BAB I PENDAHULUAN
Penelitian ini fokusnya adalah unsur arsitektur yang dipertahankan pada rumah di kawasan permukiman tepi laut akibat reklamasi pantai. Kawasan permukiman ini dihuni oleh masyarakat pesisir yang masih tetap mempertahankan pola kehidupannya pada suatu wilayah perairan laut pulau Muna bagian Timur.
Kelompok masyarakat ini berprofesi sebagai pelaut atau nelayan, sehingga kelompok tersebut menamai dirinya dengan sebutan sebagai pengembara laut (Baja Ngkalao-lao). Dalam bab pendahuluan ini akan diuraikan beberapa subbab,
yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, batasan penelitian dan kerangka pikir penelitian.
1.1. Latar Belakang Penelitian
Tepi laut atau pesisir pantai merupakan ruang yang relatif dominan bagi permukiman perairan di Indonesia. Dari sekian banyak permukiman perairan di Indonesia, salah satu di antaranya adalah permukiman Desa Lagasa, Kecamatan Duruka Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara bagian Indonesia Tengah.
Secara geografis Desa Lagasa adalah desa pantai yang terletak + 8 Km
dari Ibukota Kabupaten Muna (Raha) Sulawesi Tenggara, dengan tipe iklim tropis
basah. Kawasan ini didominasi oleh penduduk yang bermata pencaharian utama
sebagai nelayan. Dominasi aktivitas homogen ini, tidak diikuti dengan lingkungan
permukiman warga yang berbentuk rumah panggung, setengah panggung dan
nonpanggung. Kondisi bentuk rumah yang heterogen seperti ini disebabkan oleh adanya reklamasi pantai yang dilakukan oleh pemerintah.
Terkait dengan kondisi tersebut, masyarakat Desa Lagasa merupakan masyarakat pesisir (suku bajo) yang hidup mengembara di lautan dan melakukan segala aktivitas serta menghabiskan hidupnya di atas perahu yaitu berlayar mengarungi lautan. Hal ini merupakan suatu kebiasaan yang selalu dijalani oleh warga secara turun temurun sejak beberapa abad yang lalu. Berangkat dari masa lalu, bahwa nenek moyang masyarakat pesisir ini memiliki tempat tinggal di atas perahu (sampan) yang sangat sederhana dengan bentuk atap yang menyerupai rumah dan memiliki fasilitas seadanya. Tempat tinggal tersebut masyarakat menamainya dengan sebutan sapau (rumah perahu). Sapau berfungsi sebagai tempat tinggal dan dijadikan sebagai sarana dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Bersama dengan perkembangan waktu dan zaman, masyarakat ini kemudian mulai berpikir untuk menetap dalam suatu hunian (rumah) dengan membentuk suatu permukiman yang mengelompok di perairan laut bagian pesisir pantai. Proses masa perkembangan kawasan permukiman ini tumbuh secara spontan dengan teknis yang praktis dan sederhana serta tidak menghilangkan budaya laut yang mempengaruhi pola hidup warga sampai saat ini.
Jika dilihat dari proses terbentuknya permukiman masyarakat pesisir di
Desa Lagasa sampai dengan saat ini, tidak lepas dari kondisi geografis dan
lingkungan alam kawasan yang di latar belakangi oleh kegiatan keseharian warga
sebagai nelayan/pelaut. Meskipun demikian, masyarakat di kawasan ini bukan
berarti tidak menginginkan perubahan yang bersifat positif pada lingkungan permukimannya. Salah satu bentuk perubahan yang dimaksud adalah seperti penelitiannya (Hikmah, 2005:110) mengatakan bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan pola hidup masyarakat perairan laut di Desa Lagasa adalah adanya pembangunan jalan yang menghubungkan Ibu Kota Kabupaten Muna dengan Desa Lagasa.
Bentuk perubahan tersebut linier dengan perkembangan jaman dan teknologi saat ini, sehingga pada lingkungan permukiman perairan laut di Desa Lagasa tidak ketinggalan dalam mengikuti perkembangan tersebut, baik dari bentuk material bangunan rumah maupun pola permukiman penduduk. (Gallion, 1963 dalam penelitian Pramudya Aditama Vidyabrata, 2002:3) mengatakan bahwa berkembangnya pola struktur sosial, ekonomi dan budaya masyarakat berarti berkembang juga kegiatan fungsional masyarakat, yang pada akhirnya akan menyebabkan perkembangan dan perubahan fisik suatu lingkungan karena manusia dalam melakukan kegiatan hidup dan penghidupannya akan menuntut kebutuhan ruang.
Kondisi lingkungan dan pola hidup yang berubah pada masyarakat tepi laut yang telah diuraikan di atas berkaitan dengan paparan (Rapoport, 1969) yang mengatakan bahwa perubahan merupakan akibat dari proses aktivitas penyesuaian yang dilakukan oleh manusia itu sendiri agar kebutuhannya dapat terpenuhi, akan tetapi ada juga hal-hal yang tidak berubah pada lingkungan fisik permukiman yaitu berupa tradisi atau kebiasaan dari kelompok masyarakat itu sendiri.
Pernyataan Amos Rapoport tersebut sejalan dengan pendapat (Sarwono, 1992
dalam Syahriana, 2003:3), yang mengatakan bahwa ada dua jenis lingkungan dalam hubungan antara manusia dengan kondisi fisik lingkungannya. Jenis pertama adalah lingkungan yang sudah akrab dengan manusia yang bersangkutan, seperti halnya masyarakat perairan laut yang dikenal dengan masyarakat nelayan yang akrab dengan kehidupan laut, sehingga masyarakat ini tidak bisa terpisahkan dengan laut. Untuk manusia lingkungan yang sudah diakrabinya memberi peluang lebih besar untuk tercapainya keadaan homeostasis (keseimbangan). Dengan demikian, lingkungan jenis ini cenderung dipertahankan. Jenis yang kedua adalah lingkungan yang masih asing, kemungkinan timbul stres lebih besar. Manusia terpaksa melakukan penyesuaian diri atau bahkan meninggalkan lingkungan tersebut.
Dalam hubungannya dengan uraian di atas, maka titik berat dalam
penelitian ini akan menyoroti tentang bagaimana masyarakat tepi laut dengan
menggunakan pengalaman hidupnya melakukan adaptasi-adjustment terhadap
tempat tinggalnya di lingkungan permukiman Desa Lagasa pasca reklamasi
pantai. namun hal ini, mempunyai interpretasi yang luas sehingga membutuhkan
penekanan yang tegas dalam penjabaran masalahnya, yakni menguraikan
bagaimana konsep masyarakat perairan laut dalam mempertahankan unsur
arsitektur yang dipertahankan pada rumah tinggal masyarakat Desa Lagasa pasca
reklamasi pantai. Dengan demikian akan memberikan suatu pemahaman dan
pengetahuan mengenai unsur arsitektur yang unik pada rumah masyarakat di
kawasan permukiman Desa Lagasa, Kecamatan Duruka, Kabupaten Muna,
Provinsi Sulawesi Tenggara.
1.2. Perumusan Masalah
Rapoport (1969) mengemukakan bahwa rumah adalah merupakan ungkapan daya cipta dan manifestasi beberapa aspek kehidupan baik ritual, kultural, maupun sosial ekonomi. oleh karena itu rumah tidak hanya menunjukkan susunan dari beberapa elemen bahan bangunan, akan tetapi rumah juga dibuat berdasarkan suatu tujuan yang sangat kompleks, sehingga dalam proses pembuatannya selalu diikuti oleh berbagai sistem atau tradisi yang berlaku pada masing-masing komunitas lingkungannya.
Kawasan permukiman perairan laut Desa Lagasa pasca reklamasi pantai mengalami perubahan, yaitu letak rumah warga tidak sepenuhnya berada di atas perairan laut, akan tetapi sebagian rumah warga berada di daratan. Perubahan tersebut diikuti oleh kondisi ekonomi, kondisi sosial dan bentuk rumah tinggal warga Desa Lagasa. Meskipun demikian kondisinya, masyarakat perairan laut di kawasan ini masih tetap mempertahankan pola kehidupan tradisional yang merupakan suatu kebiasaan atau tradisi secara turun temurun oleh masyarakat dalam membangun rumah dan memiliki nilai positif yang tidak bisa diabaikan dari kehidupan perairan laut. Oleh karena itu,
permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah “ Unsur Arsitektur Yang Dipertahankan Pada Rumah Di Kawasan Permukiman Desa Lagasa Pasca Reklamasi Pantai ”. Dari permasalahantersebut, maka timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut: