• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL: Aplikasi Kompos Sabut Buah Lontar pada Budidaya Jagung di Lahan Kering Berbatu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL: Aplikasi Kompos Sabut Buah Lontar pada Budidaya Jagung di Lahan Kering Berbatu."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY

TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA

KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL

(Aplikasi Kompos Sabut Buah Lontar pada Budidaya Jagung

di Lahan Kering Berbatu)

DISERTASI

diajukan untuk memenuhi sebagian syarat

memperoleh gelar Doktor Pendidikan

Konsentrasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan

Oleh

Suryawati

NIM 1008957

PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN

SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

DAFTAR ISI

A.Pembelajaran Kontekstual Berbasis Inquiry Training ……. B. Pendidikan Vokasional Pertanian ……… C. Kompetensi Pemanfaatan Potensi Lokal .……… D. Kerangka Pemikiran ..………... 4. Kompetensi Praktikum Pemanfaatan Potensi Lokal ..…….. 5. Proses Pembelajaran Praktikum IT dan PL ...……… B. Pembahasan ……….. ....……….. 1. Hasil Belajar Praktikum Ranah Kognitif ...………..………

(3)

2. Hasil Belajar Praktikum Ranah Afektif ...……...………… 3. Hasil Belajar Praktikum Ranah Psikomotor ..……… 4. Kompetensi Pemanfaatan Potensi Lokal …………..…….. 5. Karakteristik proses Pembelajaran Kontekstual berbasis IT

dan Pembelajaran Kontekstual berbasis PL ..……...……. 6. Kelebihan dan Kelemahan Praktikum Menggunakan

Pembelajaran Kontekstual Berbasis IT ………. 7. Karakteristik Pembelajaran Praktikum Berbasis IT

Pendidikan Vokasional Pertanian ……….

BABV SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI .………... A. Simpulan ...….………...

B. Implikasi ………...

C. Rekomendasi .………...

DAFTAR PUSTAKA ………...

LAMPIRAN ……….……… ………..

(4)

ABSTRAK

Suryawati, 2015. Pembelajaran Kontekstual Berbasis Inquiry Training (IT) Pendidikan Vokasional Pertanian pada Kompetensi Pemanfaatan Potensi Lokal (Aplikasi Kompos Sabut Buah Lontar pada Budidaya Jagung di Lahan Kering Berbatu). Dibimbing oleh: Prof. Dr. H. As’ari Djohar, M.Pd; Dr. H. Danny Meirawan; M.Pd ; Prof. Dr. Ir. Dede Rohmat, MT.

Pembelajaran praktikum budidaya tanaman di Politeknik Pertanian selama ini dilaksanakan di lahan subur tetapi berbeda dengan sebagian besar lahan di NTT berupa lahan kering berbatu. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara pembelajaran dengan fakta di lapangan. Penelitian ini bertujuan: 1) mendeskripsikan hasil belajar ranah kognitif, afektif, dan psikomotor, (2) merumuskan kompetensi pemanfaatan potensi lokal serta (3) mendeskripsikan karakteristik pembelajaran praktikum pendidikan vokasional pertanian menggunakan IT. Penelitian ini menggunakan pendekatan True Experimental

Design dengan desain Pretest-Posttest Control Group Design. Subjek penelitian adalah dua kelompok

mahasiswa yaitu kelompok kontrol (Pembelajaran Langsung /PL) dan kelompok perlakuan (IT). Analisis data menggunakan: (1) Uji Wilcoxon, 2) Uji Deskriptif, dan 3) Uji Tanda. Hasil penelitian menunjukkan: Satu: hasil belajar praktikum ranah kognitif, afektif dan psikomotor peserta didik yang menggunakan pembelajaran kontekstual berbasis TI lebih tinggi dibandingkan pembelajaran kontekstual berbasis PL. Dua: Kompetensi pembelajaran kontekstual berbasis IT lebih tinggi dibandingkan PL. Kompetensi yang dimiliki terdiri atas: 1) mampu mengaplikasikan keahlian budidaya tanaman pangan, pemanfaatan sabut buah lontar dan cara pengolahan lahan untuk mengatasi keterbatasan pemanfaatan lahan kering berbatu. 2) menguasai konsep teori budidaya tanaman pangan secara umum dan menguasai konsep teori tentang kompos, sabut buah lontar dan lahan kering berbatu secara mendalam serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural pemanfaatan potensi lokal. 3) mampu mengidentifikasi dan menentukan cara pemberian serta dosis kompos sabut buah lontar di lahan yang berpengaruh paling baik pada produksi pertanian dan mampu memberikan rekomendasi serta solusi berdasarkan hasil kerja kelompok maupun individual. 4) kemampuan bekerja dan menyelesaikan pekerjaan secara mandiri maupun kelompok. Tiga: aktifitas pengajar pada proses pembelajaran praktikum berbasis IT memiliki karakteristik: Tahap pendahuluan menyiapkan kondisi pembelajaran dan memotivasi mahasiswa untuk lebih banyak bertanya. Tahap inti, mendorong peningkatan kemampuan mahasiswa dalam eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi melalui latihan penelitian. Tahap penutup pengajar bersama-sama mahasiswa membuat simpulan, melakukan penilaian, refleksi dan rencana tindak lanjut pembelajaran. Karakteristik aktifitas peserta didik pada tahap pendahuluan melakukan keterlibatan, aktifitas, partisipasi, minat, dan motivasi tinggi dengan bertanya. Kegiatan inti menunjukkan tingkat antusias, aktifitas, interaksi mahasiswa, kemampuan mencari informasi dan memformulasikan aturan, keberanian melakukan refleksi, serta kepedulian pada teman untuk memperoleh pengetahuan. Pembelajaran praktikum berbasis IT juga memiliki karakteristik dapat meningkatkan upaya belajar bagi peserta didik yang memiliki kemampuan belajar rendah maupun yang memiliki kemampuan belajar tinggi. Rekomendasi hasil penelitian adalah: 1) Pembelajaran praktikum berbasis IT cocok digunakan pada materi pembelajaran yang diarahkan untuk memperoleh hasil belajar ranah kognitif dan afektif. 2) Pembelajaran praktikum berbasis IT dapat digunakan untuk memperoleh hasil belajar ranah psikomotor apabila diarahkan pada pembelajaran untuk mencapai Kompetensi Dasar untuk memperoleh kemampuan: mengolah data, menginterpretasikan data, dan melakukan observasi yang dilakukan secara kelompok. 3) Pembelajaran praktikum menggunakan topik pembelajaran sumber daya alam yang sudah dikenal mahasiswa tetapi belum dimanfaatkan untuk bidang pertanian. 4) Peserta didik dengan kemampuan belajar rendah harus dikelompokkan dengan peserta didik berkemampuan belajar tinggi agar bersama-sama mencapai kompetensi sesuai tujuan pembelajaran. 5) Tahap pendahuluan dirancang secara efisien, sedangkan pada tahap inti dibutuhkan perangkat pembelajaran berupa lembar kerja praktikum untuk memandu peserta didik agar dapat menggali pengetahuan sesuai topik praktikum.

(5)

ABSTRACT

Suryawati, 2015. IT-Based Contextual Learning Vocational Education of Agriculture at Local Potential Utilization Competence (Compost Application of Palmyrah Palm Fruit Fibers on Corn Cultivation in Rocky Dryland). Supervised by: Prof. Dr. H. As’ari Djohar, M.Pd; Dr. H. Danny Meirawan, M.Pd ; Prof. Dr. Ir. Dede Rohmat, MT.

Practical learning cultivation in Agricultural Polytechnic during this implemented in the fertile soil but this is different from the land in East Nusa Tenggara, mostly in the form of rocky dryland. This raises the gap between learning the facts on the ground. This study aims to: 1) describe the results of studying the cognitive, affective, and psychomotor, (2) formulate competency utilization of local potential and (3) describe the characteristics of agricultural vocational education practicum learning to use IT. This study uses True Experimental Design approach pretest-posttest design with control group design. The subjects were two student groups: control group (Learning Direct / PL) and treatment group (IT). Analysis of the data used: (1) Wilcoxon test, 2) Test Descriptive, and 3) Test Alerts. The results showed: One: practical learning outcomes cognitive, affective and psychomotor learners who use IT-based contextual learning is higher than the PL-based contextual learning. Two: IT-based contextual learning competence higher than PL. Competencies are owned consisting of: 1) able to apply the skills cultivation of food crops, palmyrah palm fruit fiber utilization and processing methods to overcome the limitations of the use of rocky dryland.2) master the theoretical concepts in depth about compost, palmyrah palm fruit fibers and rocky dryland. 3) able to identify and determine the method and dose of fertilizer application in the land best effect on agricultural production and to provide recommendations and solutions based on group and individual work. 4) Ability to work and complete work independently or in groups.

Three: teaching activities in the learning process has the characteristics of IT-based practice:

a preliminary stage to prepare and motivate student learning conditions for more ask. Core stage, boost the ability of students in the exploration, elaboration and confirmation through research practice. The final stage of teachers and students together make conclusions, to assess, reflect and plan a follow-up study. Activity characteristics of learners in the preliminary stages do involvement, activity, participation, interest, and motivation by asking. Core activities indicate the level of enthusiasm, activity, student interaction, the ability to find information and formulate a rule, the courage to reflect, as well as concern for a friend to acquire knowledge. IT-based learning practical also has characteristics can enhance the learning effort for learners which has a low learning ability and that has a high learning ability. Recommendations from the study are: 1) IT-based learning practical is used in the learning material to obtain the results of the cognitive and affective learning. 2) IT-based learning practical can be used to obtain the psychomotor learning outcomes when intended for learning to achieve basic competencies has the ability to: process data, interpret the data, observation conducted in groups. 3) Practical learning using learning topics of natural resources which is already known by the students, but has not been used for agriculture. 4) Learners with low learning ability should be grouped with learners are capable of higher learning that together can achieve competent for appropriate learning goals.5) Preliminary stage designed efficiently, while at the core stage needed learning tools is a practical working guide to guide learners in order to gain knowledge on topic practicum.

(6)

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi yang berada di Indonesia Bagian Timur. Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi NTT pada Bulan Desember 2014 (BPS NTT. (2014) diakses dari ntt.bps.go.id) melaporkan jumlah penduduk sampai Tahun 2013 berjumlah 4.953.967 orang. Sebagian besar penduduk mempunyai mata pencaharian di bidang pertanian.

Berdasarkan kelompok pekerja yaitu penduduk usia 15 tahun ke atas, BPS NTT mengelompokkan tiga pekerjaan utama penduduk NTT yaitu sektor pertanian, industri dan jasa. Sebagian besar penduduk masih mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber pendapatan keluarga dengan persentase lebih dari 50 persen. Komposisi pekerjaan utama kelompok pekerja penduduk NTT ditampilkan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1.

Lapangan Pekerjaan Utama Penduduk NTT Usia 15 Tahun ke Atas No. Lapangan Pekerjaan Utama Persentase (%)

1 Pertanian 63,02

2 Industri 7,56

3 Jasa-jasa 19,42

4 Jumlah 100,00

Sumber: BPS NTT, 2014

(7)

Tabel 1.2.

Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja NTT Tahun 2013

No. Tingkat Pendidikan Tenaga kerja Persentase (%) 1 Tidak/Belum Pernah Sekolah sampai SLTP 77, 52 2 SLA/Kejuruan 15,53 3 Universitas 6,95

4 Jumlah 100,00

Sumber: Diolah dari Data BPS NTT (2014)

Penduduk NTT yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian dengan tingkat pendidikan yang rendah memiliki berbagai keterbatasan dalam berusaha tani. Selain itu adanya keterbatasan sumber air menyebabkan usaha tani umumnya dilakukan dengan cara berladang yaitu pertanian di lahan kering yang disesuaikan dengan kondisi musim. Petani mengelola lahannya dengan menanam berbagai macam tanaman sebagai sumber pangan keluarga terutama jagung dan kacang-kacangan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Lusiana dkk. (2008), di mana lahan yang dikelola oleh petani NTT ditanami tanaman semusim yang tidak berkayu.

Keterbatasan pengetahuan dan terknologi yang dimiliki petani menyebabkan budidaya tanaman dilakukan secara tradisional. Pembukaan lahan baru dengan cara tebas bakar masih dilakukan dan menanam pada lahan yang dianggap subur untuk beberapa musim tanam. Apabila lahan sudah tidak subur mereka akan meninggalkan lahan tersebut dan mencari lahan lain untuk diolah dan ditanami. Kebiasaan tersebut masih dilakukan karena masih luasnya lahan yang belum ditanami. Produksi hasil pertanian masih rendah karena kemampuan mengelola lahan juga terbatas.

(8)

Penduduk miskin di NTT pada Tri wulan ketiga Tahun 2014 hampir mencapai satu juta orang. Jumlah ini sesuai dengan data dari BPS Prov. NTT (2015) yang melaporkan jumlah penduduk miskin di NTT sampai bulan September 2014 adalah sebanyak 991.088 orang (BPS NTT (2015). Jumlah orang miskin yang berada di desa sebanyak 886.018 orang. Tingkat kesejahteraan penduduk jauh tertinggal dibandingkan provinsi lain terutama yang ada di bagian Barat Indonesia. Hal ini sesuai dengan data BPS (2014) yang menempatkan NTT pada peringkat kelima sebagai provinsi termiskin di Indonesia.

Sumber Daya Alam (SDA) yang terdapat di NTT memiliki spesifikasi khas yang berbeda dibandingkan di Indonesia Bagian Barat yang dipengaruhi oleh kondisi dan geologis yang ada. NTT adalah provinsi kepulauan dengan jumlah pulau lebih dari 500 pulau. Secara pasti jumlah pulau masih belum disepakati, karena adanya dua versi data yang dikeluarkan oleh instansi terkait.

Kepala Biro Tata Pemerintahan Sekretaris Daerah (Setda) NTT, menyatakan

jumlah pulau di NTT adalah 655, dari jumlah tersebut sebanyak 134 pulau belum

diberi nama (Seo, 2010). Pulau dengan jumlah lebih banyak dari data di atas dilaporkan oleh BPS NTT (2013), yang melaporkan provinsi NTT memiliki pulau sebanyak 1192 pulau (diakses dari: http://ntt.bps.go.id/). Perbedaan data ini tidak mengurangi fakta bahwa luas daratan NTT sangat berpotensi sebagai SDA bagi kesejahteraan penduduknya.

(9)

pemanfaatan lahan kering untuk kegiatan pertanian perlu menyesuaikan dengan kondisi iklim, komoditas tanaman dan pengetahuan yang dimiliki petani.

Iklim mempengaruhi SDA yang terdapat pada suatu wilayah. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2014) melaporkan topografis hampir semua pulau di wilayah NTT terdiri atas pegunungan dan perbukitan kapur. Pulau Flores, Sumba dan Timor memiliki kawasan padang rumput (savana) dan stepa yang luas dimana pada beberapa kawasan padang rumput tersebut dipotong oleh aliran sungai-sungai. Nimwegen (2009) melaporkan NTT adalah provinsi terkering di Indonesia.

Tidak semua pulau di NTT memiliki iklim yang sama. Hal ini sesuai dengan laporan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) NTT (2013) yang diakses dari http://www.bmkgntt.net/ menetapkan NTT sebagai wilayah yang memiliki iklim bervariasi dari tipe iklim B sampai F. Tipe iklim didasarkan pada klasifikasi Schmidt-Ferguson yang mengklasifikasi iklim berdasarkan curah hujan. Tipe iklim B yaitu daerah basah dan ada hutan hujan tropis sedangkan tipe F adalah daerah kering dan terdapat padang sabana. Data yang diolah dari Statistik Daerah Provinsi NTT (2014) menunjukkan curah hujan di Kabupaten Kupang pada Tahun 2013 adalah 1915 milimeter (mm) per tahun dengan jumlah hari hujan sebanyak 124 hari. Suhu rata-rata 26,2˚C sampai 29,2˚C dengan kelembaban udara rata-rata 62 sampai 87 persen.

SDA lahan kering yang luas adalah potensi lokal yang dimiliki untuk mencapai kesejahteraan penduduk. Hal ini belum dapat berperan karena tingkat pendidikan penduduk NTT yang masih didominasi pendidikan tingkat sekolah

menengah, sehingga berdampak pada masih rendahnya pengetahuan yang dimiliki

penduduk termasuk pengetahuan petani.

(10)

berbasis potensi lokal NTT dapat menjadi sarana menuju peningkatan kesejahteraan penduduk.

Potensi yang dimiliki dari aspek sumber daya manusia (SDM) untuk mengelola lahan adalah petani. Mereka telah memiliki pengalaman dalam membudidayakan tanaman yang menjadi makanan pokok keluarga. Sebanyak 70

persen penduduk NTT adalah petani yang membudidayakan jagung karena

jagung merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk (Lusiana dkk., 2008). Jagung ditanam oleh petani karena mampu berproduksi di lahan kering dengan cukup memuaskan walaupun dibudidayakan secara tradisional.

Jagung masih dapat tumbuh pada kondisi yang beriklim panas, tandus dan berbatu seperti NTT. Jagung mampu tumbuh dan berproduksi walau dengan cara budidaya tradisional asal sesuai dengan syarat tumbuh yang dihendaki tanaman ini. Effendi (1985) diakses dari http://www.pustakadunia.com/ memperkuat hal ini dengan menyatakan: “Tanaman jagung mempunyai kemampuan adaptasi lebih luas dibandingkan tanaman serealia lainnya“. Dikatakan juga bahwa:

“Jagung akan tumbuh lebih baik pada tanah-tanah dengan kisaran pH 5,5

– 8,0 dengan pH optimum 6,0 – 7,0. Suhu rata-rata yang dibutuhkan tanaman jagung adalah sekitar 21 – 32oC”.

Petani dapat melakukan penanaman jagung sepanjang tahun terutama mereka yang memiliki sumber air bagi lahan usahataninya. Petani yang mengandalkan hujan sebagai sumber untuk pengairan hanya menanam pada musim hujan saja. Hal ini diperkuat oleh Vincentius yang dikutip Kusuma (2013), melaporkan bahwa pada musim kemarau petani NTT yang memiliki lahan budidaya dekat sumur bor yang disiapkan oleh pemerintah masih dapat menanami lahan miliknya dengan jagung, kacang-kacangan dan sayuran.

Keberhasilan dalam membudidayakan jagung sangat menentukan tingkat ekonomi petani. Peranan jagung terhadap tingkat ekonomi petani dikemukakan Hau dkk. (2012), yang menyatakan bahwa: “Jagung adalah komoditas utama penentu ekonomi rumah tangga petani, menjadi bagian yang tidak terpisah dari petani NTT dan mempunyai peran dan fungsi sebagai penyangga keamanan

(11)

Besarnya peranan jagung bagi kesejahteraan penduduk telah mendorong pemerintah daerah untuk membuat program peningkatan produksi jagung. Hal ini telah diimplementasikan melalui salah satu prioritas program yaitu “GEMA

AGUNG” (Gerakan Masyarakat Agribisnis Jagung). Program ini dilaksanakan

dari Tahun 2009 sampai Tahun 2013. Kebijakan program dituangkan dalam kesepakatan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten. Kesepakatan (MoU) ini didukung oleh alokasi anggaran publik yang lebih besar untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan. Anggaran untuk program disebut Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera (Anggur Merah) tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) NTT dan dijabarkan pada Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk pengembangan jagung di NTT melalui strategi perluasan areal tanam. Hasil program menunjukkan adanya peningkatan produksi jagung walaupun program belum mampu menjadikan NTT sebagai provinsi jagung (Mada, 2015) diakses dari http://www.seputar-ntt.com/. Program ini berhasil meningkatkan produksi jagung NTT. Tahun 2011 produksi jagung sebesar 2,125 ton per hektar (t/ha), meningkat pada tahun 2012 menjadi 2,6 t/ha (Yusuf dkk.2014). Sejak Tahun 2014 program dilanjutkan dengan ditetapkannya sebagai program lanjutan yaitu Tekad Utama dari Enam Tekad Pembangunan Pemerintah Provinsi NTT menjadi Provinsi Jagung (Batari, 2014) diakses dari: http://m.jurnas.com.

(12)

sentra produksi jagung masih memiliki potensi lahan yang belum dimanfaatkan untuk peningkatan produksi jagung (Bappeda. NTT 2009). Perluasan areal penanaman jagung dapat terlaksana karena lahan yang belum dikelola masih sangat luas. Lahan yang belum dimanfaatkan umumnya berupa lahan berbatu (Santoso, 2002).

Potensi lokal berupa lahan kering berbatu terdapat di sebagian besar pulau-pulau NTT. Luasnya mencapai 19,45 persen dari seluruh luas lahan kering (RPJP Prov. NTT Tahun 2007-2026). Lahan ini memiliki kendala untuk kegiatan budidaya tanaman karena solum tanah yang sangat dangkal yaitu kurang dari 30 sentimeter (cm) serta adanya bahan induk berupa koral di permukaan dengan luas sebesar 40,94 persen. Apabila sentuhan teknologi diberikan pada lahan ini maka peningkatan ekonomi masyarakat dimungkinkan dapat dicapai melalui pemanfaatan lahan ini untuk budidaya tanaman.

Solum tanah yang dangkal menjadi kendala pertumbuhan tanaman karena tanaman budidaya membutuhkan media tanah dengan solum tanah yang tebal agar dapat menyediakan lingkungan optimum bagi perakaran tanaman. Apabila lahan berbatu memenuhi persyaratan ini maka lahan berbatu dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk meningkatkan produksi pangan masyarakat. Untuk menciptakan kondisi lahan berbatu yang dapat mendukung budidaya tanaman perlu dilakukan teknologi yang mengupayakan penyediaan media tanam optimum bagi tanaman agar berproduksi secara maksimal.

Pembentukan tanah secara alami membutuhkan waktu yang sangat lama. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Conway (2013) dan Ritter (2011), menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan tanah terdiri atas : bahan induk, topografi, iklim (temperatur, curah hujan, kelembaban udara), waktu, organisme dan vegetasi.

(13)

tanah. Pemberian bahan organik berupa kompos berbahan baku lokal NTT dapat menjadi salah satu solusi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arsyad (2010,

hlm.168), yang mengemukakan bahwa: ”Pemberian kompos pada lahan

merupakan suatu teknik konservasi tanah”.

Pemberian kompos mempunyai peranan penting bagi tanah pertanian. Kompos dapat meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat, memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Pemberian kompos pada lahan merupakan suatu teknik konservasi Tindakan ini dapat mengatasi masalah erodibilitas tanah yang tinggi yang disebabkan oleh struktur tanah yang mudah terdispersi karena agregat tanah tidak stabil atau mudah pecah, karena terjadinya peningkatan kandungan bahan organik tanah (Atmojo, 2003). Bahan baku untuk kompos sebaiknya menggunakan bagian tanaman yang tidak dimanfaatkan baik sebagai sumber pangan maupun sebagai sumber pakan bagi ternak. Salah satu tumbuhan yang banyak dijumpai di NTT adalah lontar (Borrassus flaberlifer L.).

Lontar adalah jenis tumbuhan yang tidak dimiliki wilayah lain yang memiliki kondisi alam berbeda dengan NTT. Lontar atau Siwalan (bahasa Sunda, Jawa, dan Bali), Tuak (Timor), dan Lontar Palm (Inggris) tumbuh subur secara alamiah tanpa dibudidayakan. Wilayah lain yang banyak ditumbuhi lontar adalah Rembang, Tuban, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara Barat, akan tetapi populasi terbanyak terdapat di NTT (Mahayasa, 2012, hlm. 9). Sebanyak 4.406.912 pohon lontar tumbuh tersebar di pulau-pulau NTT (Tambunan, 2010). Fakta ini menunjukkan lontar mempunyai potensi besar dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk NTT.

Lontar sudah dimanfaatkan penduduk baik untuk dikonsumsi maupun sebagai barang kerajinan. Pemanfaatan lontar terbanyak di NTT adalah untuk pembuatan gula. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sulistyo (2005), yang melaporkan pemanfaatan lontar untuk pembuatan baru satu sampai dua

persen dari tanaman lontar yang ada. Hampir semua bagian dari pohon lontar

(14)

yang dapat dimanfaatkan sebagaimana dikemukakan Nuroniah dkk. (2010) dan Wikipedia, (2011) ditampilkan pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1. Manfaat Lontar

Nira lontar juga mempunyai manfaat lain yang berkaitan dengan kesehatan karena dapat digunakan sebagai obat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Handayani

(2013), yaitu: “dapat mengobati batuk berdarah dan disentri”. Ditambahkan

Handayani, penduduk Makasar memiliki kebiasaan memanfaatkan akar kecambah lontar yang berukuran sebesar jari sebagai bahan makanan dengan cara digoreng atau direbus terlebih dahulu.

Bagian lain dari pohon lontar yang kurang dimanfaatkan adalah sabut buah lontar. Pemanfaatan sabut buah lontar sebagai bahan kerajinan, pengisi bantalan jok mobil atau pencampur bahan batako telah diperkenalkan pada kegiatan pengabdian masyarakat oleh Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana (Mahayasa, 2009). Sabut buah lontar belum dimanfaatkan dalam bidang pertanian khususnya sebagai bahan baku pembuatan kompos belum dilakukan. Mahayasa (2012), dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar bahkan mengemukakan bahwa penelitian yang berkaitan dengan tanaman lontar masih sangat minim.

Sabut buah lontar sampai saat ini belum dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Bahan ini mengandung bahan organik yang sangat tinggi sesuai pendapat

(15)

Nur (2010) yang menyatakan kandungan bahan organik sabut buah lontar sebanyak 94,75 persen. Penggunaan kompos limbah buah lontar pada tanah berbatu bisa dikembangkan dan potensial menjadi upaya konservasi dengan biaya murah karena memanfaatkan limbah yang tidak dimanfaatkan tetapi mempunyai peran yang besar dalam peningkatan produksi tanaman. Peningkatan produktivitas lahan akan berperan pada peningkatan produksi tanaman yang pada gilirannya dapat meningkatkan taraf hidup petani. Riset yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan kering berbatu dan sabut buah lontar menjadi kompos dapat memberikan kontribusi pada peningkatan produksi jagung di NTT.

Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pada sektor pertanian dapat dilakukan melalui pendidikan. Sektor pertanian tidak bisa lepas dari pendidikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widadie (2011), yang menyatakan adanya kaitan antara sektor pendidikan terhadap sektor pertanian:

Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang sama pentingnya dengan sektor pertanian. Sektor pendidikan mengemban tugas yang sangat vital untuk mengembangkan SDM agar dapat memiliki dan mampu bersaing dalam hal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), seni serta mampu mengamalkannya bagi kesejahteraan manusia sehingga dapat meningkatkan harkat bangsa Indonesia di masyarakat dunia sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang berperadaban.

Pendidikan vokasional pertanian yang berbasis potensi lokal dapat memberdayakan potensi lokal yang dimiliki untuk kepentingan kesejahteraan penduduk. Pemanfaatan lahan kering berbatu untuk budidaya jagung dengan penambahan kompos sabut buah lontar dapat diimplementasikan pada kegiatan pembelajaran pendidikan vokasional pertanian.

(16)

pengetahuan dan keterampilan, sehingga mereka mempunyai pilihan dalam bekerja, juga menjadi lebih produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan untuk kemudian meningkatkan kualitas hidup dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Pendidikan bidang pertanian menjadi jenis pendidikan yang diperlukan untuk meningkatkan sektor pertanian sekaligus meningkatkan pelaku utama sektor ini yaitu petani. Sektor pertanian menjadi sektor andalan dalam peningkatan perekonomian masyarakat karena sebagian besar penduduk berada pada sektor ini. Pendidikan pertanian menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Sejalan dengan hal tersebut, Mulder yang dikutip Shin dkk. (2009, hlm. 5) menyatakan pendidikan pertanian adalah :

…here as that part of education that is aimed at preparing students for a profession, either as an employee in a public or private organization or as an entrepreneur in a micro-company, in small, medium-size or large enterprises, in the agri-food complex that contributes to the secure supply of safe food and a healthy and attractive environment, by sustainable methods of production, processing, packaging, logistics and delivering services.

Pendidikan pertanian dapat menjadi solusi permasalahan yang ada di masyarakat dengan mengaplikasikan ilmu pertanian terapan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang dimilikinya. Shinn, Baker & Duri yang dikutip Shin dkk. (2009, hlm. 35-36) juga menyatakan bahwa :

…integrates social and behavioral sciences with the natural and applied

science of agriculture, renewable natural resources, and environment. The knowledge base for agricultural education includes planning and needs assessment; etc … and contextual applications, culture, and diversity—all effecting continual improvement.… and contextual applications, culture, and diversity—all effecting continual improvement.

(17)

masyarakat. Hal ini sejalan dengan pernyataan FAO, Rasmussen, Röling & Pretty (Shin dkk. 2009, hlm. 75) yang menyatakan bahwa pendidikan dapat meningkatkan standar hidup dan standar sosial. Secara lengkap pernyataan mereka adalah sebagai berikut:

... These included improving farming methods and techniques, increasing production efficiency and income, adopting sustainable practices, improving levels of living, and lifting the social and educational standards of rural life.

Kurikulum pendidikan pertanian seyogyanya disusun sesuai dengan kebutuhan lapangan, akan tetapi sering kali hal ini tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pendapat ini dikemukakan juga oleh Crowder dkk. (Nancy dkk. 2010, hlm. 42), yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan pertanian yang dilaksanakan selama ini tidak relevan dengan produksi pertanian. Dikatakan juga proses pendidikan seharusnya memberikan kontribusi yang nyata terhadap produksi pertanian dan pembangunan pedesaan. Pendekatan pendidikan melalui tranfer teknologi seharusnya dilakukan dengan pendekatan pembelajaran kolaboratif, menggunakan strategi pengajaran dan pembelajaran partisipatif, menerapkan praktek berbasis lapangan, dan konteks lokal yang terkait dengan metode pertanian berbasis penelitian.

Pendidikan Politeknik merupakan jalur pendidikan teknik dan vokasional pada jenjang Perguruan Tinggi yang menyiapkan (mendidik dan melatih) peserta didik dengan keterampilan di bidang keteknikan dan bidang pekerjaannya (Hanafi, 2014). Orientasi pendidikan dan pelatihan yang diberikan diharapkan memberikan pengetahuan, keterampilan dan pembentukan sikap individu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pembentukan sikap positif terhadap pekerjaan dapat mendorong pengembangan keterampilan kognitif peserta didik untuk memenuhi tuntutan dan permintaan bidang pekerjaan di masa depan.

(18)

pertanian diharapkan akan menerapkan ilmunya di bidang pertanian sehingga dapat berkontribusi dalam peningkatan produksi pertanian.

Kontribusi lulusan Politani Negeri Kupang pada peningkatan kesejahteraan petani dimungkinkan karena sebagian besar mahasiswa berlatar belakang keluarga petani. Hal ini dapat diketahui berdasarkan data yang diolah dari kuisioner mahasiswa, yang menunjukkan mahasiswa Politani Negeri Kupang Tahun 2013 yang memiliki latar belakang keluarga sebagai petani sebesar 82,96 persen.

Mengacu pada Surat Keputusan Mendiknas Nomor 232/U/2000, (Kemendiknas, 2000), kurikulum inti pendidikan di Politani terdiri atas: Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), Mata Kuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK), Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB), Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB). Pelaksanaan pembelajaran (kecuali MPK) menerapkan 40 persen teori dan 60 persen praktikum.

Pendidikan vokasional pertanian menekankan agar pembelajaran budidaya tanaman menggunakan lahan sebagai media atau laboratoriumnya. Penggunaan lahan yang memiliki spesifikasi lahan-lahan NTT sebagai laboratorium menjadikan pendidikan budidaya pertanian akan mampu menghadirkan materi pembelajaran dengan keadaaan yang sesungguhnya di lapangan atau masyarakat. Model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning= CTL) dapat diterapkan sebagai alternatif dalam proses pembelajaran ilmu pertanian agar hasil belajar mahasiswa dapat meningkat. Pendidikan pertanian pada politeknik merupakan pendidikan untuk orang dewasa sehingga pembelajaran harus sesuai juga untuk orang dewasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Caffarella and Merriam (Nancy dkk. 2010), yang menyatakan :

Individual learning styles and a contextual approach to learning are two modes of adult learning. Individual learning focuses on the individual’s learning. The contextual approach to learning combines individual learning and context.

(19)

juga bagi bidang pertanian. Pembelajaran kontekstual yang menekankan pengalaman yang bermakna akan menjadikan peserta didik memperoleh pengetahuan pertanian yang berhubungan langsung dengan kehidupan di masyarakat sekaligus hal ini berkaitan dengan kegiatan produksi pertanian. Mengacu pada berkembangnya pemikiran bahwa belajar akan lebih bermakna jika peserta didik secara langsung mengalami sendiri apa yang dipelajari dan bukan hanya mengetahui saja, maka model belajar yang dianggap relevan untuk diterapkan dalam pembelajaran bidang pertanian adalah model pembelajaran kontekstual.

Pembelajaran yang berhasil guna adalah pembelajaran yang dapat diterapkan oleh peserta didik setelah mereka lulus dan dapat menjawab permasalahan yng dihadapi di lapangan. Sejalan dengan hal itu Sanjaya (Sa’ud, 2010, hlm. 168) menyatakan pembelajaran kontekstual menekankan kepada proses keterlibatan peserta didik secara penuh agar dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan kehidupan nyata sehingga mendorong untuk menerapkannya dalam kehidupan mereka. Pembelajaran kontekstual mendorong mahasiswa untuk mengerti makna belajar, manfaatnya, apa status mereka dan bagaimana mencapainya. Mahasiswa akan menyadari apa yang mereka pelajari berguna untuk hidupnya kelak. Hal ini akan membuat mereka menjadi individu yang memerlukan bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan akan berusaha untuk menggapainya.

Tugas pengajar dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu peserta didik untuk mencapai tujuannya. Pengajar harus lebih memperhatikan strategi daripada memberi informasi. Peran pengajar adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi mahasiswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai Student Centered daripada

Teacher Centered.

(20)

Muatan teknologi keterampilan yang sesuai dengan kondisi lingkungan

harus mendapat penekanan. Di satu sisi muatan teknologi tersebut akan

membuat pembelajaran menjadi menarik, karena ada unsur “baru”

dibanding dengan apa yang dilihat di masyarakat. Di pihak lain, muatan teknologi diharapkan akan dapat diterapkan oleh siswa untuk meningkatkan kualitas pekerjaan yang mungkin sudah ada di masyarakat. Sistem pendidikan pertanian pada institusi pendidikan tinggi, hendaknya mengajarkan bidang ilmu pertanian secara lengkap. Mahasiswa tidak hanya diajarkan sistem budidaya tanaman saja, akan tetapi juga pengembangan ilmu dan teknologi berbasis SDA potensi daerahnya. Potensi daerah yang belum dikembangkan dapat menjadi peluang dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pembelajaran praktikum budidaya pertanian yang dilaksanakan di Politani Negeri Kupang, selama ini dilakukan di lahan yang telah disediakan. Lahan yang digunakan, baik yang ada di kampus maupun lahan yang disewa dan berada di luar kampus memiliki kondisi yang optimal untuk menunjang produksi pertanian. Hal ini ditujukan agar mahasiswa dapat melakukan praktikum budidaya tanaman dan memperoleh produksi tanaman yang tinggi.

(21)

memiliki kompetensi budidaya tanaman di lahan yang memiliki kondisi optimum, padahal tidak sesuai dengan kondisi lahan di mana mereka akan bekerja. Mereka akan menghadapi lahan yang jauh berbeda yaitu lahan kurang subur, solum tanah yang dangkal, kebanyakan berbatu serta kering tanpa sarana pengairan yang memadai di mana pengairan mengandalkan curah hujan. Akibatnya produktifitas tanaman yang diusahakan tidak akan maksimal, produksi rendah atau bahkan mengalami kegagalan panen. Hal ini bisa menyebabkan turunnya minat berusaha tani bahkan perasaan frustasi dalam bekerja.

Kesenjangan antara progam pembelajaran dengan fakta di lapangan menjadi masalah setelah para lulusan berada di lapangan. Pembelajaran yang diperoleh selama pendidikan hanya membekali mahasiswa dalam mengelola lahan yang subur disertai teknologi pertanian yang cocok untuk lahan tersebut. Lebih lanjut hal ini dapat menimbulkan masalah dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan untuk budidaya pertanian. Mereka tidak memiliki kompetensi teknologi pemanfaatan lahan yang spesifik NTT. Adanya kesenjangan antara pembelajaran pendidikan vokasional bidang pertanian yang dimiliki mahasiswa dengan kondisi di lapangan setelah mereka lulus dapat menjadi kendala dalam meningkatkan produksi hasil pertanian dan kesejahteraan petani.

Solusi kesenjangan perlu dicari melalui penelitian yang berkaitan dengan pembelajaran praktikum yang sesuai dengan kondisi faktual lahan spesifik NTT. Teknologi aplikasi kompos sabut buah lontar pada budidaya tanaman khususnya jagung yang telah diuji menjadi bahan pembelajaran praktikum yang faktual pada pendidikan vokasional pertanian. Langkah selanjutnya adalah melakukan penelitian bagaimana bahan ajar ini diberikan dalam kegiatan praktikum di politeknik.

(22)

mengutamakan aspek psikomotor yaitu keterampilan dan kurang memperhatikan aspek lainnya yaitu aspek kognitif dan afektif. Pembelajaran praktikum yang dapat mendorong kreatifitas peserta didik dalam menemukan pengetahuan merupakan pembelajaran yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk membekali mereka setelah terjun di masyarakat.

Salah satu metode pembelajaran yang mendorong penemuan pengetahuan adalah pembelajaran Inquiry Training (TI). Praktikum berbasis TI merupakan pembelajaran praktikum menggunakan konsep penelitian ilmiah dan latihan penelitian. Inti pembelajaran adalah melibatkan peserta didik dalam masalah penelitian yang benar-benar orisinal dengan cara menghadapkan mereka pada bidang investigasi, membantu mereka untuk mengidentifikasi masalah konseptual atau metodologis dalam bidang tersebut dan mengajak mereka untuk merancang cara-cara memecahkan masalah (Joyce dkk. 2009, hlm. 194).

Penelitian pembelajaran kontekstual pada kegiatan praktikum dapat berkontribusi positif pada pendidikan vokasional bidang pertanian. Peningkatan hasil pembelajaran yang selaras dengan kondisi sebenarnya di lapangan dengan memanfaatkan potensi lokal yang dimiliki dapat diterapkan di lapangan setelah mereka terjun di masyarakat. Penelitian menggunakan metode eksperimen menjadi instrumen untuk memperoleh informasi dan upaya pemecahan masalah antara metode pembelajaran vokasional bidang pertanian dengan peningkatan kompetensi mahasiswa.

(23)

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas maka telah dilakukan penelitian dengan judul : “ Pembelajaran kontekstual berbasis Inquiry

Training (IT) pendidikan vokasional pertanian pada kompetensi pemanfaatan potensi lokal” dengan sub judul “Aplikasi kompos sabut buah lontar pada budidaya jagung di lahan kering berbatu”

Latar belakang penelitian secara ringkas ditampilkan pada Gambar 1.2.

B. Identifikasi Masalah

Masalah-masalah yang dapat diidentifikasi dari latar belakang penelitian adalah : 1) Sebagian besar penduduk NTT (77,52 %) memiliki tingkat pendidikan dari

tidak sekolah sampai tamat SLTP, kondisi ini tidak mendukung kesejahteraan penduduk.

2) Pendidikan vokasional pertanian di Politani menerapkan kurikulum pembelajaran praktikum yang tidak relevan dengan kondisi faktual di lapangan.

3) Pembelajaran praktikum tidak sesuai dengan potensi sumber daya lokal. 4) Pembelajaran praktikum budidaya tanaman berbasis Pembelajaran Langsung

kurang mendorong kreatifitas dalam memperoleh pengetahuan.

5) Teknologi pemanfaatan potensi lokal melalui aplikasi kompos sabut buah lontar di lahan berbatu untuk budidaya jagung belum dibuktikan.

Adanya keterbatasan waktu, kemampuan, dan dana yang penulis miliki, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian. Ruang lingkup penelitian dilakukan pada fokus masalah yang berkaitan dengan pembelajaran praktikum. Fokus masalah penelitian yaitu:

1. Kompetensi pemanfaatan potensi lokal aplikasi kompos sabut buah lontar melalui pembelajaran Kontekstual berbasis IT belum dimiliki oleh mahasiswa. 2. Proses pembelajaran kontekstual berbasis Inquiry Training pada praktikum

(24)

C. Rumusan Masalah Penelitian

1. Bagaimana hasil belajar praktikum ranah kognitif, afektif dan psikomotor mahasiswa setelah pembelajaran kontekstual berbasis Inquiry Training pada pemanfaatan potensi lokal dibandingkan Pembelajaran Langsung?

2. Bagaimana kompetensi pemanfaatan potensi lokal yang dimiliki mahasiswa setelah pembelajaran kontekstual berbasis Inquiry Training pada kegiatan praktikum dibandingkan Pembelajaran Langsung?

3. Bagaimana karakteristik proses pembelajaran kontekstual berbasis IT pada pendidikan vokasional pertanian dilaksanakan melalui aplikasi kompos sabut buah lontar pada budidaya jagung di lahan berbatu?

D. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti objektif berkaitan dengan efektivitas pembelajaran praktikum pendidikan vokasional pertanian berbasis IT terhadap kompetensi belajar mahasiswa sehingga dapat menerapkannya pada pemanfaatan potensi lokal yang ada di NTT.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk:

1. Mendeskripsikan hasil belajar ranah kognitif dalam pemanfaatan lahan berbatu dan kompos sabut buah lontar setelah praktikum yang menerapkan pembelajaran kontekstual berbasis IT dibandingkan pembelajaran kontekstual berbasis Pembelajaran Langsung

2. Mendeskripsikan hasil belajar ranah afektif dalam pemanfaatan lahan berbatu dan kompos sabut buah lontar setelah praktikum yang menerapkan pembelajaran kontekstual berbasis IT dibandingkan Pembelajaran Langsung 3. Membuktikan hasil belajar ranah psikomotor pemanfaatan lahan berbatu dan

kompos sabut buah lontar setelah praktikum yang menerapkan pembelajaran kontekstual berbasis IT dibandingkan pembelajaran kontekstual berbasis Pembelajaran Langsung

4. Merumuskan kompetensi pemanfaatan lahan berbatu dan kompos sabut buah lontar setelah praktikum yang menerapkan pembelajaran kontekstual berbasis

(25)

5. Mendeskripsikan karakteristik proses pembelajaran praktikum pada pendidikan vokasional pertanian berbasis Inquiry Training.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis, yaitu; a) memperkaya khasanah pengayaan ilmu pengetahuan dan memperkuat teori pembelajaran menggunakan langkah-langkah latihan penelitian dan, b) memberikan kontribusi empiris pada pembelajaran vokasional pertanian.

2. Manfaat praktis, yaitu: a) menjadi dasar untuk penyusunan perangkat pembelajaran praktikum pada pendidikan vokasional pertanian, b) dapat memperbaiki proses pembelajaran khususnya kegiatan praktik yang sesuai fakta lapangan, c) dapat meningkatkan kualitas produk lulusan yang memiliki kompetensi yang sesuai fakta lapangan, dan memiliki daya saing tinggi dalam bursa tenaga kerja, d) dapat berkontribusi bagi Pemerintah dalam mendukung pemanfaatan potensi SDA di NTT.

(26)

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

A. Simpulan

Temuan hasil penelitian tentang pembelajaran kontekstual berbasis IT dan PL mengandung beberapa simpulan yang berkaitan dengan kompetensi pemanfaatan potensi lahan berbatu dan kompos sabut buah lontar. Simpulan ditinjau dari segi ranah kognitif, ranah afektif, psikomotor dan proses pembelajaran yang diteliti. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, penulis melakukan analisis dan pembahasan yang akhirnya dapat ditarik beberapa simpulan berikut ini:

Pertama, praktikum menggunakan pembelajaran kontekstual berbasis IT

dapat meningkatkan struktur kognitif peserta didik dibandingkan pembelajaran kontekstual berbasis PL. Peningkatan terdapat pada kemampuan berpikir mahasiswa meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan penilaian terhadap pemanfaatan lahan berbatu dan kompos sabut buah lontar sebagai potensi lokal NTT. Pembelajaran praktikum berbasis IT juga mampu meningkatkan upaya belajar peserta didik yang memiliki kemampuan awal rendah maupun yang memiliki kemampuan awal tinggi untuk memperoleh hasil belajar yang memuaskan.

Kedua, praktikum menggunakan pembelajaran kontekstual berbasis IT dapat

(27)

Ketiga, hasil belajar praktikum ranah psikomotor setelah pembelajaran

kontekstual berbasis IT lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran kontekstual berbasis PL. Peningkatan terdapat pada: 1) kemampuan motorik dalam bentuk gerakan fisik, 2) kemampuan memanipulasi objek, 3) pengukuran yang lebih tepat dan cermat.

Keempat, pembelajaran kontekstal berbasis IT mampu meningkatkan

kompetensi dalam pemanfaatan potensi lokal NTT lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran kontekstal berbasis PL. Pembelajaran mampu meningkatkan pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan yang dimiliki peserta didik yang terdiri atas: 1) Kemampuan memperoleh pengetahuan yang utuh dengan bekerja sama menggabungkan ingatan yang dimiliki. 2) Kemampuan membedakan bentuk, warna dan aroma, kompos sabut buah lontar. 3) Kemampuan mengelompokkan limbah pertanian dan bukan limbah pertanian. 4) Kemampuan mengelompokkan tanaman yang kurang dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan dan pakan. 5) Kepedulian pada lingkungan. 6) Kemampuan mengingat rumus matematis. 7) Kemampuan menghitung dosis pupuk. 8) Kemampuan memahami kode atau simbol dan menghubungkannya dengan kondisi di lapangan. 9) Kemampuan menilai kompetensi teman. 10) Kemampuan merekapitulasi dan menginterpretasi data. 11) Kemampuan menghitung, menimbang dan mengukur produksi tanaman jagung. 12) Memampuan menentukan cara pemberian dan dosis kompos yang paling berpengaruh signifikan terhadap produksi jagung. 13) Sikap positif terhadap: a) pentingnya kemampuan menghitung dosis pupuk, b) cara pemberian kompos, c) perbedaan dosis kompos atau pupuk buatan di lahan d) mengamati tanaman sehat, sakit, dan siap panen, e) kondisi lahan NTT, f) cara budidaya yang dilakukan petani NTT, dan g) peranan praktikum di lahan yang spesifik NTT.

Kelima, karakteristik aktifitas pengajar dan peserta didik pada proses

(28)

Karakteristik aktivitas pengajar terdiri atas: Tahap pendahuluan, pengajar menyiapkan kondisi pembelajaran dan memotivasi mahasiswa untuk lebih banyak bertanya. Tahap inti, pengajar mendorong peningkatan kemampuan mahasiswa dalam eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi melalui latihan penelitian. Tahap penutup pengajar bersama-sama mahasiswa membuat simpulan, melakukan penilaian, refleksi dan rencana tindak lanjut pembelajaran. Aktifitas pengajar pada kegiatan pendahuluan memiliki delapan karakter. Kegiatan inti: tahap Eksplorasi terdiri atas sembilan karakter, Elaborasi enam karakter, dan tahap Konfirmasi terdiri atas 11 karakter. Kegiatan penutup memiliki empat karakter.

Aktifitas peserta didik pada tahap pendahuluan melakukan keterlibatan, aktifitas, partisipasi, minat, dan motivasi tinggi dengan bertanya. Kegiatan inti menunjukkan tingkat antusias, aktifitas, interaksi mahasiswa, kemampuan mencari informasi dan memformulasikan aturan, keberanian melakukan refleksi, serta kepedulian pada teman untuk memperoleh pengetahuan.

Kegiatan pendahuluan: memiliki lima karakteristik Kegiatan inti: tahap eksplorasi terdiri atas delapan karakter, Elaborasi 15 karakter, dan tahap konfirmasi terdiri atas 10 karakter. Aktivitas peserta didik pada kegiatan penutup memiliki dua karakter.

B. Implikasi

Berdasarkan simpulan di atas, maka impllikasi penelitian ini adalah sebagai berikut:

(29)

dan keterampilannya melalui interaksi dengan lingkungan sosial baik teman, pengajar maupun sumber belajar lainnya.

2. Topik pembelajaran dengan memanfaatkan sumber daya yang dikenal mahasiswa tetapi belum dikembangkan merupakan materi belajar yang menarik untuk dipelajari melalui pembelajaran kontekstual berbasis Inquiry

Training.

3. Materi belajar pada pembelajaran kontekstual berbasis Inquiry Training

seyogyanya berupa materi belajar terpilih yang dijadikan latihan menyelesaikan masalah faktual melalui langkah-langkah ilmiah. Materi belajar praktikum mendorong dan merangsang minat analisis dan observasi dari peserta didik apabila materi orisinal, sederhana akan tetapi dirasakan manfaatnya oleh peserta didik.

4. Keberhasilan pembelajaran kontekstual berbasis Inquiry Training ditentukan oleh informasi pengetahuan mahasiswa berkaitan dengan materi praktikum melalui kegiatan membimbing peserta didik untuk mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki sebagai hasil belajar.

5. Keterlibatan aktifitas peserta didik secara psikis dan fisik pada proses pembelajaran kontekstal berbasis Inquiry Training berjalan dengan baik apabila diciptakan kondisi dan suasana belajar yang dapat meningkatkan perhatian peserta didik serta demokratis. Partisipasi pada penyelesaian tugas dilakukan melalui kegiatan belajar alternatif di luar jam pelajaran praktikum berkaitan dengan penerapan materi pembelajaran berupa kegiatan yang dilakukan sehari-hari.

C. Rekomendasi

(30)

Berdasarkan hasil penelitian, penulis merekomendasikan sebagai berikut :

1. Pembelajaran praktikum berbasis IT cocok digunakan pada materi pembelajaran yang diarahkan untuk memperoleh hasil belajar ranah kognitif dan afektif.

2. Pembelajaran praktikum berbasis IT dapat digunakan untuk memperoleh hasil belajar ranah psikomotor apabila diarahkan pada pembelajaran untuk mencapai Kompetensi Dasar: mampu mengolah data, mampu menginterpretasikan data, dan mampu melakukan observasi dengan cara bekerja sama.

3. Pembelajaran praktikum menggunakan topik pembelajaran sumber daya alam yang sudah dikenal mahasiswa tetapi belum dimanfaatkan untuk bidang pertanian.

4. Pembelajaran praktikum berbasis IT menuntut perserta didik memiliki kemampuan akademik yang baik oleh karena itu kelompok praktikum harus beragam sehingga peserta didik yang memiliki kemampuan akademik rendah dapat bekerja sama dengan yang berkemampuan akademik tinggi dapat mencapai kompetensi sesuai tujuan pembelajaran.

Gambar

Tabel 1.2. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja   NTT Tahun 2013
Gambar 1.1. Manfaat Lontar

Referensi

Dokumen terkait

Keadaan umum ibu baik, Tekanan darah < 140/90 mmHg, Bertambahnya berat badan sesuai minimal 8 kg selama kehamilan (1kg tiap bulan) atau sesuai IMT ibu , Edema

[r]

Hasil penelitian menunjukkan sebesar (32,3%) responden yang berstatus malaria,Hasil penelitian menunjukkan sebesar (52,5%) responden yang berada di luar rumah

Magi Sympathetic atau mantra simpatik Banjar merupakan bentuk puisi tradisional Banjar yang digunakan untuk kepentingan pemakainya, tetapi tidak merugikan orang lain.. Dalam

Lensa akan mengumpulkan sinar berapapun panjang gelombang sinar yang dilewatkan.. Lensa akan menyebarkan sinar berapapun panjang gelombang sinar

Menurut Nasution (1999), perencanaan produksi adalah suatu perencanaan taktis yang bertujuan untuk memberikan keputusan yang optimum berdasarkan sumber daya yang

Skripsi diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Fakultas Ilmu Pendidikan.

Agar pilihan ini terpenuhi, maka perbankan memperketat syarat- syarat meminjam untuk maksud bisnis, apalagi investasi, sementara memperingan syarat-syarat meminjam untuk