulan haji, dan setelah selesai baru melaksanakan amalan-amalan haji.
Empat madzhab: boleh bagi siapa saja baik orang Makah ataupun non Mekah untuk memilih salah satu diantara tiga bentuk haji, yaitu: Tamattu‟, Qiran, dan ifrad. Tidak ada yang dimakruhkan. Hanya Abu Hanifah yang berpendapat:
Bagi orang mekah dimakruhkan melakukan tamattu’ dan qiran secara bersamaan.
Bagi orang menunaikan haji tamattu’ dan qiran wajib menyembelih hewan hadyu, minimal seekor kambing, dan jika tidak mampu bias diganti dengan puasa sepuluh hari: tiga hari di antaranya dilakukan pada waktu haji, (setelah memulainya dengan ihram) dan yang afdhal pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, diperbolehkan pula puasanya pada hari tasyriq juga seperti dalam hadits Al Bukhari: Tidak ada rukhshah berpuasa di hari tasyriq kecuali bagi orang yang tidak mendapatkan al hadyu.
Jika puasa tiga hari lewat waktunya maka ia wajib mengqadha‟nya. Dan tujuh hari lainnya ketika sudah kembali ke tanah air, tidak disyaratkan berkelanjutan puasa itu kecuali pada tiga hari pertama. Dan tujuh hari berikutnya tidak wajib berurutan.
Dalil-Dalil Tentang Haji 1. Surat Al-Imran Ayat 97
Artinya: "sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang ada di Bakkah (Makkah) yang selalu di berkati dan jadi petunjuk untuk alam manusia semesta. Disitu terdapat beberapa bukti yang nyata, diantaranya tempat peribadatan Ibrahiim. Barang siapa yang bisa masuk kedalamnya, niscaya mendapat keamanan. Allah mewajibkan kepada manusia mengerjakan haji ke rumah itu yaitu orang-orang yang berkemampuan untuk kesana. Siapa yang ingkar, sesungguhnya allah maha kaya tidak membutuhkan sesuatu dari alam semesta"
Dari ayat diatas, kami berpendapat bahwa ka‟bah (Baitullah) merupakan suatu tempat yang pertamakali dijadikan sebagai tempat ibadah manusia yaitu sejak nabi Ibrahim, sebagaimana dikenal dengan sebutan tempat ibadahnya. Tidak ada sebelumnya tempat ibadah yang khusus sebelum Ka‟bah. Hal ini juga merupakan bantahan Allah terhadap Ahlu kitab yang mengatakan bahwa rumah ibadah yang pertama kali adalah baitul maqdis. ayat tersebut juga menyampaikan bahwa Ka‟bah tersebut juga merupakan sumber keberkahan dan sebagai petunjuk bagi seluruh alam.
2. Surat Al-Baqoroh ِAyat 196 – 197
Artinya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu
yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah).
Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang- orang yang berakal.”
3. Al-Baqarah Ayat 189
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya* akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
*Pada masa jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. hal ini ditanyakan pula oleh Para sahabat kepada Rasulullah s.a.w., Maka diturunkanlah ayat ini.
Dari ketiga macam haji tersebut di atas, para ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama? Perbedaan tersebut dikarenakan berbeda di dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat yang menjelaskan tentang ibadah haji, juga berbeda pendapat mengenai hadits-hadits Nabi yang menjelaskan pelaksanaan atau tata cara dari masing-masing ketiga macam haji tersebut di atas.
1) Lebih Utama Ifrad
Mazhab Malikiyah dan Syafi‟iyah berpendapat bahwa yang lebih utama adalah haji dengan cara ifrad. Pendapat mereka ini juga didukung oleh pendapat Umar bin Khattab, Utsman bin „Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas‟ud, Ibnu Umar, dan Jabir bin Abdillah. Selain itu juga didukung oleh pendapat dari Al-Auza‟i dan Abu Tsaur.
Dasarnya menurut mereka antara lain karena Haji ifrad ini lebih berat untuk dikerjakan, maka jadinya lebih utama. Selain itu dalam pandangan mereka, haji yang Rasulullah Saw. kerjakan adalah Haji ifrad.
2) Lebih Utama Qiran
Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa yang lebih utama untuk dikerjakan adalah Haji qiran. Pendapat ini juga didukung oleh pendapat ulama lainnya seperti Sufyan Ats-Tsauri, Al-Muzanni dari kalangan ulama mazhab Syafi‟iyah, Ibnul Mundzir, dan juga Abu Ishaq Al-Marwadzi.
Dalil yang mendasari pendapat mereka adalah hadits berikut ini :
ٍةَّجَح ِفِ ٌةَرْ ُعُ : لُكَو ِكَراَبُمْلا يِداَوْلا اَذَه ِفِ ل َص : لاَلَف ِّبّ َر ْنِم ٍتٓأ َ َلَْيَّللا ِنِ َتََأ
Artinya: Telah diutus kepadaku utusan dari Tuhanku pada suatu malam dan utusan itu berkata,”Shalatlah di lembah yang diberkahi ini dan katakan,”Umrah di dalam Haji”. (HR. Bukhari)
Hadits ini menegaskan bahwa awalnya Rasulullah Saw. berhaji dengan cara ifrad, namun setelah turun perintah ini, maka beliau diminta berbalik langkah, untuk menjadi Haji qiran.
Dan adanya perintah untuk mengubah dari ifrad menjadi qiran tentu karena qiran lebih utama, setidaknya itulah dasar argumen para pendukung pendapat ini.
3) Lebih Utama Tamattu’
Mazhab Hanabilah berpendapat bahwa yang paling baik dan paling utama untuk dikerjakan justru haji tamattu’. Setelah itu baru haji ifrad dan terakhir adalah haji qiran.
Di antara para shahabat yang diriwayatkan berpendapat bahwa haji tamattu’
lebih utama antara lain adalah Ibnu Umar, Ibnu Al-Abbas, Ibnu Az-Zubair, dan Aisyah. Sedangkan dari kalangan para ulama berikutnya antara lain Al-Hasan,
‟Atha‟, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qasim, Salim, dan Ikrimah.
Pendapat ini sesungguhnya adalah satu versi dari dua versi pendapat mazhab Syafi‟iyah. Artinya, pendapat mazhab Syafi‟iyah dalam hal ini terpecah, sebagian mendukung qiran dan sebagian mendukung tamattu’.
Di antara dasar argumen untuk memilih haji tamattu’ lebih utama antara lain karena cara ini yang paling ringan dan memudahkan buat jamaah haji.
Maka timbul lagi pertanyaan menarik, kenapa untuk menetapkan mana yang lebih afdhal saja, para ulama masih berbeda pendapat? Apakah tidak ada dalil yang qath‟i atau tegas tentang hal ini?
Jawabannya memang perbedaan pendapat itu dipicu oleh karena tidak ada nash yang secara langsung menyebutkan tentang mana yang lebih utama, baik dalil Al-Quran mau pun dalil Al-Hadits. Sehingga tetap saja menyisakan ruang untuk berbeda pendapat
Sementara itu, bagi yang telah meninggal dunia atau secara fisik tidak mampu melakasanakan ibadah haji sendiri maka boleh dibadalkan menurut sebagian ulama. Yang dimaksud dengan badal haji adalah kegiatan menghajikan orang yang telah meninggal (yang belum haji) atau menghajikan orang yang sudah tak mampu melaksanakannya (secara fisik) disebabkan oleh suatu udzur, seperti sakit yang tak ada harapan sembuh.
Semua ulama sepakat bahwa haji adalah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu, sekali dalam seumur hidupnya. Namun, ulama berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya melaksanakan badal haji.
Mayoritas ulama memperbolehkan badal haji atau dalam istilah fiqihnya al-hajj „an al-ghair. Di antara ulama empat madzhab yang memperbolehkan badal haji adalah Imam Hanafi, Imam Syafi‟i dan Imam Hambali. Hanya Imam Maliki yang tidak memperbolehkannya, kecuali kepada orang yang sebelum wafatnya sempat berwasiat agar dihajikan. Ini pun dengan harta peninggalannya sejauh tidak melebihi sepertiganya.
Alasan ulama yang tidak memperbolehkan badal haji adalah bahwasanya haji itu hanya diwajibkan kepada orang Islam yang mampu, baik fisik maupun keuangan. Jadi, kalau ada orang yang sakit atau lemah secara fisik maka ia dianggap
orang yang tidak mampu, karena itu ia tidak berkewajiban haji. Demikian juga orang yang telah wafat, ia dianggap sudah tidak berkewajiban untuk haji. Karena itu orang yang lemah secara fisik hingga tidak kuat untuk berhaji apalagi orang yang sudah wafat, maka kepada orang tersebut tidak perlu dilakukan badal haji. Orang ini dipandang telah gugur kewajiban hajinya.
Adapun alasan ulama yang memperbolehkan badal haji adalah berdasarkan kepada beberapa hadis berikut ini:
ِنَع ٍساَّبَع ِنْبا ِنَع ُة َضيِرَف ِهْيَلَع ٌيرِبَن ٌخْي َ ش ِبَِأ َّن ا ِ َّللَّا َلو ُسَر َيَ ْتَلاَك َمَعْثَخ ْنِم ًةَأَرْما َّنَأ ِل ْضَفْلا ِ
ُّ ِبَِّنلا َلاَلَف .ِهِيرِعَب ِرْه َظ َلََع َىِوَت ْ سَي ْنَأ ُعي ِطَت ْ سَي َلا َوُهَو ِّجَحْلا ِفِ ِ َّللَّا -
صلى الله عليه وسلم - ُهْنَع ىِّجُحَف « .»
1. Hadist riwayat Ibnu Abbas dari al-Fadl: "Seorang perempuan dari kabilah Khats'am bertanya kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?". Jawab Rasulullah: "Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!" (H.R. Bukhari, Muslim dll.).
ٍساَّبَع ِنْبا ِنَع -
مانهع الله ضىر ِّ ِبَِّنلا َلَ ا ْتَءاَخ َةَنْيَ ُجُ ْنِم ًةَأَرْما َّنَأ ِ -
- صلى الله عليه وسلم ىِّمُأ َّن ا ْتَلاَلَف ِ -
َم َّتََّح َّجُ َتَ َْلََف ، َّجُ َتَ ْنَأ ْتَرَذَه َلاَك اَ ْنهَع ُّجُحَأَفَأ ْتَثا
َلََع َن َكَ ْوَل ِتْيَأَرَأ ، اَ ْنهَع ىِّجُح . ْمَعَه «
ِءاَفَوْل ِبِ ُّقَحَأ ُ َّللَّاَف ، َ َّللَّا او ُضْكا ًةَي ِضاَك ِتْنُنَأ ٌنْيَد ِمِّمُأ
»
2. Hadist riwayat Ibnu Abbas ra: " Seorang perempuan dari bani Juhainah datang kepada Nabi s.a.w., ia bertanya: "Wahai Nabi Saw, Ibuku pernah bernadzar ingin melaksanakan ibadah haji, hingga beliau meninggal padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut, apakah aku bisa menghajikannya?. Rasulullah menjawab: Ya, hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi" (H.R.
Bukhari & Nasa'i).
َّ ِبَِّنلا َّنَأ ٍساَّبَع ِنْبا ِنَع -
صلى الله عليه وسلم َمْيَّبَل ُلوُلَي ًلاُخَر َعِ َسَ - َلاَك .َةَمُ ْبْ ُش ْنَع
ْوَأ ِلَ ٌخَأ َلاَك .َةَمُ ْبْ ُش ْنَم :
َلاَك . ِلَ ٌبيِرَك َم ِسْفَه ْنَع َتْجَجَح «
.»
َلاَك .َلا َلاَك َةَمُ ْبْ ُش ْنَع َّجُح َّ ُثُ َم ِسْفَه ْنَع َّجُح «
.»
3. Riwayat Ibnu Abbas, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah s.a.w. mendengar seorang lelaki berkata "Labbaik 'an Syubrumah" (Labbaik/aku memenuhi pangilanMu ya Allah, untuk Syubrumah), lalu Rasulullah bertanya "Siapa Syubrumah?". "Dia saudaraku, wahai Rasulullah", jawab lelaki itu. "Apakah kamu sudah pernah haji?" Rasulullah bertanya. "Belum" jawabnya. "Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubrumah", lanjut Rasulullah. (H.R. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).
Berdasarkan beberapa hadis tersebut, mayoritas ulama membenarkan adanya syariat badal haji, dengan syarat orang yang melaksanakan badal haji sudah terlebih dahulu melaksanakan haji untuk dirinya sendiri.
Argumentasi ulama yang tidak memperbolehkan badal haji:
1. Ibadah haji itu, sungguhpun terdiri dari dua macam yaitu ibadah fisik dan ibadah harta, namun unsur fisiknya lebih dominan. Karena itu ibadah haji tidak boleh diwakilkan atau digantikan oleh orang lain.
2. Berdasarkan al-Qur‟an surat al-Najm,39:Allah berfirman: ىَعَس اَم لاِإ ِناَسْنلإِل َسْيَل ْنَأَو (bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa seseorang hanya akan dapat pahala jika ia sendiri yang melakukannya. Karena itu amal ibadah yang dilakukan untuk atau atas nama orang lain, seperti badal haji, tidak akan ada manfaatnya. Jadi sia-sia saja.
3. Mengenai beberapa hadis yang menjelaskan adanya perintah Nabi Saw kepada sejumlah sahabat untuk melakukan haji atas nama orang tua dan saudaranya itu, oleh kelompok ulama ini, dinilai tidak shahih secara matan meski shahih secara sanad.
Karena dianggap bertentangan dengan al-Qur‟an surat al-Najm ayat 39 tersebut.
Pendapat ini didukung oleh ulama Malikiyah. Argumentasi ulama yang memperbolehkan badal haji:
1. Harus difahami bahwa Nabi Saw memiliki otoritas untuk menetapkan hukum sendiri selain berdasarkan al-Qur‟an. Karena itu tidak semua hadits yang
“terkesan” bertentangan dengan al-Qur‟an lalu dinyatakan tidak shahih. Seperti hadis tentang bolehnya menghajikan orang lain (orangtua atau saudara) yang dianggap bertentangan dengan surat al-Najm ayat 39 yang menerangkan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan pahala kecuali atas usahanya sendiri. Dalam kajian Ushul Fiqh dikenal adanya “takhshis”, yaitu pembatasan atau pengecualian terhadap ketentuan yang bersifat umum. Takhshis ini bisa berupa al-Qur‟an dengan ayat al-Qur‟an, dan bisa juga al-Qur‟an dengan al-Hadis. Sebagai contoh QS. Al-Maidah,3 (tentang: diharamkan atas kamu bangkai, hewan yang mati tanpa disembelih). Oleh Nabi Saw kemudian di “takhshis”, dibatasi dengan mengecualikan bangkai ikan dan belalang (HR.Ahmad, Ibn Majah dan al-Baihaqi.
Al-Albani menilainya shahih).
Kalau orang tidak memahami sunnah atau hadis, maka akan mengatakan bahwa semua bangkai adalah haram berdasarkan ayat al-Qur‟an tersebut. Tetapi, karena memahami adanya sunnah atau hadis yang berfungsi menjelaskaan
al-Qur‟an dan juga mengecualikan keterangan yang bersifat umum, maka bisa difahami bahwa semua bangkai haram kecuali yang dikhususkan oleh Nabi saw, yaitu bangkai ikan dan belalang.
Demikian juga tentang ayat yang menerangkan bahwa seseorang tidak akan dapat pahala kecuali dari usaha amalnya sendiri (QS. Al-Najm, 39). Oleh Nabi Saw, ayat yang bersifat umum tersebut dikecualikan dengan amalan badal haji, menghajikan orang yang telah meninggal (yang belum haji) atau menghajikan orang yang sudah tak mampu melaksanakannya (secara fiik) disebabkan oleh suatu udzur, seperti sakit yang tak ada harapan sembuh. (HR. Al- Bukhari dan Muslim). Ini berarti bahwa badal haji itu dibenarkan menurut syariat.
2. Jika ada hadis yang menerangkan bahwa amal manusia itu akan terputus bilamana telah maninggal kecuali tiga hal (amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mau mendoakannya) HR. Muslim. Maka yang terputus adalah usahanya sendiri, sementara usaha atau amalan orang lain masih bisa bermanfaat baginya seperti doa dan lain sebagainya. Adapun al-Qur‟an surat al-Najm,39 yang menerangkan bahwa manusia tidak akan dapat pahala selain dari amal usahanya sendiri, maka anak yang menggantikannya untuk badal hajinya adalah merupakan usaha orang tuanya.
3. Sebagian besar ulama madzhab mendukung pendapat tentang bolehnya melaksanakan badal haji, seperti ulama Hanafiah, Syafi‟iyah dan Hanbaliyah.
1). Imam al-Bukhari dalam Kitab Shahihnya membuat judul:
ُب َبِ
ِّجَحْلا ِر ْوُذُّنلاَو ِنَع
ِتِّيَمْلا ِلُخَّرلاَو ُّجُ َيَ
ِنَع ِةَأ ْرَمْلا
a. Bab al-hajj wa al-nudzur „an al-mayyit wa al-rajul „an al-mar‟ah (bab tentang haji dan nadzar dari orang yang mati dan haji orang laki-laki untuk perempuan)
ِّجَحْلا ببِ
ْنَّ َعُ
ُعي ِطَت ْ سَي َلا َتوُبُّثلا
َلََع َلَِحاَّرلا
b. Bab al-hajj „amman laa yastathi‟u al-tsubuut „alaa al-rahilah (bab tentang haji untuk orang yang tidak mampu duduk di atas kendaraan) 2). Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya membuat judul:
ِّجَحْلا ببِ
ِنَع ِز ِحاَعْلا ٍةَهاَمَزِل َهَو ٍمَر اَ ِهِِوْ َنََو ْوَأ تْوَمْلِل
Bab al-hajj „an al-„Ajiz lizamanatin waharamin wa nahwiha au lil maut (bab tentang haji untuk orang yang lemah dikarenakan sakit yang tak ada harapan sembuh atau karena ketuaan, dsb atau karena kematian).