• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menata Kehidupan Melampaui Batas - Batas Konflik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Menata Kehidupan Melampaui Batas - Batas Konflik"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

Batas - Batas Konflik

Abdul Munir Mulkhan*

Abstracts

Over centuries, the social life almost impossible mapped outside the two systems, Capitalism and Socialsm. While Socialism collapsed with the discolution of The Sovyet Union, Capitalism continues to run solely so as suspended animation. The fact is that people’s lives are still affected by violent conflict, injustice, and poverty. The Third Way by Anthony Giddens is not clear, The Function of Trust by Francis Fukuyama raises the issue of psoudo-image that increasingly blur the humanitarian concerns of alienated and treated unfairly. From here, a simple lifestyle of Wong Jogja (it named Sak Madyo) which can be found in other areas should be consedered as a way the development of conflict-free society.

The enforcement, promotion, potection, and fulfillment of Human Rights is a smart step to develop the new way to breakthrough beyond the limit of conflict and violence. Lifestyle Sak Madyo being more significant in the socio-economic, cultural, and political gap that increasingly the sharp of difference in religious views. All a kind of discrimination is the obstacle to the growth of social relations, political, economic, and religious harmony among citizens who always live side by side.

*) Anggota Komnas HAM 2007-2012, Guru Besar Fak Tarbiyah & Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

(2)

Batas – Batas Konflik

Pengantar

S

elama beberapa abad dinamika kehidupan manusia di dunia modern ini seolah diatur oleh dua model dari dua sistem teori dan ideologi yang tampil saling bertentang- an yang hingga saat ini belum muncul teori sistem atau ideologi tandingan dari keduanya. Kedua sistem itulah selama ini dikenal dengan apa yang disebut se- bagai sistem filsafat atau pandangan dan ideologi Kapitalisme dan Sosialisme yang

hingga saat ini masih terus mewarnai dinamika sosial-budaya, ekonomi dan politik dunia dalam kadar yang mung- kin berbeda. Kehidupan komunitas suatu masyarakat bangsa atau komunitas war- ga di ber bagai belahan dunia dan suatu komunitas kehidupan dalam sistem negara-bangsa seolah hampir tidak mungkin dipetakan di luar kedua sistem tersebut. Sebagian dari kehidupan komu- nitas tersebut memang sengaja dibangun berdasar pandangan yang bersumber dari pemikiran salah satu dari kedua- nya atau karena diletakkan orang dalam suatu perspektif dari salah satu di antara

1. Tulisan ini disusun untuk Jurnal HAM 2010, Komnas HAM Jakarta.

(3)

kedua sistem atau teori atau pandangan ideologi tersebut.

Beberapa tahun lalu muncul gaga- san yang kemudian dikenal sebagai Ja- lan Ke tiga yang dikembangkan Anthony Giddens melalui bukunya yang populer berjudul The Third Way: The Renewal of Social Demo cracy2 terbit tahun 1998. Ham- pir bersamaan munculnya gagasan Jalan Ketiga Giddens tersebut lahir dua tulisan Francis Fukuyama berjudul (1) The End of History and The Lastman (terbit tahun 1992),3 dan (2) Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity (terbit 1995).4 Kedua buku Francis Fukuyama lebih mem- beri gambaran tentang kemenangan sekaligus kegamangan model sistem atau ideologi Kapitalisme sebagai satu-satunya sistem ideologi paling sah yang menjadi acuan dunia. Sementara Anthony Gid-

dens seolah menjawab kegamangan atas kemenangan Kapitalisme sebagai satu- satunya ideologi dunia yang sah berlaku dengan Jalan Ketiganya. Gagasan-gagas- an tersebut seolah menyambut runtuhnya Uni Sovyet yang selama ini ditempatkan sebagai simbol sistem Sosialisme yang berdiri berlawanan dengan Kapitalisme.

Di satu sisi Sosialisme tampaknya le- bih mengandalkan model komunitas ber- basis solidaritas yang dibangun dari atau sebagai fungsi konflik, sementara Kapital- isme lebih bertumpu pada rivalitas indi- vidual yang dianggap menjadi basis nilai demokrasi. Dalam kenyataannya kehidup- an dunia dalam kerangka berbangsa dan bernegara di dalam alam global ini tidak pernah sepi dari konflik yang sebagian diantaranya berbuah atau yang disertai kekerasan, baik konflik itu di dalam ben- tuk perang atau yang disertai kekerasan dalam skala lebih mikro dalam relasi antar warga dan antar komunitas. Sementara di sisi yang lain kedua pandangan atau ideologi tersebut juga tidak sama sekali meniadakan disparitas struktural dan ke- senjangan sosial yang juga tidak berhasil

2. Anthony Giddens, Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, terjemahan The Third Way; The Renewal of Social Democracy, Gramedia, Jakarta, 1999.

3. Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme Dan Demokrasi Liberal, terjemahan The End of History and The Lastman, Qalam, Yogyakarta, 2001.

4. Francis Fukuyama, Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity, The Free Press, USA, 1995.

(4)

dipecahkan oleh sistem ideologi Sosial- isme atau Kapitalisme.

Persoalannya kemudian ialah bagai- mana membangun suatu komunitas kehidupan yang sekurang-kurangnya menjanjikan harapan tumbuhnya soli- daritas kolektif sekaligus memberi ruang bagi daya kreatif setiap anggota dengan daya saing yang santun. Salah satu jawa- ban dari pertanyaan tersebut bisa disu- sun dalam sebuah ”jalan baru” solidaritas dalam sebuah masyarakat suka-rela bagi pengembangan kemampuan daya saing lebih santun. Jalan baru pembangunan tersebut antara lain bisa dilihat dari usaha penegakan, pemajuan, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Jalan HAM meru- pakan salah satu fungsi dan cara pengem- bangan tata nilai berdasar saling percaya dan menghormati dengan memberi ru- ang daya kreatif bagi tiap warga. Dari sini diharapkan bisa tumbuh daya saing tiap warga berbasis nilai kesantunan kema- nusiaan sehingga bisa tumbuh solidaritas kolektif melampaui batas-batas (kepen- tingan positifis materiel) politik, ekonomi, dan keagamaan legalistis.

Penegakan dan pemajuan hak asasi manusia merupakan kerangka dasar tumbuh dan berkembangnya tata ke- hidupan harmonis ketika setiap warga saling menyantuni sesama, saling meng- hargai dan saling menghormati sesama.

Gaya hidup yang demikian itu menjadi semakin berarti dalam perbedaan baik dari segi kehidupan sosial-ekonomi dan politik maupun dari segi kebudayaan dan keagamaan. Karena itu diskriminasi ras dan etnis dalam kehidupan berma- syarakat merupakan hambatan bagi hubungan dan relasi kekeluargaan, per- saudaraan, perdamaian, keserasian, dan kehidupan bermata pencarian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan.5

Tandingan Kapitalis

Runtuhnya Uni Sovyet yang di- tempatkan sebagai representasi dari Sosialisme bisa dipandang oleh banyak kalangan sebagai akhir dari era ideologi

5. Lihat Konsideran UU No 40 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

(5)

ketika Kapitalisme seolah harus hidup tanpa tandingan tangguh yang kurang lebih bersifat fundamental. Di sisi lain fe- nomena itu juga dipandang sebagai se- kurang-kurangnya sebagai penanda dari surutnya peran Kapitalisme.6 Dari sini letak keberartian gagasan Jalan Ketiga Antho- ny Giddens sekaligus memandai lahirnya tata nilai baru dunia global bersumber pada trust (kepercayaan)7 yang ke mudian sebagian atau secara keseluruh an men- jadi pemicu model pencitraan media.

Kehidupan manusia pada abad ke-20 agaknya dibangun di atas dan dari keti- dakpastian dengan pasangan high risk- nya.8 Namun tetap saja manusia terjebak pada kalkulasi materiel positifis sehingga konflik dan kekerasan menjadi hiasan yang tidak pernah sepi dari dinamika ke- hidupan abad ini.9

Bagaimana kemungkinan lahir ber- fungsinya Jalan Ketiga Anthony Giddens atau probabilitas jalan lain atau jalan baru di luar paradigma Kapitalisme dan Sosialis- me itu mungkin bisa dibaca dari realitas kehidupan empiris yang tidak seluruhnya bisa diletakkan dalam peta kedua ideologi yang mendunia tersebut. Kesulitannya ialah ketika kita seolah tidak memiliki pilihan lain di luar ideologi tersebut atau tidak percaya diri untuk unjuk diri tentang adanya pilihan yang bisa dibangun dari pengalaman empirik kehidupan warga atau sekelompok warga di suatu masa atau di suatu kawasan di negeri ini atau negeri lain di masa lalu atau di masa aktual saat ini.

Sebagai sebuah ilustrasi permasalah- an dan pemecahan sebagaimana di kemu- kakan tersebut di atas tentang ada tidaknya pilihan lain di luar kedua ideologi Kapitalis- me dan Sosialisme, berikut ini akan dipapar- kan kehidupan komunitas masyarakat yang

6. Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man (terjemahan), Qalam, Yogyakarta, 1992, hlm 23- 26.

7. Lihat Francis Fukuyama, Trust; The Social Virtues And The Creation of Prosperity, The Free Press, 1995, New York, hlm 23- 28.

8. Lihat Kata Pengantar I. Wibowo dalam terjemahan The Third Way-nya Anthony Giddens, terbitan Grame- dia, 2000, hlm ix-x.

9. Tulisan ini lebih merupakan paparan adanya suatu bentuk kehidupan yang bisa ditempatkan sebagai

berbasis budaya tandingan kapitalisme, dan paparan tentang bagaimana membebaskan diri dari logika meterial yang positifis. Nama kota dalam tulisan ini diganti dengan kata Harapan karena dari sini di- harapkan orang bisa berharap pada suatu bentuk kehidupan yang lebih natural.

(6)

hidup di kawasan Yog yakarta sebagai re- presentasi daerah-daerah lain di Nusantara dengan situasi obyektif dan pola kehidup- an yang relatif sama. Dinamika kehidupan masyarakat di daerah ini, seperti juga bisa dilihat di berbagai daerah lain di kawasan Nusantara, menggambarkan suatu tahap kehidupan yang bisa ditempatkan berada pada tahapan modern. Namun dalam dina- mika kehidup an masyarakatnya juga bisa disaksikan suatu sistem nilai dan tradisi yang bisa disebut berada pada tataran tra- disional.

Di satu sisi, kehidupan masyarakat atau komunitas warga di daerah Jogja (sebutan populer daerah ini) bisa dili- hat adanya kompetisi persaingan relatif sengit tetapi juga bisa dilihat suatu tam- pilan solidaritas melampaui batas-batas etnis dan juga kekuasaan keagamaan seperti terlibat bagaimana orang meng- hadapi bencana akibat erupsi Merapi di tengah perdebatan yang agak sengit mengenai ke istimewaan Jogja.10 Sebuah

sintesa nilai-nilai kemodernan dan ketra- disionalan, daya saing kompetitif rasional yang sengit sekaligus solidaritas komunal membentuk suatu model dan gaya hidup unik, sederhana sekaligus sophisticated (njlimet) dan fungsional.11 Jalan Baru Pembangunan itu antara lain bisa dibaca dan dikembangkan dari pe ngalaman ke- hidupan empiris dalam rentang kesehari- an Wong Yogyo tersebut.

Namun sejak awal perlu dipahami bahwa apa yang disebut dengan Wong Yogyo itu bukanlah hanya terdiri dari me- reka yang lahir dan besar di Jogja dengan kakek-nenek yang juga lahir di kawasan ini. Mereka justru banyak yang lahir dan besar di luar Jogja bahkan di luar Pulau Jawa yang saat ini hidup dan menetap di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tutur kata yang halus dan tutur laku yang santun. Seringkali mereka yang mestinya bisa diberi cap migran dan pen- datang itu menampilkan sisi kehidupan yang lebih njogjani (lebih Jogja) daripada

10. Abdul Munir Mulkhan, Jogja dan Budaya Tandingan Kapitalis, Harian Kompas, hari Senin tanggal 5 November 2001, hlm 27.

11. C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, Kanisius-BPK Gunung Mulia, Yogyakarta-Jakarta, 1976.

(7)

mereka yang lahir dan besar di daerah ini dengan nenek-kakek yang juga asli Jogja.12

Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yog- yakarta merupakan daerah yang jika dilihat dari potensi sumber daya alamnya, bu- kanlah daerah yang bisa disebut makmur dan kaya. Luas wilayahnya tergolong relatif sempit dengan kawasan pantai yang tam- pak kurang ramah di sisi selatan. Sementara di sisi utara dibatasi benteng alam Gunung Merapi yang merupakan gunung api terak- tif di dunia yang tiap saat bisa mengeluar- kan gelombang awan panas yang disebut wedus gembel oleh masyarakat setempat, namun memberi kesuburan.

Di daerah Jogja hampir tidak ada industri besar dengan ribuan buruh.

Walaupun demikian dari daerah ini orang ber harap bisa hidup lebih lama di dunia karena bisa bertahan hidup lebih lama dalam kesederhanaan, sehingga men jadi lebih sehat dan lebih damai. Harapan

hidup di daerah Jogja relatif tergolong tertinggi di seantero kawasan Nusantara hingga orang bisa hidup lebih dari 70 ta- hun. Orang-orang pensiunan banyak yang merasa betah tinggal di kawasan ini.

Karena itu, banyak orang berimajinasi tentang kemungkinan model gaya hidup di daerah Yogyakarta sebagai prototipe tandingan gaya hidup model Kapitalis yang glamor dan “serakah” yang semakin global. Ibukota Provinsi daerah ini ya Kota Jogja hanya mengenal kesibukan terbatas di sekitar pertokoan yang terkonsentrasi di sisi kiri-kanan Jalan Utama Malioboro yang membelah kota, kemudian Jalan Sala sambungan Jalan Sudirman dan Diponegoro menyilang Jalan Malioboro dan Mangkubumi. Belakangan meluas di kawasan jalan pendidikan yang membe- lah sebuah kampus perguruan tinggi ne- geri terkemuka berdampingan dengan perguruan tinggi keguruan dan sebuah perguruan tinggi swasta terkenal, apalagi di akhir pekan (Jalan Kaliurang, Sagan, dan Jalan Gejayan). Kesibukan demikian segera usai saat malam mulai turun me- nyapa kota, terutama di atas jam 21.00.

12. Franz Magnis Suseno “Hormat Dan Hak – Etika Jawa Dalam Tantangan” dalam Franz Magnis Suseno & S.

Reksosilo C.M., Etika Jawa Dalam Tantangan, Kanisius, Yogyakarta, 1983, hlm 43 (Suseno mengutip Koent- joroningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jambatan, 1975, hlm 337).

(8)

Hanya di beberapa kawasan yang me- mang masih bisa disaksikan ke hidup an malam hingga larut menyentuh embun pagi.

Kesibukan kota ini lebih terasa di pagi hari kawasan jalan protokol penghubung Kota Jogja dengan ibukota empat kabu- paten (Sleman, Kulon Progo, Bantul, dan Gunung Kidul) saat pegawai kantor pe- merintah atau swasta, pelajar dan maha- siswa, mulai bergerak berangkat kerja, ma- suk sekolah dan kuliah, atau saat mereka pulang siang hari. Sepeda onthel masih merupakan warna khas Kota Jogja di pagi atau siang hari di jalan-jalan penghubung kota dan kawasan pendukung. Namun, alat transportasi ini nampak mulai surut selama sepuluh tahun terakhir terutama sesudah model sewa-beli sepeda motor semakin dipermudah.

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakar- ta yang dikenal dengan sebutan pendek Jogja terdiri dari empat (4) kabupaten dan satu (1) kota dengan penduduk se- kitar 5 juta jiwa. Sejak lama, Jogja dikenal sebagai “kota pendidikan”, selain sebagai

“kota budaya”. Dua label ini tampak men- jelaskan banyak hal tentang kehidupan sosial dan ekonomi Jogja. Lorong-lorong kecil yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua (kadang harus dituntun dalam keadaan mesin tidak hidup) kawasan perkampungan di pusat Kota Jogja yang penuh de ngan industri rumah yang ber- hubungan dengan pariwisata juga men- jadi ciri sekaligus simbol sintesis moder- nitas dan tradisonalitas.

Kehidupan penduduk di kawa- san Kota Jogja seperti bergerak lambat, sehingga kesibukan kota ini dipenuhi sepeda onthel yang lalu-lalang, ditim- pah becak, andhong dan pejalan kaki.

Kendaraan tradisional itu membawa kesan kesemrawutan kota di saat jam-jam sibuk, sekaligus kesantunan dan ketradisionalan.

Namun ia memberi warna khas kota ini yang makin sulit ditemukan di kota dan kawasan atau tempat lain di Nusantara.

Di hari-hari libur sekolah, keleng- angan kota ini makin terasa ketika pendu- duk kota ini seolah tergantikan oleh turis Nusantara atau turis Asing. Hal ini berbeda

(9)

dengan hari-hari menjelang tahun ajaran baru. Di hari-hari seperti itu, puluhan ribu calon siswa atau mahasiswa, kadang di- sertai orang-tua dan sanak keluarganya merupakan pemandangan kota ini yang menarik. Hal ini pula yang kemudian mendorong pembangunan berbagai ho- tel melati di beberapa kawasan perkam- pungan belakangan ini.

Kampung-kampung tradisional, tetap kental dan tampak lestari di kawasan se- kitar pusat kesibukan Malioboro atau Jalan Solo. Gedung dan rumah mewah justru le- bih tampak di kawasan pengembangan yang biasanya berkaitan dengan pe- ngembangan lembaga pendidikan.

Daerah seperti ini bisa disebut antara lain seperti; Seturan, Jalan Kaliurang, dan kawasan baru di Kasihan Bantul yang ber- himpitan dengan Gamping.

Kesederhanaan pula yang membu- at Jogja menunjukkan peran budaya sig- nifikan di tengah gempita de monstrasi mahasiswa menjelang jatuhnya pe- merintahan Orde Baru. Paling spektaku- ler terjadi tanggal 20 Mei 1998, ketika

jutaan orang tumplek-blek di sekitar kawasan alun-alun utara, namun tetap aman. Hanya di beberapa kawasan, se- perti Gejayan dan sebagian Jalan Solo, di era reformasi lalu sempat muncul kerusuhan. Selebihnya, hingga saat ini, Jogja adalah satu-satunya “kota besar” di Indonesia yang tetap aman dan tak per- nah dilanda kerusuhan.

Muncul pertanyaan, adakah ketentram an kota Jogja itu berkaitan dengan gaya hidup “Orang Jogja” yang

“nrimo” dan sederhana? Jawaban me- mang bisa beragam, namun tidak adanya konsentrasi buruh industri atau pabrik be- sar di kawasan ini, dan hubungan personal yang hidup dan terus dipelihara warga asli dan pendatang, bisa disebut sebagai fak- tor penting, kedamaian kota Jogja. Gaya hidup asli itu pula yang langsung atau tak langsung mempengaruhi cara hidup war- ga pendatang, yang sebagian besar ada- lah mahasiswa dan pelajar.

Gaya hidup Jogja di atas, merupakan faktor penting “usia harapan hidup” orang Jogja tergolong tertinggi di Indonesia.

(10)

Seseorang yang ingin hidup lama di dunia, tinggal saja di Jogja, begitu seloroh orang ketika membaca laporan kesehatan ter sebut.

Laporan kesehatan ini membawa kesimpul- an bahwa kesederhanaan adalah kunci ke- sehatan dan kunci lama hidup di dunia.

Tentu, kesimpulan di atas merupakan tesis yang masih memerlukan sejumlah bukti dan uji ilmiah. Namun, tesis ini cu kup untuk mendorong kita mengkaji ulang relevansi berbagai teori ekonomi modern dan pembangunan bagi kelangsungan hidup manusia damai dan tenteram. Ber- bagai teori ekonomi dan pembangunan yang selama ini kita kenal, lebih men- dorong manusia hidup serakah dengan menguras habis sumber daya alam dan manusia. Tujuan utamanya hanya satu, yaitu agar manusia dalam tempo singkat bisa menikmati segala fasilitas hidup. Hal ini telah sering mendorong seseorang dan suatu bangsa tidak lagi peduli pada nasib keturunannya sendiri di masa depan.

Kesederhanaan gaya hidup Jogja, bukanlah indikasi bahwa kota ini sama sekali tidak bergerak maju. Pengembang-

an kawasan pendidikan di sekitar kota ini telah membawa sejumlah persoalan sebagai dampak tak langsung kehadiran puluh an ribu warga baru di kota ini. Ber- sama dengan perkembangan kawasan pendidikan yang terus tumbuh, warung lesehan yang semula hanya berpusat di kawasan Malioboro meluas di berbagai jalan protokol. Warung lesehan, belakang- an memberi inspirasi kegiatan ekonomi di kawasan kampus UGM di pagi hari, ter utama hari Minggu. Di Minggu pagi, lorong-lorong Kampus Biru itu bagaikan berubah menjadi “warung lesehan tiban”.

Di kampung-kampung asli di sekitar kawasan Kraton, amat mudah ditemukan penjaja gudeg ideran. Orang Jogja biasa sa rapan pagi dengan membeli gudeg ini. Tahun 80-an, dengan beberapa ratus rupiah, orang Jogja sudah bisa sarapan dengan gudeg lengkap disertai suwiran daging ayam, krecek, dan gori. Konon har- ga gudeg ideran itu kini sudah mencapai ribuan rupiah.

Di tengah geliat lambat kota budaya dan pendidikan Jogja, muncul per tanyaan;

(11)

bisakah budaya hidup bersahaja bertahan di kota Jogja? Pertanyaan ini mungkin penting diajukan dan dijawab oleh semua pihak di tengah gelombang globalisasi.

Boleh jadi kita telah menjadi mati oleh ru- tinitas hidup. Sehingga enggan mengaju- kan kritik atas diri sendiri. Hidup manusia bagai sebuah mesin yang terus berjalan semi otomatis, begitu tombol penghidup mesin itu diputar.

Secara sadar atau tak sengaja, pen- duduk kota Jogja yang asli atau pendatang, membuka diri dijangkiti wabah kapitalisme global. Beberapa ahli melihat etos kapitalis- me didasari sifat rakus manusia yang be- lum akan berhenti menguras alam dan pe- luang orang lain, kecuali jika hanya dirinya sendiri yang paling kaya. Jadilah manusia modern firaun-firaun yang baru menyadari kekhilafan nya sesudah sangat terlambat.

Dalam hubungan itulah tesis seorang ekonom Jerman yang menjadi filsuf, perlu dicermati ulang. E.F. Schumacher13 dengan tesis kecil itu indah-nya hendak

mengkritik konsep hidup modern yang rakus dan tak peduli nasib dunia dan na- sib sesama manusia lain. Tesis ini penting dicermati saat program pengembangan dan pem bangunan suatu masyarakat tidak di rancang bagi saling peduli sesama dan bagi perbaikan nasib mereka yang karena minoritas atau sebab lain tidak memiliki akses pada pengambil kebijakan.

Demokrasi seringkali memerangkap logi- ka mayoritas yang atas namanya dengan mudah mengabaikan nasib minoritas.

Dari sini setiap model pengembangan masyarakat perlu dirancang mengingat tesis Schumacher tersebut agar tidak mu- dah terperangkap hanya sekedar peniru gaya hidup rakus Kapitalisme.

Karena itu, amat bijak dan arif, jika praktik sosial keagamaan didasari kajian serius tentang hubungan ajaran oten- tik agama-agama, terutama mayoritas, dengan gaya hidup sederhana. Tesis Schumacher tentang kecil itu indah de ngan gaya hidup Jogja gaya hidup sak madya (Jw), mungkin bisa dijadikan titik

13. E.F. Schumacher, Kecil Itu Indah; Ilmu Ekonomi Yang Mementingkan Rakyat Kecil, LP3ES, Jakarta, 1985.

(12)

awal bagi suatu kritik atas gaya hidup glamor dari model kerakusan kapital- isme.

Soalnya ialah, apakah kita bersedia untuk kembali menempuh jalan hidup tradisional yang sederhana. Suatu cara hidup yang ternyata bisa menumbuhkan

“usia harapan hidup lebih tinggi”. Orang Jogja cenderung bisa hidup lebih lama di dunia ini dibanding orang yang hidup di kawasan lain. Hidup sederhana ternyata lebih sehat, dan menumbuhkan suasana penuh kedamaian. Ironinya, secara kurang disadari, kita ternyata lebih suka memilih gaya hidup pesta sebagai penggali liang kubur sendiri.

Dilarang Mimpi Merdeka dalam Logika Bebas Konflik

14

Dari paparan fakta empirik terse- but di atas kita coba melihat bangunan

logika yang kurang lebih bisa bebas dari dinamika konflik dan positifis yang mem- bagi habis wilayah dan ruang kehidupan sehingga tanpa sisa bagi yang lain (the others). Persoalan tersebut menjadi lebih penting ketika peradaban modern me- mang dirancang secara cacat sejak awal.

Peradaban modern lahir berbasis cacat bawaannya dengan resiko ketidakadilan, konflik, dan kemiskinan global yang bersi- fat kultural dan struktural.

Dalam logika modern yang cacat bawaan itu nilai-nilai etik dan moral cen- derung dimaterialisasi. Hal itu dapat di- lihat antara lain saat korupsi mulai dipakai sebagai alat produksi bagi keuntungan berlimpah tanpa kerja keras.15 Demikian pula halnya dengan perang internal da- lam suatu bangsa dan antar bangsa yang terus berlangsung di berbagai belahan dunia, kerusakan lingkungan, bencana alam, penyebaran HIV/AID, seluruhnya dengan ribuan korban jiwa lebih karena gaya hidup yang seluruhnya dipandang materiel yang habis-bagi tanpa ruang

15. Naisbitt, Global Paradox, Binarupa Aksara, Jakarta, 1994.

14. Lihat Abdul Munir Mulkhan, Kecerdasan Makrifat MaQ); Jalan Pembebesan Manusia dari Mekanisme Konflik, IAIN Sunan Kalijaga, 2004. Naskah ini merupakan pidato pengukuhan Guru Besar Filsafat Pendidikan Islam yang disampaikan dalam Rapat Senat Terbuka Guru Besar IAIN (kini UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta tanggal 31 Maret 2004.

(13)

sisa. Di tengah perdebatan dunia tentang pemanasan global atau kehabisan energi akibat dilepas dari ikatan alaminya oleh teknologi, kehancuran peradaban umat manusia merupakan ancaman serius.16

Modernitas seperti tak peduli pada ancaman “kiamat” yang diciptakannya juga terhadap mutasi ancaman yang semakin hebat. Manusia seolah menjalani hidup menuju kehancuran tapi tidak berdaya menghindar, tak berdaya menghadapi diri sendiri yang tumbuh bagai monster ber- wajah teknologi. Demokrasi tanpa etika ilahiah ataupun etika kemanusiaan bisa berubah menjadi daur ulang kekerasan sistematis dan legal.17 Jadilah manusia ter- perangkap di dan ke dalam lingkaran se- tan peradaban yang dibangunnya sendiri seperti tanpa jalan keluar.

Cacat teologis, epistemologis, dan aksiologis dari modernitas itu menimbulkan ancaman global yang sekarang mulai terasa dengan peruba-

han iklim yang cenderung semakin ekstrim.

Secara sadar dan disengaja logika ke- modernitasan dengan jelas menolak keterlibatan aspek metafisika yang dipicu oleh praktik ke salahan keagamaan yang ternyata gagal membela kemanusiaan di hampir sepanjang pengalaman historis perkembangan peradaban manusia. Para pemimpin gerakan ke agamaan di dunia tampak berpuas diri pada keyakinan ber- ada pada posisi terdekat dengan Tuhan dan surganya sementara seolah meng- hindar untuk ikut bertanggung jawab terhadap penderitaan nasib sebagian ma nusia yang tak di untungkan oleh gaya hidup modern yang serakah dan Kapitalistik.

Masyarakat bangsa beragama atau setengah kafir secara sadar, sengaja atau tanpa disadari membangun kehidup an berbasis rasio modernitas yang hanya bergulat pada apa yang fisis- material.18 Dalam situasi demikian itu segala yang

16. Schumacher, Kecil, 1985

17. Patria, Nezar & Andi Arief, Antonio Gramsci: Negara &

Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 1999.

18. Kuntowibisono, 1983, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Postivisme Auguste Comte, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1983, lihat juga Harry Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Gramedia, Jakarta, 1983, hlm 54.

(14)

ber tentangan dengan cara berfikir modern yang positifis dan materialis- tis aspek-aspek ruhaniah, spiritual, mo- ral dan etika diletakkan dalam posisi subordinat kalkulasi bendawi hampir secara absolut yang habis-bagi tanpa ruang sisa bagi the others. Manusia di- pandang sebagai akhir evolusi dari rea- litas pelikan, tumbuhan, dan hewan di dalam dinamika jasadiah (tubuh) tanpa jiwa (ruh).19 Manusia tak beda se onggok benda hidup yang terus bermutasi tanpa daya transendensi yang bebas dan kaya serta kreatif.

Sementara itu genderang teologi pembebasan yang muncul awal 1970- an20 dan memperoleh sambutan luas di dunia ketiga, sebagai kritik praktik ke salehan kapitalistik, seperti bergerak di pinggirian dan gagal menusuk jan- tung modernitas untuk melahirkan era baru peradaban yang lebih santun dan manusiawi. Selain genderang Gutier-

rez kita juga bisa menyebut gagasan Kiri-Islam-nya Hassan Hanafi,21 Teologi Pembebasan nya Asghar Ali Engineer22 dan gerakan LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang tampak menjamur bersama dengan pendidikan kritis Paulo Freire.23 Namun demikian tampaknya semua kritik itu belum juga bisa mem- bedah modernitas kapitalistik, sehing- ga kehidupan manusia di era global ini bisa benar-benar bebas dari mekanisme konflik dan praktik ketidakadilan.

Praktik pendidikan kritis yang meluas menjamur sejak tahun 1970-an, bersama ilmu sosial kritis hingga tahapan terakhir24 belum juga bisa bebas dari cacat moderni- tas. Seolah tanpa daya, manusia modern tidak bisa hidup tanpa menjadikan logika habis-bagi sebagai standar benar-salah, baik-buruk. Seseorang hampir mustahil

19. Schumacher, E.F., Keluar Dari Kemelut; Sebuah Peta Pemikiran Baru, LP3ES, Jakarta, 1981.

20. Gutierrez, Gustavo, A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation, Orbis Book, Maryknoll, New York, 1973.

21. Hanafi, Hassan, 1991, Agama, Ideologi dan Pem- bangunan, P3M, Jakarta, 1991.Lihat juga Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, LKiS, Yogjakarta, 1993.

22. Ali Asghar Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1999.

23. Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, Jakarta, 1985.

24. Ben Agger, Teori Sosial Kritis, Kreasi Wacana, Yogya karta, 2003.

(15)

menyantuni sesama ketika seseorang tidak memperoleh keuntungan materiel dari kerja santunan atas sesama tersebut sementara orang yang disantuni ham- pir mustahil mengganti santunan yang ia terima akibat kemiskinan yang dideritanya.

Sejarah kehidupan manusia seolah terpe- rangkap dalam mekanisme habis-bagi, sehingga ruh (jiwa) manusia yang bebas dan mampu menerobos batas-batas hak milik kehilangan fungsi kreatif-bebas- imajinatif. Sementara itu kesalehan dalam praktik keagamaan agama-agama besar dunia juga gagal me mihak kemanusiaan yang ter-alienasi dan ter-dehumanisasi, saat modernitas mencipta kemiskinan, konflik, ketidak adilan, dan ketertinda- san.25

Dinamika kehidupan manusia pada abad ke-21 ditandai kemampuan manusia dalam mengakses informasi dari “seribu”

pintu dan berhubungan secara timbal- balik dengan jutaan orang. Satu dari 100 orang, mengambil keputusan sendiri dengan ”seribu” alternatif yang disediakan

komputer dan internet tanpa konsul- tan. Manusia-manusia personal itu mulai ter-impersonalisasi sehingga kehilangan keunikan dirinya, tidak mengenali orang lain secara pribadi.26 Manusia kemudian tumbuh dan berkembang seolah terasing dari diri sendiri, terasing dari komunitas, terasing dari alam, sekaligus terasing dari ranah ilahiah spiritualnya.

Di satu sisi peradaban modern se- perti terperangkap tesis Malthus dan

“kiamat” Club of Roma tanpa kemampuan pembebas an diri.27 Sementara optimisme peradaban global atas pertumbuhan ekonomi negara industri 100 kali lipat negara miskin,28 tampak mengabaikan ketimpangan distribusi pangan dan energi serta kemiskinan lebih satu miliar manu- sia. Masyarakat miskin atau orang miskin terperangkap dalam kemiskinan hampir tanpa daya, saat bangsa dan masyarakat atau orang berkelimpah-ruahan ekonomi terjebak ke dan di dalam sistem yang

25. Schumacher, Kecil, 1985

26. Naisbitt, Paradox, 1994

27. Paul Kennedy, Menyiapkan diri Menghadapi Abad Ke-21, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995.

28. Naisbitt, & Patricia Abuderne, Megatrends 2000;

Sepuluh Arah Baru Untuk Tahun 1990-an, Binarupa Aksara, Jakarta, 1990, hlm 15-17.

(16)

membuat mereka tidak bekerja dan dalam tidur pun memperoleh curahan keuntung- an hampir tanpa batas. Secara struktural pula modernisme melestarikan konflik, kesenjangan sosial-ekonomi, kemiskinan dan ketidakadilan.

Dalam situasi peradaban modern ha- bis-bagi tersebut di atas satu dekade lalu, laju pertumbuhan penduduk di kawasan bangsa-bangsa miskin dan terbelakang atau orang miskin dan berpendidikan ren- dah jauh lebih tinggi dibanding bangsa- bangsa atau orang dan masyarakat berke- majuan dan berpendidikan lebih tinggi. Di saat yang sama dalam kehidupan masyara- kat bangsa dan orang yang terbelakang tersebut persediaan barang konsumsi jauh lebih rendah dibanding kelimpah-ruahan barang yang sama di kawasan bangsa dan masyarakat maju. Dari sekitar 14 miliar pen- duduk dunia, 75 %-nya tinggal di kawasan terbelakang dan miskin dengan pendidi- kan rendah yang terus dihantui degradasi mental, fisikal dan jasad serta involusi ke- mampuan ekonomi, alam, dan sosial.29

Pada saat yang sama pertumbuhan 400 % ekonomi global di akhir abad ke-20 atas jasa iptek hanya dinikmati negara maju, masyarakat dan bangsa yang kaya dengan tingkat pendidikan yang tinggi dan kesehatan lingkungan dan diri jauh le- bih tinggi dan terjamin. Seorang penduduk dari kawasan miskin masih harus hidup dengan sekitar 300 $ pertahun, dan ma- sih harus membayar hutang luar negeri yang membengkak 400 % dengan sum- ber daya manusia rentan mental dan fi- sik. Tahun 60-an, 31% penduduk kawasan maju mengkonsumsi 87 % energi dunia, di akhir abad ini 23 % penduduk dunia itu mengkonsumsi 67 % energi dunia.30 Ketika seorang penduduk negara bangsa bertek- nologi maju, seperti Swiss, hidup dengan 40 ribu dolar pertahun, warga penduduk miskin hanya bisa dan harus hidup de- ngan 400 $ perkapita pertahun.31 Kondisi seperti ini hampir tidak berubah sepan- jang satu dasa warsa kemudian, bahkan bisa dilihat di berbagai kawasan miskin keadaan menjadi semakin menyakitkan.

Sementara situasi sosial- politik masyarakat

30. Schumacher, Kecil, 1985, hlm 24-25 31. Kennedy, 1995, hlm 66-69; 299-302 29. Kennedy, 1995, hlm 29-31; 302-303

(17)

bangsa terbelakang menjadi semakin diper- buruk oleh gaya hidup serakah, koruptif, bagai maharaja dan menang sendiri lapisan elite masyarakat bangsa bersangkutan.

Ketimpangan ekonomi tersebut di atas di antara kawasan bangsa atau ma- syarakat dan orang berkemajuan iptek dan bangsa atau masyarakat dan orang yang terbelakang berbanding 20:1.32 Pertum- buhan penduduk bangsa dan masyarakat yang berkemajuan dengan bangsa dan masyarakat terbelakang berbanding 1:3, sementara kelimpahruahan energi ber- banding 21:1, ditingkah pendapatan per- kapita pertahun keduanya berbanding 100:1.33 Kondisi demikian merupakan ben- tuk ketimpangan yang semakin menganga di antara bangsa maju dan bangsa terbela- kang ketika seperempat abad sebelumnya angka ketimpangan kaya-miskin itu masih berbanding 20:1.34

Ketimpangan penduduk kaya dan miskin tersebut di atas bisa lebih drama- tis di negeri-negeri terbelakang seperti halnya yang terjadi di negeri ini ketika korupsi mulai berfungsi seolah sebagai alat produksi.35 Di saat yang sama ma- syarakat miskin dan atau orang miskin ter sebut masih harus membayar biaya hidup jauh lebih mahal akibat dan karena tenaga kerja orang miskin dibayar jauh lebih murah. Sementara itu penggunaan waktu hidup tidak produktif orang miskin dan masyarakat miskin tersebut, dan pe- luang memperoleh pendidikan yang baik hampir-hampir tertutup. Padahal melalui pendidikan itulah orang miskin dan ma- syarakat miskin bisa keluar dari jebakan kemiskinannya.

Dalam situasi dilematis seperti itulah kebutuhan akan pengembangan ke sadaran diri menjadi bermakna dan berfungsi. Namun justru disini pula ling- karan setan mulai menunjukkan jati dirinya ke tika waktu untuk merenung dan berfikir pun bagi orang dan masyara-

32. Mahbubul Haq, Tirai Kemiskinan; Tantangan- Tantangan Untuk Dunia Ketiga, Obor, Jakarta, 1983, hlm 53, 143.

33. Kennedy, 1995, hlm 29-69, 299-303; Schumacher, Kecil, 1985, hlm 24-25.

34. Haq, 1983, hlm 53,143 35. Naisbitt, Paradox, 1994

(18)

kat miskin merupakan harta yang terlalu mahal. Sementara tanpa pemikiran kritis dan tanpa kritik filosofis, manusia dan ma syarakat bangsa di kawasan selatan- selatan di kawasan negara-negara miskin dan masyarakat atau orang miskin akan terus menjadi kurban keganasan mo- dernisme dan ketakpedulian kesaleh an romantis yang tak peduli penderitaan sesama agama-agama formal.35 Dari sini kearifan kemanusiaan yang semes- tinya menjadi akar fundamental kerja lembaga-lembaga hak asasi manusia ha- rus berfungsi sebagai kritik modernitas sebagai basis epistemologi pendidikan dan peradaban dunia baru.

Paradok modernitas yang kini be- rada di tangan Kapitalisme sesudah run- tuhnya Sosialisme tersebut juga bersum- ber dan dipicu oleh kegagalan sintesis kesalehan dalam praktik agama-agama besar dunia di satu sisi dan kegagalan se- kularitas di sisi yang lain. Ilmu pengeta- huan dan teknologi (Iptek) yang sukses mengembangkan teknologi di bidang

transportasi dan teknologi komunikasi yang hampir meniadakan jarak dan wak- tu itu ternyata juga gagal memahami ke- takterukuran tunggal realitas alam dan kehidupan manusia (relatif-probalistik).36 Modernisme Kapitalistik secara sadar juga mengabaikan realitas metafisis dan secara tanpa sikap kritis juga terje- bak dan terperangkap di dalam struktur ketidakadilan yang diciptakannya sen- diri.37 Sejarah modernitas demikian itu secara niscaya merupakan kisah penderi- taan umat manusia di abad modern.38

Negara, bangsa-bangsa dan orang- orang kaya terus mengembangkan ener- gi lebih murah dengan daya lebih tinggi yang bersama pasar tunggal menahan laju inflasi, sehingga kehidupan mereka yang semakin irit dan efisien terhindar dari pemborosan. Sementara negara

36. Lihat Singularitas “Ketakterhinggan” dalam Stephen Hawking, Black Holes dan Baby Universes; Lubang Hitam dan Jagad Bayi dan Esei-esei lain. 1995, Gramedia, Jakarta; Riwayat Sang Kala; Dari Dentuman Besar Hingga Lubang Hitam, 1994, Pustaka Grafiti Utama, Jakarta.

37. Schumacher, Kecil, 1985

38. Lihat Laporan Seminar Fakultas Ekonomi UGM tentang Strategi Pembangunan Ekonomi dan Bisnis, Kompas 23-26 Oktober 1995.

35. Schumacher, Kecil, 1985, hlm 102

(19)

terbelakang, bangsa miskin, masyarakat dan orang-orang papa yang lemah terus terpuruk dalam penderitaan kemiskinan tanpa tangan kuat yang bersedia membe- ri kesempatan mereka untuk bangkit. Ga- gasan kebangkitan dan pembebasan dari perangkap atau penjara kemiskinan itu tak lebih dari sebuah mimpi di siang bolong.

Mimpi bebas dari derita, mimpi bebas dari kemiskinan itu pun seolah dilarang bagi mereka yang miskin dan terbelakang.

Kemampuan Iptek menciptakan en- ergi murah hanya memberi ruang bagi bangsa dan masyarakat kaya dengan pen- didikan lebih tinggi. Sementara gagasan demikian yang hanya bermakna bagi kelas atas39 seolah mengabaikan hak hidup satu miliar manusia yang hidup dalam kemis- kinan. Tiap hari mereka, warga dari bangsa dan masyarakat miskin tersebut harus ber- juang menahan lapar hanya untuk berta- han hidup bagi dirinya sendiri dan keluar- ga yang lebih banyak dari warga bangsa modern dan maju tersebut.40 Malpraktek

dalam praktik teknologi dalam logika modernitas dan pola hubungan bangsa berkemajuan dengan bangsa-bangsa terbelakang atau relasi antara warga orang kaya dan warga orang miskin demikian itu telah menciptakan praktik ketidakadilan dan sekaligus praktik pemiskinan secara kultural sekaligus secara struktural.41

Dalam situasi budaya seperti tersebut di atas, wajarlah jika konflik ketidakadilan belakangan ini kemudian banyak dipan- dang berhubungan atau melahirkan isu terorisme global. Dari sini isu terorisme lebih menyakitkan ketika sering menem- patkan bangsa-bangsa berkembang dan warga masyarakat miskin berada dalam posisi tertuduh. Situasi ini justru memperparah krisis hubungan bangsa- bangsa Muslim yang cenderung miskin di kawasan selatan-selatan dan bangsa- bangsa Barat yang Kristiani yang dalam konteks ke hidupan bangsa ini sering di- jadikan alasan untuk melakukan tindakan

39. Naisbitt & Aburdene, 1990

40. David C. Korten, Menuju Abad ke-21 ; Tindakan Sukarela dan Agenda Global, Obor-Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm 20-25.

41. Kennedy, 1995

42. David C. Korten, Menuju Abad ke-21 ; Tindakan Sukarela dan Agenda Global, Obor-Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm 20-25.

(20)

pembalas an dan berbagai aksi kekarasan.

Karena itu tampak bahwa praktik demo- kratisasi tanpa etika ketuhanan yang le- bih manusiawi akan sama-sama gagal mengatasi konflik dan kekerasan, akibat keduanya terperangkap di dalam meka- nisme yang sama, yang juga dialami oleh negara berkemajuan.43

Dalam kaitan persoalan tersebut di atas tampaknya etika universal kema- nusiaan seperti tampil berlawanan arah dengan praktik modernitas dan kesale- han romantis dari agama-agama besar.

Ketidakadilan dalam modernitas mudah dipahami adalah akibat hasil produksi industri atau perorangan dimaknai seba- gai milik mutlak pribadi sehingga tidak ada ruang bagi orang lain (the others).44 Persoalan akibat kemiskinan yang se- rupa itu menjadi lebih dramatis dengan tingkat konflik dan kekerasan yang tak terbayangkan ketika melibatkan keya- kinan ke agamaan absolut tanpa ruang bagi akibat praktik ke agamaan juga ter-

jebak pada model berfikir materialistik yang habis-bagi. Sementara etika Sufi dan sejenisnya dari praktik keagamaan agama-agama besar yang semestinya memberi ruang lebih luas bagi promosi kemanusiaan tampak lebih dipahami se- bagai pelarian dari di namika sejarah.45 yang cenderung menciptakan kesejahte- raan semu.

Karena itu, reorientasi modernitas dan kesalehan praktik keagamaan agama- agama besar di dunia merupakan tuntut- an sejarah. Manusia haruslah dipahami bukan sekedar dinamika dan mekanisme ketubuhan,46 tetapi sekaligus ruhaniah- metafisis. Rasionalitas tidak berhenti hanya pada mekanisme habis-bagi tanpa ruang sisa, tetapi di dalam keberlang sungan ru- haniah-metafisis yang tanpa batas mem- bebaskan. Realitas di dunia kehidupan ini adalah suatu kesatuan wujud yang ma- nusia sebagai bagian integral dan hidup sosial sintetik, sehingga bisa ber bagi ke- salehan dan kemakmuran bagi siapa pun.

43. C. Goldscheider, C., Populasi Modernisasi dan Struktur Sosial, Rajawali, Jakarta, 1985, hlm 361-388.

44. Schumacher, Kecil, 1985

45. Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Pustaka, Bandung, 1984.

46. Schumacher, Keluar, 1989

(21)

Melalui proses itu mekanisme konflik berfungsi bagi daur-ulang kehidupan dan peradaban yang semakin bermutu dan manusiawi.

Kekuasaan politik dan ekonomi yang semestinya dimaknai sebagai amanah yang atas nama Tuhan semua orang ber- hak memperoleh manfaat seringkali ter- perangkap gaya logika habis-bagi saat wilayah surgawi hendak dikuasai sendiri bersama kroninya. Kesejahteraan ekono- mi semestinya juga diukur bagi totalitas kemanusiaan, bersama alat produksi di- distribusi menurut perwalian sehingga warga yang lemah tetap berpeluang bisa hidup sejahtera. Inilah biaya manu- siawi setiap praktik kehidupan di dunia tanpa batas-batas etnik, keagamaan, dan politik sektairian47 yang harus di- perhitungkan dalam setiap proses pro- duksi, yang disebut teori ekonomi hara- pan rasional.48 Keuntungan juga bukan

dicari dari ketimpangan hasil distribusi, tetapi sebagai dan merupakan hasil yang semata-mata bersih dari pemerataan produksi secara adil.49

Kemajuan ekonomi dan keadilan ke hidupan modern ini sebenarnya bisa dicapai ketika distribusi dipahami dan dipraktikkan bukan hanya semata sebagai pengeluaran, tetapi sebagai bagian yang secara niscaya dari keuntungan yang di- peroleh. Ekonomi dan pratik ber ekonomi tidaklah sekedar hubungan antar ma- nusia dan kelompok manusia di dan da- lam suatu mekanisme produksi semata, tetapi juga merupakan sebagai fungsi metafisis kesalehan kemanusiaan agama agama. Dari sini praktik ekonomi sekali- gus juga kesaleh an keagamaan agama- agama adalah tindakan yang dilakukan sehingga tiap martabat pribadi bisa dan harus ditrasendensi pada dan menjadi hak-hak sosial dalam perspektif keyakin- an agama-agama atau keyakinan iman (tauhid). Nilai etis ini (dalam pandangan

49. S.Waqar Ahmed Husaini, Sistem Pembinaan Ma- syarakat Islam, Pustaka, Bandung, 1983, hlm 299.

47. Peter L. Berger, Piramida Kurban Manusia, Etika Politik dan Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1982.

48. Teori Harapan dari Robert Lucas (pemenang nobel ekonomi 1995) lihat dalam Usman, W., 1995,“ Mengapa

‘Harapan Rasional’ Penting?”, Kompas, 17 Oktober 1995, hlm 13.

(22)

sufi lebih dikenal sebagai ke-makrifat-an) adalah sebuah kekuatan yang bisa mendo- rong manusia dan lembaga modern (nega- ra) menahan diri sekaligus ”memaksa”-nya berlaku adil secara sis tematis saat mereka mampu menerobos segala batas sehing- ga melampauinya bagi semata kesejah- teraan dan kebahagiaan kemanusiaan tanpa pandang keyakinan keagamaannya dan etnisitas yang bersangkutan, bahkan hingga si pagan sekalipun.

Kemampuan membebaskan diri dari perangkap mekanisme materi ha- bis bagi tanpa ruang sisa lebih terbuka ketika seseorang memiliki kearifan yang hanya ada di dalam tradisi Sufi dan tra- disi spiritual agama-agama. Kecerdasan berbasis kearifan atau kecerdasan makri- fat berakar epistemologi kesatuan wu- jud dari ontologi jagad raya parsial yang dipahami sebagai universum or ganisme hidup di dalam sintesa hierarkis. Manu- sia seringkali dipandang sebagai rea- litas mikro-kosmos50 yang merupakan

puncak evolusi-sintetik alam dengan dua unsur dasar: ketubuhan dan ruh (sejenis psykhe dalam pemikiran mo- dern). Realitas ruh tersebut itulah yang mempertali hubungkan alam dan re alitas materiel dan atau ketubuhan dengan realitas metafisis dimana Tuhan menem- pati posisi tertinggi.

Seperti pandangan Mulla Shadra yang menyatakan bahwa hanya manu- sialah yang bisa mencapai dan bisa ber- ada di puncak kebebasan dari jebakan re- alitas bendawi yang habis-bagi. Ber basis ke bebasan hakiki itulah pengetahuan tertinggi seperti kearifan dan kesantu- nan kemanusiaan itu bisa diperoleh seti- ap orang yang sudah bisa membebaskan diri dari logika habis-bagi dan bebas dari jebakan material postifis. Dalam jiwa ma- nusia selalu tersedia kemampuan kekuat- an intelek yang bisa berkembang menjadi intuisi yang otentik yang bisa berfungsi sebagai alat dalam memahami wujud sintetik jika bebas dari mekanisme bendawi.

Inilah yang disebut filsuf spiritualis seba- gai pengetahuan intuitif dan langsung saat tiada jarak dan ruang waktu antara si

50. Titus Burckhardt, Titus, Mengenal Ajaran Kaum Sufi, Pustaka Jaya, Jakarta, 1984, hlm 103.

(23)

pengamat dan yang diamati dan antara si subyek pengetahuan dan obyek yang di- ketahui51 yaitu ketika manusia bisa terbe- bas dari jebakan logika habis-bagi sehing- ga bisa menjadi bebas dari ke pentingan bendawi dan sesaat. Model berfikir intuitif yang langsung saat tiada lagi jarak anta- ra yang me ngetahui dan diketahui itulah pengetahuan atau ilmu yang di peroleh melalui cara atau metode yang dalam tra- disi Sufi lebih dikenal sebagai ilmu hudlu- ri.52

Pengetahuan tentang kesatuan wujud atau kesatuan realitas, kesatuan antar warga dan antar manusia, seba- gai tindak lanjut dari relasi antar reali- tas duniawi bendawi atau ruhani di atas hanya mungkin ketika lewat emanasi (nadlaariat al-faidl) dari empat sifat re alitas; inderawi, rasional, filosofis, dan metafisis tersusun dalam hierarki siste- mis.53 Di dalam relasi demikian itulah bisa

dikembangkan suatu sintesa ke hidupan yang secara niscaya menyatukan perbedaan (bukan meniadakan per- bedaan) dan me nyatukan realitas dalam satuan wujud. Keempatnya merupakan sifat; benda fisik, energi, idea (ruh mur- ni atau jiwa), dan tuhan.54 Dalam tradisi keagamaan (seperti keagamaan Islam) kesatuan dari hierarki wujud (maraatib al-maujuudaat) tersebut bisa dibaca antara lain dalam pandangan Al Farabi yang meliputi: benda bumi, benda la- ngit, malaikat, dan tuhan.55 Di dalam kesatuan realitas itulah praktik kehidup- an dan praktik ke agamaan terbuka bagi usaha membangun berdasar keter- lampauan batas-batas dan menerobos jebakan- jebakan materiel dalam logika habis-bagi.

Menembus Batas-Batas

Hubungan realitas bendawi dan ru- hani atau yang materiel dan yang spiri-

51. Fazlur Rahman, 2000, Filsafat Shadra, Pustaka, Bandung, 2000, hlm 285-286.

52. Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudluri; Prinsip-Prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, Mizan, Bandung, 1994.

53. Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hlm 42-43.

54. Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan, Bumi Aksara, Jakarta, 1992, hlm 115.

55. Osman Bakar, Osman, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Mizan, Bandung, 1997, hlm 118-121.

(24)

tuil di atas tersebut bisa dipahami seba- gai model mutasi benda ke energi (idea) seperti muncul api dari gesekan kayu dan antara batu. Cahaya atau energi tampak- nya lahir dari gerak yang cepat dari suatu benda fisik yang habis-bagi saat benda fisik itu menyentuh suatu partikel udara.

Demikian pula suatu daya dari kemampu- an intuisi manusia (yang dalam tradisi Sufi dikenal sebagai suatu kemampuan kasyf) itu lahir dari proses serupa ketika kerja rasio bisa dibebaskan dari mekanisasi bendawi yang habis-bagi tanpa ruang sisa.56 Sintesis kerja di antara unsur-unsur; benda bumi, langit, dan malaikat, sehingga manusia berpeluang berhubungan dengan semua realitas dan realitas tertinggi tuhan.57

Persoalannya kemudian ialah bagai- mana kita, manusia ini bisa menyusun suatu model pengetahuan yang boleh disebut intuitif atau sufistik, sedemikian pula bagaimana manusia bisa mengem- bangkan suatu model dan gaya hidup sak madyo yang sederhana itu ke dalam suatu sistem kebenaran yang kompatibel dan bisa berdialog dengan rasio moder- nitas yang materialistik dan positifistik serta habis-bagi. Untuk itu, maka realitas ruhaniah-metafisik yang sak madyo dan sederhana yang tradisional tidak ditem- patkan di luar objek seperti model rasio modernitas yang dibatasi di tiga tingkat realitas. Sufisme dan gaya hidup sederha- na (sak madyo) atau mungkin tradisional seperti demikian itu memandang realitas ruhaniah-metafisik yang intuitif sebagai objek telaah ilmu makrifat dengan alat intelek yang disebut kasyf atau intuisi dalam filsafat modern.

Makrifat yang dalam tradisi sufi di peroleh antara melalui kerja kasyf (intuisi) yang muncul aktual dari dan se- sudah proses intelek rasional yang inde- rawi, rasional, filosofis, adalah suatu mo-

56. Burckhardt, 1984, hlm 127-131

57. Murtadha Mutahhari menyebut sintetis kesadaran;

iman, kemanusiaan dan tanggung jawab sosial (Masyarakat dan Sejarah; Kritik Islami dan Marxisme dan Teori lainnya, 1986, Mizan, Bandung, hlm 194-195).

Izutsu menyebutnya sebagai refleksi hubungan amal saleh dan keyakinan sifat-sifat Tuhan dalam perilaku objektif (Konsep-konsep Etika Religus dalam Qur’an, 1993, Tiara Wacana, Yogyakarta). Zianuddin Sardar me- nyebutnya kemajuan metafisis kesadaran (usaha “kes- elamatan pribadi”) dari refleksi hidup sosial, sehingga keselamatan diri sebagai keselamatan orang lain dan masyarakat (Sains, Teknologi dan Pembangunan di Dunia Islam, 1989, Pustaka Bandung, hlm 36-39). Ilyas Ba-Yunus & Farid Ahmad, menyebut jalan tengah (So- siologi Islam & Masyarakat Kontemporer,1993, Mizan, Bandung, hlm 60-63).

(25)

del dan gaya berfikir dan bekerja intuitif yang bekerja serentak dan sistematis.

Hambatan utamanya justru terletak pada ideologisasi model gaya berfikir modern yang habis-bagi yang disebut ilmiah atau pseudo ilmiah yang seolah serba benar secara absolut. Karena itu, tanpa kritik his- toris dan tanpa tiga proses intelek seper- ti dikemukakan di atas, kerja intuisi atau kerja kasyf bisa dan seringkali melahirkan pe ngetahuan mistik yang subyektif dan tidak memberi ruang bagi pengujian evaluatif. Sifat personal dan subjektif me- nyebabkan pengetahuan mistik itu tidak mungkin dipelajari dan disistematisasi ke dalam dan menjadi struktur berpikir ilmiah.58

Pengetahuan makrifat dalam tradi- si Sufi atau pengetahuan intuitif dalam filsafat modern seperti dikemukakan ter- sebut di atas akan sulit diperoleh oleh model dan gaya berbasis rasio moderni- tas habis-bagi ketika dan yang hanya ber- henti pada realitas fisik dan material. Rasio modernitas habis-bagi sebagai dasar dan

praktik pendidikan modern tersebut seca- ra sadar telah meletakkan ketuhanan dan fenomena spiritual yang bebas dari logi- ka habis-bagi di luar objek pengetahuan.

Namun demikian, cara kerja dan model berfikir modernitas menyediakan fundasi dari kerja bagi kecerdasan dan kearifan di dalam sistem kesadaran intuitif dan kesa- daran afektif59 atau dalam apa yang dise- but Paulo Freire sebagai kesadaran kritis (critical consciousness).60 Kecerdasan ma- krifat dalam tradisi Sufi atau kecerdasan intuitif dalam filsafat modern ditempat- kan sebagai hasil dari proses rasio ilmiah yang positifis yang diletakkan di dalam kerangka kritik yang selalu dalam keadaan dipertanyakan dan atau selalu dalam keadaan diuji secara evaluatif.

Karena itu, kesadaran kritis model berfikir era posmodernisme yang be- bas dari positifisasi bisa ditempatkan sebagai model kerja berfikir tanpa ha- bis-bagi yang intuitif sebagai jalan baru

59. John P. Miller, Humanizing The Classroom; Models of Teaching in Affective Education, Preger Publishers, New York, 1976.

60. Paulo Freire, Paulo, Education for Critical Consciousness, Continum, New York, 2000.

58. Rahman, Ijtihad, 1984

(26)

kecerdasan kemanusiaan bebas kon- flik. Metodologi kritis bisa ditempatkan sebagai sebuah pengantar bagi pema- haman atas realitas metafisik yang di- tempatkan sebagai objek tertinggi ilmu pengetahuan. Dari sini empat hierarki rasio modernitas61 diberi makna baru yang dalam tradisi filsafat modern mela- lui intuisi dan dalam tradisi Sufi melalui kasyf dengan meletakkan alam malakut sebagai hierarki kelima sebagai puncak dari hierarhi realitas.

Pada akhirnya peluang terletak pada jiwa etik manusia yang lebih mendahulu- kan kehidupan universal tanpa kehilangan kejati-diriannya. Dari sini selalu tersedia se- lalu ada ruang sisa bagi the others tanpa seseorang kehilangan ke-unik-an dirinya atas dasar kesadaran bahwa tidak mung- kinnya seseorang hidup sendiri tanpa ke- hadiran orang lain sebagai musuh atau se- bagai sahabat. Penegakan, pemajuan, dan perlindungan hak asasi manusia berakar dari kerangka etik bebas dari mekanisme habis-bagi sehingga diharap bisa menem-

bus segala batas yang hanya dengan cara demi kian kehidupan manusia dan bangsa- bangsa di dunia ini bisa terbebas dari mekanisme konflik. Suatu fungsionali sasi konflik dan perbedaan bagi sebesar mung- kin kesejahteraan kemanusiaan universal.

Sekali waktu adalah bijak jika orang modern membuka diri untuk belajar hi- dup dan gaya berfikir orang-orang dan mereka yang selama ini disebut primitif saat mereka menampilkan cara mema- hami realitas yang kurang lebih otentik.

Demikian pula kiranya kita perlu belajar atau bersedia belajar bagaimana hidup sederhana tapi modern seperti gaya hi- dup Orang Jogja atau daerah-daerah se- macam yang tersebar di seluruh wilayah dan seluruh pelosok Nusantara. Sebagian daerah seperti itu sudah cukup dikenal publik, sebagian lagi yang banyak tetap tidak dikenal dan lestari dalam kesendiri- an yang asyik dinikmati tetapi sekaligus merindukan di sudut-sudut terpencil dan terisolir dari negeri ini. Karena itu penting kita bertanya: mungkinkah atau bersedia- kah hidup sederhana sak madyo tanpa keserakahan Kapitalis?

61. Schumacher, Keluar, 1981

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Agger, Ben, 2003, Teori Sosial Kritis, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Bakar, Osman, 1997, Hierarki Ilmu; Membang- un Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Mizan, Bandung.

BaYunus, Ilyas & Farid Ahmad, 1993, Sosiologi Islam & Masyarakat Kontemporer, Mi- zan Bandung.

Bellah, Robert N., 1976, Beyond Belief, Essays on Religion in a Post-Traditional World, Harper & Row Publishers-Hag- erstown, New York-San Fransisco- London.

Berger, Peter L., 1982, Piramida Kurban Manusia, Etika Politik dan Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta.

Burckhardt, Titus, 1984, Mengenal Ajaran Kaum Sufi, Pustaka Jaya, Jakarta.

Capra, Fritjof, 1997, Titik Balik Peradaban:

Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Ke- budayaan, Bentang Budaya, Yogjakarta.

Engineer, Ali Asghar, 1999, Islam dan Teologi Pembebasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Freire, Paulo, 2000, Education for Critical Consciousness, Continum, New York.

---, 1999, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, Pustaka Pelajar & Read, Yogyakarta.

---,1985, Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, Jakarta.

Fromm, Erich, 1996, Revolusi Harapan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Fukuyama, Francis, 1996, Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity, Penguin Books, England.

(28)

---,1992, The End of History and the Last Man, Penguin Books, England.

Giddens, Anthony, 2000, The Third Way:

Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Goldscheider, C., 1985, Populasi Modernisasi dan Struktur Sosial, Rajawali, Jakarta.

Gutierrez, Gustavo, 1973, A Theology of Liberation: History, Politics and Salva- tion, Orbis Book, Maryknoll, New York.

Hamersma, Harry, 1983, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Gramedia, Jakarta.

Hanafi, Hassan, 1991, Agama, Ideologi dan Pembangunan, P3M, Jakarta.

Haq, Mahbubul, 1983, Tirai Kemiskinan;

Tantangan-tantangan untuk Dunia Ketiga, Obor, Jakarta.

Hawking, Stephen, 1994, Riwayat Sang Kala; Dari Dentuman Besar hingga Lubang Hitam, Pustaka Grafiti Utama Jakarta.

---, 1995, Black Holes and Baby Universes;

Lubang Hitam dan Jagad Bayi dan Esei-Esei lain, Gramedia, Jakarta.

Huntington, Samuel P., 1995, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Pustaka Utama, Grafiti, Jakarta.

Husaini, S.Waqar Ahmed, 1993, Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, Pustaka, Bandung.

Jenie, Umar Anggoro, 1998, “Paradigma dan Religiositas Perkembangan Iptek”

dalam Abdul Munir Mulkhan (dkk), Religiositas Iptek, Fak Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta - Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm 3-15.

(29)

Kennedy, Paul, 1995, Menyiapkan diri Menghadapi Abad Ke-21, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Koentjoroningrat, 1975, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jambatan, Jakarta.

Kompas, 1995, Laporan Seminar FE. UGM tentang Strategi Pembangunan Ekonomi dan Bisnis, 23-26 Oktober 1995.

Korten, David C. 1993, Menuju Abad ke-21;

Tindakan Sukarela dan Agenda Global, Obor-Sinar Harapan, Jakarta.

Kuntowibisono, 1983, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Postivisme Auguste Comte, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Kuntowijoyo, 2001, Periodisasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia: Mitos, Ideologi, Dan Ilmu, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah pada fakultas Ilmu Budaya, UGM, UGM, Yogyakarta.

---, 1995, “Kebudayaan, Masyarakat Industri Lanjut, Dan Dakwah” dalam PP.

Muhammadiyah, Materi Mukhtamar Muhammadiyah ke-43, Yogyakarta.

Miller, John P., 1976, Humanizing The Classroom; Models of Teaching in Affective Education, Preger Publishers, New York.

Mulkhan, Abdul Munir, 2003, Makrifat Burung Surga dan Ajaran Kasampurnan Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

---, 2002, Revolusi Kesadaran dalam Sera-Serat Sufi, Serambi, Jakarta,

---, 2002, Nalar Spritual Pendidikan;

Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Tiara Wacana, Yogyakarta.

---, 2000, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, Bentang Budaya, Yogyakarta.

---, dkk, 1998, Religiositas Iptek, Fak Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta - Pustaka Pelajar, Yogyakarta

(30)

---, 1997, “Moral Kenabian; Paradigma Intelektual Dalam Pembangunan,”

dalam Ulumul Qur’an, No. 4/VII/1997, Jakarta, hlm 43-49.

---, 1992, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan, Bumi Aksara, Jakarta.

---, 2001, Jogja dan Budaya Tandingan Kapitalis, Harian Kompas, 5 November 2001, hlm 27.

Mutahhari, Murtadho, 1985, Masyarakat Dan Sejarah; Kritik islam atas Marxisme dan Teori lainnya, Mizan, Bandung.

Naisbitt, & Patricia Abuderne, 1990, Mega- trends 2000; Sepuluh Arah Baru Untuk Tahun 1990-an, Binarupa Aksara, Jakarta.

Naisbitt, 1994, Global Paradox, Binarupa Aksara, Jakarta.

Nasution, Harun, 1978, Falsafat Dan Mistis- isme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta.

Patria, Nezar & Andi Arief, 1999, Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogjakarta.

Peursen, C.A. van, 1976, Strategi Kebudayaan, Kanisius-BPK Gunung Mulia, Yogya- karta-Jakarta.

Rahman, Fazlur, 1984, Membuka Pintu Ijtihad, Pustaka, Bandung.

---, 2000, Filsafat Shadra, Pustaka, Bandung.

Schumacher, E.F., 1981, Keluar Dari Kemelut; Sebuah Peta Pemikiran Baru, LP3ES, Jakarta.

---, 1985, Kecil Itu Indah; Ilmu Ekonomi Yang Mementingkan Rakyat Kecil, LP3ES, Jakarta.

Shimogaki, Kazuo, 1993, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme:

Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, LKiS, Yogjakarta.

Suseno, Franz Magnis, 1983, “Hormat Dan Hak – Etika Jawa Dalam Tantangan”

(31)

dalam Franz Magnis Suseno & S. Rek- sosilo C.M., Etika Jawa Dalam Tantan- gan, Kanisius, Yogyakarta.

Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

Usman, W., 1995, ”Mengapa ’Harapan Rasional’ Penting?”, Kompas, 17

Oktober 1995, hlm 13.

Wibowo, I, 2000, “Kata Pengantar” dalam (terjemahan) The Third Way-nya Anthony Giddens, Gramedia, Jakarta.

Yazdi, Mehdi Ha’iri, 1994, Ilmu Hudluri;

Prinsip-Prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, Mizan, Bandung.

(32)

BIODATA

Nama : Abdul Munir Mulkhan

Lahir : Wuluhan, Jember, 13 Nopember 1946

Alamat Rumah : Kompleks Rumah Dinas Dep. Agama No. 510, Tinalan, Kotagede, Yogjakarta – 55172, Tlp. 378442

Alamat Kantor : (1) Fak Tarbiyah & Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Laksda Adisucipto Yogyakarta.

(2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Jl. Latuharhary Nomor 4 B Menteng Jakarta Pusat – 10310 Alamat Email : munir@ygy.centrin.net.id

munir@komnasham.go.id

Pendidikan:

1953-1959 : SR Negeri, Wuluhan, Jember 1959-1962 : SMP Pancasila, Wuluhan, Jember

1959-1963 : PGAP Muhammadiyah, Wuluhan, Jember 1963-1965 : PGAAN Malang

1967-1968 : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Cabang Jember 1971-1974 : Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Cabang Metro 1974-1975 : Fakultas Hukum Universitas Negeri Lampung 1979-1980 : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1979-1982 : Fakultas Filsafat UGM

1986-1988 : S-2 Sosiologi UGM 1995-1999 : S-3 Sosiologi UGM

2000-2001 : Program Post Doktoral pada McGill University, Montreal, Canada

2006-2007 : Research Fellow pada Nanyang Teknological University of Singapore

(33)

Pekerjaan:

1965-1966 : Guru Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) Ampel, Jember

1966-1967 : Guru PGAP Muhammadiyah Kalirejo, Lampung Tengah 1967-1968 : Guru Agama Negeri SD Muhammadiyah Gumelar, Jember

Guru Agama Negeri Madrasah Ibtidaiyah Sti’biyah, (MIS) Gugut, Jember

Guru Agama Negeri SD Negeri Wirolegi, Jember

1968-1971 : Guru Agama Negeri Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) Hadimulyo, Metro, Lampung Tengah

1970-1971 : Wk Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah Hadimulyo, Metro, Lampung.

1971-1973 : Guru Negeri PGA YPI Metro, Lampung Tengah 1973-1974 : Pegawai pada Kantor Depag Kab Lampung Tengah 1974-1976 : Kasubsi Doktik Seksi Urusan Agama Islam Depag

Kab Lampung Tengah

1976-1978 : Kepala Urusan Umum Kantor Depag Kab Lampung Tengah 1978-1979 : Kepala KUA Kecamatan Sekampung Kab Lampung Tengah 1978-1984 : Pegawai pada Kanwil Depag Provinsi DIY

1984-1985 : Pegawai Humas Kanwil Depag Provinsi DIY

1985-1987 : Kasi Kemasjidan Bidang Urais Kanwil Depag Provinsi DIY 1987-1991 : Kasi Publikasi Dakwah & Tamadun Penais Kanwil Depag

Prov DIY

1991- kini : Dosen Fakultas Tarbiyah & Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

2005-2012 : Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI.

Referensi

Dokumen terkait

Nama Batanghari Sembilan diambil untuk nama musik khas Sumatera Bagian Selatan, karena ada sembilan daerah di Sumatera Bagian Selatan memiliki jenis musik yang sama dan memiliki

Penulis mengakhiri masa studi di IPB dengan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Mutu Cookies Garut yang Digunakan pada Program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk

Dari ketiga tipe dinding penahan tanah semuanya memenuhi syarat stabilitas terhadap guling, geser, dan daya dukung. (2006), Penanganan Tanah Longsor dan Erosi, Gajah

Dari hasil analisa arah dan kecepatan arus permukaan di perairan Pangandaran, menunjukkan bahwa pada saat fase musim dengan angin dominan (musim Barat dan musim

Pengertian Cyber (Cybersex) atau kadang disebut komputer seks, internet seks, netsex, mudsex, TinySex dan dalam pengertian sex istilah sehari-harinya adalah virtual seks di

2 Tahun 2008 tetang Partai Politik, bahwa yang disebut partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara

o Alasan mengapa mengikuti pelatihan. Alasan ini dapat saja datang dari luar berupa perintah/penugasan, atau ingin tahu, dsb. o Motivasi yang mendorong peserta mengikuti