• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODERASI ISLAM BERBASIS TASAWWUF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MODERASI ISLAM BERBASIS TASAWWUF"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MODERASI ISLAM BERBASIS TASAWWUF

Nadhif Muhammad Mumtaz1 Nadhifmuhammad35@gmail.com1

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah1

Abstrak

Moderasi Islam adalah salah satu upaya pemberantasan radikalisme yang ada di Indonesia. Akan tetapi sampai saat ini fakta mengatakan bahwa radikalisme masih bertumbuh kembang. Sedangkan tasawwuf sebagai pondasi bagi seorang muslim untuk menjalankan ajarannya bergerak ke akar- akar pemikiran akan pemahaman agama tersebut. Oleh karena itu moderasi islam berbasis tasawwuf diharapkan dapat memberantas radikalisme sampai ke akar-akarnya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan kepustakaan. Pengumpulan data diperoleh melalui berbagai literatur. Hasil dari penelitian ini mengatakan bahwa moderasi Islam berbasis tasawuf adalah moderasi Islam yang Rahmatan lil Alamin, berjalan di jalan tengah tanpa menindas pihak kiri maupun kanan.

Kata Kunci: Moderasi islam, Radikalisme, Tasawwuf

Abstract

Islamic moderation is one of the efforts to eradicate radicalism in Indonesia.

However, until now the facts say that radicalism is still growing. Meanwhile, tasawwuf as a foundation for a Muslim to carry out his teachings moves to the roots of thoughts about understanding the religion. Therefore, Islamic moderation based on tasawwuf is expected to eradicate radicalism to its roots. This research is a qualitative research with a literature approach.

Data collection was obtained through various literatures. The results of this study say that Islamic moderation based on Sufism is the moderation of Islam that Rahmatan lil Alamin walks in the middle road without oppressing the left or the right.

Keywords: Islamic moderation, radicalism, Tasawwuf

(2)

A. PENDAHULUAN

M

oderasi Islam adalah gagasan yang sangat populer di kalangan para cendekiawan maupun praktisi agama pada hari ini. Hampir seluruh komponen masyarakat maupun pejabat membuat berbagai program kegiatan ditujukan untuk membumingkan gagasan moderasi beragama. Dalam hal ini, agama yang paling difokuskan adalah agama Islam. Agama Islam seringkali terpapar radikalisme dan merugikan berbagai komponen masyarakat sekitar. Upaya yang dilakukan pemerintah seolah- olah tidak menghasilkan dampak yang signifikan terhadap penanggulangan radikalisme dan terorisme.

Hal ini dibuktikan dengan hasil survey yang dirilis oleh lembaga Alvara Research Center dan Mata Air Foundation bahwa terdapat 23,4%

pendapat yang menyatakan mahasiswa setuju dengan tegaknya negara Islam atau khilafah, 23,1% pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam khilafah, 18,1% pegawai swasta menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila, 19,4 PNS tidak setuju dengan ideologi Pancasila, 6,7% Pegawai BUMN tidak setuju dengan ideologi Pancasila, serta 0,1% berindikasi tidak setuju dengan Pancasila.1 Dari data diatas menggambarkan tentang fenomena peningkatan pemahaman ideologi yang tidak selaras dengan ideologi Pancasila di tengah-tengah masyarakat, dan adanya upaya dari pihak kelompok yang menginginkan perubahan pembaruan sosial dan politik dengan cara apapun, fenomena ini merupakan ancaman nyata yang terjadi di Indonesia. Salah satu penyebab peningkatan pemahaman yang tidak selaras dengan ideologi Pancasila tersebut disinyalir tidak terlepas dari berbagai usaha propaganda kelompok radikal untuk membentuk suatu jaringan baru dan mengarah secara langsung kepada masyarakat menggunakan berbagai media yang ada termasuk salah satunya adalah media sosial secara online.2

1 Lihat Faiq Hidayat, “Peta Pandangan Keagamaan di Kalangan Pelajar”, https://news.

detik.com/berita/d-3707458/begini-peta-pandangan-keagamaan-di-kalangan-pelajar (dakses pada 15 Mei 2020)

2 Menurut data yang dihimpun oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sampai dengan 26 Juni 2018 telah ditemukan sebanyak 5526 konten propaganda yang mengarah kepada paham radikal di beberapa media sosial. Temuan tersebut diantaranya melalui Situs/ Forum/ File sharing sebesar 614, Facebook dan Instagram sebanyak 2986, Youtube dan Google Drive 552, Telegram 502, dan yang terakhir adalah Twitter sebanyak 872. Hal ini menunjukkan bahwa pengguna media sosial saat ini menjadi kelompok yang rentan untuk terprovokasi oleh berbagai konten propaganda

(3)

Terlepas dari itu semua, tampaknya ada beberapa problem dalam penanggulan radikalisme yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat sendiri. Radikalisme tidak dibrantas hingga akar-akarnya.

Radikalisme hanya hilang pemukaannya saja namun hakikatnya eksistensinya masih tumbuh subur di setiap hati para penganutnya.

Pangkal dari ideologi atau keimanan adalah hati seseorang tersebut.

Jika hatinya bersih maka perbuatannya akan benar dan tidak merugikan orang lain. Tasawwuf berperan untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasi diri dari sifat terpuji, atau yang sering kita sebut dengan takhally dan tajally.3 Oleh karena itu moderasi berbasis tasawwuf sangatlah bagus untuk menjadi solusi bagi problematika radikalisme yang terjadi dinegara ini. Karena tasawwuf memperhatikan aspek zhahir dan bathin sekaligus. Shalat mislanya, jika dipandang dari aspek tasawwuf maka ada dua dimensi; dimensi pertama adalah dimensi zhahir (ةروص ةرهاظ) dan hakikatnya dimensi kedua adalah dimensi bathin (ةنطاب ةروص).

Dimensi dhahir dari shalat adalah takbir, ruku’, sujud, membaca fatihah, dll. Sedangkan dimensi bathin pada ibadah shalat adalah segala hal yang berkaitan dengan kondisi hati seseorang tersebut, seperti Khusyu’, tadharru’, dan khudhu’. Dan kedua dimensi tersebut harus sama-sama ditegakkan terutama pada dimensi bathin jika melihat tantangan Islam di zaman sekarang khususnya di negara Indonesia.4

Arah dari tasawwuf sendiri adalah dimaksudkan untuk mensucikan hati dan meningkatkan kualitas ruhaniya, pancaran hati tidak akan berbeda dengan apa yang akan dilakukan oleh muslim sehari-hari. Jika hatinya bersih maka dia juga akan memperhatikan aspek-aspek jasmaninya, seperti kekuatan fisik, kebersihan, kesehata, menolong orang lain, menghargai sesama, dan menerima perbedaan.5

yang muncul di laman tersebut, Lihat https://www.beritasatu.com/nasional/459687/survei- alvara-296-kalangan-profesional-ingin-perjuangkan-negara-islam (diakses pada tanggal 16 Mei 2020)

3 Ahmad Yusuf, “Moderasi Islam Dalam dimensi Trilogi Islam (Akidah, yari’ah, dan Tasawwuf)”, Jurnal Al Murabbi: Pendidikan Agama Islam, Volume (3), Nomor (2), (2018), 11

4 Al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alawiy al-Haddad, Risalah al Mu’awannah wa al Muzhaharah wa al Mu’azharah li al Ghibbin min al Mu’minin fi Shuluk Thariq al Akhirah, (tk.: tp., tt.), 12

5 Agama Islam sendiri juga melarang para penganutnya untuk terus melakukan ibadah kepada Allah secara berlebihan hingga melupakan kewajiban yang lainnya, seperti

(4)

Penelitian ini akan menguraikan dan mendiskripsikan bagaimana moderasi Islam berbasis tasawwuf. Apakah dengan disandarkannya berbagai program moderasi Islam kepada basis tasawwuf bisa menyelesaikan problem radikalisme hingga ke akar-akarnya di negara Indonesia ?. Lantas bagaimana moderasi Islam yang berbasis tasawwuf ?. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Pengumpulan data diperoleh melalui berbagai literatur.

B. LANDASAN TEORI

1. Konsep Dasar Moderasi Islam

Ketika kita berbicara mengenai konsep dasar moderasi Islam, maka hal ini telah menarik atensi banyak ilmuwan di berbagai bidang seperti sosio- politik, bahasa, pembangunan Islam, sosial-keagamaan, dan pendidikan Islam. Terminologi ini merupakan terminologi dari sekian terminologi yang sering digunakan untuk menyebut label-label umat Islam seperti Islam modernis, progresif, dan reformis.6

Seperti dikatakan El Fadl, bahwa terminologi moderat ini dianggap paling tepat di antara terminologi yang lain. Meski orang-orang moderat juga sering digambarkan sebagai kelompok modernis, progresif, dan reformis, tidak satupun dari istilah-istilah tersebut yang menggantikan istilah moderat.

Hal ini didasarkan pada legitimasi al-Qur’an dan hadist Nabi bahwa umat Islam diperintahkan untuk menjadi orang moderat. Disinilah istilah moderat menemukan akarnya di dalam tradisi Islam.7

Moderasi Islam banyak juga dimaknai oleh berbagai kalangan dengan makna wasathiyyah, konstruksi wasathiyyah dalam beberapa literatur

melupakan anak istri, melupakan tetangganya, melupakan masyarakat di sekitarnya, dan melupakan negaranya. Hal ini sepertihalnya yang digambarkan oleh Salman al Farisi melalui dialognya bersama Abu Darda’. Lihat Muhammad bi ‘Ali bin Muhammad al Syaukaniy, Nail al Authar min Asrar Muntaqa al Akhbar, (Riyadl-Kairo: Dar Ibn Al Qayyim – Dar Ibnu ‘Affan, 2005), cet. 1, juz. 5, 553-554

6 Günes Murat Tezcür, “The Moderation Theory Revisited;The Case Of Islamic Political Actors” Jurnal Party Politics, Vol 16. No. (2010), 88. Lihat juga Md Asham bin Ahmad, “Moderation in Islam: A Conceptual Analysis of Wasatiyyah”, Jurnal Tafhim, Vol.

No. 1 4 (2011 ), 29-46

7 Khlaed Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa (Jakarta: Serambi, 2005), 27.

(5)

ke-Islaman ditafsirkan secara variatif. Misal dalam kajian al-Salabi kata wasathiyyah memuat beberapa arti. Pertama, dari derivasi dari wasth, yang berarti baina (antara). Kedua, derivasi dari lafadz wasatha, yang mengandung banyak arti, diantaranya: (1) berupa isim (kata benda) yang mengandung pengertian antara dua ujung; (2) berupa sifat yang bermakna terpilih (khiyar), terutama (khosois), terbaik (ahsan); (3) wasath yang bermakna al-‘adl atau adil; (4) wasath juga bisa bermakna sesuatu yang berada di antara yang baik (jayyid) dan yang buruk (radi’).8

Salah satu pakar yang memaknai moderasi Islam dengan wasathiyyah adalah al-Salabi, selain itu Kamali juga memaknainya dengan wasathiyyah.

Adapun wasathiyyah sebagai sinonim dari kata tawassuṭ, I’tidâl, tawâzun, iqtiṣâd. Istilah moderasi ini erat kaitannya dengan keadilan, dan ini berarti memilih posisi tengah di antara ekstremitas. Anonim dari wasathiyyah adalah tatarruf, yang mempunyai makna “kecenderungan ke arah pinggiran” “ekstremisme,” “radikalisme,” dan “berlebihan”.9 Sedangkan Qardhawi mengidentifikasi wasathiyah ke dalam beberapa makna yang lebih luas, seperti adil, istiqamah, terpilih dan terbaik, keamanan, kekuatan, dan persatuan.10

Dalam hal ini, karakteristik penggunaan konsep moderasi dalam konteks Islam Indonesia, seperti yang dikemukakan oleh Hilmy diantaranya; (1).

ideologi tanpa kekerasan dalam menyebarkan Islam; (2). mengadopsi cara hidup modern dengan semua turunannya, termasuk sains dan teknologi, demokrasi, hak asasi manusia dan sejenisnya; (3). penggunaan cara berfikir rasional; (4). pendekatan kontekstual dalam memahami Islam, dan; (5).

penggunaan ijtihad (kerja intelektual untuk membuat opini hukum jika tidak ada justifikasi eksplisit dari Al Qur’an dan Hadist).11

Berbagai pemaknaan para ahli tentang wasathiyyah di atas menunjukkan bahwa terminologi ini sangat dinamis dan kontekstual. Terminologi ini juga

8 Ali Muhammad Muhammad al-Salabi, al-Wasathiyyah fi al-Qur’an al-Karim (Kairo: Maktabah at-Tabi’în, 2001), 13-14

9 Mohammad Hashim Kamali, The Middle Path of Moderation in Islam: the Qur’ānic Principle of Wasaṭhiyyah (New York: Oxford University Press, 2015), 9.

10 Yusuf Qardhawi, al-Kalimat fi al-Wasathiyah al-Islamiyah wa Ma’alimaha (Cairo: Dar al-Shuruq, 2011), 34

11 Masdar Hilmy, “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism? A Reexamination on the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU,” Journal of Indonesian Islam, Vol. 7, No. 1 (Juni 2013), 25-27

(6)

tidak hanya berdiri pada satu aspek, tetapi juga melibatkan keseimbangan antara pikiran dan wahyu, materi dan spirit, hak dan kewajiban, individualisme dan kolektivisme, teks (Alquran dan Sunnah) dan interpretasi pribadi (ijtihad), ideal dan realita, yang permanen dan sementara,12 yang kesemuanya terjalin secara terpadu. Maka dari itu wasathiyyah merupakan pendekatan yang komprehensif dan terpadu. Konsep ini sebenarnya meminta umat Islam untuk mempraktikkan Islam secara seimbang dan komprehensif dalam semua aspek kehidupan masyarakat dengan memusatkan perhatian pada peningkatan kualitas kehidupan manusia yang terkait dengan pengembangan pengetahuan, pembangunan manusia, sistem ekonomi dan keuangan, sistem politik, sistem pendidikan, kebangsaan, pertahanan, persatuan, persamaan antar ras, dan lainnya.13

Untuk dimasa yang sekarang dalam konteks ke-Indonesiaan. Konsep moderasi Islam dipertegas sebagai arus utama ke-Islaman di Indonesia. Ide pengarusutamaan ini disamping sebagai solusi untuk menjawab berbagai problematika keagamaan dan peradaban global, juga merupakan waktu yang tepat generasi moderat harus mengambil langkah yang lebih agresif.

Jika kelompok radikal, ekstrimis, dan puritan berbicara lantang disertai tindakan kekerasan, maka muslim moderat harus berbicara lebih lantang dengan disertai tindakan damai.14

2. Konsep Dasar Tasawwuf

Memahami dan menjelaskan pengertian tasawuf merupakan hal yang amat sulit, sedemikian besar dan luasnya sesuatu yang disebut tasawuf itu, sehingga seperti gambaran orang buta yang menjelaskan seekor gajah menurut bagian yang disentuhnya. Kemungkinan yang bisa dilakukan hanya memberi ciri-ciri yang menunjukkan pada istilah tersebut meskipun tidak utuh. Dalam ensiklopedi Islam ada beberapa pendapat para sufi tentang definisi tasawuf. Zakaria al-Anshari (852-925 H) mendefinisikan tasawuf sebagai cara untuk mengajarkan bagaimana mensucikan diri, meningkatkan

12 Yusuf Qardhawi, Thaqafatuna Bayna Al-Infitah Wa Al-Inghilaq (Cairo: Dar al-Shuruq, 2000), 30.

13 Mohd Shukri Hanapi, “The Wasatiyyah (Moderation) Concept in Islamic Epistemology: A Case Study of its Implementation in Malaysia,” dalam International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 4, No. 9, (July 2014), 55

14 Khlaed Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa (Jakarta: Serambi, 2005), 343

(7)

akhlak serta membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kehidupan hakiki. Sedangkan menurut al-Junaidi Al-Baghdadi (wafat 289 H) tasawuf adalah proses membersihkan hati dari sifat-sifat kemanusiaan (basyariyah), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat-sifat kerohanian, berpegang teguh pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama berdasarkan keabadiannya, memberikan nasihat kepada sesama, benar-benar menepati janji kepada Allah SWT dan mengikuti syariat ajaran Rasulullah SAW.15

Ilmu tasawuf menjadi disiplin ilmu yang tertulis dalam Islam, sebelum itu mistisisme hanya merupakan suatu ibadah saja, dan hukum-hukumnya telah terwujud di dalam hati manusia, hal yang sama terjadi pada kajian ilmu lainya. Latihan latihan rohani (mujahadah), menyendiri, (khalwat) dan berzikir ini biasanya didikuti dengan tersingkapnya tutup perasaan dan melihat dunia ketuhanan: roh adalah salah satu dari dunia ketuhanan.16 Istilah tasawuf sendiri memiliki akar perbedaan yang kuat yang ditinjau dari bahasa bisa dari akar kata shuf (kain wol), ahl-shuffah (seorang sahabat yang mengikuti nabi dan hidup di sebelah masjid madinah), shaff (barisan yang bersaf saf), dan dari shafa yang berarti suci dan bersih.17

Sementara itu ada yang membagi tasawuf menjadi tiga bagian yaitu:

Tasawuf Akhlaqi ialah tasawuf yang menitik beratkan pada pembinaan akhlak al-karimah. Tasawuf Amali ialah tasawuf yang menitik berat pada amalan lahiriyah yang didorong oleh qalb (hati). Dan Tasawuf Falsafi, yakni tasawuf yang dipadukan dengan filsafat.18

Nomenklatur kata tasawuf meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam alQur’an dan al-Sunnah,bukan berarti diharamkan penggunaan nama itu. Namun demikian tasawuf sendiri belum pernah ada pada zaman Rasulullah Saw.tetapi sisi esensial dari tasawuf itu sudah benar-benar mengemuka pada waktu itu.Tasawuf disatu sisi juga merupakan sebuah cabang ilmu yang berbanding lurus dengan cabang-cabang ilmu lain dalam

15 M. Arif Khoiruddin, “Peran Tasawuf Dalam Kehidupan Masyarakat Modern”, Jurnal Pemikiran Keislaman, Vol. 27, No. 1, (2016), 116

16 Ibnu Khaldūn, Muqoddimah Ibnu Khaldun, Terj. Ahmadie, (Jakarta: Pustaka Firdaus , 2014), 627

17 Zaprulkan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 67

18 Muhammad Anas Maarif, “Tasawuf Falsafi Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam”, Vicratina: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 1, (2018), 4

(8)

khazanah peradaban Islam, seperti: Fiqh, Nahwu, Mantiq, dan Balaghah.

Kalau fikih fungsinya untuk menghukumi perkara-perkara dhahir, maka fungsi tasawuf adalah untuk menseterilkan hati manusia dari berbagai macam penyakit hati dan untuk mengantarkan manusia menuju keselamatan dunia dan akhirat.19

Pencarian akar kata tasawuf sebagai upaya awal untuk mendefinisikan tasawuf ternyata sulit untuk menarik suatu kesimpulan. Hal itu berpangkal pada esensi tasawuf sebagai pengalaman rohani yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan, masing-masing orang berbeda- beda pengalaman dan penghayatannya sehingga pengungkapannya juga berbeda.20

C. PEMBAHASAN

1. Moderasi Islam berbasis Tasawuf dan Islam Nusantara

Moderasi Islam sangat erat kaitannya dengan organisasi Nahdhatul Ulama. Hal ini dikarenakan konsep Islam Nusantara sangat banyak mengandung unsur Moderasi Islam. Islam Nusantara adalah Islam yang lahir dan tumbuh dalam balutan tradisi dan budaya Indonesia, Islam yang damai, ramah dan toleran. Abdurrahman Wahid dengan gagasannya “Pribumisasi Islam” menggambarkan Islam Nusantara sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan, kemudian diakulturasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Islam Nusantara berdiri di antara dua paham yang bersebrangan yaitu liberalisme dan fundamentalisme.21

Islam Nusantara memiliki lima karakter khusus yang membedakannya dengan Islam Arab ataupun Islam lain di dunia. Lima karakter tersebut yaitu pertama, kontekstual, yaitu Islam dipahami sebagai ajaran yang bisa disesuaikan dengan keadaan zaman. Kedua, toleran. Islam Nusantara mengakui segala bentuk ajaran Islam yang ada di Indonesia tanpa membeda-

19 Yusuf Khathar Muhammad, al-Mausu’ah al-Yusufiyah fî bayâni adillah al- Sufiyah, (Damascus: Dar elTaqwâ, tt), 9

20 Audah Mannan, “Esensi Tasawuf Akhlaki di Era Modernisasi”, Aqidah-Ta:

Jurnal Ilmu Aqidah, Vol. 4, No. 1, (2018), 38

21 M. Imdadun Rahmat, Islam Pribumi : Mendialogkan Agama Membaca Realitas, (Jakarta: Erlangga, 2007), xx

(9)

bedakannya. Ketiga, menghargai tradisi. Islam di Indonesia merupakan hasil akulturasi antara budaya lokal dengan ajaran Islam. Islam tidak mengahapus budaya lokal, namun memodifikasinya menjadi budaya yang Islami.

Keempat, Progresif. Yaitu suatu pemikiran yang menganggap kemajuan zaman sebagai suatu hal yang baik untuk mengembangkan ajaran Islam dan berdialog dengan tradisi pemikiran orang lain. kelima, membebaskan.

Islam adalah sebuah ajaran yang mampu menjawab problem-problem dalam kehidupan masyarakat. Islam tidak membeda-bedakan manusia. Dalam kacamata Islam, manusia dipandang sama, yaitu sebagai makhluk Tuhan.

Islam Nusantara adalah cerminan dari ajaran Islam yang membebaskan pemeluknya untuk mencari hukum dan jalan hidup, menaati atau tidak, dengan catatan semua pilihan ada konsekuensinya masing-masing.

Kelima karakteristik tersebut pada akhirnya akan membentuk sebuah ajaran Islam yang moderat, yaitu suatu ajaran yang lebih mementingkan perdamaian, kerukunan, dan toleransi dalam beragama tanpa menghilangkan nilai-nilai Islam di dalamnya. Islam moderat merupakan ciri khas dari keberislaman bangsa Indonesia, yang berbeda dengan keadaan Islam di Arab atau belahan dunia lainnya. Islam di Indonesia adalah Islam yang aman, damai dan sejahtera. Aman dalam artian tidak terdapat konflik yang sampai mengancam stabilitas agama dan negara, walaupun tidak menafikkan adanya gesekan-gesekan yang berujung konflik. Damai dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultural, terdiri dari berbagai ras, agama dan budaya yang beragam. Sejahtera yang merupakan manifestasi dari kehidupan yang aman dan damai tersebut.

Moderasi Islam lahir sebagai solusi anti mainstream Islam yang akhir- akhir ini kian menghawatirkan dan membahayakan akidah umat Islam, baik di Indonesia maupun Dunia. Rasulullah saw. pernah bersabda “bahwa umat Islam akan terpecah ke dalam 73 golongan dan hanya ada satu yang akan selamat, yaitu ahlusunnah wal jama’ah.22 Hadis Rasulullah saw.

tersebut sudah terbukti kebenarannya dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa golongan yang kita kenal dengan aliran Kalam. Sejarah perkembangan aliran kalam dimulai sejak pristiwa tahkim23 yang melahirkan

22 Ahlusunnah wal jama’ah adalah sebuah paham yang berpegang teguh terhadap sunnah yang diajarkan Rasulullah saw. dan para sahabat. Ahlusunnah wal jama’ah adalah sebuah aliran Kalam yang lahir dari pemikiran Abu Al-Hasan Asy’ari.

23 Tahkim adalah sebuah usaha perdamaian di antara kaum muslimin yang sedang bertikai dalam perang siffin. Namun peristiwa ini merugikan pihak Ali dan menguntungkan pihak Mu’awiyah. Akhir dari peristiwa ini, yaitu terpecahnya umat Islam

(10)

tiga sekte baru dalam Islam yaitu Khawarij24, Syi’ah25 dan Murji’ah26. Tiga sekte Islam tersebut dibahas dalam sebuah kajian ilmu, yaitu Ilmu Kalam.

menjadi tiga golongan, pertama Khawarij yang keluar dari barisan tentara Ali, kedua Syi’ah yang tetap setia dengan Ali, ketiga Murji’ah yang berada di antara paham keduanya, tidak memihak kepada Ali dan juga Muawiyah, mereka cenderung menyerahkan semua kejadian tersebut kepada Allah swt. Lihat selengkapnya di Ahmad Agis Mubarok dan Diaz Gandara Rustam, “Islam Nusantara: Moderasi Islam Di Indonesia”, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 2, (2019): 156

24 Aliran Khawarij tumbuh dan berkembang dengan cara yang keras dan ekstrim dalam memahami ajaran Islam. Kehidupan dan lingkungan yang tidak begitu kondusif menjadikan mereka memahami ajaran Islam apa adanya tanpa ada usaha untuk memahami lebih lanjut tentang makna apa saja yang terkandung dalam wahyu Allah SWT. Pengkafiran yang begitu mudah mereka lontarkan bagi orang-orang yang di luar paham mereka telah menyulut perpecahan bahkan pertumpahan darah yang tidak sedikit.

Bagaimanapun Islam datang bukan sebagai sebuah aliran yang mengelompokkan manusia tapi lebih pada menyatukan manusia, tergantung pada masing-masing individu bagaimana memahami dan mengamalkanya. Lihat selengkapnya di Saleh, “Khawarij; Sejarah Dan Perkembangannya”, El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Tafsir Hadis, Vol. 7, No.

2, (2018), 33

25 Syiah dalam bahasa Arab artinya ialah pihak, puak, golongan, kelompok atau pengikut sahabat atau penolong. Pengertian itu kemudian bergeser mempunyai pengertian tertentu. Setiap kali orang menyebut syiah, maka asosiasi pikiran orang tertuju kepada syiah-ali, yaitu kelompok masyarakat yang amat memihak Ali dan dan memuliakannya beserta keturunannya. Kelompok tersebut lambat laun membangun dirinya sebagai aliran dalam Islam. Lihat selengkapnya di Eri Susanti,

“Aliran-Aliran Dalam Pemikiran Kalam”, Jurnal Ad-Dirasah, Vol. 1, No. 1, (2018), 28 26 Murjiah berasal dari bahasa Arab irja artinya penundaan atau penangguhan. Karena sekte yang berkembang pada masa awal islam yang dapat diistilahkan sebagai “orang-orang yang diam”. Mereka meyakini bahwa dosa besar merupakan imbangan atau pelanggaran terhadap keimanan dan bahwa hukuman atau dosa tidak berlaku selamanya. Oleh karena itu, ia menunda atau menahan pemutusan dan penghukuman pelaku dosa di dunia ini. Hal ini mendorong mereka untuk tidak ikut campur masalah politik. Satu diantara doktrin mereka adalah shalat berjamaah dengan seorang imam yang diragukan keadilannya adalah sah. Doktrin ini diakui oleh kalangan islam sunni namun tidak untuk kalangan syiah. selengkapnya di Eri Susanti, “Aliran-Aliran Dalam Pemikiran Kalam”, 38

(11)

Ada dua aliran Kalam yang sangat mendominasi pemikiran Islam dari dulu hingga sekarang, yaitu Mu’tazilah27 dan Asy’ariyah28. Mu’tazilah merupakan aliran kalam terbesar dan tertua dalam sejarah Islam. Aliran ini berdiri pada permulaan abad ke-2 Hijriyah di Basrah. Nama Mu’tazilah sendiri sebenarnya bukan berasal dari golongan Mu’tazilah, namun orang- orang dari golongan lain yang memberi nama Mu’tazilah. Orang Mu’tazilah sendiri menamai kelompoknya dengan sebutan “Ahli keadilan dan keesaan”

(ahlu adli wa at-tauhid). Adapun alasan kenapa kelompok lain menamainya dengan sebutan Mu’tazilah, karena Wasil bin Ata’ sebagai pendiri aliran ini berselisih paham dengan gurunya yaitu Hasan al-Basri, kemudian Wasil bin Ata’ memisahkan diri dari pemahaman gurunya dan mendirikan sebuah pemahaman baru. Kemudian Hasan al-Basri berkata “Wasil telah memisahkan diri dari kami”, maka semenjak itu Wasil bin Ata’ disebut

“Golongan yang memisahkan diri” (Mu’tazilah).29

Sementara itu aliran Asy’ariyah lahir sebagai reaksi dari aliran Mu’tazilah. Nama Asy’ariyah diambil dari nama pendirinya yaitu Abu al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 260 Hijriyah. Al-Asy’ari pada mulanya menganut paham Mu’tazilah, ia berguru pada tokoh Mu’tazilah, yaitu Abu Hasyim Al-Jubba’i yang merupakan ayah tirinya. Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah sampai pada usianya yang ke-40 tahun, semenjak itu ia sering merenung sendirian dan membandingkan pemikiran pemikiran Mu’tazilah dengan pemikirannya.

Tidak lama kemudian Al-Asy’ari mengumumkan di hadapan orang-orang Mu’tazilah di Basrah, bahwa ia telah meninggalkan aliran Mu’tazilah dengan menyebutkan kekurangan-kekurangannya.30

27 Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dibanding dengan persoalan persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Selain itu Mu’tazilah merupakan aliran teologi yang mengedepankan akal sehingga mereka mendapat nama kaum rasionalis Islam. Lihat selengkapnya di Elpianti Sahara Pakpahan, “Pemikiran Mu’tazilah”, AL- HADI, Vol. 2, No. 2, (2018), 416

28 Asy’ariah adalah golongan pengikut Abu Hasan ‘Ali ibn Isma’il al Asy’ari, seorang keturunan Abu Musa Al-Asy’ari, dan salah satu pemuka mutakallimin, pendiri ilmu kalam sunni dalam Islam. Lihat selengkapnya di Abdus Samad Abdus, “Teologi Asy’ariyah”, Jurnal Mimbar Akademika, Vol. 3, No. 2, (2019), 68

29 Ahmad Agis Mubarok dan Diaz Gandara Rustam, “Islam Nusantara: Moderasi Islam Di Indonesia”, 158

30 Wiji Hidayati, Ilmu Kalam : Pengertian, Sejarah, Dan Aliran-Alirannya, (Yogyakarta: Program Studi Manajemen Pendidikan Islam UIN Yogyakarta, 2017), 134

(12)

Perlu diketahu bahwa aliran Asy’ariyah merupakan aliran yang berdiri di antara golongan rasionalis dan tekstualis. Al-Asy’ari sebagai pendiri dari aliran Asy’ariyah berusaha mengambil jalan tengah dari dua pemikiran yang berlawanan itu. Al-Asy’ari menyadari betul bahwa kedua paham tersebut sangat berbahaya terhadap stabilitas umat Islam waktu itu, yang bisa menghancurkan mereka kalau tidak segera diakhiri. Ia sangat menghawatirkan al Qur’an dan Hadis menjadi korban pemahaman aliran Mu’tazilah yang ditentangnya, karena aliran Mu’tazilah memahami Al- Qur’an dan Hadis berdasarkan pemujaan terhadap akal-pikiran. Lain hal nya dengan Mu’tazilah, Al-Asy’ari juga sangat menghawatirkan AlQur’an dan Hadis dipahami oleh golongan tekstualis, yang memahaminya dengan pemikiran yang sempit, sehingga dikhawatirkan umat Islam menjadi taqlid buta yang tidak dibenarkan oleh agama Islam. Al-Asy’ari berusaha mengambil jalan tengah di antara dua pemikiran tersebut, maka terbentuklah suatu paham baru yaitu Asy’ariyah, dan ternyata paham ini dapat diterima oleh mayoritas umat Islam di dunia termasuk Indonesia.31

Islam di Indonesia adalah Islam yang menganut paham Asy’ariyah atau ahlusunnah wal jama’ah. Ada dua organisasi Islam yang menjadi ciri khas dari keberislaman di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Kedua organisasi Islam tersebut memiliki ciri khas masing-masing. Nahdlatul Ulama memiliki ciri khas pesantren dan ulama, sedangkan Muhammadiyah memiliki ciri khas sebagai lembaga pendidik yang handal dan telah banyak melahirkan cendekiawan-cendekiawan muslim. Baik Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah, keduanya menganut paham Islam yang moderat.

Nahdlatul Ulama dengan basis pesantren dan ulamanya menjadi benteng pertahanan yang kokoh untuk menangkal paham liberal atau kebebasan.

Sementara Muhammadiyah dengan basis kaum inteleknya diharapkan mampu membawa Indonesia kepada kemajuan dan kejayaan, serta meninggalkan paham Fundamentalis yang sangat mengancam kemajuan suatu bangsa, karena memiliki pemikiran yang sempit dan taklid buta.

Islam di Indonesia juga merupakan Islam yang ramah dan santun. Hal ini tergambar dalam individu muslim di Indonesia yang senantiasa hidup bergotong royong dalam masyarakat, saling membantu antar sesama, dan saling menghargai perbedaan (toleransi), serta menghormati kyai dan ulama, yang tergambar dalam sosok santri di Indonesia. Itulah beberapa bukti konkret bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang damai, ramah

31 Ahmada Hanafi, Theology Islam, (Jakarta: Cv. Bulan Bintang, 1982), 67

(13)

dan santun, atau dalam kata lain Islam moderat.32

Epistemologi memiliki peran penting dalam ilmu keislaman, yaitu sebagai metode untuk menggali dan mengetahui sumber ajaran Islam, bagaimana prosesnya, dari mana asalnya, dan apakah ajaran tersebut dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dengan begitu ajaran Islam akan jelas dan terbukti kebenarannya tanpa ada keraguan untuk meyakininya. Kebenaran ajaran Islam dapat diketahui dengan teori pengetahuan (epistemologi) yang memiliki aspek sebagai berikut :

(1) Aspek etik. Aspek ini termasuk aspek perseptual dalam ilmu pengetahuan. Aspek ini berkaitan dengan nilai moral atau keyakinan seseorang maupun kelompok masyarakat terhadap ajaran Islam untuk mencapai kebahagian hidup di dunia maupun akhirat. (2) Aspek historis.

Merupakan aspek yang berkaitan dengan berbagai sikap atau cara berpikir manusia yang memengaruhi dan menentukan persepsi mereka terhadap kebenaran dan realitas. (3) Aspek observatif. Aspek ini menekankan kepada penelitian sebagai sarana untuk mencari suatu pengetahuan sehingga akan tercipta sebuah kebeneran yang tentunya berdasarkan fakta dan data yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut.33

Aspek etik memberikan penjelasan bahwa Islam Nusantara adalah sebuah pengetahuan yang lahir dari unsur nilai atau moral Islam yang berkembang di masyarakat Indonesia. Moral Islam berpangkal pada tauhid dan pengakuan terhadap nabi Muhammad saw. sebagai rasul, sebagaimana terdapat dalam kalimah syahadat.34

Masuknya Islam ke Indonesia tidak merubah budaya lokal, tapi memodifikasinya sedemikian rupa, sehingga menjadi budaya yang lebih Islami dan bermoral. Para penyebar Islam di Indonesia secara tidak langsung menggunakan tiga cara tersebut dalam menyebarkan Islam di Indonesia, yaitu mengadopsi budaya dan tradisi Indonesia yang tidak bertentangan dengan spirit Islam (tahmil), menghilangkan budaya yang tidak sesuai dengan spirit Islam (tahrim), dan merekonstruksi budaya dan tradisi, seperti sesajen, percaya kepada kekuatan gaib menjadi simbol yang memiliki makna

32 Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 48.

33 Idri, Epistemologi : Ilmu Pengetahuan, Ilmu Hadis Dan Ilmu Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2015), 21.

34 Abdul Karim, Islam Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), 32

(14)

untuk megesakan Tuhan (tagyir). Setelah melalui tiga tahapan tersebut, baru lah Islam di Indonesia dinamakan Islam Nusantara.35

Setelah melalui aspek-aspek di atas dapat disimpulkan bahwa Islam Nusantara terbentuk dari perpaduan antara budaya lokal dengan ajaran Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat India dengan pendekatan tasawuf dan perilaku kesufian. Tahapan selanjutnya, penyebaran Islam diteruskan oleh Walisongo yang merupakan tokoh penyebar Islam di Indonesia khususnya di tanah Jawa. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Walisongo tidak jauh beda dengan penyebaran Islam oleh para pendahulunya. Walisongo menyebarkan Islam dengan ramah dan moderat, sehingga masyarakat bisa menerima Islam dengan baik.

Cara yang dilakukan Walisongo ini mampu menarik perhatian masyarakat Jawa, karena mengakulturasikan budaya lokal dengan ajaran Islam, seperti kesenian wayang, tarian, dongeng, dan upacaraupacara adat. Walisongo tidak menghapus budaya lokal, tapi memodifikasinya menjadi lebih Islami.

Adapun Menurut Ushul Fiqih suatu hukum dapat diketahui melalui ijtihad, yaitu suatu usaha yang dilakukan oleh para ulama untuk menemukan hukum yang tidak terdapat dalam nas Al Qur’an dan Hadis. Ijtihad terbagi ke dalam dua pengertian, pertama ijtihad Istinbathi, yaitu suatu ijtihad yang bertujuan untuk menciptakan hukum baru. Kedua ijtihad tathbiqi, yaitu ijtihad yang bertujuan untuk menerapkan hukum, bukan untuk menciptakan hukum.

Perbedaan lain dari kedua jenis ijtihad tersebut terletak pada proses pengujiannya. Ujian keshahihan ijtihad istinbathi bisa dilihat dari koherensi 23 dalil-dalil yang digunakannya, sementara itu ijtihad tathbiti dapat diketahui keshahihannya melalui aspek kemanfaatan atau kemaslahatan dalam penerapannya. Ijtihad tathbiti adalah suatu metode penerapan hukum yang mempertimbangkan nilai kemaslahatan atau kemafsadatannya.

Seorang mujtahid dituntut untuk menguasai keilmuan yang sangat luas, tidak cukup dengan menguasai Al Qur’an dan Hadis, melainkan harus bisa membaca situasi dan kondisi di lapangan.36 Upaya penerapan hukum dalam perspektif ushul fiqih dibatasi menjadi tiga pembahasan, yaitu mashlahah mursalah, istihsan, dan urf.

35 Al Maarif, “Islam Nusantara : Studi Epistemologis Dan Kritis,” Analisis 15, no. 2 (2015): 276.

36 Akhmad Sahal and Munawar Aziz, Islam Nusantara : Dari Ushul Fiqih Hingga Konsep Historis, (Bandung: Mizan, 2015), 106.

(15)

1) Mashlahah mursalah, merupakan suatu metode penerapan hukum yang melihat kepada kemaslahatan dari suatu perkara. Maslahah mursalah lebih mementingkan nilai kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan, karena sejatinya hukum Islam diterapkan untuk tercapainya kemaslahatan umat. Karena maslahat dianggap begitu penting, maka para ulama yang mendukung maslahah sebagai sumber hukum dengan mengatakan tidak ada pertentangan antara nas syari’at dengan maslahat, karena di mana ada maslahat di situ ada syariat, begitu pun sebaliknya, di mana ada syariat, di situ ada maslahat.37

2) Istihsan, Secara etimologi, Istihsan berarti menganggap dan menyatakan baiknya suatu perkara, sementara itu menurut terminologi, seperti yang dikatakan ulama Malikiyah bahwa istihsan adalah upaya untuk meninggalkan hukum kulli (umum) dan mengambil hukum juz’i (pengecualian) atau mengambil qiyas khafi (analogi yang samar) dan meninggalkan qiyas jali (analogi yang terang).38 Islam Nusantara merupakan cerminan dari istihsan, yaitu ajaran Islam tidak menghapus total nilai budaya lokal, tapi mengambil yang baik, untuk kemudian dimodifikasi menjadi budaya yang Islami. Hal ini termasuk ke dalam istihsan bi al-urf , yaitu istihsan yang didasarkan pada tradisi masyarakat. Beberapa ulama Indonesia telah menerapkan istihsan dalam berbagai aspek seperti agama, sosial, ekonomi dan politik. Ini lah yang membedakan antara keberislaman di Indonesia dengan keberislaman di Dunia. Islam Indonesia adalah Islam yang moderat, Islam yang mementingkan nilai-nilai kesatuan dan persaudaraan, nilai moral dan etika, serta nilai universalitas Islam. Pada akhirnya keadaan Islam seperti ini lah yang melahirkan istilah Islam Nusantara.

3) Urf, Islam Nusantara terbentuk dari hasil akulturasi budaya lokal dengan ajaran Islam. Para penyebar Islam di Indonesia, yaitu Walisongo, mengajarkan Islam dengan memakai media kebudayaan lokal seperti, wayang kulit, doa, jampi, dan mantera.

Namun yang menarik, Walisongo memodifikasi budaya tersebut dengan memasukkan nilai-nilai Islam, seperti pada jampi-jampi

37 Akhmad Sahal and Munawar Aziz, Islam Nusantara : Dari Ushul Fiqih Hingga Konsep Historis, 109

38 Akhmad Sahal and Munawar Aziz, Islam Nusantara : Dari Ushul Fiqih Hingga Konsep Historis, 110

(16)

dan mantera-mantera yang dirubah dengan dua kalimah syahadat, sehingga kalimah syahadat menjadi terkenal di kalangan masyarakat Contoh lain, sesajen yang biasa diberikan untuk para dewa atau roh nenek moyang dibiarkan berjalan untuk kemudian diakomodasi maknanya menjadi lebih Islami, yaitu sebagai bentuk rasa syukur terhadap Allah swt. yang telah memberikan banyak kenikmatan.

Kemudian simbol-simbol agama Hindu-Budha yang terdapat di masyarakat juga tak luput dari perhatian Walisongo. Simbol-simbol tersebut iadopsi ke dalam bentuk bangunan, seperti masjid dengan menara yang menyerupai candi atau pura.39

Ketiga cara penerapan hukum tersebut di atas ternyata sangat relevan dan serasi dengan keadaan Islam di Indonesia. Maka dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa Islam Nusantara menurut sudut pandang ushul fiqih, sangat relevan dan tidak bertentangan. Islam Nusantara dilihat dari sudut pandang metodologi melahirkan tiga varian hukum, yaitu maslahah mursalah, istihsan, dan urf. Maka tidak ada alasan untuk menolak lahirnya istilah Islam Nusantara di Indonesia, karena lahirnya istilah ini memiliki dasar hukum yang bisa dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun hukum.

Konsep Islam Nusantara dan moderasi islam yang di kehendaki di zaman sekarang sangatlah kurus dan tepat. Islam nusantara terbukti bukanlah ajaran sesat. Setiap hukum yang dikeluarkan selalu didasar dengan sebuah landasan. Dan yang terpenting Islam nusantara lahir juga dilandasi atas dasar tasawwuf. Tanpa adanya dasar tasawwuf maka Islam tidak akan bisa membaur dengan budaya Indonesia. Tasawwuf mampu menyatukan dan mengharmonisasikan antara ajaran dogmatis dan normatif dengan budaya Indonesia yang dulunya mengandung unsur kesesatan. Akulturasi budaya ini sangat erat kaitannya dengan ajaran taswwuf yang lebih mementingkan subtansi dari pada eksistensi.

Moderasi Islam yang sangat di kehendaki adalah moderasi Islam yang seperti ini. Yaitu moderasi Islam yang mengedepankan hal-hal subtansial dari pada hal-hal eksistensial atau mengedepankan isi dari pada kulit Islam itu sendiri. Moderasi Islam yang mengedepankan hal subtansial senada dengan moderasi Islam yang dimiliki oleh Islam nusantara. Keduanya sama-sama memiliki landasan tasawwuf dalam proses pergerakannya. Mengutamakan

39 Akhmad Sahal and Munawar Aziz, Islam Nusantara : Dari Ushul Fiqih Hingga Konsep Historis, 111

(17)

kedamaian dan mengambil jalan tengah tanpa menyingkirkan pihak manapun.

Hal ini juga secara tidak langsung meluruskan anggapan bahwa moderasi Islam adalah jalan yang di tempuh orang-orang Islam yang berada di tengah-tengah ekstrimis kanan dan kiri namun di tempuh dengan jalan ekstrimis pula atau bisa kita sebut dengan ekstrimis tengah. Moderasi Islam berbasis tasawwuf adalah jalan tengah yang dilampaui dengan jalan damai tanpa melukai satupun, entah pihak kanan maupun kiri. Hal ini senada pula dengan dasar agama Islam yaitu Rahmatan Lil Alamin. Jadi moderasi Islam berbasis tasawuf adalah Islam Nusantara yang berlandaskan asas Rahmatan Lil Alamin. Jalan yang di tempuh orang Islam di Indonesia, yaitu Islam yang damai, ramah, dan santun. Itulah asas moderasi silam berbasis tasawwuf.

2. Moderasi Islam berbasis Tasawwuf Dalam Dunia Pendidikan Dalam dunia pendidikan, moderasi islam juga turut andil angkat suara dalam mensukseskan pendidikan. Pendidikan tanpa disusupi oleh nilai- nilai-moderasi akan menghasilkan prodak yang kurang unggul, prodak yang merusak generasi bangsa dan negara. Kementrian Agama melalui Dirjen Kurikulumnya, telah mencoba mencanangkan 12 program pengarusutamaan moderasi Islam di pendidikan Islam. Sebelumnya pada tanggal 12-14 Mei 2016, Direktorat Pendidikan Agama Islam juga menyelenggarakan sarasehan Nasional Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan tema “Potensi Pendidikan Islam Indonesia menjadi Rujukan Pendidikan Moderat Dunia”.40

40Lihat,https://kemenag.go.id/berita/read/504842/kemenag-siapkan-12- program-pengarusutamaan-islam-moderat-di-madrasah . (diakses pada tanggal 20 Mei 2020); selain itu Kemenag juga mempersiapkan 12 program pengarusutamaan Islam moderat di madrasah. Ke 12 program tersebut dimulai tahun 2017. Pertama, penyususnan modul pendidikan multikulturalisme untuk siswa MI, MTs, dan MA. Kedua, menggelar Perkemahan Pramuka Madrasah Nasional (PPMN). Ketiga, penguatan siswa menuju Madrasah BERSINAR (Bersih, Sehat, Inklusif, Aman, dan Ramah Anak). Keempat, menyelenggarakan ajang Minat dan Bakat Madrasah untuk mengasah dan menyalurkan minat dan bakat siswa di berbagai bidang baik akademik maupun seni. Kelima, Sosialisasi Pendidikan Multikultural kepada Kepala Madrasah. Keenam, menggelar Seminar Internasional tentang penanggulangan radikalisme global melalui pendidikan dasar dan menengah. Ketujuh, penyusunan panduan penilaian dan pembinaan sikap dan prilaku keseharian peserta didik. Kedelapan, penyusunan model Kegiatan Ekstra Kurikuler Berbasis Nilai Moderasi. Kesembilan, penyusunan Panduan Layanan BK dalam Penanaman Nilai Rahmatan Lil’alamin bagi Guru Bimbingan dan Konseling. Kesepuluh, penyusunan panduan layanan BK sebaya bagi guru BK dan peserta didik. Kesebelas, penyusunan

(18)

Tawaran model pendidikan agama yang berbasis moderasi Ilsam di lembaga pendidikan dilakukan dengan merekonstruksi atau mengembangkan kurikulum dengan pendekatan bidang studi dan rekonstruksionisme.

Dari pengajaran nilai-nilai moderasi Islam dalam pembelajaran PAI yang mendalam tersebut diharapkan lulusan pesantren mampu mengkap sisi-sisi moderasi yang ada di dalamnya sehingga menjadi sosok yang berwawasan moderat yang mempunyai karakter humanis, toleran, inklusif sesuai dengan wajah Islam Indonesia yang rahmatan lil ‘alamin.41

Selain itu internalisasi moderasi islam juga sudah merambah dalam dunia universitas. Pola internalisasi nilai-nilai moderasi dilaksanakan melalui. a). melalui keberadaan mata kuliah PAI, di mana secara konten berkorelasi langsung dengan pembentukan karakter mahasiswa moderat.

b). Melalui keteladanan yang dilakukan seluruh pemangku kepentingan dan kebijakan khususnya dosen PAI yang selalu mengedepankan sikap moderat.

Materi±materi yang disampaikan dalam internalisasi nilainilai moderasi PAI dilakukan: (1). terkait dengan input dari mahasiswa yang menjadi peserta kuliah PAI. (2). Berkaitan dengan dosen pengampu mata kuliah PAI, baik terkait kemampuan mengajar, atau kompetensi-kompetensi dosen PAI. (3).

Berkaitan dengan materi dari Mata Kuliah PAI itu sendiri. (4). Berkaitan dengan dukungan dari lingkungan kampus.42

Moderasi Islam yang dilakukan di dalam dunia pendidikan lalu diinternalisasikan dengan asas tasawuf, yaitu berbasis Rahmatan lil Alamin.

Tanpa pemaksaan untuk mengikuti jalan tengah ataupun kekerasan dengan menghalalkan segala cara.

panduan pendeteksian ajaran ekstrim di Lingkungan Madrasah. Keduabelas, sosialisasi kebijakan pengarusutamaan deradikalisasi melalui inovasi kurikulum.

41 Yunus dan Arhanuddin Salim, “Eksistensi Moderasi Islam Dalam Kurikulum Pembelajaran PAI di SMA”, Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9. No. 2, (2018), 193

42 Yedi Purwanto, Qowaid Qowaid dan Ridwan Fauzi, “Internalisasi Nilai Moderasi Melalui Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum”, Edukasi, Vol.

17, No. 2, (2019), 122

(19)

D. KESIMPULAN

Moderasi Islam berbasis tasawuf adalah moderasi Islam yang mempunyai asas sama halnya dengan Islam Nusantara. Yang mana mempunyai 5 karakter, yaitu pertama, kontekstual, yaitu Islam dipahami sebagai ajaran yang bisa disesuaikan dengan keadaan zaman. Kedua, toleran. Islam Nusantara mengakui segala bentuk ajaran Islam yang ada di Indonesia tanpa membeda-bedakannya. Ketiga, menghargai tradisi. Islam di Indonesia merupakan hasil akulturasi antara budaya lokal dengan ajaran Islam. Islam tidak mengahapus budaya lokal, namun memodifikasinya menjadi budaya yang Islami. Keempat, Progresif. Yaitu suatu pemikiran yang menganggap kemajuan zaman sebagai suatu hal yang baik untuk mengembangkan ajaran Islam dan berdialog dengan tradisi pemikiran orang lain. kelima, membebaskan. Islam adalah sebuah ajaran yang mampu menjawab problem-problem dalam kehidupan masyarakat. Islam tidak membeda-bedakan manusia. Dalam kacamata Islam, manusia dipandang sama, yaitu sebagai makhluk Tuhan.

Moderasi Islam berbasis tasawwuf adalah jalan tengah yang dilampaui dengan jalan damai tanpa melukai satupun, entah pihak kanan maupun kiri. Hal ini senada pula dengan dasar agama Islam yaitu Rahmatan Lil Alamin. Jadi moderasi Islam berbasis tasawuf adalah Islam Nusantara yang berlandaskan asas Rahmatan Lil Alamin. Jalan yang di tempuh orang Islam di Indonesia, yaitu Islam yang damai, ramah, dan santun. Itulah asas moderasi silam berbasis tasawwuf.

Adapun dalam dunia pendidikan sampai saat ini tawaran model pendidikan agama yang berbasis moderasi Ilsam di lembaga pendidikan dilakukan dengan merekonstruksi atau mengembangkan kurikulum dengan pendekatan bidang studi dan rekonstruksionisme.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim, Islam Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007) Abdus Samad Abdus, “Teologi Asy’ariyah”, Jurnal Mimbar Akademika, Vol. 3,

No. 2, (2019)

Ahmad Yusuf, “Moderasi Islam Dalam dimensi Trilogi Islam (Akidah, yari’ah, dan Tasawwuf)”, Jurnal Al Murabbi: Pendidikan Agama Islam, Volume (3), Nomor (2), (2018)

Ahmad Agis Mubarok dan Diaz Gandara Rustam, “Islam Nusantara: Moderasi Islam Di Indonesia”, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 3, No. 2, (2019)

Ahmada Hanafi, Theology Islam, (Jakarta: Cv. Bulan Bintang, 1982)

Akhmad Sahal and Munawar Aziz, Islam Nusantara : Dari Ushul Fiqih Hingga Konsep Historis, (Bandung: Mizan, 2015)

Al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alawiy al-Haddad, Risalah al Mu’awannah wa al Mu- zhaharah wa al Mu’azharah li al Ghibbin min al Mu’minin fi Shuluk Thariq al Akhirah, (tk.: tp., tt.)

Al Maarif, “Islam Nusantara : Studi Epistemologis Dan Kritis,” Analisis 15, no. 2 (2015)

Ali Muhammad Muhammad al-Salabi, al-Wasathiyyah fi al-Qur’an al-Karim (Kairo: Maktabah at-Tabi’în, 2001)

Audah Mannan, “Esensi Tasawuf Akhlaki di Era Modernisasi”, Aqidah-Ta: Jurnal Ilmu Aqidah, Vol. 4, No. 1, (2018)

Elpianti Sahara Pakpahan, “Pemikiran Mu’tazilah”, AL-HADI, Vol. 2, No. 2, (2018)

Eri Susanti, “Aliran-Aliran Dalam Pemikiran Kalam”, Jurnal Ad-Dirasah, Vol. 1, No. 1, (2018)

Günes Murat Tezcür, “The Moderation Theory Revisited;The Case Of Islamic Po- litical Actors” Jurnal Party Politics, Vol 16. No. (2010)

Ibnu Khaldūn, Muqoddimah Ibnu Khaldun, Terj. Ahmadie, (Jakarta: Pustaka Fir- daus , 2014)

(21)

Idri, Epistemologi : Ilmu Pengetahuan, Ilmu Hadis Dan Ilmu Hukum Islam, (Ja- karta: Prenada Media Group, 2015)

Khlaed Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa (Jakarta: Serambi, 2005)

M. Arif Khoiruddin, “Peran Tasawuf Dalam Kehidupan Masyarakat Modern”, Jurnal Pemikiran Keislaman, Vol. 27, No. 1, (2016)

M. Imdadun Rahmat, Islam Pribumi : Mendialogkan Agama Membaca Realitas, (Jakarta: Erlangga, 2007)

Masdar Hilmy, “Whither Indonesia’s Islamic Moderatism? A Reexamination on the Moderate Vision of Muhammadiyah and NU,” Journal of Indonesian Islam, Vol. 7, No. 1 (Juni 2013)

Md Asham bin Ahmad, “Moderation in Islam: A Conceptual Analysis of Wasati- yyah”, Jurnal Tafhim, Vol. No. 1 4 (2011 )

Mohammad Hashim Kamali, The Middle Path of Moderation in Islam: the Qur’ānic Principle of Wasaṭhiyyah (New York: Oxford University Press, 2015)

Mohd Shukri Hanapi, “The Wasatiyyah (Moderation) Concept in Islamic Episte- mology: A Case Study of its Implementation in Malaysia,” dalam Inter- national Journal of Humanities and Social Science, Vol. 4, No. 9, (July 2014)

Muhammad Anas Maarif, “Tasawuf Falsafi Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam”, Vicratina: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 3, No. 1, (2018)

Muhammad bi ‘Ali bin Muhammad al Syaukaniy, Nail al Authar min Asrar Muntaqa al Akhbar, cet. 1, juz. 5, (Riyadl-Kairo: Dar Ibn Al Qayyim – Dar Ibnu ‘Affan, 2005)

Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2009) Saleh, “Khawarij; Sejarah Dan Perkembangannya”, El-Afkar: Jurnal Pemikiran

Keislaman dan Tafsir Hadis, Vol. 7, No. 2, (2018)

Wiji Hidayati, Ilmu Kalam : Pengertian, Sejarah, Dan Aliran-Alirannya, (Yog- yakarta: Program Studi Manajemen Pendidikan Islam UIN Yogyakarta, 2017)

Yedi Purwanto, Qowaid Qowaid dan Ridwan Fauzi, “Internalisasi Nilai Moderasi Melalui Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum”, Edukasi,

(22)

Vol. 17, No. 2, (2019)

Yunus dan Arhanuddin Salim, “Eksistensi Moderasi Islam Dalam Kurikulum Pem- belajaran PAI di SMA”, Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 9.

No. 2, (2018)

Yusuf Khathar Muhammad, al-Mausu’ah al-Yusufiyah fî bayâni adillah al-Sufiyah, (Damascus: Dar elTaqwâ, tt)

Yusuf Qardhawi, al-Kalimat fi al-Wasathiyah al-Islamiyah wa Ma’alimaha (Cairo:

Dar al-Shuruq, 2011)

Yusuf Qardhawi, Thaqafatuna Bayna Al-Infitah Wa Al-Inghilaq (Cairo: Dar al- Shuruq, 2000)

Zaprulkan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)

Website:

Faiq Hidayat, “Peta Pandangan Keagamaan di Kalangan Pelajar”, https://news.

detik.com/berita/d-3707458/begini-peta-pandangan-keagamaan-di-ka- langan-pelajar (dakses pada 15 Mei 2020)

https://www.beritasatu.com/nasional/459687/survei-alvara-296-kalangan-profe- sional-ingin-perjuangkan-negara-islam (diakses pada tanggal 16 Mei 2020)

https://kemenag.go.id/berita/read/504842/kemenag-siapkan-12-program-pengaru- sutamaan-islam-moderat-di-madrasah (diakses pada tanggal 20 Mei 2020)

Referensi

Dokumen terkait

Majelis Pengawas Daerah (MPD) mempunyai kewenangan khusus yang tidak dipunyai oleh MPW dan MPP, yaitu sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 66 UUJN, bahwa MPD berwenang

116 Lásd: OLÁH Róbert, Miskolci Csulyak István és Tofeus Mihály református lelkészek könyves műveltsége, doktori (PhD) értekezés, Debrecen, Debreceni

Sedangkan untuk persepsi terhadap layanan sirkulasi yang diberikan sudah cukup baik dan memuaskan, meskipun ada beberapa informan yang memberi kritikan dalam pelayanan yang

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa strategi promosi dalam meningkatkan minat kunjung di perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri

Berkenaan dengan latar belakang ini, maka perumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut : “siswa lembaga pendidikan musik yang mengikuti

Pada sisi lain, pemupukan nitrogen kedua berbeda dosis memberikan pengaruh yang nyata pada variabel jumlah polong total per tanaman, jumlah polong berisi per

Dalam rangka meningkatkan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa, pemerintahan Presiden Joko Widodo membuat terobosan melalui program menyalurkan Dana

Berdasarkan matriks driver power– dependence mitigasi tersebut diketahui bahwa bentuk mitigasi yang dapat menurunkan risiko gempabumi dan tsunami di pesisir Ciamis adalah