• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALIS"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALIS

A. KAJIAN PUSTAKA 1. Tindak Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang sering didefinisikan dalam istilah

“Hukuman” atau dengan definisi lain sebagai suatu penderita yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh Negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukuman pidana23. Profesor Van Hamel pidana atau straf adalah : “Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakan oleh negara”24. Selanjutnya menurut profesor Simons, pidana atau straf adalah: ”Suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah

23 H. Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, Cetakan 1, Deepublish, Yogyakarta, 2018, Hal., 1.

24 Mukhlis R, Tindak Pidana Di Bidang Pertahanan Di Kota Pekanbaru, Jurnal Ilmu Hukum, Vol., 4, No., 1, Oktober 2012, Hal., 201.

(2)

18

dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”25.

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang dimana larangan disertai ancaman berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut26. Selanjutnya dibawah ini definisi tindak pidana menurut pakar- pakar. Menurut VOS delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum oleh undang- undang27. Van Hamel berpendapat, bahwa delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain28. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak ditemukan definisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. Berdasarkan asas konkordansi, sistem hukum pidana Indonesia mengadopsi hukum pidana dari Belanda, maka istilah asal tindak pidana berasal dari kata strafbaar feit artinya istilah Belanda yang dalam bahasa Indonesia dengan berbagai istilah. Selanjutnya muncullah beberapa pandangan yang bervariasi dalam bahasa Indonesia sebagai padanan dari istilah strafbaar feit tersebut, seperti: perbuatan pidana, peristiwa pidana, tindak pidana, dan lain sebagainya29.

25 Ibid

26 Isnu Gunadi & Jonaedi Efendi, Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Cetakan 1, Kencana, Jakarta, 2014, Hal., 37.

27 Ibid

28 Ibid

29 Lukman Hakim, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan 1, Deepublish, Yogyakarta, 2020, Hal., 3.

(3)

19

Secara sederhana Simons mengemukakan bahwa unsur dari tindak pidana terbagi atas dua unsur yakni unsur objektif dan unsur subjektif, penjelasannya sebagai berikut: Unsur Objektif yakni perbuatan orang, akibat kelihatan dari perbuatan itu, ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat dimuka umum. Sedangkan unsur subjektif yakni orang yang mampu bertanggung jawab dan adanya kesalahan. Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan30. Pada umumnya ketentuan untuk dapat dipidana terdiri atas tiga bagian, yaitu: (1) rumusan tindak pidana, (2) kualifikasi, dan (3) sanksi. Akan tetapi tidak selalu ketiga bagian itu terdapat bersama-sama dalam suatu ketentuan undang-undang, ada kalanya rumusan tindak pidana tidak lebih dari suatu kualifikasi31. Secara umum rumusan tindak pidana setidaknya memuat rumusan tentang: (1) subyek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm), (2) perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik dalam bentuk melakukan sesuatu (commission), tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan); dan (3) ancaman pidana (strafmaat), sebagai sarana untuk memaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinya ketentuan tersebut32.

30 Ibid

31 Septa Candra, Perumusan Ketentuan Pidana Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia, Jurnal Hukum Prioris, Vol., 3, No., 3, 2013, Hal., 113.

32 Ibid

(4)

20

Hukum pidana seyogyanya dapat diartikan secara luas dan sempit, yakni sebagai berikut: dalam arti luas pidana merupakan hak dari Negara atau alat-alat perlengkapan Negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu, dalam arti sempit hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang33.Hukum pidana termasuk dalam hukum publik, artinya hukum pidana mengatur hubungan antara warga dengan negara dan menitikberatkan kepada kepentingan umum atau kepentingan publik34. Adapun tujuan pidana adalah: (1) Reformation berarti memperbaiki atau penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat, (2) Restraint maksudnya adalah mengasingkan pelanggar dari masyarakat, (3) Retribution adalah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan, (4) Deterrence, berarti terdakwa sebagai individu maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa35.

2. DISPARITAS

Disparitas dalam bahasa indonesia memiliki arti perbedaan, dalam ilmu hukum disparitas (disparity of sentencing) yaitu perbedaan putusan yang dijatuhkan oleh

33 Djoko Sumaryanto, Buku Ajar Hukum Pidana, Ubhara Press, Surabaya, 2019, Hal., 4.

34 Zuleha, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Cetakan 1, Deepublish, Yogyakarta, 2017, Hal., 1.

35 Safaruddin Harefa, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Di Indonesia Melalui Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam, Ubelaj, Vol., 4, No., 1, April 2019, Hal., 39.

(5)

21

hakim dalam suatu tindak pidana yang sama, Hakim dalam menjatuhkan putusan sering terjadi disparitas atau adanya perbedaan dalam suatu putusan dalam kasus yang sama36. Molly Cheang dalam bukunya “Disparity of Sentencing” sebagaimana disadur oleh Muladi, yang dimaksud dengan disparitas pidana adalah “the imposition of unequal sentences for the same offence, or for offences or comparable seriousness, without a clearly visible justification”, artinya penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak-tindak pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan, tanpa dasar pembenaran yang jelas. Di samping itu menurut Jackson yang dikutip oleh Muladi, maka tanpa merujuk legal category (kategori hukum), disparitas pidana dapat terjadi pada pemidanaan yang tidak sama terhadap mereka yang melakukan bersama suatu tindak pidana37.

Selanjutnya Disparitas dapat didefinisikan sebagai penyangkalan dari konsep paritas yang berarti kesamaan atau kemiripan nilai. Dalam dunia hukum, disparitas kemudian didefinisikan sebagai ketidaksamaan hukuman antara kejahatan yang sama dan kondisi yang sama pula, pada intinya disparitas itu adalah putusan hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas. Disparitas ini

36 Anjasmara Putra, Made Sepud dan Nyoman Sujana, Disparitas Putusan Hakim dalam Tindak Pidana Narkotika, Jurnal Analogi Hukum, Vol., 2, No., 2, 2020, Hal., 129.

37 Wahyu Nugroho, Disparitas Hukuman Dalam Perkara Pidana Pencurian Dengan Pemberatan: Kajian Terhadap Putusan Nomor 509/Pid. B/2007/PN. Smg dan Nomor 1055/Pid.B/2007/PN.Smg, Jurnal Yudisial, Vol., 5, No., 3, Desember 2012, Hal., 264.

(6)

22

muncul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis, yang dimana orang atau oknum berperan penting dalam terjadinya disparitas adalah hakim, karena hakimlah yang mengambil keputusan dalam perkara38. Muliadi juga mengemukakan bahwa disparitas pemidanaan adalah penerapan pidana yang tidak sama atau terhadap tindak pidana yang bersifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pemberian yang jelas39.

Lebih spesifik lagi tentang disparitas pidana, menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori, yaitu:40

a. Disparitas antara tindak pidana yang sama.

b. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama.

c. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim.

d. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.

Dari pendapat Harkristuti Harkrisnowo itu dapat itu dapat ditemukan wadah dimana disparitas tumbuh dan menyejarah dalam penegakan hukum di Indonesia.

Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi juga pada tingkat keseriusan dan suatu tindak pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu majelis

38 Nandi Abdallah Pahlevi, Pengaruh Media Sosial Dan Gerakan Massa Terhadap Hakim, Cetakan Pertama, Cipta Media Nusantara, 2021, Surabaya, Hal., 71

39 Rysa Sylvia Noerteta, Independensi Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, Cv. Global Aksara Pres, Jawa Timur, 2021, Hal., 82.

40 Irfan Ardiansyah, Disparitas Pemidanaan Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Penyebab Dan Penanggulangannya), Cetakan Pertama, Hawa Dan Ahwa, Pekanbaru, 2017, Hal., 145.

(7)

23

hakim maupun oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang sama. Tentu saja kenyataan ruang lingkup tumbuhnya disparitas ini menimbulkan inkonsistensi dilingkungan peradilan41.

Dalam tulisan jurnalnya Kurnia Dewi berpandangan bahwa konsep tentang disparitas pidana yang dikemukakan oleh Harkristuti Harkrisnowo tersebut dilandasi pula oleh konsep disparitas pidana yang mengacu pada pendapat Muladi dan Barda Nawawi berikut ini: “Muladi dan Barda Nawawi Arief tidak memberikan batasan disparitas pidana yang diperbolehkan atau tidak, namun putusan hakim seharusnya mengandung keseimbangan pemidanaan yang didasarkan pada pertimbangan yang serasi. Serasi dengan keputusan-keputusan yang sudah ada, serasi dengan keputusan- keputusan hakim lain dalam perkara yang sejenis, serasi dengan keadilan masyarakat dan serasi pula dengan keadilan terpidana.” Menurut Muladi, disparitas pidana itu dimulai dari hukum itu sendiri42.

Didalam disparitas pemidanaan, berisi tentang pertimbangan konstitusional yaitu antara kebebasan seorang individu dan hak Negara untuk memidana suatu kejahatan. banyak faktor yang menjadi sebab adanya disparitas pidana, namun tetap

41 Ibid, Hal., 146.

42 Kurnia Dewi Anggraeny, Disparitas Pidana Dalam Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Psikotropika Di Pengadilan Negeri Sleman, Jurnal Novelty, Vol., 7, No., 2, Agustus 2016, Hal., 230.

(8)

24

pada akhirnya hakimlah yang menentukan terjadi disparitas pidana atau tidak.

Disparitas pemidanaan sendiri dikelompokkan menjadi kategori sebagai berikut43: a. Disparitas mengenai mengenai tindak kejahatan yang sama.

b. Disparitas terhadap tindak kejahatan yang mempunyai level keseriusan yang sama.

c. Disparitas pidana yang diputus oleh satu majelis hakim terhadap perkara yang sama.

d. Disparitas pidana yang telah diputuskan oleh majelis hakim yang berbeda terhadap suatu tindak pidana yang serupa.

Pemikiran mengenai disparitas pemidanaan dalam ilmu hukum pidana dan kriminologi sebenarnya tidak bermaksud untuk menghapus perbedaan-perbedaan jumlah atau nilai hukuman yang diterima oleh pelaku tindak pidana, namun untuk memperkecil besaran perbedaan penjatuhan hukuman tersebut, karena harus diakui bahwa dalam sistem peradilan di Indonesia masih banyak putusan yang diberikan oleh hakim kepada terpidana yang belum mencapai keadilan didalam masyarakat, sebab masih banyak ditemukan ketidakserasian hakim dalam menjatuhkan suatu pidana44.

Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak tindak pidana yang sifatnya berbahaya dapat

43 Hamidah Abdurrahman, Rahmad Agung Nugraha, & Nayla Majestya, Palu Hakim Versus Rasa Keadilan Sebuah Pengantar Disparitas Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, Depublish, Yogyakarta, 2020 Hal., 15.

44 Ibid Hal., 16.

(9)

25

diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas. Disparitas pemidanaan mempunyai dampak yang dalam, karena didalamnya terkandung perimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan hak Negara untuk memidana. Adanya faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya disparitas pidana, tetapi pada akhirnya hakimlah yang akan menentukan terjadinya suatu disparitas pidana. Masalah disparitas pidana ini akan terus terjadi karena adanya jarak antara sanksi pidana minimal dengan sanksi pidana maksimal. Proses formulasi yang dilakukan oleh badan legislatif selaku pembentuk Undang-undang juga sangat berpengaruh pada disparitas pidana, dikarenakan tidak adanya standard untuk merumuskan sanksi pidana45.

Dalam Pasal 1 ayat (11) KUHAP disebutkan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas dari atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta cara yang diatur didalam Undang-Undang ini. Namun masih banyak sekali putusan yang diberikan oleh hakim kepada terpidana yang belum mencapai keadilan di dalam masyarakat, karena masih banyak dijumpai ketidak sesuaian hakim dalam menjatuhkan pidana. Dilihat dari sisi sosiologis, kondisi disparitas pidana dipersepsi public sebagai bukti ketiadaan keadilan. Sayangnya secara yuridis formal,kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum. Meskipun demikian, seringkali orang

45Nimerodi Gulo dan Kurniawan Muharram, Disparitas Dalam Tindak Pidana, Masalah- Masalah Hukum, Jilid 47, No., 3, Juli 2018, Hal., 216.

(10)

26

melupakan bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh hakim46.

3. SISTEM PERADILAN ANAK

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa Negara menjamin hak setiap anak atas keberlangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi anak47. Upaya perlindungan hukum terhadap anak dapat dilakukan dalam bentuk perlindungan berbagai kebebasan dan hak asasi anak, perlindungan hukum terhadap anak juga bertujuan untuk melindungi berbagai kepentingan yang berhubungan terhadap kesejahteraan anak. Anak yang berhadapan dengan hukum tidaklah tepat jika menempatkan anak dalam sistem peradilan pidana, layaknya penjahat dewasa, mengingat kejiwaan dan mental anak masih berada dalam

46Ibid, Hal.,217.

47 Angger Sigit Pramukti Dan Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Anak, Cetakan 1, Medpress Digital, Yogyakarta, 2014, Hal., 1.

(11)

27

tahap perkembangan48. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, diterbitkan untuk menjawab kebutuhan masyarakat dan pemerintah akan peraturan yang memberikan perlindungan bagi anak, terkhusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam peraturan perundang-undangan terdapat sebuah aturan yang mengatur tentang Diversi dalam menyelesaikan perkara anak, kecuali daripada itu terdapat pula pendekatan Keadilan Restoratif yang melibatkan seluruh Stakeholder terutama masyarakat dalam proses pemulihan keadaan menjadi lebih baik49.

Keadilan Restoratif sebagai upaya penyelesaian baik pelaku pelanggaran maupun korban yang mengarah rehabilitasi bagi pelaku pelanggaran dan penyembuhan bagi korban di dalam komunitas mereka sendiri sehingga semua pihak akan mengalami rasa keadilan yang terbuka50. Ketentuan nasional yang mengatur mengenai diversi terdapat dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang sistem peradilan pidana anak yang biasa disebut UU SPP Anak, diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 1451. Dalam Pasal 1 angka 7 UU SPP Anak, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan diproses di luar peradilan pidana. Oleh karena itu, tidak semua perkara anak yang berkonflik dengan hukum harus diselesaikan

48 Beniharmoni Harefa, Kapita Selekta Perlindungan Hukum Bagi Anak, Cetakan Pertama, Deepublish, Yogyakarta, 2019, Hal., 144-145.

49 Ibid, Hal., 3.

50 Ani Purwati, Keadilan Restoratif Dan Diversi Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak, Cetakan Pertama, Jakad Media Publishing, Surabaya, 2020, Hal., 21.

51 Ibid, Hal., 69.

(12)

28

melalui jalur peradilan formal tapi memberikan alternatif bagi penyelesaian nonformal atau diluar sistem peradilan pidana demi perlindungan dan kesejahteraan anak agar anak terhindar dari stigma akibat proses peradilan pidana. Selanjutnya tujuan diversi diatur dalam Pasal 6 UU SPP Anak, sebagai berikut:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

b. Menyelesaikan perkara Anak diluar proses peradilan;

c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Selanjutnya dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana52. Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta

52 Guntarto Widodo, Sistem Pemidanaan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan, Vol., 6, No.,1, Maret 2016, Hal., 64.

(13)

29

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi53. Terhadap permasalahan mengenai mekanisme penegakan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Aturan ini menjadi kiblat hakim dalam memutus perkara anak yang berhadapan dengan hukum.

Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak berbunyi: penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut: a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih;

dan b. Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih, kemudian di dalam Pasal 69 ayat (2) dikatakan bahwa, anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenakan tindakan54.

Secara substansi yang paling mendasar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan Restoratif dan Diversi yang dimana hal tersebut menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak

53 Muh. Jufri Ahmad, Perlindungan Anak Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol., 7, No., 13, Pebruari 2011, Hal. 45.

54 Ana Rahmatyar, Joko Setiyono, Pertanggungjawaban Pidana Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Kesusilaan Terhadap Anak, Jurnal Penelitian Hukum, Vol., 29, No., 2, Agustus 2020, Hal., 94.

(14)

30

yang berhadapan dengan hukum55. Dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, ditentukan bahwa dalam sistem peradilan pidana anak wajib diupayakan diversi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa diversi wajib diupayakan dalam setiap tahap sistem peradilan pidana anak mulai dari penyidikan, penuntutan, persidangan dan pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan. Namun dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, pelaksanaan diversi dibatasi dalam tindak pidana yang dilakukan : 1) Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan 2) Bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Selanjutnya didalam peraturan perundang-undangan sistem peradilan anak terdapat aturan yang mengatur tentang pengecualian dilaksanakannya diversi yakni, diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, atau lainnya yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun.

Untuk menerapkan sistem peradilan pidana anak, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah memberikan beberapa petunjuk sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2. Pasal 2 dan penjelasannya menetapkan bahwa sistem peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas berikut:

55 Candra Hayatul Iman, Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Jurnal Hukum Dan Peradilan, Vol., 2 No., 3, 2013, Hal., 371.

(15)

31

a. Perlindungan, yaitu yang meliputi tindakan yang bersifat langsung atau tidak langsung dari perbuatan yang membahayakan anak secara fisik dan/atau psikis;

b. Keadilan, adalah bahwa dalam penyelesaian perkara Anak harus mencerminkan dan memberikan keadilan bagi Anak.

c. Non diskriminasi, adalah perlakuan yang sama dihadapan hukum tanpa membedakan agama, suku , ras, golongan tertentu. kondisi fisik dan/atau mental.

d. Kepentingan terbaik bagi anak, adalah kesinambungan hidup dan pertumbuhan Anak merupakan dasar yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

e. Penghargaan terhadap pendapat anak, adalah penghormatan penuh terhadap hak Anak untuk menyatakan pendapat dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, terlebih apabila melibatkan hal yang memengaruhi kehidupannya.

f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, adalah hak mendasar bagi Anak untuk dapat perlindungan dari negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.

g. Pembimbingan, adalah pemberian tuntunan, dimana tuntutan tersebut mempunyai tujuan untuk menaikkan kualitas ketakwaan terhadap Tuhan

(16)

32

Yang Maha Esa intelektual, tindakan dan kepribadian, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.

h. Proporsional, adalah segala perlakuan yang dilakukan kepada Anak harus memperhatikan umur, keperluan dan kondisi Anak56.

Pasal 71 UU SPPA mengatur Jenis sanksi pidana yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari57:

a. Pidana peringatan;

b. Pidana dengan syarat ( pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat atau pengawasan);

c. Pelatihan kerja;

d. Pembinaan dalam lembaga; dan e. Penjara.

Pidana tambahan terdiri atas:

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. Pemenuhan kewajiban adat.

Selanjutnya bentuk sanksi tindakan yang dijatuhkan kepada anak berdasar Pasal 82 ayat 1 meliputi58:

56 Pasal 2 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

57 Pasal 71 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

58 Pasal 82 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

(17)

33 a. Pengembalian kepada orang tua/Wali;

b. Penyerahan kepada seseorang;

c. Perawatan di rumah sakit jiwa;

d. Perawatan di LPKS;

e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau Perbaikan akibat tindak pidana.

Dalam UU SPPA telah diatur mengenai pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana yang disebut diversi.

Penyelesaian perkara anak di luar peradilan pidana wajib diupayakan melalui diversi pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak. Diversi dapat dilakukan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Penyelesaian perkara pidana anak melalui jalur diversi, dilakukan dengan penuh nilai- nilai kekeluargaan. Oleh sebab itu, diversi akan menjauhkan anak dari dampak dampak buruk yang dapat menyebabkan terganggunya perkembangan dan masa depan anak.

Diversi kiranya lebih memperhatikan hak-hak asasi anak. Adapun 4 (empat) cakupan hak asasi (hak dasar) anak, yang dirumuskan di dalam Convention on the Rights of the Child yaitu : hak atas kelangsungan hidup (survival), hak untuk berkembang

(18)

34

(development), hak atas perlindungan (protection) dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat (participation)59.

Selain dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi diatur pula dalam PERMA No. 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Perma Nomor 4 tahun 2014 juga mengatur beberapa kekosongan dalam UU SPPA seperti pengertian musyawarah diversi. Musyawarah diversi dalam Perma diartikan sebagai musyawarah antara kedua belah pihak keluarga korban dan pelaku, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional serta pihak-pihak yang bersangkutan melalui pendekatan restoratif (restorative justice). Konsep diversi dan keadilan restoratif dalam pelaksanaannya melibatkan pihak ketiga dalam menyelesaikan perkara antara kedua belah pihak serta pihak lain yang bersangkutan agar menjauhkan anak dari proses pemidanaan. Sistem peradilan anak juga mengenal Restorative justice yang memiliki arti suatu pendekatan yang didalamnya lebih menitikberatkan kepada suatu kondisi akan menciptakan keseimbangan dan keadilan untuk anak yang menjadi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri yaitu korban pemerkosaan. Mekanisme tata acara dalam peradilan pidana yang awalnya hanya berfokus pada pemidanaan nantinya akan diubah menjadi

59 Devi Mardia dan Oci Senjaya, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Berdasarkan Sistem Peradilan Pidana AnaK, Jurnal Kertha Semaya, Vol., 9 No., 2, 2021, Hal., 307.

(19)

35

sebuah dialog dan mediasi untuk menciptakan suatu kesepakatan yang adil dan seimbang dalam penyelesaian perkara pidana bagi pihak korban dan pelaku60.

Menurut Susan Sharpe, ada 5 (lima) prinsip utama dari restorative justice, yaitu61:

a. Restorative justice yang berisi peran serta dan kesepakatan secara penuh dari semua pihak.

b. Restorative justice berusaha memulihkan suatu kerusakan/ kerugian yang timbul karena dampak dari tindakan kejahatan;

c. Restorative justice menyerahkan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh;

d. Restorative justice memberikan sebuah cara untuk mengharmonisasikan kembali warga masyarakat yang telah terpisah atau terpecah karena tindakan kriminal;

e. Restorative justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar tidak terjadi tindakan kriminal berikutnya.

Bentuk-bentuk upaya penyelesaian yang ditawarkan oleh metode dan pendekatan berbasis keadilan restoratif di Pengadilan Negeri adalah sebagai berikut62:

1. Mediasi;

60 Ibid, Hal., 307

61 Ibid, Hal., 308

62 Ibid, hal., 308

(20)

36 2. Konsiliasi diikuti oleh rekonsiliasi;

3. Restitusi;

4. Permintaan maaf pelaku;

5. Tindakan penyesalan oleh pelaku;

6. Akuntabilitas pelaku;

7. Jaminan dari orang tua pelaku untuk masa depan untuk mendidik dan mengawasi anak untuk tidak mengulangi tindakannya lagi;

8. Pemulihan kondisi asli korban dan pelaku;

9. Layanan kepada korban;

10. Pemulihan pelaku melalui elemen komunitas, yang dapat berupa pendidikan komunitas, pekerjaan sosial atau menyerahkannya ke lembaga pendidikan berbasis agama untuk memulihkan perilaku pelanggar anak;

11. Diharapkan bahwa hasil akhir akan menjadi kesepakatan berbasis konsensus yang disetujui oleh semua pihak yang berpartisipasi dalam pengalihan dan prosedur keadilan restorative.

4. TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN ANAK

Persetubuhan termasuk ke dalam tindak pidana kesusilaan, persetubuhan terjadi karena adanya bujuk rayu sehingga menyebabkan terjadinya hubungan intim, Menurut pandangan Soesilo di dalam bukunya Kitab hukum pidana serta komentar yang lengkap pasal-pasalnya memberikan pandangan bahwa persetubuhan itu dapat terjadi

(21)

37

karena adanya persatuan antara anggota kelamin pria dan anggota kelamin wanita sehingga sampai mengeluarkan air mani. Jadi secara sederhana persetubuhan dapat dikatakan dengan hubungan intim yang biasa dijalankan untuk mendapatkan kepuasan seksual atau suatu cara untuk mendapatkan keturunan, persetubuhan merupakan perbuatan manusiawi sehingga persetubuhan bukan termasuk suatu bentuk kejahatan melainkan aktivitas, jika aktivitas seksual ini diperbuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku maka dikatakan suatu perbuatan yang dilakukan itu sebagai kejahatan63.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan seks sebagai: jenis kelamin, hal yang berhubungan dengan alat kelamin, seperti senggama dan birahi. Seksualitas sendiri diartikan sebagai ciri, sifat, atau peranan seks, dorongan seks, dan kehidupan seks. Berbicara tentang Persetubuhan dan Anak. Anak sebagai korban tindak pidana merupakan korban yang tidak memiliki kapasitas untuk melakukan perlawanan terhadap pelaku dikarenakan korban anak dalam posisi lemah. Dalam tindak pidana persetubuhan ini pada hakikatnya korban adalah perempuan yang termasuk kaum yang lemah dalam melindungi diri sendiri. Sedangkan pelaku tindak pidana persetubuhan adalah anak laki-laki yang pada kodratnya adalah memiliki kekuatan fisik yang kuat melebihi perempuan. Terhadap tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak merupakan permasalahan yang sangat ekstrim. Atas dasar ini anak perlu dilindungi dari

63 Risma Purnama Dewi, Nyoman Sujana dan Nyoman Gede Sugiartha,Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Di Bawah Umur, Jurnal Analogi Hukum, Vol., 1, No., 1, 2019, Hal., 13.

(22)

38

perbuatan-perbuatan yang merugikan, agar anak sebagai generasi penerus bangsa tetap terpelihara demi masa depan bangsa dan negara. Arif Gosita mengatakan bahwa anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta maupun pemerintah) baik secara langsung maupun tidak langsung seksualitas64.

Pengertian tindak pidana perkosaan maupun persetubuhan dengan korban anak tertuang dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP. Barang siapa bersetubuh dengan wanita diluar pernikahan dan telah diketahui anak tersebut belum berumur lima belas tahun atau terlihat belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. Selain di dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP juga terdapat di dalam Pasal 76D dan Pasal 81 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, dalam pasal 76 D yaitu setiap orang dilarang melakukan kekerasan maupun ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

64 Zulkifri, Dahlan Ali, dan Syarifuddin Hasyi, Penyelesaian Tindak Pidana Persetubuhan yang Dilakukan Oleh Anak Terhadap Anak: Studi di Pengadilan Negeri, Takengon, Media Syari’ah, Vol., 21, No., 1, 2019, Hal., 108.

(23)

39

Child molester adalah sebutan lain dari perkosaan anak dibawah umur, ada lima golongan kategori pemerkosaan anak dibawah umur yaitu65:

a. Immature

Pelaku tidak mempunyai kemampuan mengenali dirinya sendiri dengan peran seksual sebagai orang dewasa.

b. Frustrated

Para pelaku melakukannya akibat melawan kekecewaan seksual yang sifatnya emosional terhadap orang dewasa. Terjadi pada mereka yang mengalami ketidakseimbangan dengan pasangannya dan mengirimkannya kepada anaknya.

c. Sociopathic

Para pelaku melakukan perkosaan dengan yang benar-benar asing, suatu tindakan yang timbul dari kecenderungan agresif yang terkadang muncul.

d. Pathological

Para pelaku perkosaan tidak mempunyai control akan dorongan seksual akibat dari psikosis, lemah mental, kelemahan organ tubuh atau kemerosotan sebelum waktunya.

Berbicara mengenai persetubuhan maupun kekerasan seksual, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pengertian kekerasan Seksual dapat ditemui di dalam

65Lembah Nuranu Anjar Kinanti dan Achmad Irwan Hamzani, Pidana Kebiri Kimia Bagi Pelaku Pemerkosa Anak, Cetakan Pertama, PT. Naya Expandig Management, Jawa Tengah, Januari 2022, hal 21

(24)

40

pasal 285 dan pasal 289. Dalam pasal 285 ditentukan bahwa kekerasan seksual tindakan atau perbuatan laki-laki yang memaksa perempuan agar mau bersetubuh dengannya di luar perkawinan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan66. Selanjutnya dalam pasal 289 juga berbicara mengenai kekerasan seksual yang berbunyi: Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan.

Hubungan seksual antara orang dewasa dan anak walaupun dilakukan tidak dengan cara mengancam atau memaksa secara hukum tindakan tersebut masuk dalam kategori tindak pidana “pemerkosaan terhadap anak”. Persetubuhan dengan orang yang berusia di bawah 16 tahun adalah persetubuhan yang melanggar ketentuan hukum pidana. Bahkan didalam pasal 287 ayat (1) KUHP ditentukan bahwa barang siapa bersetubuh dengan perempuan bukan istrinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk dikawin, dihukum penjara selama-lamanya Sembilan tahun. Dengan demikian, menurut hukum kontak seksual dalam bentuk persetubuhan dengan orang dibawah usia 16 tahun masuk dalam ruang lingkup tindak pidana67.

66 Ismnatoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum dalam Kasus kekerasan Seksual Terhadap Anak, cetakan 1, Medpress Digital, 2015, Hal., 1.

67 Ibid., Hal., 5-6.

(25)

41

Persetubuhan terhadap anak di bawah umur juga telah ditetapkan di dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Terhadap Anak. Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan anak ini menata secara umum perbuatan yang dilakukan pelaku persetubuhan terhadap anak dengan menerangkan perbuatan pelaku yang melakukan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dengan membenarkan cara-cara yang bisa digunakan seperti siasat tipu muslihat, rentetan kebohongan atau dengan menggunakan bujuk rayu, dengan pemberian hukuman yang lebih berat dari pada yang ditegaskan di dalam isi Pasal 287 KUHP68.

Sanksi pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur mengenai tindak pidana persetubuhan yang korbannya adalah anak di bawah umur jika dibandingkan dengan Undang-undang Perlindungan Anak, sanksi pidana yang dapat diterapkan terhadap pelaku persetubuhan anak yang masih di bawah umur sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan terhadap Anak terdiri dari: 1) Pidana penjara dengan ancaman pidana penjara paling sedikit 3 tahun sampai 5 tahun dan paling lama 10 tahun sampai 15 tahun; 2) Pidana denda paling banyak dalam Undang-undang Perlindungan Anak mencapai Rp.

20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) sampai Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Terhadap Anak khususnya

68Ibid., Hal., 13.

(26)

42

yang diatur di dalam Pasal 81 maka Pasal 287 KUHP tidak berlaku bagi pelaku persetubuhan oleh anak, karena di dalam ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Terhadap Anak sudah diatur secara khusus tentang ketentuan pidana terhadap pelaku persetubuhan terhadap anak oleh anak. Di dalam Pasal 81 Undang- Undang Perlindungan Terhadap Anak berlaku asas Lex specialis derogat legi generali69.

5. PERTIMBANGAN HAKIM

Hakim sebagai pejabat Negara yang menyelenggarakan peradilan bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945. Oleh karenanya setiap hakim senantiasa berupaya memberikan keadilan, berhak dan berkewajiban melakukan kegiatan maupun tindakan secara profesional serta proporsional yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dengan cara terlebih dahulu berusaha mencari kebenaran terhadap suatu peristiwa yang diajukan oleh pencari keadilan. Setelah itu hakim mempertimbangkan dengan cara memberikan penilaian terhadap peristiwa yang diajukan kepadanya serta berusaha menghubungkan dengan ketentuan hukum yang berlaku, selanjutnya memberikan suatu kesimpulan dengan cara menyatakan suatu hukum terhadap peristiwa yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal tersebutlah, secara tersirat telah memberikan

69Ibid, Hal., 14.

(27)

43

pemahaman bahwa hakim mempunyai peranan sebagai pelaksana hukum sekaligus sebagai pembentuk hukum70.

Secara bahasa, putusan bermakna hasil atau kesimpulan terakhir dari suatu pemeriksaan perkara. Pasal 1 Angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan pengertian putusan sebagai: pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Selanjutnya menurut Lilik putusan dalam hukum pidana merupakan putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedur hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala sesuatu tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya71.

Kekuasan kehakiman atau disebut juga kekuasaan yudikatif yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan keadilan. Pasal 1 Undang- Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan Pancasila,

70 Margono, Asas Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum dalam Putusan Hakim,Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta Timur, April 2019, Hal. 9

71 Jonaedi Efendi, Reknstruksi Dasar Pertmbangan Hukum Hakim: Berbasis Nilai-Nilai Hukum dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam Masyarakat, Cetakan pertama, Kencana, Depok, Januari 2018, Hal., 79-81.

(28)

44

kekuasaan kehakiman adalah tugas yang dibebankan kepada pengadilan, tugas utama pengadilan adalah sebagai tempat untuk mengadili atau memberikan putusan hukum dalam perkara-perkara yang diajukan guna memberikan putusan dan penetapan hakim72. Peranan hakim dalam mengadili suatu perkara, ia memfungsikan diri sebagai hukum yang harus dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat. Sehingga wujud hukum yang bisa diterima masyarakat adalah yang mampu menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan, karena dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi73.

Hakim dalam memutuskan suatu perkara harus memperhatikan tiga faktor, yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, penjelasannya sebagai berikut74:

a. Keadilan (gerechtigheid) dalam arti memberikan persamaan hak dan kewajiban semua orang tanpa terkecuali di hadapan hukum. Keadilan juga dianggap sebagai jalan keluar yang memberikan stabilitas yaitu ketertiban bagi masyarakat.

b. Kepastian Hukum (rechtmatigheid) dalam arti hukum harus dijalankan secara tepat dan pasti untuk mewujudkan ketertiban masyarakat. Dengan adanya

72 Achmad Rifai, Kesalahan Hakim Dalam Penerapan Hukum Pada Putusan Mencederai Keadilan Masyarakat, Cetakan Pertama, CV. Nas Media Pustaka, Makassar, 2018, Hal., 71.

73 Ibid, Hal., 75

74 Naomi Sari Kristiani Harefa, Gabriel Kevin Manik, Indra Kevin Yonathan Marpaung, Sonya Airini Batubara, Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pegawai Negeri Sipil (Pns): Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 73/Pid.Sus- Tpk/2018/Pn.Mdn, Jurnal Hukum, Vol., 2, No., 1, September 2020, Hal. 35.

(29)

45

kepastian hukum maka masyarakat akan lebih menaati peraturan perundang undangan dan tidak merasa dirugikan atas pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara yang baik bahwa hukum harus dijalankan dengan baik sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun. Hukum harus dapat melindungi, mengayomi dan memberikan rasa aman kepada masyarakat sehingga terwujud keadilan sosial bagi masyarakat.

c. Kemanfaatan (zwechmatigheid) dalam arti hukum yang diterapkan dalam masyarakat harus mempunyai manfaat dan kegunaan yang baik bagi semua masyarakat baik yang dikenai hukuman maupun tidak. Hukum juga dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat apabila tidak memberikan manfaat atau kegunaan yang baik dalam masyarakat.

Sehubungan dengan penjelasan di atas, Hakim harus mempertimbangkan banyak hal dalam menjatuhkan putusan, karena nantinya putusan tersebut akan menjadi sorotan masyarakat atau bahkan akan menimbulkan polemik di masyarakat, khususnya jika ada pihak yang merasa atau menilai bahwa putusan yang dijatuhkan Hakim kurang adil. Dalam menjatuhkan putusan, sebagian besar Hakim di Indonesia menggunakan jenis pertimbangan yang sifatnya yuridis dan nonyuridis. Pertimbangan Majelis Hakim yang bersifat yuridis ialah pertimbangan yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal

(30)

46

yang harus dimuat di dalam putusan. Hal tersebut diantaranya yaitu dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan saksi, keterangan terdakwa, barang-barang bukti serta pasal-pasal dalam Undang-Undang yang berkaitan. Sedangkan pertimbangan Hakim yang bersifat non yuridis ialah pertimbangan yang didasarkan pada faktor-faktor lain yang tidak atau belum ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dapat berupa pertimbangan yang sifatnya sosiologis maupun fakta-fakta lain yang terungkap selama persidangan75.

Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan dalam suatu perkara yaitu sebagai berikut76:

1. Teori Keseimbangan

Keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang Undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara.

2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Hakim akan menyesuaikan penjatuhan putusan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara, yaitu penggugat dan tergugat. Hakim

75 Ibid, Hal., 35.

76 Reza Kautsar Kusmahpraja, Tindakna Rekayasa Penyidik Sebagai Perbuatan Melawan Hukum Perdata, Cetakan Pertama, CV. Amerta Media, Jawa Tengah, April 2021, Hal., 39.

(31)

47

mempergunakan pendekatan seni, lebih ditentukan oleh insting atau instuisi daripada pengetahuan dari Hakim.

3. Teori Pendekatan Keilmuan

Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi dan insting semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang seharusnya diputuskan.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari.

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

Dalam putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis, dan sosiologis sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada

(32)

48

keadilan hukum, keadilan moral, dan keadilan masyarakat. Aspek yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan berpatokan pada Undang-Undang yang berlaku.

Hakim sebagai aplikator Undang-Undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi. Selanjutnya aspek Filosofis merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, dalam pelaksanaan dan penegakan hukum harus dilaksanakan secara adil, meski hukum tidak identic dengan keadilan, yang dimana hukum bersifat umum sedangkan keadilan bersifat individual. Dan aspek sosiologis adalah aspek yang mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dalam masyarakat serta kemanfaatan77.

B. HASIL PENELITIAN

Pada bab ini penulis akan menyajikan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan atau analisis terhadap perkara pidana yang sudah diputus oleh Pengadilan Negeri Pati dan Pengadilan Negeri Klaten. Analisa terhadap dua perkara ini untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim di dalam memutus perkara tindak pidana yang mana pelakunya adalah anak sehingga muncul disparitas pemidanaan sehingga kedua kasus tersebut dapat mewakili permasalahan seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Adapun kedua kasus yang diidentifikasikan sebagai berikut: 1) Putusan Nomor: 29/Pid.Sus/2012/PN.Pt dengan Terdakwa bernama Anak, dengan 2) putusan Nomor: 52/Pid.Sus/2013/PN.Klt dengan Terdakwa bernama SRD. Untuk mengetahui

77 Ibid, Hal., 40.

(33)

49

secara lebih rinci dan mendetail tentang kedua perkara tersebut, maka berikut penulis akan menguraikan hasil penelitian yang telah diperoleh dari kedua putusan diatas yaitu identitas terdakwa, dakwaan, tuntutan, unsur-unsur, pertimbangan hakim, pledoi, dan amar putusan.

1. P U T U S A N NOMOR : 29/PID.SUS/2012/PN.PT

a. Identitas Terdakwa

Nama lengkap: TERDAKWA; Tempat lahir: Pati; Umur: 17 Tahun/17 Oktober 1994;

Jenis kelamin: Laki laki; Kebangsaan: Indonesia; Tempat Tinggal: Kabupaten Pati;

Agama : Islam; Pekerjaan: Pelajar; Pendidikan: SMK kelas II b. Dakwaan

Primair:

Bahwa ia Terdakwa TERDAKWA pada hari dan tanggal bulan lupa sekitar bulan Juli 2011 sekitar jam 11.00 wib atau pada waktu-waktu lain pada bulan Juli tahun 2011 sampai dengan pada hari Jumat tanggal lupa sekitar bulan September 2011 sekitar jam 10.30 wib atau pada waktu-waktu lain bulan September 2011 bertempat di rumah orang yang bernama SR turut Kabupaten Pati dan di rumah Terdakwa turut Kabupaten Pati atau ditempat lain setidak-tidaknya masih dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri Pati, dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Sebagaimana diatur

(34)

50

dan diancam pidana dalam pasal 81 ayat (1) UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak.

Subsidair:

Bahwa ia Terdakwa TERDAKWA pada hari dan tanggal lupa sekitar bulan Juli 2011 sekitar jam 11.00 wib atau pada waktu-waktu lain pada bulan Juli tahun 2011 sampai dengan pada hari Jumat tanggal lupa bulan September 2011 sekitar jam 10.30 wib atau pada waktu-waktu lain bulan September 2011 bertempat di rumah orang yang bernama SR turut Kabupaten Pati dan di rumah Terdakwa turut Kabupaten Pati atau ditempat lain setidak-tidaknya masih dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri Pati, dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 81 ayat (2) UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak

c. Amar Tuntutan JPU

1. Menyatakan Terdakwa TERDAKWA bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan melanggar pasal 81 ayat (2) UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa TERDAKWA dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah Terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp.60.000.000,-

(35)

51

(enam puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan

3. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) buah rok panjang seragam pramuka warna coklat tua, 1 (satu) buah baju lengan panjang warna hijau dipadu dengan kain motif batik, 1 (satu) rok panjang motif batik, 1 (satu) buah baju lengan panjang warna abu abu tua dan pada bagian bawah baju dada bagian atas serta kancing berwarna merah motif kotak kotak kecil, 2 (dua) celana dalam warna merah jambu (pink) dan putih (pink muda) dikembalikan kepada saksi korban SAKSI KORBAN

4. Menetapkan Terdakwa TERDAKWA membayar biaya perkara Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah)

d. Unsur-Unsur 1. Unsur “setiap orang”

● Bahwa yang dimaksud dengan setiap orang lazim juga disebut barang siapa dalam KUHP, yang dimaksud “barang siapa” adalah orang sebagai subyek hukum. Penuntut umum telah menghadapkan Terdakwa ke muka Persidangan yang berdasarkan keterangan saksi-saksi serta keterangan Terdakwa sendiri dapat disimpulkan bahwa orang yang diperhadapkan dipersidangan ini benar Terdakwalah orang yang dimaksud oleh Penuntut Umum sesuai dengan identitas dalam surat dakwaan dan Dengan demikian unsur ini telah terpenuhi 2. Unsur “Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan

(36)

52

memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”

● Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan yaitu berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan Terdakwa, bukti surat dan barang bukti diajukan di perolehlah fakta hukum sebagai berikut: berdasarkan keterangan saksi korban SAKSI KORBAN serta keterangan Terdakwa dimuka sidang yang pada intinya menerangkan bahwa antara Terdakwa dan saksi korban awalnya adalah pacaran dan mereka berpacaran sudah sekitar satu setengah bulan

● Bahwa berdasarkan saksi korban dan pengakuan Terdakwa di persidangan Terdakwa telah menyetubuhi saksi korban SAKSI KORBAN sebanyak kurang lebih dua kali, yang pertama dilakukan pada hari dan tanggal lupa sekitar bulan Juli 2011 sekitar jam 14.00 wib di rumah orang yang bernama SR di Kabupaten Pati dan yang kedua dilakukan pada hari Jumat tanggal lupa sekitar bulan September 2011 sekitar jam 10.30 wib di rumah Terdakwa di Kabupaten Pati

● Bahwa pada waktu Terdakwa menyetubuhi saksi korban, Terdakwa selalu mengatakan “kowe gelem nglakoni ngene nek kowe meteng aku gelem tanggung jawab, aku seneng karo kowe” (kamu mau berhubungan badan dengan saya, kalau hamil aku mau tanggung jawab dengan menikahi kamu, aku suka sama kamu) dan Terdakwa tidak melakukan kekerasan terhadap saksi korban sehingga atas perkataan dan perbuatan Terdakwa membuat saksi korban

(37)

53

menjadi yakin dan percaya yang akhirnya saksi korban mau disetubuhi dan Dengan demikian unsur ini tidak terpenuhi

3. Unsur “Dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain”

● Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan yaitu berdasarkan keterangan saksi korban SAKSI KORBAN menerangkan bahwa antara Terdakwa dengan saksi korban memang berpacaran kurang lebih satu setengah bulan dan setelah berpacaran Terdakwa telah menyetubuhi saksi korban kurang lebih dua kali, kejadian pertama pada bulan juli 2011 jam 11.00 Wib di rumah SR yang beralamat di Kabupaten Pati, saksi dan Terdakwa ketemuan dan ngobrol, setelah mengobrol Terdakwa berkata suka kepada saksi dan mengajak untuk berhubungan badan dengan perkataan “kowe gelem ra tak jak ngentem” (kamu mau gak aku ajak berhubungan badan) kemudian dijawab saksi korban “aku moh” (aku tidak mau) kemudian Terdakwa menarik tangan kanan saksi korban diajak masuk ke dalam kamar rumah SR kemudian menampar saksi korban lebih dari 2 kali lalu berkata kepada saksi korban “kowe gelem nglakoni ngene nek kowe meteng aku gelem tanggung jawab, aku seneng karo kowe” (kamu mau berhubungan badan dengan saya, kalau hamil aku mau tanggung jawab dengan menikahi kamu, aku suka sama kamu) lalu Terdakwa melepas rok dan celana dalam saksi korban, lalu Terdakwa melepas celana dan

(38)

54

celana dalamnya kemudian menindih badan saksi korban sambil menciumi bibir dan pipi saksi korban, setelah itu Terdakwa memasukkan jari tengahnya ke dalam kemaluan saksi korban. Selanjutnya Terdakwa langsung memasukkan alat kelaminnya yang sudah tegang ke kemaluan saksi korban dan digerak- gerakkan naik turun selama kurang lebih tiga puluh menit hingga Terdakwa mengeluarkan sperma di dalam kemaluan saksi korban, dan kejadian kedua pada hari Jumat tanggal lupa sekitar bulan September 2011 sekitar jam 10.30 wib bertempat di rumah Terdakwa turut Kabupaten Pati Terdakwa telah menyetubuhi saksi korban SAKSI KORBAN dengan cara sewaktu saksi korban libur sekolah, Terdakwa menghubungi saksi korban via telepon agar saksi korban datang ke rumah Terdakwa di Kabupaten Pati, sesampainya di rumah Terdakwa, Terdakwa menarik tangan kanan saksi korban dan kemudian diajak masuk ke dalam kamar rumah dan berkata kepada saksi korban “kowe gelem nglakoni ngene nek kowe meteng aku gelem tanggung jawab, aku seneng karo kowe” (kamu mau berhubungan badan dengan saya, kalau hamil aku mau tanggung jawab dengan menikahi kamu, aku suka sama kamu) lalu Terdakwa melepas rok dan celana dalam saksi korban lalu Terdakwa melepas celana dan celana dalamnya kemudian menindih badan saksi korban sambil menciumi bibir dan pipi saksi korban setelah itu Terdakwa memasukkan jari tengahnya ke dalam kemaluan saksi korban. lalu Terdakwa langsung memasukkan alat

(39)

55

kelaminnya yang sudah tegang ke kemaluan saksi korban dan digerak-gerakkan naik turun selama kurang lebih Sepuluh menit hingga mengeluarkan sperma di dalam kemaluan saksi korban

● Bahwa berdasarkan keterangan Terdakwa bahwa mengakui telah menyetubuhi saksi korban sampai empat kali dan sebelum menyetubuhi saksi korban Terdakwa berkata kepada saksi korban bahwa dirinya suka dan mengajak untuk berhubungan badan, Kemudian saksi korban menjawab kalau aku hamil bagaimana dijawab oleh Terdakwa kalau kamu hamil ya kita tanggung bersama, kan yang menjalaninya bersama-sama, dan aku suka sama kamu.

kemudian saksi korban diajak ke kamar kemudian terjadilah persetubuhan antara Terdakwa dengan saksi korban. Menurut keterangan Terdakwa persetubuhan tersebut dilakukan Terdakwa sebanyak empat kali, yang pertama sekitar bulan Juli 2011 sekitar jam 14.00 wib di rumah orang yang bernama SR turut Kabupaten Pati, yang kedua hari pada hari Jumat tanggal lupa sekitar bulan September 2011 sekitar jam 10.30 wib bertempat di rumah Terdakwa turut Kabupaten Pati, yang ketiga pada hari Minggu tanggal lupa bulan Agustus 2011 sekitar jam 11.00 wib di rumah Terdakwa Kabupaten Pati, Yang keempat pada hari Jumat tanggal lupa bulan September 2011 sekitar jam 10.30 wib di rumah Terdakwa Kabupaten Pati. Setiap Terdakwa menyetubuhi saksi korban Terdakwa selalu berkata kalau nanti saksi hamil maka akan ditanggung

(40)

56

bersama dengan pengertian mau bertanggung jawab dan selalu mengatakan bahwa Terdakwa suka sama saksi korban sehingga saksi korban merasa yakin dan percaya sehingga terbujuk dan mau untuk melakukan persetubuhan dengan Terdakwa, dimana saksi korban masih dibawah umur

● Menimbang bahwa berdasarkan keterangan orang tua saksi korban yaitu saksi SAKSI I dan saksi SAKSI II menerangkan bahwa benar anaknya telah hamil 7 ( tujuh ) bulan dan yang menghamili adalah Terdakwa

● Bahwa pada saat Terdakwa menyetubuhi saksi korban tersebut, Terdakwa mengetahui bahwa saksi korban masih berumur 13 tahun bersekolah kelas 2 di MTS Desa Kembang Menimbang bahwa berdasarkan Kutipan Akta Kelahiran Nomor 6696 / TP / 2004 yang dibuat pada tanggal 12 Juli 2004 ditandatangani oleh Kepala Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pati BAMBANG SUKADAR, SH. MM. bahwa saksi korban SAKSI KORBAN masih berumur 13 ( tiga belas ) tahun

● Bahwa berdasarkan Visum et Repertum No. 445 / 0603 / 2012 yang ditandatangani oleh dokter H.IRAWAN SANJOTO P, Sp OG pada tanggal 13 Maret 2012, dengan hasil pemeriksaan: kelainan kelainan fisik; Bagian luar tubuh: tak tampak kelainan; Bagian dalam tubuh: tak tampak kelainan.

Kelainan kelainan pada organ seksual; Bibir besar: tak tampak kelainan; Bibir kecil: tak tampak kelainan; Kelentit: tak tampak kelainan; Selaput dara: robek

(41)

57

di jam 6; Dinding liang senggama: tak tampak kelainan; Rambut kelamin: tak tampak kelainan. Fakta yang ditemukan selama perawatan; Penyakit yang ditularkan lewat hubungan seksual: tidak ada; Kehamilan: 25 minggu; Kondisi jiwa: normal. Dengan demikian unsur ini telah terpenuhi

e. Pledoi

Penasehat Hukum Terdakwa yang memohon agar Hakim membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan atau melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum dan membebaskan biaya kepada Negara.

f. Pertimbangan Hakim

Hakim dalam mempertimbangkan berpendapat sebagai berikut:

● Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, ternyata perbuatan Terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari dakwaan Subsidair penuntut umum, sehingga Hakim berkesimpulan bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, yaitu dakwaan Subsidair melanggar Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

● Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap diri Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan meringankan

Hal-hal yang memberatkan:

(42)

58

1) Perbuatan Terdakwa merusak masa depan korban Hal-hal yang meringankan:

1) Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan dan menyesali perbuatannya 2) Terdakwa masih anak-anak

g. Amar Putusan

1. Menyatakan Terdakwa TERDAKWA tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Primair Penuntut Umum

2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Primair Penuntut Umum 3. Menyatakan Terdakwa TERDAKWA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN DENGANNYA”

4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa TERDAKWA dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan

5. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan

6. Menetapkan agar Terdakwa tetap ditahan

7. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) buah rok panjang seragam pramuka

(43)

59

warna coklat tua, 1 (satu) buah baju lengan panjang warna hijau dipadu dengan kain motif batik, 1 (satu) rok panjang motif batik, 1 (satu) buah baju lengan panjang warna abu abu tua dan pada bagian bawah baju dada bagian atas serta kancing berwarna merah motif kotak kotak kecil, 2 (dua) celana dalam warna merah jambu (pink) dan putih (pink muda) dikembalikan kepada saksi korban SAKSI KORBAN

8. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam perkara ini sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah)

2. PUTUSAN NOMOR: 52/PID.SUS/2013/PN.KLT.

a. Identitas Terdakwa

Nama lengkap: SRD; Tempat Lahir: Klaten; Umur/Tanggal Lahir: 17 tahun/-; Jenis kelamin: Laki-laki; Kebangsaan: Indonesia; Tempat tinggal: Kec. Polanharjo Kab.

Klaten; Agama: Islam; Pekerjaan: Buruh; Pendidikan: SMK Kelas 2 b. Dakwaan

Bahwa ia terdakwa SRD, secara berturut-turut pada hari Minggu tanggal 17 Maret 2013 sekitar jam 11.00 WIB, pada hari Minggu tanggal 17 Maret 2013 sekitar jam 12.00 WIB, pada hari Minggu tanggal 31 Maret 2013 sekitar jam 10.00 WIB, pada hari Minggu tanggal 31 Maret 2013 sekitar jam 12.00 WIB, pada hari Minggu tanggal 07 April 2013 sekitar jam 10.00 WIB, pada hari Minggu tanggal 07 April 2013 sekitar jam 12.00 WIB, pada hari Minggu tanggal 28 April 2013 sekitar jam 17.00 WIB, pada hari

(44)

60

Senin tanggal 29 April 2013 sekitar jam 11.00 WIB, pada hari Rabu tanggal 8 Mei 2013 sekitar jam 14.00 WIB, pada hari Kamis tanggal 09 Mei 2013 sekitar jam 10.00 WIB, pada hari Sabtu tanggal 25 Mei 2013 sekitar jam 14.00 WIB, pada hari Minggu tanggal 26 Mei 2013 sekitar jam 14.00 WIB, pada hari dan tanggal yang sudah tidak dapat diingat lagi secara pasti namun dapat diketahui pada bulan Mei 2013 sekitar jam 13.00 WIB, pada hari dan tanggal yang sudah tidak dapat diingat lagi secara pasti namun dapat diketahui pada bulan Mei 2013 sekitar jam 13.00 WIB serta pada hari dan tanggal yang sudah tidak dapat diingat lagi secara pasti namun dapat diketahui pada bulan Mei 2013 sekitar jam 13.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Maret sampai dengan bulan Mei tahun 2013, bertempat di Kamar No.8 Hotel Ken Dedes Dk. Rejosari RT.03/RW.08, Ds. Sabrang, Kec. Delanggu, Kab. Klaten, di Kamar No. 19 Hotel Ken Dedes 8 Dk. Sanggung RT.01/ Rw.01, Ds. Sanggung, Kec.

Gatak, Kab. Sukoharjo serta di pemantang tengah sawah Dk. Candi, Ds. Ngaran, Kec.

Polanharjo, Kab. Klaten, atau setidak-tidaknya di suatu tempat lain sesuai dengan Pasal 84 (2) KUHAP Pengadilan Negeri Klaten berwenang untuk mengadili, dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak yaitu MUS berdasarkan akta kelahiran Nomor: 1615/2005 tanggal 9 Maret 2005 lahir pada tanggal 26 September 1998 pada saat kejadian masih berumur 14 tahun 6 bulan untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada

(45)

61

hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 81 ayat (2) UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP

c. Amar Tuntutan JPU

1. Menyatakan terdakwa SRD telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, “Dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak yaitu saksi korban MUS melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain secara berlanjut”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81 ayat (2) Undang- undang Republik Indonesia Nomor: 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam dakwaan Tunggal tersebut diatas

2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa SRD dengan pidana penjara selama: 4 (empat) tahun dipotong selama terdakwa dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan

3. Menyatakan barang bukti berupa: 1 (satu) potong baju lengan pendek warna motif kotak-kotak warna pink atau merah muda, 1 (satu) potong kaos lengan pendek bergambar warna putih dan merah muda bertulisan Smile Love Song, 1 (satu) potong celana panjang bahan warna hitam, 1 (satu) potong celana dalam

Referensi

Dokumen terkait

Semangat dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik

Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian Tjhai (2002) yang menunjukkan bahwa variabel kapabilitas personal sistem informasi berpengaruh positif

Voltmeter untuk mengukur tegangan antara dua titik, dalam hal ini adalah tegangan pada lampu 3, voltmeter harus dipasang secara paralel dengan beban yang hendak diukur, posisi

Memberikan informasi mengenai spectrum suatu graf sehingga dapat digunakan oleh peneliti lain untuk mengkaji lebih mendalam tentang karakteristik suatu graf atau untuk aplikasi

Direktur tekhnik adalah direktorat yang bertanggung jawab untuk aktivitas underwriting, insurance, dan claim. Bagian ini memegang peranan penting untuk pengelolaan risiko Asuransi

Dalam kerangka pemikiran ini dijelaskan tentang keterkaitan antara konsep maupun teori-teori yang dianggap relevan dalam menganalisis dan memecahkan masalah yang

Tajuk pohon yang banyak dan berlapis-lapis pada tanaman yang ada di hutan akan sangat membantu untuk menahan energi potensial air hujan yang jatuh sehingga aliran air

Pada diatas, dapat dilihat bahwa hasil fermentasi cincalok udang rebon yang dibuat dengan metode Backslopping berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air, abu,