1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sepanjang sejarah, pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan maupun lembaga keagamaan memang cukup menarik untuk dicermati dan
diperbincangkan dari berbagai sisi. Terlebih pada saat munculnya istilah-istilah era tinggal landas, modernitas, globalisasi, pasar bebas, dan lain sebagainya. Adapun yang menjadi fokus perbincangan atau pertanyaan dari
berbagai pihak adalah bagaimana peran atau posisi pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan di tengah-tengah arus modernisasi atau globalisasi,
apakah pesantren akan tetap teguh mempertahankan posisinya sebagai lembaga “tafaqquh fiddiin” an-sich (yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam saja) secara mandiri yang bercorak tradisional atau pesantren
diharuskan untuk “ikut-ikutan” melakukan proses “pemodernisasian” sistem; mulai dari perombakan kurikulum sampai pada perubahan manajemen
pengelolaan.
Hal ini tentunya tergantung dengan model manajemen dan kepemimpinan seorang kyai yang diterapkan di sebuah pondok pesantren
dalam merespon perubahan tersebut. Sebab secara umum, dari segi kepemimpinan pesantren secara kukuh masih terpola secara sentralistik dan
karismatik, dan keterampilannya. Sehingga tidak jarang sebuah pesantren tanpa memiliki manajemen pendidikan yang rapi, sebab segala sesuatu terletak
pada kebijaksanaan dan keputusan kyai. (Hasbullah, 2001: 49).
Seorang kyai dalam budaya pesantren memiliki berbagai macam peran,
termasuk sebagai ulama, pendidik dan pengasuh, penghubung masyarakat,
pemimpin, dan pengelola pesantren. Peran yang begitu kompleks tersebut menuntut kyai untuk bisa memposisikan dirinya dalam berbagai situasi yang
dijalaninya. Sehingga dibutuhkan sosok kyai yang mempunyai kemampuan, dedikasi dan komitmen yang tinggi untuk bisa menjalankan peran-peran
tersebut.
Berdasarkan beberapa peran tersebut, peran yang paling vital adalah dalam hal kepemimpinan. Hal ini tak lepas dari pentingnya kepemimpinan
kyai itu sendiri dalam mengelola pesantren, karena di dalam pesantren kyai merupakan tokoh kunci yang sangat menentukan berhasil tidaknya pendidikan
yang ada di pesantren. Selain itu, ia juga merupakan uswatun hasanah, representasi serta idola masyarakat sekitarnya.
Posisi kyai yang serba menentukan itu akhir justru cenderung
menyebabkan terbangunnya otoritas mutlak. Zamakhsyari mensinyalir bahwa kebanyak kyai di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan
sebagai suatu kerajaan kecil di mana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. (Zamakhsyari Dhofier, 1994: 56). Sehingga seluruh
otoritas kyai. Kyai menguasai dan mengendalikan seluruh sektor kehidupan pesantren. Ustadz, apalagi santri, baru berani melakukan sesuatu tindakan di
luar kebiasaan setelah mendapat restu dari kyai.
Namun, dengan adanya tuntutan perubahan manjemen kepemimpinan
pada pesantren sepertinya peran kyai di dunia pesantren, khususnya pesantren-pesantren di luar wilayah Jawa telah mengalami pergeseran. Studi pendahuluan menunjukkan bahwa peran ‘klasik’ kyai sebagai ulama atau
sumber ilmu pengetahuan serta pendidik dan pengasuh tampak ada indikasi mengalami distorsi. Hal ini misalnya dapat dilihat dari peran-peran yang
dimainkan oleh kyai yang juga sekaligus ketua yayasan telah beralih dari peran-peran keilmuan lebih ke pada peran sosial kemasyarakatan dan peran politik. Kyai memiliki jam terbang keluar lebih padat ketimbang memainkan
peran sebagai pengajar. Kesibukan kyai dalam kegiatan sosial dan politik tersebut meskipun sesungguhnya secara husnu dzan adalah dalam upaya
membesarkan pesantren, namun tabiat ini memiliki implikasi negatif terhadap tradisi keilmuan dan pengelolaan pesantren. Pengajian kitab kuning (klasik) yang menjadi keunikan pesantren tidak lagi diajarkan oleh kyai, tetapi sudah
dipercayakan kepada seorang asisten. Demikian juga pengelolaan pesantren diserahkan kepada kepala sekolah yang kharismanya tentu tidak sama dengan
Kyai.
Fenomena tersebut di atas banyak sekali terjadi di dunia pesantren, begitu juga di Kota Jambi terdapat tiga buah pesantren yang berbeda dalam
sikapnya menolak modernisme secara total. Sikap ini dibuktikan dengan menutup diri secara total terhadap modernisme, baik pola pikir maupun sistem
pendidikan dengan cara menjaga otentisitas tradisi dan nilai pesantren secara ketat, baik dalam bentuk simbol maupun substansi.
Kedua, Pondok Pesantren As’ad dengan sikapnya menerima
modernisme secara selektif. Pada pola ini ada proses kreatif dari kalangan pesantren dalam menerima modernisme, yaitu menerima sebagian
modernisme kemudian dipadu dengan tradisi pesantren. Pada pola ini pesantren menerapkan metode modern dalam sistem pengajaran, memasukkan
referensi-referensi pengetahuan umum dalam pendidikan, namun kitab-kitab klasik dengan pola pengajaran ala pesantren tetap diterapkan.
Ketiga, Pondok Karya Pembangunan Al-Hidayah dengan sikapnya
menerima modernisme secara total, baik pemikiran, model maupun referensinya. Pola ini mengajarkan nilai-nilai agama dengan
referensi-referensi kitab klasik, tetapi juga diajarkan pengetahuan umum. Kurikulum yang digunakan juga kurikulum umum, tidak lagi kurikulum pesantren yang menggunakan kitab mu’tabar.
Hal yang menarik untuk dikaji pada ketiga pondok pesantren ini adalah realita yang terjadi bahwa Pondok Pesantren Nurul Iman yang tetap
kedalaman ilmu keislaman, karismatik dan wibawa, dan hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi santri untuk memilih pesantren.
Berbeda dengan kedua pesantren lainnya yang terus mengalami perkembangan yang positif, padahal pimpinannya bukanlah seorang kyai yang
mempunyai kedalaman ilmu keislaman, bukan pula seseorang yang bisa membaca kitab kuning, dan bukan pula seorang da’i. Pada Pondok Pesantren As’ad contohnya, pimpinan pesantren dipilih berdasarkan keturunan (nasab)
dari pendiri pondok pesantren, dan tidak berlatar belakang pendidikan pesantren, malahan setelah menjadi pimpinan pesantren kegiatannya banyak
dilakukan di luar pondok sebagai anggota DPRD Provinsi Jambi. Begitu pula dengan pimpinan Pondok Karya Pembangunan Al-Hidayah adalah seorang birokrat yang ditunjuk langsung oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jambi.
Menyikapi fanomena ini maka menarik untuk dilakukan kajian yang lebih luas dan dalam menyangkut manajemen kepemimpinan kyai di Pondok
Pesantren Kota Jambi. Sebab, di satu sisi seorang kyai dituntut peran akademisnya sebagai pengajar primer atas kitab-kitab klasik dan peran-peran keulamaan di masyarakat, sementara di sisi lain kyai juga dituntut untuk
keluar mengejar bola, mencari sumber-sumber dana guna mengembangkan pesantren, bahkan terkadang keluar masuk dalam gelanggang politik (praktis).
B. Fokus Penelitian
“Bagaimana kepemimpinan kyai yang efektif pada pondok pesantren di Kota Jambi?” dengan menitikberatkan pada sistem pemilihan pimpinan, gaya
kepemimpinan, dan peran kepemimpinan kyai.
Adapun secara lebih rinci pertanyaan penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem pemilihan pimpinan di pondok pesantren Kota Jambi?
2. Bagaimana gaya kepemimpinan di pondok pesantren Kota Jambi
3. Bagaimana efektivitas kepemimpinan kyai pada Pondok Pesantren Kota
Jambi dalam:
a. Penentuan visi dan misi pesantren b. Pengorganisasian
c. Pengambilan keputusan
4. Bagaimana peran kepemimpinan kyai pondok pesantren Kota
Jambi di tengah masyarakat?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian disertasi ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui sistem pemilihan pimpinan di pondok pesantren Kota
Jambi.
2. Untuk mengetahui gaya kepemimpinan di pondok pesantren Kota Jambi
3. Untuk mengetahui efektivitas kepemimpinan kyai pada Pondok Pesantren
Kota Jambi dalam:
a. Penentuan visi dan misi pesantren
c. Pengambilan keputusan
4. Untuk mengetahui peran kepemimpinan kyai pondok pesantren Kota
Jambi di tengah masyarakat
D. Pembatasan Penelitian
Penelitian ini tentunya harus diberikan batasan-batasan, karena banyak
sekali fakta-fakta yang ingin diungkap, keingintahuan yang ingin dibuktikan, temuan-temuan lapangan yang memberikan kepenasaran untuk digali lebih dalam. Namun demikian peneliti perlu membatasi kajian penelitian dengan
menetapkan fokus studi sebagai batas penelitian sehingga tidak menimbulkan kebingungan dalam memverifikasi, mereduksi dan menganalisis data. (Satori
dan Komariah, 2009: 30)
Adapun batasan dalam penelitian ini hanya terfokus pada permasalahan efektivitas kepemimpinan kyai di pondok pesantren Kota Jambi
pada aspek kepemimpinan, manajemen, budaya pesantren, dan peran pesantren di masyarakat. Sedangkan pondok pesantren yang menjadi subjek
penelitian adalah 1) Pondok Pesantren Nurul Iman Kota Jambi, 2) Pondok Pesantren As’ad Kota Jambi, dan 3) Pondok Karya Pembangunan Al-Hidayah Kota Jambi.
E. Paradigma Penelitian
Secara rinci paradigma penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Kepemimpinan menjadikan suatu organisasi dapat bergerak secara terarah
2. Pemimpin adalah orang yang bertanggung jawab dan membimbing,
mengarahkan kinerja serta aktivitas para pengikutnya.
3. Proses kepemimpinan merupakan proses yang interaktif dan dinamis
dalam mempengaruhi orang lain, dalam proses tersebut seorang pemimpin
harus memiliki dasar kemampuan serta keterampilan dalam menggerakkan bawahannya agar dapat bekerja secara maksimal.
4. Efektivitas kepemimpinan setidaknya dapat dilihat dari perilaku pemimpin
dalam merencanakan, mengorganisasi, mendelegasikan tugas, dan memberikan motivasi kepada bawahan.
5. Kyai sebagai pimpinan pondok pesantren harus menjalankan perannya
sebagai ulama, pendidik dan pengasuh, penghubung masyarakat, pemimpin jamaah, dan sebagai pengelola pesantren.
F. Kerangka Berpikir Penelitian
Sebagai kerangka berpikir penelitian dari pengungkapan kepemimpinan kyai pada pondok pesantren, penulis menggunakan sebuah
model empirik mengenai efektivitas kepemimpinan kyai di pondok pesantren. Model empirikal tersebut selanjutnya dijadikan dasar pengajuan model konseptual untuk mengefektifkan kepemimpinan. Apabila diperluas dengan
Kerangka
nkan fungsi manajemennya, hal ini disebabk pemilihan pemimpin dan tipe kepemimpinan pesantren, karena sistem pemilihan pi
Kenyataannya di lapangan, suksesi kepemimpinan yang ada sering tidak mampu mengimbangi kemajuan dan perkembangan pesantren yang
dikelolanya, sehingga sering terjadi penyusutan kewibawaan, baik karena tidak mampu memahami tuntutan yang timbul dan perkembangan keadaan
yang baru maupun karena faktor-faktor lainnya. Seperti terhentinya kaderisasi kepemimpinan pada waktu pesantren yang dipimpin mengalami perkembangan pesat, kesenjangan semacam itu bisa berakibat fatal bagi
kehidupan pesantren yang bersangkutan, paling tidak akan menimbulkan situasi kritis yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan pesantren. Dari segi
tipe kepemimpinan, banyak hal yang bisa ditunjuk sebagai sebab mengapa belum mantapnya tipe kepemimpinan di pesantren selama ini. Sebab yang paling menonjol adalah watak karismatik yang dimilikinya. Selain itu, dengan
adanya tuntutan perubahan manajemen kepemimpinan pada pesantren sepertinya peran kyai di dunia pesantren, khususnya pesantren-pesantren di
Kota Jambi telah mengalami pergeseran. Peran ‘klasik’ Kyai sebagai ulama atau sumber ilmu pengetahuan serta pendidik dan pengasuh tampak ada indikasi mengalami distorsi.
Sehubungan dengan hal tersebut, pondok pesantren perlu merubah sistem pemilihan pimpinan ke arah sistem yang lebih ideal yang disertai
dengan kaderisasi yang memadai. Selain itu, seorang kyai sebagai pemimpin di pondok pesantren jelas memerlukan suatu respon yang tepat untuk dapat menumbuhkan dan membangun pesantren menjadi lembaga pendidikan yang
dan kesalehan perilaku mereka, serta memberi kepuasan kepada masyarakat melalui lulusannya yang dapat memberi kontribusi positif bagi masyarakat.
Menyikapi hal ini perlu kiranya mengoptimalisasi perilaku kepemimpinan, karena efektivitas kepemimpinan setidaknya harus dapat
menjalankan fungsinya dalam hal merencanakan, mengorganisasi, mendelegasikan tugas, dan memberikan motivasi. Oleh karena itu, kemajuan suatu pesantren tidak akan terlepas dari pengelolaan manajemen pondok
pesantren itu sendiri dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Untuk itu, pondok pesantren perlu konsisten untuk menerapkan model kepemimpinan
kolektif, dalam artian peran kyai yang terlihat begitu ekslusif perlu dikurangi. Karena model kepemimpinan kolektif pada dasarnya adalah kepemimpinan bersama di mana antara satu dengan yang lain saling melengkapi. Selain itu,
pondok pesantren juga perlu merekonstruksi terhadap manajemen yang selama ini dianut guna mencapai efektivitas. Sebuah pesantren yang berwawasan dan
responsif adalah pesantren masa depan yang secara internal mampu mengaktualisasi manajemen yang berbasis pesantren dengan memperkuat tiga hal, yaitu:
1. Tamaddun, yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola
secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat
kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kyainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri.
2. Tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam
Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu
pengetahuan serta sains modern lainnya.
3. Hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya
kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya
menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.
Sedangkan secara eksternal mampu mengaktualisasikan peran
kepemimpinan kyai sebagai penghubung masyarakat, karena pesantren di samping sebagai lembaga pendidikan juga berfungsi sebagai lembaga dakwah dan sosial. Fungsi dakwah ini telah menjadikan kyai sebagai figur publik
senantiasa berhubungan dengan fihak luar yang menghubungkan antara pesantren dengan masyarakat. Pesantren sebagai lembaga pendidikan
melayani santri yang jumlahnya relatif tetap dan menetap bertahun-tahun menuntut ilmu. Pesantren sebagai lembaga dakwah, biasanya menyelenggarakan kegiatan keagamaan yang ditujukan untuk memberikan
siraman rohani secara rutin bagi masyarakat sekitar. Kegiatan tersebut dapat berbentuk majlis taklim, pengajian bulanan, peringatan hari besar keagamaan,
upacara khataman, haul maupun istiqhosah. Kegiatan dakwah ini lebih bersifat membina hubungan antara kyai, pesantren, dan masyarakat untuk menarik sebanyak mungkin orang. Pada setiap kegiatan biasanya kyai menyampaikan
informasi tersebut dimaksudkan agar masyarakat mengetahui secara langsung dari kyai pimpinan pesantren. Pesantren dapat berkembang menjadi sebuah
pesantren antara lain karena dapat menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat sekitar dari kalangan manapun.
Melalui perbaikan sistem kepemimpinan dan rekonstruksi manajemen pengelolaan pondok pesantren, diharapkan akan dapat tercipta efektivitas kepemimpinan kyai yang mampu menjawab tantangan zaman, bahkan telah
siap untuk menyongsong masa depan yang tentunya akan lebih menantang. Untuk semakin mengefektivitaskan kepemimpinan kyai di pondok pesantren,
dibutuhkan perilaku kepemimpinan pengembang yang memiliki karakteristik sebagai berikut: pertama, pemimpin sangat mahir menciptakan, mengembangkan dan membina kerjasama untuk mencapai tujuan bersama;
kedua, pemimpin bekerja secara teratur dan bertanggung jawab; ketiga,
pemimpin mau dan mampu mempercayai orang lain dalam melaksanakan
pekerjaan, dengan memberikan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab yang jelas; keempat, pemimpin selalu berusaha meningkatkan kemampuan kerja bawahan; kelima, pemimpin memiliki kemauan dan kemampuan yang
positif dalam menghargai, mengormati dan memberdayakan bawahan sebagai subjek atau individu yang berbeda antara yang satu dengan yang lain; keenam,
pemimpin memiliki kemauan dan memampuan membina hubungan manusiawi yang efektif di dalam dan di luar jam kerja; ketujuh, pemimpin meyakini bahwa bawahan merupakan individu yang mampu bertanggung
dimilikinya.
Akhirnya, dengan mengadopsi perilaku kepemimpinan pengembang
diharapkan akan mampu memperbaiki tipe kepemimpinan yang selama ini telah melekat dalam budaya pesantren. Sehingga efektivitas kepemimpinan
kyai di pondok pesantren akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat sebagai pengguna layanan pendidikan pondok pesantren, melalui penciptaan output yang siap pakai dan berdaya guna di semua level
masyarakat.
G. Premis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka beberapa premis
penelitian dapat disebutkan sebagai berikut :
1. Kyai bukan lagi satu-satunya sumber belajar. Dengan demikian beraneka
ragam sumber-sumber belajar baru dan semakin tingginya dinamika
komunikasi antara sistem pendidikan pesantren dengan sistem yang lain, maka santri dapat belajar dari banyak sumber. (Mastuhu, 1994: 66).
2. Pesantren dengan segala keunikan yang dimilikinya masih diharapkan
menjadi penopang berkembangnya sistem pendidikan di Indonesia. keaslian dan kekhasan pesantren di samping sebagai khazanah tradisi
budaya bangsa, juga merupakan kekautan penyangga pilar pendidikan untuk memunculkan pemimpin bangsa yang bermoral. Oleh sebab itu, arus
tuntatan zaman. Signifikansi professionalisme manajemen pendidikan menjadi sebuah keniscayaan di tengah dahsyatnya arus industrialisasi dan
perkembangan teknologi modern. (Dawam & Ta’arifin, 2004: 18)
3. Keefektivan pemimpin tergantung dari bagaimana gaya kepemimpinan
terealisasi dengan situasi di mana kepemimpinan dioperasikan. (Hersey & Blanchard, 1977)
4. Keberhasilan pemimpin dalam mengembangkan organisasinya ke arah
yang lebih baik, ditandai oleh kemampuannya dalam: a) meningkatkan hubungan kerjasama dengan pihak internal organisasi sebagai landasan
kendali mutu, b) melakukan kerjasama dengan pihak-pihak lain sebagai suatu kebutuhan untuk meningkatkan wacara organisasi, c) melakukan hubungan yang baik dengan lingkungan sekitarnya. (Waddle, 2005)
5. Kecakapan-kecakapan yang dimiliki oleh seorang pemimpin menuju mutu
kepemimpinannya, yaitu tidak kenal lelah, memiliki intuisi yang tajam,
memiliki visi yang jelas dan mantap, dan memiliki kecakapan yang sangat menarik (Wahjoetomo, 1997).
6. Mukti Ali mendefinisikan beberapa karakterisitk yang menjadi ciri khas
pesantren sebagai berikut: 1) adanya hubungan yang akrab antara santri dengan Kyai, hal ini karena mereka tinggal di dalam pondok, 2) tunduknya
santri kepada Kyai, 3) hidup hemat dan sederhana benar-benar di lakukan di pesantren, 4) semangat menolong diri sendiri amat terasa dan kentara di kalangan santri pesantren, 5) jiwa tolong menolong dalam suasana
kehidupan berdisiplin sangat ditekankan dalam kehidupan pesantren, 7) berani menderita untuk mencapai tujuan adalah salah satu pendidikan yang
diperoleh santri di pesantren, 8) kehidupan agama yang baik diperoleh santri di pesantren (Ali, 1987: 17-18).
7. Kepemimpinan pendidikan yang efektif adalah kemimpinan yang
mempunyai kemampuan memformulasikan dan mengimplementasikan fungsi-fungsi manejemen dengan baik dan tepat sebagai suatu strategi
dalam merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, dan melakukan pengawasan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan secara
bersama. (Saiful Sagala, 2004: 64).
H. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan disertasi ini, penulis menggunakan enam bab yang terdiri dari pendahuluan, kajian pustaka, metode penelitian, hasil penelitian
dan pembahasan, dan yang terakhir penutup. Lebih detilnya pembahasan disertasi ini dapat dijabarkan secara singkat sebagai berikut:
Bab pertama pendahuluan yang memuat pembahasan tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, pembatasan penelitian, paradigma penelitian, kerangka berpikir penelitian, premis penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua tinjauan pustaka yang secara garis besar dibagi menjadi 4
pembahasan ini berbicara tentang term kepemimpinan Islam dan kepemimpinan menurut tokoh-tokoh Islam; 3) Keefektivan kepemimpinan; 4)
Efektivitas Kepemimpinan; 5) Tinjauan tentang pesantren, pembahasan ini dimulai dari pengertian pesantren, karakteristik pesantren, sistem pendidikan
pondok pesantren, kepemimpinan pendidikan di pondok pesantren, budaya organisasi pondok pesantren, dan kultur manajemen pesantren; 6) Mutu layanan pendidikan pondok pesantren, pembahasan ini dimulai dari konsep
mutu layanan pendidikan, manajemen peningkatan mutu berbasis pondok pesantren, dan format pesantren masa depan; 7) Peran dan kepemimpinan
kyai, membahas tentang peran kyai dalam pesantren, perilaku dan sifat kepemimpinan kyai, dan model kepemimpinan kyai; 8) Kajian terhadap hasil penelitian terdahulu.
Bab ketiga metode penelitian, terdiri dari pendekatan penelitian, setting dan subjek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data,
dan pemeriksaan keabsahan data.
Bab keempat sejarah dan keadaan pondok pesantren Kota Jambi, membahas tentang sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Jambi dan
gambar umum pondok pesantren di Kota Jambi.
Bab kelima hasil penelitian dan pembahasan, hasil penelitian
membahas tentang sistem pemilihan pimpinan di pondok pesantren Kota Jambi, gaya kepemimpinan di pondok pesantren Kota Jambi, efektivitas kepemimpinan kyai pada Pondok Pesantren Kota Jambi, dan peran
bagaimana rekontruksi pola manajemen pondok pesantren di Kota Jambi. Pada pembahasan penelitian, membahas tentang sistem pemilihan pimpinan
ideal di pondok pesantren Kota Jambi, gaya kepemimpinan di pondok pesantren Kota Jambi, efektivitas kepemimpinan kyai pada pondok pesantren
Kota Jambi, dan model kepemimpinan efektif pada pondok pesantren.
Bab keenam kesimpulan, implikasi dan rekomendasi, merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan hasil penelitian, implikasi dari hasil
161 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Disebut kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan bercorak kualitatif, bukan kuantitatif yang
menggunakan alat-alat pengukur. Melalui pendekatan kualitatif ini, diharapkan terangkat gambaran mengenai kualitas, realitas sosial dan persepsi sasaran penelitian tanpa tercemar oleh pengukuran formal. Penelitian
didasarkan pada persepsi emik yang bertujuan untuk mengungkapkan dan mengurangi sistem dan perilaku bersama satuan strukturnya dan kelompok
struktur satuan-satuan itu (Moelong, 2000: 53).
Pendekatan kualitatif atau disebut juga pendekatan naturalistik adalah pendekatan penelitian yang menjawab permasalahan penelitiannya
memerlukan pemahaman secara mendalam dan menyeluruh mengenai objek yang diteliti, untuk menghasilkan kesimpulan-kesimpulan penelitian dalam konteks waktu dan situasi yang bersangkutan. Pendekatan
kualitatif/naturalistic memandang suatu kenyataan sebagai suatu yang berdimensi jamak, oleh karena tidak mungkin disusun rancangan penelitian
B. Setting dan Subjek Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada pondok pesantren Kota Jambi, yaitu
pada Pondok Pesantren As’ad, Pondok Pesantren Nurul Iman, dan PKP Al-Hidayah. Pemilihan setting penelitian ini didasari dengan beberapa pertimb angan pokok yaitu; pertama, pesantren-pesantren ini termasuk pesantren tertua
di provinsi Jambi yang masih tetap survive sampai saat ini. Kedua, pesantren ini sangat terbuka dalam menerima gagasan baru (modern) dan dapat
dikategorikan sebagai pesantren khalaf. Ketiga, para pimpinan pesantren merupakan ulama, tokoh masyarakat dan tokoh politik di provinsi Jambi.
Secara keseluruhan subjek dalam penelitian ini meliputi aspek-aspek
yang berkaitan dengan kepemimpinan pondok pesantren. Ada empat faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan besarnya jumlah sampel informan
yaitu; derajat keseragaman, presisi yang dikehendaki dalam penelitian, rencana analisa, dan tenaga, waktu, dan biaya. (Singarimbun, 1989: 149-150). Sejalan dengan itu, sesuai dengan kebutuhan data dan tujuan penelitian subjek
dalam penelitian ini akan ditentukan secara purposive pada pesantren, yaitu terdiri dari 3 orang kyai sebagai informan kunci (key informan), 30 orang
tenaga pengajar (ustadz), 15 orang santri, dan 9 orang tokoh masyarakat.
C. Teknik Pengumpulan Data
pengumpulan data dalam tulisan ini menggunakan; tehnik observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi.
Jenis observasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipasi pasif, yaitu terlibat dalam situasi sosial Pesantren dengan
tidak menjadi bagian dari Pesantren.
Metode ini dapat digunakan untuk memahami berbagai aspek prilaku kepemimpinan kyai di pesantren secara kualitatitf. Untuk memperoleh
gambaran yang lebih mendalam tentang kepemimpinan kyai, peneliti akan melakukan observasi dengan melibatkan diri dalam komunitas pesantren meskipun tidak secara aktif, sehingga dapat mengamati secara langsung
aktivitas kepemimpinan kyai dan pengaruhnya terhadap kehidupan pesantren.
Melalui teknik pengamatan ini diharapkan data mengenai; 1) keadaan
pesantren secara umum, 2) aktivitas manajerial pesantren, 3) proses belajar mengajar, khususnya kitab klasik, 4) posisi kyai dalam pengelolaan pesantren,
6) pola kepemimpinan kyai 7) dukungan warga pesantren terhadap kyai, dan 8) hubungan masyarakat sekitar dengan kyai sebagai pimpinan pesantren.
Wawancara dilakukan untuk memahami informasi secara detail dan
mendalam dari informan sehubungan dengan fokus masalah yang diteliti. Dari wawancara ini diharapkan diperoleh respon dan opini subyek penelitian yang berkaitan dengan kepemimpinan kyai di Pesantren. Untuk membantu peneliti
Melalui teknik wawancara diharapkan terkumpulnya data mengenai; 1) peran kyai dalam mengelola pesantren, 2) pola kepemimpinan kyai di
pesantren, 3) respon warga pesantren terhadap kepemimpinan Kyai.
Metode dokumentasi adalah merupakan sumber non manusia, sumber ini adalah sumber yang cukup bermanfaat sebab telah tersedia sehingga akan
relatif murah pengeluaran biaya untuk memperolehnya, merupakan sumber yang stabil dan akurat sebagai cerminan situasi/kondisi yang sebenarnya serta
dapat dianalisis secara berulang-ulang dengan tidak mengalami perubahan.
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang sudah tersedia dalam catatan dokumen. Fungsinya sebagai pendukung dan pelengkap bagi
data primer yang diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam. Dokumen yang dianggap relevan yang akan diperoleh antara lain; struktur
organisasi, tata tertib, data pengurus, program kerja, dan sejarah berdirinya pondok pesantren serta data lainnya yang dianggap perlu.
D. Teknik Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian adalah berdasarkan
analisis interaktif sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1984). Analisis tersebut terdiri dari tiga kegiatan yang saling berinteraksi,
yaitu; 1) reduksi data (data reduction), 2) penyajian data (data display), 3) penarikan kesimpulan (conclution) berdasarkan teori-teori yang ada. (Miles &
E. Pemeriksaan Keabsahan Data.
Dalam rangka mencapai keterpercayaan data (trustworthiness), peneliti
dilakukan teknik perpanjangan keikutsertaan peneliti, kecermatan pengamatan, dan trianggulasi. (Moleong, 1998: 175-197)
1. Perpanjangan keikutsertaan peneliti, memungkinkan peningkatan derajat keterpercayaan data yang dikumpulkan. Peneliti melalui teknik ini, berusaha untuk meningkatkan frekuensi kehadiran di lokasi penelitian
dengan senantiasa hadir di lokasi guna menyelami budaya setting dan lokasi penelitian.
2. Teknik ketekunan penelitian/pengamatan, peneliti bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan
diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Dalam hal ini, peneliti melakukan pengamatan dengan cermat terhadap persoalan yang menonjol dalam
penelitian, khususnya menyangkut persoalan kepemimpinan kyai di Pesantren Kota Jambi.
3. Teknik trianggulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik trianggulasi yang digunakan meliputi trianggulasi dengan sumber,
metode, dan teori. Cara akan yang ditempuh antara lain adalah melakukan pengecekan (cek, recek, dan crosscheck) kepada dua atau lebih sumber
dengan mengajukan pertanyaan yang sama kepada informan yang sama pada waktu yang berlainan dan mengecek silang dengan mewawancarai
kyai, kepala sekolah (mudir), staf, ustadz, santri dan masyarakat.
Trianggulasi dengan sumber yaitu pengujian keshahihan data dengan membandingkan informasi yang sama pada waktu dan alat yang
berbeda. Hal ini akan peneliti terapkan dalam bentuk; pertama,
membandingkan data hasil pengamatan yang peneliti peroleh dalam
observasi dengan data hasil wawancara. Kedua, membandingkan apa yang dikatakan informan dalam wawancara di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. Ketiga, membandingkan perspektif manajemen
dengan pendapat pakar yang disajikan dalam kerangka teori. Keempat,
membandingkan hasil wawancara dengan dokumentasi.
Teknik trianggulasi dengan metode dilakukan dengan dua strategi, yaitu pertama, pengecekan derajat keterpercayaan penemuan hasil penelitian dengan beberapa teknik pengumpulan data, kedua, pengecekan
derajat keterpercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.
Trianggulasi dengan teori yaitu mencari dan mempelajari
teori-teori yang diperlukan untuk mendukung dan menginterpretasikan data. Melalui teknik ini, peneliti membenturkan data hasil temuan dengan
281 BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
1. Sistem Pemilihan Pimpinan di Pondok Pesantren Kota Jambi a. Pondok Pesantren Nurul Iman
Sejak berdirinya Pondok Pesantren Nurul Iman hingga sekarang sistem pemilihan pimpinan di Pondok Pesantren Nurul Iman dilakukan dengan cara musyawarah mufakat oleh para guru, pengurus yayasan, dan koordinator
wilayah Pecinan, yang terdiri dari koordinator Kel. Ulu Gedong, koordinator Kel. Olak Kemang, koordinator Kel. Tengah, koordinator Kel. Jelmu,
koordinator Kel. Tahtul Yaman, Koordinator Kel. Mudung Laut, dan Koordinator Kel. Arab Melayu. Dulu koordinator ini terdiri dari Kepala Kampung, namun sejak tahun 80an para koordinator ini ditunjuk oleh pihak
Yayasan Pondok Pesantren Nurul Iman.
Keterlibatan koordinator dalam pemilihan pimpinan Pondok Pesantren
Nurul Iman merupakan salah satu bentuk kontribusi masyarakat terhadap pesantren. Karena memang Pondok Pesantren Nurul Iman didirikan atas kerjasama para ulama dan masyarakat sekitar khususnya masyarakat daerah
Pecinan yang terdiri dari Kelurahan Ulu Gedong, Kelurahan Olak Kemang, Kelurahan Tengah, Kelurahan Jelmu, Kelurahan Tahtul Yaman, Kelurahan
Mudung Laut, dan Kelurahan Arab Melayu.
tergantung pada kesepakatan bersama antara yayasan, koordinator wilayah, dan guru-guru, selagi kepemimpinan orang yang dipilih masih dianggap layak
dan mampu membangun dan mengembangkan pondok pesantren ke depan. Namun, pada 20 tahun terakhir ini, pemilihan pimpinan pondok pesantren
mempunyai batas waktu masa kepemimpinan yaitu 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk periode kedua apabila kepemimpinannya dianggap berhasil. Artinya waktu pemilihan pimpinan pondok pesantren Nurul Iman dilakukan
setiap 5 tahun sekali.
Adapun mengenai syarat-syarat untuk menjadi pimpinan pondok, salah
seorang guru senior mengatakan bahwa:
“Syarat-syarat untuk menjadi seorang pemimpin di pesantren ini dari dulu sampai sekarang sebetulnya tidak jauh berbeda, hanya saja sekarang harus disesuaikan dengan keadaan zaman. Syarat pertama orang tersebut haruslah ‘Allamah, capable dan acceptable, ikhlas dalam memimpin. Selain itu orang tersebut juga harus berwawasan luas dan moderat, dan yang terpenting adalah harus dapat diterima oleh semua pihak”. (Wawancara, Guru H. Ismail Yusuf, 21 Juli 2009).
Berdasarkan apa yang diungkapkan di atas, dapat diketahui bahwa
syarat-syarat untuk menjadi pemimpin di Pondok Pesantren Nurul Iman adalah:
1) ‘Allamah
Maksudnya: orang yang berhak menjadi seorang pimpinan di Pondok Pesantren Nurul Iman adalah orang mempunyai kemampuan yang
Iman merupakan seorang ulama yang sekarang menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jambi. Selain itu, beliau juga
mendapatkan titel profesor di bidang ilmu Ushul Fiqh. Dengan demikian, keluasan ilmu dan wawasan beliau terutama dalam hal agama sudah diakui
oleh masyarakat pesantren dan sudah diuji secara akademik.
2) Capable
Maksudnya: orang tersebut mempunyai kemampuan dalam memimpin.
Karena meskipun ia seorang yang ‘allamah, namun tidak memiliki kemampuan dalam hal kepemimpinan, maka bagaimana ia akan
memimpin dan memajukan pesantren.
3) Acceptable,
Maksudnya: orang tersebut harus terbuka dan siap menerima setiap
masukan dari luar, dan tidak menutup diri terhadap kemajuan zaman, sebab setiap output yang dihasilkan pesantren akan kembali ke
masyarakat, dan para santri nantinya akan siap terhadap setiap perkembangan zaman.
4) Ikhlas dalam memimpin,
Maksudnya: seorang pemimpin harus memiliki sifat keikhlasan dalam kepemimpinannya, karena tanpa keikhlasan, maka berkah dari
kepemimpinannya itu nantinya tidak akan dirasakan oleh orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi di Pondok Pesantren Nurul Iman yang
notabene adalah pesantren yang sangat mengedepankan sikap ketaatan
5) Arif dan Bijaksana
Maksudnya: pimpinan di Pondok Pesantren Nurul Iman haruslah orang
mempunyai sifat arif dan bijaksana. Sebagai contoh pimpinan yang sekarang, Prof. Dr. H. Sulaiman Abdullah adalah sosok pimpinan yang
arif, santun dan bijaksana, rumahnya tidak pernah ditutup selama 24 jam, artinya ia selalu siap menerima tamu dan juga siap menerima keluhan dari para santrinya, gurunya, masyarakat sekitar Pondok Pesantren Nurul Iman
pada khususnya dan mana saja pada umumnya. Dia selalu menerima sendiri tamunya apabila memenga ingin bertemu walaupun beliau sedang
kurang sehat, lebih-lebih apabila yang datang dari kalangann kaum miskin. 6) Diterima oleh semua pihak
Maksudnya: seorang calon pimpinan selain memiliki
persyaratan-persyaratan di atas, ia juga harus dapat diterima oleh semua pihak. Sehingga di belakang hari tidak terjadi konflik yang disebabkan oleh
adanya pihak-pihak yang tidak setuju atas kepemimpinannya.
Dengan demikian, apabila seseorang dianggap telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, maka orang tersebut dianggap layak untuk
dipilih sebagai seorang pimpinan pondok. Walaupun Pondok Pesantren Nurul Iman tergolong dalam pesantren salafi (tradisional), namun persyaratan untuk
Adapun pihak-pihak yang berhak memilih pimpinan pondok pesantren Nurul Iman, berdasarkan hasil wawancara dengan Guru H. Ismail Yusuf,
bahwa:
“Yang berhak memilih pimpinan di Pondok Pesantren Nurul Iman ini terdiri dari beberapa komponen, seperti para Pengurus Yayasan Nurul Iman, guru-guru Pondok Pesantren Nurul Iman, dan Shohibul Wilayah (Koordinator Wilayah) yang sudah ditunjuk oleh Pondok Pesantren Nurul Iman, yang terdiri dari Koordinator Kelurahan Ulu Gedong, Kelurahan Olak Kemang, Kelurahan Tengah, Kelurahan Jelmu, Kelurahan Mudung Laut, Kelurahan Arab Melayu, dan Kelurahan Tahtul Yaman. Di mana wilayah ini merupakan bagian dari daerah Pecinan”. (Wawancara, Guru H. Ismail Yusuf, 21 Juli 2009).
Berdasarkan wawancara di atas, yang berhak untuk memilih pimpinan Pondok Pesantren Nurul Iman terdiri dari Pengurus Yayasan, guru-guru, dan
Shohibul Wilayah (Koordinator Wilayah). Masih menurut Guru H. Ismail Yusuf, di masa awal berdirinya Nurul Iman, shohibul wilayah itu terdiri dari
para Kepala Kampung, namun sekarang para Kepala Kampung (Lurah) sudah tidak memenuhi persyaratan lagi untuk dapat menjadi shohibul wilayah sebagaimana zaman dulu, karena mereka menjadi Lurah bukan ditunjuk oleh
masyarakat, tetapi ditunjuk oleh pimpinan di atas mereka. Oleh karena itu, sekarang pihak Pondok Pesantren Nurul Iman menunjuk orang-orang yang
memenuhi persyaratan menjadi shohibul wilayah sebagai perwakilan dari daerah-daerah Pecinan. Adapun syarat untuk menjadi shohibul wilayah adalah orang tersebut haruslah ‘alim dan mempunyai kharisma di masyarakat.
Guru H. Ismail Yusuf bahwa mekanisme pemilihan dimulai dari penentuan dan penetapan tanggal pemilihan, dan kemudian membuat undangan kepada
pihak-pihak yang berhak memilih, pada hari yang telah ditentukan pemilihan dilakukan secara musyawarah dan mufakat, dan pemimpin baru dipilih secara
aklamasi, setelah proses tersebut dilalui, tahap selanjutnya adalah meng-SK-kan pimpinan yang baru oleh yayasan. (Wawancara, Guru H. Ismail Yusuf, 21 Juli 2009).
Jika diperhatikan, mekanisme pemilihan pimpinan di Pondok Pesantren Nurul Iman tahapan-tahapannya masih sangat sederhana dan tidak
memakan waktu yang lama. Hal ini menurut salah seorang guru senior disebabkan oleh eratnya rasa kekerabatan yang terjalin di antara para pengurus yayasan, guru-guru, dan para shohibul wilayah, sehingga segala sesuatu yang
dimusyawarahkan dapat dengan segera diputuskan. Begitu juga dalam hal pemilihan pimpinan, di mana figur seorang pemimpin yang akan dipilih
biasanya telah diketahui bagaimana kelebihan dan kekurangannya, sehingga ketika diadakan musyawarah pemilihan pimpinan, terkadang pilihan tertuju pada sosok yang sama. Oleh karena itu, setelah diusulkan nama salah seorang
figur, maka secara aklamasi biasanya mereka langsung menyetujuinya. (Wawancara, Guru H. Abdullah A. Roni, 21 Juli 2009).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mekanisme pemilihan pimpinan di Pondok Pesantren Nurul Iman hanyalah merupakan formalitas untuk mendapatkan legalitas formal dari sebuah pemilihan pimpinan. Karena
sebagai pimpinan baru. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari faktor kedekatan di antara mereka baik secara formal maupun emosional.
b. Pondok Pesantren As’ad
Estafet pergantian kepemimpinan yang ada di pesantren biasanya turun-temurun dari pendiri ke anak ke menantu ke cucu atau ke santri senior.
Begitu juga dengan estafet kepemimpinan di Pondok Pesantren As’ad mulai dari berdirinya hingga sekarang telah beberapa kali mengalami pergantian kepemimpinan mulai dari K.H.A. Qodir Ibrahim (1951–1970), K.H.M. Yusuf
Ibrahim (1970–1979), Drs. M. Hasan K.H.A. Qodir (1979–1985), dan K.H.M. Nadjmi K.H.A. Qodir (1985–sekarang). Dari semua Kyai yang pernah
memimpin Pondok Pesantren As’ad kelihatannya belum ada yang tidak memiliki hubungan keluarga, sebagaimana diungkapkan oleh Guru H.M. Saleh Saman, bahwa:
”Pimpinan Pondok Pesantren As’ad setelah K.H.A. Qodir Ibrahim meninggal digantikan oleh kakak kandung beliau K.H.M. Yusuf Ibrahim, setelah itu posisi kepemimpinan pondok dilanjutkan oleh Drs. M. Hasan K.H.A. Qodir yang merupakan anak dari K.H.A. Qodir Ibrahim, dan sekarang pimpinan Pondok Pesantren As’ad digantikan oleh adik beliau K.H.M. Nadjmi K.H.A. Qodir, jadi kepemimpinan Pondok Pesantren As’ad sampai sekarang masih dipegang oleh keturunan K.H.A. Qodir Ibrahim selaku pendiri Pondok Pesantren As’ad”. (Wawancara, Guru H.M. Saleh Saman, 10 Agustus 2009).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa Pondok Pesantren As’ad sebagaimana pesantren pada umumnya masih menganut
salah seorang guru, bahwa:
”Memang benar bahwa Kyai yang memegang pucuk pimpinan di Pondok Pesantren As’ad ini masih satu keturunan, tapi yang perlu digarisbawahi bahwa penunjukkan mereka sebagai pimpinan di pondok pesantren ini bukan hanya disebabkan mereka adalah keturunan pendiri pondok, tapi memang mereka adalah orang-orang yang layak untuk menjadi pimpinan karena kedalaman ilmu agama mereka, selain itu mereka juga memiliki kharisma di masyarakat, sehingga merekalah yang pantas untuk melanjutkan estafet kepemimpinan di pesantren ini”. (Wawancara, Guru H. A. Latif, 10 Agustus 2009)
Wawancara di atas, sebetulnya kembali menegaskan bahwa syarat
utama menjadi seorang pimpinan di Pondok Pesantren As’ad adalah orang yang memiliki garis keturunan dengan pendiri pondok pesantren. Namun sebagaimana diungkapkan lagi bahwa terpilihnya mereka menjadi pimpinan di
Pondok Pesantren As'ad sudah berdasarkan kualifikasi sebagai seorang Kyai, yaitu mempunyai kedalaman ilmu agama dan kharismatik.
Sedangkan mekanisme pemilihan pimpinan di Pondok Pesantren
As’ad diungkapkan oleh guru yang lain, bahwa:
”Pemilihan pimpinan Pondok Pesantren As’ad dilakukan dengan cara musyawarah di antara keluarga besar yang masih memiliki garis keturunan langsung dengan pendiri Pondok Pesantren As’ad atau yang masih memiliki hubungan keluarga dengan mereka. Dalam musyawarah tersebut, mereka menunjuk siapa yang akan menjadi pimpinan yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan pondok”. (Wawancara, Guru Fathur Rahman, 10 Agustus 2009).
pimpinan di pesantren ini hanyalah orang-orang yang masih memiliki garis keturunan langsung dari pendiri pondok pesantren atau orang-orang yang
masih memiliki hubungan keluarga, sedangkan pihak yayasan dan para guru yang ada di Pondok Pesantren As’ad tidak mempunyai hak untuk memilih dan
dipilih sebagai pimpinan di pesantren ini.
Pola kepemimpinan Kyai di Pondok Pesantren As'ad seperti lazimnya tradisi yang terjadi pada sebuah pesantren pada umumnya, Kyai menempati
posisi sentral sehingga tidak jarang malah menjadi sangat sentralistik. Hal ini terlihat dari corak kepemimpinan dan struktur organisasi yang sentralis. Hal
ini lebih diperkuat lagi dengan posisi pimpinan atau Mudir Pesantren As’ad, KH.M. Nadjmi Qodir, yang ternyata juga merangkap sebagai Ketua Yayasannya.
c. Pondok Karya Pembangunan Al-Hidayah
Kepemimpinan Pondok Karya Pembangunan al-Hidayah dipegang oleh seorang Direktur yang memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam
menjalankan tugas kepemimpinannya. Hal ini berbeda dengan dua pesantren sebelumnya yang menggunakan istilah “Mudir” untuk pimpinan pondok pesantren. Hal lain yang juga berbeda dengan pondok pesantren otonom pada
umumnya, Pondok Karya Pembangunan al-Hidayah merupakan pondok yang dimiliki dan didanai oleh Pemda Provinsi Jambi. Oleh karena itu, keterlibatan
diterangkan bahwa:
“Mekanisme penentuan Direktur pondok dilakukan oleh Pemda, melalui rancangan/usulan yang diajukan oleh pihak pondok terhadap siapa saja yang layak menjadi Direktur pondok. Pemda sendiri dalam hal penentuan tersebut berkoordinasi dengan pihak Departemen Agama Provinsi Jambi”. (Wawancara, Ust. Jauhar Mukhlas, MA, 31 Agustus 2009).
Sistem di atas menunjukkan bahwa mekanisme pemilihan Direktur di PKP al-Hidayah dilakukan berdasarkan pada hubungan koordinasi tiga
lembaga tersebut, dimulai dari usulan pihak PKP al-Hidayah sendiri kepada Pemda Provinsi Jambi (Biro Kessos Setda Provinsi Jambi) yang selanjutnya
berkoordinasi dengan Kantor Kementerian Agama sebagai lembaga yang menangani masalah kependidikan agama. Dalam hal ini keterlibatan Kantor Kementerian Agama Kota Jambi tampaknya tidak hanya sebatas persetujuan
penugasan terhadap PNS yang berada dalam lingkungan Kementerian Agama, namun juga karena wewenang yang dimiliki terhadap pendidikan agama Islam di Kota Jambi.
Namun berdasarkan keterangan dari Direktur tentang proses pemilihannya, bahwa:
Apa yang diungkapkan oleh Direktur PKP al-Hidayah di atas, menunjukkan bahwa begitu kentalnya peran Pemda Provinsi dalam pemilihan
pimpinan pondok pesantren. Terbukti dari mekanisme pemilihan Direktur sekarang yang tidak mengikuti mekanisme yang selama ini dilakukan. Begitu
juga dengan para pimpinan yang berada di bawah Direktur, seperti Kepala Madrasah Ibtidaiyah hingga Aliyah, semuanya berada di bawah wewenang Pemda Provinsi.
Peran Pemda dalam penentuan Direktur Pondok dirasakan cukup beralasan, karena Pondok Karya Pembangunan al-Hidayah merupakan milik
Pemda Provinsi Jambi, dan menurut keterangan Direktur, kenyataan tersebut pada satu sisi justru membanggakan karena hanya Pemda Provinsi Jambi satu-satunya Pemda di Indonesia yang memiliki pondok pesantren. Walaupun pada
sisi lain sebenarnya agak membatasi otonomi kepemimpinan pondok.
2. Gaya Kepemimpinan di Pondok Pesantren Kota Jambi a. Gaya Kepemimpinan di Pondok Pesantren Nurul Iman
Kepemimpinan Pondok Pesantren Nurul Iman identik dengan kepemimpinan kharismatik (charismatic leader), karena kyai-lah yang memimpin dan mengelola pesantren. Sebagai figur kharismatik, kyai adalah
pimpinan informal yang dipilih, diakui, dihormati, disegani dan ditaati serta dicintai para santri dan komunitas pesantren serta masyarakat secara luas. Kiai
mengetahui untuk mempengaruhi dan meyakinkan masyarakat, maka segala ajaran, perintah maupun larangan dipatuhi oleh masyarakat dan jamaahnya.
Seorang pemimpin yang mempunyai kharisma dan beriman, selalu menyadari dan mensyukuri kelebihan dalam kepribadiannya sebagai pemberian Allah
SWT. Oleh karena itu, kelebihan tersebut akan digunakan untuk mendorong dan mengajak orang-orang yang dipimpinnya berbuat sesuai sesuai dengan tuntutan dan ketentuan Allah SWT.
Pendapat-pendapat kyai selalu dibenarkan dan hargai. Muhammad Tholhah Hasan mengutip pendapat Jhon K. Clement dan Steve Albrecht
menjelaskan bahwa kharisma bukan sesuatu yang dapat dipesan lewa pos, tidak dapat dipinjam, tetapi ada dalam diri sendiri yang harus bekerja keras mendapatkannya. Karisma bukan sifat flamboyan orang yang suka pamer dan
diperagakan, melainkan kekuatan batin dan keseimbangan kepribadian (Tholhah Hasan, 2005: 41). Untuk menjadi seorang kyai kharismatik bukan
hal yang mudah tetapi melalui proses panjang dan perjuangan berat. Berbeda dengan pemimpin formal yang standarnya jelas. Seorang menjadi pemimpin formal dengan modal surat keputusan dari pihak yang berwenang dia sudah
sah, tanpa harus diakui, dihormati dan ditaati atau tidak.
Untuk menjadi seorang kyai kharismatik disamping memiliki ilmu
agama yang mumpuni, dia juga mempunyai berbagai kelebihan lain di banding masyarakat pada umumnya. Tingkat keikhlasan, semangat berkorban harta, tenaga bahkan jiwa raga demi kepentingan umum menjadi
memberi arahan, melaikan mengambil rasa sakit bagi santri dan masyarakat. memberi perlindungan, dan bahkan merekatkan butir-butiran pasir yang
lepas-lepas, menjadi problem solver di tengah masyarakat. Kyai adalah pimpinan kharismatik yang memiliki ciri-ciri sifat rendah hati, terbuka untuk dikritik,
jujur dan memegang amah, berlaku adil, komitmen dalam perjuangan, ikhlas dalam berbakti dan mengabdi kepada Allah.
Di lingkungan pesantren, kyai adalah pendiri pesantren dengan
berbagai pengorbanan yang dilakukannya. Tanah, asrama dan fasilitas-fasilitas lain pada umumnya adalah harta milik kyai. Di samping itu, kyai adalah
sumber ilmu, tempat santri dan masyarakat mengadu dan pemilik keberkahan yang diyakini oleh seluruh komunitas pesantren dan masyarakat sebagai jamaahnya. Akan tetapi tidak dapat dinafikan bahwa kharismatik di pesantren
mengantarkan pada pola kepemimpinan sentralistik (Syarief Romas, 2003: 10). Keputusan dan kebijakan pesantren baik yang berhubungan dengan
sarana dan prasarana, kepengurusan, keuangan, kurikulum, materi pembelajaran dan kebijakan-kebijakan lain ditentukan oleh kyai.
Tipe kepemimpinan ini berimplikasi pada penerapan manajemen
pengelolaan pesantren serta evaluasi program yang matang dan terukur dengan jelas. Kondisi ini semakin memperkuat asumsi-asumsi negatif yang melekat
Tipe kepemimpinan kharismatik dan manajemen tradisional sebagaimana dimaksud di atas, juga tergambar pada pola kepemimpinan dan
manajemen Pondok Pesantren Nurul Iman. Walaupun secara prosedural dan mekanisme terdapat susunan pengurus dengan pendelegasian kewenangan,
akan tetapi dalam mekanismenya terdapat keganggalan dan kerancuan. Contoh konkrit adalah adanya pengurus yang sama sekali tidak kompeten di bidangnya, sehingga tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya
diambil alih oleh kyai atau pengurus lainnya yang lebih berpengalaman. Namun hal ini bagi Pondok Pesantren Nurul Iman memang sudah lazim
terjadi, dan ini bagi mereka bukanlah suatu masalah, karena kentalnya suasana kekeluargaan di dalam manajemen pesantren.
Latar belakang pondok pesantren yang bersifat kompleks akan
menghasilkan format kepemimpinan pesantren yang bersifat fleksibel pula. Artinya kepemimpinan yang diterapkan dalam sebuah pondok pesantren
tergantung kepada kapasitas dan kapabilitas kyai atau pengasuhnya (Sulthon dan Khusnuridlo, 2003: 25). Kapasitas dan kapabilitas tersebut tidak terlepas dari pengaruh pribadi (bakat), latar belakang pendidikan, lingkungan dan
masyarakat. Oleh karena itu, untuk menilai kepemimpinan seorang kyai perlu juga dilihat kultur keluarga, latar belakang pendidikan, situasi dan kondisi
masyarakat sekitar dan lingkungan sosio-kultural (Sulthon dan Khusnuridlo, 2003: 25).
Begitu juga dengan KH. Sulaiman Abdullah, dalam konteksnya
dan penggemblengan yang diberikan oleh keluarganya serta kultur pesantren yang melingkupinya sangat berperan dalam membentuk kepribadian dan
kepemimpinan yang diterapkan. (Wawancara, KH. Sulaiman Abdullah, 23 Juli 2009). KH. Sulaiman Abdullah dalam menerapkan pola kepemimpinannya
lebih menekankan pada aspek pemeliharaan kelompok atau sosial masyarakat. artinya kondisi dan kesejahteraan masyarakat menjadi prioritas utama, baik yang berkaitan dengan bidang pendidikan (agama dan umum), ekonomi, sosial
dan lain sebagainya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain:
1) Perhatian dan kepedulian KH. Sulaiman Abdullah terhadap pendidikan
masyarakat sangat tinggi.
2) Sikap dan perilaku beliau yang senantiasa menghargai dan tidak
membedakan masyarakat umum.
3) Kepedulian KH. Sulaiman Abdullah yang tinggi terhadap nasib dan
kondisi masyarakat, terutama yang berkaitan dengan masalah ekonomi dan
sosial masyarakat (Wawancara, Guru Muhid H. A. Qohar, 11 Juli 2009). Di samping itu, KH. Sulaiman Abdullah merupakan sosok panutan bagi masyarakat sekitar, baik yang berkaitan dengan kepribadian beliau
maupun yang berkaitan dengan urusan dunia dan akhirat. KH. Sulaiman Abdullah merupakan figur yang dikagumi, disegani, dihormati dan disanjung
Kondisi ini tidak terlepas dari konteks KH. Sulaiman Abdullah sebagai figur kharismatik. Sehingga beliau juga dapat dikatakan menerapkan model
kepemimpinan yang bersifat kharismatik. Kepemimpinan kharismatik dapat diartikan sebagai kemampuan menggunakan keistemewaan dan kelebihan,
terutama yang bersifat kepribadian untuk mempengaruhi pikiran, perasaan dan tingkah laku orang lain, sehingga orang yang dipengaruhi tersebut bersedia untuk berbuat sesuatu yang dikehendaki oleh pimpinan.
b. Gaya Kepemimpinan di Pondok Pesantren As’ad
Kyai dalam masyarakat Islam merupakan salah satu elit yang
mempunyai kedudukan sangat terhormat dan berpengaruh besar pada perkembangan masyarakat. Kyai menjadi salah satu elit strategis dalam masyarakat karena ketokohannya sebagai figur yang memiliki pengetahuan
luas dan mendalam mengenai ajaran Islam. Lebih dari itu, secara teologis ia juga dipandang sebagai sosok pewaris para Nabi (waratsat al-anbiya). Tidak
mengherankan jika Kyai kemudian menjadi sumber legitimasi dari berbagai keagaman, tapi juga hampir dalam semua aspek kehidupannya. Pada titik inilah kita dapat melihat peran-peran strategis Kyai, khususnya dalam aspek
kehidupan sosial politik di masyarakat.
Tipe kepemimpinan Kyai di Pondok Pesantren As'ad seperti lazimnya
diperkuat lagi dengan posisi pimpinan atau mudir Pesantren As’ad, KH.M. Nadjmi Qodir, yang ternyata juga merangkap sebagai Ketua Yayasannya.
Tipe kepemimpinan semacam ini mengindikasikan bahwa masih adanya nuansa feodalis yang digenggam kuat oleh pesantren hingga peran dan
inisiatif para bawahan menjadi sangat minim. Di mana ketokohan dan kharisma Kyai terlihat masih sangat kental terutama dalam hubungan antara Kyai dengan para guru, santri, pengurus, dan masyarakat, hal ini karena
didasari oleh rasa hormat yang sangat mendalam; pola cium tangan, tidak dapat dibantah dan sebagainya.
Pola hubungan semacam ini memang sangat baik, namun di sisi lain ada juga kelemahannya, karena segala sesuatunya selalu diselesaikan dengan cara kekeluargaan, tidak melalui cara yang prosedural. Hal tersebut terlihat
jelas pada sistem pelimpahan wewenang. Hal ini sebagaimana terungkap dari hasil wawancara dengan salah salah seorang pengurus Pesantren As’ad yang
mengatakan bahwa:
“Pelimpahan wewenang selalu dilakukan secara langsung kepada orang terdekat tanpa bekal berupa Surat Mandat. Begitu juga dalarn urusan-urusan lainnya, seperti proses penempatan pengurus. Bahkan dalam soal transparansi keuangan, semuanya diselesaikan dengan cara kekeluargaan”. (Wawancara, Guru Abdullah Rozali, 12 Agustus 2009)
Pandangan tersebut dipertegas lagi oleh para pengurus dan guru Pesantren As’ad yang mengatakan bahwa pola manajemen Pesantren As’ad masih tertutup, dan hal itu sudah berlangsung sudah sejak lama sekali.
yang dikelola oleh Yayasan (pribadi). (Wawancara, Guru M. Hasan Ulfie, 6 Agustus 2009). Kendati demikian, menurut salah seorang guru, dalam hal
pengambilan keputusan Kyai tetap mengikutsertakan unsur pimpinan lainnya. Namun untuk masalah santri, urusannya diserahkan kepada para guru.
(Wawancara, Guru A. Dumyati Ishaq, 6 Agustus 2009).
Berdasarkan atas, tipe kepemimpinan Pesantren As’ad tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pola kepemimpinan yang dianut oleh Pondok
Pesantren As'ad masih menganut prinsip manajemen tertutup dan belum belum menjalankan fungsi-fungsi manajemen secara optimal yang
mengharuskan pengaturan dan mekanisme kinerja yang baik, perencanaan strategis, akuntabilitas, dan transfaransi.
Lemahnya tipe kepemimpinan pada sebuah lembaga tidak jarang
rnenyebabkan sekolah atau institusi tersebut mengalami kehancuran dan akhirnya terpaksa harus ditutup. Sebab, yang namanya keterbukaan sangat
diperlukan bila tidak ingin digusur oleh waktu.
c. Gaya Kepemimpinan di Pondok Karya Pembangunan Al-Hidayah Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pimpinan PKP Al-Hidayah dalam menjalankan fungsinya sebagai pimpinan terlihat masih
mengandalkan kekuasaan jabatan yang juga dilegitimasi melalui Undang-undang berupa SK pengangkatan yang dikeluarkan oleh Pemda Provinsi
pendidikan yang dinaungi oleh pemerintah. Sehingga menurut hemat penulis, pimpinan PKP Al-Hidayah lebih tepat dikatakan sebagai seorang birokrat dari
pada seorang kyai, karena legitimasi kyai bukan berdasarkan SK pengangkatan melalui sebuah instansi, namun seorang kyai dilegitimasi oleh
masyarakat dan komunitas pesantren.
Proses pengaruh yang dilakukan oleh pimpinan pesantren terhadap bawahannya kelihatannya diterapkan melalui kekuasaan legitimit lewat
pemberlakuan peraturan kelembagaan yang sifatnya mengikat prilaku komponen pendidikan. Proses pengaruh ini terlihat cukup efektif diterapkan
pada tenaga kependidikan yang kesemuanya merupakan tenaga honorer, karena tanpa tekanan akan sulit diharapkan terciptanya suatu kedisiplinan. Hanya saja cara terbaik dalam penegakan disiplin seharusnya dapat
ditumbuhkan melalui proses pengaruh secara pribadi yang lebih banyak dibangun melalui proses komunikasi yang baik antara atasan dan bawahan.
Dalam penerapan tentu saja menumbuhkan waktu bertahap.
Selain itu, penerapan kekuasaan kompetensi melalui kegiatan monitoring terhadap kegiatan pembelajaran di lapangan, tampaknya memang
efektif untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Hanya saja, perlu ditekankan bahwa hal itu hanya dapat dilakukan bagi para tenaga pendidik
yang kiranya masih memerlukan bimbingan.
Pada pembagian tugas, wewenang, dan kekuasaan di PKP Al-Hidayah, memperlihatkan tidak adanya otonomi bagi bawahan, seperti bagi para kepala
madrasah di tempat lain, terutama dalam menunjuk pejabat pembantu kepala madrasah. Hak untuk membagi tugas, wewenang dan kekuasaan merupakan
kewenangan Direktur yang ditentukan berdasarkan rapat direksi (Wawancara, Ust. H. Satria Bachman, 14 September 2009)
Tentang proses pemotivasian, sulit mengharapkan adanya motivasi dan perbaikan dari segi gaji/upah dari pondok pesantren, mengingat alokasi dana yang terbatas. Namun melihat profil para guru/ustadz di PKP Al-Hidayah,
yang sebagaian besar memiliki penghasilan tetap di luar pondok, maka penulis yakin bahwa upah/gaji/honor bukan merupakan satu-satunya motivasi dalam
meningkatkan kinerja para guru. Karena itu, pemenuhan rasa aman, sosial, penghargaan, dan juga aktualisasi diri patut diperhitungkan sebagai faktor yang dapat memotivasi para guru. Hal ini dapat dilihat meskipun
kesejahteraan guru yang semuanya honorer kurang mendapat perhatian, namun mereka tetap loyal terhadap pondok pesantren.
Jika disoroti secara keseluruhan, walaupun ada keberatan dari beberapa pihak terhadap pengangkatan pejabat yang notabene-nya PNS pada lingkungan PKP al-Hidayah, namun rencana makro yang dibangun oleh
pejabat teras PKP al-Hidayah cukup menjanjikan, terutama rencana untuk mewujudkan kemandirian pondok dengan mengaktifkan sumber daya yang
dimiliki pondok seperti perkebunan, perikanan, pertanian, koperasi, dan dapur pondok yang diharapkan dapat berjalan dengan lancar.
Selain itu, pada sisi manajemen, kemandirian tersebut juga akan
tangan pihak-pihak tertentu. Dengan demikian, diharapakan efektivitas kepemimpinan pada PKP al-Hidayah juga akan terus membaik, yang akhirnya
akan membawa perubahan pada kualitas pendidikan secara menyeluruh.
3. Efektivitas Kepemimpinan Kyai pada Pondok Pesantren Kota Jambi a. Pondok Pesantren Nurul Iman
1) Proses Penentuan dan Sosialisasi Visi dan Misi Pesantren
Visi dan misi dalam sebuah organisasi atau suatu lembaga merupakan sebuah kunci utama untuk menjalankan segala kegiatan dalam
organisasi/lembaga tersebut (Doherty, 2003: 121). Visi dan misi berada dalam urutan paling atas sebelum perencanaan dalam organisasi (Tony
Bush & Les Bell, 2002: 87). Menurut Peter M. Senge dalam Per Dalin (2005: 51), visi menggambarkan tujuan dan kondisi di masa depan yang ingin dicapai oleh organisasi. Burt Nanus dalam Visionary Leadership
mengatakan bahwa visi adalah gambaran masa depan organisasi yang realistis, kredibel dan atraktif (Hernon & Rossiter, 2007: 182). Visi yang
baik mampu mengantisipasi, menantang dan sangat berarti sehingga setiap anggota organisasi bisa menghubungkan tugas yang dilakukannya dengan visi. Yang paling penting visi harus terukur sehingga setiap organisasi bisa
mengetahui apakah tindakan yang dilakukannya dalam rangka mencapai visi organisasi atau tidak (Kaufman, dkk., 2003: 242).
dirancang (Daft, 2001: 21). Pernyataan misi organisasi harus cukup luas mengakomodasikan perkembangan organisasi di masa mendatang. Misi
organisasi harus bisa menunjukkan gambaran yang akan dicapai di masa depan dengan jelas. Misi organisasi harus mudah dimengerti, sehingga
akan memudahkan mengkomunikasikan misi tersebut kepada anggota organisasi. Falsafah, tata nilai dan kultur organisasi juga tercermin dari misi organisasi tersebut (Ashkanasy, dkk, 2004: 152).
Sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa visi Pondok Pesantren Nurul Iman adalah “Memposisikan pondok pesantren sebagai
pusat keunggulan yang menyiapkan dan mengembangkan sumber daya insani yang berkualitas di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan iman dan takwa (IMTAQ)”. Sedangkan misi Pondok
Pesantren Nurul Iman adalah: “Menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pada mutu, baik secara keilmuan maupun secara moral dan
sosial, sehingga mampu menyiapkan dan mengembangkan sumber daya insani yang mempunyai kualitas di bidang IPTEK dan IMTAQ”.
Visi dan misi ini merupakan hasil rumusan dan pemikiran dari
pimpinan pondok pesantren telah dimusyawarahkan dan dimodifikasi berdasarkan hasil masukan dari para majelis guru. Hal ini sebagaimana
yang diungkapkan oleh salah seorang guru senior, bahwa:
membentuk insan yang beriman dan takwa kepada Allah SWT dan
berakhlakul karimah. Menurut beliau, visi tersebut lebih bersifat
normatif, sedangkan zaman sekarang tidak hanya memerlukan hal itu, namun perlu para ulama yang unggul dalam ilmu dan unggul dalam teknologi (Wawancara, Guru H. A. Tarmizi Ibrahim, 2 Nopember 2009)
Berdasarkan apa yang diutarakan oleh salah seorang guru senior di atas menunjukkan bahwa Pondok Pesantren Nurul Iman sudah mulai berusaha untuk merubah orientasinya selama ini yang tertutup dengan
perkembangan zaman. Selama ini dapat dilihat dari sejarah perkembangan Pondok Pesantren Nurul Iman yang lebih berorientasi pada kepentingan
ukhrawi dan kemuliaan akhlak para santri. Dan untuk mewujudkannya, Pondok Pesantren Nurul Iman sejak dulu sangat protektif terhadap para santri, bahkan hingga sekarang Pondok Pesantren Nurul Iman tidak
menerima santri perempuan. Peraturan ini bertujuan agar para santri bisa menjaga hal-hal negatif yang disebabkan adanya santri-santri perempuan, seperti dapat menjaga penglihatan terhadap lawan jenis, menjaga
kebersihan hati, dan dapat mengendalikan hawa nafsu.
Keteguhan Pondok Pesantren Nurul Iman memegang orientasinya
pada waktu itu mendapat respon positif dari masyarakat, dan menjadikan Pondok Pesantren Nurul Iman sebagai pusat menimba ilmu keislaman di daerah Jambi. Bahkan tercatat bahwa santri-santri Pondok Pesantren Nurul
Iman bukan hanya santri yang berasal dari daerah Jambi saja, namun juga dari propinsi-propinsi tetangga, bahkan ada yang berasal dari negara jiran
pada ulama, di Jambi sendiri sejumlah pejabat dan rektor perguruan tinggi terkemuka merupakan alumni Pondok Pesantren Nurul Iman, sedangkan di
Malaysia alumninya pernah menjadi Mufti dan imam besar di era tahun 1955.
Menyadari hal itulah, sebagaimana yang dijelaskan oleh salah seorang guru senior di atas, maka pimpinan Pondok Pesantren Nurul Iman ingin merubah orientasi yang dipegang teguh selama ini, guna menjawab
tantangan zaman.
Selain itu, masih menurut Guru H. A. Tarmizi Ibrahim, untuk
mencapai semua tujuan itu, rencananya Pondok Pesantren Nurul Iman akan mengundang seluruh alumni yang ada di Provinsi Jambi dan daerah lainnya guna mengadakan musyawarah akbar untuk dapat bersama-sama
memikirkan bagaimana strategi Pondok Pesantren Nurul Iman ke depan. Kegiatan ini akan dilaksanakan bertepatan dengan acara memperingati 100
tahun lahirnya Pondok Pesantren Nurul Iman. (Wawancara, Guru H. A. Tarmizi Ibrahim, 2 Nopember 2009).
Sedangkan dalam usaha pensosialisasian visi dan misi Pondok
Pesantren Nurul Iman, pimpinan pesantren dibantu oleh majelis guru terus berusaha mensosialisasikannya kepada seluruh elemen pesantren, wali
santri, dan masyakarat sekitar. Agar kesan “kolot” yang sudah terlanjur melekat pada pesantren ini bisa berubah menjadi sebuah kepercayaan terhadap pesantren sebagaimana yang pernah dicapai oleh pesantren di
2) Pengorganisasian
Dubrin dalam Wursanto mengatakan bahwa organizing atau
pengorganisasian adalah suatu proses pengorganisasian terhadap semua sumber daya manusia dan sumber daya fisik sesuai dengan rencana untuk
mencapai tujuan organisasi. Termasuk di dalamnya pembagian tugas, pembagian kerja sesuai dengan job dan tugas serta menentukan otoritas yang berhubungan. Dan dapat juga dirumuskan sebagai suatu kegiatan
mengadakan pembagian tugas/pekerjaan dan wewenang (G. Wursanto, 1986: 100).
Pondok Pesantren Nurul Iman sebagai sebuah lembaga pendidikan yang berada di bawah Yayasan Nurul Iman terdiri atas struktur kepengurusan yayasan dan struktur kepengurusan pondok pesantren.
Pembentukan struktur kepengurusan ini semuanya dilakukan secara musyawarah mufakat. Dalam musyawarah tersebut, para pengurus
yang terpilih ditunjuk berdasarkan usulan dari Mudir yang kemudian disetujui oleh para peserta rapat secara aklamasi. Proses ini juga tidak berlangsung alot, karena memang para peserta rapat rata-rata telah
mengetahui kemampuan masing-masing dari pengurus yang ditunjuk. Setelah struktur kepengurusan yayasan dan kepengurusan pondok
pesantren terbentuk, para pengurus telah mengetahui job description
mereka masing-masing. Namun dalam pelaksanaannya, kepengurusan ini bukanlah kepengurusan yang berdiri sendiri, namun segala sesuatu yang